• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teoritis

A. Pembangunan Manusia

Menurut UNDP (1990), pembangunan manusia adalah suatu proses untuk perluasan pilihan bagi setiap orang untuk berumur panjang dan sehat, berpendidikan, dan dapat mengakses sumber daya yang dibutuhkan demi standar hidup yang layak. Pilihan-pilihan lainnya berupa kebebasan berpolitik, jaminan hak-hak manusia dan harga diri. Pembangunan manusia harus berfokus lebih dari sekedar pembentukan kapabilitas manusia, seperti meningkatkan kesehatan atau pendidikan, akan tetapi harus memperhatikan pemanfaatan kapabilitas tersebut untuk bekerja, rekreasi atau untuk beraktifitas dalam hal politik dan kebudayaan (UNDP, 1990).

Amartya Sen (1999), berpendapat bahwa pembangunan dapat dilihat sebagai suatu proses perluasan kebebasan yang dinikmati penduduk. Fokus dari pembangunan manusia berbeda jauh dengan pandangan-pandangan sempit tentang pembangunan, seperti identifikasi hasil pembangunan melalui pertumbuhan GNP, kenaikan pendapatan, pertumbuhan industrialisasi, peningkatan teknologi, atau modernisasi lingkungan sosial. Pertumbuhan GNP maupun peningkatan pendapatan penduduk tentu saja dapat merefleksikan perluasan kebebasan yang dinikmati oleh anggota masyarakat. Akan tetapi kebebasan juga bergantung pada faktor-faktor penentu lainnya, seperti pengaturan permasalahan sosial dan ekonomi (seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan) harus sebaik

(2)

commit to user

permasalahan politik dan hak-hak sipil (seperti kebebasan berpartisipasi dan diskusi publik dan pengawasan). Apabila kebebasan merupakan hasil dari kemajuan pembangunan, maka sangat beralasan untuk memusatkan pembangunan pada tujuan secara menyeluruh, bukan pada cara-cara tertentu atau instrument-instrumen tertentu yang sudah ditetapkan.

B. Indeks Kualitas Hidup (IKH) / The Phisical Quality of Life Index (PQLI) Sebagai respon dari ketidakpuasan terhadap hasil dari strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan., beberapa negara kaya dan miskin menunjukkan perhatian baru pada kemungkinan perecpatan pemenuhan kebutuhan minimum penduduk miskin. Untuk itu beberapa lembaga penelitian (The United Nation Research Institute for Social

Development/UNRISD, Organisation for Economic Co-operation and Developmnet/OECD), Bank Dunia) melakukan studi tentang ukuran hasil

pembangunan dengan orientasi manusia. Dari hasil studi tersebut tidak satupun ukuran yang menggambarkan sejauh mana manfaat pembangunan diterima oleh penduduk miskin. Berdasarkan kajian dari usaha-usaha yang telah dilakukan oleh lembaga penelitian terdahulu, Overseas Development

Council (ODC) mencoba untuk tidak mencakup semua variabel dalam proses

pembangunan dalam satu ukuran. ODC menetapkan tiga indikator yang menjadi perhatian, yaitu: Angka kematian bayi / Infant Mortality Rate (IMR), angka harapan hidup satu tahun, dan angka literasi (melek huruf). Ketiga indikator tersebut menjadi komponen dalam penyusunan indikator komposit IKH/PQLI (Morris, 1979).

(3)

commit to user

Beberapa hal yang mendasari Morris untuk menyususn suatu indikator komposit dengan memasukkan beberapa komponen adalah: a) Indeks itu tidak mengasumsikan bahwa hanya terdapat satu pola pembangunan, b) Indeks itu menghindari standar yang merefleksikan nilai-nilai dari masyarakat tertentu, c) Indeks tersebut bisa mengukur hasil bukan masukan, d) Indeks tersebut harus bisa menunjukkan distribusi hasil pembangunan, e) Indeks tersebut harus sederhana dan mudah menghitungnya, f) Indeks itu harus bisa menunjukkan perbandingan internasional.

Penghitungan IKH dapat diformulasikan sebagai berikut :

IKH = 1/3 [Ia + Ib + Ic] (2.1)

dimana Ia adalah indeks usia harapan hidup satu tahun, yang didapat dari

hasil penghitungan :

Ia=(𝑒1–38)/0,39 (2.2)

Angka 38 adalah batas bawah harapan hidup usia satu tahun yang ditemukan di Vietnam tahun 1950 (dalam indeks = 0), sedangkan batas atasnya adalah 78 berdasarkan hipotesa kematian tua/senescent deaths (dalam indeks=100).

Angka 0,39 merupakan perubahan usia harapan hidup (dalam tahun) sebagai akibat dari perubahan satu skala angka indeks.

Mengingat data nasional yang tersedia biasanya berupa data angka harapan hidup nol tahun (𝑒0), maka untuk mendapatkan angka harapan hidup satu tahun, didapatkan melalui penghitungan :

(4)

commit to user 𝑒1

=

𝑒0−1+𝑞0(1−𝑘0)

1−𝑞0

(2.3)

dimana 𝑒0 adalah usia harapan hidup waktu lahir, 𝑞0 adalah angka kematian bayi per 1000 kelahiran (IMR), 𝑘0 adalah estimasi rata-rata umur bayi yang meninggal sebelum usai satu tahun.

Ib adalah indeks IMR yang didapatkan dari hasil penghitungan dengan

formula sbb. :

Ib = (229 – IMR) /2,22 (2.4)

dimana angka 229 merupakan nilai tertinggi IMR yang tercatat sejak tahun 1950 dan ditemukan di Gabon (dalam indeks=0), sedangkan IMR terendah adalah 7 dan ditemukan di Swedia (dalam indeks=100). Angka 2,22 merupakan besaran perubahan IMR akibat perubahan satu skala indeks.

Ic adalah indeks literasi yang diambil langsung dari angka literasi (melek

huruf).

C. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Menurut UNDP, ada kelemahan dalam penghitunga PQLI, yaitu bahwa dari ketiga indikator yang digunakan secara jelas ada dua indikator yang saling tumpang tindih, khususnya bagi negara berkembang yaitu angka kematian bayi dan angka harapan hidup satu tahun. Kedua indikator tersebut berhubungan dengan umur panjang dan saling berkorelasi sangat kuat (UNDP, 1990).

Persepsi pembangunan telah bergeser, pertama dari pembangunan ekonomi menjadi pembangunan sosio ekonomi dengan penekanan baru pada

(5)

commit to user

kemiskinan. Saat ini persepsi pembangunan adalah pembangunan manusia, yang menekankan pembangunan pada pilihan-pilihan manusia dan menjadikan manusia sebagai orientasi pembangunan. Hal tersebut merefleksikan bahwa ukuran pembangunan bukan hanya pada perkembangan komoditas dan kesejahteraan, akan tetapi sebagai perluasan pilihan-pilihan bagi manusia (UNDP, 1990).

Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, UNDP memperkenalkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI). IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dari indeks harapan hidup (e0), indeks pendidikan (angka melek huruf dan

rata-rata lama sekolah), dan indeks standar hidup layak. Komponen IPM adalah usia hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent living).

Penghitungan IPM dapat diformulasikan sebagai berikut :

IPM = 1/3 [X(1) + X(2) + X(3)] (2.5)

dimana :

X(1) : Indeks harapan hidup

X(2) : Indeks pendidikan = 2/3(indeks melek huruf) + 1/3(indeks

rata-rata lama sekolah)

X(3) : Indeks standar hidup layak

Nilai IPM berkisar antara 0 hingga 100, semakin mendekati 100, maka hal tersebut merupakan indikasi pembangunan manusia yang semakin baik. Berdasarkan nilai IPM, UNDP membagi status pembangunan manusia

(6)

commit to user

suatu negara atau wilayah ke dalam tiga golongan, yaitu: 1. IPM < 50 (rendah); 2. 50 ≤ IPM < 80 (sedang/menengah); 3. IPM ≥ 80 (tinggi).

Sebagai sebuah indikator baru, beberapa kritikan teradap IPM bermunculan. Desai (1991) mengkritik bahwa tiga indeks dasar ditambahkan bersama-sama dalam penghitungan IPM, sehingga membuat pendapatan, kesehatan dan pendidikan bersubstitusi. Sebaliknya, ia mengusulkan untuk menggunakan bentuk aditif log yang membatasi substitusi tersebut (Desai, 1991:356). McGillivray (1991) menyatakan bahwa IPM cacat dalam komposisi komponennya, dan seperti beberapa indikator yang telah ada sebelumnya (seperti GNP per kapita), IPM gagal untuk memberikan wawasan perbandingan tingkat perkembangan antar negara apabila tidak ada indikator-indikator pendukung yang lain. Indeks pembangunan manusia lebih efektif untuk memberikan pernyataan ideologis daripada pandangan baru dalam tingkat pembangunan antar negara (McGillivray, 1991).

Meskipun ada beberapa kritik yang benar, kenyataannya tetap menunjukkan bahwa ketika IPM digunakan bersama dengan indikator-indikator pembangunan ekonomi tradisional sangat meningkatkan pemahaman kita tentang negara mana yang mengalami perkembangan dalam pembangunan dan mana yang tidak. Dengan memodifikasi HDI suatu negara secara keseluruhan untuk mencerminkan distribusi pendapatan, jenis kelamin, regional, dan perbedaan etnis, seperti yang disajikan dalam Laporan Pembangunan Manusia, dapat mengidentifikasi tidak hanya apakah suatu negara sedang melaksanakan pembangunan, tetapi juga dapat diketahui

(7)

commit to user

apakah keragaman kelompok yang signifikan di negara tersebut menyertai dalam proses dalam pembangunan (Todaro and Smith, 2012: 54).

D. Kemiskinan

Pengertian dan garis besar kemiskinan telah menjadi perhatian utama umat manusia selama beberapa abad. Sejak tahun 1880-an, tiga konsepsi alternatif tentang kemiskinan telah berevolusi sebagai dasar untuk penelitian berskala internasional dan komparatif. Ketiganya secara prinsip didasari pemikiran tentang subsisten, kebutuhan dasar, dan deprivasi relatif. Penggunaan "subsisten" untuk mendefinisikan kemiskinan mendapat banyak kritik, dikarenakan hal tersebut menyiratkan bahwa kebutuhan manusia utamanya hanya pada kebutuhan secara fisik dari pada kebutuhan sosial (UNDP, 2006).

Pada tahun 1970-an, formulasi kedua yang menggunakan “kebutuhan dasar” mulai memberikan pengaruh yang luas dan mendapat dukungan sepenuhnya dari ILO (International Labour Organization). Ada dua unsur yang menjadi perhatian konsepsi ini. Pertama adalah kebutuhan konsumsi minimum rumahtangga, yaitu: makanan yang cukup, tempat tinggal dan pakaian, serta perabot rumah tangga dan peralatan. Unsur kedua adalah layanan penting yang disediakan oleh dan untuk masyarakat luas, seperti: air bersih, sanitasi, transportasi umum dan perawatan kesehatan, pendidikan dan fasilitas budaya. Untuk wilayah perdesaan, konsep kebutuan dasar juga memasukkan tanah, peralatan pertanian dan akses ke pertanian.

(8)

commit to user

Konsep kebutuhan dasar merupakan pengembangan dari konsep subsisten. Konsep ini, di sisi lain, bertujuan untuk membangun setidaknya beberapa prasyarat untuk pengembangan masyarakat. Konsep kebutuhan dasar berperan penting dalam rencana pembangunan nasional dan dikembangkan oleh masyarakat internasional, khususnya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Pada akhir abad ke-20, formulasi kemiskinan yang menggunakan konsep deprivasi relatif mulai dikembangkan. Pendekatan ini menggariskan bahwa setiap ukuran kemiskinan dan oleh karenanya jumlah orang yang dianggap dalam kemiskinan hanya bisa ditentukan melalui rujukan pada standar hidup anggota masyarakat tertentu.

Pada abad ke-21, masyarakat mengalami perubahan yang cepat sehingga standar kemiskinan yang telah dikembangkan pada masa terdahulu sulit untuk diterapkan. Hal tersebut dikarenakan masyarakat yang tinggal di masa sekarang tidak tunduk pada hukum, kewajiban dan kebiasaan yang sama dan yang telah diterapkan pada era sebelumnya (UNDP, 2006).

Amartya Sen (1999) di dalam bukunya Development As Freedom mengemukakan bahwa kemiskinan harus dipandang sebagai deprivasi kapabilitas dasar daripada sekedar sebagai rendahnya pendapatan yang merupakan kriteria standar identifikasi kemiskinan. Perspektif kapabilitas-kemiskinan tidak menyangkut perihal bantahan terhadap pandangan yang menyatakan bahwa penghasilan rendah merupakan salah satu penyebab utama kemiskinan, sepanjang kurangnya pendapatan dapat menjadi alasan

(9)

commit to user

utama deprivasi kapabilitas individu. Beberapa pernyataan yang mendukung pendekatan kapabilitas terhadap kemiskinan adalah sebagai berikut :

a. Kemiskinan dapat diidentifikasi secara masuk akal dalam hal deprivasi kapabilitas; suatu pendekatan yang berkosentrasi pada deprivasi-deprivasi yang pada hakekatnya merupakan sesuatu yang penting (tidak seperti rendahnya pendapatan, yang hanya signifikan secara instrumental).

b. Ada pengaruh-pengaruh pada deprivasi kapabilitas -dengan demikian pada kemiskinan yang seseungguhnya- selain rendahnya pendapatan (pendapatan bukan satu-satunya instrumen dalam membangkitkan kapabilitas).

c. Hubungan yang terjadi antara pendapatan rendah dan kemampuan rendah adalah suatu kejadian yang bisa berlainan di antara komunitas yang berbeda dan bahkan antara keluarga yang berbeda dan individu yang berbeda (dampak dari pendapatan terhadap kapabilitas bersifat tidak pasti dan kondisional).

BAPPENAS mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk

(10)

commit to user

berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability

approach) dan pendekatan objective and subjective approach

(Multifiah,2011).

UNDP (2006) berpendapat bahwa kemiskinan mencerminkan kurangnya pilihan dan peluang dalam pendidikan, kesehatan, dan penguasaan sumber daya, serta hak bersuara dalam proses demokrasi (UNDP, 2006).

Pada tahun 2010, Bank Dunia juga mendefinisikan ulang kemiskinan sebagai berikut: “Kemiskinan adalah depriviasi kesejahteraan yang nyata, dan bersifat multidimensial. Termasuk di dalamnya adalah pendapatan yang rendah dan ketidakmampuan untuk mendapatkan kebutuhan dasar yang diperlukan untuk mempertahankan hidup dengan bermartabat. Kemiskinan juga mencakup rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan, akses yang buruk terhadap air bersih dan sanitasi, keamanan fisik yang tidak memadai, kurangnya hak bersuara, kurangnya kapasitas yang memadai, dan kurangnya kesempatan untuk hidup yang lebih baik (World Bank, 2013).

Dari beberapa konsep/definisi kemiskinan yang diuraikan di atas, penelitian ini menggunakan konsep pemenuhan kebutuhan dasar yang dikemukakan oleh BAPPENAS. Hal tersebut dikarenakan konsep tersebut sangat relevan dengan kondisi kemiskinan di Indonesia dan ketersediaan data.

(11)

commit to user E. Pengukuran Kemiskinan

Ada empat alasan pengukuran kemiskinan, yaitu: a) Menjaga penduduk miskin tetap dalam perhatian, b) Mengidentifikasi penduduk miskin dan menetapkan sasaran intervensi secara tepat, c) Memonitor dan mengevaluasi program dan kebijakan intervensi untuk penduduk miskin, d) Mengevaluasi efektivitas lembaga yang bertujuan membantu penduduk miskin.(Haughton dan Khandker, 2009: 1).

Menurut Haughton dan Khandker (2009), penduduk miskin adalah mereka yang mempunyai besaran pengeluaran (atau pendapatan) di bawah garis kemiskinan. Ada tiga metode untuk menentukan garis kemiskinan, yaitu: pengeluaran untuk kebutuhan dasar, asupan enersi makanan, dan penilaian yang bersifat subyektif. Pendekatan biaya kebutuhan dasar paling sering digunakan. Pada pendekatan ini, pertama kali yang harus dilakukan adalah melakukan estimasi biaya makanan dengan gizi yang memadai (umumnya, 2.100 kalori per orang per hari), kemudian menambahkan biaya kebutuhan pokok yang lain seperti pakaian dan perumahan.

Apabila informasi harga tidak tersedia, maka metode biaya kebutuhan dasar tidak dapat digunakan, oleh karenanya menggunakan metode asupan enersi makanan. Pada metode ini, dilakukan plot antara pengeluaran (atau pendapatan) per kapita dengan konsumsi makanan (dalam kalori per kapita per hari) yang bertujuan untuk menentukan tingkat pengeluaran (atau pendapatan) yang dibutuhkan rumah tangga dalam memperoleh makanan yang cukup.

(12)

commit to user

Garis kemiskinan subyektif didasarkan pada permintaan penduduk perihal tingkat pendapatan minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan. Garis kemiskinan absolut adalah tetap dari waktu ke waktu, dan disesuaikan hanya apabila terjadi inflasi, seperti yang dilakukan Amerika Serikat. Hal tersebut memungkinkan untuk melihat perkembangan kemiskinan dari waktu ke waktu, dan juga berguna untuk mengevaluasi dampak dari kebijakan dan program pengentasan kemiskinan. Bagaimanapun, di banyak negara, garis kemiskinan selalu direvisi dari waktu ke waktu. Hal tersebut berimplikasi bahwa kemiskinan yang diukur adalah kemiskinan relatif bukan kemiskinan absolut.

Penentuan garis kemiskinan bergantung pada manfaat yang akan diambil, sehingga, untuk perbandingan internasional, standar satu dolar ($ 1.0) per hari adalah sangat membantu, sedangkan untuk penentuan target program atau kebijakan untuk orang miskin garis kemiskinan relatif sudah cukup. Pemilihan garis kemiskinan yang tepat adalah masalah penilaian, dan karena itu akan bervariasi antar negara (Haughton dan Khandker, 2009 : 39-40).

Standar garis kemiskinan satu dolar ($ 1.0) per hari, pertama kali diusulkan oleh Bank Dunia pada tahun 1990. Ukuran tersebut untuk mengukur kemiskinan absolut dengan standar negara-negara termiskin di dunia. Berdasarkan set data garis kemisninan nasional Amerika Serikat terbaru ditemukan bahwa gradien ekonomi hanya muncul ketika konsumsi

(13)

commit to user

per orang di atas paritas daya beli sekitar dua dolar ($ 2) per hari pada tahun 2005. Oleh karenanya, Bank Dunia mengusulkan garis kemiskinan rata-rata 1,25 dolar ($ 1,25) per hari sebagai garis kemiskinan internasional yang baru. Mengingat bahwa kemiskinan relatif tampaknya lebih penting bagi negara-negara berkembang daripada yang telah diperkirakan selama ini, maka Bank Dunia mengusulkan untuk membatasi garis kemiskinan relatif dibatasi di bawah 1,25 dolar per hari dan dinaikkan pada gradien satu dolar ($ 1) apabila rata-rata konsumsi di atas dua dolar ($ 2) per hari (Ravallion, Chen, dan Sangraula, 2008).

Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan menggunakan pendekatan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (Basic needs

approach). Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai

ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Berdasarkan pendekatan ini, ada tiga indikator kemiskinan yang diukur, yaitu :

a. Head Count Index (HCI-P0), yaitu persentase penduduk di bawah

garis kemiskinan. Garis kemiskinan (GK) terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM), yang diformulasikan sebagai berikut. :

GK = GKM + GKNM (2.6) Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk

(14)

commit to user

yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.

i. Garis Kemiskinan Makan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kkalori per kapita per hari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi yang paling banyak dikonsumsi oleh orang miskin. Proporsi jumlah pengeluaran untuk 52 komoditi tersebut sekitar 70 persen dari total pengeluaran orang miskin.

ii. Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. iii. Teknik/tahapan penghitungan Garis Kemiskinan adalah sebagai

berikut :

i. Menghitung laju inflasi umum Bulan Juli tahun tertentu (t) menurut kabupaten/kota berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada tahun tersebut. Laju inflasi dapat dihitung pada 66 kota.

ii. Menghitung Garis Kemiskinan untuk tingkat kabupaten/kota menggunakan formula sebagai berikut :

(15)

commit to user dimana :

𝐺𝐾𝑖𝑗𝑡 = Garis Kemiskinan tahun t provinsi ke-i kabupaten ke-j

𝐺𝐾𝑖𝑗𝑡−1 = Garis Kemiskinan tahun t-1 provinsi ke-i kabupaten

ke-j

𝛽𝑖𝑗 = Laju inflasi kelompok referensi provinsi ke-i kabupaten ke-j

iii. Laju inflasi kelompok referensi diperoleh dari rasio pertumbuhan garis kemiskinan (Garis kemiskinan hasil penghitungan dari data Susenas Bulan Maret tahun t) terhadap laju inflasinya dikalikan laju inflasi kabupaten/kota.

iv. Menghitung jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin.

v. Penghitungan penduduk miskin provinsi dan nasional merupakan penjumlahan dari kabupaten-kota ataupun provinsi.

b. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1), yaitu

ukuran yang menggambarkan rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks merefleksikan semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan.

c. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2), yaitu

(16)

commit to user

pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks merefleksikan semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.

Penghitungan indikator-indikator kemiskinan tersebut menggunakan formulasi Foster-Greer-Thorbecke/FGT sebagai berikut :

𝑃

=

1 𝑛

[

𝑧−𝑦𝑖 𝑧

]

∝ 𝑞 𝑖=1 (2.8) dimana; α = 0, 1, 2 z = Garis Kemiskinan (GK)

yi= rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada di bawah GK (I = 1, 2, 3, ……, q), yi < z

q = banyaknya penduduk yang berada di bawah GK n = jumlah penduduk

Jika α=0, diperoleh Head Count Index (P0), jika α=1 diperoleh

Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1), dan jika

α=2 diperoleh Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity

Index-P2).

Ukuran kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil perhitungan Badan Pusat Statistik. Pemilihan ukuran tersebut dengan pertimbangan bahwa ukuran kemiskinan BPS merupakan ukuran yang digunakan pemerintah dalam evaluasi dan perencanaan pembangunan serta penentuan kebijakan makro, dan ketersediaan data kemiskinan pada tingkat kabupaten/kota.

(17)

commit to user 2.2 Kajian Empiris

Beberapa penelitian terkait IPM dan Kemiskinan telah dilakukan. Beberapa peneliti melakukan penelitian terkait determinan kemiskinan di suatu wilayah, dan sebagian besar hasil penelitian menyimpulkan bahwa IPM dan Kemiskinan berkorelasi secara signifikan. Namun hasil berbeda diperoleh salah seorang peneliti yang menganalisis determinan IPM di Nigeria yang menyimpulan bahwa IPM dan Kemiskinan berkorelasi positif. Secara lebih jelas, penelitian-penelitian diuraikan di bawah ini.

Cholili dan Pudjihardjo (2014) menganalisis faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia selama tahun 2008-2012. Tujuan penelitian ini untuk melihat bagaimana tiga variabel independen berpengaruh terhadap kemiskinan di Indonesia, dengan variabel independen adalah indeks pembangunan manusia, produk domestik regional bruto, dan pengangguran baik secara simultan maupun secara parsial. Hasil penelitian memperlihatkan adanya pengaruh secara simultan dari ketiga variabel independen dengan koefisien determinan 0.743 (R-Square). Namun ketika diuji secara parsial PDRB tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan, sedangkan IPM dan pengangguran secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan, dengan korelasi antar variabel tersebut negatif secara signifikan.

Saputra dan Mudakir (2011) menganalisis pengaruh indeks pembangunan manusia terhadap kemiskinan di Jawa Tengah selama kurun waktu 2005-2008. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mempunyai tanda negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Hal tersebut

(18)

commit to user

mengindikasikan bahwa semakin tinggi IPM, maka akan menurunkan tingkat kemiskinan. Nilai IPM yang dalam perhitungannya mencakup indikator pendidikan, kesehatan, dan pengeluaran per kapita, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu indikator kemiskinan suatu daerah.

Suliswanto dan Wahyudi (2010) menganalisis seberapa besar pengaruh Produk Domestik Bruto (PDB), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap Kemiskinan di Indonesia selama kurun waktu 2006-2008. Hasil analisis diperoleh bahwa nilai PDRB di masing-masing provinsi belum terlalu besar dalam mengurangi angka kemiskinan. Variabel IPM lebih dominan dalam pengurangan angka kemiskinan di Indonesia, dengan korelasi negatif secara signifikan.

Franciari dan Sugiyanto (2013) menganalisis pengaruh IPM, kapasitas fiskal, dan korupsi terhadap kemiskinan di Indonesia serta menganalisis perbedaan perilaku IPM, kapasitas fiskal, dan korupsi terhadap kemiskinan pada tahun 2008 dan 2010. Hasil analisis menyimpulkan bahwa IPM tidak signifikan mempengaruhi kemiskinan. Akan tetapi IPM dan kemiskinan mempunyai hubungan negatif, artinya, semakin tinggi IPM suatu kabupaten/kota, maka kemiskinan yang terjadi di kabupaten/kota tersebut semakin rendah.

Adediran (2012) menganalisis hubungan antara pembangunan manusia dan kemiskinan, dan menilai pengaruhnya terhadap target Millennium

Development Goals (MDGs) dan parameter kemiskinan. Kesimpulan yang didapat

menyebutkan bahwa Tingkat kemiskinan dan IPM berkorelasi positif secara signifikan apabila tingkat kemiskinan merupakan satu-satunya varaibel bebas, dan

(19)

commit to user

berkorelasi positif secara tidak signifikan apabila ada varibel bebas lain yang dibangun dalam model tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang telah diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwa analisis determinan kemiskinan belum cukup untuk mengevaluasi pencapaian hasil pembangunan. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan pada kajian historis perkembangan (trend) IPM dan kemiskinan di Jawa Tengah, serta menyusun analisa komparatif antar wilayah untuk memetakan fenomena perkembangan dua faktor (IPM dan kemiskinan) secara mendalam. 2.3 Prosedur Analisis

Berdasarkan kajian di atas, studi ini menganalisis pencapaian hasil pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah. Analisis dilakukan melalui perkembangan dan variasi IPM dan Tingkat Kemiskinan dari 35 kabupaten/kota yang ada selama kurun waktu tahun 1980-2013.

Tahap pertama adalah melakukan analisis perkembangan dan variasi nilai IPM kabupaten/kota selama masa Orde Baru dan Pasca Reformasi. Selanjutnya, variasi antar wilayah dilihat melalui komparasi posisi relatif nilai setiap daerah terhadap angka provinsi selama kurun waktu tertentu. Komparasi menghasilkan kelompok yang beranggotakan daerah dengan nilai IPM di atas angka provinsi dan kelompok daerah dengan nilai IPM di bawah angka provinsi. Karakteristik daerah dalam kelompok yang sama dianalisis lebih lanjut guna mengetahui karakteristik umum kelompok tersebut. Dengan cara yang sama, dua tahap berikutnya dilakukan analisis terhadap Tingkat Kemiskinan dan analisis terhadap

(20)

commit to user

nilai IPM dan Tingkat kemiskinan secara simultan. Gambaran tahapan analisis secara visual disajikan pada gambar 2.1

IPM, Tingkat Kemiskinan Kab. ke-1

Tahun 1980

IPM, Tingkat Kemiskinan Kab. ke-1

Tahun 2013  Perkembangan ?  Variasi ? Perbandingan ? IPM, Tingkat Kemiskinan Kab/kota berikutnya Th. 1980 IPM, Tingkat Kemiskinan Kab/kota berikutnya Th. 2013  Perkembangan ?  Variasi ? IPM, Tingkat Kemiskinan Kab.

ke-35 Tahun 1980

 Perkembangan ?  Variasi ?

IPM, Tingkat Kemiskinan Kab.

ke-35 Tahun 2013

Gambar 2.1. Kerangka Prosedur Analisis Indeks Pembangunan Manusia dan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Prosedur Analisis Indeks Pembangunan Manusia  dan Kemiskinan  Provinsi Jawa Tengah

Referensi

Dokumen terkait

Mendeskripsikan dampak positif dan negatif penerapan teknologi di sekitar tempat tinggal peserta didik terhadap lingkungan.. Merumuskan ide atau saran untuk mengatasi dampak

Keenam; Pasal 33 tidak melarang usaha orang seorang (non pemerintah),yaitu usaha swasta dalam negeri dan asing untuk usaha- usahaperekonomian yang tidak penting bagi negara atau

Berdasarkan hasil analisis ragam yang telah dilakukan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan macam media tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap variabel

“Sosialisasi perpajakan adalah upaya yang dilakukan oleh Dirjen Pajak untuk memberikan sebuah pengetahuan kepada masyarakat dan khususnya wajib pajak agar mengetahui

yang didukung oleh gambar, dapat diungkapkan makna ilokusi (makna tersirat) dari tuturan (2), yaitu tokoh Titeuf tidak hanya sekedar memikirkan Nadia (makna lokusi),

Kunjungan ke pokdakan dalam rangka monev bantuan dak dan verifikasi calon penerima bantuan abt 2020 4.. Pendampingan pelaku usaha

24 Ibid, h.. 1) Jika pencurian dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya. 2) Jika pencurian tesebut dilakukan dengan jalan

Untuk menjaga tampilan identitas, tidak dibenarkan menampilkan warna Biru Madani menjadi warna latar belakang diluar ketetapan versi