MODEL ALOMETRIK BIOMASSA DAN MASSA KARBON
BAMBU BELANGKE (Gigantochloa pruriens Widjaja.) DI HUTAN RAKYAT
DESA SIRPANG SIGODANG, KECAMATAN PANEI, KABUPATEN SIMALUNGUN
ALOMETRIC MODEL OF BIOMASS AND CARBON MASS OF
BAMBOO BELANGKE (Gigantochloa pruriens Widjaja.) IN FOREST COMMUNITY
SIRPANG SIGODANG VILLAGE, PANEI SUB DISTRICT, SIMALUNGUN DISTRICT
Yonri Situmorang
a*, Muhdi
b, Irawati Azhar
caProgram Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Jl. Tri Dharma Ujung No.1
Kampus USU Medan 20155(*Penulis korespondensi, Email: yonri_s@yahoo.co.id)
bStaff Pengajar Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan 20155 cStaff Pengajar Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan 20155
ABSTRACT
Bamboo has a high carbondioxide absorption, but quantitively this ability of bamboo belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) has not much known. This research was conducted in the area of forest community Sirpang Sigodang village, Panei Sub District, Simalungun District. The research was carried out in two stages, namely the first stage were to data in the field and the second stage was analyze of biomass and carbon plant in the laboratory. Parameters measured in the field was wet weight, where as in the laboratory is measured moisture content, volatile matter content, ash content and carbon content. The results showed that the best model of alometric equations for estimating biomass and carbon of bamboo belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) was W = 38.258-10.683D+0.854D2 and C = 14.994-4.139D+0.339D2. The
potential of biomass and carbon contained in bamboo belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) were 8.67 ton/ha and 4.05 ton C/ha.
Keywords: Allometric Models, Babu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja), community forest, Sirpang Sigodang Viilage.
PENDAHULUAN Latar belakang
Isu perubahan iklim saat ini merupakan suatu fenomena global yang menjadi perhatian berbagai pihak baik ditingkat lokal, nasional, maupun internasional. Dampak yang ditimbulkan oleh fenomena ini mendorong berbagai komunitas internasional untuk mengatasi penyebab yang ditimbulkan dan mengantisipasi akibatnya. Penyebab perubahan iklim yaitu meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK), terutama adanya gas karbon dioksida (CO2) yang ditimbulkan karena terjadinya alih
guna fungsi lahan maupun pembakaran bakar fosil.
Selama 10 tahun terakhir ini telah banyak konversi hutan menjadi areal pertanian, perkebunan, pemukiman, dan industri. Dengan demikian, lahan hutan yang masih tersisa akan terancam keberadaannya untuk dikonversi menjadi lahan yang menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi. Beberapa tahun terakhir ini persaingan memperoleh konsesi lahan untuk pengusahaan hutan banyak terjadi dengan sektor perkebunan. Luas areal perkebunan di Indonesia,
baik perkebunan besar maupun perkebunan rakyat cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dari seluruh komoditas utama perkebunan, komoditas kelapa sawit, dan komoditas karet adalah areal perkebunan yang terluas.
Beberapa penelitian tentang pendugaan cadangan karbon hutan, tanaman kelapa sawit, tanaman karet telah ditemukan, namun pendugaan cadangan karbon pada pola penggunaan lahan lainnya belum banyak didapati. Kondisi ini menyebabkan tidak didapatkannya informasi yang cukup banyak bagi pengambil keputusan untuk memilih pola alih fungsi lahan yang layak secara ekonomi namun juga ramah lingkungan, sehingga kegiatan alih fungsi lahan tidak hanya didasarkan atas alasan ekonomi semata.
Choirudin (2009) menyatakan bahwa hutan rakyat mempunyai peran yang sangat besar dalam mengendalikan pemanasan global melalui fungsinya sebagai penyerap karbon. Jenis bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) adalah salah satu tumbuhan yang banyak dijumpai di hutan rakyat, khususnya di Desa Sirpang Sigodang, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun. Jenis tersebut ditanam oleh masyarakat karena memiliki banyak manfaat terhadap lingkungan, industri, maupun sosial
ekonomi, namun manfaat bambu sebagai penyerap karbon belum banyak dibicarakan. Padahal menurut Sutiyono (2009) bambu memiliki daya serap karbon dioksida (CO2) yang
besar.
Mengingat beberapa penelitian tentang pendugaan biomassa dan massa karbon hutan, tanaman kelapa sawit, tanaman karet telah ditemukan, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengukur seberapa besar cadangan karbon yang mampu disimpan oleh bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.). Dari pernyataan diatas maka perlu dilakukan penelitian dengan judul “Model Alometrik Biomassa dan Massa Karbon Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) di Hutan Rakyat Desa Sirpang Sigodang, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun.”
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kandungan karbon pada setiap bagian tanaman bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja), mendapatkan model alometrik pendugaan biomassa dan massa karbon pada tanaman bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.), mendapatkan potensi kandungan biomassa dan massa karbon pada tanaman bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.)
Hipotesis
Terdapat perbedaan kandungan biomassa dan massa karbon pada batang, dan ranting dengan daun pada bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) di hutan rakyat Desa Sirpang Sigodang, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalugun.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberi informasi bagi akademika, peneliti, masyarakat umum, dan pihak-pihak yang membutuhkan terkait dengan kandungan biomassa dan massa karbon pada bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) di hutan rakyat Desa Sirpang Sigodang, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun.
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di areal Hutan Rakyat Sirpang Sigodang, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan dua tahap kegiatan, yaitu tahap pertama pengambilan data di lapangan dan tahap kedua menganalisa karbon dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Waktu penelitian dilaksanakan pada
bulan Januari 2015 sampai Mei 2015. Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: pita diameter, tali berskala, Aluminium foil, timbangan (neraca Ohaus), parang, kamera digital, alat tulis, tally sheet, tali rafia, kantong plastik, label nama, kalkulator, Microsof excel 2007, dan SPSS 20. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan bambu. Metode Penelitian
Pada penelitian ini, pengukuran biomassa tegakan bambu, dilakukan dengan metode destructive. Menurut Hairiah (2011) metode destructive ini dilakukan oleh peneliti untuk tujuan pengembangan rumus alometrik, terutama pada jenis-jenis tegakan yang mempunyai pola percabangan spesifik yang belum diketahui model alometriknya secara umum. Pengembangan alometrik dilakukan dengan menebang pohon dan mengukur diameter, tinggi total dan berat basah. Metode juga dilakukan pada tumbuhan bawah, tanaman semusim dan perdu.
Sampel yang ditebang adalah bambu dewasa. Bambu dewasa dicirikan oleh kondisi batang yang telah lepas seludangnya (tidak ada seludang) dan telah mengalami pertumbuhan cabang pada masing-masing ruasnya.
Penentuan Petak Ukur
Pengukuran parameter tegakan yang penting dilakukan pada setiap petak contoh penelitian (PCP) dengan metode jalur berpetak. Setiap PCP dibuat dengan ukuran 20mx20m dengan jarak antar petak contoh 10mx10m (Kiyoshi, 2002). Adapun petak ukur yang dibuat sebanyak 1 baris, sehingga banyaknya petak contoh penelitian (PCP) adalah 3 petak. Penempatan lokasi petak ukur dilakukan dengan cara Random Sampling.
Adapun parameter yang diukur adalah sebagai berikut :
1.
Diameter merupakan garis lurus yang menghubungkan dua titik di tepi batang dan melalui sumbu batang. Diameter yang diukur adalah Dbh (Diameter Setinggi Dada) atau diukur 1,3 m dari permukaan tanah.2.
Tinggi total, yaitu jarak terpendek dari titik puncak tegakan dengan titik proyeksinya pada bidang datar.3.
Berat basah tegakan, yaitu hasil penjumlahan semua berat basah dari bagian tegakan. Pengumpulan DataData yang dikumpulkan pada penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan hasil pengukuran di lapangan
diameter (dbh), tinggi total, dan berat basah total tegakan bambu) dan hasil uji laboratorium (kadar air, kadar zat terbang, kadar abu, dan kadar karbon).
Data sekunder adalah data biomassa dan massa karbon pada tanaman bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) yang telah ada sebelumnya, baik data yang dikeluarkan oleh instansi terkait, penelitian sebelumnya maupun literatur pendukung. Penyusunan Model Alometrik Biomassa dan Massa Karbon
Pada penelitian ini akan disusun model alometrik biomassa dan massa karbon dalam tegakan, dengan cara menebang tegakan contoh terpilih yaitu bambu dewasa. Penentuan jumlah tegakan bambu contoh yang ditebang dilakukan dengan metode acak. Penentuan pengambilan sample bambu yang akan ditebang berdasarkan petak contoh penelitian (PCP) yang dibuat, yaitu dalam satu PCP ditebang 3 sample batang bambu secara acak. Begitu juga dengan 2 PCP lainnya. Tegakan contoh yang terpilih tersebut kemudian ditebang, kemudian dipisahkan berdasarkan bagian-bagian tegakan, yaitu batang, ranting dan daun. Batang tegakan akan dibagi menjadi beberapa segmen, dengan panjang segmen sekitar 200 cm. Semua bagian tegakan contoh tersebut kemudian ditimbang, sehingga diketahui berat basah setiap bagiannya. Setelah penimbangan, setiap bagian tegakan diambil contoh ujinya dan selanjutnya dianalisa di laboratorium. Pengujian sampel meliputi kadar air, kadar zat terbang, kadar abu, dan kadar karbon.
Model hubungan antara biomassa dan massa karbon bambu dengan dimensi bambu dibuat dengan metode hubungan alometrik yang menggambarkan biomassa atau massa karbon per tegakan sebagai fungsi dari diameter, dan tinggi total. Model alometrik terbaik kemudian dipergunakan untuk penaksiran biomassa dan massa karbon tegakan.
Prosedur Penelitian di Laboratorium Kadar air
Contoh uji kadar air batang dibuat dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Sedangkan contoh uji dari bagian ranting dengan daun diambil masing-masing
± 300g. Cara pengukuran kadar air contoh uji adalah sebagai berikut :
1. Contoh uji ditimbang berat basahnya. 2. Contoh uji dikeringkan dalam tanur suhu 103
± 2oC sampai tercapai berat konstan,
kemudian dimasukkan ke dalam eksikator. 3. Penurunan berat contoh uji yang dinyatakan
dalam persen terhadap berat kering tanur
ialah kadar air contoh uji. Pengukuran kadar karbon
Pengukuran kadar karbon dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1. Kadar zat terbang
Prosedur penentuan kadar zat terbang menggunakan American Society for Testing Material (ASTM) D 5832-98. Prosedurnya adalah sebagai berikut :
a. Sampel dari tiap bagian dipotong menjadi bagian-bagian kecil sebesar batang korek api, sedangkan sampel bagian ranting dengan daun dicincang.
b. Sampel kemudian dioven pada suhu 80oC
selama 48 jam.
c. Sampel kering digiling menjadi serbuk dengan mesin penggiling (willey mill).
d. Serbuk hasil gilingan disaring dengan alat penyaring (mesh screen) berukuran 40-60 mesh.
e. Serbuk dengan ukuran 40-60 mesh dari contoh uji sebanyak ± 2 gr, dimasukkan kedalam cawan porselin, kemudian cawan ditutup rapat dengan penutupnya, dan ditimbang dengan timbang Sartorius.
f. Contoh uji dimasukkan ke dalam tanur listrik bersuhu 950 oC selama 2 menit. Kemudian
didinginkan dalam eksikator dan selanjutnya ditimbang.
g. Selisih berat awal dan berat akhir yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering contoh uji merupakan kadar zat terbang.
Pengukuran persen zat terbang terhadap sampel dari tiap bagian dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.
2. Kadar abu
Prosedur penentuan kadar abu menggunakan American Society for Testing Material (ASTM) D 2866-94. Prosedurnya adalah sebagai berikut :
a. Sisa contoh uji dari penentuan kadar zat terbang dimasukkan ke dalam tanur listrik bersuhu 900 oC selama 6 jam.
b. Selanjutnya didinginkan di dalam eksikator dan kemudian ditimbang untuk mencari berat akhirnya.
c. Berat akhir (abu) yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur contoh uji merupakan kadar abu contoh uji.
Pengukuran kadar abu terhadap sampel dari tiap bagian dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. 3. Kadar karbon
Penentuan kadar karbon contoh uji dari tiap-tiap bagian pohon menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995, dimana kadar karbon contoh uji merupakan hasil
pengurangan 100% terhadap kadar zat terbang dan kadar abu.
Pengolahan Data Kadar air
Nilai kadar air dari contoh uji didapat dengan menggunakan persamaan Haygreen., dkk (1996) sebagai berikut :
Dimana :
KA = Kadar air
BA = Berat awal contoh uji
BKT = Berat kering tanur (oven) dari contoh uji Kadar zat terbang
Kadar zat yang mudah menguap dinyatakan dalam persen berat dengan rumus sebagai berikut : % 100 x A B A terbang zat Kadar Dimana :
A = Berat kering tanur pada suhu 105 oC
B = Berat contoh uji dikurangi berat berat cawan dan sisa contoh uji berat cawan dan sisa contoh uji pada suhu 950 oC
Kadar abu
Besarnya kadar abu dihitung dengan rumus sebagai berikut :
% 100 keringovenx uji contoh Berat abu Berat abu Kadar Kadar karbon
Penentuan kadar karbon terikat (fixed carbon) ditentukan berdasarkan rumus berikut ini: Kadar karbon terikat arang = 100%-kadar zat terbang arang-kadar abu
Berat kering/Biomassa
Berat kering total bagian-bagian pohon dihitung dengan rumus :
100 % 1 KA BB BK (Haygreen., dkk 1996) Dimana : BK = Berat kering/biomassa (Kg) BB = Berat basah (Kg) KA = Kadar air (%)
Berat kering total merupakan penjumlahan berat kering total bagian tanaman bambu yang terdiri dari berat kering batang, dan ranting dengan daun.
Model alometrik biomassa dan massa karbon bambu
Model alometrik untuk penaksiran biomassa atau massa karbon dari bagian-bagian
tanaman menggunakan satu atau lebih peubah dimensi berikut : Ŷ = ß0+ ß1D+ ß2D2 Ŷ = ß0Dß1 Ŷ = ß0+ ß1D2H Ŷ = ß0 Dß1Hß2 Dimana :
Ŷ = Taksiran nilai biomassa atau karbon bambu (kg/batang)
D = Diameter (dbh) (cm) H = Tinggi total (cm) ß0,
ß1, ß2
= Konstanta (parameter) regresi Untuk mencari penduga persamaan model alometrik dilakukan melalui analisis regresi koefisien determinasi (R-square). Nilai R-square ini menunjukkan persentase besarnya variabilitas dalam data yang dijelaskan oleh model regresi. Maksimum nilai R-square adalah 100% dan minimal 0%. Jika nilai R-square 100%, misalnya untuk regresi linier sederhana semua titik data akan menempel ke garis regresi, semakin kecil R-square maka data makin menyebar jauh dari garis. Oleh karena itu jika R-square kecil maka keeratan hubungan antara X dan Y lemah dan jika R-square 0% menunjukkan bahwa X tidak memiliki hubungan dengan Y (Sutaryo, 2009). Analisis Data
Analisis perbedaan kadar karbon pada bagian-bagian tanaman dilakukan analisis statistik dengan uji beda rata-rata menggunakan uji one way anova, yaitu berdasarkan Tukey HSD. Adapun parameter yang diuji adalah : 1. Menentukan formulasi hipotesis
H0 : Tidak ada perbedaan rata-rata karbon antar setiap bagian tanaman
H1 : Ada perbedaan rata-rata karbon antar setiap bagian tanaman
2. Menentukan taraf nyata pada selang kepercayaan 95%
3. Menentukan kriteria pengujian
H0 diterima (H1 ditolak) apabila P > 0,05 H1 diterima (H0 ditolak) apabila P < 0,05 4. Membuat kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Hutan rakyat Desa Sirpang Sigodang terletak di Keluruhan Sigodang, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (Gambar 4). Kelurahan Sigodang memiliki ketinggian 600 m di atas permukaan laut. Kelurahan Sigodang memiliki luas wilayah 4,25 km2 dan memiliki 7 Dusun.
% 100 x BA BKT BA KA
Gambar 4. Peta Administrasi Desa Sirpang Sigodang, Kecamatan Panei
Berdasarkan informasi yang didapat dari masyarakat sekitar Desa Sirpang Sigodang sebagian besar lahannya ditanami dengan jenis bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.), bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.), dan bambu petung (Dendrocalamus asper) yang digunakan oleh masyarakat untuk pembuatan keranjang. Sedangkan sisanya adalah lahan
pertanian dan lahan perkebunan. Luas wilayah hutan rakyat Desa Sirpang Sigodang yang ditanami jenis bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) sebesar ± 4 ha.
Karakteristik Tegakan Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.)
Karakteristik bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) yang terpilih ditentukan berdasarkan data diameter, tinggi total, dan berat basah masing-masing tegakan bambu. Hasil inventarisasi tegakan contoh menunjukkan bahwa kelas diameter terbesar yaitu 8,51 cm dan diameter bambu terkecil yaitu 5,79 cm. Pada bambu dengan diameter 8,51 cm memiliki tinggi total sebesar 13,8 m sedangkan untuk bambu dengan diameter 5,79 cm memiliki tinggi total sebesar 9,9 m. Rata-rata kelas diameter tegakan bambu yang ditebang sebagai tegakan contoh terpilih yaitu sebesar 10,65 cm, dan rata-rata tinggi total tegakan sebesar 7,41 m. Tabel 4. Karakteristik Tegakan Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.)
Sampel
Tebang Tinggi Total (m) Diameter (cm) Berat Basah (kg) Total Berat Basah (kg) Batang Ranting dan Daun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 11,7 11,7 9,4 9,9 11,4 11,1 11,8 10,6 8,3 8,35 7,49 7,07 7,67 5,91 7,73 7,26 7,81 7,42 18,15 14,3 11,1 10,6 7,8 11,5 13,4 9,8 14,2 6,3 4,1 3,1 3,3 3,1 3,1 4,3 1,9 1,6 24,45 18,4 14,2 13,9 10,9 14,6 17,7 11,7 15,8 Rata-rata 10,65 7,41 12,31 3,42 15,73
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa berat basah masing-masing tegakan bambu berbeda-beda. Berat basah tertinggi terdapat pada sampel tebang 1 (satu) yaitu 24,45 kg dengan diameter sebesar 8,35 cm dan tinggi total 11,7 m. Sedangkan berat basah terkecil terdapat pada sampel tebang 5 (lima) yaitu 10,9 kg dengan diameter 5,91 cm dan tinggi total sebesar 11,4 m. Untuk bagian-bagian tegakannya, berat basah tertinggi terdapat pada bagian anatomi batang, kemudian yang terkecil pada bagian ranting dengan daun. Rata-rata berat basah pada bagian batang sebesar 12,31 kg, dan berat basah ranting dengan daun sebesar 3,42 kg. Batang memiliki berat basah yang tinggi disebabkan kemampuan menyimpan airnya tinggi, dan memiliki ukuran partikel yang lebih besar. Sedangkan ranting dengan daunpada bambu memiliki berat basah yang kecil disebabkan ukuran yang lebih kecil dan lebih sedikit menyimpan air. Menurut Widjaja (1985)
pada batang memiliki berat basah yang tinggi disebabkan batang pada bambu memiliki komponen kimia diantaranya holoselulosa 52,1%-54%, lignin 24,8%-25,8%, silika 1,8%-5,2%, dan zat ekstraktif sebesar 5,2%.
Berdasarkan hubungan diameter dengan tinggi total tegakan bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) terhadap berat basahnya tidak selalu linear. Hal ini dapat dilihat bahwa pada sampel tebang 4 (empat) memiliki diameter 7,67 cm dengan tinggi total sebesar 9,9 m memiliki total berat basah 13,9 kg, sedangkan pada sampel tebang 5 (lima) memiliki diameter 5,91 cm dan tinggi total 11,4 m memiliki berat basah sebesar 10,9 kg. Untuk itu diperlukan suatu model alometrik non linear yang tepat untuk menduga biomassa dan massa karbon.
Pada penelitian ini dilakukan inventarisasi terhadap tegakan bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) yang dilakukan dengan cara Random Sampling dengan ukuran
masing-masing plot 20mx20m. Pada kegiatan inventarisasi menggunakan Intensitas Sampling sebesar 0,05 (5%) dari total keseluruhan lahan sebesar ±4 ha. Tujuan dari inventarisasi untuk mendapatkan potensi kandungan biomassa dan
massa karbon pada tegakan bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) di hutan rakyat Desa Sirpang Sigodang.
Tabel 5. Hasil Inventarisasi Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.)
No Plot Total Rumpun Total Batang Total Batang/Rumpun 1 2 3 9,00 6,00 9,00 217,00 155,00 253,00 19,00 26,00 28,00 Total 24,00 624,00 73,00 Rata-rata 8,00 208,00 24,00
Berdasarkan Tabel 5. dapat dilihat bahwa jumlah total tegakan bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) terbesar terdapat pada plot 3 (tiga) yaitu sebanyak 253 batang dengan jumlah rumpun sebanyak 9 (sembilan) rumpun. Sedangkan pada plot 2 (dua) jumlah batang bambu lebih sedikit dibandingkan dengan plot 1 (satu) dan plot 3 (tiga) yaitu sebanyak 155 batang bambu dengan jumlah rumpun sebanyak 6 (enam) rumpun. Hal ini disebabkan pada saat sebelum dilakukan inventarisasi telah dilakukan pemanenan bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) pada plot 2 (dua) oleh masyarakat setempat.
Karakteristik Fisik Kimia Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.)
Kadar Air
Kadar air didefinisikan sebagai berat air yang terdapat didalam kayu terhadap berat kering tanur yang dinyatakan dalam persen. Data sampel tebang yang dikumpulkan di lapangan merupakan data berat basah sehingga diperlukan data kadar air untuk mengubahnya menjadi berat kering. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa terdapat variasi kadar air berdasarkan bagian anatomi bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Variasi Rata-Rata Kadar Air Sampel Tebang
No Sampel Tebang Kadar Air (%)
Batang Ranting dan Daun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 136,22 135,97 155,19 146,10 133,15 244,98 148,34 171,96 132,29 149,23 128,97 135,24 110,71 94,34 148,38 149,10 141,25 137,07 Rata-rata 156,02 132,70
Bagian anatomi bambu yang paling tinggi kadar airnya yaitu pada bagian batang sebesar 132,29%-244,98% (rata-rata 156,02%), sedangkan pada kadar air ranting dengan daun hanya sebesar 94,34%-149,23% (rata-rata 132,70%). Menurut Liese (1998) kadar air tertinggi terdapat pada batang disebabkan karena pada batang terjadi proses penebalan serat dan dinding sel parenkim pada saat memasuki tahap pertumbuhan, selain itu juga kadar air tertinggi pada batang disebabkan batang merupakan unit yang tersusun atas selulosa sehingga banyak mengandung kadar air. Dari hasil penelitian yang dilakukan Hamid dkk., (2003) pada uji kadar air bambu Gigantochloa sp dengan memandang umur bambu memiliki variasi kadar air antara 48,6% hingga 90,5%. Kadar air tertinggi pada batang berumur 0,5 tahun sebesar 90,5% dan kadar
terendah pada pada batang bambu berumur 6,5 tahun yaitu 48,6%. Oleh karena itu kadar air pada bambu dipengaruhi oleh usia, dan musim penebangan bambu. Kadar air bambu memiliki kecenderungan yang lebih tinggi pada saat musim hujan.
Kadar Karbon
Besarnya kadar karbon tergantung pada kadar abu dan zat terbang dimana semakin tinggi kadar zat terbang dan kadar abu maka kadar karbon juga semakin rendah. Rata-rata kadar karbon berdasarkan bagian-bagian anatomi bambu mamiliki kadar karbon yang bervariasi yakni kadar karbon terbesar terdapat pada bagian batang sebesar 57,46% dengan kisaran kadar karbon antara 54,86%-59,32%. Sedangkan rata-rata kadar karbon terkecil terdapat pada ranting dengan daun sebesar
18,67% dengan kisaran kadar karbon antara 18,19%-19,40%. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan Muhdi (2013) di areal hutan alam tropika IUPHHK-HA
PT. Inhutani II, Malinau, Kalimantan Timur yang menyatakan bahwa rata-rata kadar kabon tertinggi terdapat pada batang sebesar 45,75%. Tabel 7. Variasi Rata-Rata Kadar Karbon pada Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.)
No Sampel Tebang Kadar Karbon (%)
Batang Ranting dan Daun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 56,95 57,23 57,88 54,86 58,79 57,79 57,26 59,32 57,04 18,57 18,50 18,15 19,38 19,23 18,35 18,30 18,19 19,40 Rata-rata 57,46 18,67
Apabila variasi kadar karbon dilihat berdasarkan variasi diameter dan tinggi tanaman, menunjukkan bahwa adanya korelasi positif antara pertambahan diameter dan tinggi tanaman dengan pertambahan kadar karbon tanaman. Demikian juga terdapat variasi kadar karbon pada setiap bagian anatomi tegakan bambu dimana pada bagian batang memiliki kadar karbon lebih besar dan semakin keatas bagian ranting dengan daun akan semakin kecil. Variasi ini dipengaruhi oleh kadar zat terbang dan kadar abu pada setiap bagian anatomi tanaman.
Tingginya kadar karbon pada bagian batang disebabkan karena unsur karbon. Menurut Limbong (2009) unsur karbon merupakan bahan organik penyusun dinding sel-sel batang. Batang suatu tegakan secara umum tersusun oleh selulosa, lignin, dan bahan
ekstraktif yang sebagian besar tersusun atas unsur karbon. Sedangkan pada daun umumnya tersusun oleh banyak rongga stomata yang berfungsi untuk pertukaran gas sehingga menyebabkan partikel pada daun kurang padat dan tidak banyak menyimpan karbon.
Uji Beda Rata-Rata Berdasarkan Uji One Way
Anova
Pada penelitian ini, uji beda rata-rata dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar karbon pada setiap bagian tanaman. Dapat dilihat hasil yang diperoleh untuk uji rata-rata kadar karbon pada setiap bagian tanaman belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil Uji Beda Rata-Rata Kadar Karbon Pada Setiap Bagian Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) Berdasarkan Uji One Way Anova (Tukey HSD)
Beda Rata-rata Signifikansi Tukey HSD Batang Ranting dan daun 38,78333 0,000
* Ranting dan daun Batang -38,78333 0,000* Keterangan : * : Berbeda Nyata (P<0,05) Pada Selang Kepercayaan 95%
Berdasarkan uji beda rata-rata kadar karbon pada tanaman bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) menunjukkan hal yang berbeda nyata antara kadar karbon bagian batang dengan ranting dan daun pada tanaman bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7 bahwa terdapat perbedaan yang cukup nyata antara rata-rata kadar karbon bagian batang dengan ranting dan daun yaitu 57,46% dengan 18,67%.
Biomassa (Berat Kering)
Biomassa diperoleh dari pengukuran berat basah di lapangan dan uji persen kadar air yang dilakukan di laboratorium. Niinemets (2007) menyatakan laju pertumbuhan tanaman akan memicu produksi hasil-hasil fotosintesis yang berupa kandungan selulosa dan zat-zat penyusun kayu yang meningkatkan berat bahan organik. Laju produksi biomassa (bahan kering) tanaman tergantung laju akumulasi biomassa harian dikurangi kehilangan biomassa oleh proses fisiologi seperti respirasi pada tanaman.
Tabel 9. Variasi Rata-Rata Biomassa Pada Berbagai Anatomi Tegakan Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.)
No Sampel Tebang
Batang Ranting dan Daun Total Biomassa (kg/batang) Berat
Basah (kg) Biomassa (kg) Basah (kg) Berat Biomassa (kg) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 18,15 14,30 11,10 10,60 7,80 11,50 13,40 9,80 14,20 7,68 6,05 4,34 4,30 3,34 3,33 5,39 3,60 6,11 6,30 4,10 3,10 3,30 3,10 3,10 4,30 1,90 1,60 2,52 1,79 1,31 1,56 1,24 1,24 1,72 0,78 0,67 10,21 7,85 5,66 5,87 4,59 4,58 7,12 4,39 6,78 Rata-rata 12,31 4,91 3,42 1,43 6,34
Berdasarkan Tabel 9 memperlihatkan bahwa proporsi biomassa tertinggi terdapat pada batang yaitu sebesar 3,33 kg-7,68 kg (rata-rata 4,91 kg), sedangkan untuk proporsi biomassa untuk ranting dengan daun sebesar 0,67 kg-2,52 kg (rata-rata 1,43 kg). Total biomassa yang terdapat pada bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) sebesar 4,39 kg-10,21 kg (rata-rata 6,34 kg/batang). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Suprihatno (2012) terhadap analisis biomassa bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) diperoleh 1,45-19,25 kg/batang (rata-rata 8,72 kg/batang). Oleh karena itu rata-rata biomassa semakin meningkat dengan bertambahnya tinggi tanaman dan umur tanaman. Brown (1997) menyatakan akumulasi
biomassa suatu tanaman dipengaruhi oleh umur, ketersediaan hara, tanah, dan iklim setempat. Massa Karbon
Nilai karbon tersimpan ditentukan dengan pengukuran biomassa tegakan. Brown., dkk (1984) menyatakan karbon tersimpan merupakan 50% dari biomassa tegakan yang diukur, sehingga massa karbon berkorelasi positif dengan besarnya biomassa yang berarti semakin besar simpanan biomassa maka massa karbon akan semakin tinggi. Data hasil penelitian kandungan massa karbon yang terkandung pada bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Variasi Rata-Rata Massa Karbon Pada Berbagai Anatomi Tegakan Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) setiap batang
No Sampel Tebang Massa Karbon (kg/batang) Total Massa Karbon (kg/batang) Batang Ranting dan
Daun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 4,37 3,46 2,51 2,36 1,96 1,92 3,08 2,13 3,48 0,46 0,33 0,23 0,30 0,24 0,22 0,31 0,14 0,13 4,84 3,80 2,75 2,66 2,20 2,15 3,40 2,28 3,61 Rata-rata 2,81 0,26 3,08
Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa total massa karbon terbesar terdapat pada bagian anatomi batang yaitu sebesar 1,92 kg-4,37 kg (rata-rata 2,81 kg), sedangkan untuk bagian anatomi ranting dengan daun terdapat massa karbon sebesar 0,13 kg-0,46 kg (rata-rata 0,26 kg), dan total biomassa yang diserap oleh bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) sebesar 2,15 kg/batang-4,84 kg/batang (rata-rata
3,08 kg/batang). Oleh karena itu semakin tinggi tanaman dan semakin besar diameter tanaman massa karbon semakin meningkat. Menurut Gust (2011) bahwa massa karbon yang terdapat pada suatu bagian tanaman berasal dari karbohidrat sebagai hasil fotosintesis daun. Fotosintat hasil fotosintesis pada daun merupakan sumber karbohidrat yang akan ditranslokasikan ke organ lain (batang, ranting dan daun).
Tabel 11. Jumlah Biomassa dan Massa Karbon Setiap Rumpun
No Plot Total Batang/Rumpun Total Biomassa/Rumpun (Kg) Total Massa Karbon/Rumpun (Kg) 1 2 3 19,00 26,00 28,00 120,46 164,84 177,52 58,52 80,08 86,24 Total 73,00 519,90 224,84 Rata-rata 24,00 173,30 74,94
Berdasarkan Tabel 11 biomassa bambu dalam satu rumpun adalah 120,46-177,52 kg/rumpun (rata-rata 173,30 kg/rumpun). Massa karbon bambu dalam satu rumpun adalah 58,52-86,24 kg/rumpun (rata-rata 74,94 kg/rumpun). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Suprihatno (2012) pada jenis bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) dimana jumlah biomassa pada setiap rumpun sebesar 139,73-177,53 kg/rumpun (rata-rata 156,57 kg/rumpun) dan jumlah massa karbon pada setiap rumpun sebesar 75,06-94,83 kg/rumpun (rata-rata 83,81 kg/rumpun).
Model Alometrik Biomassa Tanaman Contoh Pengambilan sampel bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) yang dilakukan dengan cara pengrusakan (destructive) telah diperoleh beberapa model alometrik pada Tabel 12. Model alometrik yang terpilih tersebut selanjutnya dibandingkan dengan model alometrik yang lain yang menggunakan beberapa variabel bebas yang berbeda. Model alometrik terbaik dari suatu persamaan yang menggunakan suatu variabel bebas tertentu akan dipilih untuk menduga biomassa tegakan bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.).
Tabel 12. Model Alometrik Biomassa Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja)
Bagian Model Alometrik S P F Hit R-sq (%)
Batang W = 18,265-5,053D+0,435D2 W = -3,246D1,100 W = 1,661+0,005D2H W = -4,181D1,097H0,090 1,478 1,396 1,411 1,502 0,387 0,178 0,197 0,425 1,118 2,243 2,036 0,989 52,1 49,3 47,5 49,8 Ranting dan Daun W = 19,993-5,630D+0,419D2
W = -0,236D0,287 W = -0,236+0,003D2H W = -3,728D0,278H0,290 0,536 0,561 0,452 0,446 0,328 0,364 0,056 0,110 1,351 0,944 5,277 3,267 55,7 34,5 42,7 52,1 Total Biomassa W = 38,258-10,683D+0,854D2 W = -3,942D1,387 W = 1,425+0,008D2H W = -7,908D1,375H0,380 1,814 1,762 1,664 1,826 0,326 0,178 0,110 0,340 1,359 2,238 3,56 1,300 55,8 49,2 56,9 55,0 Keterangan: W = Biomassa (kg) H = Tinggi Total (cm)
D = Diameter Setinggi Dada (cm) P = Signifikansi
S = Standard Error R-sq = Koefisien Determinasi Model alometrik biomassa dibangun untuk melakukan penaksiran besar biomassa setiap bagian tanaman dan total massa karbon dari setiap bagian tanaman bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.). Model alometrik ini menghubungkan antara biomassa batang, ranting dan daun dengan dimensi tanaman seperti diameter (D), tinggi total (H). Model-model penduga biomassa dan massa karbon yang dihasilkan berupa model linear dan model non linear berganda. Pemilihan model alometrik terbaik dilakukan dengan pengujian beberapa model, model alometrik yang terbaik adalah yang memenuhi syarat statistik dengan nilai koefisien determinasi (R-square) terbesar, kemudian diikuti nilai standard error (S) terkecil, dan uji
signifikansi terkecil (P) terkecil dan nilai F-Hit terkecil.
Berdasarkan Tabel 12 model alometrik biomassa yang terpilih yaitu model alometrik dengan menggunakan peubah diameter dengan persamaan alometrik W = 38,258-10,683D+0,854D2 memiliki nilai R-square
sebesar 55,8% dan nilai signifikansi sebesar 0,326. Nilai R-square sebesar 55,8% dapat diartikan bahwa keragaman biomassa tanaman bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) dapat dijelaskan oleh pengaruh peubah bebas diameter, sedangkan sisanya sebesar 44,2% dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Bentuk model alometrik yang terpilih untuk menduga biomassa total tanaman pada penelitian ini sesuai dengan penelitian Sutaryo (2009) yang menduga model
alometrik biomassa pada bambu di areal hutan alam dengan persamaan model alometrik dengan
menggunakan peubah diameter yaitu W = -3225,8 + 1730,4 DBH.
Model Alometrik Massa Karbon Tanaman Contoh
Selain membangun model alometrik biomassa pada bambu belangke (Gigantochloa
pruriens Widjaja.) dilakukan juga pembangunan model alometrik terhadap massa karbon bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) seperti pada Tabel 13. Tujuan dari pembuatan model alometrik massa karbon untuk mengetahui hubungan massa karbon dengan tinggi total dan diameter bambu dan mengetahui potensi massa karbon bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.).
Tabel 13. Model Alometrik Kandungan Massa Karbon Tegakan Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.)
Bagian Model Alometrik S P F Hit R-sq (%)
Batang C = 11,114-3,049D+0,258D2 C = -1,651D0,602 C = 1,000+0,003D2H C = -2,270D1,375H0,380 0,832 0,787 0,791 0,846 0,398 0,189 0,198 0,440 1,077 2,144 2,022 0,944 51,4 48,2 47,3 48,9 Ranting dan Daun C = 3,880-1,090D+0,081D2
C = -0,110D0,051 C = -0,032+0,001D2H C = -0,659D0,600H0,053 0,099 0,104 0,085 0,085 0,318 0,385 0,006 0,130 1,397 0,859 4,715 2,927 31,8 33,1 63,4 70,3 Total Massa Karbon C = 14,994-4,139D+0,339D2
C = -1,726D0,653 C = 0,967+0,004D2H C = -2,928D0,650H0,112 0,886 0,846 0,831 0,901 0,369 0,186 0,159 0,409 1,183 2,150 2,485 1,041 53,2 48,5 51,2 50,8 Keterangan: C = Massa Karbon (kg)
H = Tinggi Total (cm)
D = Diameter Setinggi Dada (cm) P = Signifikansi
S = Standard Error R-sq = Koefisien Determinasi Berdasarkan Tabel 13 model alometrik massa karbon yang terpilih yaitu model alometrik dengan menggunkan peubah diameter dengan model alometrik C = 14,994-4,139D+0,339D2
memiliki nilai R-sq sebesar 53,2%, nilai signifikansi sebesar 0,369 dan nilai standard error sebesar 0,831. Nilai R-sq sebesar 53,2% menunjukan bahwa proporsi 53,2% keragaman nilai peubah diameter dapat dijelaskan melalui persamaan linear. Sisanya sebesar 46,8% dijelaskan oleh hal-hal lain seperti faktor lingkungan. Bentuk model alometrik yang terpilih untuk menduga massa karbon total tanaman pada penelitian ini sesuai dengan penelitian Wicaksono., dkk (2013) yang menduga model alometrik massa karbon pada bambu petung (Dendrocalamus asper) di areal pekarangan masyarakat dusun Ngandong, Yogyakarta dengan model alometrik menggunakan peubah diameter yaitu Ct = 0,062 (DBH) 2,160.
Namun demikian, jika ketersediaan atau pengambilan data tinggi total tegakan bambu mengalami kesulitan dan kekhawatiran terhadap tingkat ketepatan serta untuk kepraktisan para pelaksana di lapangan, maka model alometrik dapat digunakan dengan variabel bebas diameter saja. Melalui uji signifikansi (P), uji standard error dan uji F, model
alometrik dengan menggunakan variabel diameter dapat digunakan untuk menduga biomassa dan massa karbon tegakan bambu dengan bentuk model alometrik W = 38,258-10,683D+0,854D2 dan C =
14,994-4,139D+0,339D2 dapat diterapkan.
Selain persamaan regresi yang telah terbentuk, juga harus adanya pertimbangan mengenai kenormalan dari nilai sisaan terpenuhi sebagai salah satu asumsi model regresi tersebut dapat dipergunakan secara baik. Oleh sebab itu, perlu dilihat apakah nilai sisaan tersebut menyebar normal atau tidak. Uji visual kenormalan sisaan persamaan dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.
Gambar 5. Visualisasi plot uji kenormalan sisaan model alometrik terpilih biomassa Nilai sisaan dikatakan menyebar secara normal apabila antara nilai sisaan dengan probability normal-nya membentuk pola garis linier melalui pusat sumbu. Gambar 5 dan 6 dapat terlihat bahwa pola penyebaran data yang dihasilkan membentuk garis lurus, maka syarat data sisaan yang menyebar secara normal terpenuhi.
Gambar 6. Visualisasi plot uji kenormalan sisaan model alometrik terpilih massa karbon Model alometrik terbaik yang terpilih pada penelitian ini kemudian dikelola dan dihitung berdasarkan dimensi tanaman untuk mendapatkan data potensi biomassa dan massa karbon bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) (Tabel 14). Setelah hasil perhitungan untuk total biomassa dan massa karbon dalam satuan kg diperoleh, maka hasil yang didapat dikonversi dalam satuan ton/ha.
Tabel 14. Potensi Biomassa dan Massa Karbon Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) di Hutan Rakyat Desa Sirpang Sigodang, Kabupaten Simalungun (ton/ha)
No. Petak Total Biomassa Total Biomassa Total Massa Karbon Total Massa Karbon
(kg/ha) (ton/ha) (kg/ha) (ton/ha)
1 384,22 9,60 179,93 4,49
2 295,98 7,39 139,02 3,47
3 361,37 9,03 168,23 4,20
Total 1041,57 26,02 487,18 12,16
Rata-Rata 347,19 8,67 162,39 4,05
Rata-rata total biomassa yang didapat pada penelitian ini adalah 8,67 ton/ha, sedangkan rata-rata total massa karbon yang didapat adalah 4,05 ton C/ha. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Yiping., dkk (2010) pada bambu Moso setelah umur 5 tahun yang menyatakan total massa karbon 5,5 ton C/ha. Pada penelitian Baharuddin (2013) terhadap analisis kandungan biomasa dan cadangan karbon pada bambu parring di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros diperoleh besarnya massa karbon pada bambu paring (Gigantochloa atter) sebesar 31,50 ton C/ha, dan besar biomassa pada bambu petung (Gigantochloa atter) sebesar 64,07 ton/ha. Sedangkan pada penelitian Usrah (2013) yang meneliti bambu talang (Shizostachyum brachycladum) di Kabupaten Tana Toraja Sulawesi Selatan yang memperoleh massa karbon sebesar 8,13 ton C/ha. Adanya kecenderungan perbedaan jumlah
potensi biomassa dan massa karbon pada masing-masing bambu disebabkan oleh perbedaan jenis bambu yang diteliti, kerapatan tegakan, luas lahan yang diinventarisasi, dan perbedaan faktor lingkungan. Semakin bertambah umur suatu tanaman maka semakin bertambah pula biomassa dan massa karbon suatu tanaman, tetapi pada umur tertentu cenderung tidak lagi mengalami perubahan (konstan).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Terdapat perbedaan kadar karbon pada setiap bagian tanaman bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) dimana kadar karbon pada batang sebesar 57,46%, ranting dan daun sebesar 18,67%.
2. Model terbaik yang digunakan sebagai model alometrik penduga biomassa dan massa
karbon tanaman bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) adalah W = 38,258-10,683D+0,854D2 dan C =
14,994-4,139D+0,339D2.
3. Biomassa dan massa karbon tanaman bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) di Hutan Rakyat Desa Sirpang Sigodang, Kabupaten Simalungun masing-masing sebesar 8,67 ton/ha dan 4,05 ton C/ha. Saran
Perlu dilakukan juga uji validasi persamaan untuk mendapatkan keabsahan model alometrik yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Cetakan Kelima. Konisius. Yogyakarta.
Aoyama, K., Yoshida, T., Harada, A., Noguchi, M., Miya, H dan Shibata, H. 2011. Changes in Carbon Stock Following Soil Scarification of Nonwooded Stands in Hokkaido, Northern Japan. Citation Journal of Forest Research, 16(1): 35-45.
[ASTM] American Society for Testing Material. 1990a. ASTM D 2866-94. Standard Test Method For Total Ash Content of Activated Carbon. Philadelphia. Awang, S.A., H. Santoso, W.T. Widyanti, Yuli
Nugroho, Kustopo dan Sapardiono. 2001. Surat Hutan Rakyat. Debut Press. Yogyakarta.
Baharuddin. 2013. Analisis Potensi Tegakan Bambu Parring (Gigantochloa atter) Sebagai Penyerap dan Penyimpan Karbon. Disertasi. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Bowyer, J., Howe, J., Guillery, P., and Fernholz, K.2005. Bamboo Flooring: Environmental Silver Bullet or Faux Savior. Dovetail Partners, Inc., March 15.
Brown, S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest: A Primer. Rome : FAO Forestry Paper. 134 P.
Build Direct.com Learning Center. 2012. Bamboo Flooring History.
Choirudin. Inventori Kandungan Karbon pada Hutan Rakyat Jenis Akasia (Acacia auriculiformis) dan Peluangnya Dalam Perdagangan Karbon. 2009. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Departemen Kehutanan. 1989. Pedoman Pengelolaan Hutan Rakyat Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Departemen Kehutanan.
Dephut. 2008. Wilayah Simalungun. http://www.dephut.go.id/files/Kabupaten Simalungun. [Diakses: 22 Oktober 2014].
Gust, D. 2011. Why Study Photosynthesis? Department of Chemistry and Biochemistry Foundation. http://bioenergy.asu.edu/photosyn/stud y.html. [Diakses: 14 Maret 2015]. Hadi, M. M. 2004. Teknik Berkebun Kelapa
Sawit. Adicita Karya Nusa. Yogyakarta. Hairiah, K., Ekadina A, Sari R, dan Rahayu, S.
2011. Pengukuran Cadangan Karbon dari Tingkat Lahan ke Bentang Lahan. Worid Agroforestry Centere, ICRAF SEA Regional Office. Universitas Brawijaya. Malang.
Hamid, N.H., Mohmod, A.L and Sulaiman, O. 2003. Variation of Moisture Content and Specific Gravity of Gigantochloa scortechinii Gamble Along the Internodes Sixth Height. Paper Presented at the XII World Forestry Congress, 2003, Quebec City Canada. Haygreen JG dan Bowyer JL. 1996. Hasil Hutan
dan Ilmu Kayu. Edisi ke-4. Yogyakarta: University Gadjah Mada Press. Heiskanen. 2006. Biomass ECV
Reporthttp://www.fao.org/GTOS/doc/E CVs/T12-biomass-standards-report-v01.doc. [Diakses: 10 Desember 2014]. ICRAF. 2001. Methods for Sampling Carbon Stock Above and Below Ground. ICRAF. Bogor.
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. Climate Change and Water. Cambridge University Press. USA.
Kittredge, J. 1944. Estimation of the Amount of Foliage of Tree and Stands. J. For. 42: 905-912.
Kiyoshi, M. 2002. Measurementof Biomass in Forest. JICA Jepang.
Liese W. 1986. Bamboos-Biology, Silvics, Properties, Utilization. Deutsche Gesellschaft Fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Eschborn. Germany.
Limbong HDH. 2009. Potensi Karbon Tegakan Acacia Crassicarpa pada Lahan Gambut Bekas Terbakar [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Martin, J. G.,Kloppel, B.D., Schaefer, T.L., Kimbler, D.L., and McNutly, S.G. 1998. Above Ground Biomass and Nitrogen Allcation of Ten Deciduous Southtern Application Tree Species. J. For. Res. 28 : 1648-1659.
Muhdi. 2012. Efektivitas Pemanenan Kayu dengan Teknik Reduced Impact Logging Terhadap Cadangan Massa Karbon di Hutan Alam Tropika, Kalimantan Timur. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Muhdi. 2013. Meminimalkan Kehilangan Cadangan Massa Karbon Melalui Pemanenan Kayu Ramah Lingkungan di Hutan Alam Tropika, Kalimantan Timur. Prosiding. Peranan Pers Pada Pembangunan Pertanian Berwawasan Lingkungan Mendukung Kedaulatan Pangan Berkelanjutan. 21 Februari 2013. Aula Soeratman Kampus USU Fakultas Pertanian. pp.209-216. N. Berlian, V.A. dan E. Rahayu. 1995. Budidaya
dan Prospek Bisnis Bambu. Penebar Swadaya. Jakarta.
Niinemets, U. 2007. Photosynthesis and Resource Distribution Through Plant Canopies. Plant, Cell and Environment (2007) 30, 1052–1071.
Oohata, S. 1991. A Study to Estimate the Forests Bimass: A non Cutting Method to Use the Piled up Data. Buletin of the Kyoto University Forest No.63:23-36.
Parresol, B. R. 1999. Assessing Tree and Strand Biomass: Review With Examples and Critical Comparisons. For. Sei. 45(4):573-593.
Suprihatno, dkk. 2012. Analisis Biomassa dan Cadangan Karbon Tanaman Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens). Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan. Universitas Riau. Pekanbaru.
Sutaryo, D. 2009. Penghitungan Biomassa. Sebuah Pengantar Untuk Studi Karbon dan Perdagangan Karbon. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor.
Sutiyono. 2010. Bambu Untuk Mengurangi Karbondioksida. http://sains kompas.com/read/2011/06/24/Bambu. [Diakses: 20 Maret 2015].
Usrah. 2013. Model Penggunaan Biomassa dan Cadangan Karbon Bambu Talang (Schizostachyum brachycladum Kurz) di Kelurahan Lemo, Kecamatan Makale Utara, Kabupaten Tana Toraja. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Whitmore, TC. 1985. Tropical Rain Forest of The Far East. Oxford University Press. Wicaksono, dkk. 2012. Inventore Volume,
Biomassa Dan Karbon Bambu Petung (Dendrocalamus asper Backer.) di Hutan Rakyat Dusun Ngandong, Desa Giri Kerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Widjaja, E.A. 1985. Bamboo Reseach in
Indonesia, in Lissard and A Chouinard. Bamboo Reseach in Asia Procedings of Workhshop held in Singapura. IDRC and IUFRO.
Wirakusumah, S. 2003. Dasar-Dasar Ekologi. UI Press. Jakarta.
Yiping, L. and Henley, G. 2010. Biodiversity in Bamboo Forests: A Policy Perspective for Long Term Sustainability. International Network for Bamboo and Rattan (INBAR), Working Paper 59.