• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pembangunan pertanian ke depan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pembangunan pertanian ke depan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Salah satu sasaran utama yang semestinya bisa digapai melalui pembangunan pertanian ke depan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat petani, di samping pemantapan ketahanan pangan nasional. Tidak mengherankan, karena sesungguhnya penggerak utama pembangunan sektor ini adalah petani itu sendiri. Dengan demikian semestinya petani memperoleh manfaat terbesar dari pembangunan pertanian. Namun kenyataannya harapan tersebut belum sepenuhnya tercapai. Semenjak pembangunan pertanian digalakkan pada masa Orde Baru hingga saat ini, nasib petani tidak kunjung mencapai kondisi ideal, bahkan dalam banyak kasus petani justru menjadi korban dari kebijakan pembangunan pertanian. Lintasan sejarah masa Orde Baru hingga saat ini memberi gambaran betapa pahit nasib kaum yang menggeluti sektor strategis, yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang bahkan diandalkan sebagai katup pengaman pada masa krisis.

Kini, setelah negeri yang menyatakan dirinya sebagai negara agraris ini berada dalam alam reformasi, petani masih belum bisa menikmati porsi kue pembangunan dengan semestinya. Kuncoro (2010: 302-308) mensarikan beberapa permasalahan yang dihadapi di sektor pertanian yang berkaitan dengan pelaku sektor ini, diantaranya:

(2)

relatif sangat rendah. Di saat nilai produksi per tenaga kerja sektor industri mengalami kenaikan antara 2.36 hingga 2.8 selama kurun 2000 – 2004, di sektor pertanian justru mengalami penurunan dari 0.34 pada tahun 2000 menjadi 0.31 pada tahun 2004. Penyebabnya adalah pertama, petani memiliki produktivitas yang rendah akibat keterbatasan berbagai faktor produksi terutama lahan, kedua, produktivitas yang rendah karena jumlah petani yang terlalu banyak, ketiga, gabungan kedua hal tersebut (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2005: 15).

2. Kegureman usaha. Bagi petani, kegureman bisa dilihat dari kecilnya penguasaan lahan. Jumlah petani gurem (dengan penguasaan lahan kurang dari 0.5 ha) pada tahun 1993 mencapai 10.8 juta rumah tangga pertanian (52.7 persen). Angka ini mengalami kenaikan pada tahun 2003, di mana jumlah petani gurem mencapai 13.7 juta RTP (56.5 persen). Kegureman tidak hanya berakibat pada kemiskinan dan rendahnya daya tangkal terhadap kejutan luar seperti turunnya harga atau naiknya biaya produksi, namun juga berakibat pada keterbatasan adaptasi teknologi dan rendahnya produktivitas, efisiensi, dan daya saing.

3. Nilai tukar petani. Angka ini memberi gambaran tingkat kesejahteraan petani. Pada tahun 2009 NTP berada pada angka 99.85, yang kemudian berturut-turut meningkat pada tahun-tahun berikutnya, yaitu 101.77 pada tahun 2010, 104,58 pada tahun 2011, dan 105.17 pada tahun 2012. Tetapi angka-angka tersebut harus dicermati dengan hati-hati. Apakah kenaikan angka tukar itu sebanding dengan angka inflasi atau angka indeks perdagangan besar yang

(3)

juga mengalami kenaikan?

4. Masalah daya saing dan persaingan yang tidak adil. Hal ini terkait dengan daya saing usaha dan produk pertanian di pasar internasional dan pasar domestik, di samping perlindungan terhadap praktik perdagangan yang tidak fair.

Kementerian Pertanian (2009) juga mengidentifikasi beberapa permasalahan mendasar lainnya, diantaranya adalah:

1. Keterbatasan akses petani terhadap permodalan, dan tingginya suku bunga usahatani. Hingga saat ini kondisi masyarakat petani dihadapkan pada kecilnya skala penguasaan dan pengusahaan lahan petani yang mengakibatkan terbatasnya kemampuan petani untuk melakukan pemupukan modal melalui tabungan dan investasi. Di sisi lain petani juga belum memiliki kemampuan untuk mengakses sumber permodalan/lembaga keuangan formal, diantaranya akibatkan oleh tidak mudahnya prosedur pengajuan kredit dan ketiadaan agunan yang dipersyaratkan, sehingga petani lebih memilih “rentenir” yang menyediakan pinjaman modal dengan cepat walau dengan tingkat bunga yang lebih tinggi dibanding lembaga keuangan formal. Di samping itu petani tidak mempunyai akses yang cukup terhadap pasar dan informasi pasar. Kondisi ini, pada akhirnya semakin memperburuk kondisi arus tunai (cash flow), dan kesejahteraan petani.

2. Lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh. Kondisi organisasi petani saat ini lebih bersifat budaya dan sebagian besar berorientasi hanya untuk mendapatkan fasilitas pemerintah, belum sepenuhnya diarahkan

(4)

untuk memanfaatkan peluang ekonomi melalui pemanfaatan aksesibilitas terhadap berbagai informasi teknologi, permodalan dan pasar yang diperlukan bagi pengembangan usahatani dan usaha pertanian. Di sisi lain, kelembagaan usaha yang ada di pedesaan, seperti koperasi belum dapat sepenuhnya mengakomodasi kepentingan petani/kelompok tani sebagai wadah pembinaan teknis. Berbagai kelembagaan petani yang sudah ada seperti Kelompok Tani, dan Gabungan Kelompok Tani, dihadapkan pada tantangan ke depan untuk merevitalisasi diri dari kelembagaan yang saat ini lebih dominan hanya sebagai wadah pembinaan teknis dan sosial menjadi kelembagaan yang juga berfungsi sebagai wadah pengembangan usaha yang berbadan hukum atau dapat berintegrasi dalam koperasi yang ada di pedesaan.

Permasalahan yang tidak kalah akut bagi mayoritas petani Indonesia adalah ketidakberdayaan dalam melakukan negosiasi harga hasil produksinya. Posisi tawar petani pada saat ini umumnya lemah, hal ini merupakan salah satu kendala dalam usaha meningkatkan pendapatan petani. Upaya yang harus dilakukan petani untuk menaikkan posisi tawar petani adalah dengan konsolidasi petani dalam satu wadah untuk menyatukan gerak ekonomi dalam setiap rantai pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran. Konsolidasi tersebut pertama dilakukan dengan kolektivikasi semua proses dalam rantai pertanian, meliputi kolektivikasi modal, kolektivikasi produksi, dan kolektivikasi pemasaran.

Dalam hal kemampuan teknis budidaya sayuran khususnya kentang, petani di Kabupaten Wonosobo sebenarnya sudah cukup baik. Hal ini terlihat dari tingkat produktifitas tanaman kentang di Kabupaten Wonosobo masih cukup

(5)

tinggi, yaitu antara 147.58 – 159.9 kw/ha (Wonosobo Dalam Angka, 2013). Sementara itu produktifitas tanaman kentang di Kecamatan Kejajar yang merupakan sentra budidaya kentang di Kabupaten Wonosobo disajikan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1.1

Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Tanaman Kentang di Kecamatan Kejajar Tahun 2011

Desa Luas Panen

(Ha) Produksi (Kw) Produktivitas (Kw/Ha) Buntu 123.93 18,708.46 150.96 Sigedang 311.48 16,595.14 53.28 Tambi 73.48 9,707.96 132.12 Kreo 13.16 2,103.24 159.82 Serang 302.70 45,317.93 149.71 Kejajar 234.70 35,032.51 149.27 Igirmranak 54.84 13,828.78 252.17 Surengede 376.18 51,601.45 137.17 Tieng 161.22 25,337.65 157.16 Parikesit 176.58 31,393.41 177.79 Sembungan 211.67 41,375.49 195.47 Jojogan 136.00 26,345.43 193.72 Patakbanteng 137.09 26,023.95 189.83 Dieng 62.51 10,771.17 172.31 Sikunang 180.96 36,204.56 200.07 Campursari 107.48 14,352.83 133.54 Jumlah 2,663.98 404,699.96 151.92 Sumber: Kecamatan Kejajar Dalam Angka (2012)

Tingginya produksi dan peningkatan produktivitas pertanian tidak lagi menjadi jaminan akan memberikan keuntungan layak bagi petani, tanpa adanya kesetaraan pendapatan antara petani yang bergerak di sub sistem on-farm dengan pelaku agribisnis di sub-sektor hulu dan hilir. Kesetaraan pendapatan hanya dapat dicapai dengan peningkatan posisi tawar petani. Di sinilah peran penting kelembagaan pertanian berupa kelompok tani dan penyuluh pertanian, untuk

(6)

mengorganisasikan dirinya untuk memainkan peranan penting dalam menghimpun segenap potensi petani, sehingga petani mempunyai kekuatan kolektif dalam seluruh rantai proses usahatani. Sementara itu penyuluhan pertanian mestinya diarahkan pada upaya membangun kelembagaan petani yang tangguh dan mandiri, dengan menjadikan petani sebagai pelaku utama dalam proses tersebut.

Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor: 82/Permentan/OT.140/8/2013 tanggal 19 Agustus 2013 tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani disebutkan bahwa untuk mewujudkan visi “pertanian industrial unggul berkelanjutan, berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, ekspor dan kesejahteraan petani” diperlukan pelaku utama dan pelaku usaha yang berkualitas, andal, berkemampuan manajerial, kewirausahaan dan organisasi bisnis. Dengan demikian, diharapkan mampu membangun usahatani berdaya saing dan berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan posisi tawarnya. Oleh karena itu, kapasitas dan kemampuan pelaku utama dan pelaku usaha harus terus ditingkatkan, salah satunya melalui penyuluhan dengan pendekatan kelompok.

Pendekatan kelompok dalam penyuluhan dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan penyuluhan. Pendekatan kelompok juga dimaksudkan untuk mendorong penumbuhan kelembagaan petani (kelompok tani, gabungan kelompok tani).

(7)

pertanian yang di dalamnya menyangkut upaya penguatan peran serta fungsi kelembagaan kelompok tani dan lembaga penyuluhan, memegang peranan kunci dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani. Upaya ini tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan peningkatan produktivitas (usaha on-farm) semata, namun juga ikut ditentukan oleh keberhasilan petani dalam meliputi upaya-upaya off-farm seperti upaya peningkatan akses terhadap modal dan pasar alternatif, efisiensi biaya transaksi, dan peningkatan daya tawar petani melalui melalui upaya kolektivikasi modal, kolektivikasi produksi, dan kolektivikasi pemasaran. Atas dasar hal tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini adalah: kondisi kelembagaan pertanian di Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo, serta pengaruh kondisi kelembagan pertanian terhadap pendapatan petani sayuran di Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo.

1.2 Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian terdahulu mengenai Kelembagaan Pertanian adalah sebagai berikut:

No Studi Oleh Alat Analisis Kesimpulan 1. Suhana (2008) Deskriptif

analitis

1. Terdapat banyak aktor yang harus dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan.

2. Tatanan kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu selama ini tergolong kedalam tipe Ko-Manajemen instruktif.

3. Format kelembagaan yang direkomendasikan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu harus melibatkan masyarakat (formal dan informal),

(8)

No Studi Oleh Alat Analisis Kesimpulan

pemerintah, pihak swasta/usaha dan perguruan tinggi.

2. Yustika (2008) Analisis ekonomi biaya transaksi

Ongkos untuk mengorganisasi tebang-muat-angkut (TMA)

(termasuk biaya karung) berkontribusi paling tinggi dari total biaya transaksi petani tebu, baik berdasarkan lokasi, tipe petani, maupun luas lahan.

3. Beckmann (2009)

Pearson Correlation

Terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara organisasi pekerja pertanian dengan adopsi teknologi Pengelolaan Hama Terpadu.

4. Pati (2011) Statistik Deskriptif Pearson Correlation

Kemitraan antara organisasi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam usaha menyebarluaskan teknologi pertanian kepada petani akan lebih efektif jika para pihak kepada merealisasikan tanggungjawab bersama yang disepakati. 5. Shiferaw, et. al

(2011)

Deskriptif kualitatif

1. Kelompok tani bisa memainkan peran penting dalam membantu mengintegrasikan petani kecil ke dalam sistem pasar, yang akan memperbesar akses terhadap teknologi dan penyuluhan, dan menciptakan peluang untuk meningkatkan produktivitas. 2. Kelompok, bahkan kelompok tani yang

sukses sekalipun, selalu menghadapi tantangan, dan tidak akan mampu bertahan dalam kompetisi pasar, selama tidak melakukan inovasi.

6. Sucihatiningsih, et. al (2010) Statistik deskriptif Analisis biaya transaksi

Kinerja pertanian di daerah penelitian tidak efisien dan ada kesempatan mengoptimalkan produksi usaha tani melalui konseling.

7. Situmorang, et. al (2012)

Analisis deskriptif

1. Bantuan PUAP yang diterima petani miskin belum bisa meningkatkan kemampun sumberdaya manusia petani penerima bantuan.

2. Pembentukan kelompok tani berdasarkan kesamaan kebutuhan merupakan faktor penting dalam pembentukan modal sosial kelompok tani.

(9)

Ekonomi Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi, peneliti mengidentifikasi dan menganalisis peran masing-masing kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, serta menganalisis secara ekonomi kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu dengan pendekatan biaya transaksi. Terdapat beberapa kesamaan antara penelitian tersebut dengan penelitian ini, di mana kedua penelitian melakukan analisis kondisi kelembagaan dan peran kelembagaan, serta melakukan analisis biaya transaksi. Adapun perbedaannya terdapat pada tujuan penelitian, variabel penelitian, dan analisis biaya transaksi yang digunakan.

Shiferaw, et. al (2011) melakukan penelitian tentang peran organisasi (kelompok) tani dalam meningkatkan akses pasar dan produktifitas pertanian, serta usaha kolektif lembaga pertanian. Perbedaan antara penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada alat analisis, dimana penelitian Shiferaw menggunakan alat analisis deskriptif, sementara peneliti di samping menggunakan alat analisis deskriptif statistik, juga menggunakan alat analisis lain yaitu Mann-Whitney, Kendall Tau, Kruskall-Wallis dan melakukan analisis R/C ratio. Di samping itu ruang lingkup penelitian yang luas pada penelitian yang dilakukan oleh Shiferaw, et.al. yang meliputi wilayah sub-Sahara Afrika, sementara lingkup penelitian yang dilakukan peneliti dalam wilayah Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo.

Penelitian yang dilakukan oleh Yustika (2008) menyoroti biaya transaksi pada usahatani tebu. Sedangkan pada penelitian ini, biaya transaksi merupakan salah satu variabel penelitian yang diteliti.

(10)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. menganalisis kondisi kelembagaan pertanian masyarakat pedesaan di Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo;

2. menganalisis peran lembaga pertanian dalam peningkatan pendapatan petani kentang di Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo;

3. menganalisis pengaruh kondisi kelembagaan pertanian terhadap peningkatan pendapatan petani kentang di Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo. 1.3.2 Manfaat penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pengambil kebijakan

Bagi pengambil kebijakan, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang berguna mengenai kondisi kelembagaan pertanian di Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo serta bagaimana pengaruh kelembagaan pertanian dalam peningkatan pendapatan petani, sehingga dapat diketahui dan dirumuskan kebijakan yang lebih tepat dalam upaya peningkatan pendapatan petani.

2. Ilmu pengetahuan

Secara umum hasil penelitian ini diharapkan menambah khasanah ilmu ekonomi khususnya ilmu ekonomi pembangunan. Manfaat khusus bagi ilmu pengetahuan yakni dapat melengkapi kajian mengenai kelembagaan

(11)

pertanian serta bagaimana peran kelembagaan dalam peningkatan pendapatan petani.

1.4 Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun terdiri dari 4 (empat) bab, dengan sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, dalam bab ini dideskripsikan mengenai latar belakang, keaslian penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian. Bab II Tinjauan Pustaka dan Alat Analisis, memuat tinjauan pustaka yang disadur dari berbagai buku, jurnal, dan sumber literatur lainnya, landasan teori yang berisi berbagai konsep, teori, peraturan perundang-undangan, maupun model yang diacu dalam penelitian, serta alat analisis yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Bab III Analisis dan Pembahasan, membahas mengenai metoda penelitian, analisis dan pengolahan data disertai pembahasannya. Akhirnya Bab IV Kesimpulan dan Saran, memuat kesimpulan hasil analisis dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

likuiditas. Dengan perbedaan temporer antara laba akuntansi dan pajak dapat mengukur perbedaan temporer perusahaan yang digunakan untuk rekonsiliasi fiskal perusahaan

No Sasaran Jangka Menengah Renstra Kementerian Dalam Negeri Permasalahan Pelayanan Sebagai Faktor Penghambat Pendorong 1 Tertib Database Kependudukan berbasis NIK

yang sama di seluruh titik yang diukur titik yang diukur dengan menggunakan amperem dengan menggunakan amperemeter. Hal ini eter. Perbedaan ini disebabkan oleh resistor yang

[r]

Pada dasarnya peran advokat pada tingkat pemeriksaan di muka sidang adalah membela tersangka/terdakwa dan mengikuti jalannya proses persidangan sehingga setelah

Bila ditinjau dari sudut solvabilitas, yang diukur dengan menggunakan primary ratio menunjukkan bahwa kinerja keuangan perusahaan mengalami penurunan pada tahun

M.H., yang pada pokoknya mendalilkan bahwa Para Teradu Panwas Kota Pematangsiantar, Darwan Edyanto Saragih, Ketua selaku Teradu I, Manuaris Sitindaon Anggota selaku

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 29 ayat (4) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.10/Menhut-II/2007 tentang Perbenihan Tanaman Hutan, maka perlu