BAB II
ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN
DENGAN KEKERASAN
A. Pengertian Restoratif Justice dan Diversi Menurut Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
1. Restoratif Justice Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
konsep asli praktek keadilan restoratif justice dari praktik pemelihara
perdamaian yang dilakukan suku bangsa maori, penduduk asli Selandia Baru.
Menurut Helen Cowie keadilan restoratif justice pada intinya terletak pada konsep
komunitas yang peduli dan inklusif. Bilamana timbul konflik, maka praktek
restoratif justice akan menangani pihak pelaku dan korban, yang secara kolektif
memecahkan masalah.27
Peradilan anak model restoratif juga berangkat dari asumsi bahwa
anggapan atau reaksi terhadap perilaku delikuensi anak tidak efektif tanpa adanya
kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang
menjadi dasar adalah bahwa keadilan terlayani apabila setiap pihak menerima
perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan.28 Helen Cowie dan Dawn Jennifer mengidentifikasikan aspek-aspek utama
keadilan restoratif sebagai berikut :
27
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, halaman 196
28
a. Perbaikan, bukanlah memperoleh kemenangan atau menerima
kekalahan, tudingan, atau pembalasan dendam, tetapi tentang keadilan
b. Pemulihan hubungan, bukan bersifat hukuman para pelaku criminal
memikul tanggung jawab atas kekeliruan dan memperbaikinya dengan
sejumlah cara, tetapi melalui proses komunikasi yang terbuka dan
langsung, antara korban dan pelaku criminal, yang berpotensi
mengubah cara berhubungan satu sama lain.
c. Reintegrasi, pada tingkatnya yang terluas, memberikan arena tempat
anak dan orang tua dapat memperoleh proses yang adil. Maksutnya
agar mereka belajar tentang konsekuensi kekerasan dan kriminalitas
serta memahami dampak perilaku mereka terhadap orang lain.29
Hower Zehr membedakan retributif justice dengan restoratif justice
sebagai berikut :
Retributif Justice :
1. Kejahatan adalah pelanggaran sistem
2. Fokus pada menjatuhkan hukuman
3. Menimbulkan rasa bersalah
4. Korban diabaikan
5. Pelaku pasif
6. Pertanggungjawaban pelaku adalah hukuman
7. Respon terpaku pada perilaku masa lalu pelaku
8. Stigma tidak terhapuskan
29
Ibid., halaman 203
9. Tidak didukung untuk menyesal dan dimaafkan
10.Proses bergantung pada aparat
11.Proses sangat rasional30 Restoratif Jutice :
1. Kejahatan adalah perlakuan terhadap individu dan/atau masyarakat
2. Fokus pada pemecahan masalah
3. Memperbaiki kerugian
4. Hak dan kebutuhan korban diperhatikan
5. Pelaku di dorong untuk bertanggung jawab
6. Pertanggungjawaban pelaku adalah menunjukkan empati dan
menolong untuk memperbaiki kerugian
7. Respon terpaku pada perilaku menyakitkan akibat perilaku-perilaku
8. Stigma dapat hilang melalui tindakan yang tepat
9. Didukung agar pelaku menyesal dan maaf dimungkinkan untuk
diberikan oleh korban
10.Proses bergantung pada keterlibatan orang-orang yang terpengaruh
oleh kejadian
11.Dimungkinkan proses emosional31
Model keadilan restoratif lebih pada upaya pemulihan hubungan pelaku
dan korban, misalnya, seseorang mencuri buku professor, proses keadilannya
adalah bagaimana cara dan langkah apa agar persoalan bisa selesai sehingga
30
Ibid.
31
hubungan baik antara orang tersebut dan professor berlangsung seperti semula
tanpa ada yang dirugikan.32
Dalam keadilan retributif, masyarakat tidak dilibatkan karena sudah
diwakilkan oleh pengacara, sementara alam keadilan restoratif masyarakat
dilibatkan melalui tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kewibawaan dalam
lingkungan tersebut, misalnya tokoh agama, orang berpengaruh, dan sebagainya
keadilan retributif lekat dengan kompetisi pelaku dan lawan sehingga ada proses
tahapanbanding dan kasasi dalam proses peradilannya, tetapi pada keadilan
restoratif semua pihak diajak kerja sama untuk menyelesaikan persoalan. Pada
keadilan retributif pelaku hanya objek, yang aktif hanya pengacara, sedangkan
pada keadilan restoratif justice, pelaku maupun korban sama-sama aktif diberi
peran untuk menyelesaikan persoalan yang ada .33
Prinsip-prinsip restoratif justice adalah membuat pelaku bertanggung
jawab untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya sebaik dia mengatasi rasa
bersalahnya dengan cara yang konstruktif, melibatkan korban, orang tua, keluarga,
sekolah, atau teman bermainya, membuat forum kerja sama, juga dalam masalah
yang berhubungan dengan kejahatan untuk mengatasinya. Watchel dan Mc. Cold
yang banyak melakukan praktik keadilan restoratif di lingkungan sekolah,
mengonseptualkan kerangka kultur yang adil dan setara berdasarkan hubungan
yang positif dan penuh kepedulian.34
Pemahaman bahwa menjauhkan anak dari proses peradilan pidana menjadi
penting karena hal ini merupakan bagian upaya perlindungan hak asasi anak.
32
Ibid., halaman 165
33
Hadi Supeno, Op.Cit., halaman 204
34
Pengalihan perkara oleh polisi dan penuntut umum serta pejabat lain yang
berwenang untuk menjauhkan anak dari proses peradilan formil, penahanan atau
pemenjaraan. Program diversi ini dilakukan dengan menempatkan anak dibawah
pengawasan badan-badan sosial tertentu yang membantu pelaksanaan sistem
peradilan pidana anak sebagaimana yang disebut dalam undang-undang.35
Ide mengenai restoratif justice masuk dalam pasal 5 Ayat (1)
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa sistem peradilan pidana anak wajib
mengutamakan pendekatan keadilan restoratif ayat (1) yang meliputi :
a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini.
b. Persidangan anak dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan
umum.
c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan selama
proses pelaksanaan pidana, tindakan dan setelah menjalani pidana atau
tindakan 36
2. Diversi Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini telah diatur
diversi, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses luar pidana (Pasal 1 angka 7). Dalam sistem peradilan pidana
anak, wajib diupayakan diversi, artinya diversi diupayakan dalam Sistem
35
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta Timur, Cetakan Pertama, 2013, halaman 134
36
Peradilan Pidana Anak, yang meliputi : penyidikan dan penuntutan pidana anak
yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, persidangan anak yang
dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum, pembinaan,
pembimbingan, pengawasan dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan
pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan (pasal 5 ayat 2
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak). 37
Penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus
mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian
kemasyarakatan dari Bapas, dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga
anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana
yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau
nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat
(Pasal 9 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak).38
Prinsip-prinsip Diversi menurut The Beijing Rules adalah :
a. Diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu
penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan lembaga lainnya) diberi
kewenangan untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia
muda tanpa menggunakan pengadilan formal.
b. Kewenangan untuk menentukan diversi diberikan kepada aparat
penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan lembaga lain yang
37
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2014, halaman 103
38
sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem
hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang
terkandung dala The Beijing Rules.
c. Pelaksanaan diversi harus dengan persetujuan anak, atau orang tua
walinya namun demikian keputusan pelaksanaan diversi setelah ada
kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan diversi tersebut.
d. Pelaksanaan diversi memerlukan kerja sama dan peran masyarakat,
sehubungan dengan adanya program diversi seperti : pengawasan,
bimbingan sementara, pemulihan, dan ganti rugi kepada korban. 39 Diversi merupakan pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum
untuk mengambil tindakan-tindakan kebijaksanaan dalam menangani atau
menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal
antara lain menghentikan atau tidak meneruskan, melepaskan dari proses
peradilan pidana atau mengembalikan, menyerahkan kepada masyarakat.40
Penerapan diversi dapat ditetapkan di semua tingkat pemeriksaan,
dimaksutkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses
peradilan tersebut. Terhadap anak yang ditangkap polisi, polisi dapat melakukan
diversi tanpa meneruskan ke jaksa penuntut. Kemudian apabila kasus anak sudah
sampai di pengadilan, maka hakim dapat melakukan peradilan sesuai dengan
prosedurnya dan diutamakan anak dapat dibebaskan dari pidana penjara. Apabila
anak sudah berada di dalam penjara maka petugas penjara dapat melimpahkan ke
lembaga sosial.
39
M. Nasir Djamil, Op.Cit., halaman 134
40
Diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada tanggal 30 Juli 2012, maka
Indonesia sudah secara sah memiliki suatu peraturan yang memberi perlindungan
hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dengan salah satu
metodenya adalah diversi.41
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum
menerapkan lembaga diversi dalam rumusannya. Menyebabkan banyak perkara
pidana bermuara dari tindak kenakalan anak yang sifatnya junevile deliquesi
semata, yang seharusnya tdak perlu proses sampai ke ranah pidana.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, diversi sudah merupakan suatu kesatuan dalam proses pidana anak, hal ini
menarik karena sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia banyak
menangani kasus anak dan sudah menggunakan ide diversi ini sebagai salah satu
cara penyelesaian kasus anak sebelum undang-undang No. 11 Tahun 2012
berlaku. KPAI menggunakan dasar Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak sebagai dasar melaksanakan diversi.42
Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang
diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke
penyelesaian damai antara tersangka, terdakwa, pelaku tindak pidana dengan
korban yang difasilitasi oleh keluarga dan masyarakat, Pembimbingan
Kemasyarakatan Anak, polisi, jaksa maupun hakim.43
41
Angger Sigit Pramukti & Fuandy Primaharsya, Op.Cit., halaman 68
42
Ibid.
43
Pada pasal 6 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan
tujuan diversi, yakni antara lain :
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak
b. Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan
c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan
d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak
Tujuan diversi tersebut merupakan implementasi dari keadilan restoratif
justice yang berupaya mengembalikan pemulihan terhadap sebuah permasalahhan,
bukan sebuah pembalasan yang selama ini dikenal dalam hukum pidana.
Kewajiban mengupayakan diversi dari mulai penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, dilakukan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan :
a. Diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun
b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana44
Ketentuan ini menjelaskan bahwa anak yang melakukan tindak pidana
yang ancamannya lebih dari 7 (tujuh) tahun maka tidak wajib diupayakan diversi,
hal ini memang penting mengingat kalau ancaman hukuman lebih dari 7 (tujuh)
tahun tergolong pada tindakan berat, dan merupakan suatu pengulangan, artinya
anak pernah melakukan tindak pidana baik itu sejenis maupun tidak sejenis
termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui diversi. Pengulangan tindak
pidana oleh anak, menjadi bukti bahwa tujuan diversi tidak tercapai yakni
44
menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan
yang berupa tindakan pidana. Upaa diversi terhadapnya bisa saja tidak wajib
diupayakan.
Dalam pasal 8 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
menentukan bahwa :
1. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak
dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya,
pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional
berdasarkan pendekatan keadilan restoratif justice
2. Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksut pada ayat
(1) dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat.
3. Proses diversi wajib memperhatikan :
a. Kepentingan korban
b. Kesejahteraan dan tanggung jawab anak
c. Penghindaran stigma negatif
d. Penghindaran pembalasan
e. Keharmonisan masyarakat
f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.45
Kesepakatan diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa
pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian
korban tidak lebih dari nilai upah minimumprovinsi etempat sebagaimana
dimaksut dalam Pasal 9 ayat 2 dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku
45
dan/atau keluarganya, pembimbing kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh
masyarakat. Kesepakatan diversi sebagaimana dimaksut pada ayat (1) dilakukan
oleh penyidik atas rekomendasi pembimbing kemasyarakatan dapat berbentuk
pengembalian kerugian dalam hal ada korban, rehabilitasi medis psikososial,
penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau
pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan, atau
pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga bulan (Pasal 10 UU SPPA).46
Pasal 13 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan
bahwa proses peradilan pidana anak dilanjutkan dalam hal proses diversi tidak
menghasilkan kesepakatan, atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.
Pengawasan atas proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan
berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat
pemeriksaan. Selama proses diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan
diversi dilaksanakan, pembimbing kemasyarakatan wajib melakukan
pendampingan, pembimbingan dan pengawasan. Dalam hal kesepakatan diversi
tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, pembimbing kemasyarakatan
segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab. Pejabat yang
bertanggungjaab sebagaimana dimaksut pada ayat (3) wajib menindaklanjuti
laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari. Pasal 15 UU SPPA menentukan
bahwa ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses diversi, tata cara, dan
koordinasi pelaksanaan diversi diatur dengan peraturan pemerintah.47
46
Maidin Gultom, Op.Cit., halaman 104
47
B. Lembaga Pemasyarakatan Anak
Sebelum membicarakan tentang Lembaga Pemasyarakatan Anak (LAPAS
Anak), terlebih dahulu perlu mengetahui mengenai apa yang dimaksut dengan
pemasyarakatan. Dalam Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, diberi pengertian sebagai berikut :
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga
binaan Permasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara
pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam
tata peradilan pidana.48
Secara umum, yang dimaksut Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat
untuk melakukan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.Dari
pengertian ini, terlihat adanya pembedaan penamaan antara narapidana dan anak
didik pemasyarakatan, walaupun secara hakikat mempunyai kesamaan yaitu orang
yang menghuni LAPAS berdasarkan putusan pengadilan. Perbedaan ini tidak
dijelaskan oleh undang-undang, namun dapat diperhatikan bahwa penamaan
“anak didik pemasyarakatan” bukan “narapidana anak”. Dengan menggunakan
istilah anak didik pemasyarakatan tersebut merupakkan ungkapan halus untuk
menggantikan istilah narapidana anak yang dirasakan menyinggung perasaan da n
mensugestikan sesuatu yag tidak mengenakkan bagi anak.49
Konkretnya, LAPAS Anak mempunyai ciri, kekhasan dan motivasi
tertentu seperti LAPAS Wanita, LAPAS Remaja. Pada asasnya, pembinaan anak
didik pemasyarakatan harus dalam LAPAS anak, terpisah dengan pembinaan
48
Nashriana, Op. Cit., halaman 153
49
orang dewasa/narapidana. Hal ini secara eksplisit telah diatur dalam Pasal 60 UU
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Prinsip ini tetap dipegang walaupun
pada suatu daerah belum ada LAPAS Anak, tetapi anak didik pemasyarakatan
ditempatkan terpisah dengan orang dewasa. Telah diketahui di atas bahwa semua
anak yang menghuni di LAPAS Anak mempunyai kewajiban untuk menaati
seluruh peraturan keamanan dan ketertiban di tempat tersebut. Berhubung hal
tersebut merupakan kewajiban, maka konsekuensinya apabila dilalaikan atau
dilanggar, kepada si anak akan dikenakan hukuman disiplin.50
Kemudian, mengenai hukuman disiplin yang bagaimana yang dapat
dijatuhkan terhadap anak pidana? Ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU
Pemasyarakatan mengatur ada dua jenis hukuman disiplin, yaitu :
a. Tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari
b. Menunda atau meniadakan hak tertentu untuk waktu tertentu sesuai
peraturan perundangan yang berlaku. Misalnya meniadakan hak untuk
mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) untuk satu tahun.
Anak didik pemasyarakatan (Pasal 1 ayat ayat 8 Undang-Undang No. 12
Tahun 1999) terdiri dari :
1. Anak pidana
Anak pidana, adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani
pidana di Lembaga Pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18
(delapan belas) tahun. Anak pidana diitempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS) anak dan wajib didaftar dan penggolongan.
50
a. Pembinaan dan penggolongan
Untuk pembinaan (Pasal 20 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995) terhadap
Anak Pidana di LAPAS anak dilakukan peggolongan berdasarkan, umur,
jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria
lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
b. Hak-hak Anak Pidana (Pasal 22 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995) :
1) Berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya
2) Berhak mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani
3) Berhak mendapat pendidikan dan pengajaran
4) Berhak mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
5) Berhak menyampaikan keluhan
6) Berhak menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang
tertentu
7) Berhak mendapat pengurangan masa pidana (remisi)
8) Berhak mendapatkan pembebasan bersyarat
9) Berhak mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Anak Negara
Anak negara, adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan kepada negara untuk dididik. Untuk itu anak negara
ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai
a. Pembinaan dan penggolongan.
Dalam rangka pembinaan terhadap Anak Negara (Pasal 27
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995) di LAPAS Anak dilakukan penggolongan
atas dasar umur, jenis kelamin, lamanya pembinaan dan kriteria
lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
b. Hak-hak Anak Negara
Hak-hak Anak Negara diatur dalam Pasal 29 Undang-undang No. 12
Tahun 1995 sebagai berikut :
1) Berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau
kepercayaannya
2) Berhak mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun
jasmani
3) Berhak mendapat pendidikan dan pengajaran
4) Berhak mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
5) Berhak menyampaikan keluhan
6) Berhak menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau
orang tertentu
7) Berhak mendapatkan pembebasan bersyarat
Kiranya perlu dicatat, bahwa Anak Negara tidak berhak mendapatkan
pengurangan masa pidana (remisi), karena dia bukan dipidana.
3. Anak Sipil
Anak Sipil, adalah anak yang tidak mampu lagi dididik oleh orang tua,
ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk dididik dan dibina
sebagaimana mestinya.
Menurut Pasal 32 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995, anak sipil
ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) anak. Penempatan itu
paling lama 6 (enam) bulan bagi mereka yang belum berumur 14 (empat
belas) tahun, dan paling lama1 (satu) tahun bagi mereka yang pada saat
penetapan pengadilan berumur 14 (empat belas) tahun, dengan ketentuan
paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.51
Dalam beberapa tahun terakhir ini, memang telah terjadi reformasi
pelayanan pada beberapa lembaga pemasyarakatan anak. Lembaga
Pemasyarakatan Anak Tangerang misalnya, talah melakukan berbagai upaya
pembaharuan dengan menciptakan Lapas anak bukan sebagai tempat yang
menyeramkan. Bangunan di cat terang. Taman-taman di lingkungan Lapas
dibangun. Para sipir tidak menggunakan seragam keki, tetapi lengan panjang
berdasi. Anak-anak diajari keterampilan hidup, dari pertanian hingga elektronik.
Mereka yang berbakat diberi ruang ekspresi, seperti bermain musik atau olahraga.
Hak-hak anak tetap diberikan dengan mendatangkan guru-guru profesional yang
disediakan Departemen Pendidikan Nasional sehingga kalau kita berkeliling di
bagian dalam Lapas anak tangerang, akan mendapati anak-anak yang sibuk
dengan berbagai aktifitas, sementara di berbagai sudut ruang kita dapati pajangan
karya anak didik berupa lukisan, puisi, maupun karya-karya lainnya. 52
51
Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Medan, 1997, halaman 59-63
52
Namun betapapun baiknya Lapas, itu tetaplah penjara, tempat anak
dipidanakan, divonis salah, diberi label sebagai narapidana dengan segala
konsekuensi logisnya.Di semua penjara anak di Indonesia, anak-anak yang
sekedar mencuri HP, atau berkelahi layaknya dunia anak, dipenjara dicampur
dengan pelaku pengguna dan pengedar narkoba, pelaku kekerasan dengan
pemberatan bahkan pembunuhan. Kebanyakan Lapas anak di Indonesia juga jauh
dari suasana keramahtamahan dan tidak manusiawi. Sel-sel yang jorok adalah
pemandangan rill saat ini. Bayangkan kamar mandi dan WC yag sempit, dibatasi
tembok satu meter, menyatu dalam sel tahanan. Maka selain tidak sehat, juga
menjadi media paling mudah bagi para seniornya untuk melakukan pelecehan
seksual.53
C. Faktor Penyebab Timbulnya Kenakalan Anak
Menanggapi pengertian deliquency maka dari beberapa ilmuan bangsa
indonesia telah dapat pula diketengahkan berbagai pendapat atau sumbangan
pikiran yang dapat dianggap sebagai suatu perumusan dan juga tentang pendapat
mereka bagaimana cara melakukan pencegahan terhadap kenakalan anak remaja.
Paul Moedigdo Moeliono berpendapat bahwa juvenile deliquency dirumuskan
dalam Undang-Undang tanpa suatu penelitian moral, untuk menandaskan
anak-anak mana (pelanggar hukum pidana atau norma sosial dan anak-anak terlantar yang
berhak) wajib diberi bantuan khusus oleh masyarakat.54
Untuk lebih memperjelas kajian tentang gejala kenakalan anak seperti
yang telah diuraikan , perlu diketahui sebab-sebab timbulnya kenakalan anak atau
53
Ibid., halaman 219
54
faktor-faktor yang mendorong anak melakukan kenakalan atau dapat dikatakan
juga latar belakang dilakukannya perbuatan itu. Dengan perkataan lain, perlu
diketahui motivasinya. Bentuk dari motivasi itu ada 2 (dua) macam, yaitu :
motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Yang dimaksut dengan motivasi intrinsik adalah
dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai perangsang
dari luar, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar
diri seseorang.55
Berikut ini Romli Atmasasmita (1983:46) mengemukakan pendapatnya
mengenai motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak :
a. Motivasi Intrinsik Kenakalan Anak :
1) Faktor Intelegentia
Intelegentia adalah kecerdasan seseorang, menurut pendapat Wundt dan
Eisler (dalam Romli Atmasasmita, 1983:46) adalah kesanggupan
seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan.
Anak-anak deliquent ini pada umumnya mempunyai intelegensia
verbal lebih rendah dan ketinggalan dalam pencapaian hasil-hasil
skolastik (prestasi sekolah rendah). Dengan kecerdasan yang rendah
dan wawasan sosial yang kurang tajam, mereka mudah sekali terseret
oleh ajakan buruk untuk menjadi deliquen jahat.
2) Faktor Usia
Stephen Hurwitz (dalam Romli Atmasasmia, 1983:48) mengungkapkan
usia adalah faktor yang paling penting dalam sebab-musabab timbulnya
55
kejahatan. Apabila pendapat tersebut kita ikutisecara konsekuen, maka
dapat pula dikatakan bahwa usia seseorang adalah faktor yang penting
dalam sebab-musabab timbulnya kenakalan.
Selanjutnya ada beberapa hasil penelitian yang telah menunjukan
sampai sejauh mana usia itu merupakan masalah yang penting dalam
sebab-musabab timbulnya kenakalan, diantaranya adalah hasil
penelitian Tim Proyek “Juvenile Delinquency” Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran (dalam Romli Atmasasmita, 1983:48) diperoleh
data-data yang menunjukkan bahwa dalam tahun 1967 kurang lebih 120
orang anak yang berusia sampai 18 tahun tersangkut dalam kejahatan
terhadap harta benda, diantaranya adalah pencurian. Khusus untuk
daerah Jakarta Raya, usia seseorang anak yang paling banyak
melakukan kenakalan dalam tahun 1963 sampai dengan 1966 adalah
mereka yang berusia antara 15 sampai 17 tahun. Adapun kejahatan
yang paling banyak dilakukan oleh anak-anak ini adalah kejahatan
pencurian mencapai jumlah 355 dari 194 orang anak yang selesai
diadili oleh Pengadilan Negeri bagian anak di Jakarta.
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terhadap para narapidana
anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang pada tahun 1998,
diperoleh data-data bahwa yang paling banyak melakukan keahatan
adalah mereka yang berusia antara 16 sampai 18 tahun mencapai
3) Faktor Kelamin
Di dalam penyelidikannya Paul W.Tappan (dalam Romli
Atmasasmita,1983:49) mengemukakan pendapatnya, bahwa kenakalan
anak dapat dilakukan oleh anak laki-laki maupun oleh anak perempuan,
sekalipun dalam prakteknya jumlah anak laki-lakiyang melakukan
kenakalan jauh lebih banyak dari pada anak perempuan pada batas usia
tertentu.
Adanya perbedaan jenis kelamin, mengakibatkan pula timbulnya
perbedaan, tidak hanya dalam segi kuantitas kenakalan semata-mata
akan tetapi juga segi kualitas kenakalannya. Seringkali kita melihat atau
membaca dalam mass media, baik media cetak maupun media
elektronik bahwa perbuatan kejahatan banyak dilakukan oleh anak
laki-laki seperti pencurian, penganiayaan, perampokan, pembunuhan,
perkosaan dan lain sebagainya. Sedangkan perbuatan pelanggaran
banyak dilakukan oleh anak perempuan, seperti pelanggaran terhadap
ketertiban umum, pelanggaran kesusilaan misalnya melakukan
persetubuhan diluar perkawinan sebagai akibat dari pergaulan bebas.
4) Faktor Kedudukan Anak Dalam Keluarga
Yang dimaksut dengan kedudukan anak dalam keluarga adalah
kedudukan seorang anak dalam keluarga menurut urutan kelahirannya,
misalnya anak pertama, kedua dan seterusnya.
Hal ini dapat dipahami karena kebanyakan anak tunggal sangat
pemenuhan kebutuhan yang berlebih-lebihan dan segala permintaannya
dikabulkan. Perlakuan orang tua terhadap anak akan menyulitkan anak
itu sendiri dalam bergaul dengan masyarakat dan sering timbul
konflikdi dalam jiwanya, apabila suatu ketika keinginannya tidak
dikabulkan oleh anggota masyarakat yang lain, akhirnya
mengakibatkan frustasi dan cenderung mudah berbuat jahat.
b. Motivasi Ekstrinsik Kenakalan Anak
1) Faktor Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang terdekat untuk
membesarkan, mendewasakan dan di dalamnya anak mendapatkan
pendidikan yang pertama kali. Keluarga merupakan kelompok
masyarakat terkecil, akan tetapi merupakan lingkungan yang paling
kuat dalam membesarkan anak dan terutama bagi anak yang belum
sekolah. Oleh karena itu, keluarga memiliki peranan yang penting
dalam perkembangan anak. Keluarga yang baikakan berpengaruh
positif bagi perkembangan anak, sedangkan keluarga yang jelek akan
berpengaruh negatif. Oleh karena sejak kecil anak dibesarkan oleh
keluarga dan untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di
dalam keluarga maka sepantasnya kalau kemungkinan timbulnya
delinquency itu sebagian juga berasal dari keluarga.
Adapun keluarga yang dapat menjadi sebab timbulnya delinquency
dapat berupa keluarga yang tidak normal (broken home) dan keadaan
Menurut Ny. Moelyatno bahwa menurut pendapat umum pada broken
home ada kemungkinan besar bagi terjadinya kenakalan anak, dimana
terutama perceraian atau perpisahan orang tua mempengaruhi
perkembangan si anak.
Dalam broken home pada prinsipnya struktur keluarga tersebut sudah
tidak lengkap lagi yang disebabkan adanya hal-hal :
- Salah satu dari kedua orang tua atau kedua-duanya meninggal
dunia
- Perceraian orang tua
- Salah satu dari kedua orang tua atau keduanya tidak hadir secara
kontinyu dalam tenggang waktu yang cukup lama.
Keadaan keluarga yang tidak normal bukan hanya terjadi pada broken
home, akan tetapi dalam masyarakat modern sering pula terjadi suatu
gejala adanya broken home semu ialah kedua orang tuanya masih utuh,
tetapi karena masing-masing anggota keluarga mempunyai kesibukan
masing-masing sehingga orang tua tidak sempat memberikan
perhatiannya terhadap pendidikan anak-anaknya.
Dalam konteks tersebut, Bimo Walgito (1982:11) menjabarkan lebih
jelas tentang fenomena tersebut, bahwaa tidak jarang orang tua tidak
dapat bertemu dengan anak-anaknya. Coba bayangkan orang tua
kembali dari tempat bekerja anak-anak sudah bermain di luar, anak
pulang orang tua sudah pergi lagi, orang tua datang anak-anak sudah
menuntungkan bagi perkembangan anak. Dalam situasi keluarga yang
demikian anak mengalami frustasi, mengalami konflik-konflik
psikologis, sehingga keadaan ini juga dapat mudah mendorong anak
menjadi delikuen.
Pada dasarnya kenakalan anak yang disebabkan karena broken home
dapat diatasi atau ditanggulangi dengan cara-cara tertentu. Dalam
broken home cara mengatasi agar anak tidak menjadi delinkuen ialah
orang tua yang bertanggungjawab dalam memelihara anak-anaknya
hendaklah mampu memberikan kasih sayang sepenuhnya sehingga anak
tersebut merasa seolah-olah tidak pernah kehilangan ayah dan ibunya.
Disamping itu, keperluan anak secara jasmani harus dipenuhi pula
sebagaimana layaknya sehingga anak tersebut terhindar dari perbuatan
yang melanggar hukum.
2) Faktor Pendidikan dan Sekolah
Sekolah adalah sebagai media atau perantara bagi pembinaan jiwa
anak-anak atau dengan kata lain, sekolah ikut bertanggungjawab atas
pendidikan anak-anak, baik pendidikan keilmuan maupun pendidikan
tingkah laku. Banyaknya atau bertambahnya kenakalan anak secara
tidak langsung menunjukan kurang berhasilnya sistem pendidikan di
sekolah-sekolah.
Dalam konteks ini sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua
setelah lingkungan keluarga bagi anak. Selama mereka menempuh
Interaksi yang mereka lakukan di sekolah sering menimbulkan akibat
sampingan yang negatif bagi perkembangan mental anak sehingga
menjadi delinkuen. Hal ini disebabkan karena anak-anak yang
memasuki sekolah tidak semua berwatak baik. Di sisi lain, anak-anak
yang masuk sekolah berasal dari keluarga yang kurang memperhatikan
anak dalam belajar yang kerap kali berpengaruh pada temannya yang
lain. Keadaan seperti ini menunjukkan bahwa sekolah merupakan
tempat pendidikan anak-anak dapat menjadi sumber terjadinya
konflik-konflik psikologis yang pada prinsipnya memudahkan anak menjadi
delinkuen.
Sejalan dengan itu, menurut Kenney bahwa sekolah sebagai lembaga
pendidikan harus merencanakan suatu program sekolah yang sesuai
atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari semua anak untuk
menghasilkan kemajuan dan perkembangan jiwa yang sehat dan
sekolah harus memperhatikan anak-anak yang memperlihatkan
tanda-tanda yang tidak baik (tanda-tanda-tanda-tanda kenakalan) dan kemudian
mengambil langkah-langkah seperlunya untuk mencegah dan
memperbaikinya serta sekolah harus bekerja sama dengan orang tua
murid dan pemimpin-pemimpin yang lainnya untuk membantu
menyingkirkan atau menghindarkan setiap faktor di sekelilingnya yang
menyebabkan kenakalan pada mereka.
Harus disadari bahwa betapa besar pengaruh yang dimainkan oleh
lingkungan pergaulan anak, terutama sekali disebabkan oleh konteks
kulturalnya. Dalam situasi sosial yang menjadi semakin longgar,
anak-anak kemudian menjauhkan diri dari keluarganya untuk kemudian
menegakkan eksistensi dirinya yang dianggap sebagai tersisih dan
terancam. Mereka lalu memasuki satu unit keluarga baru dengan
subkultur baru yang sudah delinkuen sifatnya.56
56