I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan bagian dari wilayah di permukaan bumi, memiliki
rona wilayah yang heterogen terdiri dari pulau-pulau. Menurut Yakub (2004),
bentuk-bentuk rona suatu wilayah dikatakan sebagai negara atau wilayah
kepulauan (archipelagic state/archipelago), dari aspek fisiografinya merupakan
wilayah yang tidak kompak/seragam (non contigous shape). Non contigous shape
yaitu, suatu wilayah yang berbentuk fragmental (kepulauan), terpecah (broken
shape), tersebar (scattered shape) dan lingkar laut (sircum marine).
Sitaniapessy (2002), menyatakan wilayah kepulauan terbentuk karena
adanya perbedaan karakteristik yang disebabkan oleh perbedaan aspek geografis,
fisik, iklim, sosial budaya dan etnis serta adanya perbedaan pada tahap
perkembangan pembangunan ekonomi wilayah. Sedangkan Monk et al. (2000),
berpendapat bahwa wilayah kepulauan merupakan kumpulan pulau-pulau yang
mengelompok secara bersama sebagai suatu masa daratan yang seluruhnya
dikelilingi oleh laut.
Aspek fisiografi di atas menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara
kepulauan (archipelagic state) letak geografisnya bagaikan untaian “zamrud” di khatulistiwa. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah laut terluas
mencapai 3.1 juta Km2 dan panjang pantai 80 791 km atau sekitar 43 670 mil
terpanjang kedua setelah Kanada. Gugusan kepulauan mencapai 17 500-an buah
pulau, terbentang dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai Rote.
wilayah yang beraneka ragam dan berlimpah untuk segera dikelola yang berbasis
local spesific di bidang kelautan atau bahari/maritim (Azis, 2004).
Kusumaatmaja (2005), mengatakan bahwa keunggulan sumberdaya alam
dan letak geografis Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state)
merupakan keunggulan potensi lokal (local spesific) wilayah yang strategis.
Keunggulan potensi lokal sumberdaya kelautan atau bahari perlu menjadi
pertimbangan di dalam mengelola kegiatan ekonomi. Oleh karena itu secara
geopolitik dan geoekonomi sumberdaya tersebut seharusnya menjadikan
Indonesia sebagai pusat pertumbuhan (growth pole) bagi negara-negara
disekitarnya.
Paradigma pembangunan selama ini berorientasi pada pembangunan
wilayah daratan (continental) adanya kekeliruan tentang paradigma pembangunan
yang tidak berorientasi pada konsep wilayah kepulauan (archipelago/archipelagic
state) oleh Lukman (2004), dikatakan sebagai gagalnya pembangunan wilayah
yang pengembangan perekonomian wilayah belum berbasis pada sektor perikanan
diantaranya belum tercapainya swasembada ikan dan gagalnya kemampuan
penyediaan fasilitas pelayanan di sektor angkutan air (laut). Menurut Lukman
sektor angkutan air (laut) merupakan salah satu sektor yang sangat berpengaruh
untuk pengembangan ekonomi wilayah kepulauan sehingga harus menjadi
perhatian pemerintah pusat maupun daerah.
Konsep pembangunan selama ini masih dibentuk dengan paradigma
pembangunan wilayah daratan (continental/landlock state) tanpa memperhatikan
aspek kapasitas atau potensi lokal wilayah. Paradigma pembangunan yang
secara besar-besaran dari wilayah pusat (core) terhadap wilayah pinggiran
(periphery). Pemahaman pola pembangunan yang demikian ternyata menciptakan
ketimpangan pembangunan (regional disparity) yaitu, tidak semua wilayah dapat
merasakan hasil pembangunan yang sama dengan wilayah lain. Sehingga aspek
kapasitas atau potensi lokal tidak tergarap secara optimal.
Selanjutnya pemerintah daerah belum mampu menciptakan pusat-pusat
pertumbuhan baru (new growth poles) karena belum mampu mengidentifikasi/
menemukenali dan menentukan sektor-sektor unggulan mana yang berbasis local
spesific. Selain itu seluruh aktivitas perekonomian baik barang dan jasa
(infrastruktur, keuangan, transportasi dan komunikasi) dan seluruh investasi
terpusat pada satu pusat pertumbuhan yaitu di ibukota provinsi. Hal ini
mengakibatkan munculnya persepsi investor yang sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan dan kemudahan yang diperoleh bila berinvestasi di pusat
pertumbuhan. Dengan demikian wilayah di luar pusat pertumbuhan (periphery)
akan semakin tertinggal dan menimbulkan regional disparity.
Oleh sebab itu kebijakan-kebijakan ekonomi wilayah kepulauan
(archipelagic state/archipelago) seharusnya berbasis pada kapasitas atau potensi
lokal wilayah kepulauan yaitu maritim/bahari. Kebijakan ekonomi yang tidak
didasari keunggulan wilayah sering mengakibatkan ketertinggalan pada
wilayah-wilayah lain. Sebagai contoh majunya wilayah-wilayah-wilayah-wilayah di Kawasan Barat
Indonesia (KBI) khususnya pulau Jawa menimbulkan ketimpangan antar Jawa
dengan wilayah di luar Jawa. Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah kota/kabupaten
berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) selain itu 62 persen luas wilayah
Indonesia berada di KTI.
Sebagai negara kepulauan (archipelagic state) pembuat atau pengambil
kebijakan harus merubah paradigma pembangunan wilayah dari berbagai
kebijakan dan strategi pembangunan yang berorientasi pada konsep wilayah
daratan (landlock state/continental) menjadi wilayah kepulauan (archipelago
/archipelagic state). Konsep-konsep pembangunan yang tidak didasarkan pada
kapasitas atau potensi lokal wilayah dan berorientasi maritim /bahari sebagai
sektor unggulan atau pada konsep wilayah kepulauan akan menjadikan wilayah di
luar pulau Jawa semakin tertinggal dan menimbulkan ketimpangan antarwilayah
bahkan disintegrasi bangsa.
Menurut World Bank (2009), selama bertahun-tahun unsur spasial belum
menjadi perhatian utama sehingga diperlukan konsep pemahaman implementasi
pada satu konsep pendekatan terhadap geografi ekonomi. Dengan demikian
perubahan-perubahan terhadap pergeseran struktural ekonomi wilayah dapat
disesuaikan dengan potensi lokal (local spesific) wilayah setempat sesuai
sektor-sektor unggulannya.
Berlakunya UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004 (sebagai
revisi dari UU No.22 dan No.25 Tahun 1999) maka pemerintah daerah dituntut
untuk semakin mandiri dan mampu dalam mengelola berbagai potensi
sumberdaya yang ada dengan tetap memperhatikan sustainable development dari
daerah tersebut. Namun seringkali kebijakan-kebijakan pemerintah pusat di era
otonomi lebih memperhatikan kebijakan politis dan kurang memperhatikan
setelah otonomi belum mampu mendorong atau mengupayakan peningkatan
sektor-sektor berbasis kapasitas dan potensi (local spesific) wilayahnya.
Sjafrizal (2008), menyatakan perubahan sistem pemerintahan dan
pengelolaan pembangunan daerah dan terjadinya globalisasi ekonomi akan
menimbulkan perubahan yang cukup dratis dalam pembangunan ekonomi daerah.
Kebijakan pembangunan yang selama ini hanya merupakan pendukung kebijakan
nasional mulai mengalami pergeseran sesuai dengan keinginan dan aspirasi
masyarakat yang berkembang di daerah.
Kartasasmita (1996), menyatakan pelaksanaan pembangunan wilayah
harus merupakan bagian integral dari proses pembangunan nasional dan
menempati posisi strategis dalam kebijakan pembangunan nasional. Sedangkan
pembangunan daerah bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat di
daerah melalui perencanaan pembangunan yang serasi, selaras dan terpadu baik
antarsektor dengan perencanaan daerah. Untuk itu sudah sepatutnya daerah-daerah
pada era otonomi dan memiliki kewenangan atau kebebasan dalam menjalankan
berbagai kebijakan pembangunan, lebih di arahkan pada pengembangan
sektor-sektor ekonomi yang berbasis pada kapasitas atau potensi lokal wilayah.
Berdasarkan kajian-kajian atau pendapat para pakar ekonomi yang di
dasarkan pada perubahan selama kebijakan otonomisasi dilakukan, maka
penelitian ini diarahkan untuk menganalisis bagaimana seharusnya pembangunan
ekonomi wilayah dilakukan. Kajian yang lebih mendalam mengenai berbagai
potensi lokal wilayah dan tingkat perkembangan ekonomi wilayah, sudah menjadi
keharusan bagi pemerintah daerah maupun pusat untuk mendorong atau
menciptakan pusat pengembangan atau pusat-pusat pertumbuhan baru (new
growth poles) sesuai dengan kapasitas atau potensi lokal wilayah berbasis
maritim/bahari harus menjadi political will pemerintah daerah. Oleh sebab itu
pemerintah yang berkuasa harus mereorentasi konsep pengembangan wilayah
kepulauan berbasis maritim/bahari sesuai karakteristik/kearifan lokal dengan
meningkatkan kemampuan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan
wilayah.
Provinsi Maluku dikenal sebagai daerah “seribu pulau” yang juga dikenal pada masa lampau dengan sebutan “The Spice Island” memiliki luas wilayah seluas 851 000 km2. Provinsi ini dengan luas wilayahnya 90 persen merupakan
lautan seluas 765 272 km2 dan 10 persen daratan sekitar 85 724 km2 (Bappeda
Provinsi Maluku, 1999). Sebagai wilayah kepulauan yang memiliki bentuk
wilayah atau rona wilayah (non contigous shape). Dengan rona wilayah kepulauan
(fragmental), broken shape, scattered shape dan sicrum marine maka Maluku
memiliki berbagai karakteristik dan potensi lokal wilayah yang beragam
(heterogen) baik dari sisi geografi, ekonomi dan sosial budaya.
Pengembangan wilayah kepulauan Provinsi Maluku yang terdiri dari
pulau-pulau dan dipisahkan oleh lautan masih terfokus pada satu pusat
pertumbuhan wilayah saja yaitu Kota Ambon. Lemahnya peran di sektor
infrastruktur seperti sektor jasa, angkutan dan komunikasi membuat beberapa
wilayah di daerah ini, hampir-hampir tidak memiliki akses keluar-masuk (exit
and entry) antarwilayah bahkan di dalam wilayah administrasinya sendiri. Hal ini
mengakibatkatkan wilayah di luar pusat pertumbuhan provinsi ini belum mampu
Kapasitas atau potensi lokal wilayah yang beraneka ragam dan memiliki
kemampuan sumberdaya alam bahari melimpah, seharusnya Provinsi Maluku
mampu untuk memacu atau mendorong keunggulan potensi sumberdaya alamnya.
Keunggulan wilayah pada sumberdaya alam bahari/maritim merupakan potensi
lokal seharusnya menjadi sektor unggulan dan pendorong utama (prime mover)
terhadap seluruh aktivitas sektor-sektor ekonomi wilayah kepulauan ini.
Sesuai kondisi wilayah Provinsi Maluku, maka kebijakan-kebijakan
perencanaan pembangunan wilayah yang berbeda dengan kondisi wilayahnya
dalam jangka panjang akan mengalami kegagalan. Kurang mendukungnya
infrastruktur (sektor jasa, angkutan dan komunikasi) antarwilayah, antara wilayah
pinggiran (periphery) dengan pusat (core) tentunya menimbulkan ketimpangan
atau kesenjangan (disparity) pembangunan wilayah kabupaten/kota di Provinsi
Maluku.
Pada pelaksanaannya pembangunan di wilayah Maluku harus benar-benar
secara agresif dan integratif dapat memberikan manfaat bagi wilayah-wilayah
belakangnya (periphery). Hal ini berhubungan dengan penetapan lokasi investasi
sehingga dapat meminimalisasi ketimpangan (disparity) antarwilayah dalam
pemanfaatan ruang (spatial) dan potensi lokal sehingga memacu atau mendorong
sektor-sektor unggulan setiap wilayah yang ada di Provinsi Maluku.
Pembangunan wilayah kepulauan Provinsi Maluku yang berorientasi pada
pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP) sektor unggulan wilayah berbasis
local spesific merupakan bagian dari arah dan strategi kebijakan pembangunan
wilayah berkarakteristik kepulauan. Oleh sebab itu pembangunan di wilayah ini
pertumbuhan pembangunan (growth poles development) dan memiliki daerah
penyangga (hinterland) sehingga mampu mendorong atau mempercepat proses
pengembangan wilayah. Dengan demikian kekuatan – kekuatan agglomerasi
dapat menciptakan dukungan ke depan (spread effect) maupun dukungan ke
belakang (backwash effect). Sehingga pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth
pole) mampu mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah secara keseluruhan dan
memiliki keterkaitan ke depan maupun ke belakang (forward and backward
linkages) antarwilayah (interregional) maupun antarsektor (intersectoral).
Pengembangan wilayah kepulauan Provinsi Maluku berhubungan erat
dengan bagaimana daerah mampu mengidentifikasi/menemukan dan menentukan
serta mengelola potensi lokal wilayah yang ada. Sebagai wilayah kepulauan
dengan potensi maritim/bahari mengharuskan pembangunan daerah secara tepat,
efektif dan efisien serta mampu mengembangkan sektor-sektor ekonomi unggulan
wilayah kepulauan di Provinsi Maluku. Dengan demikian penelitian tentang
pengembangan (KSP) pada wilayah kepulauan berdasarkan kapasitas dan potensi
lokal dalam meningkatkan perekonomian wilayah kepulauan Provinsi Maluku
sangat perlu untuk dilakukan.