• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA JUDUL PENELITIAN PERANG KOMISI DALAM SENI PERTUNJUKAN WISATA DI BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA JUDUL PENELITIAN PERANG KOMISI DALAM SENI PERTUNJUKAN WISATA DI BALI"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA

JUDUL PENELITIAN

“PERANG KOMISI” DALAM SENI PERTUNJUKAN WISATA DI BALI

TIM PENELITI

1. Ni Ketut Arismayanti, SST.Par.,M.Par. (Ketua) 2. I Gst Ngr Widyatmaja, SST.Par.,M.Par.

3. Drs. I Ketut Suwena, M.Hum.

Dibiayai dari Dana DIPA Universitas Udayana TA-2012 Dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Kegiatan (Kontrak) Nomor :

25.58/UN.14/LPPM/KONTRAK/2012, tanggal 15 Mei 2012

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV PARIWISATA

FAKULTAS PARIWISATA

UNIVERSITAS UDAYANA

2012

(2)

LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA

____________________________________________________________________ 1. Judul Penelitian : “Perang Komisi” Dalam Seni Pertunjukan Wisata di Bali

2. Ketua Peneliti

a. Nama : Ni Ketut Arismayanti, SST.Par.,M.Par. b. Pangkat / Gol. / NIP : Panata /IIIc/ 19810526 2003122002 c. Jabatan : Lektor

d. Pengalaman Penelitian : (terlampir dalam CV) e. Program Studi/Jurusan : Diploma IV Pariwisata f. Fakultas : Pariwisata

g. Alamat Rumah : Jl. Tukad Yeh Aya IX No. 3A Renon h. E-mail : karismayanti@yahoo.com

3. Jumlah Tim Peneliti : 2 (dua) orang 4. Pembimbing

a. Nama : Dra. Ida Ayu Suryasih, M.Par

b. Pangkat / Gol. / NIP : Pembina Tk. I / IV b/ 19610815 198702 2 001 c. Jabatan : Lektor Kepala/Pembantu Dekan I

d. Pengalaman Penelitian : (terlampir dalam CV) e. Program Studi : Destinasi Wisata f. Fakultas : Pariwisata

5. Lokasi Penelitian : Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar

__________________________________________________________________ 6. Jangka Waktu Penelitian : 6 (enam) bulan

7. Biaya Penelitian : Rp. 7.500.000,- (Tujuh Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) Denpasar, 28 Oktober 2012 Mengetahui,

Dekan Fakultas Pariwisata Unud Ketua Peneliti,

Drs. I Putu Anom, M.Par. Ni Ketut Arismayanti, SST.Par.,M.Par. NIP.19570716 19860 1 101 NIP. 19810526 2003122002

Menyetujui,

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana

Prof. Dr. Ir. I Ketut Satriawan, MT. NIP. 1964071719890031001

(3)

RINGKASAN

Salah satu bidang usaha yang mendapat perhatian dalam pembentukan citra adalah seni pertunjukan wisata sebagai pendukung utama industri pariwisata. Begitu ketatnya persaingan serta adanya upaya monopoli dalam usaha sehingga munculnya penyimpangan dalam seni pertunjukan wisata, salah satunya yaitu praktek “Perang Komisi”. Seiring persaingan memperebutkan kunjungan penonton dari kalangan wisatawan, ini tentu membuat para pengelola seni pertunjukan wisata melakukan praktek besar-besaran memberikan komisi kepada pemandu wisata yang mendatangkan penonton. Indikasi inilah yang menjadi dasar penelitian ini. Adapun tujuan dalam penelitian ini : latar belakang terjadinya “Perang Komisi”, interaksi sosial antara pihak yang terkait, upaya pemerintah Propinsi Bali menanggulangi “Perang Komisi”.

Beberapa konsep seperti tentang perang komisi dalam seni pertunjukan wisata di Bali, tentang citra daerah tujuan wisata, tentang pariwisata budaya, tentang pramuwisata, tentang interaksi sosial, tentang wisatawan, tentang industri pariwisata. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Gianyar dan Denpasar, dimana batasan penelitian dibagi dalam 3 sub bagian pokok yaitu tentang latar belakang terjadinya Perang Komisi, interaksi sosial dengan pihak terkait, serta upaya pemerintah dan pengendalian sosial dalam mengatasi praktek Perang Komisi. Metode pengumpulan datanya melalui observasi, wawancara, studi dokumentasi. Sedangkan untuk penentuan informan dilakukan secara purposive dengan memilih beberapa stakeholder dari berbagai pihak dan dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Indikasi munculnya praktek Perang Komisi, dilatarbelakangi sepinya pengunjung di beberapa tempat seni pertunjukan wisata serta banyaknya bermunculan seni-seni pertunjukan wisata baru yang membuat persaingan dalam menawarkan komisi kepada guide semakin tinggi, disamping adanya indikasi penyelenggara seni pertunjukan wisata yang nakal untuk memperoleh keuntungan dengan cepat. Untuk interaksi sosial, pihak yang terkait dengan “Perang Komisi” hanya merugikan tempat-tempat pertunjukan wisata di Bali. Terkait dengan kerjasama antara Asita dan Asparanata sudah melakukan suatu kerjasama dan kesepakatan tentang pembagian hasil yaitu 40% untuk guide atau travel agent yang mengantar wisatawan ke tempat pertunjukan dan 60% untuk penyelenggara wisata. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menghapuskan “Perang Komisi”, Pemerintah Propinsi Bali, di bawah pimpinan Gubernur Propinsi Bali membuat aturan berupa Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 294 Tahun 1997 terkait dengan pertunjukan kesenian daerah di Bali. Usaha lain yang dilakukan pemerintah Propinsi Bali dalam menanggulangi “perang Komisi” adalah dengan membentuk Tim TP2K (tim penilai kesenian dan kepariwisataan ) yaitu dengan membentuk tim terpadu yang bekerja sama dengan : Disparda Bali, Dinas Kebudayaan, Kestra, Listibya dan dinas tenaga kerja. Tugas tim ini adalah menanggulangi masalah “Perang Komisi”.

(4)

SUMMARY

One area of business to get attention in image formation is a type of performing arts as a major supporter of the tourism industry. Once the intense competition as well as the effort to a monopoly in the business so that the emergence of irregularities in the performing arts tours, one of which is the practice of "War of the Commission". As competition for audience visit of the tourists, it certainly makes the management of performing arts practice type massive give commissions to tour guides who bring in the audience. Indications are the basis for this study. The purpose of this research: background to "War of the Commission", the social interaction between related parties, Bali provincial government's efforts tackling "War of the Commission".

Some concepts such as war commission in the performing arts tour in Bali, of the image of a tourist destination, about cultural tourism, guides, social interaction, tourists, and tourism industry. This research was conducted in the Gianyar and Denpasar, where the limitation of the study is divided into 3 main parts, namely sub background War Commission, social interaction with related parties, as well as the efforts of government and social control practices in addressing the War Commission. Methods for collecting data through observation, interviews, document study. As for the determination of informants purposively to select multiple stakeholders from various parties and this research is qualitatively descriptively analayzed.

Indication that the practice of War Commission, backed lonely visitor in some type of performing arts as well as many emerging performing arts make a new type of competition in offering higher commissions to guide, as well as an indication of the type of performing arts organizers naughty to gain quickly. For social interaction, parties related to the "War of the commission" only harms tour venues in Bali. Related to cooperation between Asita and Asparanata have done a cooperation and an agreement on the division by 40% for a guide or a travel agent that take tourists to the venue and by 60% for the performing art organizer. One of the efforts being made to eliminate the "War of the Commission", the provincial administration, under the leadership of Governor of Bali make the rules of the Bali Governor Decree No. 294 of 1997 relating to the performing arts of the region in Bali. Another attempt by the government of Bali Province in tackling " War of the Commission " is to form a team TP2K (arts and tourism assessment team) is to establish an integrated team that works together with: Department of tourism, Department of Culture, Listibya and labor offices. The task of this team is tackling the problem of "War of the Commission".

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena atas asung kertha wara nugraha-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan akhir penelitian dosen muda dengan judul “Perang Komisi” Dalam Seni Pertunjukan Wisata di Bali. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Prof. Dr.dr. I Made Bakta, Sp.PD (KHOM) selaku Rektor Universitas Udayana 2. Prof. Dr.Ir. I Ketut Satriawan, MT, selaku Ketua Lembaga Penelitian dan

Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana

3. Drs. I Putu Anom, M. Par, selaku Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana.

4. Berbagai Pihak yang telah membantu memberikan informasi dan data terkait dengan penelitian ini.

Semoga segala bantuan dan budi baik Bapak/Ibu serta berbagai pihak yang telah membantu mendapat pahala dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk penyempurnaan penelitian selanjutnya. Akhir kata penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Denpasar, Oktober 2012

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN... ii

RINGKASAN ... iii SUMMARY ... iv KATA PENGANTAR ... v DAFTAR ISI... vi BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Batasan Perang Komisi Dalam Seni Pertunjukan Wisata ... 3

2.2 Batasan Tentang Citra Daerah Tujuan Wisata ... 3

2.3 Batasan Tentang Pariwisata Budaya ... 4

2.4 Batasan Tentang Pramuwisata ... 5

2.5 Batasan Tentang Interaksi Sosial ... 6

2.6 Batasan Tentang Wisatawan ... 6

2.7 Batasan Tentang Industri Pariwisata ... 10

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 14

3.1 Tujuan Penelitian ... 14

3.2 Manfaat Penelitian ... 14

BAB IV METODE PENELITIAN ... 15

4.1 Lokasi Penelitian ... 15

4.2 Definisi Operasional Variabel ... 15

4.3 Jenis dan Sumber Data ... 17

4.4 Metode Pengumpulan Data ... 17

4.5 Metode Penentuan Informan ... 18

4.6 Metode Analisis Data ... 19

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 20

5.2 Latar Belakang Terjadinya Perang Komisi Dalam Seni Pertunjukan Wisata 21 5.3 Interaksi Sosial Pihak Yang Terkait dengan Perang Komisi Dalam Seni Pertunjukan Wisata ... 23

5.4 Upaya Pemerintah Propinsi Bali Dalam Menganggulangi Masalah Perang Komisi Dalam Seni Pertunjukan Wisata di Bali ... 25

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 28

6.1 Simpulan ... 28

6 .2 Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pariwisata Bali merupakan salah satu barometer pengembangan pariwisata di Indonesia. Dalam perkembangannya pariwisata Bali sangat rentan terhadap isu-isu maupun penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, sehingga Pemerintah Propinsi Bali dan masyarakat pariwisatanya juga berupaya untuk memperbaiki beberapa penyimpangan dalam pengelolaan industri pariwisata Bali yang terdiri dari bermacam-macam bidang usaha yang saling berhubungan yang menciptakan informasi yang pada akhirnya menciptakan kesan atau citra yang kurang baik bagi pariwisata Bali. Adanya penyimpangan itu dikhawatirkan juga mempengaruhi perkembangan pariwisata berkelanjutan yang telah digariskan dan ditetapkan pemerintah. Salah satu bidang usaha yang mendapat perhatian dalam pembentukan citra atau kesan ini adalah tempat pertunjukan wisata di Bali sebagai pendukung utama industri pariwisata, di samping pendukung-pendukung lainnya, seperti : akomodasi, transportasi, objek wisata, budaya masyarakat Bali dan lain sebagainya.

“Seni tradisi melarat, Barong Batubulan merana, Cak Bona tinggal kenangan”. Demikian jeritan yang mengemuka di beberapa surat kabar belakangan ini sehubungan kian carut marutnya seni pertunjukan wisata di Pulau Dewata. Pemerkosaan terhadap seni tradisi dan teraniayanya seniman Bali pelaku seni pentas turistik, merupakan cerita laten yang tak pernah menemukan solusi hingga hari ini. Soal seniman berhimpitan pentas naik truk, honor ala kadarnya, standar tarif pentas yang amburadul, kualitas seni yang asal-asalan, sertifikat layak pentas yang semu, dan seterusnya, adalah sederetan persoalan ruwet yang senantiasa berkemelut di sekitar seni pertunjukan wisata Bali. Objek penderitanya, yang pasti: seni dan seniman (Bali post, 25 September 2010).

Ancaman akan popularitas Bali sebagai destinasi wisata budaya, kini mulai disadari sejumlah kalangan. Hal ini menyusul makin banyaknya atraksi wisata yang tidak mencerminkan budaya Bali yang dijual kepada wisatawan. Memudarnya Pariwisata Budaya serta melaratnya Seni Tradisi baik di kota Denpasar, Badung, Gianyar dan kota lainnya di Bali kini mulai diserbu atraksi memikat yang telah keluar dari ''pakem'' budaya Bali. Misalkan salah satu akibat semaraknya usaha karaoke dan panti pijat di Bali justru menyebabkan pertunjukan wisata di Bali kekurangan penonton. Akibat menurunnya kunjungan wisatawan menyaksikan pertunjukan kesenian tradisi, sehingga memunculkan

(8)

''Perang'' komisi. ''Perang'' komisi ini mengindikasikan bahwa kesenian berbasis budaya Bali makin kekurangan peminat, sehingga trik yang paling mudah adalah jual murah atau meningkatkan komisi untuk pramuwisata (Denpost, 28 September 2010)

Seiring persaingan memperebutkan kunjungan penonton dari kalangan wisatawan, ini tentu membuat para pengelola seni pertunjukan wisata itu melakukan praktek besar-besaran memberikan komisi kepada pemandu wisata yang mendatangkan penonton. Praktek pemberian komisi kepada pemandu itu terus meningkat, dari beberapa puluh ribu hingga kini ada yang mencapai Rp 60.000 per penonton. Hal itu terjadi tak terlepas dari sikap pemandu yang memiliki posisi tawar tinggi. Perang komisi ini dinilai sudah menggila dan tidak masuk akal, karena pengelola seni pertunjukan yang menanggung biaya operasional cukup besar, terutama untuk membayar seluruh seniman dan tim pendukung, terpaksa rela hanya kebagian Rp 20.000 per orang (Bali post, 29 September 2010).

Namun saat ini “Perang komisi” sudah memunculkan kekecewaan diantara pengelola usaha pertunjukan wisata yang ada di Bali, karena memberikan dampak buruk bagi kunjungan wisatawan ke pertunjukan wisata lain. Adanya kejadian tersebut bisa menimbulkan citra dan kesan yang kurang baik bagi pariwisata Bali sebagai daerah tujuan wisata. Wisatawan tidak mendapatkan apa yang seharusnya mereka peroleh dalam menikmati budaya Bali. Apabila ada wisatawan yang merasa dirugikan atau tidak puas dengan pelayanan yang diterima, kemudian mengajukan complaint (keluhan) kepada pramuwisata, mereka tidak ditanggapi dan dibiarkan begitu saja. Sehingga kejadian ini jelas bisa menimbulkan informasi dan kesan yang kurang baik kepada wisatawan yang telah datang dan menikmati Bali. Wisatawan tersebut merasa kecewa dan akibatnya bisa buruk bagi kesan dan citra kepariwisataan Bali. Kemudian apabila citra jelek sudah terbentuk, pengaruhnya jelas akan mempengaruhi pembangunan pariwisata berkesinambungan dan kerakyatan yang telah disepakati bersama dan diprogramkan pemerintah. Bagaimana perkembangan selanjutnya dan perubahan apa saja yang ditimbulkan dari masalah tersebut menjadi dasar dari penelitian ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, adapun rumusan masalahnya adalah :

1. Bagaimana latar belakang terjadinya “Perang komisi” dalam seni pertunjukan wisata di Bali ?

2. Bagaimana interaksi sosial antara pihak yang terkait dengan “Perang komisi” dalam seni pertunjukan wisata di Bali ?

3. Bagaimana upaya pemerintah Propinsi Bali menanggulangi “Perang komisi” dalam seni pertunjukkan wisata di Bali ?

(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batasan Tinjauan Tentang “Perang komisi” Dalam Seni Pertunjukan Wisata

Istilah “Perang komisi” merupakan istilah yang muncul dan berkaitan dengan penyimpangan dalam pemberian komisi kepada pramuwisata pada tempat-tempat pertunjukan wisata. Istilah ini digunakan pada pertunjukan wisata di Bali untuk menunjukkan suatu penyimpangan yang dilakukan oleh tempat-tempat pertunjukan wisata dalam rangka mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya dengan cara memberikan komisi yang cukup lumayan besar kepada pramuwisata dengan harapan pramuwisata tersebut membawa wisatawan yang lebih banyak ke tempat pertunjukan wisata (Bali post, 23 September 2010).

Istilah “Perang komisi” sebenarnya tidak sesuai dengan arti sesungguhnya dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seharusnya istilah yang benar adalah “Berlomba-lomba memberikan komisi secara besar-besaran”. Mungkin supaya gampang untuk diucapkan atau dikenal, kemudian istilah ini dipakai dalam dunia seni pertunjukkan wisata di Bali.

2.2 Batasan Tentang Citra Daerah Tujuan Wisata

Menurut Glenn F. Ross (1998:113) menyebutkan citra daerah tujuan wisata merupakan keseluruhan keyakinan, ide dan kesan yang dimiliki seseorang tentang tempat tujuan. Kemudian menurut Reynolds (1965) menyebutkan bahwa citra tersebut terbentuk karena adanya perkembangan gambaran dalam pikiran berdasarkan beberapa kesan yang dipilih dari berbagai informasi. Pembentukan citra adalah perkembangan gambaran dalam pikiran berdasarkan beberapa kesan dari berbagai sumber informasi, antara lain dari bahan tertulis, pendapat orang lain dan media masa seperti majalah, koran, televisi, radio dan media lainnya. Adanya kunjungan wisata akan berpengaruh terhadap citra yang telah terbentuk dan dapat mengakibatkan perubahan citra yang bersangkutan sebelumnya. Sehingga ada baiknya citra yang dimiliki seseorang yang telah mengunjungi tempat tujuan wisata untuk dipisahkan dari citra yang dimiliki seseorang yang belum pernah berkunjung.

Seokadijo (1997) menyebutkan untuk membentuk citra pariwisata yang baik pada garis besarnya harus diperhatikan 2 hal antara lain :

(10)

1. Berhubungan dengan daerah wisata, maksudnya adalah citra pariwisata harus sesuai dengan kenyataan daerah tujuan wisata, karena citra yang tidak sesuai akan menyebabkan wisatawan kecewa.

2. Berhubungan dengan pasar wisata, maksudnya adalah citra pariwisata harus memperhitungkan tentang kehidupan, adat istiadat, kebiasaan, dan kegemaran pasar. Ini artinya bahwa sikap dan tata nilai calon wisatawan harus dikenal, karenanya pengetahuan tentang hal tersebut di atas akan mempengaruhi dan melandasi citra.

2.3 Batasan Tentang Pariwisata Budaya

Menurut Kontjaraningrat (2002:18), kebudayaan dalam arti luas mencakup tiga wujud kebudayaan seperti : 1) wujud kebudayaan dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan perundang-undangan. 2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas berpola dari manusia dalam masyarakat. 3) Wujud Kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Menurut instruksi dan keputusan gubernur tentang pengelolaan objek dan daya tarik wisata dan sesuai dengan UU RI No. 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan memberikan pengertian pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Sedangkan wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik.

Wisata budaya adalah gerak atau kegiatan wisata yang dirangsang oleh adanya objek-objek wisata berwujud hasil seni budaya setempat misalnya : adat-istiadat, upacara-upacara agama, tata hidup masyarakat, peninggalan-peninggalan sejarah, hasil-hasil seni dan kerajinan rakyat, dan lain sebagainya (Darmadjati, 1995).

Wilayah Bali sebagai daerah tujuan wisata di Indonesia yang memiliki potensi wisata budaya sebagai andalan, memberikan pengertian tentang pariwisata budaya yang tertuang dalam Perda Propinsi Bali No. 3 Tahun 1991 dalam Bab I tentang pariwisata Budaya, yaitu :

“….jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai Agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang paling dominan, yang di dalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dengan kebudayaan, sehingga keduanya meningkat secara serasi, selaras, dan seimbang”

Menurut pandangan Geriya (1987) menyatakan bahwa pariwisata budaya yang oleh dunia luar disebut cultural tourism adalah kegiatan pariwisata di Bali yang menitikberatkan

(11)

pada perkembangan segi-segi budaya. Sedangkan menurut Pendit (1981), pariwisata budaya dapat pula diartikan sebagai satu jenis pariwisata atau suatu perjalanan dengan tujuan khusus. Artinya bahwa pariwisata budaya adalah perjalanan yang dilakukan atas dasar keinginan untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan jalan mengadakan kunjungan atau peninjauan ke tempat lain atau ke luar negeri, mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan dan adat-istiadat mereka, budaya dan seni mereka. Sering perjalanan serupa ini disatukan dengan kesempatan-kesempatan mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan budaya seperti eksposisi seni (seni tari, seni drama, seni musik, dan seni suara) atau kegiatan dengan motif kesejarahan dan sebagainya.

2.4 Batasan Tentang Pramuwisata

Jika dilihat dari fungsinya, maka dari sudut kepentingan wisatawan, pramuwisata merupakan orang pertama yang ditemui wisatawan, selanjutnya akan menjadi “teman dalam perjalanan” yang dapat memberikan informasi, penjelasan dan petunjuk tentang segala sesuatu, terutama menyangkut objek dan atraksi wisata sesuai dengan perjalanan wisata yang sedang diselenggarakan.

Dari sudut biro perjalanan wisata tempat pramuwisata bekerja, maka seorang pramuwisata tidak lain adalah karyawan yang mewakili perusahaanya, yaitu dalam rangka memberikan pelayanan dan sekaligus bertindak sebagai petugas “after sales service” atau memberikan pelayanan di luar aturan dan jadwal kantor sesuai kemampuan dari paket wisata yang telah dijual kepada wisatawan. Sedangkan dari sudut pramuwisata itu sendiri, merupakan sebagai duta bangsa yang diharapkan mampu memberikan informasi dan penjelasan tentang apa dan bagaimana Indonesia sebagai suatu negara.

Direktorat Jenderal Pariwisata telah menggariskan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, pramuwisata dalam melaksanakan tugasnya hendaknya ingat, bahwa :

1. Pramuwisata Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bersendikan Pancasila dan UUD 1945, karena itu senantiasa :

a. Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

b. Menjunjung tinggi hukum dan undang-undang yang berlaku

c. Mengutamakan kepentingan dan keselamatan masyarakat, bangsa dan negara. d. Memelihara asas gotong royong dengan teman se-profesi

2. Pramuwisata Indonesia berkewajiban untuk ikut serta mengembangkan pariwisata Indonesia melalui peningkatan pelayanan, dan senantiasa :

(12)

b. Utamakan kejujuran dan kebenaran c. Sopan, bijaksana, dan bertanggung jawab

d. Memelihara hubungan baik dengan pimpinan perusahaan, wisatawan, rekan sejawat dan unsur lain yang membantu tugasnya,

e. Berusaha melakukan tugasnya dengan berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif) yang optimal.

2.5 Batasan Tentang Interaksi Sosial

Pengertian interaksi sosial dalam buku “Sosiologi Suatu Pengantar” oleh Soerjono Soekanto (2001:67), menyebutkan bahwa :

“Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang-perorang dengan kelompok manusia.

Dalam buku “Sosiologi” oleh Siti Waridah (1997:15), juga menyebutkan bahwa, interaksi sosial adalah :

Hubungan timbal balik yang dinamis antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok baik dalam bentuk kerjasama, persaingan atau pertikaian.

Berdasarkan kajian tersebut, maka yang dimaksud dengan interaksi sosial dalam penelitian ini adalah hubungan-hubungan yang terjadi antara orang-perorang, antara kelompok dengan kelompok ataupun antara perorang dengan kelompok secara langsung maupun melalui perantara dengan tujuan-tujuan tertentu. Termasuk dalam penelitian ini adalah interaksi sosial antara masyarakat pariwisata Bali, seperti pemerintah, penyelenggara pertunjukan wisata, HPI-Bali, Asparananta serta pelaku praktek “Perang komisi” dalam seni pertunjukan wisata di Bali.

2.6 Batasan Tentang Wisatawan

Secara etimologi, kalau kita meninjau arti kata “wisatawan” yang berasal dari kata “wisata”, maka sebenarnya tidaklah tepat sebagai pengganti kata “tourist” dalam bahasa Inggris. Kata itu berasal dari kata Sansekerta: “wisata” yang berarti “perjalanan” yang sama atau dapat disamakan dengan kata “travel” dalam bahasa Inggris, maka “wisatawan” sama artinya dengan kata traveler, dalam pengertian yang umum diterima oleh masyarakat Indonesia sesungguhnya bukanlah demikian, kata wisatawan selalu diasosiasikan dengan kata “tourist” (bahasa Inggris). Namun kalau kita perhatikan kata “tourist” itu sendiri, sebenarnya

(13)

kata itu barasal dari kata “tour” (yang berarti perjalanan yang dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain) dan orang yang melakukan perjalanan “tour” ini dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah “tourist”.

Definisi mengenai tourist, di antara berbagai ahli atau Badan Internasional, masih belum ada keseragaman pengertian. Perbedaan pengertian atau batasan disebabkan karena perbedaan latar belakang pendidikan atau keahlian, perbedaan kepentingan dan perbedaan pandangan dari para ahli atau badan tersebut. Baik mengenai batasan wisatawan internasional maupun wisatawan domestik. Di bawah ini akan dikemukakan batasan dari beberapa ahli dan badan internasional di bidang pariwisata :

Norval, seorang ahli ekonomi Inggris, memberi batasan mengenai wisatawan internasional sebagai berikut :

“Every person who comes to a foreign country for a reason than to establish his

permanent residence or such permanent work and who spends in the country of his temporary stay, the money he has earned else where”.

Dari definisi tersebut, Norval lebih menekankan pada aspek ekonominya, sementara aspek sosiologi kurang mendapat perhatian.

Pada tahun 1937, Komisi Ekonomi Liga Bangsa-Bangsa (Economis Commission of

The league of Nations), pertama kali memberikan batasan pengertian mengenai wisatawan

internasional pada forum internasional. Rumusan tersebut adalah sebagai berikut :

“ The term tourist shall , in principle, be interpreted to mean any person travelling for a

period of 24-hours or more in a country other than in which he usually resides”.

Hal pokok yang penting dari batasan Liga Bangsa-Bangsa tersebut yang perlu dicatat adalah : 1. Perjalanan dari satu negara ke negara lain

2. Lama perjalanan sekurang-kurangnya 24 jam

Untuk selanjutnya Komisi Liga Bangsa-Bangsa ini, menyempurnakan batasan pengertian tersebut, dengan mengelompokkan orang-orang yang dapat disebut sebagai wisatawan dan bukan wisatawan.

Yang termasuk wisatawan adalah :

1. Mereka yang mengadakan perjalanan untuk keperluan bersenang-senang, mengunjungi keluarga, dan lain lain.

(14)

2. Mereka yang mengadakan perjalanan untuk keperluan pertemuan-pertemuan atau karena tugas tertentu, seperti dalam ilmu pengetahuan, tugas negara, diplomasi, agama, olah raga dan lain lain.

3. Mereka yang mengadakan perjalanan untuk tujuan usaha.

4. Mereka yang melakukan kunjungan mengikuti perjalanan kapal laut, walaupun tinggal kurang dari 24 jam.

Yang dianggap sebagai bukan wisatawan :

1. Mereka yang berkunjung dengan tujuan untuk mencari pekerjaan atau melakukan kegiatan usaha.

2. Mereka yang berkunjung ke suatu negara dengan tujuan untuk bertempat tinggal tetap.

3. Penduduk di daerah tapal batas negara dan bekerja di negara yang berdekatan.

4. Wisatawan yang hanya melewati suatu negara tanpa tinggal di negara yang dilaluinya itu.

Batasan tersebut tidak dapat diterima oleh Komisi Statistik dan Komisi Fasilitas Internasional Civil Aviation Organization, PBB. Komisi ini membuat rumusan baru. Istilah

tourist diganti dengan foreign tourist, dan memasukkan kategori visitor di dalamnya.

Dalam rumusan Komisi Statistik ini dicantumkan batas maksimal kunjungan selama 6 bulan, sedangkan batas minimum 24 jam dikesampingkan. Selanjutnya batasan yang semula berdasarkan kebangsaan (nationality) diganti dengan berdasarkan tempat tinggal sehari-hari wisatawan ( Country of Residence).

Menyadari ketidakseragaman pengertian tersebut, Internasional Union of Official

Travel Organization (IUOTO) sebagai badan organisasi pariwisata internasional yang

memiliki anggota kurang lebih 90 negara telah mengambil inisiatif dan memutuskan batasan yang sifatnya seragam melalui PBB pada tahun 1963 di Roma memberi definisi sebagai berikut :

(a) Pengunjung (visitors) adalah setiap orang yang berkunjung ke suatu negara lain di mana ia mempunyai tempat kediaman, dengan alasan melakukan pekerjaan yang diberikan oleh negara yang dikunjunginya.

(b) Wisatawan (tourist) adalah setiap orang yang bertempat tinggal di suatu negara tanpa memandang kewarganegaraannya, berkunjung ke suatu tempat pada negara yang sama untuk jangka waktu lebih dari 24 jam yang tujuan perjalanannya dapat diklasifikasikan pada salah satu hal berikut ini.

(15)

1. Memanfaatkan waktu luang untuk berekreasi, liburan, kesehatan, pendidikan, keagamaan, dan olah raga

2. Bisnis atau mengunjungi kaum keluarga

(c) Darmawisata (excursionist), adalah pengunjung sementara yang menetap kurang dari 24 jam di negara yang dikunjunginya, termasuk orang yang berkeliling dengan kapal pesiar, namun tidak termasuk para pesiar yang memasuki negara secara legal, contohnya orang yang hanya tinggal di ruang transit pelabuhan udara.

Bila diperhatikan orang-orang yang datang berkunjung pada suatu tempat atau negara biasanya mereka disebut sebagai pengunjung (visitor) yang terdiri atas banyak orang dengan bermacam-macam motivasi kunjungan. Hal ini juga termasuk di dalamnya adalah wisatawan. Artinya, tidak semua pengunjung dapat disebut sebagai wisatawan.

Istilah wisatawan harus diartikan sebagai seseorang, tanpa membedakan ras, kelamin, bahasa, dan agama, yang memasuki wilayah suatu negara yang mengadakan perjanjian yang lain daripada negara di mana orang itu biasanya tinggal dan berada di situ tidak kurang dari 24 jam dan tidak lebih dari 6 bulan, di dalam jangka waktu 12 bulan berturut-turut, untuk tujuan non imigrasi yang legal, seperti: perjalanan wisata, rekreasi, olah raga, kesehatan, alasan keluarga, studi, ibadah keagamaan, atau urusan usaha (business) (Yoeti, 1983:123--124).

Dalam rangka pengembangan dan pembinaan kepariwisataan di Indonesia, pemerintah telah pula merumuskan batasan tentang wisatawan, seperti yang dituangkan dalam instruksi Presiden No. 9 Tahun 1969 yang memberikan definisi sebagai berikut :

“Wisatawan (tourist) adalah setiap orang yang bepergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan menikmati perjalanannya dan kunjungannya itu” Berdasarkan batasan-batasan tersebut, maka kita dapat memberi ciri tentang seseorang itu dapat disebut sebagai wisatawan :

1. Perjalanan itu dilakukan lebih dari 24 jam

2. Perjalanan itu dilakukannya untuk sementara waktu

3. Orang yang melakukannya tidak mencari nafkah di tempat atau negara yang dikunjungi.

Dapat dikatakan bila tidak memenuhi syarat tersebut di atas, orang tersebut belum dapat dikatakan sebagai seorang wisatawan. Satu saja syarat tidak dipenuhi, maka dua syarat yang lainnya menjadi gugur.

(16)

2.7 Batasan Tentang Industri Pariwisata

Pariwisata adalah suatu gejala sosial yang sangat kompleks, yang menyangkut manusia seutuhnya dan memiliki berbagai aspek : sosiologis, psikologis, ekonomis, ekologis, dan sebagainya. Aspek yang mendapat perhatian yang paling besar dan hampir-hampir merupakan satu-satunya aspek yang dianggap penting ialah aspek ekonomisnya. Untuk mengadakan perjalanan orang harus mengeluarkan biaya, yang diterima oleh orang-orang yang menyelenggarakan angkutan, menyediakan bermacam-macam jasa, atraksi, dan lain-lainnya. Keuntungan ekonomis untuk daerah yang dikunjungi wisatawan itulah merupakan salah satu tujuan pembangunan pariwisata.

Dalam hubungan dengan aspek ekonomis dari pariwisata ini, orang telah mengembangkan konsep ”industri pariwisata”. Kalau ada industri tentu ada produk tertentu, di sini produk kepariwisataan. Ada konsumen, permintaan (demands), dan penawaran (supply). Ada produsen yang menghasilkan produk untuk memenuhi permintaan konsumen. Dalam hal industri pariwisata itu agaknya jelas bahwa konsumen itu ialah wisatawan. Wisatawanlah yang mempunyai kebutuhan dan permintaan-permintaan yang harus dipenuhi dan untuk itu wisatawan mengeluarkan uang.

Harus diperhatikan bahwa meskipun kita dapat berbicara tentang industri pariwisata, akan tetapi industri di sini tidak dalam arti ekonomis biasa. Ada perbedaan-perbedaan yang nyata. Industri pariwisata adalah industri yang kompleks, yang meliputi industri-industri lain. Dalam kompleks industri pariwisata terdapat industri perhotelan, industri rumah makan, industri kerajinan/cinderamata, indsutri perjalanan, dan sebagainya.

Di samping itu, ada perbedaan-perbedaan lain. Di antaranya yang terpenting ialah sebagai berikut :

1. Produk tidak dapat dibawa ke tempat kediaman wisatawan, akan tetapi harus dinikmati di tempat di mana produk itu tersedia.

2. Wujud produk wisata akhirnya ditentukan oleh konsumen sendiri, yaitu wisatawan. Bagaimana bentuk komponen-komponen produk wisata itu akhirnya tersusun menjadi suatu produk wisata yang utuh, pada dasarnya wisatawanlah yang menyusunnya. Atraksi yang dipilihnya, angkutan apa yang akan digunakannya, berapa lama dan di hotel mana ia akan singgah, itu semua wisatawan sendirilah yang menentukan. Sering karena kurang pengalaman dan pengetahuan si calon wisatawan produk itu diramu oleh perusahaan perjalanan, akan tetapi perusahaan perjalanan yang berpengalaman selalu menyediakan kemungkinan bagi wisatawan yang diurusnya untuk mengubah

(17)

acara perjalanan yang disusunnya itu, misalnya, dengan memberi waktu bebas yang dapat diisi dengan kegiatan yang dipilih oleh wisatawan sendiri.

3. Apa yang diperoleh oleh wisatawan sebagai konsumen kalau ia membeli produk kepariwisataan tidak lain daripada sebuah pengalaman (experiences)

Menurut Yoeti (2008), Pariwisata sebagai suatu industri masih diperdebatkan di antara para pakar. Batasan pariwisata sebagai suatu industri diberikan secara terbatas, hanya sekedar untuk menggambarkan apa sebenarnya pariwisata itu. Dengan demikian dapat memberikan pengertian yang lebih luas. Jadi sebenarnya, ide memberikan istilah industri pariwisata (tourism industry) lebih banyak bertujuan memberikan daya tarik supaya pariwisata dapat dianggap sebagai sesuatu yang berarti bagi perekonomian suatu negara, terutama pada negara-negara sedang berkembang.

Gambaran pariwisata sebagai suatu industri diberikan hanya untuk menggambarkan pariwisata secara konkret, dengan demikian dapat memberikan pengertian yang lebih jelas. Jadi ide sebenarnya menggunakan istilah “industri pariwisata” itu lebih banyak bertujuan untuk meyakinkan orang-orang bahwa pariwisata itu memberikan dampak positif dalam perekonomian, terutama dampak dari multiplier effect yang ditimbulkan.

Sebagai suatu industri, pariwisata tidak dapat diukur, karena tidak memiliki standar nomor klasifikasi seperti dikatakan oleh Robert Cristie Mill dan Alais M. Morrison : “There

is no standard industrial classification number for tourism”. Oleh karena itu, seperti apa

pariwisata sebagai suatu industri sukar menjelaskan. Akan tetapi, keberadaannya dapat dijelaskan dengan adanya sekelompok perusahaan yang hidup dan kehidupannya sangat tergantung dari kunjungan wisatawan. Dengan perkataan lain, bila tidak ada wisatawan, maka dapat dikatakan kelompok perusahaan ini tidak eksis, karena tidak ada orang yang akan dilayani (Christie Mill, 2000).

Hanya saja, keberadaan kelompok perusahaan ini tidak berada dalam suatu kelompok seperti halnya suatu pabrik yang terletak pada suatu lokasi yang sama seperti halnya dengan suatu pabrik yang biasanya kita kenal. Perusahaan-perusahaan kelompok industri pariwisata ini berbeda dalam hal : kepemilikan (ownership), manajemen (management), produk (products), pemasaran (marketing), lokasi (lacation).

Di bawah ini dicoba untuk memberikan penggolongan perusahaan-perusahaan yang dapat diklasifikasikan sebagai industri pariwisata dengan maksud agar dapat dipergunakan sebagai patokan dalam merumuskan investasi modal dan perkiraan pendapatan dari sektor ini.

(18)

1. Perusahaan Pariwisata Utama langsung

Yang dimaksud dengan perusahaan-perusahaan pariwisata utama langsung adalah semua perusahaan yang tujuan pelayanannya khusus diperuntukkan bagi perkembangan kepariwisataan dan kehidupan usahanya memang benar-benar tergantung padanya. Bila pemikiran untuk menggolongkan rincian-rincian perusahaan-perusahaan ini dipergunakan dengan istilah-istilah objek sentra dan subjek sentra, yaitu yang berkisar pada objek dan pada subjek masing-masing, maka pembagian perusahaan-perusahaan pariwisata dapat juga dimasukkan ke dalam kategori demikian, tergantung pada kegiatan perusahaan-perusahaan itu sendiri, apakah kegiatan itu termasuk objek atau subjek pariwisata. Di bawah ini adalah perusahaan-perusahaan tergolong dalam objek sentra.

1. Perusahaan akomodasi, termasuk hotel, losmen, tempat berlibur, asrama, bungalow, homestay, inn, dan lain sebagainya.

2. Tempat peristirahatan khusus bagi pengunjung yang sakit beserta kliniknya, termasuk pemandian, khusus untuk orang sakit, spa, steambath, peristirahatan dengan tempat pijatnya, dan sebagainya.

3. Perusahaan angkutan publik, termasuk pengangkutan udara, laut, maupun darat seperti pengangkutan dengan kereta api, bis, dan mobil (taksi) yang teratur menurut jaringan-jaringan yang telah ditetapkan bagi pengangkutan umum tidak termasuk dalam kategori perusahaan angkutan pariwisata. Tetapi mobil, bus, kereta api, pesawat udara, atau kapal laut, yang dipergunakan khusus untuk keperluan pariwisata seperti, misalnya untuk berdarmawisata, piknik, berlayar pesiar (cruise), bersenang-senang dan alat-alat pengangkutan yang diborong (charter) untuk keperluan tersebut, mobil dan sepeda motor (rental car or motorcycle) dan sebagainya yang khusus disewakan kepada wisatawan adalah termasuk kategori perusahaan angkutan pariwisata.

4. Perusahaan pengrajin atau manufaktur, seperti perusahaan kerajinan tangan atau barang-barang kesenian (terkenal dengan nama souvernir), kartu pos bergambar untuk wisatawan, penerbitan buku-buku petunjuk kepariwisataan dan lain sebagainya. 5. Toko-toko penjual souvernir, seperti barang-barang kerajinan tangan atau benda-bend

lain khusus untuk wisatawan.

6. Usaha-usaha khusus menyediakan dan menyajikan tempat-tempat rekreasi dan hiburan-hiburan lain khusus untuk wisatawan.

7. Organisasi atau usaha yang menyediakan pramuwisata (guide), penerjemah, sekretaris, juru tik, juru strankripsi, perlengkapan konvensi, dan sebagainya.

(19)

8. Klab atau lembaga khusus mempromosikan pariwisata dengan jalan mengelola, mengatur perbaikan, dan kebersihan objek-objek yang dikunjungi para wisatawan dalam dan luar negeri.

Perusahaan-perusahaan pariwisata yang termasuk dalam kategori ”subjek sentra” adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha-usaha bagi orang yang merasa tertarik akan kebutuhan untuk mengadakan perjalanan atau memberi kesempatan kepada mereka untuk menikmati perjalanan apabila mereka sendiri tidak mampu untuk berbuat demikian. Dalam kategori ini, perusahaan yang termasuk subjek sentra yaitu :

1. Perusahaan-perusahaan penerbit kepariwisataan yang memajukan promosi pariwisata secara umum ataupun khusus

2. Usaha-usaha yang membiayai kepariwisataan seperti bank pariwisata, usaha kredit pariwisata, badan-badan yang membiayai wisata sosial atau wisata remaja.

3. Perusahaan asuransi pariwisata seperti asuransi kecelakaan, sakit, biaya rumah sakit, kematian pada waktu mengadakan perjalanan.

Kategori ketiga adalah perusahaan pariwisata yang menyangkut objek maupun subjek pariwisata sendiri. Adapun kegiatan usahanya adalah terdiri dari bentuk, hubungannya dengan kedua kategori perusahaan di atas. Prototip bentuk hubungan ini adalah biro perjalanan umum dan agen perjalanan yang mempunyai dwifungsi, yaitu keagenan pariwisata dan pengaturan perjalanan. Tugasnya adalah membawa subjek pariwisata ke objek pariwisata, dengan jalan menyajikan objek tersebut bagi kebutuhan wisatawan sebagai subjek (dalam hal ini fungsinya adalah pengaturan perjalanan) atau dengan jalan mengatur objek pariwisata yang dikehendaki oleh subjek pariwisata (di sini fungsinya adalah sebagai agen pariwisata atau agen perjalanan) (Pendit, 2006 :80-81)

(20)

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya “Perang komisi” dalam seni pertunjukan wisata di Bali

2. Untuk mengetahui interaksi sosial antara pihak yang terkait dengan “Perang komisi” dalam seni pertunjukan wisata di Bali

3. Untuk mengetahui upaya pemerintah Propinsi Bali menanggulangi “Perang komisi” dalam seni pertunjukan wisata di Bali.

3.2 Manfaat Penelitian

1. Penelitian ilmiah hendaknya dapat menjadi lampu penerang bagi segala permasalahan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya. Spradley (1980) mengemukakan, idealnya suatu ilmu harus memiliki kegunaan praktis dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan. Oleh karena itu, suatu penelitian idealnya mempunyai manfaat bersifat akademis dan praktis.

2. Penelitian ini memiliki manfaat akademis, terbatas pada menambah wawasan dan sebagai aplikasi ilmu-ilmu sosial sebagai ilmu terapan. Selain dapat menambah rangsangan bagi peneliti lain, juga sebagai informasi awal bagi penelitian lanjutan lainnya.

3. Adapun manfaat praktisnya adalah berupaya memberikan informasi dan sebagai masukan bagi pemerintah untuk mengambil kebijaksanaan dalam pariwisata dan industri pariwisata untuk pembentukan citra yang positif bagi perkembangan pariwisata. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan masukan bagi penyelenggara atau penyedia seni pertunjukan wisata di Bali untuk mengatur organisasi serta adanya standarisasi dalam pemberian komisi kepada pramuwisata, demi keberlanjutan seni pertunjukan wisata serta pengembangan dunia pariwisata.

(21)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian ini dilaksanakan di dalam wilayah pemerintah Propinsi Bali. Lokasi tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut : Tempat pertunjukan wisata khususnya yang berada di Kabupaten Gianyar (didasari jumlah pertunjukan wisata terbanyak di Bali), Dinas Pariwisata Propinsi Bali sebagai pengembang sekaligus pengendali pariwisata di Bali, Dinas Kebudayaan Propinsi Bali sebagai lembaga yang memiliki andil besar terhadap seni dan budaya di Bali, Asosiasi Penyelenggara Tontonan Wisata (Aspranata), Himpunan Pramuwisata Indonesia-Bali (HPI-Bali).

4.2 Definisi Operasional Variabel

Dalam penelitian ini untuk memperjelas dan memberi batasan permasalahan yang akan dibahas, maka ada beberapa variabel yang akan diteliti dan dijelaskan. Variabel-variabel tersebut adalah :

a. Latar belakang terjadinya “Perang komisi” dalam seni pertunjukan wisata

Latar belakang terjadinya “Perang komisi” dalam seni pertunjukan wisata adalah segala sesuatu yang menyebabkan dan mendorong terjadinya “Perang komisi” dalam seni pertunjukan wisata, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebab secara langsung seperti motivasi dari pelakunya, dan secara tidak langsung seperti situasi dan kondisi yang menyebabkan terjadinya “Perang komisi” dijelaskan sesuai data yang didapatkan dalam penelitian. Data-data yang dicari dan dihasilkan meliputi hasil wawancara, arsip, dan dokumentasi dari berbagai sumber data dalam penelitian ini.

“Perang komisi” adalah suatu penyimpangan yang mengindikasikan bahwa pertunjukan wisata di Bali makin kekurangan peminat, sehingga trik yang paling mudah adalah jual murah atau meningkatkan komisi untuk pramuwisata. Strategi ini dilakukan oleh penyelenggara atau penyedia pertunjukan wisata untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke tempat pertunjukan, sehingga pertunjukan wisata ini tetap bisa dilakukan secara berkelanjutan di tengah persaingan yang ketat.

(22)

b. Interaksi sosial dari pihak-pihak yang terkait “Perang komisi” dalam seni pertunjukan wisata

Interaksi sosial adalah hubungan yang terjadi secara dinamis yang bersifat asosiatif dalam arti kerjasama positif, dan bisa pula bersifat negatif atau ada pihak yang dirugikan terkait masalah “Perang komisi” dalam seni pertunjukan wisata. Pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial masalah tersebut antara lain :

 Penyelenggara/penyedia seni pertunjukan wisata

 Asosiasi Penyelenggara Tontonan Wisata (Aspranata)

 Dinas Pariwisata Propinsi Bali

 Dinas Kebudayaan Propinsi Bali

 Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Bali

Data-data yang dicari meliputi segala macam hasil wawancara dan arsip mengenai reaksi dari masyarakat pariwisata Bali seperti adanya kesepakatan bersama untuk menghapus “Perang komisi” karena merasa dirugikan dalam industri pariwisata Bali.

c. Upaya Pemerintah dan Pengendalian Sosial Dalam Mengatasi “Perang komisi” Dalam Seni Pertunjukan Wisata

Upaya pemerintah adalah semua proses usaha dan tindakan yang dilakukan Pemerintah Propinsi Bali seperti Dinas Pariwisata Propinsi Bali, Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, bekerja sama dengan komponen pariwisata Bali untuk membuat suatu kebijaksanaan dalam pariwisata dengan persetujuan Gubernur Propinsi Bali, serta mengadakan tindakan pengendalian sosial dalam rangka menanggulangi masalah “Perang komisi” dalam seni pertunjukan wisata di Bali.

Kebijaksanaan pemerintah dalam pariwisata adalah segala bentuk tindakan atau aturan yang dibuat oleh pemerintah, yang berpengaruh terhadap perkembangan pertunjukan wisata baik secara langsung ataupun tidak langsung. Sedangkan pengendalian sosial adalah usaha sekelompok orang atau masyarakat yang berkepentingan, sehingga anggotanya bertindak sesuai yang diharapkan, dalam penelitian ini kelompok yang berkepentingan adalah Pemerintah Propinsi Bali bersama jajarannya sebagai fungsinya mengawasi kualitas jasa dari pertunjukan wisata di Bali.

Data-data yang dicari dalam penelitian ini meliputi segala tindakan dan kebijaksanaan pemerintah dan organisasinya dalam pariwisata yang secara langsung berhubungan dengan penanggulangan “Perang Komisi” dalam seni pertunjukan wisata di Bali.

(23)

4.3 Jenis dan Sumber Data Jenis Data

Data-data yang dipergunakan tidak menggunakan pengukuran angka, sehingga jenis data yang digunakan bukan data kuantitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu meliputi data yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat-kalimat yang mengandung penjelasan mengenai permasalahan yang diteliti. Di mana data ini menunjukkan kualitas sesuatu berupa keadaan, proses, kejadian atau peristiwa yang dinyatakan dalam bentuk pernyataan.

Sumber Data

Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber pertama atau secara langsung diperoleh di lokasi penelitian dengan wawancara, dokumentasi maupun observasi. Adapun sumber data penelitian ini sebagian didapat dari beberapa tempat, yaitu :

 Penyelenggara/penyedia pertunjukan wisata

 Dinas Pariwisata Propinsi Bali

 Dinas Kebudayaan Propinsi Bali

 Asosiasi Penyelenggara Tontonan Wisata (Asprananta)

 Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Bali Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber lain selain pihak pertama. Adapun data-data yang termasuk dalam data sekunder dalam penelitian ini adalah dokumentasi di Harian Bali post, Denpost, Nusa serta di internet tentang masalah “Perang komisi” dalam seni pertunjukan wisata di Bali.

4.4 Metode Pengumpulan Data Observasi

Observasi adalah metode pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan terhadap penyelenggaraan seni pertunjukan wisata oleh peneliti di tempat-tempat pertunjukan wisata, dengan cara mengamati dan mencatat kemungkinan segala bentuk praktek “Perang komisi”. Wawancara

Wawancara dilakukan secara mendalam (in-depth) dan bebas (independent) tanpa pengaruh, yaitu dengan mengadakan tanya jawab berdasarkan pedoman dengan informan kunci yang

(24)

dipilih, yang kemudian bisa menyampaikan opininya tentang peristiwa yang terjadi sampai diperoleh kesamaan persepsi dan mencapai titik jenuh, untuk kemudian akan diambil suatu kesimpulan sebagai data penelitian.

Studi Dokumenter

Studi dokumenter adalah metode pengumpulan data dengan dokumentasi atau mencari bentuk-bentuk tulisan, seperti : pengumuman resmi, laporan, situs, artikel, kliping media massa, serta rekaman arsip yang berkaitan dengan masalah “Perang komisi” sebagai bukti yang relevan dengan data penelitian.

4.5 Penentuan Informan Kunci

Penentuan informan kunci sebagai sumber data penelitian ini dilakukan secara

purposive atau membuat kelompok-kelompok tertentu terkait dengan masalah “Perang

komisi” dalam seni pertunjukan wisata di Bali. Penelitian ini diawali dengan mencari informan pangkal, berdasarkan lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa mereka adalah orang yang mengetahui masalah ini secara umum, dalam hal ini adalah Ketua Asosiasi Penyelenggara Tontonan Wisata (Asparananta). Dari informan pangkal tersebut kemudian dapat disusun beberapa kelompok untuk ditentukan informan kuncinya dengan kriteria-kriteria tertentu. Adapun kriteria-kriteria-kriteria-kriteria informan kunci tersebut adalah sebagai berikut :

a. Informan memahami dan mendalami seluk beluk “Perang komisi”

b. Informan tersebut mengalami dan merasakan senang dan susah dalam masalah ini

c. Informan tersebut pejabat atau seseorang tokoh dalam masyarakat

Kemudian informasi dikumpulkan dalam wawancara dengan snowball method atau teknik wawancara dengan membandingkan dan mengembangkan informasi sampai diperoleh informasi yang sama atau mencapai titik jenuh dari data-data yang telah diperoleh.

Berdasarkan keterangan tersebut di atas, berikut ini akan dibagi kelompok-kelompok yang berkepentingan, dan dari masing-masing kelompok tersebut ditentukan informan kunci sesuai kriteria-kriteria atau syarat-syarat yang telah ditentukan sebelumnya. Pembagian tersebut adalah sebagai berikut :

1. Penyelenggara/Penyedia seni pertunjukan wisata, diwakili oleh - Pengelola Sahadewa Barong Dance

(25)

2. Dinas Pariwisata Propinsi Bali, diwakilkan oleh : - Ketua Subdin. Pengembangan

- Wakil Ketua Subdin. Pengendalian 3. Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, diwakili oleh :

- Kepala Seksi Promosi dan Pementasan Budaya - Kepala Seksi Pengembangan dan Pelestarian Seni 3. Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia-Bali

4.6 Metode Analisis Data

Pendekatan kualitatif berasaskan kepada “naturalistic inquiry” (Moleong, 2002). Dengan demikian pendekatan naturalistic merupakan suatu pendekatan utama dalam penelitian kualitatif sebagai cara untuk memahami, mengungkapkan dan menggambarkan terjadinya praktek “Perang komisi” dalam seni pertunjukan wisata di Bali. Pemahaman makna yang mendalam dapat dicapai dengan menjalin hubungan baik atas dasar kepercayaan dengan informan/rapport. Dengan penggunaan metode observasi dan metode wawancara mendalam, studi kepustakaan dan studi dokumen dapat dilakukan secara simultan dalam

community group dari sebuah situasi sosial (Spradley, 1980).

Setelah mendapatkan data sesuai dengan fokus penelitian, kemudian dianalisis secara kualitatif (koding, cross check, interpretasi,dan lain-lain) untuk mendapatkan hasil penelitian yang terpercaya. Dalam tradisi penelitian kualitatif, tidak mencari validitas melainkan keterpercayaan hasil penelitian yang apa adanya dengan meminimalkan subyektifitas untuk menghindari bias. Hasil penelitian bukanlah kesimpulan akhir melainkan proses timbal balik dari data yang terjadi di lapangan sebagai deskripsi penelitian yang kemudian diinterpretasi oleh peneliti sesuai dengan pendekatan masing-masing ilmu yang digunakan.

(26)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Secara geografis pulau Bali terletak antara 7045’ – 80LS dan 114026’ – 115043’BT serta berada di sebelah timur pulau Jawa. Di sebelah barat berbatasan dengan Selat Bali, sebelah timur dengan Selat Lombok, di sebelah utara dengan Laut Bali, dan sebelah selatan dengan Samudra Indonesia. Secara administratif, Propinsi Bali berpusat di Kota Denpasar sebagai ibukota propinsi. Semua wilayah sebagian besar tergantung dari industri pariwisata sebagai penggerak ekonomi yang diandalkan. Penelitian dilakukan dibeberapa komponen pariwisata serta tempat yang menyuguhkan hiburan atau pertunjukkan wisata yang ada di pulau Bali.

Penelitian ini dilaksanakan di bawah pemerintah Propinsi Bali yang dipimpin oleh gubernur, dan dibantu oleh Dinas Kebudayaan dan Dinas Pariwisata Propinsi Bali, dan beberapa organisasi pariwisata yang terkait dengan masalah “Perang komisi” dalam seni pertunjukan wisata di Bali. Organisasi-organisasi tersebut sebagai bagian dari masyarakat pariwisata Bali yang saling berinteraksi dan terkait, sebagai komponen pariwisata Bali. Organisasi-organisasi tersebut adalah :

1. Dinas Kebudayaan Propinsi Bali 2. Dinas Pariwisata Propinsi Bali

3. Asparananta (Asosiasi Penyelenggara Tontonan Wisata) 4. Himpunan Pramuwisata Indonesia-Bali

Asparananta (asosiasi penyelenggara tontonan wisata) dan HPI-Bali sebagai wadah yang berdiri sendiri di luar pemerintahan terutama sebagai wadah atau organisasi yang terkait dalam menyuguhkan pertunjukan wisata dan kegiatan wisata di Bali. Semua pihak telah ditentukan informan kunci sebagai sumber data sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya sebagai salah satu sumber data utama yang akan dikaji dalam penelitian ini. Beberapa lokasi lain yang dijadikan pengamatan adalah di beberapa objek dan tempat pertunjukkan wisata di Bali khususnya di Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar.

5.2 Latar Belakang Terjadinya “Perang Komisi” Dalam Seni Pertunjukkan Wisata Pementasan kesenian untuk suguhan kegiatan pariwisata yang akhir-akhir ini banyak dipermasalahkan sehubungan dengan munculnya berbagai kasus penyalahgunaan kesenian, ini kiranya masih belum dipahami secara tuntas dan jelas oleh kalangan masyarakat secara

(27)

luas. Demikian pula penyelesaian terhadap kasus-kasus yang muncul pada kesenian ini sering tidak mendasar dan tuntas. Kalaupun ada usaha penyelesaian kasus tersebut sering pendekatan yang digunakan bersifat emosif, dalam arti lebih banyak merupakan ekspresi “Ketersinggungan” semata-mata. Ini menunjukkan pemahaman terhadap konsep kesenian baik di kalangan masyarakat (Hindu) Bali lebih-lebih yang non-Hindu masih rancu dan distorsi.

Sesungguhnya masyarakat Bali mempunyai potensi yang cukup besar dalam mengelola kesenian karena masyarakat telah memiliki pandangan, cara, sikap, bahkan sanksi sosial untuk pemeliharaan kesenian. Namun ancaman akan popularitas Bali sebagai destinasi wisata budaya, kini mulai disadari sejumlah kalangan. Menyusul, makin banyaknya atraksi wisata yang tidak mencerminkan budaya Bali yang dijual kepada wisatawan. Beberapa kabupaten atau kota seperti Denpasar, Badung, dan kota lainnya di Bali kini diserbu atraksi memikat yang telah keluar dari ''pakem'' budaya Bali. Banyak yang menyebutkan suguhan itu sebuah inovasi untuk menghilangkan kejenuhan pariwisata Bali yang berbasis budaya. Namun di sisi lain, muncul ancaman dengan menurunnya kunjungan wisatawan menyaksikan pertunjukan kesenian tradisi, sehingga memunculkan ''perang komisi”. Perang komisi ini mengindikasikan bahwa kesenian berbasis budaya Bali makin kekurangan peminat, sehingga trik yang paling mudah adalah jual murah atau meningkatkan komisi untuk pramuwisata. Salah satu contoh di Kabupaten Gianyar, saat ini terdapat sekitar tujuh desa yang masih mementaskan kesenian tradisi, seperti Ubud, Bedulu, Batubulan, Singapadu, Mawang, dan Melinggih. Namun dari sejumlah pementasan yang ada tersebut, hanya beberapa yang bisa berjalan secara rutin, seperti pementasan barong di Gianyar.

Seiring persaingan memperebutkan kunjungan penonton dari kalangan wisatawan, membuat para pengelola seni pertunjukan tari barong melakukan praktek besar-besaran memberikan komisi kepada pemandu wisata yang mendatangkan penonton. Praktek pemberian komisi kepada pemandu sudah mulai terus-menerus meningkat, dari beberapa puluh ribu hingga kini ada yang mencapai Rp 60.000 per penonton. Hal itu terjadi tak terlepas dari sikap pemandu yang memiliki posisi tawar tinggi. Menurut Dewa Teges, seorang informan dari pengelola Sahadewa Barong Dance, menuturkan :

"Perang" pemberian komisi kepada pemandu wisata yang mendatangkan penonton tari barong di Bali yang mencapai Rp 60.000,-, sehingga pengelola bisnis seni itu hanya kebagian Rp 20.000,-, dinilai sudah keterlaluan. Praktek besar-besaran pemberian komisi kepada pramuwisata itu sudah tidak masuk akal. Bisa merusak pasar penonton tari barong, sekaligus mengancam keberlanjutan usaha seni pertunjukan tersebut, lebih lanjut dijelaskan bahwa di berbagai sanggar atau penyelenggara tari barong, seperti di sejumlah tempat

(28)

pertunjukan di Batubulan dan wilayah Gianyar lainnya, umumnya mengenakan tarif menonton tari barong Rp 80 ribu per orang.

Perang komisi itu dinilai sudah menggila dan tidak masuk akal, karena pengelola seni pertunjukan yang menanggung biaya operasional cukup besar, terutama untuk membayar seluruh seniman dan tim pendukung, terpaksa rela hanya kebagian Rp 20.000 ribu per orang. Kegiatan seperti tersebut telah memunculkan kekecewaan diantara pengelola usaha tari barong, karena memberikan efek bagi kunjungan wisatawan ke pertunjukan tari barong lainnya. Terkait dengan jumlah kunjungan wisatawan ke salah satu tempat pertunjukan wisata yaitu Sahadewa Barong Dance, kalangan wisatawan domestik sangat sedikit kendati saat berlangsung libur Lebaran. Kunjungan wisatawan mancanegara yang diandalkan kini berasal dari kalangan wisatawan Jepang dan negara-negara Eropa yang setiap harinya hanya berkisar 100 - 150 orang.

Banyaknya bermunculan seni-seni pertunjukan wisata baru yang membuat persaingan dalam menawarkan komisi kepada guide semakin tinggi, membuat keadaan menjadi lebih sulit. Hal ini terutama dirasakan oleh salah satu pengelola seni pertunjukan wisata barong di Denpasar yaitu Ida Bagus Pujana, yang menyatakan :

“Banyaknya seni pertunjukan wisata yang bermunculan, membuat pengelolaan dan persaingan menjadi ketat sekali. Persaingan bisnis yang tidak sehat akhirnya terjadi untuk tetap bertahan dalam bisnis seni pertunjukan wisata ini.”

Lebih lanjut beliau mengatakan munculnya perang komisi dalam seni pertunjukan wisata di Bali karena adanya pelaku-pelaku penyelenggara seni pertunjukan wisata yang nakal, mereka hanya ingin mendapat kunjungan wisatawan yang lebih banyak dengan otomatis mendapatkan keuntungan yang banyak dan cepat tanpa mengindahkan aturan yang berlaku. Pelaku-pelaku inilah yang sering merusak pasar dalam seni pertunjukan wisata di Bali.

Berdasarkan observasi yang dilakukan di beberapa tempat seni pertunjukan wisata di Kabupaten Gianyar dan Denpasar, rata-rata kunjungan wisatawan yang berkunjung ke tempat penyelenggaraan seni pertunjukan wisata, ada yang ramai pengunjung dan ada juga yang sepi pengunjung. Ini artinya bahwa ramai atau sepinya tempat pertunjukan wisata sangat tergantung dari musim serta ada tidaknya even-even tertentu. Hal inilah yang menyebabkan adanya cara-cara nakal dari para pelaku penyelenggaran seni pertunjukan wisata untuk memperebut peluang mendatangkan wisatawan lebih banyak.

(29)

5.3 Interaksi Sosial Pihak yang Terkait dengan “Perang Komisi” Dalam Seni Pertunjukan Wisata di Bali

Interaksi sosial atau hubungan antara kelompok masyarakat yang berkepentingan dalam pariwisata dan para pelaku “Perang komisi” bersifat negatif dan merugikan bagi masyarakat pariwisata Bali. Munculnya istilah “Perang komisi” di dalam seni pertunjukan wisata di Bali, tidak terdiri dari hanya satu organisasi atau satu komponen saja yang menyebabkan tersebut, namun terdiri dari banyak komponen. Beberapa komponen pariwisata yang terlibat langsung maupun tidak langsung yaitu :

1. ASITA ialah himpunan biro perjalanan wisata atau travel agent Indonesia, ialah organisasi kepariwisataan yang membawahi atau mengorganisir seluruh biro perjalanan wisata atau travel agent yang menangani kedatangan serta kebutuhan para wisatawan ketika berkunjung ke Bali

2. PHRI, yaitu himpunan pengusaha hotel dan restoran, ialah organisasi dari pengusaha hotel dan restoran yang menyiapkan kebutuhan kamar dan pangan bagi wisatawan yang berkunjung

3. HPI, yaitu himpunan pramuwisata Indonesia ialah organisasi dari para guide atau pramuwisata yang menyiapkan semua pemandu wisatawan dari semua negara yang berkunjung

4. PAWIBA, yaitu organisasi dari para pengusaha transportasi, yang menyiapkan kendaraan khusus di darat yang diperlukan wisatawan selama berkunjung

5. PUTRI, yaitu organisasi para pengusaha bidang objek-objek wisata, tempat dimana para wisatawan berkunjung

6. ASPARANATA, yaitu organisasi para pengusaha atau penyelenggara pertunjukan bagi wisatawan yang datang ke Bali

7. Dan lain-lainnya.

Komponen atau pelaku pariwisata ini tidaklah hanya terdiri dari satu organisasi, namun lebih dari satu, yang memiliki tugas masing-masing, namun kesemuanya berhubung dengan wisatawan. Sehingga semua organisasi ini cukup berperan di dalam mengendalikan seni pertunjukan wisata di Bali. Asita bukan satu-satunya pelaku pariwisata, namun banyak komponen yang tergabung di dalamnya. Walaupun ASITA dan HPI sebagai ujung tombak pariwisata, namun yang paling berperan di dalam mempersiapkan pertunjukan adalah Asparanata. Karena Asparanata adalah asosiasi yang bergerak di bidang seni pertunjukan wisata yang disuguhkan untuk wisatawan. Berdasarkan informasi yang didapat dari informan

(30)

(Ida Bagus Pujana) selaku ketua asparanata, jumlah anggota asparanata yang tergabung sampai saat ini yaitu sebanyak 10 penyelenggaraan seni pertunjukan wisata, yang terdiri dari :

1. Barong Seni wisata budaya 2. Barong Catur Eka Putra 3. Kecak Umadewi

4. Kecak Sila Budaya Batubulan 5. Barong Jambe

6. Barong Sahadewa 7. Kecak Sahadewa 8. Barong Tegal Tamu 9. Barong Den Jalan 10. Putra Barong Celuk.

Kesepuluh anggota yang tergabung dalam asparanata sudah mengadakan kerjasama atau kontrak dengan Asita terkait dengan penyelenggaran seni pertunjukan wisata, salah satu butir kesepakatan yang sangat penting yaitu terkait pembagian hasil persentase bagi hasil dari seni pertunjukan wisata, dimana 40 % untuk setiap para guide atau pihak travel agent yang membawa wisatawan ke tempat pertunjukan dan 60 % untuk setiap penyelenggara pertunjukan wisata. Kesepakatan inilah yang terus dijunjung oleh anggota Asparanata dalam menyelenggarakan seni pertunjukan wisata di Bali.

Adanya kegiatan perang komisi dalam seni pertunjukan wisata sangat disayangkan oleh beberapa guide yang sering mengantar wisatawan ke tempat penyelenggaraan seni pertunjukan wisata. Para pelaku “Perang Komisi” selalu berusaha menawarkan komisi yang tinggi ke pramuwisata di Bali, sehingga membuat persaingan tarif menjadi ketat. Perang tarif membuat harga sewa menjadi turun terus, padahal penyelenggara itu sendiri yang nantinya akan dirugikan. Mereka harus membayar biaya untuk perawatan alat, karyawan, dan lain-lain dibandingkan dengan ongkos sewanya. Bagaimana nanti mereka akan menutup biaya operasional kalau harga tarif terus rendah. Seperti yang diungkapkan informan dari HPI-Bali, Ngurah Lanang, yang menyebutkan :

“Adanya “perang komisi” membuat tarif pertunjukan seni wisata semakin tidak menentu. Semua ini dikarenakan persaingan yang ketat. Perang komisi ini akan sangat merugikan berbagai pihak terutama penyelenggara pertunjukan seni wisata itu sendiri. Mereka nanti akan kesulitan menutup biaya operasional jika tarif terus menurun.”

Penyelesaian Perang Komisi yang terjadi dikalangan penyelenggaran seni pertunjukan wisata sudah dilakukan suatu pertemuan yang dimediasi oleh Pemda Gianyar. Berdasarkan

(31)

pertemuan tersebut sudah disepakati agar setiap penyelenggaran seni pertunjukan wisata untuk tetap memperhatikan kesepakatan yang ditandatangani oleh seluruh anggota Asparanata. Di samping itu, asparanata juga pernah melakukan usaha pengendalian sosial untuk mengatasi “Perang komisi” secara internal, dalam arti untuk anggotanya sendiri. Usaha pengendalian sosial secara institusional ini sebagai penyimpangan di pariwisata Bali. Kesepakatan tersebut terdapat tekad dengan muatan yuridis, yaitu :

1. Mentaati peraturan yang berlaku dan menjunjung tinggi etika kerja AD/ART masing-masing pihak

2. Menjaga citra pariwisata Bali sebagai wisata budaya dan ikut melestarikan budaya bangsa Indonesia dan Bali pada khususnya

3. Penyelenggara seni pertunjukan wisata tidak melakukan “perang komisi” dengan memberikan komisi berlebihan kepada pramuwisata dengan harapan mendapatkan kunjungan wisatawan yang banyak

4. Mentaati tata tertib dan aturan main yang disepakati bersama

Asparanata sebagai lembaga yang menangani tentang seni pertunjukan wisata tidak memiliki wewenang untuk mencabut ijin usahanya, tetapi hanya bisa mengkomunikasikan terhadap anggota yang tergabung untuk tidak menjual murah pertunjukan seni. Kewenangan dicabut atau tidaknya ijin seni pertunjukan wisata yaitu dari Dinas Kebudayaan Propinsi Bali. Seni budaya yang biasa dipentaskan dalam seni pertunjukan wisata harus memiliki sertifikat “ Pramana Patram budaya”. Sertifikat ini menandakan bahwa seni pertunjukan wisata tersebut sudah memiliki ijin resmi dari pemerintah Propinsi Bali.

5.4 Upaya Pemerintah Propinsi Bali Dalam Menanggulangi Masalah “Perang Komisi” Dalam Seni Pertunjukan Wisata di Bali

Bali ditetapkan sebagai pusat pengembangan pariwisata Indonesia bagian tengah, persentuhan kebudayaan dengan pariwisata akan semakin tinggi intensitasnya yang akan membawa dampak yang bisa mempengaruhi nilai-nilai budaya nasional umumnya. Kesenian sebagai ungkapan cipta, karsa, dan rasa seni manusia yang mengandung etika dan estetika yang khusus disajikan dengan fungsi sebagai atraksi hiburan, harus dinilai mutunya berdasarkan kriteria apresiasi seni yang berlaku dan diterima masyarakat. Pertunjukan kesenian daerah dalam rangka menunjang kepariwisataan perlu pembinaan dan pengawasan agar dapat meningkatkan mutu, kreatifitas seni, meningkatkan pendapatan masyarakat dan seniman.

Gambar

Gambar 1. Salah satu pertunjukan tari barong yang dipentaskan untuk kegiatan wisatawan                        di Sahadewa Barong Dance
Gambar  3  :  Wisatawan  mulai  sepi  berkunjung    di  salah  satu  tempat  pertunjukan  wisata  di  Denpasar

Referensi

Dokumen terkait

TERHADAP KREDIT BERMASALAH PERIODE 2009- 2016” (STUDI KASUS DI BANK MANDIRI CABANG KUDUS) dengan

Beberapa Bahasan Khotbah Jumat 02-10-2015 Hendaknya tidak memandang segala ujian, cobaan dan musibah itu buruk; Terkadang orang-orang yang beriman secara pribadi maupun

kuat. Termasuk kayu dengan Kelas Awet I, II, III dan Kelas Kuat I, II. Sifat kerasnya juga disertai tingkat kegetasan yang tinggi sehingga mudah muncul retak rambut dipermukaan.

Ruang publik di bantaran sungai Winongo ada yang di fungsikan sebagai tempat usaha (warung) terletak di RT 01 RW 01, dilihat dari kondisinya ruang publik ini terlihat

Hasil penelitian menunjukkan : 1) Pelaksanaan penggunaan Lembar Kerja Siswa untuk meningkatkan minat belajar pada kompetensi dasar mengolah kue Indonesia di

dan fasilitas sosial merupakan fasilitas yang diadakan oleh pemerintah atau pihak swasta yang dimanfaatkan oleh masyarakat umum dalam lingkungan pemukiman, seperti pasar, rumah

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kelayakan Pembuatan Yoghurt

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)