• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Stanley J. Baran, Pengantar Komunikasi Massa Melek Media dan Budaya, Erlangga 2012, Hal. 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1 Stanley J. Baran, Pengantar Komunikasi Massa Melek Media dan Budaya, Erlangga 2012, Hal. 1"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Nilai-nilai dan keyakinan suatu budaya menetap dalam kisah-kisah yang diceritakan. Siapakah orang-orang yang dianggap baik? Siapakah orang-orang yang dianggap jahat? Berapa banyak pahlawan masa kanak-kanak Anda yang bertubuh gemuk? Berapa banyak orang baik yang berpakaian hitam? Berapa banyak tokoh utama wanita yang hidup bahagia selamanya tanpa menikah dengan Pangeran Tampan? Mungkin tidak terlalu banyak. Cerita-cerita kita membantu mendefinisikan realitas kita, membentuk cara kita berpikir, merasa, dan bertindak. Pencerita atau pendongeng memiliki kesempatan yang luar biasa untuk membentuk budaya. Mereka juga memiliki tanggung jawab untuk melakukannya seprofesional dan seetis mungkin1.

Terpaan media massa dalam kehidupan sehari-hari sekarang ini semakin terlihat begitu nyata dan begitu terasa, hal ini karena kebutuhan masyarakat akan informasi dan hiburan semakin meningkat. Salah satu media massa yang dapat diserap secara mendalam oleh khalayak adalah film. Film merupakan produk kebudayaan yang dibuat dengan disadari oleh kesadaran, hal ini film diciptakan melalui proses pemikiran dan pertimbangan tentang nilai-nilai normatif yang ada di masyarakat. Film apapun pada dasarnya mempunyai nilai-nilai kebaikan dan menghibur, walaupun terkadang sajiannya tidak transparan sarat akan kepentingan-kepentingan, baik politis maupun komersial.

Film merupakan media yang digunakan sineas dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Sebagai media, film menjadi jembatan yang menghubungkan pikiran-pikiran yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Di satu pihak, sebagaimana media massa pada umumnya, film merupakan cermin (refleksi) atau jendela masyarakat di mana media massa itu berada. Nilai, norma, dan gaya hidup yang berlaku di masyarakat akan disajikan dalam film yang

(2)

2

diproduksi. Akan tetapi di pihak lain, film juga berkuasa menetapkan nilai-nilai budaya yang “penting” dan “perlu” dianut oleh masyarakat.

Film dibuat berdasarkan sudut pandang tertentu dari sang pembuatnya. Oleh karena itu, “dunia” yang direpresentasikan dalam film merupakan “dunia” yang dikenal dan dilihat sineas tersebut. Representasi-representasi tersebut kemudian dituangkan sedemikian rupa sehingga terlihat natural. Pada film, objek digambarkan seolah hidup. Kreativitas sang kreator yang didukung oleh kemajuan teknologi, membuat apa yang ditampilkan dalam sebuah film seolah-olah merupakan realitas nyata. Meski demikian, film tetaplah merupakan produk representasi sosial. Ia tidak mampu mewakili keseluruhan realitas yang ada, tetapi hanya memberi gambaran mengenai realitas itu sendiri.

Dalam sejarah awal perfilman Amerika, para khalayak sempat mengeluhkan atas beberapa film yang dibuat oleh sineas pada masa itu. Film yang dibuat pada kala itu dianggap terlalu sering memberikan gambaran yang salah tentang berbagai kelompok etnik, khususnya yang minoritas, profesi dan bidang pekerjaan tertentu. Industri film sering mendapat kecaman dari berbagai kelompok etnik atau asosiasi profesi mengenai masalah itu.

Film The Birth of A Nation karya D.W. Griffith ditarik dari peredaran akibat protes National Association for the Advancement of Colored People di tahun 1915. Film itu melukiskan berbagai keburukan kaum kulit hitam. Protes serupa juga dialami Walt Disney ketika membuat Song of the South, film tentang kisah-kisah Uncle Remus karya Joel Chandler Harris. Berbagai kelompok mengeluh karena kaum kulit hitam hanya ditampilkan sebagai pelayan, penyanyi, atau penari, padahal kaum kulit hitam sudah menduduki berbagai posisi terhormat lainnya di masyarakat.

Karena terlalu peka terhadap kritikan dan terlalu ingin menyenangkan pihak lain, Hollywood justru sering kesulitan menyajikan gambaran yang tepat mengenai berbagai kelompok etnik yang membentuk masyarakat AS. Akibatnya, film-film itu masih belum lepas dari stereotype, dan ini juga diterapkan pada

(3)

3

profesi tertentu2. Sebagai contoh, kaum kulit hitam selalu digambarkan miskin, dan yang paling sensitif adalah ketika membicarakan tentang perbudakan pada masa lalu.

Berbicara tentang perbudakan, berarti berbicara tentang proses perkembangan peradaban manusia. Menurut para ahli sejarah, perbudakan pertama kali diketahui terjadi di Sumeria (sekarang Irak) selama lebih dari lima ribu tahun yang lalu. Perbudakan juga terjadi di masyarakat Cina, India, Afrika, Timur-Tengah, dan Amerika.3

Perbudakan berkembang seiring adanya perkembangan perdagangan dan industri. Meningkatnya perdagangan dan industri meningkatkan permintaan akan tenaga kerja untuk menghasilkan barang-barang keperluan ekspor.4

Pada pertengahan abad ke 12 bangsa Italia menggunakan budak-budak dari Rusia dan dari daerah-daerah lain di Eropa untuk menggarap ladang tebu mereka. Barulah pada tahun 1300, orang kulit hitam Afrika mulai menggantikan budak-budak Rusia. Budak kulit hitam itu dibeli atau bahkan ditangkap dari negara-negara Arab di Afrika Utara.

Menjelang tahun-tahun 1500-an, Spanyol dan Portugal memiliki koloni-koloni di Amerika. Awalnya orang-orang Eropa mempekerjakan orang-orang Indian pribumi Amerika di perkebunan luas dan daerah pertambangan. Namun, karena orang-orang Indian tadi banyak yang meninggal dunia karena terserang penyakit, orang-orang dari Spanyol dan Portugal mendatangkan orang-orang dari Afrika Barat untuk menggantikan orang-orang Indian sebagai budak.

Sejarah perkembangan Amerika pernah memasuki saat-saat yang kritis karena masalah perbudakan. Perbudakan adalah salah satu peristiwa yang sangat

2

William L. Rivers, et al. Media Massa & Masyarakat Modern. Edisi Kedua. Kencana. Jakarta. 2003 Hal 334

3

Perbudakan adalah Keadaan dimana Orang Menguasai atau Memiliki Orang Lain. Diakses tanggal 10 Januari 2014 pada pukul 23.08 WIB. http://www.voaindonesia.com/content/a-32-a-2003-06-17-14-1-85317742/55504.html

(4)

4

sensitif bagi masyarakat negara ini. Masalah ini pula yang mencetuskan perang saudara selama bertahun-tahun di Amerika, suatu kontroversi nasional yang berdampak internasional.

Pada tahun 2013 sutradara film Steve McQueen membuat film yang diangkat dari memoar kisah hidup Solomon Northup dalam kurun waktu 1841-1853 yang diberi judul 12 Years a Slave.

Film yang memiliki tema tentang perbudakan ini mengisahkan tentang kisah seorang pria kulit hitam bernama Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor). Ia adalah seorang Violis (Seniman Pemain Biola) handal dari Saratoga, New York. Ia hidup nyaman dengan istri dan dua anaknya. Sebagai seorang kulit hitam bebas

(Freeman) kedudukannya setara dengan orang kulit putih. Mereka bisa berbaur

dalam pesta dan berdiskusi secara akrab.

Kebebasan yang dimiliki Solomon Northup musnah dalam sekejap ketika Ia tertipu oleh muslihat dari dua orang yang ingin mengajaknya tampil dalam suatu pertunjukkan karena keahliannya bermain biola. Dalam suatu jamuan makan di salah satu restoran, Solomon dibius dan terbangun dengan kaki dan tangan yang dirantai.

Solomon terjebak dalam perbudakan di negara bagian Louisiana. Ia dipaksa menerima nama baru sebagai budak yaitu “Platt”. Ia dan budak-budak kulit hitam lainnya dijejerkan telanjang dan ditelisik layaknya hewan ketika sedang diperjual-belikan disuatu tempat. Dari tempat itu, Solomon dibeli oelh seorang tuan tanah bernama William Ford (Benedict Cumberbatch). Keistimewaan Platt lambat laun disadari oleh Ford. Bisa membaca dan menulis sangat berbahaya bagi orang negro.

Dalam pekerjaannya sebagai budak bagi William Ford, Platt berhasil memberikan rekomendasi teknis dalam pengangkutan kayu yang lebih mudah dan cepat melalui sungai. Hal ini memicu perkelahian antara Platt dan Tibeats (Paul Dano) –seorang pengawas budak yang dipekerjakan William Ford– karena merasa disaingi. Berpikir bahwa Platt tidak aman dari ancaman Tibeats, William Ford pun menjual Platt kepada tuan tanah yang terkenal keras dengan budak kulit hitam bernama Edwin Epps (Michael Fassbender).

(5)

5

Bekerja dengan Epps, Platt menggarap perkebunan kapas bersama budak-budak kulit hitam milik Epps lainnya. Di perkebunan ini, Platt bertemu dengan Patsey (Lupita Nyong’o), anak emas dari Edwin Epps. Di setiap penimbangan kapas harian, Patsey selalu melebihi target pemetikan kapas dibanding budak lainnya. Namun, setelah kenal lebih jauh tentang Patsey, barulah Platt mengetahui bahwa menjadi anak emas tidak menguntungkan. Hal ini dikarenakan Patsey sering digunakan oleh Epps untuk memenuhi kepuasan seksualnya setiap malam.

Konflik makin memuncak saat Patsey meminta Platt untuk mengakhiri hidup Patsey dengan menenggelamkannya di sungai karena Patsey sudah tidak tahan lagi dengan perbudakan ini. Bagi Patsey, kematian jauh lebih baik daripada hidup dalam perbudakan ini. Di akhir cerita, Platt atau Solomon Northup bisa bebas dari perbudakan yang dia alami selama 12 tahun itu. Sisa-sisa perbudakan yang pernah mengisi hidupnya benar-benar sangat pahit untuk diingat.

Film –yang berhasil meraih poin tertinggi dalam ajang People’s Choice

Toronto International Film Festival September 2013– ini mendominasi berbagai

kategori penghargaan dalam banyak ajang paling prestisius di dunia perfilman. Diantaranya Steve McQueen yang menerima penghargaan sebagai sutradara terbaik dalam New York Film Critics Circle Awards 2013. Film ini pun meraih penghargaan dari Houston and Kansas City Film Critics dengan kategori Best

Picture, Chiwetel Ejiofor sebagai Best Actor, Michael Fassbender sebagai Best Supporting Actor, Lupita Nyong’o sebagai Best Supporting Actress. 12 Years a Slave pun ditayangkan dalam Jakarta International Film Festival (Jiffest) dan

juga mendapatkan sambutan yang luar biasa dari penonton.

Dari permasalahan di atas tentang bagaimana masa-masa perbudakan yang dialami orang-orang kulit hitam, maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana perbudakan direpresentasikan dalam film 12 Years a Slave dengan menggunakan analisis semiotika.

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

(6)

6

“Bagaimana representasi perbudakan dalam film 12 Years a Slave?”

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perbudakan direpresentasikan dalam film 12 Years a Slave.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang akademis yaitu sumbangan dan literatur bagi perkembangan Ilmu Komunikasi mengenai analisis semiotik. Serta diharapkan dapat memberikan perspektif baru ketika menelaah produk komunikasi seperti film secara menyeluruh.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan masyarakat dalam melihat sebuah pesan yang ada pada film dengan lebih bijak.

Referensi

Dokumen terkait

Keempat, mendeskripsikan solusi yang dilakukan oleh guru bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Tengaran dalam mengatasi kendala pembelajaran yang berpendekatan

03 Meningkatnya pertumbuhan pengembangan teknologi industri 04 Meningkatnya pertumbuhan penerapan inovasi teknologi industri 05 Meningkatnya pertumbuhan penerapan TIKI di

Gershom Scholem'in kuru ve bilgece hikayeleri ve Mar­ tin Buber'in eski Hasidik masallarının stilize tercümeleri dışında, bu konuda İngilizce olarak yazılmış olan, gerçek

Berdasarkan nilai organoleptik nugget, sangat relevan dengan penelitian yang melaporkan bahwa, penggunaan daging itik sebagai bahan dasar pembuatan nugget dapat diterima

INGGRIS 1 95 18273140023 GILBERTVANNE GREGALVRASENDRIA WIBAWA ZADCHRIST SD KANISIUS PATI PATI B... INGGRIS 1 113 JOVITA VALENCIA NUGROHO SDTK TERANG DUNIA

Berdasarkan penelitian ini dapat ditemukan bahwa jenis kelamin memiliki korelasi yang terhadap tipe perilaku komplain konsumen, khususnya terkait dengan tipe perilaku komplain

Manfaat scanning email pada firewall, mail relay, atau mail gateway adalah sebagai berikut: Dapat memindai email di kedua arah (inbound dan outbound dari jaringan organisasi)