• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KEPADATAN VEGETASI TERHADAP KEANEKARAGAMAN JENIS AVIFAUNA DI HUTAN WANAGAMA I, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH KEPADATAN VEGETASI TERHADAP KEANEKARAGAMAN JENIS AVIFAUNA DI HUTAN WANAGAMA I, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KEPADATAN VEGETASI TERHADAP KEANEKARAGAMAN JENIS AVIFAUNA DI HUTAN WANAGAMA I, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA

ZAIDIL FIRZA* 09/285558/KT/06585

FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS GADJAH MADA Jl. Agro No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281

2012

INTISARI

Hal yang paling pokok dalam deskripsi avifauna (satwa burung) suatu lokasi adalah daftar jenis. Suatu daftar jenis akan memperlihatkan keanekaragaman jenis yang terdapat pada suatu lokasi. Penelitian ini berlokasi pada salah satu hutan sekunder di daerah Gunung Kidul, yaitu Wanagama I. Menurut beberapa peneliti, hutan sekunder dipandang sebagai habitat alternatif untuk konservasi keanekaragaman hayati di kawasan tropis Kompleksitas vegetasi seperti keanekaragaman spesies, kepadatan tajuk dan kepadatan vegetasi memberikan pengaruh terhadap komposisi komunitas burung pada suatu habitat.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi ilmiah mengenai pengaruh kepadatan vegetasi terhadap keanekaragaman jenis satwa burung, dengan studi kasus di hutan Wanagama I. Metode pengambilan data yang digunakan adalah metode point count sebanyak 75 plot dengan jarak antar plot sejauh 200 m dan data vegetasi dengan menggunakan metode density board dalam

protocol sampling untuk mengetahui persentase kepadatan vegetasi. Data dianalisis dengan model generalized linear model dengan menggunakan software R.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini sejumlah 456 individu burung dari 37 jenis dan 22 famili, yang kemudian mampu diperoleh Indeks Diversitas burung di Hutan Wanagama I sebesar 3,1. Nilai tersebut termasuk memiliki keanekaragaman sedang hingga cukup tinggi (1,5 - 3,5). Sedangkan dari hasil analisis menunjukkan terdapat pengaruh signifikan faktor kepadatan vegetasi terhadap keanekaragaman jenis burung, yakni pada variabel kepadatan tiang (negatif) dan kepadatan belukar (positif).

Kata kunci: kepadatan vegetasi, keanekaragaman jenis, avifauna, satwa burung, habitat preference

(2)

I. PENDAHULUAN

Hal yang paling pokok dalam deskripsi avifauna (satwa burung) suatu lokasi adalah daftar jenis. Suatu daftar jenis akan memperlihatkan keanekaragaman jenis yang terdapat pada suatu lokasi. Di dalam suatu kawasan, habitat jelas merupakan bagian penting bagi distribusi dan jumlah burung. Penurunan keanekaragaman burung erat kaitannya dengan aktivitas manusia dalam menggunakan sumber daya alam, terutama sumber daya lahan dan sumber daya hayati (Prawiradilaga, 1990).

Salah satu hutan percontohan di daerah Gunung Kidul yaitu Wanagama I. Dahulu kawasan ini merupakan lahan kritis dengan sebutan batu bertanah karena ketebalan solum tanahnya yang sangat tipis akibat penebangan hutan yang tidak terkontrol, sehingga terjadi pengikisan dan erosi. Keadaan seperti ini mendorong untuk pelaksanaan reboisasi. Wanagama I dikelola oleh Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sejak tahun 1966 sekaligus atas dorongan keinginan untuk memiliki suatu hutan pendidikan (Oemi Hani’in dkk., 1982).

Secara teoritis hutan sekunder dipandang kurang memiliki nilai konservasi. Namun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa hutan sekunder juga memiliki keanekaragaman spesies burung yang tinggi (Barlow dkk., 2007). Hutan sekunder juga dipandang sebagai habitat alternatif untuk konservasi keanekaragaman hayati di kawasan tropis (Sodhi dkk., 2005).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kompleksitas vegetasi seperti keanekaragaman spesies, kepadatan tajuk dan kepadatan vegetasi memberikan pengaruh terhadap komposisi komunitas burung pada suatu habitat (Chettri dkk., 2005; Anderson dkk., 1983). Barlow dkk. (2007) menemukan fakta bahwa keanekaragaman spesies burung sangat berkorelasi dengan luas bidang dasar hutan dan tingkat pembukaan kanopi. Pada hutan dengan luas bidang dasar yang tinggi dan kanopi yang rapat memiliki tingkat keanekaragaman spesies burung yang tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi ilmiah mengenai pengaruh kepadatan vegetasi terhadap keanekaragaman jenis satwa burung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bagian dan bahan masukan dalam mengembangkan program pelestarian burung dan kawasan Hutan Wanagama I pada umumnya secara komprehensif.

(3)

II. BAHAN DAN METODE

2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Hutan Pendidikan Wanagama I yang meliputi petak 5, 6, 7, 13, dan 16 serta dilaksanakan pada 17 Desember 2011.

2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

1. Data kepadatan vegetasi (pohon, tiang, belukar, dan semak), dan 2. Data satwa burung.

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Kepadatan vegetasi, dan

2. Keanekaragaman jenis satwa burung.

2.3. Metode

2.2.1. Data Primer a. Data Burung

Pengambilan data burung menggunakan metode point count, dengan asumsi yang dipakai sebagai landasan agar dapat ditarik kesimpulan yang baik, yaitu:

● Burung tidak berpindah dari dalam plot ke luar plot atau sebaliknya, dan juga tidak ada perpindahan burung antar plot.

● Burung dapat terdeteksi sepenuhnya dari titik pengamat. ● Pengukuran jarak dilakukan oleh pengamat adalah tepat.

● Tidak ada kesalahan identifikasi burung yang dilakukan oleh pengamat. ● Perilaku burung terpisah satu dengan yang lain.

Langkah yang dilakukan dalam pengambilan data dilapangan :

1) penempatan titik di lapangan (random maupun sistematik sampling), 2) pengaturan jarak antar titik 200 meter,

3) dalam sebuah titik dibuat distance bands dengan jari-jari 50 m,

4) pengamatan dilakukan selama 10 menit, dengan 2 menit sebelumnya untuk adaptasi, dan 8 menit untuk pencatatan hasil pengamatan.

(4)

r = 50 m

Arah transek

200 m

Gambar 1.Point Count

b. Data Vegetasi

● Plot lingkaran (jari-jari 11.3 meter), titik pusat yang sama pada point count. ● Penutupan horisontal menggunakan alat density board, data diambil pada tepi plot di empat arah mata angin (Utara, Timur, Selatan, dan Barat).

Gambar 2.Density Board dan Protocol Count

2.2.2 Metode Analisis Data

1. Untuk mengetahui keanekaragaman jenis burung digunakan indeks keanekaragaman Shannon.

Keterangan:

H’ = Indeks Diversitas Shannon ni = Jumlah individu spesies ke-i n = Jumlah individu semua spesies ln = logaritma alami

(5)

2. Untuk mengetahui pengaruh kepadatan vegetasi terhadap keanekaragaman jenis satwa burung, data diolah dengan menggunakan software R, dengan pengujian model generalized linear model (pengaruh - data tidak normal).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini sejumlah 456 individu burung dari 37 jenis dan 22 famili (lihat Tabel 2 pada lampiran), yang kemudian mampu diperoleh Indeks Diversitas satwa burung di Hutan Wanagama I sebesar 3,1. Nilai tersebut termasuk memiliki keanekaragaman sedang hingga cukup tinggi (1,5 - 3,5). Sedangkan dari hasil analisis menunjukkan terdapat pengaruh faktor kepadatan vegetasi terhadap keanekaragaman jenis burung (lihat Tabel 1).

Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)

(Intercept) 0.942227 0.123407 7.635 7.35e-11 ***

Pden -0.01306 0.003051 -4.282 5.63e-05 ***

Sden 0.004787 0.002305 2.077 0.0414 * Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1

AIC : 128.06

Tabel 1. Tabel Analisis Statistik

Dari tabel tersebut, faktor kepadatan vegetasi yang berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis avifauna, antara lain:

1. Kepadatan tiang (pole density) –signifikan (***) ke arah negatif, dan 2. Kepadatan belukar (shrub density)– signifikan (*) ke arah positif.

Dari tabel tersebut juga dapat diketahui persamaan liniernya yaitu:

Keterangan:

Y = Nilai indeks keanekaragaman avifauna X1 = Kepadatan tiang

X2 = Kepadatan belukar

(6)

Dengan kata lain, semakin rendah kepadatan tiang, semakin tinggi keanekaragaman jenis satwa burung, dan sebaliknya, semakin besar kepadatan belukar akan semakin tinggi pula keanekaragaman jenis satwa burung. Hal ini sesuai dengan teori yang diacu pada literatur mengenai kebiasaan hidup satwa burung (lihat Tabel 3 pada lampiran), terbukti bahwa satwa burung melakukan seleksi dalam pemilihan habitatnya. Kebanyakan jenis satwa burung yang dijumpai, memiliki habitat preference pada lahan terbuka (pengaruh kepadatan tiang - negatif) seperti pada satwa burung dari famili Aegithinidae, Alcedinidae, Campephagidae, Columbidae, Cuculidae, Dicaeidae, Dicruridae, Meropidae, Phasianidae, Pycnonotidae, Sturnidae, Sylviidae (54% dari famili yang dijumpai), sedangkan untuk habitat preference pada habitat belukar (pengaruh kepadatan belukar - positif) digunakan oleh famili Aegithinidae, Cuculidae, Pycnonotidae, Nectarinidae, Sylviidae, Corvidae (27% dari famili yang dijumpai) untuk beraktivitas, bersembunyi, membuat sarang, dan sebagainya.

Berdasarkan grafik coplot, signifikansi terbesar kepadatan tiang tersebar pada rentang 0 - 5% (lihat Grafik 1 pada lampiran), sedangkan untuk signifikansi terbesar kepadatan belukar tersebar pada rentang 50 - 65% (lihat Grafik 2 pada lampiran). Pada angka-angka ini kita bisa mengoptimalkan pengaruhnya terhadap keanekaragaman jenis satwa burung, melalui upaya-upaya mempertahankan nilai kepadatan pada nilai rentang tersebut, baik secara silvikultur, konservasi, ataupun mekanis.

IV. KESIMPULAN

Dari penelitian diketahui bahwa faktor kepadatan vegetasi berpengaruh signifikan terhadap keanekargaman jenis avifauna, yakni:

1. Sangat signifikan, pada kepadatan tiang (ke arah negatif) dalam rentang 0 - 5%, 2. signifkan, pada kepadatan belukar (ke arah positif) dalam rentang 50 – 65 %, dan 3. tidak berpengaruh signifikan, pada kepadatan pohon dan kepadatan semak.

(7)

V. DAFTAR PUSTAKA

Anderson B.W., Ohmart R.D., Rice J. 1983. Avian and Vegetation Community Structure and

Their Seasonal Relationship in the Lower Colorado River Valley. Condor 85:392-405.

Barlow J., Mestrec L.A.M., Gardnera T.A., Peresa C.A. 2007. The Value of Primary, Secondary

and Plantation Forests for Amazonian Birds. Biological Conservation 136:212-231.

Chettri N., Deb D.C., Sharma E., Jackson R. 2005. The Relationship between Bird Communities

and Habitat: A Study Along a Trekking Corridor in the Sikkim, Himalaya. Mountain

Research and Development 25:235-243.

Oemi Hani’in, Soekotjo, Tri setiyo, Sukirno dan Pardiyan, (1982). Rencana Pemekaran

Wanagama I (Master Plan) Sebagai Pusat Pendidikan Latihan Dan Penyuluhan Perhutanan.Wanagama I Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Prawiradilaga, D. M. 1990. Potensi Burung Dalam Pengendalian Populasi Serangga Hama. Media Konservasi Vol.III,hal. 1-7. IPB, Bogor

Sodhi N.S., Koh LP, Prawiradilaga D.M., Darjono, Tinulele I, Putra D.D., Tan T.H.T. 2005.

Land Use and Conservation Value for Forest Birds in Central Sulawesi (Indonesia).

(8)

LAMPIRAN

Tabel 1. Daftar Jumlah Jenis Satwa Burung di Hutan Wanagama I

No Nama Lokal Nama Ilmiah Familia Jumlah ID Burung

1 Cucak Kutilang Pycnonotus aurigaster Pycnonotidae 55 0.255118

2 Walet Linchi Collocalia linchi Apodidae 49 0.239699

3 Cabai jawa Dicaeum trochileum Dicaeidae 42 0.219655

4 Burung madu sriganti Cinnyris jugularis Nectariniidae 33 0.190038

5 cekakak sungai Halcyon chloris Alcedinidae 29 0.175221

6 Cinenen Kelabu Orthotomus ruficeps Sylviidae 27 0.167368

7 Wiwik kelabu Cacomantis merulinus Cuculidae 23 0.15066

8 Kacamata Biasa Zosterops palpebrosus Zosteropidae 20 0.137139 9 Elang ular bido Spilornis cheela Accipitridae 16 0.11754

10 Perenjak jawa Prinia familiaris Sylviidae 16 0.11754

11 Sepah hutan Pericrocotus cinnamomeus Campephagidae 14 0.106948

12 Cipoh kacat Aegithia tiphia Aegithinidae 13 0.101421

13 Cinenen pisang Orthotomus sutorius Sylviidae 12 0.095726

14 Ayam Hutan Hijau Gallus varius Phasianidae 11 0.089848

15 Merbah cerucuk Pycnonotus goiavier Pycnonotidae 11 0.089848 16 Cekakak jawa Halcyon cyanoventris Alcedinidae 9 0.077472 17 Bubut alang-alang Centropus bengalensis Cuculidae 8 0.070931

18 Bubut Besar Centropus sinensis Cuculidae 8 0.070931

19 Tekukur biasa Streptopelia chinensis Columbidae 8 0.070931

20 Perenjak coklat Prinia polychroa Sylviidae 7 0.064114

21 Gagak hutan Corvus enca Corvidae 6 0.056983

22 Pijantung kecil Arachnothera longirostra Nectarinidae 6 0.049485 23 Srigunting hitam Dicrurus macrocercus Dicruridae 5 0.049485 24 Kerak Kerbau Acridotheres javanicus Sturnidae 4 0.041546 25 Kirik-kirik senja Merops leschenaultia Meropidae 4 0.041546 26 Sepah kecil Pericrocotus flammeus Campephagidae 3 0.033052

27 Sikatan ninon Eumyias indigo Muscicapidae 3 0.033052

28 Bondol Jawa Lonchura leucogastroides Estrildinidae 2 0.023813

29 Cici Padi Cisticola juncidis Sylviidae 2 0.023813

30 Kekep babi Artamus leucorhynchus Artamidae 2 0.023813

31 Wiwik Lurik Cacomantis sonneratii Cuculidae 2 0.023813

32 Dederuk Jawa Streptopelia bitorquata Columbidae 1 0.013427 33 Kepudang kuduk hitam Oriolus chinensis Oriolidae 1 0.013427 34 Layang-layang api Hirundo rustica Hirundinidae 1 0.013427 35 Layang-layang batu Hirundo tahitica Hirundinidae 1 0.013427

36 Perkutut Jawa Geopelia striata Columbidae 1 0.013427

37 Wiwik uncuing Cacomantis sepulcralis Cuculidae 1 0.013427

(9)

Tabel 2. Tabel Kebiasaan Hidup Satwa Burung Berdasarkan Famili di Hutan Wanagama I

Famili Kebiasaan Hidup

Accipitridae terbang melingkar di atas hutan, perkebunan, bertengger di dahan besar yang teduh sambil mengamati permukaan tanah di bawahnya.

Aegithinidae di sekitar taman, mangrove, lahan terbuka, hutan sekunder, di percabangan pohon, suka bersembunyi.

Alcedinidae daerah terbuka, pantai, kebun, kota bertengger pada batu dan pohon.

Apodidae dimana-mana, semua tipe hutan, lahan pertanian, membuat sarang dari lumut, rumput dan nabati, di mulut gua, rekahan batu atau bangunan.

Artamidae bertengger di pohon kering, cemara, kabel, tiang, berburu serangga, di atas air, melayang, bersarang di cabang pohon.

Campephagidae lahan terbuka, mangrove, lahan tani, desa, mencari pakan di puncak, berkelompok.

Columbidae lahan terbuka, desa dekat hutan, mangrove, pohon kecil, mencari pakan di permukaan tanah, berkelompok.

Corvidae berpasangan, di pinggir hutan, pemalu.

Cuculidae di tepi hutan, belukar sekunder, semak tepi sungai, mangrove, hinggap di atas tanah, vegetasi rapat.

Dicaeidae di pekarangan, daerah terbuka, kota, pantai, mangrove, pakan rumput dan buah benalu.

Dicruridae di tempat terbuka, hinggap dan duduk di pohon kecil dan kabel.

Estrildinidae pertanian, rumput alami, berkelompok, makan di atas tanah, memetik biji dari bulir rumput, menelisik di pohon besar.

Hirundinidae berkelompok kecil, melayang, sarang menempel pada langit-langit ataupun bergantung pada batuan.

Meropidae berkelompok, di tempat terbuka, bersarang di lubang tanah.

Muscicapidae di hutan gelap pegunungan, bertengger rendah, dekat tanah, berkelompok.

Nectarinidae bersembunyi, di rimbunan pohon, hutan sekunder, kebun, pekarangan, pakan nektar pisang dan jahe-jahean.

Oriolidae pendiam, aktif di tajuk, berkelompok.

Phasianidae di lahan berumput terbuka, jarang hutan lebat, makan dekat ternak, serangga.

Pycnonotidae aktif, ribut, berbaur dengan cucak lain, di pohon terbuka, habitat bersemak, pinggir hutan, tumbuhan sekunder, taman, pekarangan, kota.

Sturnidae berkelompok, makan di atas tanah, lapangan rumput, sawah, hinggap di atas kerbau atau sapi ternak.

Sylviidae di hutan terbuka, pinggir hutan, mangrove, bersembunyi, di semak, pantai, kebun, tumbuhan sekunder, rumpun bambu, lantai dan puncak pohon.

(10)

Grafik 1. Coplot Kepadatan Tiang (0-5%)

Grafik 2. Coplot Kepadatan Belukar (50-65%)

0 .0 0 .5 1 .0 1 .5 2 .0 0 20 40 60 80 0 20 40 60 80 0 20 40 60 80 0 .0 0 .5 1 .0 1 .5 2 .0 Pden id b u r 0 20 40 60 Given : Pden 0 .0 0 .5 1 .0 1 .5 2 .0 0 20 60 100 0 20 60 100 0 20 60 100 0 .0 0 .5 1 .0 1 .5 2 .0 Sden id b u r 0 20 40 60 80 100 120 Given : Sden

(11)

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN FISIK TERHADAP KEANEKARAGAMAN JENIS HERPETOFAUNA DI HUTAN WANAGAMA I, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA

ZAIDIL FIRZA* 09/285558/KT/06585

FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS GADJAH MADA Jl. Agro No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281

2012

INTISARI

Keberadaan herpetofauna penting bagi ekosistem, karena herpetofauna menempati posisi rantai makanan yang paling bawah. Lokasi penelitian herpetofauna di Pulau Jawa saat ini banyak dilakukan di kawasan konservasi Jawa Barat Hal ini dikarenakan peneliti lebih suka meneliti herpetofauna di daerah yang lembab dan basah, seperti Jawa Barat. Wilayah Jawa Timur, dan Jawa Tengah masih sangat minim dilakukan penelitian herpetofauna. Hutan Pendidikan Wanagama I, Gunung Kidul, Yogyakarta merupakan salah satu kawasan hutan dengan kondisi kering.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi ilmiah mengenai pengaruh faktor lingkungan fisik terhadap keanekaragaman jenis herpetofauna di hutan Wanagama I. Metode pengambilan data yang digunakan adalah metode line transect sebanyak 15 line transect dengan jarak antar transect sejauh 50 m dan dibagi menjadi 5 segmen setiap line-nya. Data lingkungan fisik diambil di tiap titik segmen pengamatan. Data dianalisis dengan analisis regresi data tidak normal (generalized linear model) dengan menggunakan software R.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh signifikan faktor lingkungan fisik terhadap keanekaragaman herpetofauna, yakni pada variabel jarak dari sumber air (negatif) dan ketebalan seresah (positif). Keanekaragaman jenis herpetofauna merupakan salah satu variabel yang berguna bagi tujuan manajemen dalam konservasi.

Katakunci: keanekaragaman jenis, herpetofauna, faktor lingkungan fisik, Wanagama I

(12)

I. PENDAHULUAN

Penelitian satwa liar khususnya mengenai herpetofauna di Indonesia masih sangat sedikit dibandingkan negara-negara lain (Kusrini, 2009). Hal ini dapat dilihat dari literatur dan hasil penelitian tentang herpetofauna di Indonesia yang masih jarang ditemui. Disamping itu, dari tahun ke tahun laju kerusakan hutan di Indonesia semakin tidak terkendali, hal ini berdampak pada habitat herpetofauna yang semakin berkurang. Herpetofauna merupakan salah satu satwa liar yang sangat rentan terhadap perubahan suhu, terutama dari kelas Amfibi (Iskandar, 2000). Hal ini disebabkan karena herpetofauna merupakan hewan berdarah dingin sehingga memerlukan suhu lingkungan yang stabil. Begitu pula dengan faktor lingkungan lainnya, beberapa jenis herpetofauna membutuhkan lingkungan yang khusus sebagai habitatnya.

Pulau Jawa secara biologis merupakan salah satu pulau yang sangat kaya di dunia. Sejak abad ke-19 Pulau Jawa telah menarik perhatian ahli biologi sehingga fauna Jawa sudah cukup dikenal pada abad ke-20. Kenyataan ini juga berlaku bagi herpetofauna dan vertebrata lainnya yang ada di Jawa. Pada tahun 1923 P. N. Van Kampen menerbitkan bukunya The Amphibia of The Indo-Australian Archipelago, yang kemudian selama bertahun-tahun dijadikan sebagai acuan utama dalam pengkajian amfibi, khususnya yang ada di Jawa, yang selama 100 tahun sebelumnya sudah mendapat banyak perhatian. Antara tahun 1923 dan 1990 hampir tidak ada penelitian yang dilakukan terhadap amfibi dan reptil di Jawa, seolah-olah semua hal yang menarik tentang reptil dan amfibi Jawa sudah diketahui (Iskandar, 2000).

Lokasi penelitian herpetofauna di Pulau Jawa saat ini banyak dilakukan di kawasan konservasi Jawa Barat (Kusrini, 2003). Hal ini dikarenakan peneliti lebih suka meneliti herpetofauna di daerah yang lembab dan basah, seperti Jawa Barat. Wilayah Jawa Timur, dan Jawa Tengah masih sangat minim dilakukan penelitian herpetofauna. Kondisi iklim yang kering menyebabkan prioritas atau minat peneliti rendah untuk melakukan penelitian herpetofauna di daerah tersebut.

Hutan Pendidikan Wanagama I, Gunung Kidul, Yogyakarta merupakan salah satu kawasan hutan dengan kondisi kering. Tidak banyak penelitian mengenai herpetofauna yang dilakukan dilokasi ini. Keberadaan herpetofauna penting bagi ekosistem, karena herpetofauna menempati posisi rantai makanan yang paling bawah. Apabila herpetofauna hilang dari ekosistem atau jumlahnya yang tidak seimbang dengan predatornya, maka rantai makanan yang semakin keatas akan tidak seimbang, oleh karena itu penting dilakukan penelitian mengenai keanekaragaman jenis herpetofauna di Hutan Pendidikan Wanagama I.

(13)

Keanekaragaman jenis merupakan salah satu variabel yang berguna bagi tujuan manajemen dalam konservasi. Perubahan dalam kekayaan jenis dapat digunakan sebagai dasar dalam memprediksi dan mengevaluasi respon komunitas tersebut terhadap kegiatan manajemen (Nichols et al. 1998). Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian tentang pengaruh faktor lingkungan fisik terhadap keanekaragaman jenis herpetofauna di Hutan Wanagama I perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi ilmiah tentang pengaruh tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bagian dan bahan masukan dalam mengembangkan program pelestarian herpetofuana dan kawasan Hutan Wanagama I pada umumnya secara komprehensif.

II. BAHAN DAN METODE

2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Hutan Pendidikan Wanagama I yang meliputi petak 5, 6, 7, 13, dan 16 serta dilaksanakan pada 17 Desember 2011.

2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : 1. Data satwa herpetofauna, dan

2. data lingkungan fisik (meliputi suhu, kelembaban, kelerengan, JSA, penutupan seresah, tebal seresah, penutupan batuan, dan penutupan batang mati).

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : 1. Faktor lingkungan fisik, dan

2. nilai indeks keanekaragaman jenis herpetofauna.

2.3. Metode

2.3.1. Data Herpetofauna

Metode yang digunakan adalah metode garis transek (transect line). Metode ini digunakan untuk mengetahui jenis-jenis herpetofauna yang terdapat di Hutan Pendidikan Wanagama I. Garis transek pertama berjarak 10 m dari sumber air (sungai) dengan lebar 20 m dan panjang minimal 250 m yang kemudian dibagi menjadi 5 segmen dengan panjang 50 m. Jumlah garis transek yang dibuat sebanyak 15 (3 transek di tiap 1 petak) dengan jarak antar transek 50 m.

(14)

50 m

50 m

10 m Sungai

Gambar 1. Contoh Transek Garis

Pada masing-masing segmen sepanjang garis transek dilakukan penyisiran kawasan. Herpetofauna yang ditemukan, ditangkap kemudian dimasukkan ke dalam wadah. Herpetofauna yang tidak dapat ditangkap, maka akan difoto dan atau dideskripsikan serinci mungkin. Deskripsi tersebut berupa: warna, bentuk tubuh, ukuran (panjang tubuh), bentuk kepala, bentuk sisik (tekstur), motif yang terdapat pada tubuh, dan cara gerak. Pendeskripsian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi jenis amfibi dan reptil yang terdapat di Hutan Wanagama I. Selain itu juga dicatat waktu, tempat, dan aktivitas serta cuaca saat hewan tersebut ditemukan.

2.3.2 Faktor Lingkungan Fisik

Faktor-faktor lingkungan yang menjadi perhatian adalah suhu, kelembaban, kelerengan, JSA (sungai), penutupan seresah, tebal seresah, penutupan batuan, dan penutupan batang mati. Pengukuran dilakukan pada tiap plot pengamatan yang dibuat. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan dengan menggunakan termohigrometer, kelerengan dengan clinometer, dan jarak dari sungai dengan rol meter.

(15)

2.4. Metode Analisis Data

1. Untuk mengetahui keanekaragaman jenis herpetofauna digunakan indeks keanekaragaman Shannon.

Keterangan:

H’= Indeks Diversitas Shannon ni = Jumlah individu spesies ke-i n = Jumlah individu semua spesies ln = logaritma alami

Penghitungan indeks keanekaragaman herpetofauna dilakukan dalam skala segmen plot, sehingga diperoleh 75 data indeks keanekaragaman herpetofauna.

2. Untuk mengetahui pengaruh faktor lingkungan fisik terhadap keanekaragaman jenis herpetofauna, data diolah dengan menggunakan software R, dengan pengujian model generalized linear model (pengaruh - data tidak normal).

(16)

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian yang dilakukan di Hutan Pendidikan Wanagama I tepatnya di petak 5, 6, 7, 13, dan 16 diperoleh hasil bahwa masing-masing petak yang diteliti memiliki perbedaan fisik. Faktor lingkungan fisik yang diteliti dalam hal ini meliputi suhu, kelembaban, kelerengan, JSA (sungai), penutupan seresah, tebal seresah, penutupan batuan, dan penutupan batang mati. Dari hasil analisis

generalized linear model diperoleh nilai bahwa faktor lingkungan fisik berpengaruh secara

signifikan. Namun tidak semua faktor lingkungan fisik dapat berpengaruh secara signifikan terhadap keanekaragaman jenis herpetofauna. Faktor lingkungan fisik yang berpengaruh secara signifikan adalah jarak dari sumber air dan ketebalan seresah. Hasil analisis pengaruh faktor lingkungan fisik yang memiliki pengaruh paling besar terhadap kepadatan herpetofauna dapat dibaca pada tabel berikut.

Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)

(Intercept) 0.224196 0.053196 4.215 7.16e-05 ***

JSA -0.00254 0.000439 -5.788 1.72e-07 ***

Tser 0.080679 0.027849 2.897 0.00499 **

Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1 AIC: -11.778

Tabel 1. Tabel Analisis Statistik

Dari tabel tersebut, faktor lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis herpetofauna, antara lain:

1. Jarak dri sumber air –signifikan (***) ke arah negatif, dan 2. ketebalan seresah – signifikan (**) ke arah positif.

Dari tabel tersebut juga dapat diketahui persamaan liniernya yaitu:

Keterangan:

Y = Nilai indeks keanekaragaman herpetofauna X1 = Jarak dari sumber air

X2 = Ketebalan seresah

(17)

Dengan kata lain, semakin dekat dengan sumber air, semakin tinggi keanekaragaman jenis herpetofauna, dan semakin tebal seresah maka akan semakin tinggi pula keanekaragaman jenis herpetofauna. Hal ini sesuai dengan teori yang diacu pada literatur mengenai ketergantungan herpetofauna terhadap komponen akuatik (JSA, suhu, dan kelembaban). Satwa liar membutuhkan air dalam berbagai proses kehidupannya, yaitu pencernaan dan metabolisme, utnuk pendinginan dan lain-lain. Herpetofauna sendiri merupakan hewan yang ketergantungannya tinggi terhadap air, beberapa jenis amphibi membutuhkan air dalam proses perkembangbiakannya untuk menempatkan telur-telurnya (Kusrini, 2009). Herpetofauna merupakan salah satu satwa liar yang sangat rentan terhadap perubahan suhu, terutama dari kelas Amfibi (Iskandar, 2000). Hal ini disebabkan karena herpetofauna merupakan hewan berdarah dingin sehingga memerlukan suhu lingkungan yang stabil. Namun, tidak semua komponen akuatik berpengaruh signifikan, seperti suhu dan kelembaban. Hal ini dikarenakan penelitian dilakukan pada musim penghujan, dimana suhu dan kelembaban tidak memiliki perbedaan yang signifikan di tiap titik pengamatan, diharapkan adanya penelitian serupa tentang pengaruh faktor lingkungan fisik terhadap keanekaragaman jenis herpetofauna di musim kemarau.

Untuk ketebalan seresah juga sesuai dengan teori yang terdapat di dalam literature yang diacu. Dari penelitian oleh Doyle L. Crosswhite, Stanley F. Fox, dan Ronald E. Thill tahun 2004, didapatkan bahwa keberadaan herpetofauna berkorelasi positif dengan penutupan serasah, penutupan kanopi, dan kedalaman serasah. Herpetofauna yang dijumpai di lapangan memilih tempat-tempat terbuka pada saat berjemur dan membutuhkan tempat persembunyian dari panasnya suhu lingkungan di bawah-bawah batuan dan seresah. Herpetofauna di hutan lebih banyak bergerak dan melakukan aktifitasnya di bagian bawah tegakan atau understorey.

Komposisi reptil terkait dengan perkembangan lapisan understorey dan overstorey serta keberadaan batang kayu yang mati, tutupan batuan dan kelimpahan mangsa. Banyak karakteristik habitat yang mempengaruhi komposisi komunitas herpetofauna yang pada akhirnya tergantung pada usia hutan dan derajat gangguan (Doyle et al, 2004). Namun, untuk faktor keberadaan batang kayu mati dan penutupan batuan tidak berpengaruh signifikan di penelitian ini, dikarenakan intensitasnya yang rendah di lapangan, sehingga perbedaannya tidak begitu signifikan di lapangan.

Berdasarkan grafik coplot, signifikansi terbesar JSA tersebar pada rentang 0 – 5 % (lihat Grafik 1 pada lampiran), sedangkan untuk signifikansi terbesar ketebalan seresah tersebar pada rentang 0,5 – 1 cm (lihat Grafik 2 pada lampiran). Pada angka-angka ini kita bisa mengoptimalkan pengaruhnya terhadap keanekaragaman jenis herpetofauna, melalui upaya-upaya mempertahankan nilai kepadatan pada nilai rentang tersebut, baik secara silvikultur, konservasi, ataupun mekanis.

(18)

VII. KESIMPULAN

Dari penelitian diketahui bahwa faktor lingkungan fisik berpengaruh signifikan terhadap keanekargaman jenis herpetofauna, yakni:

1. Sangat signifikan, pada JSA (ke arah negatif, dalam rentang 0 – 5 %),

2. Sangat signifikan, pada ketebalan seresah (ke arah positif, rentang 0,5 – 1 cm), dan 3. tidak berpengaruh signifikan, pada suhu, kelembaban, kelerengan, penutupan batuan,

dan penutupan batang kayu mati.

VIII. DAFTAR PUSTAKA

Doyle, L. Crosswhite, Stanley F. Fox, dan Ronald E. Thill. 2004. Herpetological Habitat

Relations in the Ouachita Mountains, Arkansas. United States Department of

Agriculture, Forest Service. USA

Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali–Seri Panduan Lapangan. Puslitbang LIPI, Bogor.

Kusrini MD. 2003. Predicting the impact of the frog leg trade in Indonesia: An ecological view of the indonesian frog leg trade, emphasizing javanese edible frog species. Dalam : MD Kusrini, A Mardiastuti dan T Harvey 2003. Konservasi Amfibi dan

Reptil di Indonesia. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Hal. 27-44.

Kusrini, M. D. 2003. Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. Departemen KSDH Fakultas Kehutanan IPB. Bogor

Kusrini, M. D. 2009. Pedoman Penelitian dan Survey Amphibi di Alam. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor

(19)

LAMPIRAN

Tabel 2. Daftar Jenis Herpetofauna Di Hutan Wanagama I

Petak Herpetofauna nama lokal

5 Microphyla palmipes Katak

6

Mabuya multifasciata kadal kebun

Varanus albigularis Biawak

Bronchocela jubata Bunglon

Cyrtodactylus marmoratus cicak batu

Bufo melanostictus Kodok sawah

7

Cyrtodactylus marmoratus Cicak batu

Microhyla achatina Percil Jawa

Mabuya multifasciata kadal kebun

Bufo melanostictus Kodok sawah

13

Bufo melanostictus Kodok sawah

Mabuya multifasciata Kadal kebun

Microhyla achatina Percil Jawa

Draco volans Linnaeus Kadal pohon terbang

Cyrtodactylus marmoratus Cicak batu

16

Bufo melacnostictus Kodok sawah

Draco volans Linnaeus Kadal pohon terbang

Bufo melanosticus Kodok sawah

Mabuya multifasciata Kadal Kebun

Cyrtodactylus marmoratus Cicak batu

(20)

Grafik 1. Coplot Jarak dari Sumber Air (0 - 5%)

Grafik 2. Coplot Ketebalan Seresah (0,5 - 1 cm)

0 .0 0 .4 0 .8 50 100 150 50 100 150 50 100 150 0 .0 0 .4 0 .8 JSA id h e r 50 100 150 Given : JSA 0 .0 0 .4 0 .8 0 1 2 3 4 5 0 1 2 3 4 5 0 1 2 3 4 5 0 .0 0 .4 0 .8 Tser id h e r 1 2 3 4 5 Given : Tser

(21)

IDENTIFIKASI LUASAN DAERAH JELAJAH RUSA JAWA (Cervus timorensis russa) BERDASARKAN TANDA-TANDA KEHADIRAN MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI HUTAN WANAGAMA I, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA

ZAIDIL FIRZA* 09/285558/KT/06585

FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS GADJAH MADA Jl. Agro No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281

2012

INTISARI

Keberadaan Rusa Jawa di Hutan Wanagama I yang hidup dan berkembang secara alami, dapat dimanfaatkan sebagai salah satu upaya untuk melestarikan Rusa Jawa. Keadaan habitat dan kondisi yang ada di Hutan Wanagama I sangat mendukung bagi pertumbuhan Rusa Jawa dan dapat digunakan sebagai contoh pengelolaan satwa pada habitat alami.

Semakin menurunnya populasi Rusa Jawa mungkin diakibatkan berbagai faktor. Dari seluruh faktor yang mempengaruhi populasi Rusa Jawa, yang menjadi perhatian utama penelitian ini adalah keterbatasan daerah jelajah Rusa Jawa di Hutan Wanagama I. Luas daerah jelajah Rusa Jawa dapat diketahui dengan menggunakan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan aplikasi sistem informasi geografis (SIG).

Dari hasil penelitian, diperoleh luasan daerah jelajah Rusa Jawa berdasarkan tanda-tanda kehadiran di Hutan Wanagama I sebesar 39,13 ha. Terdapat 2 poligon terpisah yang berada di petak 16 (2,5036 ha) dan tersebar di petak 5, 6, dan 7 (36,6290 ha).

Kata kunci: daerah jelajah rusa jawa, Wanagama I, sistem informasi geografis

(22)

I. PENDAHULUAN

Satwa liar merupakan sumber kekayaan alam yang sangat bermanfaat bagi manusia. Diantara banyak satwa yang dilindungi di Indonesia, terdapat Rusa Jawa (Cervus timorensis Mull & Schl.). Rusa Jawa dan kebanyakan jenis rusa yang ada di Indonesia sudah lama menjadi obyek yang diburu, akibatnya keberadaan rusa menjadi terdesak oleh manusia, sehingga populasi rusa kini menurun dan daerah penyebarannya terbatas.

Keberadaan Rusa Jawa di Hutan Wanagama I yang hidup dan berkembang secara alami, dapat dimanfaatkan sebagai salah satu upaya untuk melestarikan Rusa Jawa. Keadaan habitat dan kondisi yang ada di Hutan Wanagama I sangat mendukung bagi pertumbuhan Rusa Jawa dan dapat digunakan sebagai contoh pengelolaan satwa pada habitat alami (Purnomo, 2003).Di Hutan Pendidikan Wanagama I terdapat 37 ekor rusa (Cervus timorensis) yang berkembang secara alami dan masih bersifat liar (Purnomo, 2003).

Semakin menurunnya populasi Rusa Jawa mungkin diakibatkan berbagai faktor. Meijard

et al. (2001) menjelaskan satwa liar memiliki persyaratan yang cukup rumit untuk dapat bertahan

hidup, terutama mengenai habitat dan daerah jelajahnya yang umumnya terbatas. Lebih rinci dijelaskan bahwa tekanan langsung terhadap populasi satwa liar, yaitu perburuan dan penangkapan ilegal. Tekanan terhadap satwa liar berupa kehilangan, kerusakan dan fragmentasi habitat, yang sangat mempengaruhi kehidupan dan kemampuan untuk melakukan reproduksi, yang akhirnya akan menurunkan populasi satwa liar di alam. Di luar tekanan langsung tersebut, juga terdapat tekanan lainnya yang mengancam kehidupan satwa liar, seperti konflik dan perubahan tata guna lahan, lemahnya kerangka hukum dan penegakannya, dan berbagai kelemahan kelembagaan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.

Dari seluruh faktor yang mempengaruhi populasi satwa liar di atas, yang menjadi perhatian utama penelitian ini adalah keterbatasan daerah jelajah Rusa Jawa di Hutan Wanagama I. Daerah jelajah adalah suatu paham abstrak yang menyatakan jumlah luasan gerakan pindah suatu hewan selama masa tertentu (Galdikas, 1986). Luas daerah jelajah Rusa Jawa dapat diketahui dengan menggunakan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan aplikasi sistem informasi geografis (SIG). Sistem informasi geografis meupakan suatu teknologi baru yan saat ini menjadi alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial (Prahasta, 2005). Untuk mengidentifikasi luas daerah jelajah Rusa Jawa (Cervus timorensis

russa) digunakan software sistem informasi geografis ArcGIS, berdasarkan tanda-tanda kehadiran

(23)

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh luas wilayah jelajah Rusa Jawa yang terdapat di kawasan Hutan Wanagama I. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian dalam melakukan upaya konservasi Rusa Jawa, khususnya di kawasan Hutan Wanagama I.

II. BAHAN DAN METODE

2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Hutan Pendidikan Wanagama I yang meliputi petak 5, 6, 7, 13, dan 16 serta dilaksanakan pada 3, 4, 17, dan 18 Desember 2011.

2.2. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium SISPH (data sekunder) dan data pengamatan di lapangan (data primer) yang di input secara manual menggunakan software ArcGIS (Tabel 1). Data primer diperoleh dari survei lapangan, yang telah dikumpulkan dalam satu tallysheet dan data-data bookmark GPS.

Data Skala Sumber

Peta Batas Wanagama I 1:50.000 Lab. SISPH Bag. Manajemen Hutan FKT UGM Peta Kelerengan WG I 1:50.000 Lab. SISPH Bag. Manajemen Hutan FKT UGM Data Pengamatan di Lapangan Pengamatan di lapangan, dengan input data manual.

Tabel 1. Daftar data dan sumber perolehan data.

2.3. Pencarian Tanda-tanda Kehadiran Rusa Jawa

Pencarian dilakukan dengan menelusuri kawasan-kawasan berkemungkinan menjadi sumber pakan yang diperkirakan adanya kehadiran rusa di tempat tersebut. Data posisi tanda-tanda kehadiran rusa direkam menggunakan global positioning system (GPS).

(24)

2.4. Metode

Tahap-tahap dalam pembuatan peta, yaitu:

1. Overlaying (tumpang susun) peta batas dan peta kelerengan Wanagama I, 2. digitasi dan input data primer secara manual menggunakan software ArcGIS, 3. layouting/finishing peta hasil olahan analis SIG, dan

4. gunakan Geometry Calculator untuk menghitung luasan wilayah jelajah.

Gambar 1. Contoh Metode Overlaying

2.5. Analisis Data Luasan Daerah Jelajah

Data posisi tanda-tanda kehadiran rusa dikumpulkan dari hasil pengamatan di lapangan, yang kemudian data di input ke peta yang sudah dioverlay sebelumnya dalam bentuk multi

point. Kemudian dibuat polygon dari titik-titik ditemukannya tanda-tanda kehadiran rusa,

yang luasannya dapat kita hitung menggunakan fitur Geometry Calculator yang ada pada

software ArcGIS.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan tanda-tanda kehadiran rusa dilakukan selama 4 hari, yaitu pada tanggal 3, 4, 17, dan 18 Desember 2011, yang dilaksanakan di kawasan Hutan Pendidikan Wanagama I. Pengamatan dimulai dari pukul 07.30 – 16.00 setiap hari selama 4 hari pengamatan. Dari hasil penelitian, diperoleh luasan daerah jelajah Rusa Jawa berdasarkan tanda-tanda kehadiran di lapangan sebesar 39,13 ha. Terdapat 2 poligon terpisah yang berada di petak 16 (2,5036 ha) dan tersebar di petak 5, 6, dan 7 (36,6290 ha).

(25)

Gambar 2. Daerah Jelajah Rusa Jawa Berdasarkan Tanda-tanda Kehadiran

Menurut Alikodra (1990), daerah jelajah ideal untuk satu individu Rusa Jawa adalah 1 ha. Jika dapat diestimasi secara kasar, kemungkinan terdapat 39 individu Rusa Jawa di dalam luasan 39,13 ha ini. Namun, dalam penelitian terkini (2011) dalam kegiatan praktikum riset dan manajemen satwa liar di Wanagama I, berdasarkan analisis pakan rusa di petak 5,6,7,13, dan 16, diperoleh nilai estimasi populasi individu Rusa Jawa sebesar 21 individu (shift 2). Jika kita mengacu kembali ke angka ideal 1 ha untuk 1 individu rusa, dapat dikatakan bahwa Wanagama I mempunyai daya dukung yang lebih (layak) untuk menampung populasi rusa tersebut, sehingga kemungkinan terjasinya overlap daerah menjadi minim.

Daerah jelajah satwa liar dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ketersediaan pakan yang merupakan hal yang paling menentukan ukuran daerah jelajah satwa liar (Mapple, 1980). Selain makanan, daerah jelajah satwa liar juga dipengaruhi oleh perilaku sosial (Parsons, 1999). Terkadang daerah jelajah satu individu tumpang tindih dengan daerah jelajah individu lainnya.

(26)

Hasil penelitian ini tidak sepenuhnya menggambarkan daerah jelajah Rusa Jawa di Wanagama I secara keseluruhan, sebagaimana yang kita ketahui, bahwa penelitian hanya dilakukan di beberapa petak (petak 5, 6, 7, 13, dan 16), tidak secara keseluruhan. Namun, hasil penelitian ini juga dapat menjadi pertimbangan dalam upaya konservasi Rusa Jawa, khususnya di dalam kawasan beberapa petak tersebut. Diharapkan adanya penelitian lanjutan yang serupa, yang mampu menghasilkan data yang paling representatif untuk keseluruhan Hutan Wanagama I.

IV. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian di petak 5, 6, 7, 13, dan 16 Hutan Pendidikan Wanagama I, diperoleh estimasi luasan daerah jelajah Rusa Jawa seluas 39,13 ha.

(27)

V. DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H. S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Galdikas, B. M. F. 1986. Adaptasi Orangutan di Suaka Tanjung Puting Kalimantan Tengah. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Mapple, T. 1980. Orangutan Behavior. Van Nostrand Reinhold Ltd. New York, USA.

Meijard, E., H. D. Rijksen, dan S. N Kartika Sari. 2001. Di Ambang Kepunahan: Kondisi

Orangutan Liar dari Awal Abad ke-21. The Gibbon Foundation. Jakarta.

Parsons, S. 1999. Adult Male Orangutan Ranging Behaviours in Gunung palung National

Park, West Kalimantan, Indonesia. Department of Anthropology University of Calgary.

University of Calgary. Canada.

Prahasta, E. 2005. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Informatika. Bandung.

Purnomo, D. W. 2003. Studi Jenis pakan dan Tingkat Kesukaannya pada Rusa Jawa (Cervus

timorensis Mull. & Schl.) di Wanagama I Gunung Kidul. Skripsi. Fakultas Kehutanan.

(28)

LAMPIRAN

Petak Tanda Koord. UTM (Zone, E, S) Total

Onggokan Keterangan

5

Feses 49 M 447376 9125579

7 Dalam 1 titik, terdapat beberapa onggokan.

Feses 49 M 447561 9125567 Feses 49 M 447355 9125653

6

Feses 49 M 447394 9125998

9 Dalam 1 titik, terdapat beberapa onggokan. Feses 49 M 447390 9126014 Feses 49 M 447206 9125833 Feses 49 M 446948 9126002 7 Feses 49 M 447184 9126433

30 Dalam 1 titik, terdapat beberapa onggokan.

Feses 49 M 447674 9126217 Feses 49 M 447541 9126513 Feses 49 M 447612 9126337 Feses 49 M 447574 9126274

13 Tidak Ada - 0 Tidak ditemukan tanda-tanda

kehadiran Rusa Jawa.

16

Jejak 49 M 449550 9127238

0 Ditemukan beberapa jejak, dalam dua plot pellet count. Jejak 49 M 449551 9127210 Jejak 49 M 449455 9127205 Jejak 49 M 449450 9127225 Jejak 49 M 449827 9127248 Jejak 49 M 449842 9127266 Jejak 49 M 449864 9127172 Jejak 49 M 449863 9127167

(29)

Gambar

Gambar 2.Density Board dan Protocol Count
Tabel 1. Tabel Analisis Statistik
Tabel 1. Daftar Jumlah Jenis Satwa Burung di Hutan Wanagama I
Tabel 2. Tabel Kebiasaan Hidup Satwa Burung Berdasarkan Famili di Hutan Wanagama I
+7

Referensi

Dokumen terkait

sebesar 0,6813 mg/dl, sedangkan pada kelompok kontrol mengalami selisih penurunan rerata kadar asam urat antara observasi pertama dan kedua yang tidak diberikan

?ntuk menganalisis energi is energi ferm fermi i pada pada binta bintang ng neutr neutron on diguna digunakan kan stati statistik  stik  fermi dirac. Dimana pada

Menurut Ganley (2008) beberapa faktor yang membuat korban bertahan dalam KDRT meliputi adanya perasaan takut kepada pelaku, bertahan agar tetap bersama anak, adanya

Tegangan kedip yang terjadi tidak mempengaruhi dari kegagalan kinerja peralatan operasional yang ada pada gardu induk karena tegangan kedip yang terjadi masig disekitar batas

Pemberdayaan Serikat Petani Indonesia (SPI) Wilayah Kediri, Melalui. Pembuatan

Abstrak Paper dan Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik 5.. Alen Y, Putri D, Damris M, Putri SFR, Dwithania M,

Tingkat kehilangan air ini dipengaruhi oleh tingkat NRW (Air Tidak Berekening) PDAM Kabupaten Barru pada tahun 2020 berada pada besaran yang masih tinggi yaitu 43.6%

Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antara tingkat ketersediaan air dengan genotipe kacang tanah terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar dan