Karangan Asli
Kejadian infeksi Klamidia trakomatis di serviks dan tuba
pada pasien kehamilan ektopik terganggu di RSUP H.
Adam Malik Medan dan RS Jejaring FK USU
Hendry Adi S, Henri Salim Siregar, Fidel Gannis Siregar
Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera utaraAbstrak
Pendahuluan : Klamidia trakomatis merupakan salah satu penyebab penyakit menular seksual yang paling sering di dunia. Bentuk sub-klinis dari infeksi Klamidia trakomatis pada saluran genital bagian atas sering timbul dengan kurangnya pendeteksian dan pengobatan dini, dan perjalanan penyakitnya menimbulkan infeksi akut maupun kronis sehingga dapat menyebabkan kehamilan ektopik dan infertilitas.
Mengetahui kejadian infeksi Klamidia trakomatis di serviks dan tuba dengan menggunakan metode pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR), karakteristik kehamilan ektopik terganggu, dan hubungan infeksi Klamidia trakomatis di serviks dan tuba pada pasien kehamilan ektopik terganggu di RSUP H. Adam Malik Medan dan RS jejaring FK USU
Metode : Penelitian ini merupakan studi observational dengan pendekatan cross sectional pada pasien infeksi Klamidia
trakomatis dengan kehamilan ektopik terganggu.
Hasil : Didapatkan angka kejadian infeksi Klamidia trakomatis di serviks dan tuba pada pasien kehamilan ektopik terganggu adalah 36% (9/25) dan 12% (3/25). Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik saat datang, didapatkan kecenderungan peningkatan risiko infeksi Klamidia trakomatis pada rentang usia menikah antara 20-35 tahun sekitar 64% (16 penderita dari total sampel 25 penderita), adanya riwayat keputihan sekitar 72% (18 penderita dari total sampel 25 penderita), dan adanya riwayat infeksi saluran kemih/panggul sekitar 56% (14 penderita dari total sampel 25 penderita). Walaupun secara statistik didapatkan tidak bermakna.
Kata kunci: kehamilan tuba terganggu; Klamidia trakomatis; polymerase chain reaction (PCR)
Abstract
Introduction : Chlamydia trachomatis is one of the most common causative agents of sexual transmitting diseases (STD) world wide. Subclinical Chlamydia trachomatis infections on the upper genital tract often emerge due inadequate detetection and early medication, resulting in both acute and chronic infection that would eventually cause ectopic pregancies and inferility. To determine the insidence of cervical and tubal Chlamydia trachomatis infections by means of polymerase chain reaction (PCR) assay methods, the charecteristics of disturbed ectopic pregnancies, the association with both cervical and tubal Chlamydia trachomatis infections in patients diagnosed with disturbed ectopic pregancies at Haji Adam Malik general hospital in Medan and networking hospital of University of North Sumatera medical school.
Methods : This research is an observational study with a cross sectional approach conducted on Chlamydia trachomatis patients diagnosed with disturbed ectopic pregnancies.
Result : Prevalence rates of cervical and tubal Chlamydia trachomatis infected patients diagnosed with ectopic pregnancies reached 36% (9/25) and 12% (3/25), respectively. Even though these following results are considered statistically irrelevant, history taking and physical examinations concluded a tendency towards an increased risk of Chlamydia trachomatis infections up to 64% in subjects married between 20-35 years old (16 patients out of 25 patients), reaching 72% in patients with confirmed history of leucorrhea (18 out of 25 patients), and 56% in subjects with a confirmed history of genital tract/pelvic infections (14 out of 25 patients).
PENDAHULUAN
Insiden Klamidia trakomatis meningkat secara drastis dalam 10 tahun terakhir. Klamidia trakomatis merupakan salah satu penyebab penyakit menular seksual yang paling sering di dunia, dan mungkin merupakan penyakit menular seksual dengan prevalensi paling tinggi di Amerika Serikat.1
Klamidia trakomatis adalah suatu mikroorganisme obligat
intraseluler yang memiliki dinding sel yang sama dengan bakteri gram negatif. Klamidia trakomatis diklasifikasikan sebagai bakteri yang mengandung deoxyribonucleic acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA), mereka membelah dengan cara binary fussion, tetapi seperti virus, mereka berkembang secara intraseluler.2,3
Seperti gonorrhea, penjalaran Klamidia trakomatis pada saluran urogenital dimulai dari serviks ataupun uretra ke atas, dan infeksi klamidia dapat menimbulkan "cacat" (sequele) yang serius terutama pada perempuan, karena infeksi klamidia yang
ascending dari saluran genitalia dapat menyebabkan kolonisasi
bakteri di endometrium dan mukosa tuba falopii.
Gejala klinis dari penyakit inflamasi panggul pada wanita sering bersifat asimptomatis. Bentuk sub-klinis dari infeksi
Klamidia trakomatis pada saluran genital bagian atas sering
timbul dengan kurangnya pendeteksian dan pengobatan dini, dan perjalanan penyakitnya menimbulkan infeksi akut maupun kronis sehingga dapat menyebabkan kehamilan ektopik dan infertilitas.3-5
Data mengenai infeksi Klamidia trakomatis pada pasien kehamilan ektopik terganggu, sangat diperlukan sebagai tindakan deteksi dini. Dengan menggunakan pemeriksaan PCR yang diambil dari sediaan serviks dan tuba diharapkan angka kejadian infeksi Klamidia trakomatis pada kehamilan ektopik terganggu bisa didapatkan.
METODE
Penelitian ini merupakan studi observational dengan pendekatan cross sectional pada pasien infeksi Klamidia
trakomatis dengan kehamilan ektopik terganggu. Penelitian
ini dilakukan di IGD RSHAM, RSPM, dan RS jejaring FK USU dengan perkiraan waktu penelitian dimulai dari bulan 1 Maret 2012 sampai dengan 30 September 2012 atau sampai seluruh sampel terpenuhi.
Populasi penelitian adalah semua perempuan dengan kehamilan ektopik terganggu yang dilakukan operasi di IGD RSUP HAM , RS Pirngadi Medan dan RS jejaring FK USU selama periode penelitian serta memenuhi kriteria penelitian. Perhitungan besar sampel dilakukan dengan menggunakan sampel tunggal untuk estimasi proporsi suatu populasi. Karena penelitian ini menggunakan PCR, dan dari literatur didapatkan proporsi antara 7-30%, penulis menetapkan estimasi proporsi penyakit yang ingin dicari adalah 50% (0.5). Dengan mengambil batas kesalahan yang ditoleransi (d) adalah 20% (0.2) dan tingkat kemaknaan 95%.
Sampel diambil secara non-random dengan teknik
consecutive sampling, artinya semua subyek yang memenuhi
syarat (kriteria inklusi dan eksklusi) diikutsertakan dalam penelitian ini sesuai dengan urutan kedatangan mereka sampai jumlah sampel terpenuhi. Semua subjek penelitian mengisi
formulir persetujuan, melakukan pengisian kuesioner berda-sarkan anamnesis dan pemeriksaan ginekologis, kemudian dilakukan pengambilan swab serviks dan sampel jaringan tuba untuk dilakukan deteksi infeksi Klamidia trakomatis dengan menggunakan metode PCR yang dilakukan di Laboratorium Prodia.
Data yang dikumpulkan dari subjek dicatat pada lembar penelitian yang telah dipersiapkan, kemudian dilakukan editing dan koding. Pada data yang sudah bersih dilakukan pengolahan statistik dengan paket SPSS versi 15 untuk disusun dalam tabel tunggal maupun tabel silang sesuai tujuan penelitian.
Data kuantitatif dihitung nilai rerata. Hubungan antara dua variabel kualitatif dinilai dengan uji Mutlak Fisher. HASIL
Pasien yang masuk dalam kriteria penelitian ini yaitu pasien dengan kehamilan ektopik terganggu, dilakukan pengambilan spesimen endoserviks dan dibuktikan pada saat (durante) operasi laparatomi atau laparaskopi untuk diambil spesimen tuba, kemudian dilakukan pemeriksaan PCR sebagai gold standard untuk infeksi Klamidia trakomatis.
Oleh karena kehamilan ektopik merupakan suatu komplikasi infeksi klamidia yang ascending pada organ reproduksi wanita, dilakukan pemeriksaan pada serviks “tempat masuk” pertama dan jaringan tuba sebagai tempat terjadinya kerusakan sehingga terjadi kehamilan ektopik tuba.
Tabel 1. Karakteristik sampel dalam penelitian
Parameter Jumlah N = 25 Usia menikah, n (%) > 35 tahun 7 (28) 21-35 tahun 17 (68) ≤ 20 tahun 1 (4) Pasangan seksual, n (%) 1 orang 17 (68) 2 orang 8 (32) Pendidikan, n (%) Rendah 6 (24) Menengah 9 (36) Tinggi 10 (40) Kontrasepsi, n (%) Tidak pernah 24 (96) Kondom 1 (4) AKDR 0 (0) Riwayat abortus, n (%) Pernah 8 (32) Tidak pernah 17 (68) Keputihan, n (%) Pernah 18 (72) Tidak pernah 7 (18) Merokok, n (%) Pernah 6 (24) Tidak pernah 19 (76)
Riwayat infeksi saluran kemih atau panggul, n (%)
Pernah 14 (56)
Tidak pernah 11 (44)
Riwayat operasi, n (%)
Pernah 4 (16)
Tidak pernah 21 (84)
Metode PCR Klamidia trakomatis: Pada serviks, n (%) Positif 9 (36) Negatif 16 (64) Pada tuba, n (%) Positif 3 (12) Negatif 22 (88)
Kejadian infeksi Klamidia trakomatis di serviks dan tuba pada pasien kehamilan ektopik terganggu
Hendry Adi S, dkk
Dengan metode pemeriksaan PCR, maka didapatkan angka kejadian infeksi klamidia trkomatis di serviks pada penderita kehamilan ektopik terganggu adalah 9 penderita (36%). Sedangkan angka kejadian infeksi Klamidia
trakomatis di tuba pada penderita kehamilan ektopik
terganggu adalah 3 penderita (12%).
Tabel 2. Hubungan infeksi Klamidia trakomatis antara serviks dan tuba pada pasien kehamilan ektopik terganggu.
T u b a
Infeksi Tidak Infeksi
Serviks, n
Infeksi 2 7
Tidak infeksi 1 15
Dari hasil statistik uji Fisher exact test didapatkan nilai P= 0.530 berarti tidak terdapat hubungan antara infeksi Klamidia
trakomatis di serviks dan di tuba pada pasien kehamilan
ektopik terganggu.
Angka kejadian infeksi Klamidia trakomatis di serviks pada penderita kehamilan ektopik terganggu adalah 9 penderita (36%). Sedangkan angka kejadian infeksi Klamidia trakomatis di tuba pada penderita kehamilan ektopik terganggu adalah 3 penderita (12%).
DISKUSI
Penelitian-penelitian sebelumnya di Indonesia memberikan hasil angka kejadian infeksi klamidia yang beragam (6-44%). Hal ini mungkin disebabkan oleh karena populasi subjek penelitian yang berbeda.6-9
Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Zaeimi dan Kazemi dengan metode pemeriksaan PCR infeksi Klamidia trakomatis pada sampel yang diambil dengan menggunakan swab di endoserviks, didapatkan prevalensi 15.5% dan dengan metode pemeriksaan direct
fluorescent antibody (DFA) sekitar 14.1%.
Kelebihan dari penelitian ini adalah digunakannya metode diagnosis infeksi Klamidia trakomatis dengan menggunakan teknologi amplifikasi asam nukleat (PCR) yang dianggap sebagai baku emas.
Tindakan skrining merupakan suatu tindakan yang
cost-effective bila didapatkan angka kejadian infeksi klamidia
antara 3-10%.10
Dengan didapatkannya angka kejadian infeksi klamidia pada pasien kehamilan ektopik sebesar 48%, maka perlu dipikirkan perlunya tindakan skrining pada kasus kehamilan ektopik untuk mencegah terjadinya komplikasi jangka panjang akibat infeksi klamidia.
Hal ini tentu menjadi masalah di negara berkembang seperti Indonesia dimana anggaran kesehatannya sangat terbatas, karena pemeriksaan PCR tentu membutuhkan biaya yang cukup tinggi.
Perlu dipikirkan juga apakah kita dapat melakukan pemberian antibiotika doksisiklin seperti halnya pada prosedur pemeriksaan pasangan infertilitas yang dikeluarkan oleh Royal
College of Obstetric and Gynecology (RCOG) sebelum
melakukan tindakan invasif tanpa mengetahui status infeksi klamidianya.
Penelitian ini juga mendapatkan angka kejadian infeksi klamidia pada serviks yang lebih tinggi dibandingkan tuba. Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang mendapatkan infeksi klamidia pada tuba yang lebih besar dengan menggunakan alat diagnostik yang sama (Barlow, 67%; Gerard: 70%).11,12
Hasil penelitian Lan,13 pada 37 pasien yang dilakukan
salpingektomi (pengangkatan tuba) mendapatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan penelilitan ini dimana hanya ditemukan 3 infeksi klamidia pada jaringan tuba (12%), perbedaan hasil penelitian tersebut diatas mungkin disebabkan oleh karena perbedaan jaringan yang digunakan.
Pada dua penelitian pertama Barlow dan Gerard menggu-nakan jaringan tuba yang segar, sedangkan Lan menggumenggu-nakan jaringan yang sudah dilakukan parafinisasi. Penggunaan sediaan blok parafin kemungkinan dapat menyebabkan materi DNA klamidia sudah terdegradasi.
Oleh karena pemeriksaan PCR klamidia dengan menggunakan sampel dari jaringan masih relatif baru di Indonesia, saat ini belum diketahui metodologi yang optimal dalam hal perlakuan jaringan sebelum dilakukan metode PCR. Karena waktu penelitian yang terbatas, mekanisme optimalisasi belum dilakukan secara maksimal.
Pada penelitian ini ditemukan 12 penderita yang memiliki DNA klamidia yang (+) dengan rincian 9 pasien yang (+) pada serviks dan 3 pasien yang (+) pada tuba. Terdapat yang positif pada kedua lokasi ada 2 pasien.
Penelitian Barlow juga memperlihatkan hasil penelitian yang hampir sama dimana didapatkan DNA Klamidia yang bervariasi pada endometrium, tuba dan ovarium pada penderita klamidia yang mengalami kehamilan ektopik atau infertilitas tuba.
Penelitian tersebut memperlihatkan hanya 11 pasien dari 24 pasien menunjukkan DNA klamidia (+) pada tuba.11 Artinya
hampir 50% penderita menunjukkan DNA klamidia yang (+). Pada penelitian Gerard, didapatkan angka kejadian yang cukup tinggi juga yaitu 70% pasien terdeteksi DNA klamidia di tuba.
Hasil ini agak berbeda dengan temuan pada penelitian ini dimana hanya 3 penderita yang DNA klamidia (+) pada tuba (12%). Hal yang mungkin dapat menjelaskan perbedaan angka kejadian ini kemungkinan adalah proporsi pasien yang berisiko untuk terjadinya infeksi klamidia berbeda di Indonesia dengan luar negeri walaupun populasi pasien sama yaitu menderita kehamilan ektopik. Seperti usia saat pertama kali melakukan kontak seksual, jumlah partner seksual dalam 1 tahun.
Di negara Indonesia umumnya melakukan kontak seksual pertama kali adalah saat menikah, dan partner seksual umumnya hanya 1 yaitu suami masing-masing.
Pada penelitian ini infeksi klamidia yang mengakibatkan terjadinya kehamilan ektopik hanya terbukti pada 3 pasien, sementara yang lainnnya tidak menunjukkan adanya DNA klamidia di tuba. Gerard et al, melakukan pemeriksaan Klamidia
Kejadian infeksi Klamidia trakomatis di serviks dan tuba pada pasien kehamilan ektopik terganggu di RSUP H. Adam Malik Medan dan RS Jejaring FK USU
operasi dengan menggunakan PCR dan RT-PCR, dari peme-riksaan tersebut didapatkan 7 pasien positif Klamidia trakomatis dengan menggunakan PCR dan RT-PCRT, yang menunjukkan adanya klamidia hidup yang aktif bermetabolisme di jaringan tuba saat terjadi kehamilan ektopik.12
Meski demikian perlu dipikirkan apakah kehadiran DNA klamidia di luar tuba (serviks, endometrium) dapat pula memicu terjadinya kerusakan tuba secara tidak langsung. Salah satu teori yang mungkin dapat menjelaskan adalah terjadinya mekanisme autoimun akibat adanya similaritas antara struktur membran klamidia cHSP-60 dengan susunan asam amino di tuba.14,15
Reaksi imun tubuh tersebut diperkirakan dapat memicu terjadinya reaksi silang, sehingga dapat menimbulkan kerusakan tanpa kehadiran langsung klamidia pada tuba. Meski demikian dengan hanya ditemukaannya infeksi klamidia pada 12 kasus dari 25 kasus kehamian ektopik, maka perlu dipikirkan kemungkinan adanya penyebab lain dari kehamilan ektopik di luar infeksi klamidia.
Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik terganggu berusia 20-40 tahun dengan rata-rata usia 30 tahun. Frekuensi berulang antara 1-14,6%. Dimana yang menjadi faktor risiko untuk terjadinya infeksi Klamidia
trakomatis pada kehamilan ektopik terganggu antara lain usia
muda saat melakukan hubungan seksual, multi partner, riwayat infeksi, riwayat perdarahan saat hubungan seksual, kebiasaan merokok, riwayat kontrasepsi dalam rahim, riwayat operasi abdomen sebelumnya, kegagalan penggunaan kontrasepsi yang mengandung progestin, uterus yang berbentuk T dan lain sebagainya.
Pada penelitian ini usia pasien yang mengalami kehamilan ektopik terganggu 68% pada rentang usia 21-35 tahun dan 28% pada usia >35 tahun.
Adanya riwayat infeksi pada subyek penelitian yang ditelusuri dengan terdapatnya riwayat keputihan pada sebagian besar subyek penelitian (72%). Infeksi Klamidia
trakomatis bersifat asimptomatis, tetapi kadang kala dapat
pula memberikan gejala berupa keputihan atau bahkan bisa berupa sekret mukopurulent.
Dari penelitian di Perancis tahun 2001 dinyatakan bahwa 43% kehamilan ektopik terganggu disebabkan oleh infeksi
Klamidia trakomatis dan merupakan bakteri penyebab paling
utama.
Hal-hal ini yang mendasari keterkaitan infeksi Klamidia
trakomatis dengan kejadian kehamilan ektopik terganggu. Di
Indonesia belum didapatkan data pasti mengenai penyebab terbanyak gejala keputihan.
Dalam penelitian ini terdapat 72% sampel yang mengalami riwayat keputihan, oleh sebab itu diperlukan upaya pencegahan deteksi dini terhadap infeksi Klamidia trakomatis sehingga dapat menghindari komplikasi jangka panjang terjadinya kehamilan ektopik terganggu.
Faktor risiko lain yang dapat menyebabkan kehamilan ektopik terganggu adalah adanya riwayat infeksi saluran kemih/panggul, dan infeksi Klamidia trakomatis merupakan salah satu kasus penyakit menular seksual yang sering
menyertai terjadinya uretheritis dan servisitis.
Pada penelitian ini didapatkan 14 penderita (56%) yang pernah mengalami infeksi saluran kemih/panggul (yakni pernah memiliki keluhan nyeri saat berkemih, nyeri perut bagian bawah atau nyeri saat campur).
Dari penelitian sebelumnya oleh Gerard dan Huddson, dinyatakan pada wanita yang memiliki riwayat penyakit radang panggul adanya peningkatan risiko terjadinya kehamilan padaa tuba sebesar 5-8 kali lipat dan Klamidia trakomatis merupakan penyebab utama penyakit radang panggul, sekitar 20-40%. KESIMPULAN
Kejadian infeksi Klamidia trakomatis di serviks pada pasien dengan kehamilan ektopik terganggu adalah 36%. Kejadian infeksi Klamidia trakomatis di tuba pada pasien dengan kehamilan ektopik terganggu adalah 12%.
Didapatkan kecenderungan peningkatan risiko pada pasien kehamilan ektopik terganggu yaitu rentang usia antara 20-35 tahun sekitar 68%, adanya riwayat keputihan sekitar 72%, dan adanya riwayat infeksi saluran kemih/panggul sekitar 56%. Pada penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan infeksi Klamidia trakomatis di serviks dan tuba pada pasien kehamilan ektopik terganggu.
Untuk mengetahui hubungan sebab-akibat antara faktor risiko dan infeksi Klamidia trakomatis dengan kejadian kehamilan ektopik terganggu maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan disain yang berbeda dan sampel penelitian yang menggunakan kontrol.
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui adanya respon sistem imun terhadap kehadiran Klamidia trakomatis yang mengakibatkan terjadinya proses inflamasi kronik yang pada akhirnya dapat merusak fungsi saluran tuba tanpa perlu disertai adanya Klamidia trakomatis pada tuba.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gravent MG, Sampson JE. Klamidia trachomatis, high risk pregnancy management option. London: WB Saunders Co Ltd; 1996. p. 520-1.
2. Aibinder SW, Ramin SM. Sexually trasmitted diseases & pelvic infection, current obstetric & gynecologic diagnosis & treatment. New York: McGraw-Hill Co; 2003. p. 727-9. 3. Daily SF. Infeksi genital non spesifik. In: Ilmu penyakit
kulit dan kelamin FKUI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 340-1.
4. Wisnuwhardani SD. Penyakit menular ilmu kebidanan. Jakarta: YBP-SP; 1991. p. 554-5.
5. Brocklehurst P, Rooney G. Intervention for treating genital Chlamydia tracomatis infection in pregnancy. Cochrane Review. 2003;4.
6. Wisnuwardani SD. Penyidikan Klamidia pada servisitis dengan pemeriksaan pap smear dan elisa [thesis]. [Jakarta]: Universitas Indonesia; 1987.
7. Sutrisno AD. Studi banding deteksi antigen clamidia trachomatis cara clearview klamidia dan elisa Wellcozyme pada getah serviks, wanita tuna susila disebuah panti rehabilitasi wanita di Jakarta [thesis]. [Jakarta]; 1994
8. Febrianti T. Perbandingan sensitivitas dan spesifitas Quick Stripetm klamidia AG dengan AMPLICOR PCR untuk deteksi
clamidia tracomatis pada endoserviks wanita penjaja sex [thesis]. [Jakarta]; 2006.
9. Widjaya S, et al. Evaluation of a rapid assay for detection of Chlamydia tracomatis infection in out patient clinic in south Kalimantan, Indonesia. J Clin Microbial. 1999;37: 4183-5.
10. Sibahara H, Takamizawa S, Hirano Y, Ayustawati, Takei Y, Fujiwara H, et al. Relationship between Chlamydia trachomatis antibody titers and tubal phatology assessed using transvaginal hydrolaparoscopy in infertile women. AJRI. 2003;50:7-12.
11. Barlow R, et al. The prevalence of Chlamydia trachomatis in fresh Tissue spesiment from patient with ectopic pre-gnancy or tubal factor infertility as determined by PCR and in situ hybridisation. J. Med. Microbial. 2001;50:902-8.
12. Gerard HC, Branigan PJ, Balsara GR, Health C, Minassian SS, Hudson AP. Viability of Chlamydia trachomatis in fallopian tubes of patients with ectopic pregnancy. Fertility and Sterility. 1998;70;945-8.
13. Lan J, Brule AJC, Hemrica DJ, et al. Chlamydia trachomatis and ectopic pregnancy: retrospective analysis of salfingec-tomy specimens, endometrial biopsies, cervical smears. J clin Pathol. 1995;48:815-9.
14. Kinnunen A. Chlamydial Heat shock protein 60 and cell-mediated immunity in tubal factor infertility. Finland Department of Microbiology. 2002:13-6.
15. Tregoning SK, Ballard RC, Anderson PB, Fehler HG, Van der Spuy ZM. Antibodies to Chlamydia trachomatis in patient presenting with ectopic pregnancy at groote schure hospital. S Afr Med. 2000;90:727-30.
Kejadian infeksi Klamidia trakomatis di serviks dan tuba pada pasien kehamilan ektopik terganggu Hendry Adi S, dkk di RSUP H. Adam Malik Medan dan RS Jejaring FK USU