• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPON SUHU REKTAL SAPI FRIES HOLLAND DARA PADA FREKUENSI DAN WAKTU PENYEMPROTAN BERBEDA ABDILLAH EL ZAKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESPON SUHU REKTAL SAPI FRIES HOLLAND DARA PADA FREKUENSI DAN WAKTU PENYEMPROTAN BERBEDA ABDILLAH EL ZAKIR"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON SUHU REKTAL SAPI FRIES HOLLAND DARA

PADA FREKUENSI DAN WAKTU

PENYEMPROTAN BERBEDA

ABDILLAH EL ZAKIR

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respon Suhu Rektal Sapi Fries Holland Dara pada Frekuensi dan Waktu Penyemprotan Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Abdillah El Zakir NIM D14080279

(4)

ABSTRAK

ABDILLAH EL ZAKIR. Respon Suhu Sapi Fries Holland Dara terhadap Frekuensi dan Waktu Penyemprotan Berbeda. Dibimbing oleh BAGUS P. PURWANTO dan ANDI MURFI.

Sapi Fries Holland adalah jenis sapi perah yang rentan terhadap cekaman panas. Penyemprotan merupakan salah satu cara yang digunakan untuk meminimalisir cekaman panas. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui respon rata-rata temperatur rektal harian sapi FH dara dan variasi temperatur rektal sesaat setelah diberikan perlakuan penyemprotan dengan waktu dan frekuensi yang berbeda. Penyemprotan dilakukan dengan 4 perlakuan: A : penyemprotan pukul 07.00 dan 16.00, B : penyemprotan pukul 07.00, 13.00 dan 16.00, C : penyemprotan pukul 13.00, D : penyemprotan pukul 16.00. Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh pada rata-rata suhu harian rektal sapi FH dara, namun perlakuan meingkatkan suhu rektal sapi FH dara yang diberi perlakuan dalam 2 jam setelah pemberian perlakuan pukul 07.00 dan 16.00. Penyemprotan pukul 07.00 dan penyemprotan dengan frekuensi lebih banyak meningkatkan suhu rektal sapi FH dara.

Kata kunci: Fries Holland, penyemprotan, suhu rektal,

ABSTRACT

ABDILLAH EL ZAKIR. Rectal Teperature of Fries Holland Heifer Respons to Different Times and Frequenses of Spraying. Supervised by BAGUS P. PURWANTO and ANDI MURFI

Fries Holland known as cattle breed which is a heat stress intolerant. Spraying is a method that is used to minimalize the heat stress. The aimed of this research was to know the responses of the average of rectal temperature daily and couple hours after the treatment of different spraying times and frequenses. The spraying was given with 4 treatments: A : spraying on 07.00 and 16.00, B : spraying on 07.00, 13.00 and 16.00, C : spraying on 13.00, D : spraying on 16.00.The varian analysis resulted that treatment didn’t influence the daily average of rectal temperature, but the increased the rectal temperature of FH heifers that was sprayed on 07.00 and 16.00 in 2 hours after the treatments. The spraying on 07.00 o’clock and spraying with more frequences increased rectal temperatures of FH heifers.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Ternak

RESPON SUHU REKTAL SAPI FRIES HOLLAND

DARA PADA FREKUENSI DAN WAKTU

PENYEMPROTAN BERBEDA

ABDILLAH EL ZAKIR

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014

(6)
(7)

Judul Skripsi : Respon Suhu Rektal Sapi Dara Fries Holland pada Frekuensi dan Waktu Penyemprotan Berbeda

Nama : Abdillah El Zakir NIM : D14080279

Disetujui oleh

Dr Ir Bagus P Purwanto, MAgr Pembimbing I

Ir Andi Murfi, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Muladno, MSA Ketua Departemen

(8)

aoUS P Purwanto

Judul Skrips]: Respon Suhu Rektal Sapi Dam Fries Holland pad a Frekuensi dan

Waktu Penyemprotan Berbeda

Nama : Abdillah El Zakir

NJM

Disetujui oleh

-L gr lr Andi Murti, MSi

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

"

~

~

#<II

f

",,

~

~ l P'"

~

f

Dr

Ir Muladno, MSA

=RNP<'" Kelua Departemen

-

~

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2011 ini adalah temperatur rektal, dengan judul Respon Suhu Rektal Sapi Fries Holland Dara pada Waktu dan Frekuensi Penyemprotan berbeda.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Bagus P. Purwanto, MAgr dan Ir Andi Murfi, MSi selaku pembimbingg dan ibu Dr Despal, SPt, MSc, Agr. atas koreksi dan masukannya terhadap skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya, kepada sahabat-sahabat Lovedrian, Yudha, Menix dan Dwi sebagai teman seatap yang selalu menyemangati, kepada teman-teman D’Ransum, dan kepada Kartika Jayamurti yang selalu menjadi penyemangat, Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 1

Ruang Lingkup Penelitian 1

METODE 2

Lokasi dan Waktu 2

Alat 2

Bahan 2

Prosedur 2

HASIL DAN PEMBAHASAN 3

KESIMPULAN DAN SARAN 13

DAFTAR PUSTAKA 14

LAMPIRAN 16

(11)

DAFTAR TABEL

1 Rata-rata harian suhu rektal sapi FH dara 7

2 Rata-rata suhu rektal sapi FH dara pukul 07.00-09.00 9 3 Rata-rata suhu rektal sapi FH dara pukul 13.00-15.00 10 4 Rata-rata suhu rektal sapi FH dara pukul 16.00-18.00 11

DAFTAR GAMBAR

1 Suhu lingkungan penelitian 4

2 Kelembaban relatif lingkungan penelitian 4

3 THI lingkungan penelitian 4

4 Variasi suhu rektal harian. (♦) A : Penyemprotan pada pukul 07.00 dan 16.00 WIB , (■) B : Penyemprotan pada pukul 07.00 ; 13.00 dan 16.00 WIB, (▲) C : Penyemprotan pada pukul 13.00 , (×) D :

Penyemprotan pukul 16.00 WIB. 6

5 Variasi suhu rektal harian. (♦) A : Penyemprotan pada pukul 07.00 dan 16.00 WIB , (■) B : Penyemprotan pada pukul 07.00 ; 13.00 dan 16.00 WIB, (▲) C : Penyemprotan pada pukul 13.00 , (×) D :

Penyemprotan pukul 16.00 WIB. 9

6 Variasi suhu rektal harian. (♦) A : Penyemprotan pada pukul 07.00 dan 16.00 WIB , (■) B : Penyemprotan pada pukul 07.00 ; 13.00 dan 16.00 WIB, (▲) C : Penyemprotan pada pukul 13.00 , (×) D :

Penyemprotan pukul 16.00 WIB. 10

7 Variasi suhu rektal harian. (♦) A : Penyemprotan pada pukul 07.00 dan 16.00 WIB , (■) B : : Penyemprotan pada pukul 07.00 ; 13.00 dan 16.00 WIB, (▲) C : Penyemprotan pada pukul 13.00 , (×) D :

Penyemprotan pukul 16.00 WIB. 10

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis ragam rataan suhu rektal harian. 16 2 Hasil analisis ragam rataan suhu rektal 2 jam setelah penyemprotan

pukul 07.00 16

3 Hasil analisis ragam rataan suhu rektal 2 jam setelah penyemprotan

pukul 13.00 16

4 Hasil analisis ragam rataan suhu rektal 2 jam setelah penyemprotan

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi perah bangsa Fries Holland (FH) adalah bangsa sapi perah yang umum dipelihara pada peternakan perah di Indonesia. Bangsa ini banyak diternakkan karena produksi susunya yang tinggi. Namun, sapi FH merupakan bangsa sapi yang rentan terhadap cekaman panas. Sapi FH adalah sapi yang mencapai produksi optimalnya pada suhu 13-18 oC. Berdasarkan USDA (2002) produksi susu sapi FH dapat mencapai 11 000 L per laktasi (Tyler dan Ensminger 2006). Produksi tersebut jauh di atas produksi rataan sapi FH di Indonesia yang adalah 3 135 L per laktasi (Sudono 1999). Hal ini diduga karena cekaman panas yang dialami sapi akan menurunkan produksi susunya.

Salah satu cara manajemen pemeliharaan yang dapat dilakukan untuk meminimalisir cekaman panas yang diterima sapi perah FH adalah penyemprotan. Penyemprotan ternak, selain dilakukan untuk kebersihan dan kesehatan ternak, juga berfungsi untuk melindungi ternak dari pengaruh negatif dari keadaan lingkungan seperti suhu yang terlalu panas. Pencegahan ternak dari dampak negatif lingkungan diharapkan dapat berpengaruh terhadap termoregulasi ternak. Penyemprotan ternak ini sendiri bergantung kepada ketersediaan air dan tenaga kerja. Pada daerah-daerah yang memiliki sumber air yang melimpah, penyemprotan ternak bukanlah menjadi masalah. Akan tetapi, pada daerah-daerah yang memiliki sumber air terbatas, penyemprotan ternak dapat meningkatkan biaya produksi untuk pengadaan air. Belum banyak penelitian yang meneliti tentang waktu dan frekuensi penyemprotan terhadap ternak, sehingga belum ada acuan untuk para peternak tentang frekuensi dan waktu penyemprotan yang tepat. Penentuan frekuensi dan waktu penyemprotan yang tepat ini adalah untuk optimalisasi penggunaan air sekaligus meminimalisir biaya produksi serta mengoptimalkan produksi peternakan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon suhu rektal dari sapi Fries Holland dara yang diberikan perlakuan penyemprotan pada waktu dan frekuensi yang berbeda.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengamati suhu rektal 4 ekor sapi FH dara yang diberi penyemprotan dengan 4 perlakuan waktu dan frekuensi yang berbeda. Pengukuran temperatur dilakukan dengan 2 data, yaitu pengukuran temperatur rektal setiap 2 jam dan pengukuran suhu rektal setiap 10 menit selama 2 jam setelah pemberian perlakuan. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan penyemprotan terhadap perubahan temperatur rektal sapi FH dara.

(13)

2

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di kandang sapi perah Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan selama 56 hari pada bulan Juli dan Agustus 2012.

Alat

Alat yang digunakan adalah alat tulis, thermocouple, data logger, timbangan, selang air, pompa air, karung pakan dan pengukur waktu.

Bahan

Ternak

Ternak yang digunakan pada penelitian ini adalah 4 ekor sapi FH dara dari kandang sapi perah Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sapi FH dara yang digunakan adalah sapi dara dengan perkiraan bobot badan dan umur yang relatif sama yaitu 200 kg serta 1 tahun .

Ternak dipelihara secara individual dengan diberi pakan berupa konsentrat sebanyak 4 kg ekor-1 hari1 dan rumput sebanyak 25 kg ekor1 hari1. Air minum diberikan ad libitum.

Prosedur

Penelitian ini didahului dengan proses aklimatisasi selama 10 hari. Menurut Spain et al. (1998), kondisi fisiologis ternak tidak menunjukkan perubahan setelah terekspos pada kondisi lingkungan yang panas, aklimatisasi dilakukan untuk menguragi cekaman yang terjadi akibat perpindahan kandang, iklim kandang dan perlakuan sistem prosedur pengukuran parameter.

Pengukuran kondisi iklim kandang (suhu dan kelembaban)

Kondisi iklim kandang diukur dengan menggunakan thermocouple dan data logger. Pendataan dilakukan bersamaan dengan pengambilan data temperatur rektal sapi FH dara.

Pengukuran suhu rektal sapi dara

Pengukuran suhu rektal sapi dara dilakukan dengan menggunakan thermocouple dan data logger pada masing-masing rektal sapi. Data direkam dalam dua rentan waktu, yaitu:

a. Perekaman data suhu rektal setiap 2 jam mulai dari pukul 06.00 hingga pukul 04.00 WIB.

b. Perekaman setelah pemberian perlakuan dilakukan setiap 10 menit selama dua jam pada pukul 07.00; 13.00 dan 16.00 WIB.

Perlakuan

Penelitian ini dilakukan dengan 4 perlakuan, dengan lama pemberian perlakuan 10 hari untuk setiap periodenya. Pengukuran parameter fisiologis

(14)

3 dilakukan selama 3 hari, yaitu hari-8 hingga hari-1-. Adapun perlakuan yang diberikan yaitu:

A : Penyemprotan pada pukul 07.00 dan 16.00 WIB

B : Penyemprotan pada pukul 07.00 ; 13.00 dan 16.00 WIB C : Penyemprotan pada pukul 13.00 WIB

D : Penyemprotan pada pukul 16.00 WIB

Analisis data

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan bujur sangkar latin (RBSL) dengan 4 sapi FH dara, 4 perlakuan penyemprotan dan 4 periode perlakuan. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah suhu rektal. Model rancangan yang digunakan adalah

Yijk = µ + Li + Bj + Pk + ɛijk

Keterangan :

Yijk : nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j µ : rataan umum

Li : pengaruh sapi ke-i Bj : pengaruh periode ke-j Pk : pengaruh penyemprotan ke-k

ɛijk : pengaruh galat penyemprotan ke-k, pada sapi ke-i, dan periode ke-j

Peubah yang diamati

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah : 1. Temperatur rektal sapi FH dara (oC),

2. Temperaur lingkungan (oC), 3. Kelembaban lingkungan (%), dan 4. Nilai THI

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Lingkungan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor bagian Ternak Perah. Kondisi iklim mikro lokasi penelitian berada pada kisaran suhu udara 21 oC sampai 33 oC, kelembaban relatif 62% sampai 90% dan Temperature-Humidity Index (THI) antara 70 sampai 82. Lingkungan hidup merupakan seluruh faktor eksternal non-genetik yang mempengaruhi pertumbuhan ternak (Esmay 1982). Keadaan lingkungan yang baik dapat memberikan kenyamanan pada ternak untuk berproduksi dengan baik, sehingga pengendalian lingkungan ternak harus dioptimalkan. Kondisi panas di atas normal dapat meningkatkan beban penerimaan panas tubuh sapi, sehingga menurunkan performa, kenyamanan dan kematian ternak (Mader et al. 2006). Grafik suhu lingkungan, kelembaban relatif lingkungan dan THI lingkungan dapat dilihat pada Gambar 1, 2, dan 3.

(15)

4

Gambar 3 THI lingkungan penelitian

65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 06.00 08.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 22.00 24.00 02.00 04.00 TH I Waktu

Gambar 2 Kelembaban relatif lingkungan penelitian

50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 06.0008.0010.0012.0014.0016.0018.0020.0022.0024.0002.0004.00 R H (%) Waktu

Gambar 1 Suhu lingkungan penelitian

20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 06.00 08.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 22.00 24.00 02.00 04.00 Su h u (oC) Waktu

(16)

5 Suhu lingkungan penelitian yang terlihat pada Gambar 1 menunjukkan bahwa suhu lingkungan meningkat dari pukul 06.00 hingga pukul 12.00 WIB. Suhu tertinggi terjadi pada pukul 12.00 WIB dan kemudian menurun pada waktu berikutnya. Kelembaban relatif berbanding terbalik jika dibandingkan dengan suhu lingkungan. Kelembaban menurun dan mencapai titik terendah pada pukul 12.00 WIB dan selanjutnya meningkat pada waktu berikutnya. Keadaan ini menyebabkan cekaman panas pada sapi FH, karena menurut Smith et al. (1988) suhu optimum untuk sapi FH adalah 18 oC dengan kelembaban 55%, sedangkan menurut Jones dan Stallings (1999) suhu nyaman untuk sapi Eropa berkisar 5 oC sampai 25 oC.

Pennington dan VanDevender (2004) melakukan klasifikasi cekaman panas dari nilai Temperature-Humidity Index menjadi tiga kategori, yaitu cekaman ringan (THI= 72-79), cekaman sedang (THI= 80-89) dan cekaman berat (THI= 90-98). Temperature-Humidity Index (THI) lingkungan penelitian yang diperlihatkan pada Gambar 3 menunjukkan bahwa terjadi cekaman ringan pada pukul 06.00 sampai 8.00 (THI= 73-77) dan 16.00 sampai dengan 02.00 (THI= 73-78). Cekaman sedang terjadi mulai pukul 10.00 sampai dengan 14.00 (THI= 80-89). Hasil pengamatan kondisi lingkungan menunjukkan bahwa pada pukul 04.00 THI berada pada kisaran yang tidak menyebabkan cekaman panas (THI < 72). Cekaman panas akan dialami sapi jika panas yang diterima berlebihan. Secara fisiologis, menurut Mc. Dowell (1972) ternak yang mengalami cekaman panas akan berakibat pada: 1) penurunan nafsu makan; 2) peningkatan konsumsi minum; 3) penurunan metabolisme dan peningkatan katabolisme; 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan; 5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah; 6) peningkatan suhu tubuh, respirasi dan denyut jantung.

Kondisi lingkungan dengan cekaman panas akan menyebabkan sapi melakukan proses keseimbangan panas. Proses keseimbangan panas pada sapi perah menurut Yousef (1985) tergantung pada besarnya produksi panas dan pelepasan panas. Produksi panas adalah aktivitas metabolisme untuk hidup pokok, pertumbuhan, kebuntingan, produksi susu dan tingkah laku. Panas yang dikeluarkan tubuh dapat melalui : (1) radiasi, yaitu perpindahan panas suatu benda ke benda lain tanpa bersentuhan, (2) konveksi, yaitu pergerakan molekul-molekul gas atau cairan dari suatu suhu tertentu ke tempat lain yang suhunya berbeda, (3) konduksi, yaitu perpindahan panas suatu benda yang berbeda suhunya apabila bersentuhan, (4) evaporasi dari tubuh terhadap lingkungan (Blaxter 1989).

Proses pengaturan panas dari tubuh dengan pelepasan panas pada sapi perah dapat melalui jalus sensible dan jalur penguapan (Yousef 1985). Menurut McLean et al. (1983), peningkatan produksi panas pada kondisi yang normal akan diikuti dengan peningkatan suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi pernapasan.

Pengaruh Waktu dan Frekuensi Penyemprotan pada Rataan Suhu Rektal Harian

Penyemprotan adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mengurangi cekaman panas yang diterima oleh sapi. Pendinginan tubuh ternak melalui penyemprotan air ke seluruh tubuh akan meningkatkan pembuangan kelebihan panas tubuh secara konveksi, konduksi dan evaporasi melalui pembukaan kelenjer keringat di seluruh permukaan tubuh. Pembuangan panas secara konveksi terjadi

(17)

6

dengan adanya pertukaran udara panas di sekitar kulit dengan udara yang lebih dingin dari air yang disemprotkan (Sukarli 1995).

Pembuangan panas secara konduksi terjadi karena panas tubuh berkonduksi dengan air yang disemprotkan ke tubuh, yang menyebabkan panas tubuh pindah ke air yang mempunyai suhu lebih rendah dari suhu tubuh (Sukarli 1995). Percikan air yang mengenai tubuh juga akan meningkatkan pembuangan panas melalui penguapan air dari permukaan kulit.

Menurut Igino et al. (1985), pendinginan tubuh dengan penyemprotan air terhadap sapi FH dan Guernsey pada suhu lingkungan 30.8 oC mampu menurunkan suhu tubuh dari 39.1 oC menjadi 38.3 oC. Penyiraman sapi perah pada musim panas, menurunkan suhu rektal dari 39.1 oC menjadi 38.8 oC serta meningkatkan produksi susu sebesar 0.70 kg. Penyemprotan air juga meningkatkan kenyamanan bagi sapi perah, serta meningkatkan efisiensi produksi susu.

Kemampuan tubuh untuk menerima dan melepaskan panas ditunjukkan oleh suhu tubuhnya. Pengukuran tubuh pada dasaranya sulit untuk dilakukan, karena pengukuran suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di berbagai tempat (Schmidt-Nielsen 1997). Entin (2003) mendeskripsikan suhu tubuh dengan rumus: suhu tubuh= 0.7 (suhu rektal) + 0.3 (suhu kulit). Rumus tersebut menunjukkan bahwa 70% dari suhu tubuh ditentukan oleh suhu rektal. Pada penelitian ini, pengamatan dilakukan menggunakan hanya suhu rektal sapi FH dara. Hasil pengamatan variasi suhu rektal sapi FH dara berkisar antara 37.68 o C-39.00 oC yang dapat dilihat pada Gambar 4.

Pengamatan pada rata-rata suhu rektal sapi FH dara menunjukkan bahwa ratarata suhu rektal sapi FH dara pada penelitian ini adalah 38.43 ± 0.04. Rata -rata suhu rektal harian sapi FH dara untuk tiap perlakuan dapat dilihat pada tabel 1.

Gambar 4 Variasi suhu rektal harian. (♦) A : Penyemprotan pada pukul 07.00 dan 16.00 WIB , (■) B : Penyemprotan pada pukul 07.00 ; 13.00 dan 16.00 WIB, (▲) C : Penyemprotan pada pukul 13.00 , (×) D : Penyemprotan pukul 16.00 WIB.

37.50 37.75 38.00 38.25 38.50 38.75 39.00 39.25 39.50 06.00 08.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 22.00 24.00 02.00 04.00 Su h u ( oC) Waktu

(18)

7

Menurut Tyler dan Ensminger (2006), suhu normal rektal sapi perah berkisar antara 38.0 oC – 39.3 oC dengan rataan sebesar 38.4 oC. Pernyataan ini menunjukkan bahwa suhu rektal sapi FH dara pada penelitian ini termasuk pada kisaran suhu normal. Suhu rektal sapi FH dara pada gambar 4 berada pada kisaran normal, yaitu sekitar 38 oC sampai 39 oC dari pukul 06.00 sampai pukul 02.00. Suhu tubuh sapi pada pukul 04.00 berada pada suhu di bawah 38 oC karena pada waktu itu kondisi sapi sedang beristirahat sehinga pengeluaran panas tubuh menurun. Temperature-humidity Index (THI) pada pukul 04.00 berada pada kondisi nyaman atau tidak menimbulkan cekaman (THI < 72 ) membuat sapi-sapi FH merasa nyaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wierema (1990) yang menyatakan bahwa bahwa nilai THI dibawah 72 merupakan THI nyaman bagi sapi perah FH. Kenyamanan ini menyebabkan penurunan pengeluaran panas tubuh.

Hasil uji statistik pada menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh terhadap rata-rata suhu rektal harian sapi FH dara (P > 0.05). Hal ini berarti perlakuan penyemprotan dengan frekuensi dan waktu yang berbeda tidak berpengaruh pada rata-rata suhu harian sapi FH dara. Walaupun secara rata-rata harian perlakuan yang diberikan tidak mempengaruhi suhu rektal sapi FH dara, terdapat beberapa variasi suhu dalam grafik 4. Hal ini hanya terjadi sementara waktu sehingga tidak berpengaruh pada suhu rektal secara keseluruhan.

Suhu rektal sapi pada pukul 08.00 terlihat sedikit perbedaan. Gambar 4 menunjukkan bahwa suhu rektal sapi yang diberikan perlakuan A dan perlakuan B lebih tinggi dibandingkan suhu rektal sapi dengan perlakuan C dan D. Perlakuan A dan B adalah penyemprotan sapi pada pukul 07.00. Penyemprotan ini diberikan pada pagi hari dimana suhu tubuh sapi berada pada suhu rendah, hal ini menyebabkan sapi menghasilkan panas tubuh untuk menyeimbangkan suhu tubuhnya, sehingga pada pukul 08.00 suhu rektal sapi dengan perlakuan A dan B lebih tinggi dari suhu rektal sapi dengan perlakuan C dan D, namun pada waktu berikutnya terjadi penurunan suhu tubuh sapi yang mendapat perlakuan A dan B. Pada sapi yang mendapat perlakuan C dan D, atau sapi yang tidak mendapat penyemprotan pada pagi harinya, suhu tubuhnya terus mengalami peningkatan hingga pukul 12.00. Penyemprotan yang dilakukan pada pagi hari memang menyebabkan suhu rektal sapi meningkat pada jam pertama setelah penyemprotan dikarenakan pengeluaran panas tubuh sapi untuk menyeimbangkan suhu tubuh sapi. Setelah itu, tubuh sapi yang disiram akan berada pada kondisi nyaman. Penyiraman pada pagi hari berpengaruh lebih lama daripada siang hari, dimana

Tabel 1 Rata-rata harian suhu rektal sapi FH dara Perlakuan suhu rata-rata rektal (oC)

A 38.52 ± 0.12

B 38.50 ± 0.08

C 38.35 ± 0.07

D 38.34 ± 0.03

Keterangan : A (Penyemprotan pada pukul 07.00 dan 16.00 WIB), B (Penyemprotan pada pukul 07.00 ; 13.00 dan 16.00 WIB), C (Penyemprotan pada pukul 13.00) dan D (Penyemprotan pukul 16.00).

(19)

8

pada pagi hari, suhu lingkungan tidak begitu panas sehingga penguapan air pada sapi tidak terjadi dengan cepat. Sisa percikan air pada tubuh sapi setelah penyemprotan memberikan kesejukan pada sapi sehingga setelah pukul 08.00 terjadi penurunan suhu rektal sapi hingga pukul 12.00 .

Suhu rektal sapi FH dara mencapai suhu tertinggi pada pukul 16.00, dimana pada waktu tersebut nilai THI berada pada kondisi yang memberikan cekaman panas rendah (THI= 78 ). Terjadinya peningkatan suhu rektal sapi FH dara pada pukul 16.00 disebabkan metabolisme sapi yang menghasilkan panas tubuh lebih, karena sapi-sapi mengkunsumsi pakan yang diberikan pada pukul 16.00. Pukul 16.00 juga merupakan waktu pergantian antara sore dan malam, yang menurut Curtis (1983) merupakan kondisi terjadinya variasi suhu rektal.

Grafik variasi suhu rektal sapi FH dara menunjukkan peningkatan suhu rektal pada pukul 08.00 pada perlakuan A dan B meskipun hanya sementara dan tidak mempengaruhi suhu rata-rata suhu rektal secara keseluruhan. Peningkatan sementara ini terjadi pada sapi yang diberi perlakuan penyemprotan, hal ini disebabkan oleh air yang disemprotkan pada tubuh sapi yang saat itu berada pada kondisi nyaman dengan suhu tubuh 38.11 oC dan 38.17 oC pada lingkungan dengan THI= 73-77 (cekaman panas ringan) disemprot dengan air untuk mendinginkan tubuh menyebabkan sapi melakukan proses termoregulasi untuk meningkatkan suhu tubuhnya agar menghindari cekaman dingin. Termoregulasi sendiri adalah kemampuan hewan untuk menyesuaikan suhu tubuhnya agar tetap stabil (Esmay 1982). Hal ini menunjukkan bahwa penyemprotan di pagi hari (pukul 07.00) menyebabkan peningkatan suhu tubuh sapi sementara walaupun tidak berbeda nyata pada suhu harian sapi FH dara.

Rata-rata suhu rektal sapi FH dara yang didapat pada penelitian ini tidak berbeda nyata pada perlakuan yang berbeda. Hasil ini menunjukkan bahwa penyemprotan dengan waktu yang berbeda dan frekuansi yang berbeda tidak mempengaruhi rataan suhu rektal sapi FH dara. Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata pada suhu rektal sapi FH dara adalah volume air yang digunakan, lama penyemprotan dan ternak yang telah beradaptasi terhadap tingkungannya.

Sukarli (1995) menyatakan bahwa banyaknya air dalam penyemprotan pada tubuh dalam lingkungan panas berpengaruh nyata dalam penurunan suhu tubuh. Volume air yang digunakan pada penelitian ini adalah sebanyak 20 L, meskipun Sukarli (1995) pada penelitiannya mengungkapkan bahwa penyemprotan air sebanyak 20 liter membantu meningkatkan pembuangan panas tubuh lebih baik dibandingkan penyemprotan air 10 L dan 5 L, namun hasil dari penelitian ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara rataan suhu rektal sapi FH dara yang disemprot dengan air sebanyak 20 L pada waktu dan frekuensi berbeda. Kemungkinan lain yang menyebabkan perlakuan penyemprotan berbeda pada sapi FH dara tidak berbeda nyata adalah lama penyemprotan yang dilakukan, pada penelitian ini penyemprotan sapi FH dara dilakukan selama 2.5 menit untuk setiap sapi yang diberikan perlakuan. Ismail M (2006) dalam penelitian mengatakan bahwa penyiraman kurang efektif menurunkan suhu tubuh ternak karena air yang disiram ke tubuh ternak menguap dengan cepat, terlebih pada suhu lingkungan yang tinggi. Adanya beberapa faktor yang mungkin adalah beberapa penyebab penyemprotan sapi FH dara pada waktu yang berbeda maupun frekuensi yang berbeda tidak mempengaruhi rataan suhu rektal sapi menjadikan

(20)

9 penelitian ini perlu dikembangkan kedepannya dengan memerhatikan faktor-faktor tersebut.

Respon Suhu Rektal 2 Jam Setelah Perlakuan

Pengambilan data suhu rektal sapi FH dara juga dilakukan setelah sapi-sapi FH dara mendapat perlakuan. Data diambil setiap sepuluh menit selama dua jam pada pukul 07.00-09.00, pukul 13.00-15.00 dan pukul 16.00-18.00. pengambilan data ini bertujuan untuk mengamati respon suhu rektal sesaat setelah diberi perlakuan. Suhu rektal sapi FH dara untuk dua jam setelah setiap perlakuan dapat dilihat pada grafik 5, 6 dan 7. Rata-rata suhu rektal sapi FH dara untuk setiap perlakuan juga dapat dilihat pada Tabel 2, 3 dan 4.

Tabel 2 Rata-rata suhu rektal sapi FH dara pukul 07.00-09.00

Perlakuan suhu rata-rata rektal (oC)

A 38.40 ±0.03

B 38.51 ±0.04

C 38.01 ±0.10

D 38.02 ±0.16

Keterangan : A (Penyemprotan pada pukul 07.00 dan 16.00 WIB), B (Penyemprotan pada pukul 07.00 ; 13.00 dan 16.00 WIB), C (Penyemprotan pada pukul 13.00) dan D (Penyemprotan pukul 16.00).

Gambar 5 Variasi suhu rektal harian. (♦) A : Penyemprotan pada pukul 07.00 dan 16.00 WIB , (■) B : Penyemprotan pada pukul 07.00 ; 13.00 dan 16.00 WIB, (▲) C : Penyemprotan pada pukul 13.00 , (×) D : Penyemprotan pukul 16.00 WIB.

37.50 37.75 38.00 38.25 38.50 38.75 39.00 39.25 39.50 07.00 07.10 07.20 07.30 07.40 07.50 08.00 08.10 08.20 08.30 08.40 08.50 09.00 Su h u ( oC) Waktu

(21)

10

Gambar 7 Variasi suhu rektal harian. (♦) A : Penyemprotan pada pukul 07.00 dan 16.00 WIB , (■) B : : Penyemprotan pada pukul 07.00 ; 13.00 dan 16.00 WIB, (▲) C : Penyemprotan pada pukul 13.00 , (×) D : Penyemprotan pukul 16.00 WIB.

37.50 37.75 38.00 38.25 38.50 38.75 39.00 39.25 39.50 16.00 16.10 16.20 16.30 16.40 16.50 17.00 17.10 17.20 17.30 17.40 17.50 18.00 Su h u ( oC) Waktu

Tabel 3 Rata-rata suhu rektal sapi FH dara pukul 13.00-15.00

Perlakuan suhu rata-rata rektal (oC)

A 38.78 ± 0.05

B 38.62 ± 0.23

C 38.73 ± 0.14

D 38.60 ± 0.05

Keterangan : A (Penyemprotan pada pukul 07.00 dan 16.00 WIB), B (Penyemprotan pada pukul 07.00 ; 13.00 dan 16.00 WIB), C (Penyemprotan pada pukul 13.00) dan D (Penyemprotan pukul 16.00).

Gambar 6 Variasi suhu rektal harian. (♦) A : Penyemprotan pada pukul 07.00 dan 16.00 WIB , (■) B : Penyemprotan pada pukul 07.00 ; 13.00 dan 16.00 WIB, (▲) C : Penyemprotan pada pukul 13.00 , (×) D : Penyemprotan pukul 16.00 WIB. 37.50 37.75 38.00 38.25 38.50 38.75 39.00 39.25 39.50 13.00 13.10 13.20 13.30 13.40 13.50 14.00 14.10 14.20 14.30 14.40 14.50 15.00 Suh u ( oC) Waktu

(22)

11

Rata-rata suhu pada pukul 07.00 – 09.00 berbeda nyata (P<0.05) untuk setiap perlakuannya. Suhu rektal sapi pada waktu ini masih berada pada kisaran suhu rektal rata-rata. Menurut Kelly (1984), suhu rektal normal sapi perah berada pada kisaran 37.8 °C sampai 39.2 °C dengan rataan suhu sebesar 38.5 °C. Rata-rata suhu rektal sapi perah pukul 07.00 – 09.00 pada penelitian ini adalah 38.23 °C ± 0.03, berada pada kisaran 37.50 °C - 38.75 °C. Variasi suhu rektal sapi FH dara yang diperlihatkan di grafik menunjukkan peningkatan suhu rektal terjadi pada sapi yang diberi perlakuan A dan B, dimana pada perlakuan tersebut sapi disemprot pada pukul 07.00. Peningkatan suhu rektal ini terjadi karena penyemprotan air pada tubuh sapi yang berada pada cekaman panas ringan (THI= 73-77) menyebabkan sapi menghasilkan panas untuk menyeimbangkan panas tubuh, agar tetap berada pada suhu normal. Penyesuaian suhu tubuh ini merupakan proses termoregulasi yang dilakukan sapi. Hasil ini menunjukkan bahwa penyemprotan di pagi hari memberi efek yang tidak bagus pada suhu rektal sapi FH dara, yang berarti penyemprotan pada pagi hari dapat dihindari karena akan berdampak pada peningkatan suhu rektal sapi FH dara.

Suhu rektal pada pukul 13.00-15.00 tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P>0.05). Suhu rektal yang didapatkan berkisar antara 38.60 °C sampai 38.80 °C dengan rataan suhu rektal 38.68 °C ± 0.09. Data ini menunjukkan bahwa perlakuan penyemprotan yang berbeda tidak mempengaruhi suhu rektal sapi FH dara pada pukul 13.00-15.00 yang memiliki nilai THI sebesar 80-89 (cekaman panas sedang).

Hasil analisis ragam yang didapatkan pada pukul 16.00 sampai dengan pukul 18.00 mendapatkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Perbedaan suhu justru dapat dilihat pada sapi dengan perlakuan B, yaitu perlakuan dengan penyemprotan tiga kali sehari (07.00; 13.00; dan 16.00). Suhu rektal yang didapatkan selama dua jam setelah penyemprotan berkisar antara 38.28 °C sampai 38.82 °C dengan rata-rata 38.80 °C ± 0.05 °C.. Peningkatan suhu rektal terjadi hingga pukul 17.30 yang kemudian menurun hingga berada pada kisaran suhu yang tidak berbeda dengan sapi yang mendapat perlakuan lain. Terjadinya peningkatan ini mungkin sapi yang sebelumnya sudah mendapatkan penyemprotan pada pukul 13.00 masih dalam penyesuaian suhu tubuh, diberikan penyemprotan lagi pada pukul 16.00. Penyemprotan ini membuat sapi membutuhkan energi tambahan untuk menyesuaikan lagi suhu tubuhnya setelah mengalami dua kali penyemprotan dengan rentang waktu yang tidak begitu lama. Dengan demikian, peningkatan suhu tubuh sapi ini menyebabkan peningkatan

Tabel 4 Rata-rata suhu rektal sapi FH dara pukul 16.00-18.00

Perlakuan suhu rata-rata rektal (oC)

A 38.76 ± 0.11

B 39.00 ± 0.09

C 38.80 ± 0.12

D 38.66 ± 0.07

Keterangan : A (Penyemprotan pada pukul 07.00 dan 16.00 WIB), B (Penyemprotan pada pukul 07.00 ; 13.00 dan 16.00 WIB), C (Penyemprotan pada pukul 13.00) dan D (Penyemprotan pukul 16.00).

(23)

12

pada suhu rektal sapi FH dara beberapa saat setelah penyiraman. Keadaan ini tidak terjadi pada sapi FH dara yang mendapat perlakuan A dan D yang juga mendapatkan penyemprotan pada pukul 16.00 dimana suhu rektal sapi FH dengan perlakuan A dan D tidak mengalami peningkatan bahkan cenderung menurun beberapa saat setelah penyemprotan pada pukul 16.00. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan sapi yang sebelumnya (pukul 13.00) tidak mendapat penyemprotan sehingga pemberian penyemprotan pada pukul 16.00 tidak menyebabkan sapi mengeluarkan energi tambahan untuk menyesuaikan suhu tubuh yang dilihat melalui suhu rektal.

(24)

13

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pemberian penyemprotan dalam penelitian tidak mempengaruhi respon rata-rata suhu rektal sapi FH dara, namun penyemprotan di pagi hari dapat meningkatkan suhu rektal sapi FH dara selama 2 jam setelah penyemprotan. Penyemprotan yang dilakukan sore hari terhadap sapi FH dara yang disemprot pada siang hari juga meningkatkan suhu rektal sapi FH selama 2 jam setelah penyemprotan di sore hari.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, perlu dilakukan penelitian lanjutan yang mempelajari respon suhu rektal pada waktu dan frekuensi penyemprotan yang berbeda dengan memberi perhatian lebih kepada volume air dan lama penyemprotan yang diberikan. Dengan demikian penelitian diharapkan memberikan acuan dan pedoman bagi para peternak rakyat Indonesia tentang waktu dan frekuensi yang efektif dalam mengatasi stress pada ternak.

(25)

14

DAFTAR PUSTAKA

Blaxter K. 1989. Energy Metabolism in Animal and Man. New York (US): Cambridge Univ Pr.

Curtis SE. 1983. Environmental Management in Animal Agriculture. Iowa (US): The Iowa State Univ Pr.

Ensminger ME, Tyler HD. 2006. Dairy Cattle Science. Ed ke-4. Florida (US): CRC Pr.

Entin PL. 2003. Thermoregulation: Homoestatic Regulation of Body Temperature during Exercise. [Internet]. [diunduh 2012 Des 20]. Tersedia pada: http:/jan.ucc.nau.edu/-pe/exs336web/336termoreg.htm.

Esmay LM. 1982. Principle of Animals Environment. Connecticut (US): AVI Publ Co Inc.

Igono MO, Johson HD, Steevens BJ, Krause GF, Shanklin MD. 1987. Physiological, productive and economic benefit of shade, spray, and fan system versus shade of Holstein cows during summer heat. J Dairy Sci. 70: 1069.

Ismail M. 2006. Pengaruh penyiraman dan penganginan terhadap termoregulasi dan tingkat konsumsi pakan sapi Fries Holland dara [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Jones GM, Stallings CC. 1999. Reducing Heat Stress for Dairy Cattle. Virginia Cooperative Extension. Publication Number 404-420. [Internet] [diunduh 2013 Jan 16]. Tersedia pada: http://www.ext.edu/index.html.

Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. London (GB): Bailliere Tindall. Mader TL, Davis S, Brown-Brandl T. 2006. Environmental factors influencing

heat strees in feedlot cattle. J Anim Sci. 84: 712-719.

McLean JA, Stombaugh DP, Downie AJ. 1983. Body heat storage in streers Bos taurus in fluctuating thermal environments. J of Agric Sci. Cambridge (GB). 100: 315.

McDowell RE. 1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climates. San Fransisco (US): W.H. Freeman and Company.

Peningto JA, VanDevender K. 2004. Heat Stress in Dairy Cattle. [Internet]. [diunduh 2012 Mei 19]. Tersedia pada: http://www/uaex.edu/ otherareas/publication/html.

Schmidt Nielsen K. 1997. Animal Phisiolgy: Adaption and Environment. Ed ke-5. Cambridge (GB): Cambridge Univ Pr.

Smith DB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta (ID): UI Pr.

Spain JN, Spiers DE, Snyder BL. 1998. The Effect of Strategically Cooling dairy Cows on Milk Production. [Internet]. [diunduh 2013 Maret 6]. Tersedia pada: http://www.adsa.org/meet/98meet/98enb.pdf.

Sudono A. 2002. Budidaya Sapi Perah. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sudono A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Bogor (ID): Institut Pertanian

Bogor.

Sukarli. 1995. Pengaruh volume air yang digunakan untuk menyemprotan pada tubuh terhadap respon termogulasi sapi Friesian Holland dara. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(26)

15 Wierma F. In: Chestnut A, Houston D. 2002. Heat Stress and Cooling Cows. [Internet]. [diunduh 2013 Maret 6]. Tersedia pada: http://www.vigortone.com/heat_stress.htm.

(27)

16

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil analisis ragam rataan suhu rektal harian.

Sumber db JK KT F P Sapi 3 0.007 0.002 0.27 0.844 Periode 3 0.115 0.038 4.20 0.064 Penyemprotan 3 0.020 0.007 0.73 0.569 Galat 6 0.055 0.009 Total 15 0.198

Lampiran 2 Hasil analisis ragam rataan suhu rektal 2 jam setelah penyemprotan pukul 07.00 Sumber db JK KT F P Sapi 3 0.482 0.166 7.29 0.020 Periode 3 0.042 0.014 0.63 0.622 Penyemprotan 3 0.067 0.022 1.00 0.455 Galat 6 0.132 0.022 Total 15 0.726

Lampiran 3 Hasil analisis ragam rataan suhu rektal 2 jam setelah penyemprotan pukul 13.00 Sumber db JK KT F P Sapi 3 0.090 0.030 4.48 0.056 Periode 3 0.106 0.035 5.24 0.041 Penyemprotan 3 0.080 0.027 3.95 0.072 Galat 6 0.040 0.008 Total 15 0.316

Lampiran 4 Hasil analisis ragam rataan suhu rektal 2 jam setelah penyemprotan pukul 16.00 Sumber db JK KT F P Sapi 3 0.676 0.225 5.33 0.040 Periode 3 0.296 0.099 2.34 0.173 Penyemprotan 3 0.112 0.037 0.89 0.500 Galat 6 0.254 0.042 Total 15 1.338

(28)

17

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Padangpanjang Sumatera Barat pada 10 Agustus 1990, dari ibu Raswati Z. dan ayah Riza Muhammad. Penulis adalah anak ke-3 dari 6 bersaudara. Menempuh pendidikan TK di TK Rahmah EL-Yunusiah (1995-1996), SDN 23 Pincuran Tinggi (1996-2002), dan menyelesaikan SMP dan SMA di Pondok Pesantren Modern Nurul Ikhlas (2002-2008). Tahun 2008 penulis berhasil lulus seleksi Program Beasiswa Santri Berprestasi yang mengantarkan penulis menjadi mahasiswa Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penulis memilih Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Ternak setelah melewati Tahap Persiapan Bersama di Tahun pertamanya.

Dalam masa-masa mahasiswa, penulis aktif menjadi pengurus di beberapa organisasi diantaranya IPMM (2008-2012), UKM MAX (2009), BEM Fakultas Peternakan (2009-2010), HIMAPROTER (2010-2011), IPANI JJ (2008-2012), IMASERAMPAG (2008-2012). Penulis juga merupakan pendiri dari grup perkusi Fakultas Peternakan, D’Ransum pada tahun 2009 yang terus berkembang hingga saat ini. Penulis juga aktif dalam banyak kepanitiaan baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Kegiatan terakhir yang diikuti penulis adalah Magang di Northen Territory Australia (2013).

Terinspirasi dari sebuah berita tentang peternak yang kekurangan air, penulis menyelesaikan skripsinya yang berjudul Respon Temperatur Rektal Sapi Fries Holland Dara pada Waktu dan Frekuensi Penyemprotan Berbeda yang sekaligus menjadi syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S1) di Fakultas Peternakan IPB.

Gambar

Gambar 3  THI lingkungan penelitian
Tabel 2  Rata-rata suhu rektal sapi FH dara pukul 07.00-09.00
Gambar  7    Variasi  suhu  rektal  harian.  (♦)  A  :  Penyemprotan  pada  pukul  07.00  dan 16.00 WIB , (■) B : : Penyemprotan pada pukul 07.00 ; 13.00  dan 16.00 WIB, (▲) C : Penyemprotan pada pukul 13.00 , (×) D :  Penyemprotan pukul 16.00 WIB

Referensi

Dokumen terkait

First of all, the greatest praise and grateful to Allah SWT, the merciful and compassionate, and the prophet Muhammad SAW, the messenger, for blessing and guiding the researcher

Definisi KTM menurut Depnakertrans (2010) adalah kawasan yang pertumbuhannya dirancang untuk menjadi pusat pertumbuhan melalui pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan

Dengan melihat nilai probabilitas diperoleh hasil perhitungan yaitu t hitung = 15,192492 &gt; t tabel = 2,012, maka Ho ditolak atau kendaraan masuk dan keluar,

Dari hasil regresi pengaruh pendapatan daerah dan Kinerja Keuangan terhadap Kesejahteraan Masyarakat yang diukur dengan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) adalah

Maka Ketetapan Waktu Iddah dari Ulama Sumatera Utara Terhadap Haid yang Direkayasa, mengikuti oleh ketua MUI SUMUT dengan alasan memiliki kesinambungan dengan

Berdaparkan hasil wawancara dengan Bpk. Barokah, S.Ag selaku guru agama pada hari Selasa tanggaI 18 Juli 2006 pada jam 08.30 dan observasi serta diperkuat dengan doktunentasi

Teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) dari Halliday &amp; Matthiessen (2004) digunakan untuk menganalisis makna interpersonal pada teks bahasa (verbal) dan teori

[r]