BAB III
PERENCANAAN JARINGAN SELULER UMTS
Pada bab 3 ini akan di uraikan tentang metode dan model yang digunakan dalam perencanaan. Perencanaan jaringan berbasis system seluler meliputi dua hal utama yaitu perencanaan jaringan radio dan dimensioning jaringan. Perencanaan jaringan radio meliputi perhitungan link budget, kapasitas, jumlah sel yang dibutuhkan, optimalisasi jaringan. Sedangkan pada dimensioning jaringan mencakup perhitungan jumlah elemen kanal pada base station, kapasitas BSC,
MSC, dan elemen jaringan yang lain.
3.1 Tahapan Perencanaan
Perencanaan ini berlokasi di wilayah Jakarta Barat dengan
mengoptimalkan jaringan GSM yang telah ada. Untuk memperoleh hasil perencanaan yang optimal ada beberapa tahapan yang harus diperhatikan. Berikut ini tahapan yang harus dilakukan dalam pendimensian jaringan UMTS :
1. Mengetahui lokasi dan potensi wilayah serta demand pelanggan yang akan dicakup oleh layanan UMTS.
2. Menentukan jumlah pengguna layanan UMTS.
3. Menentukan perkiraan kapasitas trafik total layanan UMTS berdasarkan
Offered Bit Quantity ( OBQ ).
4. Menentukan perkiraan kapasitas sistem. 5. Menentukan jumlah perangkat Node B.
6. Menentukan perkiraan lokasi Node B berdasarkan data lokasi yang padat trafiknya pada GSM.
7. Menghitung kapasitas sistem yang direncanakan berdasarkan load factor
8. Menghitung Power Link Budget untuk menentukan kualitas perencanaan
Diagram alur untuk menghitung proses perencanaan jaringan radio UMTS dapat dilihat pada gambar 3.1
Perencanaan Jaringan UMTS Wilayah Jakarta Barat 18 1 8
Menentukan Jumlah pengguna Layanan UMTS
Menentukan Perkiraan Kapasitas Sistem
Menentukan Perkiraan Kapasitas trafik total layanan UMTS berdasarkan OBQ Melakukan survey untuk mengetahui
lokasi dan potensi wilayah perencanaan
Menghitung kapasitas sistem yang direncanakan berdasarkan load factor
Menghitung Power Link Budget untuk menentukan kualitas perencanaan Menentukan jumlah perangkat BTS
yang dibutuhkan berdasarkan jenis layanan
Menentukan perkiraan lokasi berdasarkan data lokasi yang padat
trafiknya pada GSM
Gambar 3.1 Diagram Alur Perencanaan Jaringan Radio UMTS
3.2 Lokasi Area Perencanaan
Wilayah cakupan sistem perencanaan jaringan seluler UMTS
dikategorikan berdasarkan pemakaian wilayahnya. Empat kategori wilayah yang sering digunakan yaitu : dense urban, urban, suburban, dan rural. Kategori wilayah tersebut akan menentukan karakteristik propagasi dan kepadatan populasi para penggunanya, dimana hal tersebut akan menentukan kapasitas sistem yang dibutuhkan untuk melayani wilayah perencanaan.
Secara garis besar , wilayah tempat user potensial dibagi atas beberapa daerah dense urban, yaitu:
Daerah dense urban building. Daerah dense urban pedestrian. Daerah dense urban vehicular.
3.3 Jumlah Pengguna Layanan UMTS
Jumlah pengguna layanan UMTS diperlukan untuk menentukan kapasitas yang disediakan sistem. Jumlah pengguna layanan UMTS pada perencanaan ini menggunakan prediksi trafik dari salah satu operator di Indonesia yaitu Telkomsel wilayah Jakarta Barat.
3.4 Kapasitas Trafik UMTS
Memprediksi berapa besar jumlah kebutuhan trafik merupakan suatu hal yang penting dalam perencanaan jaringan radio. Dengan diketahui besarnya kebutuhan trafik, maka dapat direncanakan berapa kapasitas maksimum jaringan yang akan dibangun dan selanjutnya dapat menentukan pula berapa banyak perangkat yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi kapasitas tersebut. Pada penelitian ini perhitungan yang digunakan untuk estimasi kebutuhan trafik total layanan WCDMA menggunakan Offered Bit Quantity (OBQ). Hal ini dikarenakan layanan WCDMA berhubungan dengan data dan tidak terbatas hanya pada suara. Oleh sebab itu tidak digunakan satuan dalam Erlang.
Pengguna potensial merupakan pengguna layanan UMTS di wilayah Jakarta Barat. Pengguna layanan UMTS dihitung berdasarkan dari estimasi pelanggan GSM dalam 5 tahun ke depan dengan asumsi awal bahwa pelanggan UMTS adalah pelanggan GSM Telkomsel Jakarta Barat yang menginginkan adanya perbaikan layanan data dengan kecepatan tinggi dan layanan multimedia dan fasilitas lain yang tidak dimiliki pada GSM.
Pengguna potensial per km2 diperkirakan untuk setiap daerah. Selanjutnya
penetrasi user tiap layanan dikalikan dengan jumlah pengguna potensial per km2
didapatkan jumlah pengguna actual per layanan per km2.
User tidak akan menggunakan layanan terus-menerus, oleh sebab itu pada
tugas akhir ini dibatasi waktunya dengan menggunakan banyak panggilan selama jam sibuk ( Busy Hour Call Attemp ).
Dengan demikian perkalian antara jumlah panggilan pada jam sibuk dan jumlah pengguna actual per layanan per km2 akan menghasilkan nilai yang
sebanding dengan jumlah user aktif selama jam sibuk untuk 1 km2.
Bandwidth dibedakan tergantung jenis layanan yang digunakan. Untuk
layanan High Multimedia dan Medium Multimedia faktor asimetrik yang digunakan tidak sama, dikarenakan untuk jenis layanan tersebut lebih banyak menggunakan downlink dari pada uplink. Oleh sebab itu bandwidth yang digunakan pun berbeda. Pada perhitungan digunakan bandwidth downlink dengan tujuan dapat diketahui trafik maksimum pada tiap layanan UMTS.
Perencanaan Jaringan UMTS Wilayah Jakarta Barat 20 2 0 OBQ adalah toatal bit throughput per km2 pada jam sibuk. Untuk mendapatkan OBQ tiap layanan selama jam sibuk dirumuskan dengan :
OBQ = pdBHCABW[ kbps / km2 ] ( 3.1 ) Dimana :
= kepadatan pelanggan potensial dalam suatu daerah [ user/km2 ] p = penetrasi penggunaan tiap layanan
d = durasi / lama panggilan efektif [ s ] BW = bandwidth tiap layanan [ kbps ] BHCA= busy hour call attempt [ call/s ]
Adapun alur perhitungan Offered Bit Quantity ( OBQ ) adalah sebagai berikut :
Satuan Satuan saat
perhitungan 2 / km potensial user km users / km hour call/ / 2 / /hour km Kbit call Kbit / hour call / user 2 / km potensial user
Offered Bit Quantity User Potensial per km2
Penetrasi user per layanan
Bandwidth Layanan dan durasi panggilan Panggilan selama jam sibuk
per layanan UMTS Dense Urban
Jumlah Pelanggan Potensial
Gambar 3.2 Diagram Alur Perhitungan Offered Bit Quantity ( OBQ )
Throughput atau bandwidth layanan dalam Kbps dikalikan dengan jumlah user
aktif selama jam sibuk dan lama penggunaan efektif ( effectif call duration ) akan didapatkan nilai Offered Bit Quantity.
3.5 Pendimensian Node B
Proses perencanaan jaringan UMTS meliputi pendimensian beberapa perangkat atau interface antara lain adalah berapa besar jumlah Node B yang diperlukan. Adapun proses perencanaan Node B adalah sebagai berikut :
Offered Bit Quantity
Jumlah sel yang dibutuhkan
OBQ Total
Kapasitas Sistem Luas Daerah Sel /
km2 2 / /hour km Kbit s Kbit / sel s Kbit/ /
Gambar 3.3 Diagram Alur Proses Pendimensian
Berdasarkan perhitungan Offered Bit Quantity ( OBQ ) total dan kapasitas informasi per sel, banyaknya perangkat Node B yang dibutuhkan dapat ditentukan sebagai berikut :
OBQ total daerah layanan dense urban Kapasitas bit informasi maksimal Luas area layanan wilayah Jakarta Barat Hasil pendimensian adalah :
Luas cakupan sel
L =OfferedBitQuantity(OBQ) sel tiap Informasi Kapasitas 2 / / km kbps sel kbps [Km2] ( 3.2 ) Dimana L adalah luas cakupan sel. Dengan demikian jumlah sel dapat diperkirakan sebagai berikut :
Jumlah node
Node B =LuasCakupanSelUMTS
Pelayanan Area Luas sel Km Km / 2 2 [ Sel ] ( 3.3 ) Luas cakupan sel yang berbentuk heksagonal dapat ditentukan dengan berdasarkan persamaan :
Luas Heksagonal
Perencanaan Jaringan UMTS Wilayah Jakarta Barat 22 2 2
Dimana r adalah radius sel. Jika luas cakupan sel diketahui dapat pula ditentukan radius sel yang digunakan.
3.6 Perhitungan Link Budget dan Efisiensi Cakupan 3.6.1 Model Propagasi
Model propagasi digunakan untuk menentukan redaman ( loss ) dari gelombang radio yang dipancarkan dari antena pemancar menuju ke antena penerima. Model propagasi yang akan digunakan dalam perencanan yaitu model
COST 231 ( Walfisch – Ikegami ) [2], karena daerah perencanaan merupakan daerah metropolitan dan termasuk klasifikasi daerah dense urban, selain itu frekuensi yang digunakan baik uplink maupun downlink berada yaitu pada range frekuensi ( 800 MHz – 2 GHz ).
Model propagasi COST 231 merupakan gabungan model empiris dan
deterministik untuk memprediksi redaman lintasan dalam lingkungan dense urban.
Persamaan dari model COST 231 adalah sebagai berikut :
Lms Lrts Lfs Lc ( dB ) atau ( 3.5 ) Lfs Lc ( dB ), untuk LrtsLms0 ( 3.6 ) dimana :
Lfs adalah free space loss, dengan persamaan :
Lfs = 32,4 + 20 log f(Mhz) + 20 log R(Km) ( dB ) ( 3.7 )
f = frekuensi (Mhz)
R= jarak antar antena pemancar dengan penerima (Km)
Lrts adalah rooftop–to–street diffraction dan scatter loss, dengan
persamaan :
Lrts = -16,9–10 log w+10 log f+20 log hm+Lo ( dB ) ( 3.8 )
dimana : w = street width ( m ) m h = hr hm ( m ) Lo = - 9,646 dB untuk : 00≤ Ø ≤ 350 Lo = 2,5 + 0,075 (Ø - 350 ) dB untuk : 350≤ Ø ≤ 550 Lo = 4 – 0,114 (Ø - 550 ) dB untuk : 550≤ Ø ≤ 900
Ø = incident angel relative to the street
Lms adalah multiscreen ( multiscatter ) loss, dengan persamaan : ) ( log 9 logRk bdB k k L Lmsbsha d f ( 3.9 ) dimana :
b = distance between buildings along radio path (m)
bsh
L
= - 18 log ( 1 + hb) untuk : hb> h r bshL
= 0 untuk : hb< h r a k = 54 untuk : hb> h r a k = 54 – 0,8hb untuk : d 500 m; hb hr a k = 54 – 1,6 hb.d untuk : d < 500 m; hb h r d k = 18 untuk : hb> hr d k = 18 – [( 15 hb) / h ] r untuk : hb h r fk = - 4 + 0,7 [( f / 925 ) – 1 ] untuk kota menengah dengan
kerapatan pohon sedang.
f
k = - 4 + 1,5 [( f / 925 ) – 1 ] untuk daerah metropolitan
Range parameter untuk menjaga validitas model COST 231 antara lain : 800 MHz f 2000 MHz 4 m hb 50 m 1 m hm 3 m 0,02 km R 5 km b = 20 m – 50 m ; w = b/2 Ø = 900
Roof = 3 m for pitched roof and 0 m for flat roof
r
h = 3 . ( number of floors ) + roof
3.6.2 Perhitungan Link Budget
Perencanaan Jaringan UMTS Wilayah Jakarta Barat 24 2 4
membutuhkan beberapa data teknis perangkat. Untuk menentukan link budget tersebut dibutuhkan beberapa parameter antara lain :
Tabel 3.1 Data teknis yang digunakan pada mobile station dan base station
Parameter Mobile
Station
Base Station
Max Tx Power ( dBm ) 24 43
Body loss MS( dB ) dan Cable loss BS ( dB ) 3 2
Antenna gain ( dBi ) 0 18
Thermal noise density ( dBm/Hz ) -174 -174
Noise figure ( dB ) 5 5
Interference margin ( loading factor 60% ) (dB)
3,979 3,979
Required Eb/No 5 5
Tabel 3.2 Data teknis untuk parameter margin
Parameter Uplink Downlink
Coverage probability ( % ) 95 95
Propagation model exponent 3,5 3,5
Standard deviation log normal fading ( dB ) 7 7
Log normal fading margin ( dB ) 7,3 7,3
Soft handover gain ( dB ) 4 4
Fast fading margin ( dB ) 2 2
Parameter dalam perhitungan link budget sebagai berikut :
1. Sensitivitas Penerima ( RRXmin)
Sensitivitas minimum sinyal di penerima adalah :
min
RX
R =No(dBm/Hz)+ NF (dB)+Rb(dBHz)+Eb/It (dB)+ Mint(dB)..( 3.10 )
No = Thermal Noise density (dBM/Hz) NF = Noise figure(dB)
Rb = Bit rate (dbHz)
Mint = Margin interference(dB)
Dalam jaringan seluler area cakupan dari sel saling meliputi dan MS dapat berhubungan ke lebih dari satu sel. Jika lebih dari satu sel yang terdeteksi
location probability akan meningkat dan lebih besar dari pada untuk satu
sel yang terisolasi. Sehingga pada kondisi sel jamak shadowing margin ( log normal fading margin ) yang dibutuhkan akan berkurang. Perbedaan
shadowing margin disebut handover gain. Soft handover gain yang
digunakan dalam perencanaan diasumsikan sebesar 4 dB.
3. Fast Fading Margin ( Mfast )
Fast Fading Margin merupakan margin yang dibutuhkan pada MS untuk
mengatur daya pancar berdasarkan closed loop power control. Digunakan khususnya untuk slow-moving mobiles dimana fast power control dapat mengkompensasi fast fading. Nilai tipikalnya 2 dB sampai 5 dB.
4. Penetration Loss ( Lpent )
Penetration Loss merupakan rugi-rugi penetrasi dari lingkungan seperti
jalan, bangunan, kendaraan. Nilai tipikalnya 8 dB sampai 15 dB
5. Redaman Lintasan Maksimum ( Lmax)
Redaman Lintasan Maksimum merupakan redaman maksimum yang
diizinkan ( sesuai spesifikasi perangkat ) pada batas sel.
MAPL = EIRP – P rx min + LR + GSHO – MF – Mfast - Lpent ( 3.11 )
EIRP = Effective isotropic radiated power (dB) P = sensitivitas penerima(dBm)
L rx min = loss receiver (dB)
GSHO =Gain soft hand over(dB)
MF = fading margin(dB)
Mast = fast fading margin(dB)
Lpent = Penetration loss(dB)
3.7 Perencanaan Kapasitas Total Layanan Berdasarkan Load Factor
Perencanaan Jaringan UMTS Wilayah Jakarta Barat 26 2 6
pembebanan yang terdapat pada suatu sel. Load factor menyatakan kapasitas yang disediakan system terhadap kapasitas maksimum system sacara teoritis.
Load factor mempengaruhi nilai interference margin dalam link budget,
yang akhirnya akan mempengaruhi cakupan area system. Semakin besar beban yang disediakan di dalam system, semakin besar interference margin yang dibutuhkan, dan semakin kecil cakupan area selnya. Load factor yang dianjurkan yaitu sampai 60 %. Nilai interference margin dalam link budget yaitu :
Interference margin (dB) =Noise – rise = 1
1 log
10 ( dB ) ( 3.12 )
3.7.1 Uplink Load Factor
Beban yang terdapat pada sebuah sel dinamakan load factor. Harga load
factor sebesar 0,5 sebanding dengan daya total yang diterima pada base station
yang dikurangi dengan beban yang terdapat pada sebuah sel dinamakan load
factor. Harga load factor sebesar 0,5 sebanding dengan beban sel sebesar 50 %. Load factor total merupakan penjumlahan dari load factor dari masing-masing
user sebagaimana ditunjukkan pada persamaan 3.15 : Load Factor = N j Lj 1 (3.13) dimana :
Lj : load factor dari satu user (j) N : jumlah user yang berada dalam sel
Lj merupakan pembagian daya yang digunakan user j terhadap daya total pada base station, sehingga :
Lj = Sj / Stotal (3.14)
Eb/No merupakan fungsi interferensi total di dalam sel yang dapat ditulis :
(Eb/No)j = Processing gain . [Sj/I] (3.15)
dimana I merupakan interferensi total yang Sj (daya sinyal dari user j ) sehingga dapat ditulis
(Eb/No)j = [C/aj . Rj ] . [ Sj/(Stotal – Sj)] (3.16)
dimana C adalah chip rate dan aj merupakan faktor aktifitas (kira-kira 65 % untuk voice termasuk DPCCH overhead dan 100 % untuk data). Rj merupakan laju data dari user. Dari persamaan sebelumnya diperoleh :
Sj = Stotal / [1+(C/(aj.Rj(Eb/No)j)] (3.17) Substitusi dengan persamaan 3.2, diperoleh :
Lj = 1/ [1+(C/(aj.Rj)(Eb/No)j)] (3.18)
Dengan menggunakan persamaan 3.1, diperoleh : Load Factor = N j Lj 1 = N j1 (Eb/No)j)] (C/(aj.Rj) [1 1/ (3.19)
Persamaan di atas merupakan load factor pada sel lokal dimana selain itu terdapat interferensi yang disebabkan oleh user-user yang lain dari sel tetangga. Apabila β merupakan perbandingan interferensi sel tetangga terhadap interferensi sel sendiri atau :
β = [nearby cell interference] / [ local cell interference] (3.20)
Sehingga load factor total dari sel lokal adalah : Load Factor = (1+β). N j Lj 1 =(1+β). N j1 (Eb/No)j)] (C/(aj.Rj) [1 1/ (3.21)
3.7.2 Downlink Load Factor
Penentuan load factor saat downlink pada dasarnya menggunakan pendekatan yang sama seperti pada saat uplink. Pendekatan yang sama dapat dipakai karena adanya kemampuan dari mobile system untuk dapat me-recover sinyal yang ditujukan kepadanya tergantung kepada sejumlah sinyal yang lain yang sedang dikirimkan kepada mobile system yang lain dalam sel tersebut. Dengan kata lain, untuk user j, sinyal-sinyal yang sedang dikirimkan dari base
station kepada user-user yang lain akan berinterferensi. Semakin banyak sinyal
yang seperti itu maka interferensi akan semakin besar. Sebagaimana kasus pada
uplink, interferensi tergantung kepada harga Eb/No yang diperlukan oleh mobile system. Interferensi juga disebabkan oleh Downlink Common Channels dan juga
karena adanya interferensi dari base station yang lain. Jumlah dari interferensi tergantung kepada lokasi user individual. User yang berada di dekat base station akan memiliki harga interferensi yang lebih kecil daripada user yang berada di dekat perbatasan sel yang lain.
Perencanaan Jaringan UMTS Wilayah Jakarta Barat 28 2 8
Pada kondisi yang demikian diperlukan adanya faktor orthogonalitas. Pada saat downlink, kode scrambling yang digunakan kepada user yang berbeda dikirimkan dengan menggunakan kode kanalisasi yang berbeda dengan memilih kode yang saling orthogonal. Perhitungan load factor pada saat downlink memiliki metodologi yang sama pada saat uplink dengan beberapa modifikasi karena adanya perhitungan terhadap ortogonalitas dan adanya interferensi dari sel tetangga. Sehingga perhitungan load factor untuk downlink menjadi :
Load Factor = N j Lj 1 . (1- αj + βj) = N j 1 (1- αj + βj) / [1+(C/(aj . Rj(Eb/No)j))] (3.22)
atau dapat dituliskan : Load factor = (1 – α + β ) . N j Lj 1 = (1 – α + β ) . N j 1 1 / [C/(aj.Rj (Eb/No)j)] (3.23)
dimana α adalah ortogonality dan β adalah intercell interference
Untuk layanan yang banyak pada kasus downlink, harga C/(aj . Rj(Eb/No)j) jauh lebih besar daripada 1 yang berarti bahwa persamaan tersebut dapat disederhanakan. Selain itu tidak realistik apabila menentukan interferensi antar sel dan orthogonality factor masing-masing mobile system yang berada dalam sel tersebut karena hal ini tergantung kepada lokasi user secara pasti dan
profil multipath. Pada umumnya harga faktor orthogonality (α) adalah 0,4 dan
interferensi antar sel (β) adalah 0,5. Sehingga persamaannya menjadi : Load Factor = (1- α + β) . N j Lj 1 = (1- α + β) . N j 1 1/ [C/(aj . Rj(Eb/No)j))] (3.24).