• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN PEMERINTAH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAYANAN PUBLIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERANAN PEMERINTAH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAYANAN PUBLIK"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN PEMERINTAH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM PELAYANAN PUBLIK

Government Role and Society Participation

In Public Service

Oleh: Priyanto Susiloadi

Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNS (Diterima tanggal 26 Mei 2006, disetujui tanggal 30 Juni 2006)

ABSTRACT

The provision of public service in Indonesia has not able to meet and satisfy the citizens demand and expectation. This condition implies that the government capacity public service in this country is poor. The Central Government has made variety of efforts in various sector to improve its service to the society but they are insuficient to satisfiy them.

For improving the poor public service, new approach that provide a space and chance to empower citizens is necessary. The citizen capacity may be empowered to strengthen the poor government capacity through its involvement in making decision together with the government so that they are not the user or implementers but the producers of decision on the way the public service should be performed. Thus, the provision of public service in the current Indonesia democratic society, requires the collaboration between the government and the citizens.

Key words: citizens, government capacity, participation, policy decisions, public service PENDAHULUAN

Pelayanan publik di Indonesia dewasa ini masih belum memenuhi tuntutan dan harapan masyarakat. Kondisi faktual memperlihatkan masih buruknya pelayanan publik di berbagai sektor dan bidang. Pelayanan publik masih sering tidak efektif, tidak efisien, berbelit, kurang profesional, prosedurnya tidak jelas, tidak ada kepastian waktu dan biaya, belum optimal memanfaatkan teknologi informasi, sektoral, pangkalan datanya lemah, rentan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), partisipasi masyarakat kurang, sikap aparat yang tidak menyenangkan, tidak adanya reward and punishment, diwarnai budaya paternalisme, dan diskresi dalam pemberian pelayanan lemah. Dari survei yang dilakukan Pusat Studi Kependudukan dan

Kebijakan UGM pada tahun 2002 membuktikan bahwa praktik penyelenggaraan pelayanan publik di kabupaten/kota di Indonesia masih penuh dengan ketidakpastian biaya, waktu dan cara pelayanan. Waktu dan biaya pelayanan tidak pernah jelas bagi pengguna pelayanan. Ini terjadi karena prosedur pelayanan tidak pernah menga-tur kewajiban dari penyelenggara pelayanan dan hak dari warga sebagai pengguna. Prosedur cenderung hanya mengatur kewajiban warga ketika berhadapan dengan rezim pelayanan. Ketidakpastian ini mendorong warga untuk membayar suap dan pungli kepada petugas agar pelayanan bisa segera diperoleh. Akibatnya suap dan pungli menjadi fenomena yang semakin diterima dan dianggap wajar. Disamping ketidak-pastian, masalah lain yang dengan mudah di-jumpai di hampir setiap pelayanan publik adalah

(2)

masih adanya diskriminasi pelayanan baik atas dasar hubungan pertemanan, afiliasi politik, etnis bahkan agama. Diskriminasi menurut etnis dan agama cenderung lebih buruk di luar Jawa-Bali daripada yang di Jawa-Bali. Ciri lain yang menggambarkan wajah buruk pelayanan publik yakni orientasi pelayanan yang lebih kepada kepentingan pemerintah dan pejabatnya bukan pada kepentingan pelanggan, budaya yang berkembang bukan budaya pelayanan melainkan budaya kekuasaan, prinsip distrust lebih men-dasari sistem pelayanan bukan prinsip trust sehingga prosedur yang ditetapkan bukan untuk menfasilitasi namun untuk mengontrol perilaku, dan masih adanya tumpang tindih kewenangan pelayanan pada banyak satuan birokrasi. Kondisi tadi menginsyarakatkan perlunya solusi yang implementatif sebagai upaya perbaikan kualitas dan kinerja pelayanan, disamping perlunya komitmen yang tinggi dari semua stakeholders dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah untuk meningkatkan kualitas pe-layanan publik namun sejauh ini masih dirasakan belum memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Ada beberapa faktor yang dinilai sebagai kendala diantaranya, kurangnya SDM aparatur, belum adanya parameter yang valid terhadap indikator kinerja institusi pelayanan, disamping kendala eksternal birokrasi seperti kepatuhan masyarakat terhadap peraturan dan prosedur yang telah ditetapkan, dan hambatan lainnya.

PERAN PEMERINTAH DALAM PELAYANAN PUBLIK

Menurut Lay (2002) sebagaimana dike-mukakan oleh Ratminto & Atik Septi Winarsih (2005), dalam ilmu politik dan administrasi publik, pelayanan umum atau pelayanan publik

merupakan istilah yang menggambarkan bentuk dan jenis pelayanan pemerintah kepada rakyat atas dasar kepentingan umum. Pengertian pelayanan publik menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelak-sanaan ketentuan perundang-undangan. Adapun yang dimaksud penyelenggara pelayanan publik adalah Instansi Pemerintah. Pada Bab I Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur dijelaskan yang dimaksud pelayanan publik adalah segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan penye-lenggara pelayanan yang terkait dengan kepen-tingan publik. Pengertian pelayanan itu sendiri menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah suatu usaha membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain. Ivancevich, Lorenzi, Skinner & Crosby (1997) sebagaimana dikemukakan oleh Ratminto & Atik Septi Winarsih (2005) menyatakan bahwa pelayanan adalah produk-produk yang tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang melibatkan usaha-usaha manusia dan menggunakan peralatan.

Menurut Keputusan Menteri Penda-yagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/ M.PAN/7/2003 pelayanan publik dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri dan sifat-sifat kegiatan dalam proses pelayanan serta produk pelayanan yang dihasilkan. Pengelompokan pelayanan pu-blik tersebut adalah sebagai berikut. Pertama adalah kelompok pelayanan administratif yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik,

(3)

misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan ter-hadap suatu barang dan sebagainya. Contoh kelompok pelayanan ini adalah pelayanan ser-tifikat tanah, pelayanan IMB, pelayanan adminis-trasi kependudukan (KTP, akta kelahiran/kema-tian). Kedua, kelompok pelayanan barang, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/ jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan listrik, penyediaan air bersih, jaringan telepon, dan sebagainya. Ketiga adalah kelompok pelayanan jasa yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibu-tuhkan oleh publik, misalnya pelayanan ang-kutan darat, laut dan udara, pelayanan kese-hatan, pelayanan perbankan, pelayanan pos, pendidikan, dan pelayanan pemadaman kebakaran.

Peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan publik saat ini masih terfragmentasi, belum cukup mengatur aspek pelayanan publik yang diperlukan. Akibatnya, potensi penyim-pangan terhadap kewajiban pelayanan publik relatif besar. Sejumlah peraturan yang berkaitan dengan pelayanan publik antara lain:

a. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal c. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995

tentang Perbaikan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat.

d. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1998 tentang Pendayagunaan Aparatur Negara.

e. Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

f. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

g. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

h.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 25/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.

i. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 26/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

j. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 118/KEP/M.PAN/8/2004 tentang Pedoman Umum Penanganan Pengaduan Masyarakat Bagi Instansi Pemerintah

k.

Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 04/SE/M.PAN/ 2/2005 tentang Peningkatan Kualitas Pela-yanan Publik yang Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Dalam Rangka Tindak Lanjut Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

l.

Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 10/SE/M.PAN/07/ 2005 tentang Prioritas Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik

(4)

m.

Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 15/SE/M.PAN/9/ 2005 tentang Peningkatan Intensitas Penga-wasan Dalam Upaya Perbaikan Pelayanan Publik.

Beberapa produk hukum diatas memberi dasar hukum legal-formal guna memperbaiki kinerja organisasi publik dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 pasal 3 dinyatakan 7 asas umum penye-lenggaraan Negara, yaitu: (1) kepastian hukum, (2) tertib penyelenggaraan Negara; (3)asas kepentingan umum; (4) keterbukaan; (5) propor-sionalitas; (6) profepropor-sionalitas; dan (7) akun-tabilitas. Pada pasal 9 ayat 1 huruf b undang-undang tersebut juga disebutkan hak dasar mas-yarakat dalam penyelenggaraan Negara, antara lain hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara.

Asas Pelayanan Publik menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 yaitu:

1.

Transparansi: Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak, disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

2.

Akuntabilitas: dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3.

Kondisional: sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pela-yanan dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip efisiensi & efektivitas.

4.

Partisipasi: mendorong peran serta mas-yarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.

5.

Kesamaan hak: tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golo-ngan, gender, dan status ekonomi.

6.

Keseimbangan hak & kewajiban: pemberi dan penerima pelayanan publik harus meme-nuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Dedy Mulyadi sebagaimana dikemukakan oleh Sugeng Pujileksono (dalam Hesti Puspi-tosari (penyunting), 2006) menjelaskan bahwa asas akuntabilitas atau tanggung gugat meru-pakan tanggung jawab dalam pelayanan publik. Asas ini memiliki dua dimensi, yaitu berupa pemberian kewenangan pada aparat birokrasi untuk melaksanakan kekuasaannya dan pem-berian kekuasaan pada masyarakat untuk me-ngontrol kinerja aparat birokrasi. Dengan demikian pelayanan publik yang berasaskan tanggung gugat memiliki tiga aspek yang menonjol, yaitu: (1) setiap pejabat di masing-masing tingkat manajerial harus memiliki tanggung jawab yang lebih besar; (2) setiap aparat birokrasi harus mempunyai sikap responsif terhadap segala permasalahan yang terjadi di masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang membutuhkan pelayanan prioritas; (3) setiap aparatur harus memiliki komiten besar pada nilai dan standar moralitas yang tinggi dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan.

Upaya perbaikan kualitas pelayanan publik harus dilakukan melalui pembenahan sistem pelayanan publik secara menyeluruh dan ter-integrasi yang dituangkan dalam peraturan perundangan dalam bentuk undang-undang yang diharapkan menjadi payung hukum bagi pelaksanaan kegiatan pelayanan publik dan yang memiliki sanksi sehingga memiliki daya paksa terhadap pemenuhan standar tertentu dalam pelayanan publik.

(5)

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara telah menyusun RUU tentang Pelayanan Publik. Rancangan tersebut diserahkan kepada Presiden pada tanggal 7 September 2005. Kemudian Presiden pada tanggal 12 Oktober 2005 menyerahkan RUU tersebut kepada DPR RI. DPR memasukkan RUU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas Tahun 2006 – salah satu dari 43 RUU Priortitas. Dalam draft RUU Pelayanan Publik yang disusun oleh Kementerian Pendayagunaan Apa-ratur Negara yang saat ini sedang dibahas di Komisi II DPR termuat ketentuan dasar bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa, atau pelayanan administrasi yang disediakan pe-nyelenggara pelayanan publik. Yang dimaksud sebagai penyelenggara adalah penyelenggara negara, penyelenggara ekonomi negara dan korporasi penyelenggara pelayanan publik, dan lembaga independen yang dibentuk pemerintah. Aparat penyelenggara pelayanan publik adalah pejabat, pegawai, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara.

Kewajiban negara melayani setiap warga negara dan penduduk dalam kerangka pelayanan publik merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu adanya keinginan pemerintah untuk memperbaiki pelayanan publik dengan mengusulkan RUU Pelayanan Publik kepada DPR mencerminkan keinginan peme-rintah sebagai representasi negara untuk meme-nuhi amanat konstitusi.

Perdebatan atas RUU ini diprediksi relatif dinamis. Jika merujuk pada keinginan men-jadikan ketentuan menjadi payung, dinamika pembahasan memang harus senantiasa dicermati. Setiap pasal harus dicermati untuk menghindar-kannya menjadi ketentuan yang beku di atas

meja, tidak operasional di lapangan (Sidik Pramono. www.Google.com. 16 Desember 2005). Menurut A. Patra M. Zein (dalam Hesti Puspitosari (penyunting), 2006) problematik yang perlu diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan kebi-jakan (beleidsregel) tentang pelayanan publik, antara lain:

1. Standar minimum, apa-apa yang mesti menjadi standar pelayanan yang bersifat umum;

2.

Akuntabilitas penanggungjawab dan pelak-sana pelayanan publik. Hal ini perlu di-rumuskan, jangan sampai beban dan tang-gungjawab hanya diemban oleh pegawai lapangan, melainkan juga mengatur para pejabat di eselon yang tinggi;

3.

Mekanisme pengaduan, keluhan, komunikasi atau gugatan hukum terhadap pejabat atau institusi yang diklaim tidak melakukan tugas dan pelayanan kepada publik sebagaimana mestinya. Selanjutnya, juga perlu diatur penerapan sanksi baik administratif dan sanksi pidana kepada pihak yang telah lalai atupun dengan sengaja tidak melakukan fungsinya. Tentu saja perlu ditindaklanjuti bukan hanya sebatas sanksi melainkan perbaikan dan peningkatan pelayanan serta menyelesaikan masalah yang muncul; 4. Keterlibatan optimum dari masyarakat

dalam bentuk pengawasan, dan jika diperlukan keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat dalam perencanaan pelayanan publik yang akan dilakukan aparat.

Pelayanan publik merupakan suatu sistem yang di dalamnya terdapat komponen yang bergerak mulai dari perumusan kebijakan hingga

(6)

tehnis pelaksanaannya. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu kiranya dilakukan pembenahan terhadap sistem manajemen pelayanan agar dalam pelaksanaannya dapat lebih efektif dan efisien. Pembenahan sistem manajemen ini hendaknya juga diarahkan kedalam kerangka penciptaan manajemen pemerintahan yang tertib, demokratis, transparan dan kompetitif. Sejalan dengan gencarnya tuntutan masyarakat kepada pemerintah untukmelaksanakan kepemerintahan yang baik (good governance), maka organisasi birokrasi diharapkan dapat memperbarui diri dengan membuang image bahwa birokrasi selalu diasosiasikan dengan pelayanan yang lambat, tidak ramah, kurang memuaskan, mahal, kolutif, korup dan sebagainya.

Agus Dwiyanto mengemukakan beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik men-jadi titik strategis untuk memulai pengem-bangan good governance di Indonesia. Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana Negara yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi dengan lembaga-lembaga non-pemerintah. Dalam ranah ini terjadi pergumulan yang sangat intensif antara pemerintah dengan warganya. Buruknya praktik good governance dalam penyelenggaraan pelayanan publik sangat dirasakan oleh warga dan masyarakat luas. Ini berarti jika terjadi perubahan yang signifikan pada ranah pelayanan publik dengan sendirinya sangat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh warga Negara dan masyarakat luas. Keberhasilan dalam mewujudkan praktik good

governance dalam ranah pelayanan publik dapat

menumbuhkan kepercayaan masyarakat luas bahwa membangun good governance bukan hanya sebuah mitos tetapi dapat menjadi kenyataan. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dimana berbagai aspek good governance bisa diartikulasikan secara relatif lebih mudah. Dengan menjadikan pelayanan publik sebagai

pintu masuk untuk mengenalkan good

gover-nance maka tolok ukur dan indikator yang jelas

dari pengembangan good governance menjadi relatif mudah dikembangkan. Nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance seperti efisien, non-diskriminatif dan ber-keadilan, berdaya tanggap tinggi, dan memiliki akuntabilitas tinggi dapat dengan mudah dikem-bangkan parameternya di dalam ranah pelayanan publik. Ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur governance. Peme-rintah sebagai representasi Negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam ranah ini. Pelayanan publik memiliki high stake dan menjadi pertaruhan yang penting bagi ketiga unsur governance tersebut karena baik dan buruknya praktik pelayanan publik sangat berpengaruh terhadap ketiganya (Agus Dwiyanto dalam Saparto Wijoyo (editor), 2006).

Paling tidak terdapat dua hal pokok dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan yaitu unsur sumber daya manusia aparaturnya serta sistem manajemen pelayanannya. Pelayanan publik dapat lebih berkualitas apabila petugas pelayanan dapat diandalkan, responsif, meya-kinkan dan empati. Dapat diandalkan artinya dapat dipercaya, teliti dan konsisten. Responsif berarti tanggap terhadap kebutuhan masyarakat serta cepat dalam memberikan pelayanan. Meyakinkan dalam arti percaya diri, profesional, berkompeten, sehingga memberikan rasa aman bagi yang dilayani, sedangkan empati adalah perhatian, sopan, sabar, dan mau mendengarkan keluhan penerima layanan. W. Riawan Tjandra dkk, (2005) berpendapat bahwa peningkatan kualitas SDM untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik merupakan kebutuhan yang mendesak. Untuk dapat menciptakan SDM yang berkualitas dalam memberikan pelayanan publik juga harus diperkuat oleh mekanisme kerja yang

(7)

adil dan memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak untuk berkompetisi dalam memberikan pelayanan yang baik kepada mas-yarakat. Mekanisme reward dan punishment bisa menjadi alternatif sehingga aparat yang ber-prestasi baik dan penuh inisiatif dalam mem-berikan pelayanan mendapat reward yang lebih baik dibanding aparat yang tidak berprestasi.

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAYANAN PUBLIK

Praktek pelayanan publik di Indonesia yang selama ini dikeluhkan oleh masyarakat disebabkan oleh kuatnya dominasi negara dan terabaikannya pengawasan publik atas kinerja pemerintah. Dalam konteks ini konsep good

governance yang dipromosikan oleh beberapa

agensi multilateral dan bilateral seperti JICA, OECD, dan GTZ sejak tahun 1991 dapat dijadikan sebagai instrumen untuk meniadakan komponen yang dominan dalam kepemerintahan

(governance). Tuntutan untuk mewujudkan good governance merupakan keniscayaan seiring

dengan perkembangan demokrasi dan reformasi.

Good governance mensyaratkan adanya

kesi-nergisan interaksi yang positif diantara domain negara, sektor swasta, dan masyarakat. Metode pembuatan keputusan dan kebijakan harus transparan agar memungkinkan terjadinya partisipasi efektif dari para stakeholders (Agung Kurniawan, 2005).

Partisipasi merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris participate yang berarti mengikutsertakan; mengambil bagian. Dalam kamus ilmiah populer, batasan arti partisipasi adalah pengambilan bagian (didalamnya); ke-ikutsertaan; peranserta; penggabungan diri (men-jadi peserta). Definisi baku dari partisipasi sampai saat ini belum ada, barangkali karena terlalu banyaknya konsepsi yang mengandung

berbagai arti, sehingga banyak para penulis menggunakan beberapa pandangannya tentang partisipasi. Meletakkan dan menggunakan sebuah konsep partisipasi sangat terpengaruh oleh beberapa hal, sehingga pemaknaan partisipasi lebih dapat dilihat sebagai proses, metode, dan sebuah sistem.

Secara filosofis yang melatarbelakangi terbentuknya partisipasi adalah sistem penye-lenggaraan negara dan pemerintahan yang demokratis. Sistem pemerintahan yang demo-kratis memiliki makna pemerintahan berasal dari rakyat yang dilaksanakan oleh pejabat peme-rintah yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi rakyat. Dalam sistem pemerintahan tersebut rakyat dituntut untuk berperan aktif dalam proses politik dan penyelenggaraan negara. Pemerintahan yang demokratis dalam pelaksanaannya dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Partisipasi rakyat disini akan berdampak pada proses evaluasi maupun monitoring kinerja pemerintah sehingga meminimalisir penyalahgunaan we-wenang (Abdul Salam (editor), 2006). Dalam proses demokratisasi, good gevernance sering mengilhami para aktivis untuk mewujudkan pemerintahan yang memberikan ruang partisipasi yang luas bagi aktor dan lembaga di luar pemerintah sehingga ada pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang antara Negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Adanya pembagian peran yang seimbang dan saling melengkapi antar ketiga unsur tersebut bukan hanya memungkinkan adanya check and balance tetapi juga menghasilkan sinergi yang baik antar ketiganya dalam mewujudkan kesejahteraan bersama (Agus Dwiyanto dalam Suparto Wijoyo (editor), 2006).

Salah satu makna penting dari good

governance adalah keterlibatan aktor-aktor di

(8)

publik. Dalam pelayanan publik keterlibatan masyarakat sipil dan mekanisme pasar sudah banyak terjadi, sehingga praktik good

gover-nance sebenarnya sudah bukan hal yang baru

lagi. Namun Forum Kajian Ambtenaar Provinsi Jawa Timur (dalam Suparto Wijoyo (editor), 2006) menyebutkan ciri yang menggambarkan praktik penyelenggaraan pelayanan publik se-karang ini adalah rendahnya peran masyarakat dan stakeholders dalam penyelenggaraan pe-layanan publik. Pepe-layanan publik masih di-konsepsikan sebagai pelayanan pemerintah, dimana pemerintah memonopoli pengaturan, penyelenggaraan, distribusi, dan pemantauan dan warga pengguna ditempatkan sebagai pengguna yang pasif. Dalam konsep ini, peran warga yang utama hanyalah menggunakan pelayanan publik, yang telah diberikan oleh pemerintah, apapun jenis dan kualitasnya. Mereka tidak memiliki pilihan mengenai jenis pelayanan, kualitas, kuantitas, dan cara memperolehnya karena semuanya telah ditentukan oleh pemerintah. Masyarakat dan warga pengguna tidak memiliki hak untuk ikut terlibat dalam proses kreasi, pengaturan, dan penyelenggaraan. Akibatnya, warga dan stakeholders bukan hanya merasa teralineasi dalam proses penyelenggaraan pe-layanan publik tetapi juga pepe-layanan tersebut sering tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat luas.

Selama ini proses penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah masih sangat tertutup bagi partisipasi warga negara. Warga ditempatkan sepenuhnya hanya sebagai pengguna yang pasif dan harus menerima pelayanan publik sebagaimana adanya. Mereka tidak memiliki hak untuk berbicara, kesulitan mengajukan komplain, apa-lagi ikut memutuskan mengenai apa pelayanan yang diselenggarakan, bagaimana kualitasnya,

dan bagimana pelayanan tersebut seharusnya dilakukan.

Untuk memperbarui penyelenggaraan pelayanan publik diperlukan pendekatan baru yakni dengan memberdayakan potensi warga masyarakat. Potensi warga masyarakat harus di-berdayakan sehingga mereka tidak hanya sebagai pengguna pasif tetapi juga bisa ikut menentukan bagaimana proses penyelenggaraan pelayanan publik tersebut seharusnya diselenggarakan. Dengan pendekatan ini diharapkan akan men-dorong perbaikan kualitas pelayanan melalui perubahan sikap dan perilaku penyelenggara dan sekaligus juga meningkatkan pemberdayaan masyarakat, sehingga peran mereka dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pe-layanan publik dapat ditingkatkan. Hal yang paling penting adalah terjadinya sense of

citizenship dikalangan warga dan empati warga

terhadap berbagai macam kesulitan yang di-hadapi oleh penyelenggara pelayanan (Forum Kajian Ambtenaar Provinsi Jawa Timur dalam Suparto Wijoyo (editor), 2006).

Sebagaimana telah dipahami, pelayanan publik adalah pelayanan yang wajib diseleng-garakan negara untuk pemenuhan kebutuhan dasar atau hak-hak warga negara (publik). Agar kondisi pelayanan publik yang buruk tidak terus berlarut-larut, diperlukan sebuah ruang bagi publik (masyarakat) untuk dapat menyampaikan partisipasinya dan keluhan atas ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diterimanya. Dengan penyediaan ruang partisipasi dan mekanisme komplain dalam pelayanan publik bisa menjadi salah satu pintu besar bagi pembuka perubahan dan perbaikan birokrasi dalam pemberian pelayanan publik. Iklim ini bisa tercipta jika ada informasi dan sosialisasi yang kontinyu tentang penyediaan ruang bagi publik untuk me-nyalurkan aspirasinya.

(9)

PENUTUP

Isu pelayanan publik semakin penting untuk mendapat perhatian yang sungguh-sungguh karena adanya realitas bahwa rakyat sering mengeluh dan merasa tidak puas atas berbagai layanan yang diberikan oleh birokrasi. Rakyat tidak puas karena buruknya kinerja berbagai jenis dan bentuk pelayanan publik. Membenahi pelayanan publik memang tidak mudah karena begitu kompleks permasalahannya termasuk banyaknya tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang menyertainya, se-dangkan masyarakat sudah tidak sabar menanti adanya perbaikan pelayanan publik.

Relasi antara birokrasi sebagai organ pemerintah dan masyarakat dalam kerangka pelayanan publik perlu diperbarui dengan pendekatan yang memposisikan masyarakat tidak hanya sebagai service customer yang pasif, lemah dan termarjinalisasi tetapi masyarakat ikut berpartisipasi serta bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dikehendaki.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Salam (editor), 2006, Marginalisasi Rakyat Dalam Anggaran Publik, Malang: Kerjasama Malang Corruption Watch (MCW) dan YAPPIKA.

Agung Kurniawan, 2005, Transformasi Pelayanan Publik, Yogyakarta: Pembaruan.

Agus Dwiyanto, 2006, ”Mewujudkan Good Governance Melalui Reformasi Pelayanan Publik” dalam Suparto Wijoyo (editor), Pela-yanan Publik dari Dominasi ke Partisipasi, Surabaya: Airlangga University Press.

A. Patra M. Zein, 2006, ”Pelayanan Publik dan Pemenuhan Hak Ekosob” dalam Hesti Puspitosari (penyunting), Pelayanan Publik Bukan Untuk Publik, Malang: Kerjasama Malang Corruption Watch (MCW) dan YAPPIKA. Ratminto & Atik Septi Winarsih, 2005, Manajemen

Pelayanan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugeng Pujileksono, 2006, ”Menuju Pelayanan Berpihak Pada Publik” dalam Hesti Puspitosari

(penyunting). Pelayanan Publik Bukan Untuk Publik, Jakarta: YAPPIKA dan Malang Cor-ruption Watch (MCW).

W. Riawan Tjandra, dkk, 2005, Peningkatan Kapa-sitas Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Publik, Yogyakarta: Pembaruan.

Sumber lain:

Forum Kajian Ambtenaar Provinsi Jawa Timur, 2006, ”Implementasi Citizen’s Charter (Kontrak Mas-yarakat) dalam Pelayanan Publik” dalam Suparto Wijoyo (editor), Pelayanan Publik dari Dominasi ke Partisipasi, Surabaya: Airlangga University Press.

Sidik Pramono, 2005, “Penting dan Rumit Demi Kepuasan Rakyat”: www.Google.com, 16 Desember 2005.

(10)

Referensi

Dokumen terkait

bahwa sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, maka perlu ditetapkan standar dan kriteria dari penyelenggara pelayanan publik maupun masyarakat

Peraturan daerah ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan pengaturan mengenai pelayanan publik di Jawa Timur; serta terwujudnya kepastian hukum tentang hak,

Hasil analisis menjelaskan bahwa motivasi penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan sebelum dan sesudah pembentukan bapelluh di Sumatera Utara berpengaruh secara positif

Tiap kelompok melakukan praktikum yang berbeda, Tugas pendahuluan diberikan untuk dikerjakan dalam waktu 1 minggu pada tiap mahasiswa dan harus dikumpulkan

Pada umumnya konsolidasi akan berlangsung satu arah (one dimensional consolidation) yaitu yaitu pada arah vertikal saja, karena lapisan tanah yang mengalami

Jenis penelitian ini tergolong jenis kualitatif dengan penelitian yang sering disebut penetian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah

harus dipegang teguh adalah tidak menyimpang dari prosedur, tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik, patuh pada perintah atasan

Peraturan Gubemur Kalimantan Timur Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pedoman Layanan Informasi Publik di Lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Berita Daerah