• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pentingnya kawasan hutan bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan tidak pernah dapat terelakkan. Hampir seluruh kawasan konservasi di Indonesia berada dalam pola interaksi yang kuat dengan masyarakat yang hidup di sekitarnya, dimana masyarakat masih mengandalkan hidupnya pada hutan. Masyarakat bergantung pada hubungannya dengan lingkungan termasuk kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup (Foskett dan Foskett 2004). Data empiris menunjukkan bahwa masyarakat tersebut tersebar di kurang lebih 2.805 desa didalam kawasan hutan dan kurang lebih 16.605 desa di sekitar hutan (Daryanto 2011). Sejumlah 3.526 desa diantaranya terdapat di dalam dan di sekitar hutan konservasi (Dephut 2009).

Pada umumnya masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi termasuk dalam kategori miskin (Santosa 2004), salah satunya dikarenakan terbatasnya akses terhadap kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam (Kemenhut 2011b). Sementara itu, secara teoritis, kawasan konservasi harus bebas dari pemukiman masyarakat. Kondisi inilah yang menyebabkan munculnya konflik antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan konservasi, demikian juga yang terjadi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Kecenderungan konflik memerlukan solusi yang dapat mengakomodir semua kepentingan. Aktivitas masyarakat di sekitarnya yang bersifat eksploitatif merupakan ancaman yang akan menimbulkan dampak merugikan bagi kawasan maupun masyarakat itu sendiri. Di sisi lain, masyarakat merupakan sumberdaya potensial bagi konservasi kawasan TNBBS. Dengan demikian, kepentingan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya serta perilaku mereka tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaan TNBBS. Program pemberdayaan dipandang perlu sebagai upaya untuk mendorong perilaku positif masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya dengan mempertimbangkan pelestarian kawasan.

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dengan luas 356.800 ha merupakan kawasan pelestarian alam terbesar ketiga di Sumatera. Kondisi geografis dengan bentuk kawasan memanjang mulai dari Tanjung Cina (berbatasan dengan Samudera Hindia) sampai dengan ujung selatan Provinsi Bengkulu menjadikan TNBBS memiliki tipe vegetasi paling lengkap mulai dari hutan pantai, hutan hujan pegunungan dataran rendah, hutan hujan dataran tinggi dan pegunungan. Dengan berbagai tipe tersebut, TNBBS merupakan laboratorium alam yang mempunyai keanekaragaman hayati sangat tinggi. Kawasan ini juga merupakan benteng terakhir bagi habitat berbagai spesies terancam punah dan langka yang masih tersisa di Indonesia serta merupakan kawasan penting sistem penyangga kehidupan di Sumatera bagian selatan..

Berdasarkan klasifikasi Dinerstein et al. (1997), TNBBS diidentifikasi sebagai Tingkat I Tiger Conservation Unit, yaitu area prioritas bagi aksi konservasi harimau di habitat aslinya. TNBBS juga termasuk dalam 200 Ecoregions Global, yaitu peringkat WWF tentang habitat paling biologis yang berada di darat, air tawar dan laut, serta merupakan kawasan prioritas untuk

(2)

konservasi Badak Sumatera. Dengan berbagai fungsi penting dan karakteristik yang dimiliki tersebut, pada tahun 2004, UNESCO menetapkan TNBBS sebagai Situs/Tapak Warisan Dunia Pegunungan Cluster Area, dengan nama Tropical Rainforest Herritage of Sumatera.

Disisi lain, kondisi geografis TNBBS dengan bentuk sempit dan memanjang menjadikan kawasan ini memiliki batas (alam maupun buatan) sepanjang ±893,39 km dan dikelilingi sekitar 210 desa (BTNBBS 2011). Besarnya jumlah desa yang berbatasan dengan TNBBS merupakan prioritas yang harus dipertimbangkan terkait kepentingan masyarakat secara ekonomi, sosial dan budaya berkaitan dengan akses terhadap sumberdaya alam yang dimiliki TNBBS serta pengaruhnya terhadap perilaku konservasi mereka. Dalam implementasinya, masih banyak masyarakat yang belum memahami mengapa suatu kawasan hutan ditetapkan sebagai kawasan taman nasional. Bagi masyarakat taman nasional merupakan kawasan terlarang yang membatasi masyarakat untuk dapat melakukan aktivitas yang selama ini lazim mereka lakukan, seperti aktivitas mencari kayu, berkebun, berburu dan mencari makanan ternak.

Di banyak negara berkembang, tekanan terhadap sumberdaya alam meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk (Hackel 1999; Kideghesho et al. 2005b; Madulu 2004; Songorwa 2004a diacu dalam Kideghesho, Roskaft dan Kaltenborn 2007). Jumlah penduduk yang semakin meningkat di sekitar kawasan TNBBS membawa konsekuensi terhadap peningkatan tekanan terhadap kawasan, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumberdaya alam juga semakin tinggi. Aktifitas pembukaan hutan/perambahan yang terus terjadi dan kecenderungan perilaku masyarakat yang tidak memperdulikan konservasi semakin mengkhawatirkan. Di sisi lain keberadaan kawasan konservasi harus tetap dipertahankan terkait dengan fungsi penting yang dimiliki. Dengan kondisi tersebut, melestarikan kawasan dan mengubah perilaku masyarakat merupakan tantangan terbesar dalam perspektif pengelolaan berkelanjutan di TNBBS.

TNBBS juga merupakan kawasan yang mempunyai kompleksitas penyebab deforestasi, sehubungan dengan batas kawasan dengan pemukiman dan lahan pertanian. Tingginya interaksi terkait batas kawasan menyebabkan masyarakat masuk ke dalam kawasan (merambah) dan satwa-satwa liar terdesak keluar dari kawasan. Kusworo (2000) dan Verbist et al. (2004) sebagaimana diacu dalam Suyadi (2009) menyatakan bahwa konflik kepemilikan lahan dan kepentingan antara masyarakat dan pengelola semakin memperparah kerusakan hutan. Akibat aktifitas masyarakat di dalam kawasan, TNBBS telah mengalami kehilangan tutupan lahan secara dramatis. Kawasan ini telah mengalami pengurangan tutupan lahan hutan sejak awal tahun 1970an (Kinnaird et al. 2003). Kerusakan kawasan TNBBS dalam kurun waktu tahun 1972 - 2009 sebagaimana dalam Lampiran 1.

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) saat ini telah mengalami deforestasi (perubahan fungsi hutan) sekaligus degradasi (penurunan fungsi hutan). Dari total luas kawasan (356.800 hektar), TNBBS telah mengalami pembukaan tutupan hutan seluas kurang lebih 60.296 hektar (16,9 persen dari luas total), dimana 60.286 hektar diantaranya diakibatkan oleh aktivitas perambahan yang dilakukan oleh sekitar ±14.703 orang perambah. Laju kehilangan tutupan lahan mencapai 22,5 persen total luas kawasan selama 10 tahun terakhir (BTNBBS 2010). Apabila dibandingkan dengan rata-rata laju kerusakan dari tahun 1972 – 2009, maka dalam 10 tahun terakhir TNBBS mengalami laju

(3)

kerusakan yang semakin parah. Sebagian besar kerusakan tersebut adalah akibat pola ekstensifikasi lahan pertanian.

Pola ekstensifikasi inilah yang menyebabkan lahan hutan terambah, terkonversi, dan berubah fungsi menjadi kebun kakao, kopi, lada, padi, nilam serta berbagai tanaman komoditas lainnya. Selain itu kawasan TNBBS selalu terancam pencurian kayu yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti meranti, keruing, cempaka, medang, dan tenam. Masyarakat beranggapan bahwa semakin luas lahan garapan maka semakin banyak penghasilan, sulit menyadarkannya bahwa peningkatan penghasilan dilakukan melalui pengelolaan lahan yang tepat didukung pengembangan usaha produktif sesuai dengan potensi yang ada. Pola pikir ekspansi lahan sulit dihilangkan, apalagi mengajak masyarakat untuk berpikir jangka panjang dalam pelestarian hutan karena kebutuhan mereka adalah untuk waktu sekarang. Sementara itu, dengan adanya perambahan akan mengakibatkan kerusakan yang berdampak negatif baik dari sisi konservasi maupun masyarakat itu sendiri. Apabila pemenuhan kebutuhan manusia melebihi daya dukung ekosistem maka ekosistem tersebut akan rusak (Smith 1995 dalam Nguyen et al. 2007), dan akan merugikan masyarakat itu sendiri (Matarasso et al. 2003 diacu dalam Nguyen et al. 2007).

Semua bentuk gangguan terhadap TNBBS berimbas pada semakin terdesaknya kawasan. Selain memicu terjadinya konflik satwa-manusia yang menimbulkan kerugian material dan korban nyawa manusia, kerusakan kawasan hutan ini juga mengakibatkan daya dukung kawasan semakin menurun. Pada kenyataannya, aktivitas perambahan dan tindak ilegal lainnya dalam kawasan telah menyebabkan musnahnya ribuan meter kubik kayu dan berbagai unsur mikro dan makro organisme, memutuskan sebagian mata rantai ekosistem hutan serta mempengaruhi sistem mikro hidupan lainnya. Apabila hal ini dibiarkan maka akan menambah daftar luasan lahan kritis yang mengundang terjadinya berbagai bencana alam. Perubahan fungsi hutan akibat perambahan telah menurunkan fungsi hidrologis TNBBS dan menyebabkan 181 anak sungai yang berhulu di dalam kawasan terancam. Padahal sungai ini sangat berperan sebagai penyedia air bagi 10 kabupaten/kota di Lampung (BTNBBS 2010). Selain itu air yang dialirkan juga berperan vital bagi penyediaan air untuk pertanian dan pembangkit listrik. Kondisi demikian tentu sangat mengancam kelestarian kawasan terutama dalam penyediaan daya dukung lingkungan yang pada akhirnya dampaknya tentu saja juga akan dirasakan oleh masyarakat. Ilustrasi kerusakan kawasan akibat aktivitas ilegal masyarakat sebagaimana dalam lampiran 2.

Penanganan serius dan tepat diperlukan bukan semata-mata untuk mempertahankan status sebagai tapak warisan dunia tetapi lebih pada mempertahankan kawasan sebagai penyangga fungsi kehidupan penting tanpa mengabaikan keberadaan masyarakat. Masyarakat adalah pelaku utama yang dapat menjadi sumberdaya potensial sekaligus ancaman terhadap kelestarian kawasan. Pada saat kawasan konservasi dianggap sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi masyarakat sekitar, maka masyarakat menjadi pendukung dalam upaya pelestarian kawasan konservasi tersebut. Sebaliknya apabila kawasan dianggap sebagai penghalang dan tidak memberikan manfaat bagi masyarakat, maka masyarakat sekitar akan menjadi ancaman. Dengan demikian, keterkaitan masyarakat dengan pengelolaan taman nasional menjadi hal yang tidak dapat diabaikan. Pengelolaan Taman nasional saat ini tidak bisa dipisahkan dari masyarakat yang bermukim di

(4)

sekitar kawasan (Borrini-Feyerabend, Kothari, Oviedo 2004). Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dapat menjadi pilar bagi terciptanya pengelolaan hutan lestari. Perilaku mereka merupakan komponen paling krusial dalam mengelola dan melestarikan hutan. Keberhasilan pengelolaan taman nasional akan dipengaruhi oleh perilaku (tingkat pengetahuan, persepsi dan sikap serta tindakan) masyarakat sekitarnya terhadap taman nasional.

Dalam banyak kasus, masyarakat jarang dimunculkan/dianalisis dalam proses pengambilan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi (Chase et al. 2004 diacu dalam Guthiga 2008). Masyarakat lokal seringkali diabaikan dalam pengelolaan taman nasional (Stevens 1997 diacu dalam Adiprasetyo et al. 2009), meskipun telah diakui secara luas bahwa masyarakat di sekitar hutan merupakan kunci keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi (Ferraro 2002; Wiggins, Marfo dan Anchirinah 2004; Robertson dan Lawes 2005). Masyarakat lokal perlu dipertimbangkan untuk memperoleh pengetahuan, informasi dan manfaat dalam mengelola dan mengkonservasi kawasan dimana mereka mempunyai ketergantungan terhadapnya (Johnson 2001; White & Martin 2002 diacu dalam Guthiga 2008).

Perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi kearah pemberdayaan partisipasi telah memunculkan konsep pengelolaan pengembangan program konservasi secara terintegrasi atau disebut Integrated Conservation Development Program (IUCN 2004). Dengan demikian, pengelolaan kawasan konservasi tidak mungkin hanya ditekankan pada salah satu kepentingan, baik masyarakatnya saja maupun konservasi semata-mata. Mempertimbangkan masyarakat dalam upaya konservasi mutlak diperlukan, karena masyarakat merupakan kunci utama keberhasilan konservasi kawasan.

Diakomodirnya peran serta masyarakat adalah suatu keniscayaan. Luasnya sebaran kawasan konservasi, terbatasnya institusi pengelola, sumber daya manusia, dana, menyebabkan pengelolaan kawasan konservasi tidak mungkin dapat berjalan dengan baik tanpa peran serta masyarakat. Upaya meletakkan pola hubungan pemerintah dengan masyarakat dalam bentuk kemitraan akan menguntungkan semua pihak, baik pemerintah, masyarakat ataupun kawasan konservasi itu sendiri. Bagi masyarakat lokal, keterlibatan dalam pengelolaan kawasan konservasi bukan dilihat semata-mata sebagai sebuah tugas, tetapi didorong oleh motivasi dan rasa memiliki, dimana mereka merasa adalah bagian dari hutan atau kawasan konservasi itu sendiri (Sembiring et al. 1997).

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjelaskan bahwa penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan, dengan cara meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal.

Selain itu, pemberdayaan masyarakat dengan penekanan yang sama dituangkan dalam Permenhut No.P.16/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) Sektor Kehutanan. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dapat dilakukan melalui pemberdayaan

(5)

pengembangan ekonomi berbasis konservasi yang dikemas dalam bentuk kegiatan, seperti pembangunan desa konservasi. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam menjelaskan bahwa pemerintah berkewajiban untuk memberdayakan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dengan penekanan pengembangan kapasitas masyarakat dan pemberian akses pemanfaatan kawasan dalam zona tertentu. Beberapa poin tersebut menjelaskan bahwa porsi pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi menempati posisi sangat penting.

Pemberdayaan dimaksud merupakan proses penguatan masyarakat dengan cara memberikan motivasi dan dorongan agar masyarakat mampu menggali potensi diri dan berani bertindak untuk memperkuat kualitas hidupnya melalui pendekatan partisipasi (meningkatkan peran serta aktif masyarakat dalam kegiatan pembangunan kehutanan). Melihat artinya, maka pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi merupakan tantangan yang sangat berat karena di dalamnya terkait dengan mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat itu sendiri. Dalam rangka pemberdayaan tersebut, TNBBS telah melaksanakan berbagai kegiatan, salah satunya adalah Model Desa Konservasi (MDK). MDK merupakan bentuk program pemberdayaan masyarakat berbasis ekonomi dan konservasi yang merupakan upaya penting dalam meningkatkan akses timbal balik peran masyarakat dan fungsi kawasan konservasi terhadap peningkatan kelestarian dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan berbagai ulasan di atas, kajian penelitian diperlukan terkait bahwa memahami proses dan dampak kegiatan pemberdayaan melalui MDK terhadap masyarakat merupakan langkah dasar dan strategis dalam upaya konservasi kawasan TNBBS serta pengelolaannya terutama untuk merancang pemberdayaan yang bagaimana yang paling tepat untuk diterapkan.

Perumusan Masalah Penelitian

Penetapan wilayah sebagai taman nasional akan membatasi aktivitas maupun interaksi masyarakat terhadap hutan. Dengan kondisi demikian potensi konflik menjadi relatif tinggi. Kondisi daerah di sekitar kawasan dengan jumlah penduduk yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu, keterbatasan kepemilikan lahan dan semakin meningkatnya tuntutan pemenuhan kebutuhan, menyebabkan tekanan terhadap kawasan terhadap kawasan TNBBS. Hal ini ditunjukkan oleh adanya aktivitas perambahan, penebangan liar, perburuan satwa serta eksploitasi flora fauna lainnya yang terus terjadi.

Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat sebagai pelaku utama dalam melakukan pelestarian lingkungan dan kawasan TNBBS pada umumnya masih relatif rendah. Rendahnya tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu dari faktor internal (kurangnya pengetahuan, pendidikan dan kemampuan), faktor eksternal (kurangnya penyuluhan, pelatihan, peran media massa sebagai saluran komunikasi dan sebagainya), serta faktor proses pembelajaran yang belum memadai (Suyadi 2009).

Upaya mendorong perilaku positif sangat menentukan bagi kelestarian TNBBS. Konservasi kawasan akan efektif apabila diimbangi dengan perilaku yang

(6)

sesuai dengan tujuan tersebut. Komponen-komponen perilaku ini merujuk pada apa yang telah diketahui atau dipahami (knowledge), bagaimana persepsi dan sikap mereka (afektif), apa yang dapat mereka lakukan (skill) dan secara nyata apa yang mereka kerjakan (action). Dengan adanya kesadaran positif, masyarakat diharapkan memiliki kesamaan pandangan tentang pentingnya kawasan konservasi dan rasa tanggungjawab dalam melestarikannya.

Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi telah dilakukan sejak tahun 1993 melalui pengembangan daerah penyangga namun belum berhasil secara optimal. Pendekatan pemberdayaan yang selama ini dilakukan terbukti hanya menghasilkan perilaku sasaran yang apatis dan perubahan perilaku yang tidak permanen. Pemberdayaan dengan pendekatan kearah persuasif dan partisipatif diharapkan akan lebih efektif menghasilkan keberdayaan serta kemandirian. Untuk merealisasikannya, pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui Model Desa Konservasi (MDK). Saat ini, MDK telah dilaksanakan oleh 77 (tujuh puluh tujuh) Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan baik oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) maupun Taman Nasional di kurang lebih 133 desa di dalam dan sekitar kawasan (Dephut, 2009).

Upaya pemberdayaan masyarakat melalui MDK dilaksanakan TNBBS sejak tahun 2006. MDK bertujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kawasan, meningkatkan penghidupan dan kemandirian masyarakat dalam pemanfaatan potensi yang dimiliki melalui kegiatan yang telah disepakati dengan perencanaan partisipatif untuk mendorong peran serta masyarakat dalam menjaga kelestarian kawasan yang ada disekitarnya. Dengan demikian diharapkan akan menjamin keseimbangan ekologis, ekonomi dan sosial budaya dalam konservasi kawasan dan peningkatan kesejahteran masyarakat.

Dengan pergeseran pola pendekatan ke arah partisipatif, desentralisasi dan kemitraan dimana pelaksanaannya didukung oleh berbagai kebijakan, diharapkan MDK merupakan sebuah upaya yang tepat/efektif untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk mewujudkan partisipasi yang bersifat aktif dan kreatif serta kemandirian sebagai perilaku positif masyarakat, diperlukan upaya-upaya konkrit dalam pemberdayaan termasuk MDK sehingga masyarakat mengalami proses belajar untuk mampu memperbaiki diri sendiri (mandiri).

Upaya pemberdayaan masyarakat telah dilakukan oleh pemerintah, LSM dan Perguruan Tinggi di Indonesia. Permasalahannya adalah apakah pendekatan pemberdayaan yang telah dilakukan selama ini sudah cukup efektif. Dalam penerapannya, kegiatan pemberdayaan selama ini masih dipandang sebagai proyek dari pemerintah kepada masyarakat bersifat top-down. Banyak bukti menunjukkan bahwa program-program tersebut tidak mencapai hasil yang diharapkan bahkan telah membuat ketergantungan masyarakat kepada program-program pemerintah, bukan menciptakan masyarakat mandiri (Pillin 1999 diacu dalam Yumi 2002). Partisipasi masyarakat dalam program pemberdayaan cenderung bersifat semu dan sementara, serta sering hanya dilihat dalam konteks sempit, yaitu sekedar pelaksanaan program, masyarakat tidak dikembangkan kemampuannya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil pihak luar.

Selain faktor dari masyarakat, komitmen dari pihak pengelola juga perlu mendapat perhatian. Dari hasil laporan kegiatan MDK, secara umum sebagian besar pengelola belum menganggap kegiatan pemberdayaan MDK sebagai

(7)

prioritas dan hal ini mengakibatkan keberlanjutan pelaksanaan terhambat. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektif atau tidaknya kegiatan pemberdayaan, baik dari segi masyarakatnya sendiri (faktor internal) maupun faktor eksternal (lingkungan).

Berdasarkan uraian tersebut, hal yang perlu mendapatkan prioritas perhatian adalah keterkaitan kegiatan pemberdayaan melalui MDK dengan masyarakat terutama dalam merespon keberadaan TNBBS sebagai sumber kehidupan yang mempengaruhinya. Bagaimanakah efektifitas pemberdayaan masyarakat MDK sebagai upaya yang telah dilakukan terhadap masyarakat, faktor-faktor apa yang berhubungan dan mempengaruhinya, pendekatan yang bagaimanakah yang paling efektif berkaitan dengan upaya pengelolaan berkelanjutan TNBBS dari segi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Bagaimana kecenderungan perubahan dalam masyarakat sebagai hasil/dampak kegiatan pemberdayaan dapat menjadi dasar bagi upaya-upaya konservasi kawasan TNBBS. Masyarakat dalam kajian ini adalah masyarakat yang tinggal disekitar kawasan yang sebagian besar berbatasan langsung dan berinteraksi dengan kawasan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan diatas dapat dirumuskan pertanyaan masalah penelitian yaitu: (1) Bagaimanakah efektifitas pemberdayaan MDK yang dilakukan di TNBBS? (2) Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan efektifitas MDK di TNBBS? dan (3) Bagaimanakah peningkatan efektifitas pemberdayaan MDK di TNBBS berkaitan dengan pendekatan kegiatan pemberdayaan yang tepat untuk diterapkan?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

(1). Menganalisis efektifitas pemberdayaan masyarakat MDK di TNBBS;

(2). Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan efektifitas

pemberdayaan masyarakat MDK di TNBBS; dan

(3). Menganalisis peningkatan efektifitas pemberdayaan MDK di TNBBS berkaitan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang paling tepat untuk diterapkan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam mempertimbangkan kegiatan pemberdayaan masyarakat di TNBBS khususnya dan kawasan konservasi lain pada umumnya berdasarkan efektifitasnya dalam mendorong perilaku positif masyarakat. Bagi ilmu penyuluhan, penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan berkaitan dengan per an penyuluhan melalui pemberdayaan dalam mewujudkan peran timbal balik antara kesejahteraan masyarakat dan kelestarian kawasan konservasi.

Referensi

Dokumen terkait

However the vastly different systems of legal pluralism in Indonesia and legal centralism in Australia create diverse challenges for the recognition and implementation

Pemerintah juga dapat berperan dalam mempromosikan setiap kegiatan yang dilakukan media tradional seperti Mendu misalnya dengan menampilkannya dalam situs-situs

Yang telah melimpahkan berkah, rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “ Pengaruh Pajak, Tunneling Incentive dan Mekanisme Bonus

Dengan demikian unsur ini dapat mencegah terjadinya penggetasan pada suhu tinggi yang disebabkan terjadinya ikatan senyawa FeS yang memiliki titik cair lebih

Perbedaan Hasil Pergitungan Kursi Munculkan Kontroversi SahabAt MQ/ pasca pengumuman hasil rekapitulasi perolehan suara pada pemilu leguslatif lalu/ KPU menuai protes

Berdasarkan tabel 4.1 tersebut dapat diketahui bahwa responden yang menggunakan handphone Nokia, yang berusia 17-20 tahun berjumlah 33 mahasiswa atau 34,4 persen dari

Simpulan penelitian pengembangan ini adalah (1) Dihasilkan modul pembelajaran fisika dengan strategi inkuiri terbimbing pada materi fluida statis yang tervalidasi; (2)

skor penilaian yang diperoleh dengan menggunakan tafsiran Suyanto dan Sartinem (2009: 227). Pengkonversian skor menjadi pernyataan penilaian ini da- pat dilihat