• Tidak ada hasil yang ditemukan

SPIRITUAL INTELLIGENCE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SPIRITUAL INTELLIGENCE"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI

SPIRITUAL INTELLIGENCE

"Tuhan menciptakan radar (m agnet) dalam otak m anusiayang disebut "Got Spot" (titik Tuhan) sebagai signal mendeteksi keberadaan dan aktivitas manusia"

A. Pen gertian

Z

ohar dan Marshal (2 0 0 0 ) memperkenalkan istilah kecerdasan spiritual atau spiritual intelligence (SI) setelah berpuluh-puluh tahun menelitinya. Kecerdasan spiritual atau spiritual intelligence (SI) merupakan landasan yang sangat diperlukan untuk memfungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional secara optimal. Selanjutnya, dinyatakan secara terpisah ataupun bersam a IQ dan SQ tidak mampu untuk m enjelaskan keseluruhan kompleksitas kecerdasan manusia, kekayaan jiwa, dan im ajinasi yang dimilikinya. Menurut Zohar dan Marshal, kecerdasan spiritual sebagai puncak kecerdasan. Kecer­ dasan spiritual tidak identik dengan agama formal, karena itu

(2)

dasan ini tidak milik satu agama. Clausen (dalam Zohar dan Marshall, 2 0 0 0 ] menggambarkan kecerdasan spiritual sebagai wawasan pemi- kiran yang luar biasa mengagumkan, dan sekaligus argumen pemikiran tentang betapa pentingnya hidup sebagai manusia yang cerdas secara spiritual.

Sinetar (dalam Sukidi, 2 0 0 4 ] menafsirkan kecerdasan spiritual sebagai pemikiran yang terilhami. Selanjutnya dikatakan kecerdasan spiritual adalah cahaya, ciuman kehidupan yang membangunkan kein- dahan tidur kita, membangunkan orang-orang dari segala usia dan segala situasi.

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa, yakni tingkat baru kesadaran yang bertumpu pada bagian dari dalam diri manusia yang berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa sadar, yang mem- bantu menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh, yang dengannya manusia tidak hanya mengakui nilai-nilai yang ada, tetapi lebih kreatif menemukan nilai-nilai baru, juga dapat menyeimbangkan makna dan nilai serta menempatkan kehidupan dalam konteks yang lebih luas.

Khavari (dalam Mahdi, 2 0 0 2 ] menyatakan kecerdasan spiritual merupakan pikiran, dorongan, dan efektivitas yang mendapat inspirasi penghayatan ketuhanan yang di dalamnya kita semua menjadi bagian.

Prama tahun 2 0 0 4 mengajukan H eart Intelligence sebagai puncak

kecerdasan yang dapat dilampaui kecerdasan kosmis kualitatif dan kuantitatif.

Bowell (2 0 0 4 ) mengemukakan kecerdasan spiritual sebagai kualitas terdalam, kehadiran, pelepasan, yang mistis, yang lebih tinggi, asal mula, ranah maya, yang ada sebelum proses melingkupinya dengan pikiran dan zat. Itulah tingkat yang hanya dapat dicita-citakan, tetapi tak dapat kita miliki atau langgar.

Kecerdasan spiritual diartikan sebagai kecerdasan yang mendapat inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi, serta penghayatan ketuhanan yang di dalamnya semua menjadi bagian (Sinetar, 2006).

(3)

B. K arak teristik K ecerd asan Spiritual

Pada tanggal 11-12 April 2 0 0 2 Tokoh Eksekutif International dari berbagai jenis perusahaan mengadakan forum diskusi leadership di Harvard Business School merumuskan lima ciri paham spiritualisme yang dapat membawa keberhasilan seorang CEO, yaitu: (1) integritas (kejujuran), (2) energi (semangat), (3) inspirasi (ide dan inisiatif), (4) wisdom (bijaksana), dan (5) keberanian dalam mengambil keputusan.

Pada tahun 1995 dan tahun 2 0 0 2 lembaga leadership

international bernam a "The Leadership Challenge" melakukan survei tentang karakteristik CEO yang ideal di seluruh benua. Hasil survei tersebut menyebutkan urutan prioritas karakteristik CEO adalah: (1) honest (jujur), (2) forw ard Looking (berpikiran maju), (3} com petent

(kompeten), (4) Inspiring (dapat memberi inspirasi], (5) intelligent

(cerdas), (6) fair-m in ded (adil), (7) broad-m inded (berpandangan luas), (8] supportive (mendukung), (9) straight forw ard (terus terang/jujur), (10) dependable (bisa diandalkan), (1 1 ) cooperative (bekerjasam a), (12) determ ined (tegas), (13) imaginative (berdaya im ajinasi), (1 4 ) am bitious (beram bisi), courageous (berani), (15) caring (perhatian), (16) m ature (m atang/ dewasa dalam) berpikir dan bertindak, (17) loyal (setia), (18) self-controlled (penguasaan diri), (19) independent (mandiri).

Mengacu pada urutan tersebut, dapat dikemukakan bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah seorang "leader" (kepala sekolah) yang me- miliki karakter sebagaimana hasil survei international tersebut. Hal ini menunjukkan pula bahwa karakter itulah yang mampu m embuat sese- orang meraih sukses, menjadi seorang yang "powerful leaders” yaitu para pemimpin yang memiliki kekuatan dahsyat atau lebih dikenal dengan kecerdasan emosional dan spiritual.

Zohar dan Marshall mengemukakan ada delapan aspek k ecer­ dasan spiritual yang ada kaitannya dengan kepribadian yang meliputi: (1) kapasitas diri untuk bersikap fleksibel, seperti aktif dan adaptif secara spontan, (2) level kesadaran diri (self-aw areness) yang tinggi, (3) kapasitas diri untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan (suffering), (4) kualitas hidup yang terinspirasi dengan visi dan nilai- nilai, (5) keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu (unnecessary harm), (6) memiliki cara pandang yang holistik, dengan

(4)

memiliki kecenderungan untuk m elihat keterkaitan di antara segala sesuatu yang berbeda, (7} memiliki kecenderungan nyata untuk bertanya dan mencari jawaban yang fundamental, dan (8) memiliki kemudahan untuk bekerja melawan tradisi (konvensi).

Ciri-ciri kecerdasan spiritual menurut Khavari (dalam Sukidi, 2 0 0 4 ) terdiri dari tiga aspek yaitu: (1) kecerdasan spiritual dipandang dari sudut spiritual-keagamaan (relasi vertikal manusia dengan Tuhan) yang mencakup, yaitu: frekuensi doa, makhluk spiritual, kecintaan pada Tuhan YME yang bersemayam dalam hati, dan rasa syukur ke hadirat- Nya; (2) kecerdasan spiritual dipandang dari segi relasi sosial- keaga- maan sebagai konsekuensi logis relasi spiritual-keagamaan. Artinya, kecerdasan spiritual harus m erefleksikan pada sikap-sikap sosial yang

menekankan segi kebersam aan dan kesejahteraan sosial (sosial w elfare)

yaitu: ikatan kekeluargaan antar sesama, peka terhadap kesejahteraan orang lain, peka terhadap binatang-binatang, dan sikap dermawan; (3) kecerdasan spiritual dipandang dari sudut etika sosial yang dapat menggambarkan tingkat etika sosial seseorang sebagai cermin kadar kualitas kecerdasan spiritual yaitu: ketaatan kita pada etika dan moral, kejujuran, amanah dan dapat dipercaya, sikap sopan, toleran dan anti kekerasan.

Hendricks (dalam Sukidi, 2 0 0 4 ) mengemukakan karakteristik pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual adalah: (1) memiliki integritas, (2) terbuka, (3) mampu m enerima kritik, (4) rendah hati, (5) mampu menghormati orang lain dengan baik, (6) terinspirasi oleh visi, (7) mengenal diri sendiri dengan baik, (8) memiliki spiritualitas yang non-dogmatis, dan (9) selalu mengupayakan yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain.

Stanley (dalam Ginanjar, 2 0 0 3 ) mengemukakan hasil jajak pen- dapat yang melibatkan 733 multimillionaire tentang faktor dominan yang paling berperan dalam keberhasilan pemimpin yaitu: (1) jujur pada semua orang, (2) menerapkan disiplin, (3) bergaul baik dengan orang lain, (4) memiliki suami atau istri yang mendukung, dan (5) bekerja lebih giat daripada kebanyakan orang. Ginanjar (2 0 0 3 ) m enge­ mukakan karakteristik pemimpin yang memiliki spiritualitas tinggi, yaitu: (1) transparan, (2) bertanggung jawab, (3) kepercayaan, (4) keadilan, (5) kepedulian sosial.

(5)

Tasmara (2 0 0 6 ) mengemukakan karakteristik kepemimpinan berbasis spiritual yaitu: (1) attitude, (2) adaptability, (3) attention, (4) accountable, (5) beauty, (6) behavior, (7) credibility, (8J com petent, (9) creative, (10) consistence, (11) discipline, (12) empathy, (1 3 ) enthusiasm, (14) honest, [IS ) hope, (16) integrity, (17) justice, (18) love, (19) pray, (20) quality, (21) qolbu, (22) service, (23) trust, (2 4 ) team w ork, (25) vision, dan (26) value.

Muhammad saw. menampilkan ciri kepemimpinannya dengan

empat unsur, yaitu: (1) Fathonah [intelligent), (2) am anah (account-

table], (3) siddiq (honest), dan (4) tablig (cooperative). Mahyana (2 0 0 5 ) mengemukakan ciri-ciri pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi, yaitu: (1) memiliki prinsip dan visi yang kuat, (2) mampu me- maknai setiap sesi kehidupan, dan (3) mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan dan penderitaan.

C. Keunggulan K ecerd asan Spiritual

Terdapat enam alasan mengapa kecerdasan spiritual lebih unggul daripada kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional (Sukidi, 2 0 0 4 :6 8 ) yaitu: (1) segi perenial kecerdasan spiritual, (2) mind- body soul, (3) kesehatan spiritual, (4) kedamaian spiritual, (5) keba- hagian spiritual, dan (6) kearifan spiritual.

1. Segi P eren ial K ecerd asan Spiritual

Kecerdasan spiritual mampu mengungkap segi perenial (yang abadi, yang asasi, yang spiritual, yang fitrah) dalam struktur kecerdasan manusia. Segi perennial dalam bingkai kecerdasan spiritual itu tidak bisa dijelaskan hanya dari sudut pandang sains modern yang hanya meneliti struktur kecerdasan sebatas apa yang dapat diverifikasi secara ilmiah dan empiris. Kecerdasan spiritual mampu m enjelaskan sebagai- mana diungkapkan oleh Zohar dan Marshal yaitu: "Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menyelesaikan masalah makna dan nilai, kecerdasan untuk memposisikan perilaku hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk m enaksir bahwa suatu tindakan atau jalan hidup tertentu lebih berm akna daripada yang lain. Kecerdasan spiritual adalah fondasi yang diperlukan untuk

(6)

fungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional secara efektif. Bahkan, kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi kita”.

2 . M in d -B o d y -S o u l

Manusia terdiri dari main (akal pikiran) yang menjadi basis kecerdasan intelektual, body (badan-tubuh) yang menjadi basis dasar kecerdasan emosional dan soul (jiwa, spirit, roh) yang menjadi basis dasar kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual menjadi lokus kecerdasan (locus o f intelligence) yang berfungsi tidak saja sebagai pusat kecerdasan (center of intelligence], melainkan juga bisa berfungsi memfasilitasi kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Zohar- Marshall mengistilahkan "a dialogue betw een reason (II), end em otion (El).

Gambar Proses terjadinya emosi

3. K esehatan Spiritual

Mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan

emosional, akan menjadikan seseorang sehat secara pikiran intelektual dan sehat secara emosional, akan tetapi akan mengakibatkan sakit secara spiritual. Dewasa ini banyak manusia modern justru terjangkiti penyakit spiritual dengan variasinya; mulai dari krisis spiritual (spiritual crisis), penyakit jiwa (soul pain), penyakit eksistensial [existential illness), darurat spiritual (spiritual emergency), patologi

spiritual (spiritual pathology), dan alienasi spiritual (spiritual

alienation), (Fritjof, Kearney, Jung, Christina dan Grof).

(7)

Kecerdasan spiritual bukan saja menyentuh segi spiritual kita, melainkan lebih dari itu: menyajikan beragam resep, mulai dari

pengalaman spiritual (spiritual experience) sampai pada penyembuhan

spiritual (spiritual healing), sehingga benar-benar mengalami segi kese- hatan spiritual (spiritual health). Dengan kecerdasan spiritual menjadi faktor penentu aktivitas kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosio- nal.

4. K edam aian Spiritual

Kecerdasan spiritual membimbing seseorang untuk m emperoleh kedamaian spiritual (spiritual peace). Dengan kecerdasan spiritual akan menimbulkan kedamaian hakiki, yang tentu saja tidak akan dapat diperoleh melalui kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional (Sukidi, 2 004}. Menciptakan kedamaian melalui kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional justru akan m enjerum uskan manusia pada arogansi intelektual dan emosional, yang puncaknya tampak pada krisis global dan multidimensional. Kecerdasan spiritual membimbing kita meraih kedamaian hidup secara spiritual. Kecerdasan spiritual merupa- kan bukti ilmiah. Hal ini benar ketika Anda m erasakan keamanan [secure), kedamaian [peace), penuh cinta [love), dan bahagia [happy) ketika dibedakan dengan suatu kondisi dimana Anda m erasakan

ketidakamanan [unsecure), ketidakbahagiaan [unhappy), dan ketidak-

cintaan [unloved), (Edwards, 1999).

Emosional, memiliki ram sbg pengindai (radar) Intelektual, untuk aplikasi

Spiritual, berisl suara hati (dorongan)

Gambar: 2.3 Keterpaduan Dimensi Kecerdasan Manusia

(8)

5. K ebahagiaan Spiritual

Mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan

emosional tentu akan m emberikan sumbangsih besar bagi kepuasan intelektual dan emosional sekaligus, tetapi tidak akan menjangkau kebutuhan dan kepuasan spiritual yang justru menjadi kebutuhan asasi manusia. Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional tidak saja cenderung memenuhi segi kepuasan intelektual dan em osional saja, melainkan juga berlanjut dengan "syahwat besarnya” untuk m engejar kepuasan materi- al (uang, kerja dan jabatan) dan nafsu emosional (Q.S. 23 :7 1 ; Sukidi, 2 004).

4 f - <- ■” rtr' y * S'*

—<oj ^ I O J. Ijj ftl I p xli I 1 j

i f f J - ?

“Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan m ereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan sem ua yang ada di dalamnya, bahkan Kami telah m em berikan peringatan kep ad a m ereka (Al-Quran) tetapi m ereka berpaling dari peringatan itu".

Itulah fase manusia modern terjerum us dan m enjerumuskan diri pada materialism e dan diperbudak oleh hawa nafsu. Padahal, m aterialism e telah mengakibatkan krisis makna hidup, seperti yang dialami oleh Anders, pengusaha sukses dan kaya raya, namun tidak tahu lagi bagaimana menjalani hidup secara benar. Materialisme di Barat justru berjalan seiring dengan meningkatnya angka bunuh diri. Dua di antara sepuluh penyebab kematian tertinggi di Barat, yaitu bunuh diri dan alkoholisme, sering dikaitkan dengan krisis makna hidup. Frankl (dalam Sukidi, 2 0 0 4 ) menegaskan bahwa pencarian manusia akan makna hidup merupakan motivasi utamanya dalam hidup ini.

Konteks inilah sehingga kecerdasan spiritual tidak hanya meng- ajak kita memaknai hidup secara lebih berm akna (m eaningful), m elain­ kan lebih dari itu adalah meraih kebahagiaan sejati yakni kebahagiaan spiritual. Suatu jenis kebahagiaan yang barangkali sudah pernah kita peroleh dan rasakan, namun tanpa kita sadari kehadiran dan arti keba- hagiaannya yang membuat jiwa dan hati kita menjadi bahagia, tentram dan penuh kedamaian. Pasiak (2 0 0 6 ) mengistilahkan keutuhan spiritual

(9)

yang hanya dapat diperoleh melalui jalan-jalan yang berkaitan dengan integritas diri, komitmen pada kehidupan, dan penyebaran kasih sayang dan cinta. Aspek-aspek ini tidak berkaitan langsung dengan ritual agama. Maksudnya, tidak selalu orang yang rajin salat, rajin ke Gereja, naik haji berulang-ulang adalah orang yang memiliki spiritualitas baik. Justru banyak agamawan yang kehilangan spiritualitas karena terlalu mengandalkan ritual, upacara, dan formalitas agama. Ritualitas dan spiritualitas dua hal yang berbeda walaupun berkaitan (Pasiak, 2 006).

6. K earifan Spiritual

Setelah meraih kebahagiaan spiritual, kecerdasan spiritual

mengarahkan kita ke puncak tangga, yakni kearifan spiritual (spiritual

wisdom). Kearifan spiritual akan menuntun kita pada segi-segi kearifan spiritual dalam menjalani hidup di dunia dan serba m aterial dan sekuler ini (Sukidi, 2 0 0 4 ). Menjalani hidup secara arif dan bijak secara spiritual adalah dengan bersikap jujur, adil, toleran, terbuka, penuh cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Edwards (1 9 9 9 ) merangkai segi kearifan ini secara filosofis-spiritual sbb: "Kita semua mempunyai kedamaian, dengan merasakan kehadiran Tuhan bersam a kita. Kita menilai keha- diran-Nya dengan menggunakan kesadaran spiritual kita. Kita tidak hanya mencari kedamaian, melainkan kearifan. Hal ini seperti doa yang meminta kedamaian, dan kemudian meminta kearifan. Kita tidak men- coba memperoleh kearifan untuk mendapatkan kedamaian, melainkan sebaliknya, kedamaian untuk mendapatkan kearifan. Kearifan inilah yang disebut dengan kecerdasan spiritual".

Kearifan spiritual merupakan sikap hidup arif dan bijak secara spiritual, yang cenderung mengisi lem baran hidup ini dengan sepenuh- nya autentik dan genuine: truth (kebenaran), beauty (keindahan), dan perfection (kesempurnaan) dalam keseharian hidupnya. Inilah auten- tisitas kearifan hidup secara spiritual, yang sebenarnya juga sederhana saja: hanya to be sensitive to the reality. Yakni, kepekaan diri spiritual terhadap seluruh realitas sekitar kita, yang sebenarnya justru m erupa­ kan sebuah komitmen spiritual. Sudesh, (dalam Sukidi, 2 0 0 4 ) menegas- kan: "spiritualitas itu tidak lain adalah kebenaran, kedamaian, kesucian, kasih, kebahagiaan, kekuatan, dan kearifan di dalam kehidupan”. Inilah yang menjadi strategi dasar tertinggi kecerdasan spiritual, yang tentu

(10)

saja tidak begitu tampak dalam ruang kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.

Persinger dan Llinas (dalam Zohar, 2 0 0 0 ) menemukan bahwa otak kita menyimpan "dimensi lain" yang disebutnya s e b a g a i"Got Spot" yang ada di bagian otak temporal. Kehadiran "Got Spot" ini memberikan landasan yang kuat pada pendapat bahwa manusia memang secara alamiah, secara fitrah, sudah mengenal Tuhan. Pada "Got Spot" ini menu- rut Zohar dan Marshall sebagai pusat kecerdasan spiritual. Ginanjar mengistilahkan "zero mind process”. Dengan "Got Spot" ini pula maka

kecenderungan manusia kepada kebaikan {fitrah) berusaha me- nuju

pada kesempurnaan, dan tidak seorangpun yang bisa lepas dari Tuhan.

Manusia bisa saja tidak beragama secara formal (organized religion),

tetapi tidak mungkin kehilangan spiritualitas.

Penelitian yang sama dilakukan oleh Wright, mitra kerja Pesinger dengan objeknya adalah "dukun", Wright menyimpulkan bahwa tuduhan ritmis dalam berbagai ritus spiritual dapat meng- aktifkan lobus temporal berikut area system limbic yang berkaitan dengannya.

Penelitian Ramachandarn (dalam Muhyiddin, 2 0 0 6 ) terhadap pasien epilepsi menuturkan pengalamannya bahwa: "ada cahaya Ilahi- yah yang menyinari segala sesuatu. Ada kebenaran tertinggi yang ber- ada di luar jangkauan pikiran biasa, yang bersembunyi di tengah riuh rendah kehidupan untuk menangkap keindahan dan keanggunannya”. Selanjutnya pada tahun 1997, Ramachandran dkk, meneliti orang "norm al” (sehat) dengan tujuan untuk memperoleh bukti ada tidaknya perbedaan peningkatan aktivitas lobus temporal dengan pengalaman spiritual selain orang sakit epilepsi. Kesimpulan akhir dari kedua pene­ litian Ramachandran dan Pesinger tersebut adalah bahwa teori yang mengatakan bahwa terdapat "Titik Tuhan" (Got Spot) atau "modul Tuhan” (Got m odule) di dalam otak manusia, baik manusia itu "normal" maupun "terserang epilepsi”. Inilah penemuan modern dan paling canggih sekarang ini. Jika "titik Tuhan” ini dikaitkan dengan "Osilasi Syaraf 40 Hz"-nya Llinas, akan didapati bukti ilmiah yang kurang lebih mengatakan demikian: ’’Otak manusia merupakan pusat seluruh k ecer­ dasan yang dimiliki oleh manusia. Dengan otaklah manusia bisa berpikir, merenung, memahami, dan menyadari. Jadi, dalam otaklah

(11)

terjadi aktivitas pemikiran, perenungan, pemahaman, dan kesadaran (tepatnya "proto kesadaran"). Dan dengan melalui "Titik Tuhan” yang ada di dalam otaklah manusia mampu menyelami spiritualitas, atau mampu “m encapai/ mengenal Tuhan”.

Muhammad saw., mengistilahkan pemimpin berbasis spiritual sebagai pemimpin "ihsan". Ciri-ciri ihsan dalam kepemimpinan menurut Muhammad Saw adalah: "Mengabdi kepada Tuhan seolah-olah engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya la melihat kamu". Konsep "ihsan” menekankan pada bagaimana mengha- dirkan motivasi dan kualitas psikologis seorang pemimpin menjadi se- laras dengan perbuatan dan pemahaman seseorang seperti berbuat kebajikan, kejujuran, indah, ramah dan lain-lain (Ginanjar, 2 0 0 3 ). Ihsan menghendaki pemimpin harus menyadari akan kehadiran Tuhan dan berperilaku dengan sebaik-baiknya, bahkan ihsan juga m enuntut agar berpikir, merasa dan berniat secara baik serta berperilaku sesuai dengan yang dipikirkannya.

D. M enerapkan K ecerd asan Spiritual (KS) dalam K epem im pinan

Istilah "kepemimpinan" telah banyak kita kenal, baik secara akademik maupun sosiologik. Akan tetapi ketika kata kepemimpinan dirangkai dengan kata "spiritual" menjadi "kepemimpinan berbasis spiritual", istilah itu menjadi ambigu, memiliki spektrum pengertian yang sangat luas. Istilah "spiritual" berasal dari bahasa Inggris dari kata dasar "spirit". Dalam Oxford Advanced Learner's Dictionary istilah spirit memiliki cakupan makna: jiwa, arw ah/ roh, soul, semangat, hantu, moral dan tujuan atau makna yang hakiki. Sedangkan dalam Bahasa Arab, istilah spiritual terkait dengan ruhani dan maknawi dari segala sesuatu.

Makna inti dari kata spirit berikut kata jadiannya seperti spiri­ tual dan spiritualitas (spirituality) adalah berm uara kepada kehakikian, keabadian dan ruh; bukan yang sifatnya sem entara dan tiruan. Dalam perspektif agama, dimensi spiritualitas senantiasa berkaitan secara langsung dengan realitas Tuhan, Ilahi, Tuhan Yang Maha Esa. Spirituali­ tas bukan sesuatu yang asing bagi manusia, karena merupakan inti (core) kemanusiaan itu sendiri. Manusia terdiri dari unsur material dan

(12)

spiritual atau unsur jasm ani dan rohani. Perilaku manusia merupakan produk tarik-m enarik antara energi spiritual dan m aterial atau antara dimensi ruhaniah dan jasmaniah. Dorongan spiritual senantiasa mem- buat kemungkinan membawa dimensi material manusia kepada dimensi spiritualnya (ruh, keilahian). Caranya adalah dengan mema- hami dan m enginternalisasi sifat-sifat-Nya, menjalani kehidupan sesuai dengan petunjuk-Nya dan meneladani Rasul-Nya. Tujuannya adalah memperoleh ridho-Nya, menjadi "sahabat" Allah, "kekasih" (wali) Allah. Inilah manusia yang suci, yang keberadaannya membawa kegembiraan bagi manusia-manusia lainnya.

Kepemimpinan berbasis spiritual adalah kepemimpinan yang membawa dimensi keduniawian kepada dimensi spiritual (ke-Ilahi-an). Tuhan adalah pemimpin sejati yang mengilhami, mencerahkan, mem- bersihkan hati nurani dan memenangkan jiwa hamba-Nya dengan cara yang sangat bijaksana melalui pendekatan etis dan keteladanan. Karena itu, kepemimpinan berbasis spiritual disebut juga sebagai kepemim­ pinan yang berdasarkan etika religius. Hendricks dan Ludeman, dan Tjahjono mengatakan, kepemimpinan berbasis spiritual adalah kepe­ mimpinan yang mampu mengilhami, membangkitkan, mempengaruhi dan menggerakkan melalui keteladanan, pelayanan, kasih sayang dan implementasi nilai dan sifat-sifat ketuhanan lainnya dalam tujuan, proses, budaya dan perilaku kepemimpinan.

Mengacu pada perspektif sejarah Islam, kepemimpinan berbasis kecerdasan spiritual dapat merujuk kepada pola kepemimpinan yang diterapkan oleh Muhammad saw. Dengan integritasnya yang luar biasa dan mendapatkan gelar sebagai al-amin (terpercaya), Muhammad saw mampu mengembangkan kepemimpinan yang paling ideal dan paling sukses dalam sejarah peradaban umat manusia. Sifat-sifatnya yang utama yaitu siddiq (righteous}, am anah (trustworthy), fath on ah (working sm art) dan tabligh (com m unicate openly) mampu mempengaruhi orang lain dengan cara mengilhami tanpa mengindoktrinasi, menyadarkan tanpa menyakiti, membangkitkan tanpa memaksa dan m engajak tanpa memerintah.

Uraian tersebut menggambarkan bahwa persoalan spiritualitas semakin diterima dalam abad ke-21 yang oleh para futurolog seperti

Aburdene dan Fukuyama dikatakan sebagai abad nilai (the value age).

(13)

Dalam perspektif sejarah Islam, spiritualitas telah terbukti menjadi kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan individu-individu yang sudah, memiliki integritas dan akhlaqul karimah yang keberadaannya berm anfaat (membawa kegembiraan] kepada yang lain. Secara sosial, spiritualitas mampu membangun m asyarakat Islam mencapai puncak

peradaban, mampu mencapai predikat khairah ummah dan kebera­

daannya membawa kebahagiaan untuk semua (rahm atan lil'alamin).

Di tengah banyaknya keluhan tentang semakin merosotnya

nilai-nilai kemanusiaan sebagai dampak dari adanya ethical m alaise dan

ethical crisis terutama yang terjadi di Amerika Utara, dan banyak buku yang meratapi terabaikannya nilai-nilai luhur dalam dunia manajemen. Kepemimpinan berbasis kecerdasan spiritual diyakini sebagai solusi terhadap krisis kepemimpinan saat ini. Kepemimpinan berbasis k ecer­ dasan spiritual boleh jadi merupakan puncak evolusi model kepem im ­ pinan karena berpijak pada pandangan tentang kesem purnaan manusia (ahsani taqwim), yaitu makhluk yang terdiri dari jasm ani, nafsani dan ruhani. Kepemimpinan berbasis kecerdasan spiritual adalah kepemim­ pinan yang sejati atau kepemimpinan yang sesungguhnya. Ia memimpin dengan hati berdasarkan pada etika religius. Ia mampu membentuk karakter, integritas dan keteladanan yang luar biasa. Ia bukan semata- mata seorang pemimpin yang m encari pangkat, jabatan, kekuasaan dan kekayaan. Model kepemimpinannya tidak dipengaruhi oleh faktor- faktor eksternal semata, melainkan lebih banyak dibimbing oleh faktor internal hati nuraninya. Dengan lain perkataan, bukan kondisi eksternal yang mempengaruhi hati dan perilakunya, melainkan dari dalam hatinya memancar ke luar dirinya.

Kepemimpinan berbasis kecerdasan spiritual bukan berarti kepe mimpinan yang anti intelektual. Kepemimpinan berbasis k ecer­ dasan spiritual bukan hanya sangat rasional, melainkan justru m enjer- nihkan rasionalitas dengan bimbingan hati nuraninya. Kepemimpinan berbasis kecerdasan spiritual juga tidak berarti kepemimpinan dengan kekuatan gaib sebagaimana terkandung dalam istilah "tokoh spiritual" atau "penasihat spiritual", melainkan kepemimpinan dengan meng- gunakan kecerdasan spiritual, ketajam an mata batin atau indera keenam.

(14)

Kepemimpinan berbasis spiritual juga tidak bisa disamakan dengan yang serba esoteris (batin) yang dilawankan dengan yang serba eksoteris (lahir, formal], melainkan berupaya membawa dan memberi nilai dan makna yang lahir menuju rumah batin (spiritual) atau memberi muatan spiritualitas dan kesucian terhadap segala yang profan.

Pierce (2 0 0 1 ] mengemukakan cara-cara menerapkan kecer­ dasan spiritual dalam kepemimpinan, yaitu: (1) meletakkan barang- barang "suci" di sekeliling anda, (2) hidup dengan menerima Sifat Tidak Sempurna, (3) menjamin mutu, (4) mengucapkan terim a kasih dan selamat, (5] membangun dukungan dan silaturrahim, (6] memper- lakukan orang lain seperti anda ingin diperlakukan, (7] memutuskan apa yang "cukup" dan berpegang teguh pada apa keputusan anda, (8] menyeimbangkan berbagai tanggung jawab, (9) bekerja untuk membuat "sistem " berjalan dengan baik, dan (10] terus menerus mengembangkan pribadi dan profesi.

Tobroni (2 0 0 5 ) menyatakan kepala sekolah (pemimpin) ditun- tut memiliki sikap etis terhadap Tuhannya dalam mewujudkan kepe­ mimpinan yang berbasis spiritual, yaitu: (1) iman, (2) takwa, (3) ikhlas, (4) tawakkal, (5) syukur, (6) sabar, (7) taubat, (8) berzikir, dan (9) rida. Sedangkan Kardhawi (dalam Iman, 2 0 0 3 ) menyatakan eksistensi pemimpin spiritual adalah seperti berikut. (1) iman (percaya kepada Tuhan) yang merupakan fitrah manusia; (2) orang berim an itu memiliki tujuan hidup yang benar, (3) iman akan melahirkan rasa aman, dan (4) iman akan menimbulkan optimisme.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan tersebut, akan dikemukakan beberapa aspek yang berkaitan dengan kecerdasan spiritual.

1. Pem ikiran yang Fitrah (Im an)

Kepala sekolah yang memiliki kecerdasan spiritual dalam m enja- lankan tugas kekepalasekolahannya senantiasa dilihat oleh Tuhan Yang Maha Esa. Bisikan hati dan seluruh tindakannya berada dalam sorotan kamera Tuhan yang sangat teliti dan tidak pernah salah m erekam dan m encatat aktivitas kekepalasekolahan dan perbuatan kita (Tobroni, 2 0 0 5 ). Kecerdasan spiritual dapat menimbulkan kesadaran bahwa se

(15)

gala sikap, tindakan, gerak-gerik maupun perbuatan selalu dalam peng- awasan Tuhan sebagaimana firman-Nya: "yang m elihat ketika engkau berdiri dan m elihat perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud". Jiwa raga dan pengabdian dirinya sebagai kepala sekolah hanya dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan keyakinan seperti itu, maka kepala sekolah senantiasa berupaya menjalankan kekepalasekolahannya sebagai khalifah. Sebagai khalifah, maka jabatan kepala sekolah akan dijadikannya sebagai sarana mewujudkan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa. Kepala sekolah dengan kecerdasan spiritual yang tinggi akan mampu m enjalankan nilai-nilai moral yang diambil dari tindakan etis Tuhan Yang Maha Esa terhadap hamba-Nya, yaitu: [1] secara sadar mengakui eksistensi Tuhan Yang Maha Esa sebagai peme- lihara, pem beri petunjuk dan mengadili dengan penuh kasih sayang; (2] dalam perspektif teori anthropomorphism, Tuhan adalah ideal tipe manusia merupakan miniatur Tuhan; (3] Tuhan yang diidealkan adalah Tuhan yang memiliki eksistensi atas dirinya sendiri dan fungsional bagi makhiuknya; (4) hubungan Tuhan dengan manusia adalah hubungan yang penuh kasih dengan hubungan etis; (5) alam diciptakan oleh Tuhan dengan sangat sempurna, dan manusia adalah puncak ciptaan Tuhan yang memiliki potensi, kedudukan, dan peran penting dalam kehidupan ini; (6) kehidupan dunia adalah tahapan penting dalam rangkaian perjalanan manusia; (7] Tuhan telah memberikan karunia yang sangat banyak seperti kekuatan, kesehatan, ilmu pengetahuan dan kekuasaan (Tobroni, 2005].

Kecerdasan spiritual memberikan kontribusi terbesar dalam meraih kesuksesan kepala sekolah dalam m enjalankan kepemimpinan- nya. Sukidi (2 0 0 4 ] mengemukakan tiga aspek penting kekepala- sekolahan berbasis spiritual, yaitu: (1] cinta [love), (2] doa [prayer), dan

(3] kebajikan {virtues). Tasm ara (2 0 0 6 ] mengemukakan dengan

keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa seorang kepala sekolah akan menerapkan sikap etis terhadap Tuhan-Nya melalui: (1) honest (keju- juran], (2) fa ir minded (keadilan], (3] love (cinta], dan (4] pray (doa],

Doa merupakan bentuk komunikasi spiritual ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, manfaat terbesar doa terletak pada penguatan cinta antara makhluk dan kholiknya. Doa menjadi bukti bahwa kita selalu bersama dengan Tuhan dimanapun kita berada.

(16)

Kepala sekolah dengan kecerdasan spiritualnya yang tinggi akan senan- tiasa meluangkan rintihan jiwanya melalui doa, mengheningkan diri, dan menghadirkan dirinya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Kepala sekolah sadar bahwa dengan berdoa berarti ada rasa optimisme yang mendalam dihati, masih memiliki semangat untuk m elihat visi ke depan. Dengan doa seseorang menjadi lebih bergairah untuk berbuat serta menyatakan dirinya secara aktual dan bertanggung jawab. Dia sadar bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah meninggalkannya dan tidak pernah mengingkari janji-Nya untuk mengabulkan doa hamba-Nya (Q.S. 4 0 :6 0 ).

Dan Tuhan-Mu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan

Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang som bong tidak mau menyembah-Ku akan m asuk neraka Jahann am dalam keadaan hina dina".

Jasper (dalam Tasmara, 2 0 0 6 ) menyatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang tak kenal lelah untuk mendengarkan doa manusia. Sedangkan Carrel (dalam Tasmara, 2 0 0 6 ) mengatakan doa merupakan bentuk energi yang paling ampuh yang dapat dihasilkan sendiri oleh setiap orang.

Cinta merupakan perasaan yang lebih menekankan kepekaan emosi dan sekaligus menjadi energi kehidupan (the energy o f live). Arti- nya, hidup kita menjadi energik atau tidak sangat bergantung pada energi cinta. Khavari (dalam Sukidi, 2 0 0 4 ) menafsirkan energi cinta menjadi dua, yaitu cinta positif dan cinta negatif. Cinta positif mengalir secara konstruktif dan dipersembahkan untuk kebajikan, sedang cinta negatif berlangsung secara destruktif dan diinvestasikan pada kegiatan buruk.

Powell (dalam Sukidi, 2 0 0 4 ) merumuskan makna cinta seperti berikut. Perjalanan menuju cinta adalah perjalanan menuju hidup penuh bahagia, sebab hanya kalau orang mengalami cinta ia mulai mengenali diri sendiri; dapat mencintai dirinya sebagaimana adanya kini dan pada

Q3

(17)

masa yang akan datang; dapat menemukan kepenuhan hidup yang merupakan keluhuran Tuhan, sebab Tuhan adalah cinta. Maka hanya dalam cinta orang dapat menemukan alasan untuk hidup bahagia selama-lamanya.

Rumi (dalam Sukidi, 2 0 0 4 ) menyatakan cinta adalah ikatan kasih sayang. la merupakan sifat Tuhan dan cinta hamba-Nya hanyalah bayang-bayang, sedang cinta Tuhan pada m ereka adalah segalanya. Apakah arti cinta mereka kepada-Nya. Kepala sekolah yang berbekal cinta tidak akan pernah hilang, melainkan semakin bertabur, sebab cinta merupakan energi yang m emancar dari kekuatan spiritual.

Jujur (honest) merupakan sikap seorang yang terhorm at karena

tidak pernah menipu atau menyimpang dari prinsip kebenaran. Jujur

bergandengan dengan ketulusan dan kesucian hati [holiness), sebab

kejujuran merupakan nyala api suci yang tumbuh dari hati nurani yang kita jaga dengan gagah berani agar tidak tercem ar kebatilan yang akan m erusak seluruh struktur bangunan kepribadian seseorang (Tasmara, 2 006).

Kepala sekolah yang berpikir jernih (fitrah) meyakini bahwa Tuhan itu Maha Mengetahui dan bahkan m erasakan kehadiran Tuhan lebih dekat dari urat nadinya sehingga berusaha memenuhi bisikan hati sesuai dengan tindakannya. Muhammad (dalam Tasmara, 2 0 0 6 ) menya­ takan biasakanlah berkata jujur karena jujur akan membawamu kepada kebajikan dan membawamu ke surga. Goleman (1 9 9 8 ) mengemukakan ciri-ciri orang jujur antara lain sebagai berikut. (1) dia bertindak berda- sarkan etika dan tidak pernah mempermalukan orang, (2) membangun

kepercayaan diri lewat keandalan diri dan autentitas (kemurnian dan

kejujuran), (3) berani mengakui kesalahan sendiri dan berani menegur perbuatan tidak etis orang lain, (4) berpegang kepada prinsip secara teguh, walaupun risikonya tidak disukai serta memiliki kom itmen dan mematuhi janji, (5) bertanggung jaw ab sendiri untuk memperjuangkan tujuan mereka serta terorganisasi dan cerm at dalam bekerja.

2. B ijaksana dalam M enjalankan Tugas

Bijaksana dapat dimaknai sebagai tindakan untuk memahami, menyadari, dan sensitif pada apa yang dijalankan dan apa yang dialami oleh stafnya. Bijaksana dapat ditunjukkan melalui kemampuan

(18)

seseorang yang secara aktif dan penuh perhatian, memahami dan m erasakan suasana hati orang lain. Kepala sekolah yang bijaksana akan selalu proaktif untuk menggali gerak hati para stafnya yang kemudian melahirkan gaya kekepalasekolahannya sehingga mereka mampu menggerakkan emosi positif dalam diri stafnya.

Seorang kepala sekolah yang bijak selalu tampil dengan penuh keteladanan, rendah hati, penyantun, penyayang dan penuh perhatian. Sikap bijak dengan mengetahui suasana hati ternyata memberikan banyak keuntungan antara lain membangun hubungan dan mampu menimbulkan optimisme. Penelitian Freidman (dalam Tasm ara, 2 0 0 6 ) dalam dunia pengobatan menemukan bahwa dokter yang lebih peka untuk mengenal emosi pasiennya lebih sukses dalam mengobati pasien- nya dibandingkan dokter yang kurang peka.

Kepala sekolah yang bijaksana tidak ada lagi ruang dendam dan kebencian karena seluruh kamar di hatinya telah penuh dengan cinta (Tasmara, 2006). Kepala sekolah bijak berjiwa besar karena kebera- niannya untuk memaafkan dan sekaligus melupakan perbuatan yang pernah dilakukan stafnya (to forg iv e and to fo r g e t). Disebut berjiwa besar karena seseorang mungkin memaafkan, tetapi tidak berangkat dari hati nurani yang tulus sehingga tidak mau melupakan (Tasmara, 2 0 0 6 ). Dalam menyikapi kesalahan orang lain selain kata maaf, dikenal

pula kata 'Shafh' yang berarti lembaran (baru) atau membiarkan kesa­

lahan orang lain. Maaf yang berarti ‘menghapus’ boleh jadi masih terdapat bekas hapusan, namun apabila lem baran kesalahan itu diganti dengan lembaran yang baru atau mengabaikannya, maka kesalahan itu tak berbekas lagi. Dalam kaitan ini Allah menegaskan:

"Tetapi karena m ereka m elanggar janjinya, Kami m elakn at m ereka, dan Kami jad ikan hati m ereka keras membatu. M ereka suka m erobah firm an

(19)

(Allah) dari tempatnya, dan m ereka (sengaja) m elupakan sebagian dari apa yang m ereka telah diperingatkan kep ad a m ereka, dan engkau (Muhammad) Senantiasa akan m elihat pengkhianatan dari m ereka kecuali sedikit di antara m ereka (yang tidak berkhianat), M aka m aaf- kanlah m ereka dan biarkan m ereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orangyang berbu at baik" (Q.S. 5: 13}.

Kepala sekolah yang m erasakan bahwa di hatinya ada Tuhan Yang Maha Esa adalah mereka yang mampu memaafkan, betapapun pedihnya kesalahan yang pernah dibuat stafnya pada dirinya. Hal ini disadarinya bahwa sikap pemberian m aaf merupakan bukti bentuk tanggung jawab hidupnya karena apapun yang dia putuskan pada akhirnya akan mempengaruhi stafnya.

Hasil penelitian Lebmend (dalam Tasm ara, 2 0 0 6 ] terhadap perilaku 200 m anajer puncak dari 100 perusahaan di beberapa kota di Pulau Jawa pada tahun 1995 diperoleh fakta bahwa perilaku pemimpin yang bijaksana berhasil dalam pencapaian target dan pengembangan stafnya, antara lain ditunjukkan melalui: (1) sikap mereka yang terbuka (iopen-m inded), tidak mempunyai rasa dendam terhadap stafnya dan bahkan m erasa senang jika stafnya dapat belajar dan cepat menguasai

pekerjaannya; (2} tidak ada penghalang komunikasi (communication

barriers], yakni mampu berkomunikasi secara lancar dan terbuka serta akrab dengan stafnya sehingga pesan-pesan dapat dilaksanakan dengan tepat; (3] memaafkan dan melupakan [to forgive and to forg et). Apabila ada kesalahan betapapun besarnya yang dilakukan oleh stafnya, mereka terbuka untuk memaafkan dan melupakannya.

Menurut para m anajer yang diteliti sikap memaafkan dan melupakan kesalahan merupakan bagian dari cara dirinya untuk memo- tivasi stafnya sehingga mereka bekerja tanpa m erasa ada beban yang dapat menghalangi pelaksanaan tugasnya. Sikap sabar dan memaafkan membuat terbukanya cakrawala yang luas. Tidak ada sekat-sekat psikologis yang menghambat dan mendorong semua pihak bekerja dengan penuh antusias.

3. Menjalin Silaturrahim/T o le ra n si

Silaturrahim adalah pertalian rasa cinta kasih antar sesama manusia terutam a saudara, kerabat, handai tolan, tetangga, mitra kerja

(20)

dan lain-lain. Hubungan dan komunikasi antar sesam a manusia baik dalam hubungan keluarga, kedinasan dan sejenisnya harus didasarkan pada cinta kasih. Dengan silaturrahim dapat menumbuhkan toleransi, empati dan cinta kasih, dan sebaliknya hilanglah prasangka buruk, curiga, perselisihan, kebencian dan permusuhan antar sesam a manusia

sehingga persaudaraan, komunikasi tanpa beban dan fairn ess dapat

tercipta (Tasmara, 2006]. Amin (2 0 0 2 :6 4 ] menegaskan "sambunglah silaturrahim dengan siapa pun, tanpa melihat anak siapa dia, keturunan siapa dia, suku apa dia, agama apa dia, apa status sosialnya".

Bangunlah hubungan antar sesam a manusia secara tulus, tegak- kanlah di atas landasan cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa guna mewujudkan toleransi dan persaudaraan antar sesama. Amin (2 0 0 2 :6 8 - 70) mengemukakan beberapa implikasi dari silaturrahim, yaitu: (1) saling menyambung hubungan dengan sesam a manusia, (2] hubungan antar sesam a manusia harus diperkuat dengan sikap saling menyayangi, (3) menyayangi sesam a manusia harus terefleksi di dalam tindakan nyata seperti saling memberi dan menerima, (4) saling menyapa, m em ­ beri salam dan saling mendoakan, (5) membantu sesam a manusia yang sedang mengalami musibah, dan (6] menjauhi sifat dengki (iri hati), tidak saling menjauhi, tidak saling membenci, tidak mendustai dan tidak berburuk sangka.

Melalui silaturrahim, terdapat misi kemanusiaan seperti cinta

kasih, perdamaian, kerukunan dan kebersam aan. Inti dari silaturrahim

adalah mewujudkan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa antara lain Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Penolong (Q.S. 4:1).

Iw

JiST" 'iL S

-jC i i f c (jl—5 <* L i |»l i\ y i —11 **—U 1 t?

-"Wahai sekalian manusia, bertakw alah kepada Tuhanmu yang telah m enciptakan kamu dari diri yan g satu [Adam] dan (Allah) m enciptakan pasangannya (haw a) dari dirinya; dan dari keduanya Allah mem per- kem bangbiakkan laki-laki dan perem puan yang banyak. Bertakw alah

(21)

kep ad a Allah yang dengan (m em pergunakan) nama-Nya kamu saling m em inta satu sam a lain, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah SWT selalu m enjaga dan mengawasimu".

Ukhuwah (persaudaraan) merupakan hal yang universal karena manusia memiliki keragaman budaya, agama, bahasa, adat istiadat, per- adaban, suku, bangsa serta bahasa dan politik. Keragaman itu merupa­ kan khazanah kehidupan manusia yang sangat indah dan menakjubkan (Tobroni, 2 005], Ikatan ukhuwah yang berm acam -m acam (darah, agama, suku dan sebagainya) juga tidak untuk saling menjustifikasi untuk tidak bersaudara sekalipun berbeda keimanan.

Egalitarian sebagai salah satu aspek silaturrahim berpandangan

bahwa manusia itu sama [equal) dan sederajat [similar) dalam harkat

dan m artabatnya tanpa memandang jenis kelamin, kebangsaan, agama ataupun kesukuan. Tinggi rendahnya manusia hanya ada dalam pan- dangan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan kadar takwanya (Tobroni, 2 0 0 5 ). Pandangan ini m emberikan etos kepada manusia untuk ber- lomba-lomba dalam kebajikan dan berpacu dalam mutu serta ber- orientasi pada prestasi dalam segala aktivitasnya.

Sifat rendah hati juga merupakan salah satu aspek penting dari silaturrahim. Rendah hati adalah sikap merendahkan kemuliaan yang dimiliki terhadap orang lain yang lebih rendah dan tetap menjaga diri terhadap orang lain yang lebih tinggi (Tobroni, 2 0 0 5 ]. Sikap rendah hati berasal dari ketundukan kepada ‘kebenaran’ dimanapun datangnya dan bukan ketundukan karena silau terhadap kemewahan dan jabatan. Sikap rendah hati tumbuh karena keinsyafan bahwa segala kemuliaan (kekuasaan, harta dan jabatan) adalah milik Tuhan Yang Maha Esa sehingga tidak sepantasnya manusia "mengklaim” kemuliaan itu kecuali dengan perilaku dan karya yang baik.

4 . Syukur dan Sabar

"Perihal orang mukmin m engagum kan sesungguhnya sem ua urusannya b aik dan itu tidak dimiliki seorangpun selain orang mukmin, bila ditimpa kesenangan ia bersyukur dan syukur itu b aik baginya dan bila ditimpa kesusahan ia b ersab ar dan sa b a r itu b aik baginya" (H.R. Muslim). Orang yang pandai bersyukur dan yang tidak pandai ber­ syukur dapat dilihat dari penampilan dan perilakunya. Dari sisi

(22)

pilan, orang yang pandai bersyukur akan tampak dari wajahnya yang teduh, damai, cerah dan bersinar. Apa yang tampak di wajah (lahir] merupakan pencerminan atau perwujudan dari apa yang terjadi dalam

batinnya yaitu jiwa yang tenang (nafs 'ulmuthnainnah) dan hati yang

penuh syukur (ikhlas, khusyu', dan damai). Sedangkan dilihat dari perilakunya, orang yang penuh syukur akan tam pak perilaku kesalehannya seperti sabar, toleran, berjiwa besar, optimis, periang, tidak mudah putus asa, pekerja keras, peduli, melayani (suka memberi, tidak bakhil). Karena itu, rasa syukur merupakan salah satu modal paling berharga bagi keberhasilan kepemimpinan (Thobroni, 2 0 0 5 ). Rasa syukur lahir dari kedalaman spiritualitas yang cerdas. Allah SWT menegaskan jika bersyukur atas nikmat-Ku maka Aku akan tambah nikmat itu, akan tetapi jika engkau mengingkari atau kufur ketahuilah bahwa siksa-Ku amat pedih.

Syukur merupakan salah satu sifat-sifat Tuhan yang asma-Nya 99 (al-asma al-Husna). Kalimat syukur seperti "alham dulillah" untuk menyampaikan terim a kasih kepada Tuhan dan ucapan "terim a kasih" untuk sesama manusia memang mudah diucapkan tetapi sulit dilaksanakan. Kata al- Ghazali (dalam Thobroni, 2 0 0 5 ), syukur memang bukan pekerjaan mulut atau tangan, melainkan pekerjaan hati. Hati yang sehat adalah hati yang mampu melakukan syukur, sedang hati yang sakit adalah hati yang kufur (ingkar). Organisasi yang sehat adalah organisasi yang individu-individu di dalamnya mampu bersyukur dalam arti mengimplementasikan nilai-nilai syukur dalam kehidupan ber- organisasi. Mereka mampu mengaktualisasikan segala potensi yang dianugerahkan Tuhan kepadanya dengan cara berbuat yang terbaik agar memberikan m anfaat yang sebesar-besarnya bagi orang lain dan bagi kebesaran organisasi itu.

JL1 ! SsJb , ^ 1 s I *xJ I 1 \&- I ^

is?

"Dan carilah (p ah alaj negeri akhirat dengan apa yan g telah dianugerahkan Allah kepadam u, tetapi jan gan lah kam u m elupakan bahagianm u di dunia dan berbu at baiklah kepada orang lain

(23)

m ana Allah telah berbu at b aik kepadam u, dan jan gan lah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- oran gyan g berbu at kerusakan". (Q.S. Al-Qashas 2 8 :7 7 ].

Berbuat baik kepada orang lain, seseorang harus bersikap pro- aktif dalam arti tidak perlu menunggu orang lain berbuat baik kepada kita. Bahkan kepada orang berbuat tidak baikpun, kita harus tetap berbuat baik kepadanya. Allah tetap memberikan rahmat, rizki, taufik dan petunjuk kepada hamba-Nya walaupun hambanya terkadang kufur dan ingkar. Itulah perilaku etis yang muncul dari nilai-nilai etika religius. Para pemimpin berbasis kecerdasan spiritual yang diteliti re- latif mampu berbuat seperti itu. Kepada kolega, karyawan yang kritis bahkan bersikap membangkang dan oposan sekalipun kepala sekolah tetap berusaha bersikap santun, menghormati dan tidak menaruh kebencian kepada mereka. Ketika mereka sakit atau mendapatkan musibah Ia segera menjenguk dan mendoakannya. Ia tetap diperlakukan dengan penuh manusiawi yang memiliki kelebihan di samping keterbatasannya. Subhanallah alangkah indahnya apabila etika religius itu dilaksanakan.

Thobroni, [2 0 0 5 ] menyatakan pandangan kebanyakan orang (awam), syukur itu adalah pekerjaan hati orang-orang yang beruntung (kaya, cakap, dan berkedudukan), sedangkan sabar adalah pekerjaan hatinya orang-orang yang kurang beruntung (miskin, ditimpa musibah, serba, kekurangan, tertindas). Syukur bagi orang awam adalah sebuah reaksi atau sebuah akibat ketika seseorang m enerima kebaikan atau keberuntungan, sedangkan sabar dilakukan ketika m enerim a hal-hal yang tidak menyenangkan. Orang-orang yang cerdas spiritual bersikap sebaliknya, syukur justru pekerjaan hati orang miskin dan papa, sedangkan sabar adalah pekerjaan hati orang-orang kaya dan berke­ dudukan. Orang kaya dan berkedudukan harus mampu bersabar untuk tidak menyalahgunakan kekayaan untuk meraih kedudukan atau sebaliknya kedudukannya untuk meraih kekayaan. Dia harus mengen- dalikan diri untuk senantiasa menegakkan amanah dari apa yang dikaruniakan Allah kepadanya. Sebaliknya orang miskin dan papa harus bersyukur, yaitu mensyukuri kelebihan-kelebihan yang masih dimiliki dan bagaimana kelebihan-kelebihan itu digunakan untuk merubah nasibnya (Thobroni, 2005],

(24)

Kepala sekolah berbasis kecerdasan spiritual menjadikan syukur dan sabar sebagai modal, yaitu memimpin dengan syukur dan sabar. Dengan modal syukurnya kepala sekolah yang cerdas spiritual mampu memobilisasi sumber-daya organisasi yang dimiliki: sumber-daya manusia, sumber-daya material, sumberdaya teknologi dan sumberdaya kelembagaan. Pemimpin yang menghargai orang yang dipimpin akan memperoleh penghargaan yang berlipat ganda: Pertam a dia akan menjadi pemimpin yang dihormati dan dicintai; Kedua, keinginan dan gagasannya akan didengar dan dilaksanakan; Ketiga, mereka (yang dipimpin] akan mampu melipatgandakan kemampuan, komitmen dan dedikasinya untuk tujuan organisasi (Thobroni, 2 0 0 5 ). Para pemimpin spiritual yang diteliti umumnya mampu menghargai keragaman potensi manusia. Mereka mengibaratkan keragaman manusia dengan segala potensi dan sifatnya sebagaimana realitas kehidupan ini. Misalnya beragamnya hewan itu memang sengaja diciptakan untuk keperluan manusia. Burung perkutut untuk diambil suaranya, sapi untuk diambil tenaga dan dagingnya, kancil untuk diambil kisah-kisah kecerdikan dan kebijaksanaannya, anjing untuk diambil pengertiannya, kuda untuk diambil kecepatan dan keperkasaannya dan lain sebagainya. Pemimpin harus mampu memobi lisasi keragaman sumberdaya manusia sehingga menjadi kekuatan yang ampuh untuk menggapai rahmat Allah. Sekecil apa pun kontribusi karyawan adalah sangat besar artinya bagi organi­ sasi. Petugas kebersihan yang sering dianggap sebagai level terbaw ah dalam hirarkhi tugas dalam organisasi misalnya, kalau dia memiliki komitmen dan dedikasi akan mampu menampilkan kesan pertama (bersih) terhadap lingkungan organisasi itu.

Hasil penelitian Thobroni (2 0 0 5 ) menemukan bahwa pemimpin yang cerdas spiritual juga menjadikan sabar sebagai modal kepemim- pinannya. Dia bukan hanya sabar ketika kenyataan yang dihadapi ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan, tetapi lebih dari itu adalah sabar untuk tidak menyalahgunakan amanah, kedudukan dan jabatannya sebagai pemimpin, sabar untuk mengendalikan diri, sabar untuk m erasa cepat puas, sabar untuk tidak memarahi atau m erendah- kan orang lain. Misalnya ketika melihat tukang sapu (petugas kebersih­ an) yang ketika menyapu tidak bersih (Jaw a=brew ok), ia tidak lantas menegur apalagi memarahi, melainkan m enjelaskan untuk menyama- kan persepsi tentang bersih antara tukang sapu dan dirinya. AJ lantas

(25)

mengatakan kepada peneliti: "Dia bukan tidak bisa menyapu dengan bersih tetapi konsep bersih yang dia miliki berbeda dengan yang kita miliki”.

Kepemimpinan berbasis kecerdasan spiritual berusaha m enja­ dikan syukur dan sabar bukan sebagai reaksi, melainkan sebagai aksi untuk menciptakan budaya syukur dan sabar yang berlipat ganda. Ibarat aktivitas 'salat', sabar dan syukur bukan sebagai "salam" untuk mengakhiri salat, melainkan sebagai "adzan" dan " iqamah" yaitu seru- an untuk mengajak dan memulai salat. Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:

"Wahai orang-orang yang berim an! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sab ar dan salat, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang s a b a r ” (Q.S.2 :1 5 3 ).

Lebih lanjut ditegaskan Ibarat seorang petani ternak, syukurnya adalah dengan menggembalakan ternaknya di rerumputan yang subur dan merawatnya secara seksama sehingga ternaknya berkem bang dan menghasilkan susu. Bukan sebaliknya dengan mengatakan: "kalau kamu beranak dan memberiku susu, akan kurawat kau dengan baik". Pemimpin yang cerdas spiritual lebih mengutamakan proses dari pada hasil, lebih memperhatikan ayam dari pada telurnya, lebih memuliakan orang dari pada karyanya.

Melalui pendekatan kepemimpinan, pemimpin spiritual lebih memperhatikan, menghargai dan memuliakan orang-orang yang dipim­ pin dari pada struktur, jabatan dan organisasinya itu sendiri. Dalam hal ini para pemimpin spiritual mengatakan: "Kebanyakan orang bersifat aneh karena lebih menghargai telur dari pada ayamnya, lebih meng­ hargai hasil pekerjaannya dari pada m emperhatikan orang yang m eng­ hasilkan pekerjaan itu".

E. B agaim ana Syukur dan Sabar Dibangun

Sebagaimana dikatakan di muka, syukur dan sabar adalah pekerjaan hati. Sebagai pekerjaan hati, syukur dan sabar tidak seharusnya diucapkan atau diperintahkan, melainkan dipercontohkan

(26)

dalam perbuatan. Syukur dan sabar tidak berdiri sendiri melainkan inheren dengan perkataan dan perbuatan seseorang (Thobroni, 2 005}. Ia menjadi sifat dan kepribadian seseorang yang tercerm in dari perkataan, perbuatan dan sikap seseorang ketika berhubungan dengan orang lain dan ketika menyelesaikan tugas atau masalah. Karena itulah siapapun yang hendak menanamkan nilai-nilai syukur dan sabar harus dimulai dengan diri sendiri (ib d a ' bi al-nafsik) melalui sebuah proses pendakian spiritual.

Pemimpin dengan kecerdasan spiritual adalah pemimpin yang tindakan kepemimpinannya didasarkan atas etika religius. Adalah tidak etis baginya apabila ia menyuruh orang lain berbuat sesuatu yang ia sendiri tidak melakukannya. Ia sering menyebut ayat al-Quran:

"Hai orang-orang beriman, m engapa kam u m engatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahw a kamu m engatakan ap a-ap ay an g tidak kam u kerjakan" (Q.S. 61: 2-3).

Sikap syukur dan sabar hanya bisa ditanamkan melalui ketela-

danan (uswah hasan ah). Keteladanan seorang pemimpin spiritual

adalah keteladanan dari kedalaman spiritualitasnya, bukan semata- mata karena kedudukannya sebagai pemimpin, sebuah keteladanan yang didasarkan pada pengharapan kepada Allah. Bagaikan sumur zam- zam yang tidak pernah kering.

Bagi pemimpin yang menganut gaya kepemimpinan transak-

sional, dapat memberikan keteladanan secara istiqom ah aianggap

sangat berat, akan tetapi bagi kepemimpinan berbasis kecerdasan spiritual justru terasa lebih ringan dan menyenangkan karena semua langkahnya menuju masa depan bukan dianggap sebagai beban, melainkan sebagai panggilan (calling) dan amanah (Thobroni, 2 0 0 5 ). Sikap dan perilakunya bersum ber dari hati nuraninya.

Pergumulannya dalam memajukan organisasi dijalaninya

dengan penuh rasa syukur dan dinikmati sebagai sebuah jihad dalam rangka mengharap ridlo Tuhan (Thobroni, 2005). Dengan prinsip ini

(27)

seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual yang baik memiliki gairah dan energi yang dilandaskan pada nilai dan sifat Tuhan. Penelitian Thobroni menemukan hampir semua pemimpin berbasis spiritual menyediakan waktu sepenuhnya untuk mengembangkan sekolah yang dipimpinnya. Pemimpin seperti ini menjadikan doa sebagai kekuatan yang maha dahsyat sehingga dimanapun dia berada

mereka tidak lupa mendoakan sekolah dan stakeholder-nya agar tetap

istiqomah.

Rasa syukur yang tulus akan menghasilkan pelayanan yang tulus, kesabaran dan tak pernah putus asa. Ibarat orangtua, ia akan memberikan layanan terbaiknya kepada anaknya secara tak terbatas, bagaikan pepatah yang mengatakan: "kasih ibu sepanjang jalan" tak akan putus walaupun "kasih anak sepanjang galah" (dalam Thobroni, 2 0 0 5 ). Pemimpin spiritual akan terpanggil dan secara ikhlas akan memberikan pelayanan yang terbaik kepada yang dipimpin, bahkan lebih baik dari yang mereka perkirakan. Pemimpin dengan kecerdasan spiritual melalui cinta kasihnya kepada yang dipimpin akan dengan ikhlas memberikan yang lebih baik kepada stafnya dibandingkan untuk dirinya sendiri sebab mereka sangat yakin dengan Hadits Nabi: "siapa yang penuh kasih kepada sesamanya di bumi, akan dikasihi Allah di langit".

Pelayanan yang terbaik kepada warga sekolah, m erupakan ibadah bukan merupakan suatu saingan. Jika diibaratkan seorang petani jagung mereka memberikan pupuk batang, pupuk daun dan pupuk buah agar m emperoleh hasil yang berlipat ganda. Demikian pula staf jika pemimpin mengharapkan kinerjanya lebih maksimal tentunya harus mampu memberikan penguatan pengetahuan dan keteram pilan melalui pengembangan sinergi kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Sebab apabila staf tidak mampu mensinergikan kecerdasannya, maka tidak mungkin dia dapat bekerja secara efektif.

F. Hubungan Qolbu dan K ecerd asan

Struktur manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu qolbu, akal dan nafsu (syahw ah dan g hadhab). Jika struktur itu tetap dalam kendali qolbu, maka masing-masing komponen memiliki

(28)

potensi positif, yang apabila dikembangkan secara maksimal akan memperkuat sinergi kecerdasan. Muhammad saw, menyatakan: "Keta- huilah bahwa dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, apabila daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan apabila daging itu rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Itulah yang disebut dengan Qolbu". Jika qolbu ini berkomunikasi secara efektif dengan otak spiritual (Got Spot] maka akan berfungsi dengan efektif mengendalikan seluruh anggota badan dan aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari. Jika dikaitkan dengan temuan Zohar bahwa kecerdasan spiritual dapat b er­ fungsi sebagai m ediator antara kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual.

Qolbu memiliki daya emosi (al-irtfialiy) yang menimbulkan daya

rasa (al-syu'ur). Al-Thabathabai (dalam Mujib, 2 0 0 1 ] mengemukakan

bahwa fungsi qolbu selain berdaya emosi juga berdaya kognisi (intuitif). Ma'an Ziyadah (dalam Mujib, 2 0 0 1 ) menegaskan qolbu berfungsi

sebagai alat untuk menangkap hal-hal yang doktriner (al-i'tiqadiyah),

m emperoleh hidayah, ketakwaan, rahmat, serta mampu memikirkan dan merenungkan sesuatu. Statem ent ini menggambarkan kecerdasan qolbu dalam Psikologi Islam bersifat teosentris. Artinya, kriteria cerdas tidaknya seseorang bukan sem ata-m ata dari kriteria manusiawi yang bersifat relatif dan temporal, melainkan juga kriteria dari Tuhan yang mutlak dan abadi.

Kekuatan qolbu tidak terbatas pada pencapaian kesadaran, tetapi mampu mencapai tingkat supra kesadaran. Qolbu mampu menghantarkan manusia ada pada tingkat intelektual (intuitif), morali- tas, spiritualitas, dan ketuhanan. Manusia dengan potensi qolbunya mampu m enerima dan membenarkan wahyu, ilham, dan firasat dari

Allah SWT, suatu pengetahuan ilahiyah yang tadak dapat secara daya

upaya melainkan secara anugerah (w ahbiyah) meskipun daya rasional-

nya menolak. Kebenaran wahyu, ilham dan firasat ada yang bersifat rasional dan ada pula yang bersifat supra rasional. Dengan demikian fungsi qolbu bukan sekedar m erasakan sesuatu, melainkan juga ber­ fungsi untuk memikirkan sesuatu yang bersifat intuitif dan supra- rasional.

Penguatan sinergi antara kecerdasan dengan fungsi qolbu menunjukkan kemampuan diri untuk mengenali qolbu dan

(29)

aktivitas- nya, mengelola dan mengekspresikan jenis-jenis qolbu secara benar, me- motivasi qolbu untuk membina hubungan m oralitas dengan orang lain dan hubungan ubadiyah dengan Tuhan YME. Ciri-ciri pengelolaan qolbu secara baik adalah respons yang intuitif-ilahiyah,

lebih mendahulukan nilai-nilai ketuhanan (teosentris) yang universal

daripada nilai-nilai kemanusiaan (antroposentris) yang temporer,

realitas subyektif individu (dari pengalaman beribadah) diposisikan sama kuatnya, atau lebih tinggi kedudukannya, dengan realitas obyektif, dan diperoleh melalui pendekatan spiritual keagamaan (suluk) dan pencucian diri (tazkiyah al-nafs).

Qolbu dapat dikelompokkan atas beberapa macam, yaitu:

1. Ikhbat (al-ikhbat) yakni kondisi qolbu yang memiliki kerendahan

dan kelembutan hati, m erasa tenang dan khusyuk di hadapan Allah, dan tidak menganiaya pada orang lain. Ikhbat dapat dimaknai sebagai kondisi qolbu yang kembali dan mengabdi dengan kerendahan hati kepada Allah, m erasa tenang jika berdzikir kepada-Nya, tunduk dan dekat dengan Allah. Ikhbat merupakan dasar bagi terciptanya kondisi jiwa yang tenang (sa k in a h), yakin dan percaya kepada Allah. Di dalam (Q.S. 22: 3 4 -3 5 ) dinyatakan:

"Dan bagi tiap-tiap um at telah Kami syariatkan penyem belihan (kurban), supaya m ereka m enyebut nam a Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kep ad a m ereka, m aka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa , karen a itu berserah dirilah kamu kepada- Nya. Dan berilah k a b a r gem bira kep ad a orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah), (yaitu) orang-orang yan g apabila disebut nam a Allah gem etarlah hati m ereka, orang-orang yan g sabar terhadap apa yang m enim pa m ereka, orang-orang yang m

(30)

nakan sh olat dan orang-orang yang m en afkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka". lbnu Qoyyim (dalam Mujid, 2001) m em bagi ikhbat dalam tiga tingkatan, yaitu: pertam a, m em perkokoh perisai (al-ishm ah) dari daya syahw at dan nafsu; kedua, berusaha m enem ukan kem bali keinginan (al-iradah) yang terlupakan dengan cara m enghindarkan diri dari tab iat haw a nafsu untuk menuju kepada Allah; ketiga, m enarik hatinya ag ar selalu cinta untuk m em peroleh ketenangan dan ketentram an.

2. Zuhud (al-zuhud) yang berarti berpaling, menganggap hina dan

tidak merasa butuh pada sesuatu dengan ciri-ciri antara lain: (a), meninggalkan perbuatan yang tidak berm anfaat bagi kehidupan di akhirat; (b) meredam berangan-angan [amal] yang panjang, (c) tidak merasa gembira dengan keadaan dunia, serta tidak m erasa menyesal apabila kehilangan dunia, (d) adanya kelapangan jika terlepas dari jeratan kepemilikan dunia, (e) qolbu berupaya keluar dari belenggu dunia, melainkan tidak m erasa memiliki sesuatu sehingga hidupnya m erdeka dan bebas tanpa diikat oleh kehidupan material.

3. Wara (al-w araQ yakni menjaga diri dari perbuatan yang tidak baik

(ma'ruf) yang dapat menurunkan derajat kewibawaan diri sese­ orang. Kriteria wara' terdiri dari: pertama, m embersihkan qolbu dari segala kotoran dan najis fisik dan psikis. Kedua, meninggalkan perbuatan yang sia-sia. Ketiga, menjauhkan qolbu dari segala perbuatan yang meragukan.

4. Ri'ayah (al-ri'ayah]; berarti m emelihara pengetahuan yang pernah

diperoleh dan mengaplikasikannya dengan perilaku nyata, dengan cara melakukan perbuatan baik dan ikhlas, serta menghindari perbuatan yang merugikan.

5. Muraqabah (al-m u raqabah); yakni kesadaran seseorang bahwa

Allah SWT mengetahui dan mengawasi apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diperbuatnya, baik lahir maupun batfn. Muqarabah dapat mengantarkan seseorang kepada sikap waspada, mawas diri dan berhati-hati, baik dalam bentuk pikiran, perasaan, maupun tindakan, sebab kapan saja dan dimana saja dia berada, pasti Allah SWT mengawasinya.

(31)

6. Ikhlas (al-ikhlash); berarti kemurnian dan ketaatan yang ditujukan kepada Allah semata, dengan cara mem bersihkan perbuatan lahir dan batin. Keikhlasan dapat dilihat sejauh mana seseorang dapat membersihkan tingkah lakunya dari hawa nafsu terhadap pujian, sanjungan, harta benda dan m otif lainnya yang tidak diridhai Allah SWT.

7. Istiqomah (al-istiqom ah); yaitu melakukan suatu pekerjaan baik

melalui prinsip kontinyuitas dan keabadian. Istiqomah membutuh- kan niat yang benar dengan jalan yang benar juga. Istiqomah merupakan spirit yang dapat memotivasi amal sholeh.

8. Tawakkal (al-tawakkal\, yaitu menyerahkan diri sepenuh hati,

sehingga tidak ada beban psikologis yang dirasakan. Tawakkal berarti pula mewakilkan atau menyerahkan semua urusan kepada Allah SWT sebagai zat yang mampu m enyelesaikan semua urusan, setelah manusia tidak lagi memiliki daya dan kemampuan untuk menyelesaikannya.

9. Sabar (al-sabr); menahan diri dari hal-hal yang dibenci dan

menahan lisan agar tidak mengeluh. Sabar dapat menghindarkan seseorang dari perasaan resah, cemas, marah dan kekacauan. Selain itu, merupakan sikap yang tenang untuk menghindari maksiat, melaksanakan perintah, dan menerima cobaan. Ibnu Qoyyim (dalam Mujib, 2 0 0 1 ) mengelompokkan sabar yaitu: pertama, menahan diri dari segala yang tidak menyenangkan. Kedua, ketabahan yang disertai sikap berani, melawan dan m enentang terhadap sesuatu yang menimpa.

10. Syukur (al-syukr); menampakkan nikmat Allah SWT yang dilakukan

oleh hamba-Nya. Syukur diartikan pula sebagai kesadaran diri bahwa apa yang diperbuat dianggap belum bernilai apa-apa, meskipun hal itu sudah diupayakan secara maksimal. Cara menerapkan syukur antara lain: (a) mengetahui nikmat, dengan cara memasukkan dalam ingatan bahwa nikmat yang diberikan oleh pemberi telah sampai pada penerima, (b) m enerima nikmat, dengan cara menampakkan pada pemberi bahwa ia sangat butuh terhadap pemberian-Nya dan tidak minta berlebih, dan (c) memuji

pemberi- nya, dengan cara membaca ham daliah, menggunakannya

sebaik mungkin seperti untuk kepentingan dermawan dan

(32)

kebaikan, serta m enceritakan pada orang lain agar ia juga mendapatkan nikmat seperti dirinya.

11. Jujur (al-shidq); berarti kesesuaian antara yang diucapkan dengan kejadian yang sesungguhnya, kesesuaian antara yang dirahasiakan dengan yang ditampakkan, dan perkataan yang benar ketika berhadapan pada orang yang ditakuti atau diharapkan. Ibnu Qoyyim (dalam Mujib, 2 0 0 1 ) membagi jujur atas tiga macam, yaitu: pertama, jujur dalam tujuan dengan menyempurnakan hasrat dan menguat- kan keinginan, agar hati term otivasi untuk selalu jujur dalam menempuh jalan spiritual. Kedua, jujur dengan tidak mengharap sesuatu kecuali banyak kekurangan, dan tidak merasa senang jika diberi keringanan. Ketiga, jujur dalam mengetahui kejujuran, sebab hakikat jujur hanya diperoleh ketika seseorang telah mengetahui hakikat jujur itu sendiri (ridho terhadap Allah SWT).

Gambar

Gambar Proses  terjadinya emosi
Tabel  tersebut  menunjukkan  ringkasan  hasil  yang  diperoleh  dalam  analisis  dan  nilai  yang  direkomendasikan  untuk  mengukur  kela-  yakan  model  evaluasi

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Utaminingsih (2014:39),.. budaya organisasi yang terbentuk, terus dikembangkan dan diperkuat, sehingga memerlukan implementasi yang dapat membantu menyatukan

direkomendasikan : Jika produk ini mengandung komponen dengan batas pemaparan, atmosfir tempat kerja pribadi atau pemantauan biologis mungkin akan diperlukan untuk

Secara umum pelaksanaan pengendalian intern di Bank Indonesia Bandung sudah baik dan memadai, hal ini ditandai dengan adanya struktur organisasi yang menggambarkan pemisahan fungsi

Kesimpulan dari penelitian ini adalah penambahan larutan limbah bubuk teh hitam dalam pembuatan telur asin itik Pegagan mampu mempertahankan bobot serta tekstur putih

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang akan direklasifikasi ke laba rugi 0 PENGHASILAN KOMPREHENSIF LAIN TAHUN BERJALAN - NET PAJAK PENGHASILAN TERKAITc. TOTAL LABA (RUGI)

Adapun badan eksekutif atau kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dipilih berdasarkan dukungan suara terbanyak dari badan legislatif (dewan perwakilan

remidial sampai nilai yang didapat mencapai nilai KKM yang telah ditetapkan.3 Terkait dengan judul ini sudah banyak penelitian sebelumnya yaitu yang dilakukan oleh Slamet Widodo

Inti dari bentuk pelayanan yang meyakinkan pada dasarnya bertumpu kepada kepuasan pelayanan yang ditunjukkan oleh setiap pegawai, komitmen organisasi yang menunjukkan