• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Penilaian Otentik Dalam Konteks Penilaian Karakter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Penilaian Otentik Dalam Konteks Penilaian Karakter"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS KELOMPOK

TUGAS KELOMPOK

CARACTER BUILDING

CARACTER BUILDING

PENILAIAN OTENTIK DALAM KONTEKS PENILAIAN KARAKTER

PENILAIAN OTENTIK DALAM KONTEKS PENILAIAN KARAKTER

DOSEN PEMBIMBING : VINA NOVITA,SST, M. Kes DOSEN PEMBIMBING : VINA NOVITA,SST, M. Kes

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 7 : DI SUSUN OLEH KELOMPOK 7 :

VITRI MAYA SARI BANGUN VITRI MAYA SARI BANGUN

SUSI SUSANTI SUSI SUSANTI ROLY ROLY PITRIANI PITRIANI  NENI HASNITA  NENI HASNITA YETTI OKTAVIANI YETTI OKTAVIANI WINDA ARBAINI WINDA ARBAINI RINA DESHERYANI RINA DESHERYANI

PROGRAM STUDI D IV KEBIDANAN

PROGRAM STUDI D IV KEBIDANAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

TRI

TRI MANDIRI

MANDIRI SAKTI

SAKTI BENGKULU

BENGKULU

TAHUN AJARAN 2017/2018

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas penyertaannya penulis dapat mennyelesaikan tugas dari dosen Mata Kuliah Caracter Building dengan judul Penilaian Otentik Dalam Konteks Penilaian Karakter.

Dalam pembuatan tugas ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan dalam  penyajiannya. Untuk itu, kritikan dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi  penyempurnaan tugas ini.

Terima kasih juga kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas ini. Akhirnya, kami juga berharap tugas ini dapat berguna dan  bermanfaat bagi kita semua.

Bengkulu, November 2017

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 B. Rumusan Masalah 1 C. Tujuan penulisan 1 D. Manfaat penulisan 2 BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Penilaian Otentik 3

B. Pengukuran Kepribadian 5

C. Strategi Pengembangan Penilaian Karakter Berbasis Penilaian Otentik 9 D. Mengembangkan Model Penilaian Karakter Berbasis Penilaian Otentik 13 BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan 15

B. Saran 15

(4)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar belakang

Pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia, itu dapat dikatakan bahwa tuntutan pendidikan adalah terbentuknya kompetensi pada peserta didik (terlepas dari apakah kurikulum yang sekarang tetap digunakan atau diganti, tetapi pembentukan kompetensi adalah merupakan suatu keharusan). Untuk itu, perlu dilakukan  pembenahan dalam praktik pembelajaran di sekolah, termasuk praktek penilaiannya.

Dalam proses pembelajaran di Sekolah, siswa tidak hanya dinilai dari kecerdasan saja tetapi dalam aktivitas yang dilakukan oleh siswa juga. Salah satu  penilaian aktivitas siswa ialah penilaian otentik. Dalam hal ini guru mampu mengetahui karakter dan kemampuan siswa dalam berbagai hal dalam lingkup  pembelajaran.

Penilaian otentik merupakan hal yang perlu diketahui oleh guru dan guru harus mampu mengidentifikasi setiap aktivitas yang dilakukan siswa, karena penilaian otentik pada dasarnya mempunyai tujuan atau maksud untuk perkembangan siswa. Guru juga harus membuat data yang berisikan penilain otentik siswa. Selain itu, Guru diharapkan mengetahui strategi atau cara pengembangan penilaian karakter dan mengembangakan model penilaian karakter yang berbasisi penilaian otentik.

B. Rumusan masalah

1. Mengetahui konsep dasar penilaian otentik

2. Mengetahui bisakah karakter anak diukur/dinilai

3. Mengetahui strategi pengembangan penilaian karakter berbasis penilaian otentik 4. Mengetahui bagaimana cara mengembangkan model karakter berbasis penilaian C. Tujuan penulisan

1. Tahu konsep dasar penilaian otentik

2. Tahu bagaimana cara karakter anak diukur/dinilai

3. Tahu strategi pengembangan penilaian karakter berbasis penilaian otentik 4. Tahu bagaimana cara mengembangkan model karakter berbasis penilaian

(5)

D. Manfaat penulisan

Makalah ini diharapkan menjadi informasi awal bagi pembaca, sehingga pembaca mengerti dan memahami penilaian otentik dalam konteks penilaian karakter 

(6)

BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Dasar Penilaian Otentik 

Penilaian otentik (authentic assessment ) didefinisikan sebagai seperangkat tugas yang dikemas dalam konteks yang bermakna bagi siswa sehingga memungkinkan siswa membuat hubungan antara pengalaman nyata dengan ide-ide yang dipelajarinya di sekolah. Dalam prosesnya penilaian otentik berfokus pada kemampuan pemecahan masalah yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan berfokus pada tahapan  belajar yang lebih kompleks. Penilaian ini tidak hanya berkenaan dengan kemampuan siswa menjawab pertanyaan bagaimana layaknya penilaian tradisional. Penilaian otentik dikembangkan untuk menemukan apa yang siswa tahu dan apa yang siswa bisa lakukan dengan pengetahuannya tersebut. Berdasarkan sudut pandang ini, penilaian otentik adalah penilaian yang berkenaan dengan pemahaman dan implementasinya.

Dalam definisi yang lebih terfokus, Nurgiyantoro (2011: 4) menyatakan bahwa  pada hakikatnya penilaian otentik merupakan kegiatan penilaian yang dilakukan tidak semata-mata untuk menilai hasil belajar siswa, melainkan juga berbagai faktor yang lain, antara lain kegiatan pembelajaran itu sendiri.

Penilaian otentik sering pula disebut sebagai penilaian alternatif (Ntko, 2004). Dikatakan demikian karena penilaian menggunakan beragam teknik penilaian yang  bukan hanya tes melainkan beragam teknik penilaian nontes seperti penilaian proyek,  produk, performa, dan penilaian porofolio. Dalam pandangan O'Malley dan Pierce (1996: 4) penilaian otentik merupakan penilaian yang menekankan pada pengukuran  performa nyata yang ditunjukkan melalui perilaku aktif siswa.

Menurut Mueller (Nurgiyantro, 2011) dan Morgan, et al. (2004) penilaian otentik adalah penilaian belajar yang merujuk pada situasi atau konteks dunia "nyata" yang memerlukan berbagai macaam pendekatan untuk memecahkan masalah yang memberikan kemungkinan bahwa satu masalah bisa mempunyai lebih dari satu macam  pemecahan. Dengan kata lain, penilaian otentik mengukur, memonitor, dan menilai semua aspek hasil belajar (yang tercakup dalam domain kogntif, afektif, dan  psikomotor), baik yang nampak sebagai hasil akhir dari suatu proses pembelajaran maupun berupa perubahan dan perkembangan aktifitas, dan perolehan belajar selama  proses pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas.

(7)

 perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Jika data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru akan segera bisa mengambil tindakan yang tepat untuk siswa tersebut, sehigga siswa terbebas dari kemacetan belajar. Penilaian ini tidak dilakukan di akhir periode saja (akhir semester), tetapi dilakukan bersamaan dengan kegiatan pembelajaran. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran.

Penilaian otentik merupakan sebuah bentuk penilaian yang mengukur kinerja nyata yang dimiliki oleh peserta didik. Kinerja yang dimaksud adalah aktivitas yang diperoleh  peserta didik selama proses pembelajaran. Berdasarkan pemahaman ini penilaian otentik  pada prinsipnya mengukur aktivitas yang dilakukan oleh peserta didik selama  pembelajaran berlangsung.

Berkatan dengan pendidikan karakter, pendidikan karakter bertujuan agar peserta didik mampu menjadi orang yang berkarakter mulia. Usaha pengembangan karakter ini harus dilakukan secara berkesinambungan dalam proses pembelajaran. Penilaian otentik  pada dasarnya digunakan untuk mengkreasikan berbagai aktivitas belajar yang  bermuatan karakter dan sekaligus mengukur keberhasilan aktivitas tersebut serta

mengukur kemunculan karakter pada diri siswa. Tujuan pendidikan karakter disekolah antara lain:

1. Meningkatkan kualitas pendidikan melalui pengintegrasian nilai-nilai utama berbasis  pendidikan karakter dan budaya ke dalam kegiatan pembelajaran, penelitian dan  publikasi ilmiah, serta sosialisasi dengan masyarakat.

2. Mengimplementasikan pendidikan karakter dan budaya dalam kepemimpinan dan  pengelolaan sekolah.

3. Mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kegiatan ekstrakurikuler dan  pengembangan budaya dalam kegiatan keseharian di lingkungan sekolah.

Dalam penilaian pun, peserta didik sangat memerlukan perlakuan individual. Mereka  penting dinilai dari kegiatan dan hasil belajarnya berdasarkan kemampuan dirinya. Karena setiap peserta didik mempunyai perbedaan satu sama lain. Perbedaan itu bisa dilihat dari latar belakang social dan ekonomi keluarganya, minat, harapan, motivasi,

(8)

kemampuan, perasaan, kreatifitas, dan penampilan dalam kegiatan belajar. Untuk hal  penilaian ini guru harus benar-benar adil dan otentik.

Beberapa pembaharuan yang tampak pada penilaian otentik adalah sebagai berikut:

1. Melibatkan siswa dalam tugas yang penting, menarik, bermanfaat, dan relevan dengan kehidupan nyata siswa.

2. Tampak dan terasa sebagai kegiatan belajar bukan tes tradisional.

3. Melibatkan ketrampilan berpikir tingkat tinggi dan mencakup pengetahuan yang luas. 4. Menyadarkan siswa tentang apa yang harus dikerjakannya.

5. Merupakan alat penilaian dengan latar standar, bukan alat penilaia n yang distandarisasikan.

6. Berpusat pada siswa, bukan berpusat pada guru.

7. Dapat menilai siswa yang berbeda kemampuan, gaya belajar, dan latar bel akang kulturalnya.

B. PENGUKURAN KEPRIBADIAN

Sifat kepribadian biasa diukur melalui angka rata-rata pelaporan dari ( self-report ) kuesioner kepribadian (untuk sifat khusus) atau penelusuran kepribadian seutuhnya ( personality inventory, serangkaian instrumen yang menyingkap sejumlah sifat). Ada  beberapa macam cara untuk mengukur atau menyelidiki kepribadian. Berikut ini adalah  beberapa diantaranya:

a. Observasi Direct

Observasi direct  berbeda dengan observasi biasa. Observasi direk mempunyai sasaran yang khusus , sedangkan observasi biasa mengamati seluruh tingkah laku subjek. Observasi direk memilih situasi tertentu, yaitu saat dapat diperkirakan munculnya indikator dari ciri-ciri yang hendak diteliti, sedangkan observasi biasa mungkin tidak merencanakan untuk memilih waktu.

Observasi direct diadakan dalam situasi terkontrol, dapat diulang atau dapat dibuat replikasinya. Misalnya, pada saat berpidato, sibuk bekerja, dan sebagainya.Ada tiga tipe metode dalam observasi direk yaitu:

(9)

1) Time Sampling Method 

Dalam time sampling method, tiap-tiap subjek diselidiki pada periode waktu tertentu. Hal yang diobservasi mungkin sekadar muncul tidaknya respons, atau aspek tertentu.

2)  Incident Sampling Method

Dalam incident sampling method, sampling dipilih dari berbagai tingkah laku dalam berbagai situasi. Laporan observasinya mungkin berupa catatan-catatan dari Ibu tentang anaknya, khusus pada waktu menangis, pada waktu mogok makan, dan sebgainya. Dalam pencatatan tersebut hal-hal yang menjadi perhatian adalah tentang intensitasnya, lamanya, juga tentang efek-efek berikut setelah respons.

3) Metode Buku Harian Terkontrol

Metode ini dilakukan dengan cara mencatat dalam buku harian tentang tingkah laku yang khusus hendak diselidiki oleh yang bersangkutan sendiri. Misalnya mengadakan observasi sendiri pada waktu sedang marah. Syarat penggunaan metode ini, antara lain, bahwa peneliti adalah orang dewasa yang cukup inteligen dan lebih jauh lagi adalah benar-benar ada pengabdian pada perkembangan ilmu  pengetahuan.

 b. Wawancara ( Interview)

Menilai kepribadian dengan wawancara (interview) berarti mengadakan tatap muka dan berbicara dari hati ke hati dengan orang yang dinilai. Dalam psikologi kepribadian, orang mulai mengembangkan dua jenis wawancara, yakni:

1) Stress interview

Stress interview digunakan untuk mengetahui sejauh mana seseorang dapat  bertahan terhadap hal-hal yang dapat mengganggu emosinya dan juga untuk

mengetahui seberapa lama seseorang dapat kembali menyeimbangkan emosinya setelah tekanan-tekanan ditiadakan. Interviewer ditugaskan untuk mengerjakan sesuatu yang mudah, kemudian dilanjutkan dengan sesuatu yang lebih sukar. 2)  Exhaustive Interview

 Exhaustive Interview  merupakan cara interview yang berlangsung sangat lama; diselenggarakn non-stop. Cara ini biasa digunakan untuk meneliti para tersangka dibidang kriminal dan sebagai pemeriksaan taraf ketiga.

(10)

c. Tes proyektif

Cara lain untuk mengatur atau menilai kepribadian adalah dengan menggunakan tes  proyektif. Orang yang dinilai akan memprediksikan dirinya melalui gambar atau hal-hal lain yang dilakukannya. Tes proyektif pada dasarnya memberi peluang kepada testee (orang yang dites) untuk memberikan makna atau arti atas hal yang disajikan; tidak ada pemaknaan yang dianggap benar atau salah.

Jika kepada subjek diberikan tugas yang menurut penggunaan imajinasi, kita dapat menganalisis hasil fantasinya untuk mengukur cara dia merasa dan berpikir. Jika melakukan kegiatan yang bebas, orang cenderung menunjukkan dirinya, memantulkan (proyeksi) kepribadiannya untuk melakukan tugas yang kreatif. Jenis yang termasuk tes proyektif adalah:

1) Tes Rorschach

Tes yang dikembangkan oleh seorang dkter psikiatrik Swiss, Hermann Rorschach, pada tahun 1920-an, terdiri atas sepuluh kartu yang masing-masing menampilkan bercak tintan yang agak kompleks. Sebagian bercak itu berwarna; sebagian lagi hitam putih. Kartu-kartu tersebut diperlihatkan kepada mereka yang mengalami percobaan dalam urutan yang sama. Mereka ditugaskan untuk menceritakan hal apa yang dilihatnya tergambar dalam noda-noda tinta itu. Meskipun noda-noda itu secara objektif sama bagi semua peserta, jawaban yang mereka berikan berbeda satu sama lain. Ini menunjukkan bahwa mereka yang mengalami percobaan itu memproyeksikan sesuatu dalam noda-noda itu. Analisis dari sifat jawaban yang diberikan peserta itu memberikan petunjuk mengenai susunan kepribadiannya.

2) Tes Apersepsi Tematik (Thematic Apperception Test /TAT)

Tes apersepsi tematik atau Thematic Apperception Test (TAT), dikembangkan di  Harvard University  oleh Hendry Murray pada tahun 1930-an. TAT mempergunakan suatu seri gambar-gambar. Sebagian adalah reproduksi lukisan-lukisan, sebagian lagi kelihatan sebagai ilustrasi buku atau majalah. Para peserta diminta mengarang sebuah cerita mengena tiap-tiap gambar yang diperlihatkan kepadanya. Mereka diminta membuat sebuah cerita mengenai latar belakang dari kejadian yang menghasilkan adegan pada setiap gambar, mengenai pikiran dan  perasaan yang dialami oleh orang-orang didalam gambar itu, dan bagaimana episode itu akan berakhir. Dalam menganalisis respon terhadap kartu TAT, ahli

(11)

 psikologi melihat tema yang berulang yang bisa mengungkapkan kebutuhan, motif, atau karakteristik cara seseorang melakukan hubungan antarpribadinya.

d. Inventori Kepribadian

Inventori kepribadian adalah kuesioner yang mendorong individu untuk melaporkan reaksi atau perasaannya dalam situasi tertentu. Kuesioner ini mirip wawancara terstruktur dan ia menanyakan pertanyaan yang sama untuk setiap orang, dan jawaban  biasanya diberikan dalam bentuk yang mudah dinilai, seringkali dengan bantuan komputer. Menurut Atkinson dan kawan-kawan, investori kepribadian mungkin dirancang untuk menilai dimensi tunggal kepribadian (misalnya, tingkat kecemasan) atau beberapa sifat kepribadian secara keseluruhan. Investori kepribadian yang terkenal dan banyak digunakan untuk menilai kepribadian seseorang ialah: Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI), Rorced-Choice Inventories, dan Humm-Wadsworth Temperament Scale (H-W Temperament Scale).

1) Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI)

MMPI terdiri atas kira-kira 550 pernyataan tentag sikap, reaksi emosional, gejala fisik dan psikologis, serta pengalaman masa lalu. Subjek menjawab tiap  pertanyaan dengan menjawab “benar”, “salah”, atau “tidak dapat mengatakan”.

Pada prinsipnya, jawaban mendapat nilai menurut kesesuaiannya dengan jawaban yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki berbagai macam masalah  psikologi. MMPI dikembangkan guna membantu klinis dalam mendiagnosis gangguan kepribadian. Para perancang tes tidak menentukan sifat mengukurnya, tetapi memberikan ratusn pertanyaan tes untuk mengelompokkan individu. Tiap kelompok diketahui berbeda dari normalnya menurut kriteria tertentu. Kelompok kriteria terdiri atas individu yang telah dirawat dengan diagnosis gangguan  paranoid. Kelompok kontrol terdiri atas orang yang belum pernah didiagnosis menderita masalah psikiatrik, tetapi mirip dengn kelompok kriteria dalah hal usia,  jenis kelamin, status sosioekonomi, dan variabel penting lain.

2) Rorced-Choice Inventories

Rorced-Choice Inventories atau Inventori Pilihan-Paksa termasuk klasifikasi tes yang volunter. Suatu tes dikatakan volunter bila subjek dapat memilih pilihan yang lebih disukai, dan tahu bahwa semua pilihan itu benar, tidak ada yang salah (Muhadjir,1992). Subjek, dalam hal ini, diminta memilih pilihan yang lebih

(12)

disukai, lebih sesuai, lebih cocok dengan minatnya, sikapnya, atau pandangan hidupnya.

3) Humm-Wadsworth Temperament Scale (H-W Temperament Scale

H-W Temperament Scale dikembangkan dari teori kepribadian Rosanoff (Muhadjir, 1992). Menurut teori ini, kepribadian memiliki enam komponen, yang lebih banyak bertolak dari keragaman abnomal, yaitu:

1) Schizoid Autistik, mempunyai tendensi tak konsisten, berpikirnya lebih mengarah pada khayalan.

2) Schizoid Paranoid, mempunyai tendensi tak konsisten, dengan angan bahwa dirinya penting.

3) Cycloid Manik, emosinya tidak stabil dengan semangat berkobar. 4) Cycloid Depress, emosinya tak stabil dengan retardasi dan pesimisme. 5) Hysteroid, ketunaan watak berbatasan dengan tendensi kriminal.

6) Epileptoid, dengan antusiasme dan aspirasi yang bergerak terus.

C. Strategi Pengembangan Penilaian Karakter Berbasis Penilaian Otentik

Ada beberapa langkah yang harus dilakukan ketika akan mengembangkan  penilaian karakter berbasis penilaian otentik. Mueller (Nurgiantoro,2011) dan Newmann, et.al. (1995) mengemukakan 4 langkah untuk mengembangkan penilaian otentik, yaitu yang meliputi : penentuan standar, penentuan tugas autentik, pembuatan kriteria,  pembuatan rubrik. Keempat langkah pengembangan penilaian otentik akan dijelaskan

sebagai berikut. 1. Penentuan standar

Langkah pertama yang harus dilakukan dalam mengembangkan penilaian otentik adalah menetapkan standar yang akan diukur. Standar yang dimaksudkan adalah sebuah pernyataan tentang apa yang harus diketahui atau dapat dilakukan pembelajar selama dan setelah proses pembelajran berlangsung. Dalam pandangan Mueller (Nurgiyantoro, 2011) standar harus dibedakan dengan  goal yang berarti tujuan umum dan objektif  berarti tujuan khusus. Standar memiliki ciri utama yaitu standar dapat diobservasi dan diukur ketercapaiannya. Dalam konteks kurikulum Indonesia, standar dimaksud meliputi standar kompetensi lulusan dan kompetensi dasar. Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,  pengetahuan dan keterampilan, sedang kompetensi dasar adalah kompetensi atau

(13)

standar minimal yang harus tercapai atau dikuasai oleh siswa dalam proses  pembelajaran.

2. Penentuan Tugas Otentik

Dalam pandangan Mueller (Nurgianoro, 2011) tugas otentik adalah tugas yang secara nyata dibebankan kepada siswa untuk mengukur pencapaian kompetensi yang dibelajarkan, baik ketika kegiatan pembelajaran masih berlangsung atau ketika sudah  berakhir.

3. Pembuatan kriteria

Kriteria merupakan indikator-idikator yang menspesifikasi tugas otentik yang akan dinilai sehingga mejadi jelas keterukurannya. Mueller (Nurgiyantoro, 2011) menyatakan bahwa kriteria merupakan pernyataan yang menggambarkan tingkat capaian dan bukti-bukti nyata capaian hasil belajar subjek belajar dengan kualitas tertentu yang diinginkan. Dalam konteks penilaian otentik kriteria harus telah dirumuskan guru sebelum pelaksanaan pembelajaran, disampaikan, dan disepakati  bersama dengan siswa.

Brookhart (2013:3) menyatakan kriteria yang baik harus memiliki karakteristik anatara lain:

a. memadai artinya mampu menggambarkan standar yang akan dicapai secara je las  b. terdefinisikan secara pasti sehingga mudah dipahami

c. dapat diamati dan diukur

d. menunjukkan adanya perbedaan yang jelas antara satu kriteria dengan kriteria lain e. lengkap artinya seluruh kriteria harus mampu menggambarkan hasil belajar yang

diukur

f. harus dapat dibuat deskripsi yang menunjukkan perkembangan kualitas yang dicapai siswa.

4. Pembuatan Rubrik

Rubrik merupakan alat skala yang digunakan untuk mengukur tinggi rendahnya capaian siswa. Sebuah rubrik biasanya berbentuk tabel yang memuat minimalnya tiga komponen pokok yakni kriteria (termasuk di dalamnya subkriteria), skor capaian dan deskriptor pada masing-masing kriteria tersebut.

Budimansyah, dkk (2010)menyatakan bahwa dalam konteks mikro pada satuan  pendidikan, maka program pendidikan karakter perlu dikembangkan dengan

(14)

a.  Berkelanjutan mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan.

 b.  Melalui semua subjek pembelajaran, pengembangan diri dan budaya satuan  pendidikan mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter

dilakukan melalui kegiatan kurikuler setiap mata pelajaran/mata kuliah, kokurikuler dan ekstra kurikuler. Pembinaan karakter melalui kegiatan kurikuler mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama harus sampai melahirkan dampak instruksional (instructional effect ) dan dampak  pengiring (nurturant effect ), sedangkan bagi mata pelajaran/mata kuliah lain cukup

melahirkan dampak pengiring.

c.  Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan (value is neither caught nor taught, it is learned ) (Hermann, 1972) mengandung makna bahwa materi nilai-nilai dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa. Tidak semata-mata dapat ditangkap sendiri atau diajarkan, tetapi lebih jauh diinternalisasi melalui proses belajar. Artinya, nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, atau pun fakta seperti dalam mata pelajaran tertentu.

d. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik  bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip “tut wuri handayani” dalam setiap  perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses  pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif. Sekolah dapat memperkokoh prinsip-prinsip tersebut agar sejajar dengan visi, misi, tujuan, dan strategi sekolah. Visi yang perlu diusung misalnya, “Menjadi  sekolah terkemuka dalam pengembangan dan implementasi  pendidikan karakter”. Misi yang dapat dilakukan antara lain:

1) Menyelenggarakan kegiatan yang mengembangkan kepribadian dan kecerdasan. Mengembangkan pembelajaran berbasis karakter di sekolah.

2) Mendukung kegiatan penelitian, pelatihan, dan publikasi ilmiah yang berfokus  pada tema-tema pendidikan karakter dan budaya di sekolah.

(15)

Adapun program yang dapat dilakukan untuk pendidikan karakter di sekolah antara l ain: a. Mengembangkan model pembelajaran berbasis pendidikan karakter di tingkat sekolah.  b. Melaksanakan sosialisasi, diskusi, dan lokakarya tentang pendidikan karakter dan

 pembinaan budaya sekolah.

c. Menyelenggarakan kegiatan penelitian dan publikasi ilmiah yang berfokus pada tema karakter dan pembudayaan melalui berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik.

d. Menyelenggarakan kegiatan penelitian tentang pendidikan karakter.

e. Menyelenggarakan pelatihan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang mendukung.

f. Menjalin kerja sama dengan institusi lain yang mendukung tercapainya visi dan misi. g. Mendorong kegiatan pendidikan karakter di dalam kegiatan ekstrakurikuler dalam

sekolah.

h. Mendukung pembudayaan organisasi sekolah dengan pola kepemimpinan yang religius, demokratis, adil, visioner, dan memberdayakan bawahan.

i. Memberikan layanan konsultasi tentang implementasi pendidikan karakter dalam  pembelajaran dan pembudayaan sekolah.

Budimansyah, dkk (2010)menyatakan bahwa dalam konteks mikro pada satuan pendidikan, maka program pendidikan karakter perlu dikembangkan dengan mendasarkan pada prinsip- prinsip sebagai berikut:

a.  Berkelanjutan mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter  bangsa merupakan sebuah proses panjang dimulai dari awal peserta didik masuk sampai

selesai dari suatu satuan pendidikan.

 b.  Melalui semua subjek pembelajaran, pengembangan diri dan budaya satuan pendidikan mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter dilakukan melalui kegiatan kurikuler setiap mata pelajaran/mata kuliah, kokurikuler dan ekstra kurikuler. Pembinaan karakter melalui kegiatan kurikuler mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama harus sampai melahirkan dampak instruksional (instructional effect ) dan dampak pengiring (nurturant effect ), sedangkan  bagi mata pelajaran/mata kuliah lain cukup melahirkan dampak pengiring.

c.  Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan (value is neither caught nor taught, it is learned ) (Hermann, 1972) mengandung makna bahwa materi nilai-nilai dan karakter

(16)

 bangsa bukanlah bahan ajar biasa. Tidak semata-mata dapat ditangkap sendiri atau diajarkan, tetapi lebih jauh diinternalisasi melalui proses belajar. Artinya, nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, atau pun fakta seperti dalam mata pelajaran tertentu.

d. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip “tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif. Sekolah dapat memperkokoh prinsip-prinsip tersebut agar sejajar dengan visi, misi, tujuan, dan strategi sekolah. Visi yang perlu diusung misalnya, “Menjadi sekolah terkemuka dalam pengembangan dan implementasi pendidikan karakter”. Misi yang dapat dilakukan antara lain:

1) Menyelenggarakan kegiatan yang mengembangkan kepribadian dan kecerdasan. Mengembangkan pembelajaran berbasis karakter di sekolah.

2) Mendukung kegiatan penelitian, pelatihan, dan publikasi i lmiah yang berfokus pada tema-tema pendidikan karakter dan budaya di sekolah.

3) Mengimplementasikan budaya akademik, humanis, dan religius di sekolah. D. Mengembangkan Model Penilaian Karakter Berbasis Penilaian Otentik

Mengembangkan Model Penilaian Karakter Berbasis Penilaian Otentik Mengacu pada  pendapat Budimansyah, dkk (2010), model pendidikan karakter dilakukan melalui tiga

modus yaitu :

1. Melalui penguatan Pendidikan Kewarganegaraan dalam kapasitasnya sebagai mata  pelajaran yang menjadi menu wajib bagi seluruh siswa yang diberikan pada masa-masa awal siswa belajar di sekolah. Model yang pertama ini diarakan untuk meningkatkan kualitas pembelajarn dengan menggunakan inovasi pembelajaran untuk membina karakter siswa.

2. Mengoptimalkan Layanan Bimbingan Konseling kepada para siswa baik dari dalam maupun dari luar jam pembelajaran yang diarahakan untuk mendorong siswa agar mampu menyelesaikan masalah dirinya sendiri sehingga tumbuh kesadaran akan

(17)

segala potensi yang dimilikinya. Melalui berbagai pendekatan, game, strategi, dan  potensi-potensi yang dimiliki siswa dapat berkembang secara optimal, sehingga

siswa memiliki kepercayaan diri untuk berkembang.

3. Menyelenggarakan penelitian, pengamatan, sosialisasi, study tour atau perkemahan yang merupakan menu wajib pada masa-masa akhir siswa menimba ilmu. Pendidikan karakter melalui semua yang disebutkan diatas dapat mengarahkan siswa untuk memantapkan berbagai karakter baik yang telah dibina di sekolah melalui  proses belajar sambil menjalani (learning by doing ) dalam kehidupan masyarakat.

(18)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Penilaian otentik (authentic assessment ) didefinisikan sebagai seperangkat tugas yang dikemas dalam konteks yang bermakna bagi siswa sehingga memungkinkan siswa membuat hubungan antara pengalaman nyata dengan ide-ide yang dipelajarinya di sekolah. Dalam prosesnya penilaian otentik berfokus pada kemampuan pemecahan masalah yang memerlukan kemampuan berpikir tigkat tinggi dan berfokus pada tahapan  belajar yang lebih kompleks. Penilaian ii tidak hanya berkenaan dengan kemampuan

siswa menjawab pertanyaan bagaimana layaknya penilaian tradisional. Penilaian otentik dikembangkan untuk menemukan apa yang siswa tahu dan apa yang siswa bisa lakukan dengan pengetahuannya tersebut. Berdasarkan sudut pandang ini, penilaian otentik adalah penilaian yang berkenaan dengan pemahaman dan implementasinya.

Sifat kepribadian biasa diukur melalui angka rata-rata pelaporan dari (self-report)kuesioner kepribadian (untuk sifat khusus) atau penelusuran kepribadian seutuhnya (personality inventory, serangkaian instrumen yang menyingkap sejumlah sifat).

Strategi mengembangkan penilaian otentik dilakukan dengan: penentuan standar,  penentuan tugas autentik, pembuatan kriteria, pembuatan rubrik.

B. Saran

Diharapkan kepada mahasiswa dapat mempelajari dan memahami tentang penyakit pre-eklampsia dan Eklampsia.

Dalam penyusunan makalah kami menyadari bahwa makalah ini sangatlah kurang dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengaharapkan kritik dan saran yang membangun agar dalam penyusunan makalah selanjutnya dapat lebih baik 

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Aspsikologi.(2010). blogspot.www//http. Pengukur nilai kepribadian.co.id

diakses tanggal 7 November 2017

Burhanuddin.A.(2015).Wordpress.www//http. Penilaian otentik dalam penilaian karakter.co.id

diakses tanggal 5 November 2017

Watun.I. (2015).blogspot. www//http. Konsep dasar penilaian otentik.co.id

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dilakukan tanpa guru mengatakan kepada peserta didik bahwa mereka harus aktif, tapi guru merencanakan kegiatan belajar yang menyebabkan peserta didik aktif

Strategi yang dapat dilakukan dalam memberikan penguatan pendidikan karakter adalah melalui pengintegrasian kegiatan yang dilakukan peserta didik baik di sekolah

”Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif,

Bagi guru Pendidikan Agama Islam dalam proses pembinaan karakter pada. peserta didik hendaklah diperhatikan faktor-faktor yang

Berdasarkan konsep pendidikan karakter Ki Hajar Dewantara dalam proses pembelajaran dimana peserta didik dijadikan pusat pembelajaran sedangkan guru hanya membimbing

Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa adalah perkembangan potensi peserta didik agar menjadi berperilaku baik, dan bagi peseta didik yang telah memiliki

Pendidikan karakter menurut Islam adalah usaha sadar dan terencana yang dilakukan pendidik kepada peserta didik untuk membentuk, mengarahkan dan membimbing akhlak/ kepribadian peserta

Jadi prinsip pendidikan karakter terutama memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan perilaku yang baik dengan cakupan kurikulum yang bermakna dan menantang,