II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis
2.2.1. Kebijakan Pembangunan Wilayah Atas Dasar
Kajian empiris yang dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan atau pengembangan wilayah,
mulai dilakukan setelah adanya ketergantungan perkembangan ekonomi terhadap
ruang wilayah tersebut. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi suatu wilayah
terutama di negara berkembang sangat mempengaruhi perkembangan aktivitas
atau kegiatan ekonomi di wilayah tersebut.
Kajian tentang pertumbuhan ekonomi wilayah sudah banyak dilakukan
oleh para ekonom. Berikut ini disajikan beberapa hasil penelitian atau
kajian-kajian tentang studi yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu
ekonomi wilayah di beberapa negara, baik di negara sedang berkembang maupun
di negara industri baru.
Rona wilayah yang heterogen membuat berbagai kebijakan
pembangunan wilayah di setiap daerah atau negara berbeda satu dengan lainnya.
Dengan adanya perbedaan kebijakan pembangunan wilayah, menimbulkan
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi terjadi lebih cepat atau lebih lambat di
beberapa wilayah. Sedangkan pada wilayah lainnya belum tentu mencapai hasil
pembangunan dan pertumbuhan seperti yang diharapkan. Biasanya rona wilayah
yang heterogen sering menimbulkan ketimpangan (disparity) antarwilayah
walaupun dalam suatu wilayah administrasi. Hal ini disebabkan karena adanya
berbagai kebijakan yang dibuat tidak didasarkan pada kapasitas atau potensi lokal
wilayah terutama pada wilayah kepulauan seperti Provinsi Maluku.
World Bank (2009), dengan pendekatan topografi menyatakan bahwa
”dunia ini tidak datar” sehingga pada skala spasial kekuatan-kekuatan ekonomi tidak tidak bekerja pada suatu tempat yang hampa secara geografis. Kekuatan
ekonomi seperti ini berhubungan dengan kosentrasi penduduk dan produksi.
Konsentrasi penduduk berhubungan dengan migrasi sedangkan produksi
berhubungan dengan spasial. Sedangkan kebijakan pembangunan wilayah
merupakan intervensi pemerintah untuk menyebarkan manfaat-manfaat
pertumbuhan ekonomi wilayah secara merata ke setiap wilayah (daerah). Oleh
sebab itu pembuat kebijakan sering berkompromi karena adanya
kesalahan-kesalahan di dalam mengenali pentingnya geografi ekonomi sehingga akan sangat
sulit bagi investor (produsen) untuk membuat suatu keputusan mengenai dimana
Kondisi alam atau karakteristik serta geografis yang berbeda antar
wilayah akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan wilayah.
Oleh sebab itu perbedaan seperti diatas, pada skala wilayah (daerah/provinsi)
sering mengakibatkan adanya percepatan agglomerasi atau menimbulkan
perlambatan polarisasi bahkan sebaliknya. Namun kondisi perbedaan wilayah
sering menimbulkan percepatan pembangunan yang bersifat aglomerasi dengan
melakukan eksploitasi wilayah pinggiran (periphery) sering memperlambat
polarisasi pembangunan ekonomi wilayah lainnya.
Meyer-Stamer (2003), mengatakan pembangunan ekonomi wilayah
lokal berbeda dengan pembangunan lokal atau wilayah (regional). Ada
kecenderungan dari sebagian masyarakat melihat pembangunan lokal
berhubungan dengan wilayah administrasi seperti pembangunan kota, kabupaten
atau kecamatan. Sedangkan pembangunan wilayah (regional) berkaitan dengan
sekumpulan kota-kota yang batasan tertinggi sampai pada jenjang provinsi.
Dengan demikian antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan wilayah
perlu dilakukan batasan pengertiannya sehingga pengertian lokal pada
pembahasan ini hanya pada batasan wilayah geografis yang lebih kecil
cakupannya dari pengertian region.
Banyaknya istilah-istilah yang sering dipakai dalam ekonomi regional
berhubungan dengan skala spasial membuat pembuat kebijakan perlu memahami
wilayah pengamatannya. Istilah ”daerah” biasanya berhubungan dengan kata ”teritori” (teritorial) sedangkan istilah regional berhubungan dengan kawasan
sehingga kawasan dapat dijelaskan sebagai kumpulan atau sekelompok negara
pengertian sebagai kumpulan atau sekelompok pulau-pulau dalam wilayah
tersebut, seperti Provinsi Maluku yang dikenal sebagai kawasan seribu pulau
tentunya memiliki kawasan sentra produksi yang berbasis pada kapasitas atau
potensi lokal (local spesific) wilayah dengan keunggulan sektoralnya.
Berbagai studi tipologi wilayah telah dilakukan di beberapa negara
maupun di Indonesia antara lain tipologi kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan,
beberapa kecamatan dan kabupaten di Provinsi Jawa Barat serta beberapa wilayah
lainnya di Indonesia.
David et al. (1990), menyatakan suatu wilayah memiliki keterkaitan
dengan wilayah luar tetapi tidak semua wilayah akan mengalami shock
makroekonomi, tetapi bagaimana shock tersebut dapat berguna bagi pembuatan
kebijakan yang lebih baik terhadap wilayah tersebut dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. David dkk, memperkirakan dampak ketidakseimbangan
makroekonomi terhadap hasil yang dicapai oleh suatu wilayah dengan wilayah
lainnya. Dengan demikian perlu didorong (push) berbagai pendekatan baik dari
bawah (bottom-up) seperti: faktor pasar, produk pasar dan berbagai agen ekonomi
yang spesifik dan ketersediaan fasilitas pelayanan dari wilayahnya sendiri.
Hay (1979), berdasarkan hasil penelitiannya di Brazil, mengatakan
bahwa setiap wilayah (region) memiliki keuntungan lokasi yang berbeda-beda dan
hal ini sangat tergantung pada keadaan geografi wilayah setempat. Dengan
demikian setiap wilayah dapat meningkatkan pembangunan wilayahnya sesuai
strategi-strategi yang disesuaikan dengan keuntungan lokasi (advantage location)
oleh pemerintah pusat. Dengan demikian model ini lebih banyak melihat
pembangunan wilayah pada aspek comparative advantage.
Otmazgin (2005), menyatakan kedudukan wilayah dalam kenyataannya
sangat dipengaruhi oleh aspek politik serta ekonomi dari suatu negara. Sebelum
dan setelah perang dingin antara Amerika Serikat dengan sekutunya melawan Uni
Soviet ternyata perwilayahan (regionalization) selalu difokuskan pada cultural
commodities, khususnya pada negara-negara di Asia Timur. Dasar dari
perwilayahan ini adalah, budaya dari masyarakat, pendekatan karakteristik
wilayah, pasar serta perhatian dari pemerintah seperti besarnya peran
lembaga-lembaga formal dalam mendukung peran serta masyarakat. Sedangkan sejauh ini
pemerintah hanya memperhatikan infrastruktur dan insetif bagi sektor industri
pada suatu wilayah., tetapi dalam waktu yang sama pemerintah melakukan
intervensi dalam proses cultural commodities dengan mempergunakan kekuatan
politik.
Menurut Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah Direktorat Jenderal Cipta
Karya Departemen Pekerjaan Umum (1992), tipologi wilayah ditentukan
berdasarkan potensi sumberdaya alam utama wilayah yang bersangkutan. Dengan
demikian berbagai kebijakan wilayah biasanya dipengaruhi oleh keadaan kondisi
atau potensi lokal wilayah tersebut dan hal ini berlaku pula bagi wilayah-wilayah
lainnya sebab masing-masing wilayah memiliki karakteristik dan potensi lokal
(local spesific) yang berbeda satu dengan lainnya.
Walaupun kadangkala ada beberapa wilayah yang memiliki keseragaman
(homogen) karakteristik tertentu, tetapi secara umum setiap wilayah memiliki
didasarkan pada pola keterkaitan parameter yang di ukur dengan ruang (space)
wilayah. Wilayah merupakan tempat berbagai aktivitas dilakukan baik untuk
berproduksi maupun untuk memperoleh hasil atau pendapatan dari aktivitas yang
dilakukan. Oleh karena sifat ruang yang terbatas maka pola penggunaannya perlu
menjadi perhatian dalam pembuatan kebijakan wilayah.
Banyaknya kebijakan yang dibuat dan tidak sesuai dengan pola
penggunaan ruang (spatial) akan menimbulkan kesalahan dalam pengambilan
kebijakan. Hal seperti ini sering terjadi karena tidak memperhatikan aspek
karakteristik wilayah yang berbeda tersebut seperti, banyaknya
kebijakan-kebijakan yang hanya berpatokan pada asumsi semua wilayah homogen baik di
pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa. Berbagai kebijakan yang keliru masih
tercermin dari salahnya pengambilan kebijakan dengan mengasumsikan Indonesia
sebagai negara daratan (landlock state) padahal sudah jelas seperti tertuang
dalam UUD Negara Indonesia bahwa negara kesatuan republik Indonesia adalah
negara kepulauan (archipelagic state). Sebagai wilayah kepulauan tentunya
memiliki karakteristik kapasitas atau kemampuan serta potensi lokal (local
spesific) wilayah yang berbeda (growth potensial/local spesific/wisdom). Potensi
lokal wilayah ini perlu dimanfaatkan atau dikelola sehingga menjadi daya tarik
(attractiveness) dalam mempercepat dan meningkatkan daya saing antarwilayah
yang saling menguntungkan.
2.2.2. Dinamika Antarsektor dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi