• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Qolbu dan K ecerd asan

Dalam dokumen SPIRITUAL INTELLIGENCE (Halaman 27-33)

Struktur manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu qolbu, akal dan nafsu (syahw ah dan g hadhab). Jika struktur itu tetap dalam kendali qolbu, maka masing-masing komponen memiliki

potensi positif, yang apabila dikembangkan secara maksimal akan memperkuat sinergi kecerdasan. Muhammad saw, menyatakan: "Keta- huilah bahwa dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, apabila daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan apabila daging itu rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Itulah yang disebut dengan Qolbu". Jika qolbu ini berkomunikasi secara efektif dengan otak spiritual (Got Spot] maka akan berfungsi dengan efektif mengendalikan seluruh anggota badan dan aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari. Jika dikaitkan dengan temuan Zohar bahwa kecerdasan spiritual dapat b er­ fungsi sebagai m ediator antara kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual.

Qolbu memiliki daya emosi (al-irtfialiy) yang menimbulkan daya

rasa (al-syu'ur). Al-Thabathabai (dalam Mujib, 2 0 0 1 ] mengemukakan

bahwa fungsi qolbu selain berdaya emosi juga berdaya kognisi (intuitif). Ma'an Ziyadah (dalam Mujib, 2 0 0 1 ) menegaskan qolbu berfungsi

sebagai alat untuk menangkap hal-hal yang doktriner (al-i'tiqadiyah),

m emperoleh hidayah, ketakwaan, rahmat, serta mampu memikirkan dan merenungkan sesuatu. Statem ent ini menggambarkan kecerdasan qolbu dalam Psikologi Islam bersifat teosentris. Artinya, kriteria cerdas tidaknya seseorang bukan sem ata-m ata dari kriteria manusiawi yang bersifat relatif dan temporal, melainkan juga kriteria dari Tuhan yang mutlak dan abadi.

Kekuatan qolbu tidak terbatas pada pencapaian kesadaran, tetapi mampu mencapai tingkat supra kesadaran. Qolbu mampu menghantarkan manusia ada pada tingkat intelektual (intuitif), morali- tas, spiritualitas, dan ketuhanan. Manusia dengan potensi qolbunya mampu m enerima dan membenarkan wahyu, ilham, dan firasat dari

Allah SWT, suatu pengetahuan ilahiyah yang tadak dapat secara daya

upaya melainkan secara anugerah (w ahbiyah) meskipun daya rasional-

nya menolak. Kebenaran wahyu, ilham dan firasat ada yang bersifat rasional dan ada pula yang bersifat supra rasional. Dengan demikian fungsi qolbu bukan sekedar m erasakan sesuatu, melainkan juga ber­ fungsi untuk memikirkan sesuatu yang bersifat intuitif dan supra- rasional.

Penguatan sinergi antara kecerdasan dengan fungsi qolbu menunjukkan kemampuan diri untuk mengenali qolbu dan

aktivitas- nya, mengelola dan mengekspresikan jenis-jenis qolbu secara benar, me- motivasi qolbu untuk membina hubungan m oralitas dengan orang lain dan hubungan ubadiyah dengan Tuhan YME. Ciri-ciri pengelolaan qolbu secara baik adalah respons yang intuitif-ilahiyah,

lebih mendahulukan nilai-nilai ketuhanan (teosentris) yang universal

daripada nilai-nilai kemanusiaan (antroposentris) yang temporer,

realitas subyektif individu (dari pengalaman beribadah) diposisikan sama kuatnya, atau lebih tinggi kedudukannya, dengan realitas obyektif, dan diperoleh melalui pendekatan spiritual keagamaan (suluk) dan pencucian diri (tazkiyah al-nafs).

Qolbu dapat dikelompokkan atas beberapa macam, yaitu:

1. Ikhbat (al-ikhbat) yakni kondisi qolbu yang memiliki kerendahan

dan kelembutan hati, m erasa tenang dan khusyuk di hadapan Allah, dan tidak menganiaya pada orang lain. Ikhbat dapat dimaknai sebagai kondisi qolbu yang kembali dan mengabdi dengan kerendahan hati kepada Allah, m erasa tenang jika berdzikir kepada-Nya, tunduk dan dekat dengan Allah. Ikhbat merupakan dasar bagi terciptanya kondisi jiwa yang tenang (sa k in a h), yakin dan percaya kepada Allah. Di dalam (Q.S. 22: 3 4 -3 5 ) dinyatakan:

"Dan bagi tiap-tiap um at telah Kami syariatkan penyem belihan (kurban), supaya m ereka m enyebut nam a Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kep ad a m ereka, m aka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa , karen a itu berserah dirilah kamu kepada- Nya. Dan berilah k a b a r gem bira kep ad a orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah), (yaitu) orang-orang yan g apabila disebut nam a Allah gem etarlah hati m ereka, orang-orang yan g sabar terhadap apa yang m enim pa m ereka, orang-orang yang m

nakan sh olat dan orang-orang yang m en afkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka". lbnu Qoyyim (dalam Mujid, 2001) m em bagi ikhbat dalam tiga tingkatan, yaitu: pertam a, m em perkokoh perisai (al-ishm ah) dari daya syahw at dan nafsu; kedua, berusaha m enem ukan kem bali keinginan (al-iradah) yang terlupakan dengan cara m enghindarkan diri dari tab iat haw a nafsu untuk menuju kepada Allah; ketiga, m enarik hatinya ag ar selalu cinta untuk m em peroleh ketenangan dan ketentram an.

2. Zuhud (al-zuhud) yang berarti berpaling, menganggap hina dan

tidak merasa butuh pada sesuatu dengan ciri-ciri antara lain: (a), meninggalkan perbuatan yang tidak berm anfaat bagi kehidupan di akhirat; (b) meredam berangan-angan [amal] yang panjang, (c) tidak merasa gembira dengan keadaan dunia, serta tidak m erasa menyesal apabila kehilangan dunia, (d) adanya kelapangan jika terlepas dari jeratan kepemilikan dunia, (e) qolbu berupaya keluar dari belenggu dunia, melainkan tidak m erasa memiliki sesuatu sehingga hidupnya m erdeka dan bebas tanpa diikat oleh kehidupan material.

3. Wara (al-w araQ yakni menjaga diri dari perbuatan yang tidak baik

(ma'ruf) yang dapat menurunkan derajat kewibawaan diri sese­ orang. Kriteria wara' terdiri dari: pertama, m embersihkan qolbu dari segala kotoran dan najis fisik dan psikis. Kedua, meninggalkan perbuatan yang sia-sia. Ketiga, menjauhkan qolbu dari segala perbuatan yang meragukan.

4. Ri'ayah (al-ri'ayah]; berarti m emelihara pengetahuan yang pernah

diperoleh dan mengaplikasikannya dengan perilaku nyata, dengan cara melakukan perbuatan baik dan ikhlas, serta menghindari perbuatan yang merugikan.

5. Muraqabah (al-m u raqabah); yakni kesadaran seseorang bahwa

Allah SWT mengetahui dan mengawasi apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diperbuatnya, baik lahir maupun batfn. Muqarabah dapat mengantarkan seseorang kepada sikap waspada, mawas diri dan berhati-hati, baik dalam bentuk pikiran, perasaan, maupun tindakan, sebab kapan saja dan dimana saja dia berada, pasti Allah SWT mengawasinya.

6. Ikhlas (al-ikhlash); berarti kemurnian dan ketaatan yang ditujukan kepada Allah semata, dengan cara mem bersihkan perbuatan lahir dan batin. Keikhlasan dapat dilihat sejauh mana seseorang dapat membersihkan tingkah lakunya dari hawa nafsu terhadap pujian, sanjungan, harta benda dan m otif lainnya yang tidak diridhai Allah SWT.

7. Istiqomah (al-istiqom ah); yaitu melakukan suatu pekerjaan baik

melalui prinsip kontinyuitas dan keabadian. Istiqomah membutuh- kan niat yang benar dengan jalan yang benar juga. Istiqomah merupakan spirit yang dapat memotivasi amal sholeh.

8. Tawakkal (al-tawakkal\, yaitu menyerahkan diri sepenuh hati,

sehingga tidak ada beban psikologis yang dirasakan. Tawakkal berarti pula mewakilkan atau menyerahkan semua urusan kepada Allah SWT sebagai zat yang mampu m enyelesaikan semua urusan, setelah manusia tidak lagi memiliki daya dan kemampuan untuk menyelesaikannya.

9. Sabar (al-sabr); menahan diri dari hal-hal yang dibenci dan

menahan lisan agar tidak mengeluh. Sabar dapat menghindarkan seseorang dari perasaan resah, cemas, marah dan kekacauan. Selain itu, merupakan sikap yang tenang untuk menghindari maksiat, melaksanakan perintah, dan menerima cobaan. Ibnu Qoyyim (dalam Mujib, 2 0 0 1 ) mengelompokkan sabar yaitu: pertama, menahan diri dari segala yang tidak menyenangkan. Kedua, ketabahan yang disertai sikap berani, melawan dan m enentang terhadap sesuatu yang menimpa.

10. Syukur (al-syukr); menampakkan nikmat Allah SWT yang dilakukan

oleh hamba-Nya. Syukur diartikan pula sebagai kesadaran diri bahwa apa yang diperbuat dianggap belum bernilai apa-apa, meskipun hal itu sudah diupayakan secara maksimal. Cara menerapkan syukur antara lain: (a) mengetahui nikmat, dengan cara memasukkan dalam ingatan bahwa nikmat yang diberikan oleh pemberi telah sampai pada penerima, (b) m enerima nikmat, dengan cara menampakkan pada pemberi bahwa ia sangat butuh terhadap pemberian-Nya dan tidak minta berlebih, dan (c) memuji

pemberi- nya, dengan cara membaca ham daliah, menggunakannya

sebaik mungkin seperti untuk kepentingan dermawan dan

kebaikan, serta m enceritakan pada orang lain agar ia juga mendapatkan nikmat seperti dirinya.

11. Jujur (al-shidq); berarti kesesuaian antara yang diucapkan dengan kejadian yang sesungguhnya, kesesuaian antara yang dirahasiakan dengan yang ditampakkan, dan perkataan yang benar ketika berhadapan pada orang yang ditakuti atau diharapkan. Ibnu Qoyyim (dalam Mujib, 2 0 0 1 ) membagi jujur atas tiga macam, yaitu: pertama, jujur dalam tujuan dengan menyempurnakan hasrat dan menguat- kan keinginan, agar hati term otivasi untuk selalu jujur dalam menempuh jalan spiritual. Kedua, jujur dengan tidak mengharap sesuatu kecuali banyak kekurangan, dan tidak merasa senang jika diberi keringanan. Ketiga, jujur dalam mengetahui kejujuran, sebab hakikat jujur hanya diperoleh ketika seseorang telah mengetahui hakikat jujur itu sendiri (ridho terhadap Allah SWT).

BAB VII

Dalam dokumen SPIRITUAL INTELLIGENCE (Halaman 27-33)

Dokumen terkait