POTENSI CO-COMPOSTING UNTUK BIOREMEDIASI TANAH
TERKONTAMINASI POLYCYCLIC AROMATIC HYDROCARBON (PAH)
Gina Lova Sari1), Andy Mizwar2), Yulinah Trihadiningrum3) 1)Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, ITS
Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 *email: ginalovasari@gmail.com
2,3) Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, ITS
Abstrak
Tanah yang terkontaminasi oleh polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) dari pertambangan batubara belum diperhatikan secara serius. Kontaminasi tersebut dapat ditangani menggunakan salah satu teknologi bioremediasi yaitu co-composting. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi co-composting dalam bioremediasi tanah terkontaminasi PAH dengan penambahan sampah organik pada area pelabuhan khusus batubara. Pada penelitian ini, co-composting dilakukan secara aerobik selama 98 hari dalam skala laboratorium. Variasi penelitian meliputi rasio tanah terkontaminasi PAH dengan sampah organik (100/0, 75/25, 50/50, 25/75, dan 0/100) dan pH tanah (asam dan netral). Analisis kadar 16 EPA-PAH dilakukan menggunakan metode Gas Chromatographic Mass
Spectrometric (GC-MS) dan total populasi bakteri dianalisis menggunakan Total Plate Counter (TPC). Proses co-composting berlangsung dalam kondisi lingkungan yang optimal
yaitu suhu mesofilik (30-31°C), pH netral (6,5-7), dan kadar air optimum (50-60%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses co-composting berjalan dengan baik, hal ini ditandai dengan populasi bakteri yang terus mengalami peningkatan hingga 1,67x1020CFU/g di rasio T/S 50/50 pada H-60. Hal ini membuktikan bahwa co-composting berpotensi diaplikasikan sebagai teknologi bioremediasi untuk tanah terkontaminasi PAH.
Kata Kunci: Batubara, bioremediasi, co-composting, PAH.
PENDAHULUAN
Polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) merupakan senyawa hidrokarbon yang
memiliki dua atau lebih struktur cincin aromatik, terdiri dari atom karbon dan hidrogen (Bamforth dan Singleton, 2005; Antizar-Ladislao dkk., 2004a, 2004b). US EPA telah mengklasifikasikan 16 jenis PAH (EPA-PAH) yang berbahaya dari 500 jenis PAH yang diketahui (Tabel 1). PAH bersifat hidrofobik yaitu memiliki tingkat kelarutan yang sangat rendah terhadap air (Bamforth dan Singleton, 2005). Sifat hidrofobik tersebut mengakibatkan PAH yang berkontak dengan tanah mampu mengikat bahan-bahan organik dan membentuk mikropolutan sehingga sulit untuk didegradasi secara alami. Terbentuknya ikatan tersebut menyebabkan PAH terakumulasi di dalam tanah dan menjadi persisten sehingga berefek toksik, mutagenik, dan karsinogenik bagi lingkungan dan makhluk hidup. Sifat hidrofobik PAH akan semakin tinggi seiring dengan semakin kompleksnya struktur cincin aromatik PAH yang mengakibatkan keberadaannya di alam semakin rekalsitran dan semakin sulit didegradasi (Bamforth dan Singleton, 2005).
PAH dapat terbentuk secara alami dari letusan gunung berapi maupun kebakaran hutan dan pirolisis yaitu pembakaran bahan-bahan organik seperti kayu dan batubara. Antizar-Ladislao dkk. (2004b) melaporkan bahwa kadar PAH dari lokasi produksi creosote sebesar
5,86 mg/kg, lokasi produksi kayu 23.600 mg/kg, lokasi petrokimia 821 mg/kg, dan 451 mg/kg pada lokasi pabrik gas. Selain itu, PAH juga bersumber dari pembentukan bahan bakar fosil seperti batubara dan minyak bumi. Khususnya batubara, secara alami mengandung 50% lebih bahan organik yang terdiri dari asam humat dan PAH (Ribeiro dkk., 2012). Laumann dkk. (2011); Achten dan Hofmaan (2009); dan Richter dan Howard (2000) juga menegaskan bahwa batubara mengandung 16 jenis PAH dari US-EPA bahkan dengan kadar yang tinggi hingga 100 kali lebih besar daripada minyak bumi. Jika dibandingkan dengan hasil olahannya seperti tar dan kokas, batubara memiliki kadar PAH yang lebih tinggi dengan pola penyebaran yang lebih cepat (Ribeiro dkk., 2012).
Tabel 1. 16 Jenis EPA-PAH
No. Jenis PAH Berat
Molekul Kelarutan Dalam Air (mg/L) Struktur Kimia 1 Naphtalene 128 31,0000 C10H8 2 Acenaphthylene 152 16,1000 C12H8 3 Acenaphthene 154 3,8000 C12H10 4 Fluorene 166 1,9000 C13H10 5 Antracene 178 0,0450 C16H10 6 Phenanthrene 178 1,1000 C14H10 7 Fluoranthene 202 0,2600 C16H10 8 Pyrene 202 0,1320 C16H10 9 Benzo(a)antracene 228 0,0110 C18H20 10 Chrysene 228 0,0015 C18H20 11 Benzo(b)fluoranthene 252 0,0015 C20H12 12 Benzo(k)fluoranthene 252 0,0008 C20H12 13 Benzo(a)pyrene 252 0,0038 C20H12 14 Indeno[1,2,3-cd]pyrene 276 0,0620 C22H12 15 Benzo[g,h,i]perylene 276 0,0003 C22H12 16 Dibenzo[a,h]Anthracene 278 0,0005 C22H14
(Sumber: Bojes dan Pope 2007; Antizar-Ladislao dkk., 2004b)
Karakteristik PAH yang terkandung dalam batubara menyebabkan lokasi-lokasi pertambangan batubara di Indonesia berpotensi mengalami kontaminasi khususnya di Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan menurut data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (2013) merupakan penghasil batubara terbesar di Indonesia pada tahun 2012 yang produksinya mencapai 149 juta ton. Penelitian terdahulu yang dilakukan Mizwar dan Trihadiningrum (2014), menyebutkan bahwa pada lokasi stockpile, hauling road, dan pelabuhan khusus batubara pada salah satu fasilitas pengangkutan batubara di Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan kadar PAH yang terkandung berturut-turut adalah sebesar 11,79 mg/kg; 32,33 mg/kg; dan 55,30 mg/kg. Jika dibandingkan dengan peraturan yang berlaku di Belanda dan Amerika Serikat yang menetapkan 1 mg/kg sebagai kadar maksimal PAH dalam tanah (Antizar-Ladislao dkk., 2004a), maka perlu dilakukan upaya remediasi pada lokasi-lokasi yang telah disebutkan.
Salah satu teknik bioremediasi yang dianggap efektif, efisien, dan juga ekonomis adalah
co-composting (Zhang dkk., 2011; Antizar-Ladislao dkk., 2004a, 2004b). Antizar Ladislao
dkk. (2004a) melaporkan bahwa co-composting dengan mencampurkan sampah organik dan tanah terkontaminasi PAH sebagai starter dengan rasio 0,8/1, suhu 38°C, kadar air 60% dalam waktu 98 hari dapat menurunkan kadar PAH-tar batubara dari industri gas sebesar 75,2%. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Zhang dkk. (2011) yang menggunakan tanah terkontaminasi PAH dari lokasi industri batubara dengan perlakuan sama selama 60 hari dapat mereduksi kadar PAH rata-rata sebesar 50,5%. Namun, upaya remediasi tanah terkontaminasi PAH dari batubara secara alami hingga saat ini belum mendapat perhatian
yang serius. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi teknologi
co-composting sebagai teknik bioremediasi tanah terkontaminasi PAH-batubara. METODE
Tanah Terkontaminasi PAH-Batubara
Tanah terkontaminasi PAH diambil dari area pelabuhan khusus batubara pada salah satu fasilitas transportasi batubara di Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan. Tanah diambil dari 6 titik lokasi sampling yang kemudian dicampur dengan metode komposit dan dianalisis. Hasil analisis menyatakan bahwa tanah tersebut termasuk dalam kelas tekstur tanah lempung berpasir (sandy loam) dengan kandungan pasir 62%, debu 19%, dan liat 19%. Rasio C/N tanah adalah 12,59 dengan kadar air 59% dan derajat keasaman (pH) yang netral yaitu 7. Analisis kadar total 16 EPA-PAH dilakukan pada tanah yang telah diayak menggunakan saringan 10 mesh (2 mm) dengan hasil sebesar 59,15 mg/kg yang terdiri dari 9,00% LMW-PAH, 2,82% MMW-LMW-PAH, dan 88,18% HMW-PAH.
Sampah Organik
Sampah organik yang digunakan berasal dari Rumah Kompos Kebun Bibit dan Pasar Keputran, Surabaya. Sampah organik terdiri dari daun, ranting, dan kol yang dicampur dengan perbandingan 5:3:2 dalam berat basah. Sebelum dianalisis, ketiga jenis sampah campur dan diayak menggunakan saringan 10 mesh (2 mm). Hasil analisis menunjukkan rasio C/N dari sampah organik adalah 23,92 dengan kadar air 58% dan pH 6,5. Kadar total 16 EPA-PAH sebesar 3,43 mg/kg, yang terdiri dari 14,00% LMW-PAH, 7,85% MMW-PAH, dan 78,15% HMW-PAH.
Campuran Tanah Terkontaminasi PAH-Batubara dengan Sampah Organik
Rasio campuran tanah terkontaminasi PAH dengan sampah organik (rasio T/S) terdiri dari 5 komposisi yaitu 100/0, 75/25, 50/50, 25/75, dan 0/100. Rasio C/N dari kelima rasio T/S ini secara berurutan adalah 12,59; 13,32; 16,31; 18,64; dan 23,92. Sedangkan kadar total 16 EPA-PAH masing-masing secara berurutan adalah 59,15 mg/kg, 59,65 mg/kg, 60,50 mg/kg, 60,73 mg/kg, dan 3,43 mg/kg berat basah. Kadar total PAH lebih tinggi pada campuran tanah terkontaminasi dengan sampah organik karena PAH juga terdeteksi pada sampah organik.
Desain Penelitian
Penelitian dilakukan dalam skala laboratorium menggunakan 20 reaktor dengan kapasitas 3500 ml selama 98 hari. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah campuran tanah terkontaminasi PAH dengan sampah organik sebanyak 1 kg berat basah dengan 2 variasi yang meliputi rasio T/S dan pH tanah. Rasio T/S divariasikan menjadi 5 yaitu 100/0, 75/25, 50/50, 25/75, dan 0/100 sedangkan pH tanah dikondisikan asam (5-5,3) dengan penambahan H2SO4 dan netral (6-7) yang merupakan pH alami dari sampel tanah.
Proses co-composting dalam penelitian ini dilakukan secara aerobik dengan kapasitas
moisture aeration yang diberikan 0,5 L/menit. Moisture aeration dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan oksigen mikroorganisme dan menjaga kadar air berada dalam rentang optimum yaitu 50-60%.
Analisis Sampel Penelitian
Analisis Kadar PAH
Ekstraksi sampel penelitian dilakukan dengan metode ultrasonic dengan beberapa modifikasi (Schwarzbauer dkk., 2000). Ekstraksi dilakukan dengan 2 kali pengulangan menggunakan pelarut (solvent) yang berbeda. 5 g sampel penelitian ditambahkan 30 ml
dichloromethane (DCM) kemudian diekstraksi menggunakan ultrasonic cleaner SIBATA
SU-3THE selama 10 menit. Sampel dipisahkan dengan hasil ekstraksi menggunakan saringan yang telah ditambahkan Na2SO4 kemudian dipekatkan hingga 1 ml menggunakan rotary evaporator. Langkah ekstraksi dilakukan kembali pada sampel yang telah dipisahkan
menggunakan n-pentane sebanyak 30 ml. Kedua hasil ekstraksi di campur dan ditambahkan sedikit cooper sulfat untuk menghilangkan sulfur. Kolom kromatografi disiapkan untuk proses fraksinasi dengan memasukkan glass wool dan bubuk silika MERCK 7754 sebanyak 2 g. Sebelum itu, kolom kromatografi dibersihkan menggunakan DCM. Pada kolom kromatografi silika yang telah siap dialirkan 10 ml DCM sehingga membentuk matriks silika yang kompak. Sebanyak 1 ml hasil ekstraksi diambil dan dialirkan ke dalam kolom silika. Ditambahkan DCM/n-pentane (60/40) hingga didapatkan 7 ml fraksi 2 (F2). Senyawa PAH diukur dengan menganalisis F2 menggunakan GC-MS Thermo Scientific Trace 1310 ISQ single quadrupole dengan metode MacLeod dkk. (1993) dan Grasshoff dkk. (1983).
Analisis Total Populasi Mikroorganisme
Total populasi mikroorganisme dianalisis menggunakan metode TPC. 1 g sampel diencerkan dengan 50 ml larutan NaCl 0,8%. Kemudian diambil 1 ml untuk diencerkan lagi secara seri dengan kelipatan 1:10 menggunakan akuades. Hasil pengenceran kemudian ditanam dengan metode tuang pada cawan petri yang berisi media agar dan biarkan selama 18-24 jam dalam inkubator. Selanjutnya hitung koloni yang tumbuh menggunakan colony
counter.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses co-composting tanah terkontaminasi PAH dengan sampah organik ini bertujuan untuk menstimulasi pertumbuhan bakteri indigenous sehingga dapat beradaptasi dan diharapkan mampu mendegradasi PAH. Proses stimulasi pertumbuhan bakteri tersebut sangat dipengaruhi oleh suhu, kadar air, pH, dan ketersediaan oksigen serta nutrien.
Suhu pada awal proses co-composting di rasio T/S 0/100 mengalami sedikit peningkatan dari 32°C menjadi 32,2-33°C di H-15 dan kemudian turun dan stabil pada kisaran suhu 30-31°C hingga akhir proses co-composting. Sedangkan pada rasio T/S yang lain suhu turun dari yang awalnya 31,5-32°C menjadi 30-31°C dan juga stabil pada kisaran tersebut hingga akhir proses co-composting (Gambar 1). Suhu yang cukup tinggi tersebut merupakan pengaruh aktivitas mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik yang menghasilkan CO2, air,
biomassa, dan energi berupa panas. Suhu kemudian turun karena penambahan tanah yang memiliki struktur berpori sehingga panas dapat lebih mudah terlepas karena terdorong oleh udara dari aerasi yang dilakukan. Kisaran suhu yang dicapai tersebut menandakan bahwa proses co-composting berlangsung pada fase mesofilik yaitu 20-40°C (Trihadiningrum, 2012).
Gambar 1 menunjukkan pola perubahan suhu yang hampir sama dengan suhu ruang. Hal ini
menandakan bahwa suhu lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap perubahan suhu yang terjadi dalam reaktor. Namun, tidak terlihat perbedaan suhu yang besar pada variasi pH yang dilakukan sehingga pH tanah tidak mempengaruhi perubahan suhu yang terjadi.
Salah satu faktor yang juga memiliki pengaruh penting dalam proses co-composting adalah pH. Variasi dan perubahan pH tanah yang dilakukan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar tersebut menunjukkan bahwa variasi pH asam yang awalnya (H-0) berkisar antara 5-5,3 meningkat hingga H-30 menjadi netral yaitu 6,5-7 dan terus berada pada kisaran tersebut sampai dengan H-98. Pada variasi pH netral (6-7) juga mengalami sedikit peningkatan yang berkisar antara 6,5-7,4 hingga H-98.
(a) Variasi pH Tanah Asam (b) Variasi pH Tanah Netral
Gambar 1. Perubahan Suhu Selama Proses Co-Composting
(a) Variasi pH Tanah Asam (b) Variasi pH Tanah Netral
Gambar 2. Perubahan pH Selama Proses Co-Composting
Peningkatan pH yang terjadi disebabkan oleh terbentuknya H2CO3 sebagai buffer pH
dari reaksi H2O dan CO2 yang merupakan hasil dari metabolisme bahan organik oleh bakteri.
Selain itu, peningkatan pH juga disebabkan oleh proses nitrifikasi yang melepaskan H+ sehingga tergantikan oleh kation-kation basa yang terdapat pada sampah organik (Hassibuan dkk., 2012). Peningkatan pH tersebut menyebabkan proses co-composting lebih lama berlangsung pada kondisi pH netral yang merupakan pH optimum untuk pertumbuhan bakteri. Sehingga proses co-composting ini lebih optimal berlangsung pada pH tanah yang netral.
Kadar air merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan bakteri karena bakteri hanya dapat menggunakan nutrien yang terlarut dalam air sebagai sumber energinya. Kadar air optimum yang diperlukan oleh bakteri adalah 50-60%. Kadar air pada proses
co-composting ini terjaga pada kisaran optimum tersebut (Gambar 3) dengan adanya moisture aeration yang dilakukan. Moisture aeration menyebabkan uap air yang terlepas dapat
digantikan oleh uap air yang masuk bersamaan dengan udara yang alirkan. Seperti Antizar-Ladislao dan Russel (2007) yang melakukan moisture aeration dalam penelitiannya untuk menjaga kadar air dalam proses co-composting.
Selama proses co-composting berlangsung, jumlah populasi bakteri pada 5 rasio T/S terus mengalami peningkatan yang dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan gambar tersebut, jumlah populasi bakteri tertinggi dalam kurun waktu singkat (H-60) ditemukan pada rasio T/S 50/50 yang mencapai 1,69x1020 CFU/g. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh ketersediaan bahan organik dalam bahan baku. Hal ini ditunjukkan oleh rasio C/N yang diketahui berkisar antara 12,59; 13,32; 16,31; 18,64; dan 23,93 secara berturut-turut untuk rasio T/S 100/0; 75/25; 50:50; 25:75: dan 0/100 meskipun tidak semua rasio T/S memenuhi kriteria rasio C/N yang disarankan oleh Antizar-Ladislao dan Russel (2007) yaitu 15-30.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, rasio C/N semakin meningkat seiring dengan semakin banyak sampah organik yang ditambahkan yang bertujuan sebagai starter aktivitas bakteri.
(a) Variasi pH Tanah Asam (b) Variasi pH Tanah Netral
Gambar 3. Perubahan Kadar Air Selama Proses Co-Composting
(a) Variasi pH Tanah Asam (b) Variasi pH Tanah Netral
Gambar 4. Perubahan Kadar Air Selama Proses Co-Composting
Peningkatan jumlah populasi bakteri selama proses co-composting berlangsung menandakan bahwa ketersediaan bahan organik sebagai nutrien untuk pertumbuhannya selalu terpenuhi pada semua rasio T/S. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan karbon organik (C-organik) untuk terikat pada matriks tanah. Menurut Zhang dkk. (2011), penambahan sampah organik mampu menurunkan koefisien sorpsi C-organik dari 4,1 menjadi 3,5-3,7. Ketersediaan bahan organik juga dipengaruhi oleh desorpsi yang terjadi selama proses
co-composting. Desorpsi bahan organik dari matriks tanah terjadi karena perubahan struktur
bahan baku yang menyediakan ruang (pori) lebih banyak sehingga proses difusi dapat berlangsung lebih baik (Wick, 2011). Proses difusi menyebabkan ikatan antara PAH dengan bahan organik maupun PAH dengan rantai panjang terputus sehingga bioavailabilitasnya meningkat.
Perubahan struktur bahan baku dipengaruhi oleh proses co-composting yang berlangsung dengan baik. Proses co-composting yang baik tersebut dipengaruhi oleh suhu, pH, kadar air, dan ketersediaan oksigen yang optimum sehingga dapat menunjang pertumbuhan bakteri. Moisture aeration yang mendukung ketersediaan oksigen dan menjaga kadar air pada kisaran optimum terbukti mampu berperan sebagai stimulan untuk pertumbuhan bakteri. Hal ini dapat dilihat pada rasio T/S 100/0 yang jumlah populasi bakterinya terus mengalami peningkatan walaupun tidak dilakukan penambahan sampah organik.
Gambar 4 menunjukkan pada variasi pH tanah asam pertumbuhan bakteri lebih tajam
dibandingkan dengan variasi pH tanah netral selama 30 hari pertama proses co-composting. Hal ini disebabkan oleh pH asam merupakan salah satu stimulan bagi pertumbuhan bakteri karena unsur hara dan mineral-mineral yang dibutuhkan oleh bakteri tersedia. Nilai pH asam selama periode waktu tersebut meningkat menjadi netral sehingga pada H-30 sampai dengan H-98 proses co-composting berlangsung dalam kondisi pH netral. Pertumbuhan bakteri terus meningkat mengingat pH netral merupakan kondisi optimal untuk pertumbuhan. Peningkatan jumlah populasi berlangsung dengan selisih yang tidak berbeda jauh antara kedua variasi pH.
Peningkatan jumlah populasi bakteri yang terjadi selama proses co-composting menunjukkan bahwa bakteri mampu beradaptasi terhadap keberadaan PAH. Semakin banyak jumlah populasi bakteri maka semakin tinggi pula aktivitas bakteri di dalamnya sehingga potensi degradasi 16 EPA-PAH juga akan semakin besar. Pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh suhu dimana dalam penelitian ini suhu berada pada fase mesofilik. Menurut Antizar-Ladislao dan Russel (2007) aktivitas bakteri pada suhu mesofilik lebih tinggi dibandingkan suhu termofilik. Suhu mesofilik tersebut menandakan bahwa bakteri yang tumbuh dan berkembang biak adalah bakteri mesofilik.
KESIMPULAN
Pertumbuhan bakteri yang terus mengalami peningkatan hingga H-98 menunjukkan bahwa penambahan sampah organik dengan kondisi co-composting yang baik (suhu, pH, dan kadar air) mampu berperan sebagai stimulan pertumbuhan.. Jumlah populasi bakteri yang terus bertambah menunjukkan bahwa ketersediaan nutrien yang dibutuhkan oleh bakteri terpenuhi meskipun di dalamnya terkandung PAH yang merupakan senyawa hidrofobik. Pertumbuhan bakteri menunjukkan bahwa bakteri mampu beradaptasi terhadap PAH sehingga berpotensi dapat mendegradasi PAH yang terkandung dalam bahan baku co-composting. Oleh karena itu, proses co-composting terbukti dapat diaplikasikan sebagai teknik bioremediasi tanah terkontaminasi PAH-batubara.
Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dede Falahuddin, S.Si dan Bapak Deny Yogaswara selaku peneliti di Laboratorium Kimia Organik Puslit Oseanografi LIPI yang telah membantu dan mengarahkan dalam proses analisis sampel penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Achten, C., dan Hofmann, T. (2009). Native Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) in
Coals – A Hardly Recognized Source of Environmental Contamination. Science of The
Total Environment, Vol. 407 (8): 2461-2473.
Antizar-Ladislao, B., Lopez-Real, J., Beck, A. J. (2004a). In-Vessel Composting–
Bioremediation of Aged Coal Tar Soil: Effect of Temperature and Soil/Green Waste Amendment Ratio. Environment International, 31: 173– 178.
Antizar-Ladislao, B., Lopez-Real, J., Beck, A. J. (2004b). Bioremediation of Polycyclic
Aromatic Hydrocarbon (PAH) Contaminated Waste Using Composting Approaches.
Environmental Science and Technology, 34: 249–289.
Antizar-Ladislao, B., dan Russell, N. J. (2007). In-Vessel Composting as a Sustainable
Bioremediation Technology of Contaminated Soils and Waste. Nova Science Publishers,
Badan Pusat Statistik (2013). Kalimantan Selatan Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Kalimantan Selatan.
Bamforth, S. M., dan Singleton, I. (2005). Bioremediation of Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons: Current Knowledge and Future Directions. Journal of Chemical
Technology and Biotechnology, 80: 723–736.
Bojes, H. K., dan Pope, P. G. (2007). Characterization of EPA’s 16 Priority Polycyclic
Aromatic Hydrocarbons (PAH) in Tank Bottom Solids and Associated Contaminated Soils at Oil Exploration and Production Sites in Texas. Reg. Toxicology and
Pharmacology. 47: 288-295.
Grasshoff, K., Enrhardt, M., Kremling, K. (1983). Method of Seawater Analysis. Second, Revised and Extended Edition. Verlag Chemie. Germany.
Hassibuan, Z. H., Sabrina, T., Sembiring, Br. M. (2012). Potensi Bakteri Azotobacter dan
Hijauan Mucuna Bracteata dalam Meningkatkan Hara Nitrogen Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit. Jurnal Agroekoteknologi, Vol. 1, No. 1.
Laumann, S., Micic, V., Kruge, M. A., Achten, C., Sachsenhofer, R. F., Schwarzbauer, J., Hofmann, T. (2011).Variations in Concentrations and Compositions of Polycyclic
Aromatic Hydrocarbons (PAH) in Coals Related to the Coal Rank and Origin.Environmental pollution, 159(10): 2690-2697.
MacLeod, W. D. Jr., Brown, D. W., Friedman, A. J., Burrows, D. G., Maynes, O., Pearch, R. W., Wigren, C. A., Bogar, R. G. (1993). Standard Analytical Procedures of the NOAA
National Analytical Facility. 1985-1986.
Mizwar, A., dan Trihadiningrum, Y. (2014). Potensi Bioremediasi Tanah Terkontaminasi
Polycyclic Aromatic Hydrocarbons dari Batubara dengan Composting. Seminar
Nasional Waste Management II. ISBN: 976-002-95595-7-6.
Ribeiro, J., Silva, T., Mendonca-Filho, J. G., Flores, D. (2012). Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons (PAH) in Burning and Non-Burning Coal Waste Piles. Journal of
Hazardous Material, Vol. 199-200; 105-110.
Richter, H., dan Howard, J. B. (2000). Formation of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons and
Their Growth to Soot—A Review of Chemical Reaction Pathways. Progress in Energy
and Combustion Science, Vol. 26 (4–6); 565-608.
Schwarzbauer, J., Littke, R., Weigelt, V. (2000). Identification of Specific Organic
Contaminants for Estimating the Contribution of the Elbe River to the Pollution of the German Bight. Organic Geochemistry, 31: 1713-1731.
Wick, A. F., Haus, N. W., Sukkariyah, B. F., Haering, K. C., Daniels, W. L. (2011).
Remediation of PAH-Contaminated Soils and Sediments: A Literature Review.
Environmental Soil Science, Wetland Restoration and Mined Land Reclamation.
Zhang, Y., Zhu, Y., Houot, S., Qiao, M., Nunan, N., Garnier, P. (2011). Remediation of
Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) Contaminated Soil Through Composting with Fresh Organik Wastes. Environmental Science Pollutan Research, 18: 1574–1584.