• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apendisitis merupakan salah satu kasus bedah abdomen yang paling sering terjadi di dunia. Sebanyak 40% bedah emergensi di negara barat dilakukan atas indikasi apendisitis akut (Lee et al., 2010; Shrestha et al., 2012). Di Indonesia penderita apendisitis sekitar 27% dari jumlah pasien jumlah penduduk di Indonesia atau sekitar 179.000 orang. Insidens apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainnya (Depkes 2011).

Apendisitis dapat disebabkan karena gaya hidup dan kebiasaan sehari-hari yang tidak sehat. Makanan rendah serat salah satunya, karena memicu terbentuknya fecalith yang dapat menyebabkan obstruksi pada lumen appendiks (Marianne, Susan & Loren, 2007). Peradangan akut pada apendiks memerlukan tindakan pembedahan segera untuk mencegah terjadinya komplikasi berbahaya ( Schwartz et al. 2014).

Apendisitis yang tidak tertangani segera akan meningkatkan risiko terjadinya perforasi dan pembentukan masa periapendikular (Tzanakis, 2005; Vasser, 2012; Riwanto et al., 2010; Brunner & Suddarth, 2014). Perforasi dengan cairan inflamasi dan bakteri masuk ke dalam rongga abdomen, lalu memberikan respons inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis. Apabila perforasi apendiks disertai dengan material abses, maka akan memberikan manifestasi nyeri lokal akibat akumulasi abses dan akan memberikan respons peritonitis. Manifestasi yang khas dari perforasi apendiks adalah nyeri hebat yang tiba-tiba datang pada abdomen kanan bawah (Tzanakis, 2005; Brunner & Suddarth, 2014).

Perforasi apendisitis berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Pasien yang mengalami apendisitis akut angka kematiannya hanya 1,5%, tetapi ketika telah mengalami perforasi angka ini meningkat mencapai 20%-35% (Riwanto et al., 2010; Vasser, 2012). Apendisitis perforasi

(2)

diperlukan tindakan operasi laparatomi. Tindakan pasca bedah untuk mengatasi masalah apendisitis perforasi dapat meningkatkan risiko lebih tinggi komplikasi pasca bedah dibandingkan dengan apendisitis akut (St Peter et al 2008a, b ; Fraser et al 2010; Brunner & Suddarth, 2014). Abses intra-abdominal merupakan komplikasi yang paling umum setelah apendisitis perforasi. Pemasangan drain diharapkan mampu menurunkan risiko komplikasi abses intra-abdominal (Lund dan Murphy 1994; Fishman et al. 2000; St Peter et al 2008a, b;Fraser et al 2010).

Drain intraabdomen banyak digunakan oleh ahli bedah di praktek klinis saat ini (Curran dan Muenchow 1993; Lund dan Murphy 1994; Fishman et al. 2000). Namun demikian, drain intraabdomen setelah operasi apendisitis dalam kasus apendisitis perforasi masih kontroversi (Narci et al. 2007; Akoyun, 2012). Ada beberapa ahli bedah yang memilih untuk tidak memasang drain pasca bedah. Banyak ahli bedah secara selektif menggunakan drain intraabdomen (Dandapat dan Panda 1992; Yamini et al. 1998 ; Schwartz et al. 2014). Hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya tindakan pasca operasi apendisitis perforasi yang dipasang drain mempunyai risiko lebih rendah terjadinya komplikasi dibandingkan dengan yang tidak dipasang drain, sehingga proses penyembuhan luka pasien yang dipasang drain lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak dipasang (Memon, et al, 2002; Beek, at al, 2015). Akan tetapi hasil penelitian yang dilakukan oleh Song (2015), mengatakan sebaliknya bahwa pemasangan drain dapat memperlama pasien dirawat di rumah sakit dan meningkatkan risiko mengalami abses dan infeksi.

Dampak lain dari abses juga memengaruhi lama pasien dirawat di rumah sakit dan meningkatkan biaya di rumah sakit (Gasior et al. 2013). Oleh karena itu, pencegahan abses intra-abdominal setelah apendektomi sangat penting. Meskipun banyak penelitian telah melaporkan hasil paska operasi apenddisitis perforasi, masih terdapat kontroversi besar mengenai pengelolaan yang optimal dari apenddisitis perforasi. Dalam penelitian ini

(3)

peneliti ingin membandingkan pasien operasi apendisitis perforasi dipasang drain dengan yang tanpa dipasang drain intra abdomen.

RSUD Moewardi merupakan salah satu Rumah Sakit Tipe A di Jawa Tengah, yang menerima pasien rujukan dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Salah satu penyakit yang ditangani dan dilakukan pembedahan di RSUD Moewardi adalah apendiksitis perforasi. Di Indonesia sebelumnya belum pernah ada penelitian penelitian tentang efektifitas terjadinya komplikasi antara pasien paska operasi apendisitis yang dipasang drain dengan yang tidak dipasang drain. Dimana dengan tidak adanya komplikasi akan mempercepat proses penyembuhan pasien. Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mmembandingkan penggunaan drain intraabdomen terhadap komplikasi pasca operasi pada kasus appendicitis perforasi.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah apakah ada perbandingan penggunaan drain intra abdomen dan tanpa penggunaan drain intra abdomen terhadap komplikasi pasca operasi pada apendisitis perforasi. C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah ada perbandingan penggunaan drain intra abdomen dan tanpa penggunaan drain intra abdomen terhadap komplikasi pasca operasi pada apendisitis perforasi .

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan tambahan informasi mengenai perbandingan penggunaan drain intra abdomen dan tanpa penggunaan drain intra abdomen terhadap komplikasi pada apendisitis perforasi.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan memberikan pertimbangan dalam menggunakan drain intra abdomen dan tanpa penggunaan drain intra abdomeni terhadap komplikasi pasca operasi pada apendisitis perforasi.

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori 1. Apendisitis

Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer dan Bare, 2008).

Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks yang berbahaya jika tidak ditangani dengan segera. Jika ada keterlambatan dapat terjadi infeksi berat yang bisa menyebabkan pecahnya lumen usus (Williams & Wilkins, 2012).

a. Anatomi dan Fisiologi Apendiks

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung yang mempunyai panjang kira-kira 10 cm (antara 3-15 cm), dan berpangkal pada sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. (Soybel, 2001).

Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan melalui pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan melalui pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh peritoneum viserale (Soybel, 2001).

(5)

Sumber: Indonesian Children, 2009 b. Klasifikasi Apendisitis

1) Apendisitis Akut

Peradangan pada appendiks dengan gejala yang khas dan menetap. Gejala apendisitis akut antara lain seperti nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilicus. Keluhan ini disertai rasa mual dan muntah serta penurunan nafsu makan. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik McBurney. Pada titik ini nyeri yang dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat (Sjamsuhidayat, 2010).

Apendisitis akut dibagi menjadi 6 yaitu: a) Apendisitis Akut Sederhana (Grade 1)

Proses peradangan baru akan terjadi di mukosa dan sub mukosa yang disebabkan oleh obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen 9 appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks yang menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan (Rukmono, 2011).

b) Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis/ Grade 2)

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan

(6)

di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Keadaan ini ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc. Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum (Rukmono, 2011). c) Apendisitis Akut Gangrenosa (Grade 3)

Apendistis Akut Gangrenosa terjadi jika tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikro perforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen (Rukmono, 2011).

d) Apendisitis Infiltrat (Grade 4)

Apendisitis infiltrat adalah proses peradangan apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon, dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya (Rukmono, 2011).

e) Apendisitis Abses (Grade 5)

Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal dan pelvikal (Rukmono, 2011).

f) Apendisitis Perforasi

Pecahnya apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak

(7)

daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik (Rukmono, 2011).

Manifestasi yang khas dari perforasi apendiks adalah nyeri hebat yang tiba-tiba datang pada abdomen kanan bawah (Tzanakis, 2005). Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak klien pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti.

Pada kasus apendisitis dengan perlekatan apalagi jika apendiks nya sudah pecah / perforasi, masa perawatan di RS jauh lebih lama. Komplikasi setelah operasi yang sering terjadi adalah perdarahan, infeksi bisa infeksi di luka operasi atau berupa nanah yang mengantong dikemudian hari.

Appendisitis akut grade I dan II belum terjadi perforasi (Appendisitis sederhana) sedangkan appendisitis akut grade III,IV dan V telah terjadi perforasi/appendisitis komplikata (Burkitt H. G, et. al., 2007).

2) Apendisitis Kronik

Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan 3 hal yaitu

a) Pasien memiliki riwayat nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen selama paling sedikit 3 minggu tanpa alternatif diagnosis lain.

b) Setelah dilakukan appendiktomi gejala yang dialami pasien akan hilang

(8)

c) Secara histopatologik gejalanya dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi kronis yang aktif pada dinding appendiks atau fibrosis pada appendiks

(Santacroce & Craig, 2007). c. Etiologi

Apendisitis merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal yang berperan sebagai penyebabnya adalah (obstruksi lumen apendiks faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus, kebiasaan makan-makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi, erosi mukosa apendiks karena parasit) (Sjamsuhidayat, 2010).

d. Patofisiologi

Penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen (Price, 2006; Mansjoer, 2010).

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimal. Selanjutnya, terjadi peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi secara terus menerus karena multiplikasi cepat dari bakteri. Obstruksi iga menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung. semakin lama, mukus tersebut semakin banyak. Namun, elastisitas dinding apendiks terbatas sehingga meningkatkan tekanan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml (Schwartz, 2014).

Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan

(9)

akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2010). e. Penangananan Apendisitis

1) Penanganan Konservatif

Penanggulangan konservatif diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik (c)

2) Penanganan Operatif.

Apabila penegakan diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks. Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses apendiks dilakukan drainase (Oswari, 2005).

(10)

Pembedahan diidikasikan jika terdiagnosa appendicitis, lakukan apendiktomi secepat mungkin untuk mengurangi resiko perforasi. Metode insisi abdominal bawah di bawah anestesi umum atau spinal (laparoskopi) (Brunner & Suddarth, 2014).

Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin mengecil, atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan

3) Penanganan pasca bedah

Pasca operasi yaitu metronidazol supositoria (Sjamsuhidayat, 2010). Pengisapan nasogastrik harus digunakan jika ada muntah yang berat atau perut kembung. Antibiotik harus mencakup organisme yang sering ditemukan (Bacteroides, Escherichia coli, Klebsiella, dan pseudomonas spesies). Regimen yang sering digunakan secara intravena adalah ampisilin (100 mg/kg/24 jam), gentamisin (5 mg/kg/24 jam), dan klindamisin (40 mg/kg/24 jam), atau metrobnidazole (Flagyl) (30 mg/kg/24 jam). Apendiktomi dilakukan dengan atau tanpa drainase cairan peritoneum, dan antibiotik diteruskan sampai 7-10 hari (Hartman, 2005).

Pemasangan drainase digunakan untuk mengurangi risiko terjadinya komplikasi paska apendektomi. Akan tetapi masih ada beberapa ahli yang tidak sepemahaman dengan teknik ini dan memilih untuk tetap tidak memasng drainse.

Hasil penelitian Rather (2013), mengungkapkan bahwa tidak ada beda secara signifikan antara tindakan pemasangan drainase dan tanpa drainase terhadap komplikasi dan penyembuhan luka.

(11)

Komplikasi apendisitis terjadi pada 25-30% anak dengan apendisitis, terutama komplikasi yang dengan perforata (Hartman, 2005). Menurut Smeltzer dan Bare (2008), komplikasi potensial setelah apendiktomi antara lain:

1) Perforasi

Komplikasi utama appendicitis adalah perforasi appendiks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidensi perforasi 10-32%. Perforasi terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7° C atau lebih tinggi, penampilan toksik dan nyeri abdomen atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Haryono, 2012).

Pada kasus usus buntu yang sudah pecah/mengalami perforasi sayatan luka operasi biasanya agak cukup lebar (bisa disamping/kanan bawah perut atau di bagian tengah perut - tegak lurus) dan umumnya disertai pemasangan drain (selang) di perut kanan bawah. Drain/selang ini fungsinya adalah untuk mengeluarkan/mengalirkan sisa bekuan darah/ nanah yang berasal dari rongga perut.

2) Peritonitis

Observasi terhadap nyeri tekan abdomen, demam, muntah, kekakuan abdomen, dan takikardia. Lakukan penghisapan nasogastrik konstan. Perbaiki dehidrasi sesuai program. Berikan preparat antibiotik sesuai program.

3) Abses pelvis atau lumbal

Evaluasi adanya anoreksi, menggigil, demam, dan diaforesis. Observasi adanya diare, yang dapat menunjukkan abses pelvis, siapkan pasien untuk pemeriksaan rektal. Siapkan pasien untuk prosedur drainase operatif.

(12)

Kaji pasien terhadap adanya menggigil, demam, diaforesis. Siapkan untuk pemeriksaan sinar X. Siapkan drainase bedah terhadap abses.

5) Ileus

Kaji bising usus. Lakukan intubasi dan pengisapan nasogastrik. Ganti cairan dan elektrolit dengan rute intravena sesuai program. Siapkan untuk pembedahan, bila diagnosis ileus mekanis ditegakkan.

g. Luka Apendektomi

Luka appendiktomi adalah luka bersih dari tindakan pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat atau membuang apendik yang terinfeksi secara mendadak atau apendicitis akut. Luka irisan tepat di abdomen kanan bawah,dengan posisi irisan benar-benar samping atau miring, ke arah tengah dari spina anterior superior, bukan langsung ke titik Mc Burnay dengan ukuran 2 – 3 cm (Dudley,1992). Otot oblique kemudian ditoreh atau di iris lalu irisan dilebarkan sekitar 4 cm kedua arah. Dengan demikian panjang keseluruhan luka irisan berkisar 8 cm. Hal ini untuk memudahkan pengangkatan dan pemotongan appendik yang terinfeksi. Luka appendiktomi adalah luka bersih yang termasuk luka akut dimana proses penyembuhan lukanya akan berlangsung secara alami menurut fase penyembuhan luka (Taylor,1997). Dengan demikian, proses penyembuhan luka appendiktomi akan mengikuti tahapan penyembuhan luka secara alami, dimana kondisi luka tetap dalam keadaan tertutup balutan steril.

2. Operasi Appendiktomi Perforasi

Peradangan akut pada apendiks memerlukan tindakan pembedahan segera untuk mencegah terjadinya kompilkasi berbahaya (Sjamsuhidajat & Jong, 2010). Apendiktomi merupakan tindakan pembedahan untuk mengangkat apendiks dilakukan segera mungkin

(13)

untuk mengurangi risiko perforasi (Brunner & Suddarth, 2001). Apendisitis yang tidak tertangani segera maka dapat terjadi perforasi dan diperlukan tindakan operasi laparatomi.

Pada apendisitis perforasi atau yang telah mengalami rupture appendiks memiliki tata laksana antara lain; rehidrasi intra vena, antibiotic sistemik, dan dekompresi saluran gastro intestinal dengan menggunakan selang naso gastric sebelum operasi, serta tindakan bedah laparatomi appendiktomi. Sedangkan tata laksana perawatan post operasi dengan perforasi antara lain; management nyeri, penggantian cairan dan elektrolit, antibiotic sitemik, dekompresi usus sampai kembalinya fungsi normal usus (Hockenberry & Willson, 2007).

Teknik Operasi Laparatomi Appendectomy tidak ada standar insisi pada operasi ini. Hal ini disebabkan karena apendiks merupakan bagian yang bergerak dan dapat ditemukan diberbagai area pada kuadran kanan bawah. Ahli bedah harus menentukan lokasi apendiks dengan menggunakan beberapa penilaian fisik agar dapat menentukan lokasi insisi yang ideal. Tindakan laparatomi apendiktomi merupakan tindakan konvensional dengan membuka dinding abdomen. Tindakan ini juga digunakan untuk melihat apakah ada komplikasi pada jaringan apendiks maupun di sekitar apendiks. Tindakan laparatomi dilakukan dengan membuang apendiks yang terinfeksi melalui suatu insisi di regio kanan bawah perut dengan lebar insisi sekitar 2 hingga 3 inci. Setelah menemukan apendiks yang terinfeksi, apendiks dipotong dan dikeluarkan dari perut (Hockenberry & Willson, 2007).

3. Drain Intra Abdomen

Pada kasus usus buntu yang sudah pecah/mengalami perforasi sayatan luka operasi biasanya agak cukup lebar (bisa disamping/kanan bawah perut atau di bagian tengah perut-tegak lurus) dan umumnya disertai pemasangan drain (selang) di perut kanan bawah. Drain/selang ini fungsinya adalah untuk mengeluarkan/mengalirkan sisa bekuan darah/nanah yang berasal dari rongga perut (Jeo, 2003).

(14)

Tehnik operasi yang dilakukan pemasangan drainase:

a. Teknik drainase abses apendik dapat dilakukan dengan USG/CT scan sebagai guiding melalui perkutaneous.

b. Bila gagal dilakukan surgical langsung dengan apendektomi

c. Penderita posisi supine dan narkose umum kemudian desinfeksi pada lapangan operasi dan dipersempit dengan linen steril.

d. Insisi diatas massa abses kemudian diperdalam sampai tampak aponeurosis MOE (Muskulus Oblikus Eksternus), kemudian dibuka secara tajam, MOI (Muskulus Oblikus Internus) di splitting sampai tampak fascia transversalis dan peritoneum dibuka secara tajam. e. Identifikasi caecum dan taenia coli untuk mencari apendik,

kemudian dilakukan apendektomi.

f. Daerah caecum dipasang drain yang lunak dan lembut.

g. Luka operasi ditutup lapis demi lapis dan kemudian kulit dapat ditutup.

Angka mortalitas pasca drainase sangat jarang sekali ditemukan apalagi sejak ditemukan antibiotik paten. Pasca drainase pasien dirawat diruangan selama 1-2 hari, balans cairan dan pemberian antibiotic, posisi setengah duduk. Apabila klinis membaik dan cairan yang keluar melalui drain berkurang atau tidak keluar lagi maka drain dapat dicabut, apendektomi dapat direncanakan jika belum (Hong JJ, 2002).

Pemasangan drain adalah salah satu cara untuk menghindari terjadinya peningkatan tekanan intra-abdomen. Ini sesuai dengan laporan dari Offner P.J. (2001) dkk. dengan menghindari primary facial clossure pada initial laparotomy dapat meminimalisasi risiko terjadinya ACS (Abdominal Compartment Syndrome). Sindrom kompartemen merupakan masalah medis akut setelah cedera pembedahan,di mana peningkatan tekanan (biasanya disebabkan oleh peradangan) di dalam ruang tertutup (kompartemen fasia) di dalam tubuh mengganggu suplai darah atau lebih dikenal dengan sebutan kenaikan tekanan intra-abdomen. Tanpa

(15)

pembedahan yang cepat dan tepat, hal ini dapat menyebabkan kerusakan saraf dan otot kematian.

Ada beberapa kasus apendektomi untuk mengeluarkan sekresi dilakukan pemasangan drainase. Dengan dipasangnya drainase kadang memberikan masalah baru seperti timbulnya komplikasi sehingga menghambat penyembuhan luka. Penumpukan sekresi dapat membantu proses penyembuhan luka. Untuk mengatasi masalah ini dengan memantau sistem drainase portable atau tertutup lainnya terhadap ketepatan fungsi. Cara lain dengan melakukan tindakan pembuangan sekresi yang menumpuk (InEtna, 2004).

4. Komplikasi Pasca Bedah

Lama hari rawat pasien post operasi apendisitis antara 5-7 hari. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dilatih untuk berdiri dan duduk diluar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang (Mansjoer, 2010). Proses mengangkat jahitan pada luka post operasi bersih 5-7 hari atau sesuai dengan penyembuhan luka yang terjadi (Kusyati, 2010). Terjadinya komplikasi paska bedah, berkontribusi terhadap lamanya pasien paska bedah untuk tinggal di rumah sakit.

a. Jenis-jenis komplikasi

Komplikasi terbagi menjadi 2 yaitu:

1) Komplikasi karena gejala sisa pembedahan

Penyimpangan keadaan paska bedah dari keadaan normal yang melekat akibat pembedahan dan diperkirakan akan terjadi. Seperti rasa sakit atau terjadi bekas luka di area pembedahan 2) Komplikasi kegagalan untuk menyembuhkan

Penyakit yang tidak sembuh atau tidak berubah setelah operasi dilakukan atau kambuh kembali.

Kejadian komplikasi masih penanda yang paling sering digunakan untuk menilai kualitas bedah. Namun, para ahli masih

(16)

merasa ada kekurangan konsensus tentang bagaimana mendefinisikan dan membagi kelas atau grading komplikasi bedah. Sejumlah upaya telah dilakukan untuk mengklasifikasikan komplikasi bedah, namun masih tetap belum bisa diterima oleh ahli secara luas. Beberapa ahli bedah menganjurkan bahwa intuisi adalah panduan yang tepat untuk mendefinisikan kemungkinan komplikasi dan gradasi. Namun, dalam menilai komplikasi harus terbebas dari kesalahan dan interpretasi tidak dilakukan secara subjektif. Oleh karena itu, tantangan jika menggunakan sistem skala harus sederhana tetapi tidak harus menghambat akurasi atau klinis penerapan umum (Dindo, 2014).

b. Klasifikasi Komplikasi

Untuk standarisasi pelaporan hasil bedah Dindo (2014), memperkenalkan klasifikasi untuk menilai komplikasi paska bedah yang disebut dengan Clavien–Dindo Classification. Prinsip dasar klasifikasi ini berdasarkan pada terapi yang diperlukan untuk mengobati komplikasi. Klasifikasi ini terutama berfokus pada perspektif medis, dengan penekanan utama pada risiko dan invasif dari terapi yang digunakan untuk memperbaiki komplikasi. Perspektif ini meminimalkan subjektif dan kecenderungan untuk komplikasi tingkat rendah karena didasarkan pada data objektif.

(17)

Tabel 2.1 Klasifikasi Komplikasi Pasca Bedah

No Grade Definisi

1 Grade 1 Setiap penyimpangan dari keadaan normal pasca operasi tanpa perlu terapi farmakologi atau bedah, endoskopi, dan intervesi radiologi.

Rezimen terapi yang dapat diterima seperti antiemetik, antipiretik,analgetika, diuretik, dan elektrolit dan fisioterapi. Grade ini termasuk infeksi luka terbuka

2 Grade 2 Membutuhkan terapi farmakologi dengan obat lain selain terapi pada komplikasi grade 1, transfusi darah dan nutrisi parenteral total

3 Grade 3 Membutuhkan bedah, endoskopi atau intervensi radiologi Grade 3a Intervensi tidak berada di bawah anestesi umum

Grade 3b Intervensi berada di bawah anestesi umum

4 Grade 4 Komplikasi Mengancam jiwa (termasuk komplikasi CNS) membutuhkan IC/manajemen ICU

Grade 4a Disfungsi organ tunggal (termasuk dialisis) Grade 4b Disfungsi multi organ

5 Grade 5 Pasien meninggal 6 Tanda ‘X’

jika cacat

Jika pasien menderita komplikasi pada saat debit, tandai dengan x "D" (untuk "cacat") ditambahkan ke grade masing-masing komplikasi.

Label ini menunjukkan perlunya tindak lanjut untuk sepenuhnya mengevaluasi komplikasi.

Sumber: Dido, 2014

Perubahan dalam tingkat mobilisasi fisik dapat mengakibatkan keterbatasan gerak, dalam bentuk tirah baring, pembatasan gerak fisik selama penggunaan alat bantu eksternal, pembatasan gerakan volunter dan kehilangan fungsi motorik (Potter & Perry, 2010). Dengan mobilisasi dini masa pemulihan untuk mencapai level kondisi seperti pra pembedahan dapat dipersingkat. Hal ini tentu akan mengurangi waktu rawat inap di rumah sakit, menekan biaya perawatan dan mengurangi stres psikis (Majid, 2011).

Smeltzer dan Bare (2008) menyebutkan tujuan mobilisasi untuk mencegah terjadinya bronkopneumonia, kekakuan sendi, mencegah tromboplebitis, atrofi otot, penumpukan sekret, memperlancar sirkulasi darah, mencegah kontraktur, dekubitus serta memelihara faal kandung kemih agar tetap berfugsi secara baik dan

(18)

pasien dapat beraktivitas. Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka akibat operasi pembuangan apendiks (apendektomi) adalah kurangnya/ tidak melakukan mobilisasi dini. Mobilisasi merupakan faktor yang utama dalam mempercepat pemulihan dan mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah. Mobilisasi sangat penting dalam percepatan hari rawat dan mengurangi resiko karena tirah baring lama seperti terjadinya dekubitus, kekakuan atau penegangan otot-otot di seluruh tubuh, gangguan sirkulasi darah, gangguan pernapasan dan gangguan peristaltik maupun berkemih.

(19)

B. Kerangka Teori

Apendisitis Perforasi

Laparotomy Appendicitis

Pasang Drainase Tanpa Drainase

Observasi Pasca Operasi Komplikasi Jenis Komplikasi: 1. Gejala sisa 2. Kegagalan penyembuhan Klasifikasi Komplikasi Clavien–Dindo : 1. Grade 1 2. Grade 2 3. Grade 3 4. Grade 4 5. Grade 5 Lama Penyembuhan

Lama Rawat Inap di RS

(20)

Tindakan untuk pasien dengan appendicitis yang sudah mengalami perforasi akan dilakukan laparotomy appendiktomi (Hockenberry & Willson, 2007). Tindakan laparatomi apendiktomi merupakan tindakan konvensional dengan membuka dinding abdomen. Tindakan ini juga digunakan untuk melihat apakah ada komplikasi pada jaringan apendiks maupun di sekitar apendiks. Tindakan laparatomi dilakukan dengan membuang apendiks yang terinfeksi melalui suatu insisi di regio kanan bawah perut dengan lebar insisi sekitar 2 hingga 3 inci. Setelah menemukan apendiks yang terinfeksi, apendiks dipotong dan dikeluarkan dari perut (Hockenberry & Willson, 2007). Pasca operasi laparotomy apendiktomi, biasanya dilakukan tindakan pemasangan drainase untuk mencegah terjadinya komplikasi. Drain/selang ini fungsinya adalah untuk mengeluarkan/mengalirkan sisa bekuan darah/nanah yang berasal dari rongga perut (Jeo, 2003). Akan tetapi tindakan ini belum sepenuhnya disetujui oleh ahli bedah di dunia (Narci et al. 2007; Akoyun, 2012). Ada beberapa ahli bedah yang memilih untuk tidak memasang drain pasca bedah. Banyak ahli bedah secara selektif menggunakan drainase peritoneal (Dandapat dan Panda 1992; Schwartz et al. 1983; Yamini et al. 1998). Obeservasi paska bedah dilakukan untuk menilai terjadinya komplikasi secara objektif. Untuk mengkaji komplikasi paska bedah dengan menggunakan Clavien–Dindo Classification. Klasifikasi ini terbagi menjadi 5 grade (Dindo, 2014). Terjadinya komplikasi akan memengaruhi lama penyembuhan pasien paska bedah, hal itu tentunya juga akan berdampak pada lama rawat inap di rumah sakit.

C. Hipotesis

Tidak Ada perbedaan perbandingan penggunaan drain intra abdomen dan tanpa penggunaan drain intra abdomen terhadap komplikasi pasca operasi pada apendisitis perforasi.

(21)

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain eksperimen semu (quasi experiment) dengan metode Posstest-Only Control Design. Dalam rancangan ini sampel dibagi menjadi dua kelompok yaitu, kelompok I dilakukan pemasangan drain intra abdomen dan kelompok II tidak dilakukan pemasangan drain kemudian dilakukan follow up untuk menilai terjadinya komplikasi pasca operasi pada appendicitis perforasi.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian akan dilakukan di RSUD dr. Moewardi Surakarta Jawa Tengah. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari 2017 sampai dengan jumlah sampel terpenuhi.

C. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi.

D. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien apendisitis perforasi yang melakukan apendektomi.

2. Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel dengan random sampling, dengan kriteria sebagai berikut:

a) Kriteria inklusi

(1) Pasien/ keluarga yang menyetujui untuk ikut penelitian dan menandatangani surat persetujuan.

(2) Pasien dengan appendicitis perforasi yang dilakukan tindakan laparotomy appendiktomy

(22)

b) Kriteria eksklusi:

(1) Penderita dengan apendisitis perforasi disertai penyakit jantung dan diabetes melitus.

(2) Pasien dengan kelainan imunologi dan gizi buruk. (3) Mengundurkan diri sebagai responden penelitian 3. Estimasi Besar Sampling

Besar sampling yang digunakan berdasarkan teori sampel minimal untuk penelitian eksperimen adalah 15 sampel per kelompok (Murti, 2010). Dalam penelitian ini terdapat 2 kelompok, sehingga jumlah sampel yang akan digunakan yaitu 30 sampel dengan rincian sebagai berikut:

a. Kelompok yang dipasang drain intra abdominal sebanyak 15 sampel. b. Kelompok yang tanpa dipasang drain intra abdominal sebanyak 15

sampel.

E. Identifikasi Variabel

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu pemasangan drain sebagai variabel bebas dan komplikasi pasca operasi Appendiktomi Perforasi sebagai variabel terikat.

F. Definisi Operasional

1. Variabel terikat: Komplikasi pasca operasi Appendiktomi Perforasi Definisi: Penyimpangan keadaan dari keadaan normal pasca Appendiktomi Perforasi dengan menggunakan klasisfikasi Clavien– Dindo dengan lama observasi selama 5 hari

Alat ukur: Lembar Observasi Skala pengukuran: Ordinal Kategori: 1. Grade 1

2. Grade 2 3. Grade 3

(23)

5. Grade 5

2. Variabel Bebas: Penggunaan Drain

Definisi: tindakan paska operasi laparotomi appendicitis dengan memasangkan selang/drainase pada intra abdomen melalui sayatan laparotomy apendiktomi.

Alat ukur: Lembar Observasi Skala Pengukuran: Nominal

Kategori: 1. Tidak dipasang drain intra abdomen 2. Dipasang drain intra abdomen

(24)

G. Skema Penelitian

Gambar 3.1 Skema Penelitian Pasien Apendisitis

Perforasi

Operasi Laparotomy Apendektomi

Tindakan Pasca Operasi Laparotomy Apendektomi

Pasang Drain Intra Abdominal

Tanpa Pasang Drain Intra Abdominal

Observasi Pasca Operasi selama 5 Hari

Observasi Pasca Operasi selama 5 Hari Kelompok 1: Klasifikasi Clavien– Dindo Kelompok 2: Klasifikasi Clavien– Dindo

Perbandingan antara Kelompok I dan Kelompok II Berdasarkan hasil observasi berdasarkan

Klasifikasi Clavien–Dindo

(25)

Keterangan:

Pasien dengan apendicitis dengan perforasi yang dilakukan operasi laparotomy apendiktomi, kemudian secara random dilakan tindakan paska bedah dengan dua cara, 1 kelompok dilakukan pemasangan drainase intra abdomen dan kelompok yang kedua tanpa dipasang drainase intra abdomen. Kemudian keduanya diobservasi selama 5 hari dilihat komplikasi yang terjadi dengan menggunakan Klasifikasi Clavien–Dindo, kemudian hasilnya ditulis dalam lembar observasi. Dari hasil observasi klasifikasi Clavien-Dindo tersebut kemudian dibandingkan antara kelompok yang dipasang drain intra abdomen dengan kelompok yang tidak dipasang drain. Dari hasil tersebut akan tampak metode mana yang menunjukkan terjadinya komplikasi paska pembedahan.

H. Analisis Data

Uji statistik yang digunakan uji Mann Whitney, untuk membandingkan atau komparasi 2 kelompok sampel. Teknik ini digunakan untuk membandingkan dua variabel terukur berskala kategorikan (nominal atau ordinal) (Dahlan, 2013).

(26)

I. Jadwal Penelitian

Tabel 3.1 Jadwal Penelitian N

o .

Kegiatan

Bulan/Tahun 2016/2017

Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun

1 Penyusunan proposal 2 Konsultasi dan penyusunan 3 Seminar proposal 4 Revisi proposal 6 Pengumpulan data 7 Analisis data 8 Penyusunan laporan dan konsultasi 9 Ujian tesis 10 Revisi tesis

Gambar

Gambar 2.1. Apendiks
Gambar 2.3 Kerangka Teori
Gambar 3.1 Skema Penelitian  Pasien Apendisitis
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian  N

Referensi

Dokumen terkait

x Dari hasil penelitian yang sudah dilaksanakan di UPT perpustakaan UNIMA menunjukan bahwa dari aspek integrasi personal (kepercayaaan), pada umumnya mahasiswa

Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif untuk melihat gambaran dari peningkatan penguasaan konsep listrik dinamis siswa dengan menggunakan nilai gain

Bank Kustodian akan menerbitkan Surat Konfirmasi Transaksi Unit Penyertaan yang menyatakan antara lain jumlah Unit Penyertaan yang dijual kembali dan dimiliki serta Nilai

Wawancara bersama Raudah Safitri mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi dari jurusan Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) angkatan 2013.. Wawancara bersama Mardatillah mahasiswa

Kandungan isoflavon Faktor-2, glisitein dan genistein tidak ditemukan pada hasil fermentasi hari ke-2, hal tersebut dapat terjadi karena pada Faktor-2 fermentasi hari ke-1

Melalui kegiatan diskusi kelompok, siswa dapat membuat peta pikiran tentang gangguan peredaran darah dan pencegahaannya pada hewan dengan tepat.. Setelah membaca teks

Untuk memudahkan penyesuaian administrasi di Kementerian Keuangan yang mencatat penerimaan negara dari sektor hulu migas dengan prinsip Cash Basis, penghitungan lifting minyak dan

2. Pendampingan kepada siswa dan pedagang makanan jajanan. Sosialisasi alternatif penggunaan produk kemasan bukan plastik untuk makanan jajanan siswa. Selain konsep