Evidence Based Case Report
Nucleotide Analogs for Patients with
HBV-Related Hepatocellular Carcinoma Increase the
Survival Rate
through Improved Liver Function
Presentan:
dr. Prima Yuriandro (1006767506)
Program Pendidik an Dokter Spesialis
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Divisi Hepatologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta, Oktober 2012
Pendahuluan
Hepatitis B merupakan infeksi pada hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV). Keadaan ini mengakibatkan peradangan dan pembengkakan hati, dan kadang-kadang kerusakan hati yang nyata.1 HBV merupakan suatu virus DNA dari keluarga
Hepadnaviridae d engan struktur virus berbentuk sirkular dan terdiri dari 3200 pasang basa. Pajanan virus ini akan menyebabkan dua keluaran klinis, yaitu: (1) Hepatitis akut yang kemudian sembuh secara spontan dan membentuk kekebalan terhadap penyakit ini, atau (2) Berkembang menjadi kronik. Umumnya 90-95% penderita usia dewasa yang terkena infeksi hepatitis B dan menderita hepatitits B akut akan sembuh. Hanya sebagian kecil penderita akan menjadi kronik.1
Infeksi HBV telah menjadi suatu masalah k esehatan utama di dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Diperkirakan sepertiga populasi di dunia pernah t erpajan virus ini dan 350-400 juta diantaranya merupakan pengidap hepatitis B dan 1 juta penderita meninggal dikarenakan penyakit hati menahun karena HBV. Di Indon esia, angka pengidap hepatitis B pada populasi sehat diperkirakan menc apai 4.0-20.3%.2
Sekuele infeksi HBV berupa hepatitis B kronis, sirosis kompensata, dekompensasi hepatis, dan Karsinoma Hepatoselular (KHS). Beberapa studi menunjukkan bahwa nekroinflamasi jangka panjang dan replikasi virus sangat mempengaruhi kecepatan progresivitas penyakit menjadi sirosis dan KHS. Terapi antiviral berupa supresi replikasi HBV dan nekroinflamasi ol eh interferon atau analog nukloetida dapat mengurangi komplikasi dan m emperpanjang kesintasan.3Bahkan penggunaannya pada
kasus lanjut, penyakit hati dekompensata telah dilaporkan memberi manfaat dalam beberapa studi. Namun keluaran (outcome) penggunaannya pada pasien dengan KHS belum dapat ditentukan.3
Ilustrasi Kasus
Ny E, 73 tahun, datang dengan k eluhan utama nyeri perut kanan atas yang s emakin memberat sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMR S). Rasa nyeri pada kanan atas bersifat tajam, tid ak disertai penjalaran, hilang timbul, tidak dipengaruhi asupan makanan ataupun aktifitas fisik, bila sedang timbul nyeri pasien sampai menangis d an meraung karena k esakitan. keluhan lain seperti mual(+), muntah terkadang, asupan makanan kurang dari setengah porsi tiap kali makan, mata pasien sempat t ampak kuning, buang air besar berwarna dempul (-), buang air kecil seperti warna teh (-), demam (-), turun berat badan (+) kurang lebih 5 k g selama 3 bulan t erakhir ini. Semenjak mengeluh nyeri pasien sudah memeriksakan diri ke rumah sakit lain dan sempat dirawat di tiga rumah sakit yang berbeda sebelum akhirnya dirujuk ke rumah sakit Cipto Mangunkusumo, pada perawatan sebelumnya pasien sudah di USG dan dikatakan ada kelainan pada hati yang butuh penanganan lebih baik di R SCM. Pasien akhirnya dirawat inap di RSCM k encana dan menjalani pemeriksaan CT-scan perut dan didapatkan hasil berupa tumor ganas pada hati. Setelah dirawat selama tiga hari pasien mengeluh sesak napas, batuk (+), dahak tidak ada dan perlahan tidak sadarkan diri, pasien kemudian pindah ke ruang rawat intensif dan dipas ang mesin bantu napas.
Riwayat sakit kuning sebelumnya, alergi, paru-paru, jantung disangkal. Pada riwayat
keluarga didapatkan riwayat sakit kuning pada ibu pasien. Sakit darah tinggi, kencing
manis, jantung dan alergi disangkal.
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, mempunyai tiga orang anak. Riwayat
merokok disangkal, riwayat minum alkohol disangkal. Sebelum sakit pasien dapat
mengurus diri sendiri dan dapat melakukan aktifitas harian seperti masak dan mencuci
sendiri dan menghabiskan lebih dari setengah waktu terjaganya tidak diatas tempat
tidur maupun kursi.
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan di ruang perawatan ICU dewasa didapatkan
kesadaran sop oro-komatous, tampak sakit berat, hemodinamik berupa tekanan darah
100/60 mmH g (dengan vasopresor), frekuensi nadi 100 kali per menit, frekuensi
napas 20 kali per menit (terintubasi dan dengan bantuan ventilator), dan suhu normal.
Pemeriksaan fisik umum didapatkan rhonki basah kasar pada kedua lapang paru,
perut buncit, hepar teraba 5 jari bawah lengkung iga, tumpul, keras, berbenjol,
undulasi (+) dan edema pitting pada kedua tungkai bawah.
Pemeriksaan laboratorium Hb 10,1 g/dl, Ht 30,3 %, Leukosit 25.000/uL, Trombosit
158.000/uL,
M CV/MCH
90,4/30,7
Hitung
jenis
0,2/0,3/86/8,2/9,1
LED
54,PT/.kontrol 15,2/6,2 , APTT/kontrol 40,1/33 , ureum 53 mg/dL, Kreatinin 3,0
mg/dL, Glukosa darah sewaktu 155 mg/dL, SGOT 115 u/L, SGPT 41 u/L. HbsAg dan
anti HCV reaktif, AFP 22,2 ,bilirubin total 0,79 mg/dl, bilirubin direk 0,47 mg/dl
bilirubin indirek 0,22 mg/dl, albumin 2,22 mg/dl, globulin 3,9 mg/dl, Na l37 meq/L,
K 3,8 meq/L, Cl 99 meq/L, procalcitonin 16,45. U SG abdomen didapatkan kesan
massa tumor hepar lobus kanan, diameter 4,1 cm, asites (+) dan splenomegali (+).
CT-scan abdomen 3 fase : sirosis dengan massa (ukuran 8,7 x 4,2 x 3,8cm) segmen 6
yang menyangat kontras pada fase arteri dan hipodense dari jaringan sekita pada fase
vena sugestif hepatoma dan fatty liver (+).
Pada pasien ditegakkan masalah penuruna kesadaran ec sy ok sepsis dd/ gagal hati
fulminan dd/ proses intrakranial, sy ok sepsis ec HAP early onset, karsinoma
hepatoselular BCLC D, hepatitis B kronik dengan suspek koinfeksi hepatitis C, AKI
prerenal dd/acute on CKD, Hipoalbumin ec penurunan sisntesis dd/ intake kurang,
anemia normositik normokrom ec penyakit kronik dd/ peradarahan kronik. Pada
pasien diberikan terapi berupa antibiotik dan terapi suportif lainnya. Pada pasien juga
diberikan obat golongan analog nukleosida berupa telbivudin 1x600 mg.
Masalah Klinis
Pada pasien ditegakkan masalah KHS stadium lanjut berdasarkan data klinis diatas.
pertanyaan klinis yang diajukan adalah sebagai berikut : Apakah pemberian analog
nukleosida dapat memperbaiki keadaan klinis dan parameter laboratorium pasien
dengan KHS dibanding tidak diberikannya obat tersebut?
Metode penelusuran literatur
Prosedur pencarian literatur untuk menjawab pertanyaan klinis tersebut adalah dengan
melakukan penelusuran kepustakaan secara online, dengan menggunakan bantuan
PUBM ED. kata kunci yang digunakan adalah "nucleotide analogues" AND
"hepatocellular carcinoma" AND "hep atitis B".
Dengan metode tersebut pada awalnya didapat 11 artikel yang memenuhi sistem
pencarian tersebut. penelusuran lebih lanjut dilakukan secara manual pada daftar
pustaka yang sesuai dan didapatkan hanya satu artike jurnal yang relevan.
Hasil Penelusuran dan Pembahasan
Koda dkk pada tahun 2002 - 2006 melakukan prospektif non randomisasi dengan menggunakan kontrol, pada 62 pasien dengan infeksi HBV kronik yang sudah didiagnosa mempunyai KHS untuk mengevaluasi efikasi dari pemberian analog nukleosida terhadap fungsi liver, kejadian rekurensi dari KHS dan kesintasan dari penderita.
Metode
Desain Prospektif non randomisasi dengan kontrol
Lokasi Tidak dideskripsikan secara spesifik
Waktu Januari 2002-desember 2006
Kriteria inklusi
Pasien dengan hepatitis B kronik dan diagnosa KHS Kriteria yang digunakan :
1. HBV DNA serum > 3.7 LGE?mL 2. ALT serum > 40 IU/L
3. Pasi en bersedia mendapatkan terapi analog nukleosida
Semua kriteria diatas harus terpenuhi untuk menjadi subjek penelitian
Kriteria eksklusi
Didapatkan HbsAG (-) sebelum memulai terapi dan atau tidak memenuhi salah satu at au lebih dari ketiga kriteria inklusi diatas
Data dasar
HbsAg, HbeAg, HBV DNA serum, ALT serum, AST, Total bilirubin, Albumin, PT, trombosit, derajat Child-Pugh, Stadium KHS, Penatalaksanaan awal dari HCC.
Intervensi 1. lamivudine 100 m g/hari pada 28 p asien d an Entecavir 0,5 mg/hari
pada dua pasien saat awal penelitian
2.Lamivudine ditambah dengan adefovir atau diganti dengan entecavir apabila selama rentang observasi terbukti adanya mutasi dari YMDD pada subjek dengan terapi lamivudin.
Followup 1. Parameter biokimia berup a : ALT, AST, PT, Albumin, bilirubin total, trombosit, HbsAG, HBeAG, AntiHbe, AFP, DCP
2. Petanda klinis dari asites dan ensefalopati hepatik
3. Pemeriksaan radiologi berupa USG abdomen atau CT abdomen 4. Bila didapatkan adanya rekurensi dari HCC, nodul < 3 cm dan nodul
< 3 buah diterap d engan RFA atau PEI, sedangkan nodul yang lebih dari itu diterapi dengan TAE atau TACI
Dari 62 pasien dengan infeksi hepatitis B kronis dan KHS, 30 orang diantaranya memenuhi ketiga kriteria inklusi dan diberikan analog nukleosid, 9 pasien dieksklusi karena HBV DNA < 3,7 LGE/mL, 3 orang diekslusi karena nilai ALT <40 IU/L, sedangkan 20 orang sisanya walaupun memiliki kadar HBV DNA dan ALT yang tinggi t etapi mereka tidak bersedia untuk diterapi dengan analog nukleosida, oleh karena itu 20 orang tersebut dijadikan sebagai kelompok kontrol pada penelitian ini.
Karakteristik dasar antara grup analog nukleosida dan kontrol tidak mempunyai perbedaan yang bermakna, baik secara klinis maupun parameter laboratorium.
Pada grup analog nukleosida didapatkan HBV DNA menurun secara bermakna bila dibandingk an kadar awal sebelum terapi (5,7± 1, 2 LGE/mL) dengan kadar setelah 21 bulan terapi (3,9 ± 0,9 LGE /mL). tiga orang dengan nilai HbeAG yang positif saat awal mengalami serokonversi dan mendapatkan Anti Hbe(+). Pada 28 pengguna l amivudine didapatkan 11 orang diantaranya (39,3%) mengalami mutasi YMDD. Dari 11 orang tersebut 10 orang diantaranya ditambahkan terapi adefovir 10 mg/hari dan 1 orang sisanya diganti terapi dengan entecavir 1 mg/hari. waktu rerata munculnya mutasi adalah 19.0 ± 7.5bulansetelahterapi.
Figur 1. Perubahan serial pada (A) kadar albumin serum dan (C) bilirubin total pada kelompok analog nukleosida (hitam)dan kelompok kontrol (putih). perubahan serial sebelum terapi dan saat penatalaksanaan ulang HCC dikarenakan rekurensi antara kelompok analog nukleosida dan kelompok kontrol yang diterapi kuratif pada awalnya.
Figur 2. Perubahan serial pada (A) kadar ALT serum dan (C) PT pada kelompok analog nukleosida (hitam) d an kelompok kontrol (putih). perubahan serial s ebelum terapi dan saat penatalaksanaan ulang HCC dikarenakan rekurensi antara kelompok analog nukleosida dan kelompok kontrol yang dit erapi kuratif pada awalnya.
Parameter laboratorium berupa albumin, A ST dan ALT secara bermakna membaik setelah terapi analog nukleosida dibandingk an dengan kelompok kontrol. Namun bilirubin total, trombosit dan PT tidak mengalami perbedaan yang bermakna. Sedangkan nilai child pugh pada kelompok analog nukleosid menurun sec ara bermakna sedangkan pada k elompok kontrol cenderung meningkat bila dibandingkan dengan nilai awal sebelum dilakukannya terapi.
Figur 3. Perubahan serial nilai Child Pugh pada kelompok analog nukleosida (hitam) dan kelompok kontrol (putih). p<0,05 vs baseline
Waktu rerata untuk rentang waktu follow up pada 28,6 ± 16,7 bulan pada kelompok analog nukleosid dan 36,3 ± 21,6 pada k elompok kontrol. Didapatkan adanya perbedaan yang bermakna pada angka kesintasan antara kedua kelompok (p=0,02). Penyebab kematian pada 14 orang dari kelompok kontrol adalah progresifitas dari KHS (8 orang) dan gagal hati (6 orang). Sedangkan penyebab kematian pada 6 orang dari kelompok subjek adalah progresifitas dari KHS (5 orang) dan gagal hati (1 orang).
Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan pemberian analog nukleosid maka angka kensintasan secara keseluruhan pada pasien dengan KHS dapat meningkat. Akan tetapi analog nukleoside tak dapat menurunkan angka rekurensi dari HCC bagi pasien yang sebelumnya telah menjalani terapi kuratif berupa reseksi maupun RFA.
Didapatkan hasil parameter lab berupa penurunan kadar AST/ALT dikaitkan dengan menurunnya kadar HBV DNA dalam serum . Dengan menurunnya kadar HBV dalam serum maka diharapkan kerusakan sel hati yang terjadi dapat terminimalisir.
Perbaikan d ari nilai albumin dan nilai child pugh menandakan pada kelompok analog nukleosid, sisa dari jaringan hati yang masih sehat dan berfungsi dengan baik dapat terjaga. hal ini merupak an faktor penting untuk dapat menentukan pilihan terapi selanjutnya untuk HCC itu sendiri k etika terjadinya rekurensi, dan juga sebagai faktor prognostik yang baik untuk angka kesintasan.
Masalah yang dapat timbul akibat terapi dengan lamivudin adalah mutasi YM DD yang dapat berakibat terjadinya resistensi, breakthrough hepatitis dan pada akhirnya gagal hati, Namun kejadian gagal hati pada penelitian ini d apat dicegah pada pasien dengan mutasi YMDD dikarenakan ditambahkan adefovir maupun diganti terapi dengan entecavir pada waktu yang s ecepat mungkin. Entec avir lebih dipilih dibandingkan lamivudin karena angka kejadian resistensinya yang lebih rendah
Kesimpulan
1. Analog Nukleosida dapat diberikan pada pasien dengan hepatitis B kronik dan
KHS yang telah menjalani terapi sebelumnya, pada penelitian ini secara signifikan
meningkatkan angka kesintasan secara kumulatif.
2. Analog nukleosida tidak dapat menurunkan terjadinya angka rekurensi pada pasien
KHS yang telah menjalani terapi kuratif sebelumnya.
3. Analog nukleosida yang lebih dipilih menurut penelitian ini adalah entecavir
dikarenakan lebih sedikit menimbulkan resistensi.
Daftar pustaka
1. Gani RA, Hasan I, Djumhana A, Seti awan PB, Akbar NA. Konsensus nasional penatalaksanaan hepatitis B. 2012. Perhimpunan Peneliti Hati indonesia. Jakarta. 2. Jan-Christian Wasmuth ( 2009), hepatitis B, epidemiology, transmission and natural history hepatitis B, in Stefan Mauss et al, eds Hepatology2009 pp 25.
3. Koda M, Nagahara T, matono T, sugihara T, Mandai M, Ueki M, Ohyama et al. Nucleotide Analogs for Patients with HBV-Related Hepatocellular Carcinoma Increase the Survival Ratethrough Improved Liver Function. Inter Med 48: 11-17, 2009