• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2. Universitas Sumatera Utara"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENYAKIT GINJAL KRONIK

2.1.1. Epidemiologi

Di zaman sekarang ini sungguh banyak sekali penyakit menyerang manusia, ini tentunya menjadi sebuah dilema bagi dunia kesehatan, karena banyak dari penyakit-penyakit tersebut yang menyerang manusia dan berdampak mematikan bagi penderitannya. Jenis penyakit yang diderita bentuknya beraneka ragam, ada yang tergolong penyakit ringan dimana dalam proses pengobatannya relatif mudah dan tidak terlalu menimbulkan tekanan psikologis pada penderita. Tetapi, ada juga penyakit yang berbahaya dan dapat menganggu kondisi emosional salah satunya yaitu penyakit ginjal kronik. Prosedur pengobatan yang digunakan untuk memperbaiki keadaan tersebut adalah melalui hemodialisis atau transplantasi ginjal, tetapi karena mahalnya biaya operasi transplantasi ginjal dan susahnya pencarian donor ginjal, maka cara terbanyak yang digunakan yaitu hemodialisis. Berdasarkan estimasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), secara global lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit ginjal kronik. Sekitar 1,5 juta orang harus menjalani hidup bergantung pada cuci darah. Sementara itu, kasus penyakit ginjal kronik di Indonesia setiap tahunnya masih terbilang tinggi, karena masih banyak masyarakat Indonesia tidak menjaga pola makannya dan kesehatan tubuhnya. (Nur Wahida, 2013).

Berdasarkan data yang dikumpul yaitu PT. Askes pada tahun 2010 jumlah pasien gagal ginjal ialah 17.507 orang. Kemudian meningkat lagi sekira lima ribu lebih pada tahun 2011 dengan jumlah pasti sebesar 23.261 pasien. Pada tahun 2012 mengalami peningkatan meskipun, tidak sebanyak dari tahun 2010 ke 2011. Pada tahun 2013 sendiri tren-nya akan terus meningkat terkait terus meningkatnya populasi penyakit diabetes dan juga hipertensi. Pada tahun 2011 ke 2012 terjadi peningkatan yakni 24.141 pasien, bertambah hanya 880 orang. Berdasarkan Pusat Data & Informasi Per-himpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, jumlah pasien penyakit ginjal kronik juga diperkirakan sekitar 50 orang per satu juta penduduk,

(2)

60% nya adalah usia dewasa dan usia lanjut. Berdasarkan data dari PT Askes tahun 2009 menunjukkan jumlah gagal ginjal di Indonesia mencapai 350 per satu juta penduduk, saat ini terdapat sekitar 70000 pasien penyakit ginjal kronik yang memerlukan cuci darah. (Vika, 2013)

2.1.2. Definisi

Penyakit ginjal kronik juga dikenal sebagai gagal ginjal kronik yang merupakan penyakit progresif lambat dari fungsi ginjal selama beberapa tahun yang akhirnya pasien memiliki gagal ginjal permanen. Kidney Disease OutcomesQuality Initiative (KDOQI) mendefinisikan penyakit ginjal kronik adalah kerusakan pada organ ginjal di mana terjadinya penurunan tingkat filtrasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate – GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73m2 kurun waktu 3 bulan atau

lebih.(Jevuska, 2012)

2.1.3 Etiologi

Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Tabel 2.1 menunjukan penyebab utama dan insiden penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat. (KDOQI, 2002). Sedangkan Perkumpulan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) Tahun 2012 mencatat penyebab gagal ginjal pasien (hemodialisis) di Indonesia pada tahun 2010, seperti pada Tabel 2.2. (Penefri, 2012)

(3)

Penyebab Insiden

Glomerulopati Primer/GNC 12%

Nefropati Diabetika 26%

Nefropati Lupus/SLE 1%

Penyakit Ginjal Hipertensi 35%

Ginjal Polikistik 1%

Nefropati Asam Urat 2%

Nefropati obstruksi 8%

Pielonefritis kronik/PNC 7%

Lain-lain 6%

Tidak Diketahui 2%

Tabel 2.1 Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat (USRDS Annual Data Report 1998)

(Sumber KDOQI, 2002)

Penyebab Insiden

Penyakit Ginjal Diabetes (Diabetes tipe 1dan 2)

33% Penyakit Glomerular

(Primary dan Secondary)

19%

Penyakit Vaskular 21%

Penyakit Tubulointerstitial 4%

Penyakit Kista dan bawaan lain 6%

Penyakit pada Tranplantasi Ginjal

-Tabel 2.2 Penyebab Penyakit ginjal pasien (hemodialisis) di Indonesia pada Tahun 2010

(Sumber Pernefri, 2012)

2.1.4 Faktor Resiko

a) Riwayat penyakit ginjal polikistik atau penyakit ginjal genetik lainnya di keluarga

b) Bayi dengan berat badan lahir rendah

(4)

serangan akut lainnya pada ginjal d) Hipoplasia atau displasia ginjal

e) Gangguan urologis, terutama uropati obstruktif

f) Refluks vesikoureter yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih berulang dan parut di ginjal

g) Riwayat menderita sindrom nefrotik dan nefritis akut h) Riwayat menderita sindrom uremik hemolitik

i) Diabetes Mellitus

j) Lupus Eritermatosus Sistemik k) Riwayat menderita hipertensi

l) Penggunaan jangka panjang obat anti inflamasi non steroid (Kanitkar, 2009)

2.1.5. Klasifikasi

Penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat penurunan fungsi ginjal. Fungsi ginjal dapat dilihat berdasarkan nilai Laju Filtrasi Glomerulus (LFG). Sedangkan klasifikasi penyakit ginjal kronik dapat dilihat pada tabel 2.3 (KDOQI, 2002)

(5)

Tabel 2.3 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (Sumber KDOQI, 2002)

2.1.6. Manifestasi klinis

Tanda dan gejala pada pasien penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan sesuai dengan derajatnya. Berikut adalah tanda dan gejala gagal ginjal kronik. (Joanne, 2008)

1. Derajat I

Pasien dengan tekanan darah normal,tanpa abnormalitas hasil tes laboratorium dan tanpa manifestasi klinis.

2. Derajat II

Umumnya asimptomatik, berkembang menjadi hipertensi dan munculnya nilai laboratorium yang abnormal.

3. Derajat III

Asimptomatik, nilai laboratorium menandakan adanya abnormalitas pada beberapa sistem organ.

4. Derajat IV

Munculnya manifestasi klinis penyakit gagal ginjal kronik berupa kelelahan dan penurunan rangsangan.

5. Derajat V

Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m²)

1 Kerusakan ginjal dengan

LFG normal atau ↑

≥ 90 2 Kerusakan ginjal dengan

LFG ↓ringan

60 – 89

3 Kerusakan ginjal dengan

LFG ↓sedang

30 – 59

4 Kerusakan ginjal dengan

LFG ↓berat

15 – 29

(6)

Peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan anemia.

2.1.7. Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldostectorron intarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotansin-aldosteron, sebahagian diperantai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal juga yang dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit gagal ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial. (Ketut, 2009)

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60% pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien dapat memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan

(7)

metabolism fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis ataupun transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai stadium gagal ginjal. (Ketut, 2009)

2.1.8. Komplikasi

Komplikasi dari penyakit ginjal kronik dapat dicegah dengan deteksi dan penanganan dini dengan memperlambat proses terjadinya komplikasi. Penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan komplikasi yang terjadi pada beberapa sistem organ penting pada tubuh, yaitu termasuk anemia, penyakit jantung (cardiovascular disease/CVD), gangguan mineral dan tulang, neuropati periferal, gangguan kognitif, peningkatan infeksi, malnutrisi dan penurunan fungsi organ. (Rina, 2013)

2.1.9. Pendekatan Diagnostik 1. Gambaran Klinis

a) Diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan sebagainya.

b) Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer, pruritus, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.

c) Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida)

(8)

a) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan serum kreatinin dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.

b) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.

c) Kelainan urinalisis meliputi, proteinuria, hematuria, leukosuria.

3. Gambaran Radiologis

a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.

b) Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa

melewati filter glomerulus, di samping kekhwatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.

c) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.

d) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang

(9)

tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas. (Ketut, 2009)

5. Pemeriksaan Penunjang Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)

Dalam rangka mendapatkan diagnosis yang tepat pada penyakit ginjal sudah tentu diperlukan kelengkapan data-data yang saling mendukung satu dengan lainnya. Untuk itu diperlukan pemeriksaan penunjang yang tepat dan terarah sehingga diagnosis penyakit ginjal yang tepat dapat dipenuhi. Pada pelaksanaan sehari-hari ada lima bentuk pemeriksaan penunjang untuk menilai fungsi struktur ginjal, yaitu pemeriksaan serologi, pemeriksaan radiologi, biopsi ginjal, pemeriksaan dipstick terhadap urin, perhitungan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang ditentukan dengan memeriksa bersihan dari bahan-bahan yang diekskresikan oleh filtrasi glomerulus.

Pada penyakit ginjal kronik, pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosis penyakit ini adalah dengan pemeriksaan perhitungan laju filtrasi glomerulus yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft- Gault sebagai berikut (Joanne, 2008):

LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140-umur) x berat badan *)

72 x kreatinin plasma (mg/dl) *pada perempuan dikalikan 0, 85

Derajat LFG normal adalah: 90-120 mL/min/1, 73 m².

a. Ureum

Gugusan amino dicopot dari asam amino bila asam itu didaur ulang menjadi sebagian dari protein lain atau dirombak dan akhirnya dikeluarkan dari tubuh. Amino transferase (transaminase) yang ada diberbagai jaringan mengkatalis pertukaran gugusan amino antara senyawa-senyawa yang ikut serta dalam reaksireaksi sintesis. Selain itu, deaminasi oksidatif memisahkan gugusan amino dari molekul aslinya dan gugusan yang dilepaskan itu diubah menjadi amoniak. Amoniak dihantar ke hati dan disana ia berubah menjadi ureum melalui reaksi-reaksi bersambung. Ureum adalah satu molekul kecil yang mudah didifusi ke

(10)

dalam cairan ekstrasel, tetapi pada akhirnya ia dipekatkan dalam urin dan diekskresi. Jika keseimbangan nitrogen dalam keadaan mantap, ekskresi ureum kira-kira 25 gr setiap hari. Kadar ureum dalam serum mencerminkan keseimbangan antara produksi dan ekskresi. Metode penetapan adalah dengan mengukur nitrogen di Amerika Serikat hasil penetapan disebut sebagai nitrogen ureum dalam darah (Blood Urea Nitrogen, BUN). Dalam serum normal konsentrasi BUN adalah 8-25 mg/dl. Nitrogen menyusun 28/60 bagian dari berat ureum, karena itu konsentrasi ureum dapat dihitung dari BUN dengan menggunakan faktor perkalian 2,14. Penetapan ureum tidak banyak diganggu oleh artefak. Pada pria iamempunyai kadar rata-rata ureum yang sedikit lebih tinggi dari wanita karena tubuh pria memiliki lean body mass yang lebih besar. Nilai BUN mungkin agak meningkat kalau seseorang secara berkepanjangan makan pangan yang mengandung banyak protein, tetapi pangan yang baru saja disantap tidak berpengaruh kepada nilai ureum pada saat manapun. Jarang sekali ada kondisi yang menyebabkan kadar BUN dibawah normal. Membesarnya volume plasma yang paling sering menjadi sebab. Kerusakan hati harus berat sekali sebelum terjadi BUN karena sintesis melemah.

Konsentrasi BUN juga dapat digunakan sebagai petunjuk LFG. Bila seseorang menderita penyakit ginjal kronik maka LFG menurun, kadar BUN dan kreatinin meningkat. Keadaan ini dikenal sebagai azotemia (zat nitrogen dalam darah). Kadar kreatinin merupakan indeks LFG yang lebih cermat dibandingkan BUN. Hal ini terutama karena BUN dipengaruhi oleh jumlah protein dalam diet dan katabolisme protein tubuh. (Previsha, 2010)

b. Kreatinin

Kreatinin adalah produk akhir dari metabolisme kreatin. Kreatinin disintesis oleh hati, terdapat hampir semuanya dalam otot rangka. Disana ia terikat secara reversibel kepada fosfat dalam bentuk fosfokreatin, yakni senyawa penyimpan energi. Reaksi kreatin + fosfat ↔ fosfokreatin bersifat reversibel pada waktu energi dilepas atau diikat. Akan tetapi sebagian kecil dari kreatin itu secara irreversibel berubah menjadi kreatin yang tidak mempunyai fungsi sebagai zat berguna dan adanya dalam darah beredar hanyalah untuk diangkut ke ginjal. Nilai

(11)

normal untuk pria adalah 0,5 – 1,2 mg/dl dan untuk wanita 0,5 – 1 mg/dl serum. Nilai kreatinin pada pria lebih tinggi karena jumlah massa otot pria lebih besar dibandingkan jumlah massa otot wanita. Banyaknya kreatinin yang disusun selama sehari hampir tidak berubah kecuali kalau banyak jaringan otot sekaligus rusak oleh trauma atau oleh suatu penyakit. Ginjal dapat mengekskresi kreatinin tanpa kesulitan. Berkurang aliran darah dan urin tidak banyak mengubah ekskresi kreatinin, karena perubahan singkat dalam pengaliran darah dan fungsi glomerulus dapat diimbangi oleh meningkatnya ekskresi kreatinin oleh tubuli. Kadar kreatinin dalam darah dan ekskresi kreatinin melalui urin per 24 jam menunjukkan variasi amat kecil; pengukuran ekskresi kreatinin dalam urin 24 jam tidak jarang digunakan untuk menentukan apakah pengumpulan urin 24 jam dilakukan dengan cara benar. Kreatinin dalam darah meningkat apabila fungsi ginjal berkurang. Jika pengurangan fungsi ginjal terjadi secara lambat dan disamping itu massa otot juga menyusun secara perlahan, maka ada kemungkinan kadar kreatinin dalam serum tetap sama, meskipun ekskresi per 24 jam kurang dari normal. Ini bisa didapat pada pasien berusia lanjut kadar BUN yang meningkat berdampingan dengan kadar kreatinin yang normal biasanya menjadi petunjuk ke arah sebab ureumnya tidak normal. Ureum dalam darah cepat meninggi daripada kreatinin bila fungsi ginjal menurun; pada hemodialisis kadar ureum lebih dulu turun dari kreatinin. Jika kerusakan ginjal berat dan permanen, kadar ureum terus-menerus meningkat, sedangkan kadar kreatinin cenderung mendatar. Kalau kreatinin dalam darah sangat meningkat, terjadi ekskresi melalui saluran cerna. (Previsha, 2010)

2.1.10. Diagnosis

a) Pemeriksaan Urin lengkap (Urinalisa)

1. Untuk mengetahui kondisi ginjal: petunjuk awal adanya kerusakan ginjal,bisa diketahui terutama melalui pemeriksaan urin.

2. Pemeriksaan urin lengkap terdiri dari analisa kimia untuk mendeteksi protein, kreatinin, gula, dan keton.

(12)

3. Analisa mikroskopik: untuk mendeteksi sel darah merah dan sel darah putih. 4. Adanya sel darah dan albumin (sejenis protein) dalam urin, bisa merupakan

petunjuk terjadinya kerusakan ginjal. b) Proteinuria (Protein di dalam urin)

1. Ginjal normal mengambil limbah dari darah, tapi meninggalkan protein. yang disebut albumin dari limbah. Awalnya hanya sejumlah kecil albumin bocor ke dalam urin dan kondisi ini dikenal sebagai mikroalbuminuria, tanda gagal fungsi ginjal dan ini akan menyebabkan jumlah albumin dan protein lain dalam urin meningkat.

2. Bila protein dalam urin positif dan terjadi selama lebih dari 3 bulan maka ia bisa dikatakan seseorang itu mengalami penyakit ginjal kronis.

c) Hematuria (eritrosit di urin)

1. Bisa diketahui melalui pemeriksaan mikroskopik atau dengan mata telanjang, yakni jika darah sangat banyak maka urin akan berwarna kemerahan.

2. Hematuria dapat disebabkan oleh pendarahan di saluran kemih dan atau terjadi kerusakan pembuluh darah di ginjal, sehingga ginjal tidak dapat menjalankan fungsi filtrasinya.

d) Pemeriksaan kadar ureum darah

1. Meningkat pada peningkatan asupan protein, kurangnya aliran darah ginjal, pendarahan saluran cerna bagian atas, infeksi ginjal, pasca operasi dan trauma obat.

(13)

e) Pemeriksaan kadar serum kreatinin

1. Pada penderita gagal ginjal kronik tingkat lanjut, pada tes urin ditemukan kadar kreatinin positif.

2. Nilai normal: 0.5-1.5 mg/dl f) Pemeriksaan darah

1. Untuk mengukur kadar kreatinin dan urea dalam darah.

2. Kadar kreatinin dan urea dalam darah akan meningkat jika ginjal tidak bekerja. 3. Creatinine clearance adalah tes yang lebih akurat, yang menggunakan satu

rumus yang menghubungkan kadar serum kreatinin dengan usia, berat badan dan jenis kelamin.

g) Pemeriksaan USG

1. Untuk mencari apakah ada batuan, massa tumor, pembesaran ginjal atau kandung kemih dan memperlihat ginjal yang kecil atau sudah mengalami atrofik.

h) Uji bersihan kreatinin (kreatinin klirens)

1. Caranya cukup mengumpulkan spesimen urin 24 jam dan satu specimen darah yang diambil dalam waktu yang sama.

i) Pemeriksaan radiologi

1. Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal Arteriography dan Venography CT Scan, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. (Mahesa, 2009)

(14)

2.1.11. Penatalaksanaan

Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit PGK sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada Tabel 2.4 (Ketut, 2009)

Tabel 2.4 Rencana Tatalaksanaan Penyakit PGK sesuai dengan derajatnya (Sumber Ketut, 2009)

Terapi Nonfarmakologis

a. Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari

b. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh

c. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total d. Garam (NaCl): 2-3 gram/hari

e. Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari

f. Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD:17 mg/hari g. Kalsium: 1400-1600 mg/hari

h. Besi: 10-18mg/hari

Derajat Rencana tatalaksana

1 Terapi penyakit dasar, kondisi

komorbid,evaluasi pemburukan

(progession) fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler

2 menghambat pemburukan

(progession)fungsi ginjal

3 evaluasi dan terapi komplikasi

4 persiapan untuk terapi pengganti ginjal

(15)

i. Magnesium: 200-300 mg/hari j. Asam folat pasien HD: 5mg

k. Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)

Terapi Farmakologis

a. Kontrol tekanan darah - Penghambat kalsium - Diuretik

b. Pada pasien DM, kontrol gula darah → hindari pemakaian metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang

c. Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl

d. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l e. Koreksi hiperkalemia

f. Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin g. Terapi pengganti ginjal

2.2 HEMODIALISIS 2.2.1 Definisi

Hemodialisis (HD) merupakan terapi pengganti ginjal yang dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang bertujuan untuk mengeliminasi sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan elektrolit antara kompartemen darah dengan kompartemen dialisat melalui membrane semipermeabel. Aliran konstan darah dari satu sisi membrane dan larutan dialisat pembersih di sisi lain menyebabkan penyingkiran produk buangan serupa dengan filtrasi glomerulus. Hemodialisa perlu dilakukan untuk menggantikan fungsi eskresi ginjal sehingga tidak terjadi gejala uremia yang lebih berat. Pada pasien dengan fungsi ginjal yang minimal, hemodialisa dilakukan

(16)

untuk mencegah komplikasi membahayakan yang dapat menyebabkan kematian. (Dewi, 2011)

Pada PGK (Penyakit Ginjal Kronik) hemodialisa harus dilakukan secara rutin (biasanya 2 kali seminggu selama 4–5 jam perkali terapi) sampai mendapat ginjal baru melalui operasi pencangkokan yang berhasil. Pasien memerlukan terapi hemodialisa yang kronis, sebab terapi ini diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengendalikan kerja uremia. Pasien akan melakukan 2-3 kali dialisis perminggu selama (3-4 jam perkali terapi). (Cecilia, 2011)

2.2.2 Indikasi Hemodialisis

Hemodialisis diindikasikan pada pasien keadaan akut yang memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan gagal ginjal tahap akhir yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen.Secara umum indikasi dilakukan hemodialisis pada penderita gagal ginjal adalah:

1. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 15ml/menit 2. Hiperkalemia

3. Kegagalan terapi konservatif 4. Kadar ureum lebih dari 200mg/dl 5. Kreatinin lebih dari 65mEq/L 6. Kelebihan cairan

7. Anuria berkepanjangan lebih dari 5 kali (Dewi, 2014)

2.2.3. Waktu Hemodialisis (Time of Dialisis)

Hemodialisis yang tidak adekuat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti bersihan ureum yang tidak optimal, waktu hemodialisis yang kurang dan kesalahan dalam pemeriksaan laboratorium (ureum darah). Untuk mencapai adekuasi hemodialisis maka salah satu hal yang harus diperhatikan yaitu lama waktu hemodialisis. Time of dialisis adalah lama waktu pelaksanaan hemodialisis yang idealnya 10-12 jam perminggu. Bila hemodialisis dilakukan 2x/minggu

(17)

maka lama waktu tiap kali hemodialisis adalah 5-6 jam, sedangkan bila dilakukan 3x/minggu maka waktu tiap kali hemodialisis adalah 4-5 jam. Lama waktu hemodialisis sangat penting dalam usaha untuk mencapai adekuasi hemodialisis. Sebagaimana yang dikemukan oleh Sathvik (2008) dalam penelitiannya bahwa makin panjang durasi/waktu sesi hemodialisis akan makin mengoptimalkan bersihan ureum sehingga adekuasi dapat tercapai dan kualitas hidup pasien meningkat. Nilai Kt/V yang rendah dapat disebabkan karena jumlah mesin yang tidak memadai dan durasi hemodialisis yang kurang dari 4 jam. Sebagai kesimpulannya, salah satu faktor yang mempengaruhi kadar ureum dan kreatinin merupakan lama waktu hemodialisa dilakukan. (Cahyu, 2010)

2.3 PROSEDUR PELAKSANAAN HEMODIALISA - Pelaksanaan terbagi 3 fase:

1. Fase persiapan dan permulaan hemodialisis 2. Selama hemodialisis

3. Fase pengakhiran hemodialisis

- Pada fase permulaan dan pengakhiran terjadi perubahan besar pada volume darah tubuh penderita. Hal ini merupakan periode yang cukup penting. - Selama hemodialisis diperhatikan dan dijaga berbagai hal:

a) Pasien:

- Keluhan-keluhan: sesak,sakit dada, panas,gatal, pusing, mual dan sebagainya. - Tekanan darah

- Pendarahan pada sekitar jarum - Berat badan

b) Mesin:

- Heparin, test pembekuan darah - Kecepatan aliran darah

- Kecepatam aliran dialisat - Conductivity

(18)

- Gelembung udara - TMP

- Prosedur hemodialisis umumnya dilakukan 2-3x seminggu selama 4 jam, tergantung dari berbagai faktor antara lain sisa fungsi ginjal, berat badan, ginjal buatan. Pada keadaan yang akut dapat dilakukan tiap hari dalam waktu yang lebih singkat 1-2 jam. (I Gusti,2010)

2.4 PENGARUH HEMODIALISIS PADA UREUM DAN KREATININ

Berdasarkan beberapa parameter yang sering digunakan sebagai patokan untuk dilakukan hemodialisis adalah kadar ureum ≥ 200 mg/dL, kadar kreatinin ≥ 8 mg/dL atau kalium ≥ 7 meq/dl. Pasien juga akan dirujuk untuk melakukan hemodialisa sekiranya kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) > 70-100mg/dl. Kadar ureum dalam darah cepat meninggi daripda kreatinin bila fungsi ginjal menurun. Pada dialisis kadar ureum lebih duluan menurun berbanding kreatinin. Jika terjadi kerusakan ginjal berat dan permanen, kadar ureum akan terus meningkat sedangkan kadar kreatinin cenderung mendatar. (Previsha, 2010)

2.5 MANFAAT HEMODIALISA

- Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa mempunyai tujuan:

a. Membuang produk metabolism protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat. b. Membuang kelebihan air.

c. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh. d. Memperbaiki status kesehatan penderita (Anna, 2010)

2.6 KOMPLIKASI PADA HEMODIALISA

-Komplikasi dalam pelaksanaan hemodialisa yang sering tejadi pada saat

dilakukan terapi adalah: a. Hipotensi

(19)

c. Mual atau muntah d. Sakit kepala e. Sakit dada f. gatal-gatal

g. Demam dan mengigil h. kejang (Aileen, 2008)

Gambar

Tabel 2.1 Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat (USRDS Annual Data Report 1998)
Tabel 2.3 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (Sumber KDOQI, 2002)
Tabel 2.4 Rencana Tatalaksanaan Penyakit PGK sesuai dengan derajatnya (Sumber Ketut, 2009)

Referensi

Dokumen terkait

Pada tiap kasus, tidak mungkin dibuat perbedaan klinis yang dapat diandalkan di antara kasus yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis.. Penyakit virus lain yang mungkin

Sedang strategi pengendaliannya menggunakan strategi pelacakan mata rantai kebelakang untuk mencari nilai parame- ter, strategi pelacakan mata rantai kedepan untuk

Seperti diketahui ada beberapa jenis HAKI yang menganut sistem first to file, sehingga siapa yang mendaftarkan HAKI baru dapat disebut sebagai pemilik sah dari haki

Keadaan imunitas tubuh yang lemah pada pasien ini memungkinkan terjadinya invasi sumber infeksi ke berbagai ruang potensial leher, yaitu spatium submandibular,

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir

Hasil pengujian tes akhir (postes), dengan nilai signifikansi ( sig.2-tailed ) 0,000 dapat disimpulkan hipotesis alternatif (ha) untuk tes akhir diterima yaitu

Skema ini ditetapkan dengan tujuan untuk digunakan sebagai acuan dalam sertifikasi kompetensi profesi pariwisata khususnya bidang Agen Perjalanan bagi tenaga kerja yang

Dari hasil temuan di lapangan, baik dari pihak Dinas Perikanan, Pemerintah Desa Perambangan maupun masyarakat KUGAR dalam hal penggunaan dana secara keseluruhan