• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Perwilayahan Pembangunan dan Pembangunan Wilayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA Perwilayahan Pembangunan dan Pembangunan Wilayah"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1. Perwilayahan Pembangunan dan Pembangunan Wilayah

Tinjauan pustaka dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai pendekatan secara komprehensif, mendalam dan terperinci, sehingga dapat menghasilkan suatu rangkuman penelitian yang terukur dan terarah. Kemudian dikembangkan menjadi proposisi-proposisi untuk mengarahkan penelitian ini menjawab permasalahan penelitian dimaksud. Bertolak dari maksud tersebut, tinjauan pustaka diarahkan pada beberapa tinjauan yaitu: pertama) tinjauan terhadap pandangan-pandangan pemikiran teoritis yang digunakan sebagai landasan teori pada penelitian ini. kedua) mengemukakan beberapa studi atau penelitian sejenis yang dapat menunjukkan berbagai fenomena dan rujukan analisis terhadap pengembangan kawasan sentra produksi pada wilayah kepulauan. Dengan demikian pembangunan yang seimbang atas dasar kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah dalam bingkai negara kepulauan (archipelagic state) dapat mewujudkan azas pemerataan berdasarkan kekuatan potensi ekonomi lokal yang berbasis local spesific wilayah.

Pembangunan adalah suatu proses dinamis untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada tingkat yang lebih tinggi dan dapat memenuhi taraf kesejahteraan masyarakat, dimana pembangunan itu sendiri tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan pokok saja tetapi juga mempunyai kebutuhan lainnya yang sangat banyak jumlahnya (Adisasmita, 2005). Sementara pembangunan wilayah muncul atau berkembang karena adanya ketidakpuasan dari pakar

▸ Baca selengkapnya: wilayah tropik, subtropik, dan kutub merupakan perwilayahan yang didasarkan atas keadaan alamiah berdasarkan bentuk lahan

(2)

ilmu sosial ekonomi terhadap rendahnya perhatian dan analisis ekonomi yang berdimensi spasial.

Menurut Misra (1977), pembangunan wilayah merupakan ilmu pengatahuan yang bukan hanya merupakan pendisagregasian pembangunan nasional tetapi pembangunan wilayah terletak pada perlakuan terhadap dimensi spasial. Perlakuan tersebut menyebabkan keterbelakangan suatu wilayah yang dipengaruhi oleh rendahnya tingkat aktivitas perekonomian wilayah, misalnya daya tarik wilayah, kondisi sumberdaya alam maupun manusia serta rendahnya insentif yang ditawarkan. Insentif dapat bervariasi dari infrastruktur sampai pada persoalan kenyamanan dan keamanan wilayah yang bersangkutan. Sedangkan menurut Abustan (1998), pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan usaha yang luas cakupannya serta tidak terbatas pada pengembangan daerah pusat (growth) saja tetapi pengembangan tersebut harus meliputi daerah belakangnya (hinterland).

Di sisi lain menurut Azis (1994), daya tarik suatu wilayah dapat dilihat dari berbagai keuntungan yang bersumber dari gejala spasial (spatial-juxtaposition), seperti sejauh mana suatu kebijakan dapat mempengaruhi atau menciptakan berbagai kebijakan serta insentif yang ditawarkan untuk mengembangkan wilayah-wilayah terbelakang. Jenis insentif yang paling tepat untuk suatu wilayah ditentukan oleh sifat kegiatan ekonomi yang ingin dibuatnya. Meskipun kadang-kadang kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat dan kadang-kadang insentif tersebut tidak diciptakan tetapi insentif tersebut sangat perlu untuk diciptakan dan infrastruktur harus diusahakan menjadi semakin memadai, karena berhubungan dengan adanya

(3)

unsur keterkaitan antarwilayah (interregional linkages) dan pengembangan sektor unggulan (key sector) wilayah tersebut.

Bila ditinjau dari aspek lokasi (location) maka pembangunan yang tidak didasarkan pada kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah serta keterkaitan antarwilayah (interregional linkages) akan sulit untuk memacu atau mendorong setiap wilayah meningkatkan perekonomian atau aktivitas produktivitas ekonomi wilayahnya. Keterkaitan antarwilayah (interregional linkages) maupun potensi lokal (local spesific) wilayah merupakan faktor positif, baik ditinjau secara politis maupun dari segi kepentingan integrasi ekonomi wilayah (daerah) maupun nasional serta turut mempengaruhi wilayah (periphery) di sekitar wilayah pusat pertumbuhan (growth pole) yang lambat perkembangan perekonomiannya.

Menurut Budiharsono (2001), pembangunan wilayah tidak hanya terletak pada perlakuan dimensi spatial, tetapi setidaknya perlu ditopang oleh enam pilar analisis yaitu: analisis biogeofisik, sosiobudaya, kelembagaan, Lingkungan, lokasi, dan ekonomi seperti Gambar 1.

Sumber: Budiharsono, 2001

(4)

Analisis ekonomi merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi wilayah sehingga perlu dilakukan sebagai upaya pemanfaatan tata ruang wilayah yang berbasis pada potensi lokal (local spesific).

Bila dianalisis secara mendalam sebenarnya pertimbangan-pertimbangan dalam membuat konsep perwilayahan seperti yang dikemukakan oleh Nijkamp (1979), yaitu dengan menggabungkan konsep perwilayahan seperti:

1. Homogenous Region, yaitu pengelompokan wilayah yang didasarkan pada unsur kedekatan dengan karakteristik yang sama atau hampir bersamaan seperti pertanian, peternakan dan perikanan sehingga didalam pembangunan wilayah dapat dirumuskan dengan kebijakan atau pola program yang sesuai dengan potensi wilayah-wilayah yang bersangkutan.

2. Konsep Nodal Region atau Kosep Polarized Region, yaitu konsep yang lebih banyak menekankan pada aspek distribusi dan transportasi atau lebih tegasnya konsep ini lebih banyak diterapkan dengan memperhatikan tingkat keterkaitan antar masing-masing sub wilayah.

3. Administration Region, yaitu konsep perwilyahan yang lebih difokuskan pada wilayah administrasi. Pada saat wilayah yang telah didasarkan sesuai pada otonomisasi daerah.

McCann (2001), mengartikan wilayah sesuai dengan konsep poles de croisance atau konsep Growth Poles seperti yang dikemukakan oleh Perroux (1950), yaitu wilayah sebagai kutub pertumbuhan atau pusat pertumbuhan. Penekanan wilayah oleh McCann lebih pada pengertian kutub pertumbuhan dalam ruang ekonomi. Dimana ruang ekonomi sebagai unit yang paling dominan atau yang memegang peran utama pada pengembangan wilayah.

(5)

Adanya kecenderungan terkonsentrasinya aktivitas pembangunan karena fasilitas pelayanan yang lebih lengkap pada wilayah tertentu untuk sektor-sektor tertentu seperti perdagangan, perindustrian, jasa, transportasi dan komunikasi di wilayah pusat pertumbuhan sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan antarwilayah (regional disparity) yang semakin melebar di wilayah tersebut. Bila perwilayahan pembangunan didasarkan pada prinsip pemusatan (agglomerasi) maka pusat perekonomian wilayah atau aktivitas ekonomi seluruhnya terkonsentrasi di pusat wilayahnya sendiri. Sedangkan wilayah pinggiran (periphery) aktivitas ekonomi wilayahnya akan berada pada wilayah yang lebih kecil dengan aktivitas ekonomi yang sangat rendah di wilayahnya juga.

Menurut Christaller (1933), dan Reksohadiprodjo (2001), perwilayahan pembangunan pada wilayah pusat (kota/growth centres) lebih cepat mengalami kemajuan karena didukung oleh ketersediaan tanah yang produktif. Dengan demikian apa yang disebut dengan tempat sentral (central palace) pada hakikatnya adalah pusat wilayah (kota). Sehingga muncul berberapa anggapan yang disampaikan oleh Christaller dan Losch (1940), seperti:

1. Hanya ada dua kegiatan yaitu kegiatan di wilayah central/pusat/kota dan di wilayah pheryperi/pinggiran/desa.

2. Kegiatan di wilayah pinggiran yaitu pemakaian ekstensif tanah untuk pertanian serta tidak ada ekonomi aglomerasi

3. Kegiatan tempat central/pusat merupakan pemakaian intensif tanah dan sifatnya ekonomi aglomerasi

4. Masyarakat yang melakukan kegiatan-kegiatan tersebut saling membutuhkan hasil kegiatan masing-masing

(6)

5. Kualitas tanah sama dan ongkos transport proposional dengan jarak

6. Kegiatan pada wilayah pinggiran dan permintaan terhadap hasil pusat/kota berdistribusi yang sama

Berbagai aktivitas kegiatan pembangunan suatu wilayah seperti di atas harus didasarkan pada berbagai perencanaan pembangunan wilayah. Menurut Sukirno (1976), perlu dilakukan beberapa pendekatan yang lebih dikenal dengan pendekatan perwilayahan berdasarkan administrasi seperti:

1. Perencanaan dan pembangunan ekonomi wilayah lebih mudah dilaksanakan karena berbagai kebijakan dan rencana pembangunan wilayah diperlukan tindakan-tindakan dari suatu wilayah administrasi tersebut.

2. Wilayah yang batasnya ditentukan dengan berdasarkan pada satuan administrasi lebih mudah untuk diamati atau dianalisis, hal ini berkaitan dengan berbagai data yang telah lama dilakukan.

Berkaitan dengan Sukirno maka dalam era globalisasi dewasa ini, prinsip efisiensi dalam alokasi sumberdaya (resources alocation) yang optimal akan berkembang menjadi berbagai alokasi produk (product alocation) yang menjangkau pasar secara luas seperti yang dikemukakan oleh Porter (1990), sebagai berikut:

1. Memasuki pasar global maka tidak ada lagi pembatas dalam alokasi sumberdaya dan alokasi pasar

2. Kegiatan ekonomi menjadi Stateless, tidak ada batas negara artinya yang menggunakan tidak harus yang menghasilkan.

3. Adanya pemahaman tentang Resources Basedless artinya perencanaan dan pembangunan wilayah sudah tidak bergantung pada asal faktor produksi.

(7)

Menurut Hidayat (2000), ada beberapa alasan pokok mengapa pembagunan daerah atau wilayah pada era otonomi perlu dilakukan yaitu : 1. Political equlity

2. local accountability 3. local responsiveness

Ketiga unsur di atas sangat penting bagi upaya peningkatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan sosial di daerah. Namun dari ke tiga alasan pokok diatas sering yang menjadi perhatian utama adalah political equity karena ingin menyenangkan masyarakat setempat tanpa memperhatikan alasan pokok lainnya.

Pembangunan wilayah pada era otonomi daerah seharusnya dapat mengembangkan dan mempercepat daya serta laju pertumbuhan yang kuat dalam lingkungan wilayahnya dan dapat mendorong perkembangan wilayah disekitar yang relatif lebih terbelakang (Adisasmita, 2005). Sedangkan menurut Ariani dan Saliem (2002), dalam era globalisasi dan perdagangan bebas yang sangat kompetitif, Indonesia akan menghadapi tantangan berat dalam merumuskan kebijakan pangan yang mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Untuk itu dalam kondisi demikian, ketersediaan pangan ditingkat wilayah baik nasional maupun regional harus dapat dipacu serta lebih berorientasi pada pasar internasional dengan mendahulukan kepentingan nasional melalui percepatan pembangunan wilayah dengan local spesific yang dimiliki wilayah tersebut.

Wacana-wacana tentang konsep pembangunan wilayah atau pengembangan wilayah bukan merupakan hal baru, namun implementasi model pembangunan wilayah yang lebih berorientasi pada otonomi relatif masih terbatas

(8)

di Indonesia. Secara umum konsep dasar pembangunan ini telah diperkenalkan oleh Tiebout (1956), Isard (1960), dan Rusastra (2004), dimana konsep dasar paradigmanya sebagai berikut:

1. Sinergisme hubungan antar wilayah pusat maupun wilayah belakang (hinterland), membutuhkan dukungan kelembagaan (pemerintah daerah) sehingga terjadi re-distribusi sumberdaya dan komoditas berdasarkan prinsip ekonomi.

2. Akumulasi modal dapat diatasi melalui mekanisme pasar sehingga terjadi realokasi modal dengan sasaran manfaat sosial yang lebih optimal.

3. Terjadinya kemunduran (diminishing return) di pusat pertumbuhan (growth pole) pada suatu waktu tertentu akan menjadi kenyataan, sebagai akibat dari berkembangnya wilayah-wilayah terbelakang (hinterland).

Harun (2005), mengemukakan bahwa pembangunan wilayah sebaiknya tidak dipengaruhi oleh batasan-batasan wilayah yang didasarkan atau dipengaruhi oleh batasan administratif pemerintahan, tetapi oleh economic of scale dan economic of scope dari kawasan pengembangan yang dirancang. Pengembangan wilayah yang diharapkan adalah dengan memperhatikan karakteristik, realitas dan eksistensi perkembangan kawasan pengembangan di daerah tersebut.

Ohlin (1933), dan Sjafrizal (1998), mengatakan bahwa pembangunan wilayah bila didasarkan pada sudut pandang Teori Lokasi (Export-Base Models) maka pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (region) akan lebih banyak ditentukan oleh keuntungan lokasi yang selanjutnya dapat digunakan oleh wilayah tersebut sebagai kekuatan ekspor.

(9)

Menurut Hikam (1997), wilayah yang memiliki keuntungan lokasi dapat menentukan wilayahnya sebagai kawasan produksi yang didasarkan pada beberapa pertimbangan seperti:

1. Wilayah tersebut merupakan pusat kegiatan industri dan perdagangan.

2. Wilayah tersebut memiliki kekuatan dalam mendorong (push) kegiatan ekonomi daerah belakangnya (hinterland).

3. Wilayah tersebut memiliki kualitas infrastruktur yang memadai untuk mendukung kegiatan ekonomi.

Adam (1994), mengemukakan secara konseptual masalah-masalah yang dihadapi setiap wilayah bersumber dari perbedaan karakteristik ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing wilayah. Dengan membiarkan setiap wilayah membangun wilayahnya sendiri-sendiri maka keseimbangan pembangunan yang diharapkan akan sangat mengandung resiko yang cukup besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Untuk itu pembangunan wilayah memerlukan intervensi dengan menyusun pola pembangunan terpadu baik ditingkat daerah maupun pusat.

Menurut Ursula (1957), bahwa pembangunan ekonomi wilayah sangat berkaitan dengan kemampuan atau kapasitas potensi lokal yang dimiliki oleh wilayah tersebut baik di wilayah pusat (pole/core) maupun wilayah belakangnya (periphery). Sedangkan Jhingan (1975), menyatakan perkembangan ekonomi wilayah sebagai suatu perubahan yang terjadi pada faktor-faktor ekonomi yang menentukan pertumbuhan wilayah. Faktor-faktor ekonomi tersebut dapat mendorong dan mempercepat perubahan perkembangan ekonomi wilayahnya.

(10)

Harmon dan Mayer (1986), Mustopadidjaja (1996), berpendapat bahwa pembangunan wilayah harus berpatokan pada beberapa hal yaitu:

1. Prakarsa dan pengambilan keputusan harus dilakukan secara bertahap dan memenuhi kebutuhan yang diletakkan pada masyarakat itu sendiri (partisipatoris).

2. Adanya kemampuan dari masyarkat wilayah itu untuk mengelola dan memobilisasi sumber-sumber yang ada (local spesific).

3. Karakteristik wilayah.

4. Penekanan pada social learning antara birokrat dengan masyarakat.

5. Adanya jaringan (networking) antara birokrat dengan masyarakat atau dengan lembaga swadaya masyarakat.

Menurut Lincolin (1999), perbedaan karakteristik atau kondisi wilayah membawa implikasi pada corak pembangunan yang diterapkan berbeda pada wilayah-wilayah tersebut. Peniruan pola kebijakan yang diadopsi mentah-mentah dari keberhasilan pembangunan wilayah lain belum tentu berhasil pada wilayah lainnya. Pola kebijakan seperti ini biasanya tidak berhasil bila diterapkan pada wilayah kepulauan seperti Indonesia (archipelagic state/archipelago). Oleh sebab itu kebijakan pembangunan yang diterapkan pada suatu wilayah harus sesuai dengan kondisi potensi, kebutuhan dan masalah wilayah yang bersangkutan. Untuk itu berbagai penelitian yang mendalam tentang potensi atau kapasitas wilayah harus dilakukan sesegera mungkin sehingga berguna dalam menentukan pola kebijakan perencanaan pembangunan wilayah tersebut khususnya wilayah kepulauan (archipelago) yang berbeda dengan wilayah daratan (continental).

(11)

Sampai saat ini belum banyak penelitian tentang proses perkembangan pembangunan ekonomi wilayah ditinjau dari aspek kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah sehingga sulit memberikan gambaran tentang pola perkembangan pembangunan wilayah di suatu negara. Namun secara global dapat dikatakan bahwa regionalisasi kegiatan ekonomi suatu wilayah berhubungan erat dengan pola perkembangan peranan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat dalam keseluruhan kegiatan ekonomi disetiap wilayahnya.

Menurut Streeten (1981), kurangnya perhatian masyarakat dan bahkan mungkin tidak mau menerima perubahan kegiatan ekonomi yang dianjurkan pemerintah, seolah-olah mereka menolak niat baik pemerintah untuk meningkat taraf hidup mereka. Streeten melihat penolakan masyarakat terhadap perubahan yang diingini pemerintah karena masyarakat memandang dari sisi lain. Hal ini menurutnya berkaitan dengan modal yang harus dikeluarkan oleh masyarakat yang bila pada suatu waktu pada kenyataannya hasil yang diperoleh tidak dapat diharapkan sehingga pada akhirnya masyarakat harus mengorbankan harga diri mereka dengan terpaksa harus menjual harta benda mereka, karena adanya kesalahan mengidentifikasi masalah oleh pemerintah atau pembuat kebijakan.

Dengan demikian pembangunan wilayah tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tetapi bagaimana keikutsertaan masyarakat dalam penentuan proses pelaksanaan pembangunan di wilayahnya sehingga apa yang masih menjadi keraguan di kalangan masyarakat menjadi suatu kepastian dapat dapat meningkatkan taraf hidup serta tidak mengkuatirkan kelangsungan hidup mereka sehari-hari.

(12)

2.1.2. Penataan Ruang Wilayah

Menurut Asyiawati (2002), bentuk-bentuk penataan ruang wilayah dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan, meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya.

2. Penataan ruang berdasarkan aspek administrasi tata ruang administrasi meliputi rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan tata ruang kabupaten/ kota.

3. Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi kawasan perdesaan, kawasan perkotaan dan kawasan tertentu seperti kegiatan pembangunan skala besar untuk kegiatan industri, pariwisata beserta sarana dan prasarananya.

Sementara Misra (1981), mengatakan pengembangan spatial meliputi dua faktor utama yaitu:

1. Adanya pola pemukiman di dalam wilayah.

2. Adanya tata guna lahan yang dikelola secara optimal dan eksploitasi sumberdaya yang terkendali.

Menurut Wikantiyoso (1996), tantangan pembangunan wilayah pusat terletak pada penciptaan keseimbangan wilayah sehingga diperlukan keterpaduan pembangunan ekonomi dengan kebijakan pengembangan tata ruang (spatial) wilayah dalam skala regional.

Parlindungan (1993), menjelaskan Undang-undang No.24 tahun 1992 tentang penataan ruang meliputi:

(13)

1. Pencapaian tata ruang kawasan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang dalam pembangunan.

2. Meningkatkan fungsi kawasan antara perkembangan lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat.

3. Menata atau mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif dari pengelolaan lingkungan alam, lingkungan alam buatan dan lingkungan sosial.

Undang-undang penataan ruang wilayah nasional maupun provinsi secara makro sudah mulai diperdebatkan sejak Desember tahun 1977 di kota Ambon. Dalam perkembangannya kerangka teoretis penataan ruang wilayah didasarkan pada sejumlah sistem yang telah berkembang sampai dewasa ini.

Dalam undang-undang penataan ruang wilayah yang dimaksudkan dengan: 1. Ruang adalah: wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah. Tempat dimana manusia dan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

2. Tata Ruang adalah: wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak.

3. Penataan ruang adalah: proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

4. Rencana Tata Ruang adalah: hasil perencanaan tata ruang.

5. Wilayah adalah: ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur-unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

(14)

7. Kawasan Sentra Produksi adalah: wilayah yang kegiatan ekonominya terkonsentrasi pada suatu aktivitas ekonomi tertentu dengan pemanfaatan ruang serta unsur yang terkait padanya sesuai aspek fungsional dan potensi lokal wilayahnya.

Sistematika undang-undang penataan ruang wilayah diatur berdasarkan: 1. Tata Ruang Administratif yakni, tata ruang nasional, tata ruang daerah

(provinsi, kabupaten dan kota).

2. Fungsi Kawasan yakni, fungsi yang didasarkan pada aspek kegiatan kawasan yang meliputi, fungsi perdesaan, perkotaan dan fungsi kawasan tertentu dengan memperhatikan aspek keserasian, keselarasan, keseimbangan fungsi budi daya, pengelolaan secara terpadu dan fungsi lindung (Parlindungan, 1993)

Wilayah kepulauan Provinsi Maluku adalah salah satu wilayah yang penataan ruangnya harus berorientasi pada aspek ruang kelautan (bahari/maritim). Hal ini disebabkan karena laut adalah matra ruang dari pola dasar pembangunan daerah serta menjadi acuan untuk penyusunan berbagai kebijakan pembangunan tentang pemanfaatan ruang wilayahnya.

Untuk mewujudkan keterkaitan, keselarasan dan keseimbangan perkembangan wilayah maka salah satu pengembangan kawasan di daerah ini di arahkan pada pengembangan kawasan sentara produksi yang berorientasi pada pemanfaatan kawasan yang disesuaikan dengan aspek sosial budaya, ekonomi dan aspek keuntungan lokasi (locational) berbasis kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayahnya.

(15)

Provinsi Maluku di era otonomi memiliki beberapa wilayah otonomnya (kabupaten/kota) dengan otonomi yang luas maka sesegera mungkin melakukan berbagai model perubahan arah dan strategi kebijakan dalam pengembangan wilayahnya. Berkaitan dengan hal tersebut Provinsi Maluku secara makro memiliki kemampuan untuk mengembangkan wilayahnya dengan memanfaatkan peluang-peluang yang bersifat lokal, nasional maupun global. Peluang wilayah lokal tersebut seperti kapasitas dan potensi lokal wilayah (local spesific) dengan berbasis pada keunggulan sektoral wilayahnya seperti sektor bahari/maritim.

Pada umumnya penataan ruang wilayah diarahkan untuk dapat: 1. Menyusun arahan pengembangan wilayah.

2. Memanfaatkan pedoman pemanfaatan ruang secara terpadu dan menjadi acuan pembangunan.

3. Memadukan keserasian penataan ruang kabupaten, kota dan provinsi.

4. Melakukan revisi terhadap rencana-rencana tata ruang wilayah atau arah dan strategi kebijakan pembangunan ekonomi wilayah yang tidak sesuai dengan kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah.

Sasaran yang dicapai dalam penataan ruang wilayah berfungsi untuk: 1. Merumuskan arahan pengelolaan kawasan seperti, kawasan lindung,

budidaya/sentra produksi.

2. Merumuskan arahan pengelolaan kawasan perdesaan, perkotaan dan kawasan tertentu.

3. Merumuskan arahan pengembangan kawasan-kawasan yang menjadi prioritas pengembangan selama jangka waktu yang diperlukan.

(16)

4. Merumuskan arahan kebijakan penatagunaan lahan/tanah, air, udara, hutan, mineral dan sumber daya alam lainnya.

Keberhasilan pengembangan kawasan sentra produksi akan memfasilitasi pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota untuk memacu dan menerapkan prinsip-prinsip otonomi yang didasarkan pada kapasitas dan potensi lokal (local spesific). Orientasi wilayah dengan menerapkan prinsip otonomi haruslah didasarkan pada keunggulan spasial dan potensi lokal wilayah tersebut. Prinsip seperti ini didukung oleh karakteristik setiap wilayah yang heterogen dan memiliki potensi atau keunggulan yang besar antarwilayah (interregional linkages) dengan wilayah lainnya serta intersectoral linkages. Keunggulan potensi local (local spesific) tersebut seharusnya mampu menjadi modal dasar sebagai penggerak utama (prime mover) pembangunan ekonomi wilayah .

Penetapan 21 Kawasan Strategis Nasional (KSN) oleh Direktur Penataan Ruang Wilayah dari sudut kepentingan ekonomi nasional belum memperlihatkan peran yang menonjol dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Kawasan Strategis Nasional dimaksud hanya memperhatikan berbagai kebijakan pengembangan wilayah pada Kawasan Barat Indonesia dengan penetapan kawasan andalan darat dan laut di Kawasan ini. Dengan penetapan kawasan strategis tanpa memperhatikan potensi jangka panjang wilayah maka sudah tentu akan menimbulkan kecemburuan di antara wilayah khususnya Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia.

Kawasan Strategis Nasional sebaiknya tidak diarahkan hanya pada salah satu wilayah tetapi harus didasarkan pada kapasitas atau potensi wilayah yang saling berkaitan antara potensi wilayah andalan laut dengan wilayah darat, antara

(17)

wilayah timur dengan laut sebagai andalannya dan wilayah barat dengan potensi daratnya. Sehingga wilayah-wilayah ini akan berada pada suatu kawasan yang saling membutuhkan dengan tidak merugikan wilayah lain atau saling menguntungkan.

Pengembangan seperti hal di atas biasanya lebih dikenal dengan istilah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) namun sampai saat ini konsep-konsep yang bagus belum dan tidak mendapat respon karena banyak pengambil kebijakan di pusat maupun di daerah tidak memahami betapa pentingnya suatu konsep dalam mengembangkan wilayahnya maupun wilayah di sekitarnya dengan lebih dulu menemukenali atau mengidentifikasi dan menentukan potensi lokal wilayah (local spesific) berbasis karakteristik wilayah itu sendiri.

2.1.3. Konsep Pusat Pengembangan Wilayah

Richardson (1978), mengemukakan bahwa pusat pengembangan wilayah meliputi empat unsur yaitu :

1. Harus ada sekumpulan kegiatan atau industri pada suatu tempat atau lokasi tertentu.

2. Mampu menggerakkan atau merangsang pertumbuhan ekonomi yang dinamis. 3. Industri yang berada dalam satu kawasan dan saling terkait antara satu dengan

lainnya.

4. Harus ada industri induk.

Lokasi geografis seperti wilayah kepulauan dapat memberikan manfaat dan keuntungan antarwilayah (interregional) bila terjadi keuntungan agglomerasi yang diperoleh dari lokasi sumberdaya, tenaga kerja dan fasilitas prasarana

(18)

lainnya. Menurut Perroux (1955), pusat pengembangan wilayah melalui pemanfaatan Agglomeration Economic yaitu :

1. Scale Economies

2. Localization Economies 3. Urbanization Economies

Scale Economies dimaksudkan semacam keuntungan yang dapat timbul dari pusat pengembangan dimana industri yang bergabung di dalamnya dapat menjalankan kegiatan produksi dengan skala besar, karena terjaminnya kebutuhan terhadap bahan baku, maupun pemasaran hasil produksi. Localization Economies yaitu adanya penekanan ongkos produksi, karena adanya saling keterkaitan antar industri, sehingga kebutuhan akan bahan baku dengan ongkos transportasi yang minimum dapat diwujudkan. Sedangkan Urbanization Economies timbul karena adanya fasilitas-fasilitas pelayanan sosial, ekonomi dan lainnya yang dapat dipergunakan secara bersama-sama sehingga ongkos dapat ditekankan.

Menurut Wibisono (2005), pusat pengembangan wilayah (regional) di Indonesia menjadi sangat penting karena beberapa alasan yaitu:

1. Alasan politik maksudnya dengan keragaman etnik yang begitu pural, tidak ada isu yang lebih sensitif selain isu kedaerahan.

2. Alasan disparitas pendapatan regional maksudnya pembagian pendapatan yang bersumber dari distribusi pendapatan sumber daya alam yang sangat tidak merata.

3. Alasan dinamika spasial maksudnya daerah harus memegang peran penting dalam kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan masyarakat daerah tersebut.

(19)

4. Alasan desentralisasi maksudnya bagaimana hubungan antar daerah dapat dilakukan, seberapa besar desentralisasi harus diberikan kepada daerah agar desentralisasi tetap dapat dilaksanakan secara konsisten dengan tujuan kesatuan dan persatuan nasional.

Sedangkan menurut Weber (1979), Hoover (1948), Mills (1972), dan Juoro (1989), dikatakan bahwa konsep pusat pengembangan ditujukan untuk menjadikan suatu wilayah lebih terkonsentrasi (agglomerasi) dari seluruh aktivitas ekonomi, hal seperti ini terjadi karena:

1. Pendekatan keberagaman (diversity) sumberdaya, skala ekonomi (scale of economies) produksi dan aglomerasi konsumen.

2. Faktor-faktor unik yang dimiliki oleh wilayah tersebut.

3. Adanya kegiatan ekonomi berskala besar (large-scale economies). 4. Adanya ekonomi lokalisasi (localization economies).

Model pusat pengembangan wilayah oleh Dixit (1977), lebih ditekankan pada pengertian kota sebagai pusat aktivitas dan lebih bersifat umum. Tema utama dari penulisannya adalah ukuran pusat pengembangan (optimum size), yang ditentukan oleh keseimbangan antara skala ekonomi produksi (economies of scale in production), dan disekonomi (diseconomies) transportasi.

Fujita dan Jacques (2002), melihat pusat pengembangan wilayah dari sisi eksternal terhadap suatu industri dimana ekonomi urbanisasi (urbanization economies) sangat dipengaruhi oleh adanya ekonomi lokalisasi yaitu lokalisasi ini merupakan faktor eksternal terhadap aktivitas ekonomi (perusahaan) pada suatu lokasi tertentu tetapi internal terhadap industrinya. Di sisi lain Warpani (1984), menyatakan bahwa ada tiga hubungan yang dapat diklasifikasikan dalam hal

(20)

keterkaitan atau ketergantungan antara suatu aktivitas ekonomi disuatu wilayah dengan aktivitas ekonomi lainnya dan wilayah diluar wilayah tersebut. Ketiga macam hubungan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hubungan langsung yaitu; pengaruh yang secara langsung dirasakan oleh sektor yang menggunakan input dari output sektor yang bersangkutan.

2. Hubungan tidak langsung yaitu; pengaruh terhadap suatu sektor yang outputnya tidak digunakan sebagai input bagi output sektor yang bersangkutan.

3. Hubungan sampingan yaitu; pengaruh tidak langsung yang jangkauannya lebih panjang daripada pengaruh langsung tersebut diatas.

Menurut Chen dan Mattoo (2004), mengatakan perkembangan perdagangan yang sangat cepat dan lebih bervariasi memberikan dampaknya bagi pengembangan pembangunan perwilayahan. Pembangunan perwilayahan sudah tidak dibatasi lagi antara wilayah perbatasan atau wilayah pinggiran (periphery) dengan wilayah pusat pengembangan(growth center). Hal inilah yang menurut Chen dampak dari adanya perdagangan antarwilayah baik dari dan ke pusat wilayah maupun wilayah pinggiran secara signifikan memberikan dampak yang positif bagi perdagangan yang dilakukan oleh satu wilayah dengan wilayah lain bahkan lebih dari beberapa wilayah disekitarnya.

Untuk itu apa yang menjadi harapan Sun dan Cheol (2006), dikatakan bahwa antara pemerintah pusat dan daerah dapat saling memperkuat daya saing antar daerah. Selanjutnya untuk menciptakan daya saing antar daerah diperlukan peran pemerintah dalam melakukan intervensi dengan membuat reformasi kebijakan untuk meningkatkan efisiensi setidaknya untuk menciptakan iklim

(21)

investasi di daerah tersebut. Hubungan pemerintah pusat dan daerah berhubungan seperti “saudara kembar” yakni kebijakan yang dibuat akan dilakukan dengan satu tujuan memperbaiki kehidupan masyarakat, sementara koordinasi antar lembaga pemerintah semuanya harus berjalan dalam satu koordinasi dan setiap lembaga memiliki tujuan yang sama sehingga tidak perlu khawatir akan terjadi ego diantara lembaga pemerintah itu sendiri.

Alonso (1964), Mills (1972), Muth (1969), dan McCann (2001), melihat adanya peran wilayah penyangga (sub wilayah) dengan pusat wilayah (wilayah utama/kota) dimana dengan adanya wilayah penyangga maka dapat merangsang atau mempengaruhi perdagangan antarwilayah (interregional) disekitarnya. Atas dasar kemampuan atau kapasitas yang sesuai dengan ruang wilayahnya semua aktivitas perdagangan dapat dikelola atau dipusatkan pada suatu wilayah spesifik seperti yang dikenal dengan pengembangan Kawasan Industri Makassar (KIM) di Makassar, Bekasi, Tangerang. Alonso (1966), menyebutnya dengan Central Business District (CBD) yaitu aktivitas perdagangan yang dilakukan terpusat pada suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah seperti ini semua unsur diasumsi homogen kecuali jarak. Konsep seperti ini oleh Thunen hanya terfokus pada satu dimensi saja yakni pada CBD dimana CBD berperan sebagai pengganti kota yaitu sebagai pusat pasar atau pusat perdagangan sebab suatu wilayah akan terbatas pada lahan yang tersedia karena akan digunakan untuk berbagai aktivitas lain selain aktivitas produksi atau perdagangan.

Pemahaman pusat pengembangan wilayah seperti diatas sudah sangat sulit diterima, karena perencanaan pembangunan wilayah atas dasar Growth pole tidak dibatasi lagi oleh ruang wilayah pusat wilayah tersebut. Oleh sebab itu

(22)

menurut Stamer-Meyer (2003), dikatakan pemahaman tentang pengembangan pusat wilayah atas dasar ekonomi lokal dengan pembangunan wilayah itu sendiri (regional) memiliki perbedaan yang sulit ditentukan. Perbedaan pembangunan ekonomi wilayah lokal dengan pembangunan wilayah (regional) cenderung dipahami oleh beberapa orang dengan pembangunan ekonomi regional.

Pengembangan pusat wilayah tidak saja pada aspek ekonomi wilayah lokal namun didasarkan juga pada aspek pemberdayaan wilayah regional. Sehingga konsep pemahaman ekonomi lokal atau regional tidak dibatasi lagi oleh tempat dan ruang wilayah. Pemahaman lokal maupun regional diarahkan pada setiap wilayah yang mengembangkan keunggulan sektoralnya sebagai potensi lokal wilayah dan didukung kelengkapan fasilitas pelayanan sehingga mampu mendorong atau memacu perkembangan wilayahnya yang lebih baik.

Adisasmita, R. (1997), (2008), Rondinelli (1985), Hadjisarosa (1976), Boudenville (1966), dan Tarigan (2004), mengemukakan beberapa kebijakan pengembangan wilayah yang pernah diterapkan di beberapa negara berdasarkan asumsi karakteristik wilayah daratan dimana rona wilayahnya dianggap sama (homogen) seperti:

1. India dengan sistem perencanaan pembangunan wilayah yang di dasarkan pada perencanaan tingkat blok. Perencanaan ini memperlihatkan bahwa suatu wilayah yang dipusatkan pada suatu area akan meningkatkan aktivitas pada wilayah tersebut. Dengan demikian akan menciptakan pusat pengembangan wilayah terhadap wilayah pendukung lainnya (sistem zoning). Biasanya kebijakan seperti ini di dasarkan pada keingginan meningkatkan ekonomi perkotaan (konsep pembangunan ekonomi wilayah daratan).

(23)

2. Peru, Equador, Kenya dan beberapa negara Afrika lainnya lebih menitik beratkan sistem pengembangan wilayah melalui penciptaan pusat-pusat pasar di setiap wilayahnya yang saling berdekatan. Kebijakan di negara-negara ini juga memperlihatkan penerapan pembangunan yang di dasarkan pada sistem zoning. Dengan sistem ini maka aspek jarak dan ongkos transporatsi dianggap sama (membuktikan bahwa sistem ini menganut sistem kebijakan pembangunan ekonomi wilayah daratan).

3. Malawi dan Thailand pada sistem jenjang penciptaan pusat pertumbuhan melalui kapasitas atau potensi lokal di wilayahnya. Kebijakan pengembangan wilayah di negara-negara ini lebih ditujukan pada penentuan sektor unggulan wilayah (berbasis potensi lokal wilayah). Bila di lihat dari konsep kebijakan seperti yang di lakukan oleh ke dua negara ini maka keterhubungan dan ketergantungan wilayah menetapkan balancing growth seperti pada teori lokasi model Von Thunen. Dengan demikian konsep ini merupakan sistem zoning yang berlaku pada kebijakan pembangunan wilayah daratan.

4. Bolivia, Philipina dan Malaysia lebih menekankan pentingnya sistem pengembangan wilayah melalui peningkatan fungsi-fungsi pelayanan perkotaan dengan daerah perdesaan. Negara-negara ini jelas menggunakan kebijakan pengembangan ekonomi perkotaan dengan asumsi setiap wilayah akan berkembang bila fungsi pelayanan ditingkatkan. Konsep ini merupakan konsep pembangunan wilayah daratan dan kepulauan. Hal ini berhubungan dengan asumsi semua rona wilayah adalah sama (homogen) tetapi di sisi lain setiap wilayah membutuhkan peningkatan fasilitas pelayanan termasuk pada wilayah kepulauan.

(24)

5. Indonesia sebagi negara kepulauan terbesar dalam menunjang pengembangan ekonomi wilayah lebih menekankan pentingnya sistem permukiman. Sistem pengembangan wilayah seperti ini lebih mengutamakan pada usaha untuk menyebar luaskan jumlah penduduk dari wilayah yang padat penduduknya ke wilayah yang jarang penduduknya. Aspek atau kebijakan pembangunan yang dilakukan selama ini masih berorientasi pada konsep wilayah daratan dengan sistem zoning yaitu menyebar luaskan penduduk ke wilayah lain maka secara otomatis wilayah tersebut akan terpacu pembangunan ekonomi wilayah setempat. Sistem ini akhirnya belum memperlihatkan kemajuan dalam menciptakan keunggulan wilayah yang ditempatinya. Aspek ini cenderung mengabaikan ekonomi dan sosial budaya masyarakat setempat sehingga sering menimbulkan kecemburuan antara pendatang dengan penduduk setempat. Kebijakan ini menganut asumsi semua wilayah dianggap sama (homogen). Dengan demikian konsep pembangunan seperti ini tidak didasarkan pada usaha untuk mencari/menemukan/ mengidentifikasi dan menentukan sektor-sektor unggulan berbasis pada keunggulan local spesific spasial sebagai wilayah kepulauan yang heterogen.

2.1.4. Wilayah/Negara Daratan (Continental/Landlock State) versus Wilayah/Negara Kepulauan (Archipelago/Archipelagic State)

Pemahaman wilayah/negara daratan (continental/landlock state) dengan wilayah/negara kepulauan (archipelago/archipelagic state) mulai diperbedatkan sejak tahun 1824. Indonesia mulai diakui sebagai salah satu negara kepulauan (archipelagic state) pada saat dilakukannya konvensi hukum laut PBB

(25)

(UNCLOS-United Nations Convention on the Law of the Sea) ke tiga pada tanggal 30 April 1982 di New York (Arsana, 2007).

Sebagai negara kepulauan, Indonesia dikenal sebagai negara maritim atau bahari karena wilayah laut Indonesia mencakup 75 persen dari luas wilayahnya dan 25 persen wilayah daratan. Syaeful (2008), menyatakan sebutan negara kepulauan (archipelgic state) kepada suatu negara bila negara tersebut memiliki zona ekonomi ekslusif (ZEE) sehingga negara tersebut memiliki wewenang sebagai hak kedaulatan untuk mengelola, mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya alam baik di laut maupun di bawah dasar laut baik hayati maupun non hayati.

Menurut Yakub (2004), dan Syaeful (2008), menggambarkan ciri-ciri atau karakteristik wilayah/negara kepulauan (archipelago/archipelagic state) adalah sebagai berikut:

1. Memiliki bentuk yang tidak kompak atau rona wilayah yang tidak seragam (non-contigous shape)

2. Terdiri dari bentuk fragmental (kepulauan) 3. Terpecah (broken shape)

4. Tersebar (scattered shape)

5. Dikelilingi laut atau lingkar laut (sircum marine)

Berdasarkan ciri atau karakteristik diatas dan hasil konsesus konvensi UNCLOS di New York, Indonesia disebut sebagai negara kepulauan (archipelagic state) karena bentuk wilayahnya (rona wilayah) tidak kompak (non-contigous shape) dipisahkan oleh laut atau perairan. Dengan demikian ciri wilayah/negara daratan (continental/landlock state) merupakan kebalikan dari ciri

(26)

negara kepulauan. Hasil konvensi UNCLOS di New York lebih dipertegas bahwa suatu wilayah/negara yang tidak memiliki ZEE maka negara tersebut merupakan wilayah/negara daratan (continental/landlock state). Hal ini berkaitan dengan negara daratan tidak memiliki batas laut teritorial, batas landas kontinen, ZEE dan bentuk wilayahnya yang kompak atau seragam (contigous shape).

Sebagai gambaran adanya perbedaan karakteristik antara wilayah/negara daratan (continental/landlock state) dengan wilayah/negara kepulauan (archipelago/archipelagic state) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel. 1. Perbedaan Karakteristik Wilayah/Negara Daratan dengan Wilayah/ Negara Kepulauan

Wilayah Daratan Wilayah Kepulauan Kepustakaan

Karakteristik Geografis  Rona wilayah sama/ bentuk

kompak (homogen/contigous shape)  Berbentuk wilayah daratan yang

luas (pulau besar/benua)

 Rona wilayah tidak sama/ bentuk tidak kompak (heterogen/non contigous shape)

 Berbentuk kepulauan (fragmental)/(pulau kecil)  Terpecah (broken shape)  Tersebar (scattered shape)  Lingkar laut (sircum marine)

1. Hadi, B.S (2008) 2. Adisasmita, R. (2005) 3. Yakub, R. (2004) 4. Monk, Dkk (2000) 5. Sitaniapessy. (2002) Karakteristik Geologi

 Jenis sedimen, metamorfik  Memiliki keseragaman geologi

 Jenis sedimen, metamorfik dan beku (berkarang)

 Tidak semua wilayah memiliki keragaman geologi.

 Iklim tropik basah (Indonesia)

1. Dirjen Cipta Karya Dep PU. (1992) 2. Unpatti (2000) 3. Hadi, B. S (2008)

Karakteristik Sumberdaya Alam (Flora dan Fauna)  Tidak dibatasi garis Wallace, Weber

dan Lydeker

 Hampir semua wilayah memiliki keseragaman flora dan fauna

 Dibatasi garis Wallace, Weber dan Lydeker

 Garis Weber wilayah bagian barat Indonesia

 Garis Wallace wilayah bagian timur Indonesia

 Garis Lydeker bagian Maluku dan Halmahera (fauna Asiatis dan Australia)

 Sumberdaya alam/potensi lokal beragam dan besar

1. Hadi, B. S (2008) 2. Unpatti (2000) 3. Parlindungan , A. P. (1993) 4. Sitanipessy. (2002)

Karakteristik Sosial Budaya dan Kependudukan  Penduduk tersebar merata

 Memiliki keterkaitan budaya yang sangat dekat

 Laju urbanisasi dari wilayah pinggiran ke pusat pertumbuhan mengecil/rendah

 Penduduk tersebar tidak merata  Penduduk terpusat pada pusat

aktivitas pelayanan masyarakat  Memiliki budaya yang tidak

seragam

 Laju urbanisasi meningkat seiring terpusatnya aktivitas di pusat

1. World Bank (2009)

2. Hadi, B. S (2008) 3. Adisasmita, R.

(27)

pertumbuhan.

Karakteristik Aktivitas Ekonomi  Terdapat banyak pusat pertumbuhan

dan sistem zone industri  Konsentrasi aktivitas ekonomi

meningkat di setiap pusat

pertumbuhan dan wilayah pinggiran  Investasi dan industri berada

dihampir setiap wilayah pengembangan

 Disparitas kesejahteraan antara pusat pertumbuhan dengan zone wilayah pinggiran semakin kecil

 Pasar dekat

 Jarak wilayah pusat pertumbuhan dengan wilayah pinggiran dekat

 Terdapat satu atau beberapa pusat pertumbuhan

 Investasi dan industri terpusat di pusat pertumbuhan

 Konsentrasi aktivitas ekonomi hanya pada pusat pertumbuhan  Terjadi disparitas kesejahteraan  Pasar jauh

 Jarak wilayah pusat pertumbuhan dengan wilayah pinggiran jauh  Kemampuan penyediaan fasilitas

pelayanan yang rendah di pusat pengembangan 1. Adisasmita, R. (1997), (2005), (2008). 2. Tarigan, R. (2004) 3. Reksohadiprodjo , S. dan Karseno, A. R. (2001) 4. Budiharsono, S. (2001)

Sumber: Dari Berbagai Kepustakaan dan Dikembangkan oleh Peneliti

Adapun perbedaan pengembangan wilayah/negara daratan dengan wilayah/ negara kepulauan berdasarkan konsep pengembangan spasial yang di dasarkan pada konsep pengembangan wilayah dari pusat pertumbuhan, desentralisasi dan integrasi memperlihatkan adanya perbedaan konsep pengembangan wilayah daratan dengan kepulauan. Perbedaan pengembangan wilayah antara wilayah daratan dengan kepulauan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel. 2. Perbedaan Pengembangan Wilayah/Negara Daratan dengan Wilayah/Negara Kepulauan Berdasarkan Konsep Pengembangan Spasial (Growth Pole, Desentralisasi Teritorial dan Integrasi)

Konsep Pengembangan

Spasial

Pengembangan Wilayah

Kepustakaan Daratan (Continental) Kepulauan (Archipelago)

(1) (2) (3) (4) I. Konsep Kutub Pertum-buhan (Growth Pole)

 Investasi dan industri (aktivitas ekonomi) terpusat di pusat pertumbuhan  Otomatis terjadi spread effect

ke wilayah ping-girannya (periphery)

 Wilayah pinggiran

(periphery) cepat berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru sebagai wilayah penyangga terhadap pusat pertumbuhan utama  Prasarana dan sarana

(infrastruktur) tersedia dengan baik

 Pusat pertumbuhan (kota) memiliki hubungan dengan wilayah belakangnya sebagai kota generatif

 Jarak dan infrastruktur dianggap sama untuk seluruh wilayah

 Investasi dan industri (aktivitas ekonomi) seharusnya tidak terpusat di pusat pertumbuhan tetapi di beberapa pusat pertumbuhan.  Belum tentu terjadi spread

effect tetapi sebaliknya cenderung terjadi backwash effect

 Wilayah pinggiran (periphery) sulit berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru sebagai wilayah penyangga pusat pertumbuhan  Prasarana dan sarana

(infrastruktur) belum baik bahkan cenderung sulit di-peroleh

 Pusat pertumbuhan (kota) memiliki hubungan dengan wilayah belakangnya sebagai kota parasitif bahkan ada

1. Adisasmita, R. (2005) 2. Tarigan, R. (2004) 3. Richardson, H.W. (1978) 4. Rondinelli. D. A. (1985) 5. World Bank (2009) 6. Daryanto, A. (2003) 7. Porter, M. E. (1990) 8. Okali, D. Okpana, E. dan Olawoye, J. (2001)

(28)

yang enclave

 Jarak dan infrastruktur tidak sama di semua wilayah

9. Uphoff. N. (1999) 10.Douglas, M. (1998) II. Konsep Desentra-lisasi Teritorial  Wilayah terseleksi berdasarkan zone  Muncul istilah kota

Megapolitan terdiri dari beberapa kota yang berdekatan (kasus kota Jakarta dengan istilah Jababodetabek)

 Kota menengah dan kecil saling membutuhkan (generatif) terhadap kota besar/utama begitupun sebaliknya.

 Investasi dan industri terpencar (spread effect) ke wilayah pinggiran/kota kecil lainnya

 Migrasi penduduk hampir merata di seluruh wilayah kota besar, menengah dan kecil

 Distribusi pelayanan dan fasilitas sosial, infrastruktur ekonomi tersedia dengan baik  Wilayah pinggiran berpotensi

menjadi wilayah yang kuat meningkatkan produktivitas ekonomi secara nasional Semua wilayah dapat berkembang menjadi pusat pertumbuhan

 Wilayah sulit terseleksi  Tidak ada kota megapolitan  Wilayah pinggiran selalu

bergantung (parasitis) terhadap wilayah pusat  Investasi dan industri sulit

terpencar (spread effect) dari wilayah pusat ke wilayah pinggiran

 Penduduk tidak merata di wilayah masing-masing.  Terjadi migrasi ke wilayah

pusat pertumbuhan  Distribusi pelayanan sosial,

infrastruktur ekonomi tidak cukup tersedia dengan baik  Jaringan/hubungan

(networking) antar wilayah di dalam wilayah itu sendiri sangat lemah

 Wilayah pinggiran sulit bertumbuh menjadi pusat pertumbuhan dan pelayanan ekonomi, sosial, administrasi serta jasa lainnya.

 Wilayah pinggiran sulit berpotensi menjadi wilayah yang kuat untuk

meningkatkan produktivitas ekonomi secara nasional.  Tidak semua wilayah dapat

berkembang menjadi pusat pertumbuhan III. Konsep Integrasi (Fungsi-Fungsi Spasial)

 Adanya keseimbangan dan kesinambungan yang baik diantara wilayah disekitarnya (jenjang hirarki) bergerak secara alami

 Sistem pengembangan wilayah seperti infrastruktur saling terpadu antara satu wilayah (keterpaduan pusat pelayanan) dengan wilayah disekitarnya

 Pusat-pusat pertumbuhan yang berebeda ukuran (kota besar, menengah dan kecil) tetapi saling membutuhkan  Wilayah penyangga mampu

menjadi pendukung bagi wilayah pusat

 Karakteristik fungsional bermacam-macam atau bervariasi

 Wilayah pusat menjadi elemen yang memiliki keterkaitan sebagai wilayah produksi dan wilayah konsumsi yang mampu menyediakan berbagai

 Belum ada keseimbangan dan kesinambungan yang baik diantara wilayah disekitarnya (jenjang hirarki) tidak bergerak secara alami, harus ada political will dari penguasa.

 Lemahnya sistem pengembangan wilayah seperti infrastruktur yang saling terpadu antara satu wilayah (keterpaduan pusat pelayanan) dengan wilayah disekitarnya

 Hanya ada satu pusat pertumbuhan (ibu kota pro- vinsi) wilayah lain

disekitarnya dianggap sebagai wilayah penyangga pusat pertumbuhan

 Karakteristik fungsional belum dapat diidentifikasi  Wilayah pusat menjadi elemen

yang memiliki pengaruh kuat sebagai wilayah produksi dan konsumsi tetapi belum mampu menyediakan berbagai

(29)

interaksi fungsional di wilayah sekitarnya.  Terdapat hubungan tarik

menarik (hubungan timbal balik) antara wilayah pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya

interaksi fungsional bagi wilayah sekitarnya  Lemahnya hubungan tarik

menarik (hubungan timbal balik) antara wilayah pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya

Pusat pertumbuhan (kota) memiliki hubungan dengan wilayah belakangnya sebagai kota parasitif bahkan ada yang enclave

Sumber: Dari Berbagai Kepustakaan dan Dikembangkan oleh Peneliti

Berdasarkan perbedaan karakteristik dan konsep pengembangan spasial wilayah daratan dan kepulauan dapat dikatakan Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago/archipelagic state) bukan negara daratan. Sebagai negara kepulauan Indonesia memiliki salah satu provinsi kepulauan terbesar yaitu Provinsi Maluku. Karakteristik dan pengembangan spasial memperlihatkan Provinsi Maluku adalah wilayah kepulauan (archipelago). Konsep pengembangan spasial wilayah kepulauan seperti yang terlihat pada Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa Provinsi Maluku identik dengan konsep pengembangan pusat pertumbuhan (growth pole), desentralisasi teritorial (otonomi daerah) dan konsep integrasi berdasarkan fungsi-fungsi spasialnya.

Pengembangan wilayah kepulauan seperti terlihat pada karakteristik dan tujuan pengembangan spasial maka sebagai wilayah kepulauan Provinsi Maluku perlu menentukan sektor-sektor apa saja yang berbasis pada potensi lokal (local spesific). Menurut Daryanto (2003), potensi lokal (local spesific) merupakan potensi wilayah yang perlu dikembangkan tidak hanya pada aspek keunggulan komparatif tetapi harus memiliki keunggulan kompetitif yang tinggi. Dengan demikian setiap wilayah harus tetap mengacu pada wilayah itu sendiri (inward looking) sehingga wilayah tersebut mampu menyesuaikan arah pembangunan wilayahnya sesuai dengan karakteristik lokal (local spesific).

(30)

Porter (1990), mengemukakan bahwa pengembangan ekonomi atau daya saing suatu wilayah biasanya ditentukan oleh faktor produksi, kondisi permintaan pasar dan peranan pemerintah (role of goverment) sebagai faktor penunjang. Menurutnya peran pemerintah diperlukan karena dapat menciptakan kompetensi inti sehingga suatu wilayah dapat dibedakan dari wilayah lainnya melalui daya saing wilayah yang tercipta. Menurut Douglas (1998), dikatakan bahwa pertumbuhan di beberapa wilayah inti (core) mampu mendatangkan atau memberikan keuntungan kepada perkembangan wilayah lainnya (periphery).

Pembangunan wilayah menurut Okali (2001), lebih ditujukan pada penerapan konsep pembangunan wilayah daratan. Okali dkk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya interaksi antara wilayah kota dengan perdesaan adalah arus spasial seperti tenaga kerja, produksi, komoditi, modal dan informasi. Aktivitas yang terciptanya antara kota dengan perdesaan akan menciptakan dinamika pembangunan wilayahnya. Selanjutnya menurut Okali perlunya peran atau intervesi pemerintah dalam meningkatkan aktivitas sektoral di wilayah perdesaan.

Menurut Uphoff (1990), sektor yang berbasis potensi lokal seperti pertanian mampu mengatasi masalah krisisis pembangunan ekonomi di Indonesia. Uphoff melihat kinerja sektor pertanian di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia mampu menjadi negara yang berhasil mengimplementasi model pembangunan pertanian sebagai sektor yang berbasis potensi lokal wilayahnya.

(31)

2.1.5.Peran dan Fungsi Wilayah di Era Otonomi

Berbagai permasalahan otonomi daerah muncul dalam bingkai pembangunan wilayah. Adanya distorsi hubungan antara pusat dengan daerah dimana pusat terlalu mendominasi berbagai kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam, ekonomi, hukum maupun politik. Sehingga muncul penyesuaian kewenangan dan fungsi penyediaan pelayanan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang dikenal dengan istilah otonomi (Widjaja, 2002).

Otonomi daerah sebenarnya bukanlah hal yang baru, secara praktis pemerintahan Orde Baru sudah mengembangkan sistem ini dengan mengurangi wewenangnya, namun kerangka yang diharapkan dapat memacu perubahan pembangunan di daerah tidak sepenuhnya dilaksanakan bagi kepentingan daerah. Selama hampir 18 tahun berbagai diskusi tentang pelaksanaan Otonomi Daerah telah diteliti dan didiskusikan dalam berbagai seminar, undang-undang otonomi yang telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah, diharapkan dapat mengembangkan prinsip-prinsip pembangunan di daerah berdasarkan pada kemampuan atau kapasitas atau potensi lokal suatu daerah untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerahnya.

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak bisa dilepas pisahkan dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan proses pembangunan atas kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan,

(32)

partisipasi masyarakat (partisipatoris). Dengan demikian upaya-upaya untuk melaksanakan otonomi daerah harus dilaksanakan dengan seksama dan kerelaan pemerintah pusat kepada daerah. Hal ini berhubungan dengan tujuan otonomi yang hendak dicapai yakni, pencapaian efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat (Abe, 2001).

Menumbuh kembangkan daerah otonom dalam berbagai bidang seperti, kemandirian dan meningkatkan daya saing daerah adalah proses pembangunan untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan pemerataan demi kemandirian wilayah tersebut. Sejalan dengan kemandirian daerah atau wilayah dalam berbagai kesempatan perencanaan pembangunan maka secara terbuka daerah dapat membangun kemitraan dengan publik seperti pihak swasta daerah, pusat atau pihak asing dalam berbagai bidang sosial, ekonomi dan budaya terkecuali keamanan (militer) dengan negara asing.

Sesuai dengan kemajemukan sumberdaya manusia (pluralis) dan perbedaan kondisi kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah maka akan terdapat variasi (keragaman) fungsi yang diemban oleh kabupaten/kota bahkan provinsi. Perbedaan kapasitas atau potensi lokal wilayah merupakan nilai tambah (value added) yang belum tentu dimiliki oleh negara lain. Kapasitas atau potensi lokal (local spesific) dan di dukung dengan kemampuan fasilitas pelayanan wilayah seharusnya menjadi penggerak utama (prime mover) atau faktor pendorong setiap wilayah untuk memacu aktivitas masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik. Untuk itu perbedaan atau keberagaman kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah dengan dukungan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan wilayah diharapkan akan mempercepat penciptaan

(33)

pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) dengan merangsang sektor-sektor ekonomi potensial baik yang sudah maupun yang belum dikelola.

Wirawan (2001), menyatakan dalam era otonomi, ekonomi kerakyatan saling berkaitan dengan otonomi yang dimiliki suatu daerah dimana daerah harus berlomba membangun basis ekonomi kerakyatan yang berbasis local spesific. Pengembangan sektor-sektor unggulan yang berbasis local spesific menjadi hal penting bila di dukung dengan ketersedian kemampuan fasilitas pelayanan pusat-pusat pengembangan. Kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan pusat-pusat-pusat-pusat pengembangan menjadi salah satu indikator penentuan maju tidaknya suatu aktivitas ekonomi wilayah guna percepatan pengembangan sektor unggulan yang berbasis pada local spesific wilayahnya.

Beberapa kasus yang dapat diuraikan dalam membangun ekonomi kerakyatan di era otonomi seperti: pengembangan ekonomi wilayah di Lampung, Sawahlunto, Bantul dan Malang. Masing-masing wilayah mengembangkan ekonomi kerakyatannya berdasarkan spesific local wilayahnya. Lampung mengembangkan potensi lokal wilayahnya seperti, sektor perikanan (pertambakan) dan sektor perkebunan, Sawahlunto dengan pertambangan batu bara, Bantul dengan ekonomi kerakyatan yang berbasis potensi lokal lebih menonjolkan industri kerajinan gerabah, batik, perak dan penganan kecilnya seperti; gaplek. Kota Malang dengan keuntungan geografis dan keindahan alam penggunungannya mampu memanfaatkan keuntungan potensi lokal (local spesific) di sektor pertanian yang dipadukan dengan keindahan alamnya, sehingga sektor agrowisata menjadi pilihan sebagai sektor yang berbasis potensi lokal wilayah. Sektor agrowisata dengan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di

(34)

Malang mampu meningkatkan sektor pertanian (hortikultura), pariwisata dan menjadi pusat pasar buah dan kerajinan cendera mata terbesar di Jawa Timur dan Indonesia.

2.1.6. Pembangunan Ekonomi Wilayah

Pembangunan ekonomi wilayah memiliki berbagai aspek yang terus berubah secara dinamis, terencana dan terkoordinasi bila dilihat dari kerangka perencanaan pembangunan ekonomi wilayah, baik secara regional, nasional maupun internasional.

Pembangunan ekonomi wilayah ditujukkan pada pencapaian sasaran-sasaran sub sistem pembangunan nasional yang terorganisir secara teritorial atau tata ruang (spatial). Meskipun dalam prateknya pembangunan ekonomi wilayah perlu memberlakukan penjelasan-penjelasan dasar bersifat teori yang memiliki keeratan hubungan antara pembangunan ekonomi wilayah dengan tata ruang. Dengan kata lain proses pembangunan ekonomi wilayah harus memperhatikan pendekatan aspek dimensi tata ruang (spatial) seperti karakteristik wilayah, geografis, sumberdaya manusia, interaksi antarwilayah.

Todaro (2000), mengatakan pembangunan ekonomi wilayah merupakan proses multidimensial yang menyangkut reorganisasi dan reorientasi sistem ekonomi dan sosial secara keseluruhan. Pembangunan disamping untuk meningkatkan pendapatan dan output, pembangunan harus melihat perubahan dalam perubahan sikap masyarakat, struktur sosial, adat dan kepercayaan masyarakatnya (kearifan lokal/local wisdom).

Menurut Kartasasmita (1996), pembangunan adalah usaha meningkatkan harkat dan martabat masyarakat melalui kemampuan dan kemandirian lokal

(35)

wilayahnya. Kemandirian yang dimaksud adalah proses pembangunan yang berpijak pada pembangunan masyarakat dan diharapkan dapat memacu peran serta masyarakat (partisipatoris) dalam proses pembangunan itu sendiri. Proses pembangunan tersebut diharapkan akan mampu melepaskan kondisi masyarakat dari kemiskinan dan keterbelakangan.

Selain hal-hal diatas pembangunan ekonomi wilayah tidak dapat dilepas begitu saja dari proses pembangunan yang sudah ada pada saat itu. Peran serta (partisipatoris) masyarakat sebagai pelaku atau pencipta (aktor) kegiatan ekonomi wilayah adalah seluruh masyarakat pada wilayah tersebut dan pihak investor dari luar yang ingin melakukan kegiatan ekonominya di wilayah itu. Namun pada kenyataannya banyak wilayah di KTI khususnya provinsi Maluku sering mengalami kendala sebagai akibat dari tidak sinergisnya perencanaan pembangunan yang non spatial dengan tataruang wilayah. Akibat ketidak sinergisnya perencanaan pembangunan yang demikian menimbulkan berbagai pertentangan antara pusat dengan daerah. Dengan adanya otonomi daerah, maka daerah lebih melihat wilayah dari sudut pandang mereka yaitu dari sudut pendekatan regional. Pertentangan perencanaan pembangunan yang selalu berbasis pada non spatial versus spatial menimbulkan wilayah (daerah) hanya menjadi pusat eksploitasi sebagai lokasi proyek sektoral, akibatnya pembangunan yang diharapkan memberi manfaat pada masyarakat di daerah tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.

Pembangunan ekonomi wilayah harus menjadi primadona proses pembangunan dewasa ini di era otonomi. Dengan demikian pemerintah (pusat, daerah, kabupaten/kota), perlu memperhatikan apa yang ingin atau akan dilakukan

(36)

oleh pihak di luar pemerintah (swasta/investor) termasuk masyarakat. Hal tersebut berkaitan dengan fungsi pemerintah yang memiliki peran cukup penting dalam proses pembangunan sebagai pengatur atau pengendali (regulator). Walaupun demikian pemerintah tidak dapat bertindak semena-mena dalam mengendalikan pembangunan di wilayahnya.

Oleh sebab itu pemerintah dapat mengarahkan pembangunan ekonomi wilayah ke arah mana dan bagaimana setiap kegiatan ekonomi wilayah dapat berkembang dan bermanfaat bila tidak ada campur tangan pemerintah. Hal ini disebabkan karena adanya fungsi pemerintah selain sebagai regulator, pemerintah juga berfungsi sebagai stimulator. Dalam kondisi seperti ini proses pembangunan ekonomi wilayah dapat menunjukkan arah perkembangan seperti diharapkan pada kondisi atau sasaran yang ingin dicapai oleh setiap wilayah sehingga setiap wilayah mampu memacu pembangunan di berbagai sektor andalannya.

Ada beberapa pendekatan yang dilakukan dalam pembangunan ekonomi wilayah. Pendekatan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Pendekatan sektoral adalah pendekatan pembangunan ekonomi dengan memfokuskan perhatiannya pada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang ada di wilayah tersebut kurang memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan (less spatial). Sedangkan pendekatan regional adalah pendekatan pembangunan ekonomi yang memfokuskan perhatiannya pada pemanfaatan ruang (spatial) yang satu dengan ruang lainnya dan dapat memanfaatkan perencanaan pembangunan dengan rencana tataruang wilayah. Dengan demikian pada pendekatan regional, pendekatan pembangunan ekonomi wilayah lebih ditekankan pada pemanfaatan ruang wilayah yang berbeda antara

(37)

satu wilayah dengan wilayah lainnya dan dapat menghubungkan berbagai interaksi yang terjadi dalam setiap aktivitas atau kegiatan pembangunan di wilayah tersebut.

Pengelompokkan sektor-sektor baik pada pendekatan sektoral sering dibedakan berdasarkan kelompok kegiatan pembangunan ekonominya dan berdasarkan pada administrasi pemerintahan wilayah yang menangani sektor-sektor tersebut. Dalam hal pembangunan wilayah banyak pengelompokkan didasarkan pada keseragaman kegiatan dan secara administrasi pemerintahan sering berjalan bersamaan atau sejalan.

Pada pendekatan regional pengelompokkan wilayah dilakukan berdasarkan batas administrasi pemerintahan wilayah atau didasarkan atas dasar wilayah pengaruh dari suatu pusat pertumbuhan (growth centre). Biasanya pembagian ke dua pendekatan ini berbeda antara satu dengan lainnya. Menurut pendekatan regional perencanaan pembangunan sejalan dengan pembagian wilayah menurut administrasi pemerintahan dan pembagian menurut pusat pertumbuhan wilayah tersebut. Namun ada kalanya ada bagian dari suatu wilayah yang secara sosial ekonomi berhubungan antara wilayahnya dengan pusat pertumbuhan yang berada diwilayah lain.

Hadjisarosa (1976), mengatakan suatu wilayah dapat berkembang selain karena ada pengaruh wilayah pusat atau pusat pertumbuhan wilayahnya maupun pengaruh pusat pertumbuhan wilayah lainnya, hal tersebut disebabkan karena adanya pusat-pusat pengembangan wilayah yang dipengaruhi oleh adanya simpul-simpul jasa distribusi. Pendekatan sepertii inilah yang disebut Hadjisarosa dengan istilah pendekatan regional (networking distribution).

(38)

Pendekatan sektoral maupun pendekatan regional perlu dilakukan dalam suatu analisis pembangunan ekonomi wilayah. Dalam pendekatan sektoral seluruh kegiatan ekonomi wilayah dikelompokkan atas sektor-sektor atau kegiatan ekonomi. Sektor-sektor tersebut akan di analisis persektor sehingga dapat dilihat potensi dan peluang dari setiap sektor ekonomi yang ada di wilayah yang bersangkutan.

Pendekatan regional perlu dilakukan dalam suatu analisis pembangunan wilayah hal ini disebabkan karena, pendekatan regional berbeda dengan pendekatan sektoral walaupun tujuan akhir yang diharapkan memperoleh kesamaan. Analisis regional dilakukan karena berhubungan dengan analisis atas penggunanaan ruang (space) pada saat itu. Biasanya analisis tersebut dilakukan berdasarkan aktivitas atau kegiatan pembangunan ekonomi dengan pemanfaatan atau penggunaan lahan/ruang serta pengaruhnya di masa yang akan datang.

Analisis regional berusaha untuk meramalkan adanya daya tarik (attractiveness), suatu wilayah yang kuat (growth pole) terhadap wilayah lainnya (periphery). Pada dasarnya pendekatan regional didasarkan pada anggapan bahwa pendekatan ini memandang wilayah sebagai kumpulan atau bagian-bagian wilayah yang memiliki potensi/kapasitas/kemampuan dan daya tarik yang berbeda diantara wilayah masing-masing.

Dengan melakukan pendekatan-pendekatan ini maka diharapkan adanya perubahan-perubahan besar yang terjadi dan dapat mempengaruhi pembangunan ekonomi wilayah. Pengaruh positif diharapkan tidak hanya pada wilayah pusat maupun wilayah pinggiran ataupun terhadap wilayah lainnya yang dipisahkan

(39)

karena adanya batasan administrasi wilayah, tetapi juga mempengaruhi perekonomian regional, nasional maupun global.

Pembangunan ekonomi wilayah sudah sepantasnya tidak hanya berdasarkan batas wilayah secara administrasi, pusat (centre/pole) dan pinggiran (periphery) tetapi berdasarkan pada kebutuhan masyarakat. Perkembangan pemikiran dan pendekatan pertumbuhan dengan stabilitas (growth with stability) wilayah pada hakikatnya menghendaki pembangunan yang berkeadilan dengan menempatkan sumberdaya manusia, alam dan ketersediaan fasilitas pelayanan pada posisi utama sebagai penggerak utama (prime mover) dalam pengembangan wilayah.

Peningkatan kualitas sumberdaya alam (resource approach) akan menjadikan output bernilai tambah (added value) dan dapat memberikan kontribusi besar bagi laju pertumbuhan pembangunan ekonomi wilayah sehingga menjadi indikator berhasilnya pembangunan yang dapat menjamin kemajuan ekonomi wilayah dan kestabilan kehidupan masyarakat setempat. Hal seperti ini memperlihatkan bahwa wilayah-wilayah terbelakang atau tertinggal akan mempunyai ketergantungan yang kuat pada wilayah-wilayah lain yang lebih maju didalam pengelolaan sumberdaya alamnya. Untuk itu diperlukan berbagai kegiatan pembangunan ekonomi wilayah, sehingga dapat menghilangkan keterbelakangan (backwardness) yang berarti mengurangi ketergantungan (dependency).

Prinsipnya pengelolaan pembangunan ekonomi wilayah, harus berpijak pada sistem pengelolaan sumberdaya alam wilayahnya dengan melibatkan peran serta masyarakat (participatory), pemberdayaan (empowerment) dan

(40)

berkelanjutan (sustainable) sehingga pembangunan wilayah tidak hanya terfokus pada pemenuhan kebutuhan pokok semata (basic needs approach) melainkan juga bagaimana kegiatan pembangunan tersebut dapat dimanfaatkan oleh kegiatan-kegiatan ekonomi wilayah lainnya.

Dengan demikian pembangunan ekonomi wilayah meningkatkan pembangunan ekonomi lokal berdasarkan kapasitas atau kemampuan lokal wilayah yang bersangkutan. Oleh sebab itu pembangunan ekonomi lokal dalam sistem ekonomi pasar, harus dapat memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya pembangunan lokal untuk mencapai keuntungan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage) sebagai upaya, untuk mendorong berkembangnya pembangunan ekonomi lokal yang ada pada saat ini, serta mempertahankan basis ekonomi yang dimiliki oleh wilayah yang bersangkutan.

2.1.7. Sektor-Sektor Strategis Pembangunan Wilayah

Pertumbuhan sektoral merupakan hal yang sangat penting, karena berkaitan dengan pertumbuhan pendapatan, dimana pendapatan suatu wilayah merupakan penjumlahan dari setiap sektor yang ada di wilayah tersebut. LIPI (2003), mengklasifikasikan secara sederhana sektor atas beberapa tingkatan yaitu:

1. Sektor primer terdiri dari pertanian dan pertambangan

2. Sektor sekunder terdiri dari manufaktur kadang-kadang memasukan sektor kontruksi/bangunan.

Gambar

Tabel  3.  Kerangka/Model Baku  Tabel Input-Output    Input Antara  Permintaan Akhir

Referensi

Dokumen terkait

Dan hal ini tidak lepas dari aspek friksi yang bisa terjadi diluar kemungkinan atau diluar prediksi, baik menyangkut pelayanan manajemen maupun kualitas produk

Penelitian ini dilakukan karena dalam budidaya semut rangrang perlu perawatan khusus karena semut rangrang rentan terhadap penyakit stress yang dialami semut rangrang

Realisasi keuangan lebih besar dari realisasi fisik dikarenakan proses pembayaran untuk pengadaan baru dilaksanakan pada triwulan IV. Realisasi fisik lebih besar dari

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya, jika indeks vegetasi NDVI menunjukkan nilai >0,5 daerah tersebut merupakan wilayah hutan hujan

Setiap dokter tamu berhak untuk memilih tetapi tidak memiliki hak untuk dipilih pada berbagai jabatan staf medis, memiliki hak bicara pada pertemuan staf medis, berpartisipasi aktif

Mengasosiasi • Guru memberikan • Peserta didik membahas penerapan kesempatan kepada aksara jawa yang digunakan pada teks kelompok peserta didik tembang Gambuh serat

Permasalahan perlindungan hidupan liar untuk suatu negara berkembang (dunia ketiga) juga merupakan suatu polemik yang sangat dalam, tetapi walau bagaimanapun keadaannya,

Ketertarikan penulis dalam mengambil legenda Namartua Limang, selain memiliki nilai historis, legenda Namartua Limang juga mengandung nilai-nilai budaya Batak Toba