• Tidak ada hasil yang ditemukan

Royal Institute for Southeast Asian and Caribbean Studies Reuvensplaats BE Leiden Netherlands tel: (+) ;

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Royal Institute for Southeast Asian and Caribbean Studies Reuvensplaats BE Leiden Netherlands tel: (+) ;"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Royal Institute for Southeast Asian and Caribbean Studies Reuvensplaats 2 2311 BE Leiden Netherlands

tel: (+)31 71 - 527 2295; email: kitlv@kitlv.nl

Interview with mrs: Tuminah

Transcriptic summary (00:00)

Namaku Tuminah, umurnya 75, tanggal lahir bulan 8 tanggal 8, 8 agustus nek nggak salah, tahun piro yo, lahir di Suriname, dia daerah Commewijne, Barlin [plantage Berlijn], di perkebunan, nek nang kene PT, nek nang kono pernansi, (Pak Sarmoedji : pernansi itu

semacam perumahan untuk perkebunan), itu ikut orang tua, orangtua kerja tani, di perkebunan

kopi. Orangtua aslinya dari jawa, nggak tau aku daerahnya. Nggak tau gimana bisa sampai Suriname, bilangnya ceritanya cuma taunya kalau diajak-ajak maen samma orang terus diajak orang naek kapal. Taunya cuma di werreg, (Pak Basar : ya ditipu oleh orang-orang macam

calo-calo), yo ngertine yo wong jawa, kabeh-kabeh yo wong jowo. Ibu aslinya dari Jawa, terus

gadisnya tuh dibawa orang itu, ya di werreg itu, bapak sama ibu dibawa pasa sama-sama bujang. Disana orangtua punya anak 3, semua tinggal di Commewijne.

Yang memutuskan naik kapal Langkuas yo mungkin bapak ibuku, aku, suamiku kan. Pas pulang ke Indonesia, aku udah hamil besar, 9 bulan, malah setelah pulang ke Indonesia 24 hari langsung melahirkan, anak yang nomor satu.

Waktu di Suriname, tinggalnya masih kumpul [sama orangtua-red], karena seperti rumah bedeng ini, rumah petak-petak ngono loh, tapi sendiri-sendiri, satu pintu-satu pintu gitu, satu los.

Nggak begitu inget kehidupan di Suriname dulu, ya ingetnya yo kita itu kalo disini di PT ya, ikut-ikut kerja, sebentar-sebentar, kadang-kadang ya nganggur, kalau suamiku dines kerja, sopirnya menejer tuh loh. Suamiku Kang Jarot, anak’e Mbah Mijan.

(05:54)

Kalau pulang sekolah kan, sama adikku, nggawe areng di ladang, aku ikut mbongkar, bantu (Pak Sarmoedjie : jadi kita ini membikin areng di ladang, rata-rata anak-anak sini, nggak

(2)

ada kerjaan lain kecuali bikin areng), nek kowe mampir Juranggo, bekasnya de’e nggarap,

kebon mburi omahe Lilin kae mbiyen.

Di Suriname ikut kerja, memelihara prasina, memelihara jeruk, jadi di kebun jeruk, nang Jongkoweri, (Pak Sarmoedjie : di sana itu yang unggul, namanya prasina, iku dikupas,

dimasukkan ke kayak ember gitu, terus dikasih es, dijual, sinasapple of ice, 5 sen, bawa itu jualan jeruk yang sudah dikupas tadi, tinggal mbelah dua, susupi gitu, enak tenan, jeruk itu diekspor ke Belanda).

Habis itu kita di kotanya, mau 3 bulan berangkat, kita pindah nang Stat, Paramaribo, pindah ya deketin kapal yang mau pulang ke Indonesia, sekeluarga pindah. Di Stat nyewa rumah sendiri, kan aku cuma tiga, aku nomer 2, adikku. Kakakku yang masih di Suriname, ditinggal, ndak mau, takut pulang ke Indonesia, di Indonesia banyak harimau bilangnya, sini kan Sumatra masih hutan. Ceritanya ya kan Indonesia ini, Sumatra banyak harimau dan ular besar, hutan besar yang kamu masukin besok. Yang nyeritain itu orang-orang yang dari sini, Indonesia kan meninjau di Suriname, nggak tau namanya, tapi orang-orang nggak takut, yo memang kita mau pulang Indonesia, yo kuat juga.

(10:23)

(Pak Basar : waktu itu di Suriname sudah ada konsulatnya pas kami kemari, belum duta

besar, jadi mungkin ntah anak-anaknya, ntah anggota stafnya yang cerita, konsulatnya itu tidak mau cerita model itu, Pak Sudarto Hadinoto konsulatnya).

Waktu pertama datang ke Tongar, entahlah perasaannya, seperti orang terkurung, mau lari, lari kemana, yo ngumpul aja di bedeng situ. Dapat bedeng B, sebelah dalan, sebelah bengkel. Tinggalnya bareng sama suami, sama morotua, ibuku sendiri, bapakku sendiri, morotua sendiri, ikut semua tuh, banyak satu bedeng, disekat-sekat gitu, sebelah sini pintu, sebelah situ pintu. Aku satu kamar sekeluarga, aku, karo bojoku, karo anakku, bapakku dewe, mbah buyut, kakek buyut bawa juga aku, uda tua tuh pas diajak kesini.

Pas sampe sini ya bagaimana, kaget kan, sedang naek mobil aja gitu, gini jalannya, kan masih dibangun, ya manalah nggak tau lagi. Buat makan kan ransum sama yayasan, beras, minyak,ikan asin, itu sederhana, nek mau yang enak ya beli sendiri, yang jual nggak tau ya orang dari mana, orang-orang minang itu (Pak Basar : ada yang menjajakan kemari).

Waktu melahirkan, yang menolong bawa suster, bawa dokter, (Pak Sarmoedjie : suster Nora), Nora kan keduanya, yang pertama kan suster Menuk (Pak Basar & Pak Sarmoedjie : suster

(3)

Ora ah [ke Suriname-red], aku dibawa mbakyuku wae emoh kok, nek anakku ning kene kabeh, aku digowo mrono, aku emoh kok.

(14:53)

Bedengnya dari bambu, lantainya papan, pendek ajalah (Pak Sarmoedjie : dibawahnya ada

rongganya), iyo jaraknya segini-segini.

Lupa aku sampai Tongar umur berapa, antara 20an. Abis berobat kita, operasi di yos sudarto, besar operasi, sampai sini, belah dua abis operasi, baru 2 tahun mungkin, alhamdulillah iso ketemu kowe saiki sehat.

Kang Jarot tahun 1983 meninggal, wes suwe ya, anak-anak masih sekolah, satu SMA, SMP, SD, banyak, sekolah semua, tapi ada yang dijemput mamangnya kan, Marius, dibawa ke Pekanbaru, dibantulah.

Sekolah SD aja, sikit-sikit aja, kelas empat. Sekarang kalau ada kawannya yang diajak [bahasa Belanda-red] tuh, adikku yang kemarin itu kan pulang, bisa satu-satu. Kadang-kadang dia telpon pake itu, ah ndak usah pake itu lah, aku ndak tau, ndak ingat aku, dipikirkan kan lama, kita pikir-pikir dulu, ndak mau diajak bilang itu.

Kakak sama adik sekolah juga. Adikku yang di Pekanbaru sampe sekolah sini ya, SMP opo SMA, SMA toh yo, SMA simpang 4, (Pak Sarmoedjie : nek Tumpuk yo podo SMP, durung

ono SMA, Marius Tumpuk, akrab, ireng toh, iya duwur).

Sampe di Tongar, aku ndak ada kerja, suami ya kerja, kerja bawa trailer, narik kayu, kan buka lahan sini, bukan hutan gitu. Kayu-kayunya ya diolah disini aja, di pabrik-pabrik, penghasilannya nggak inget, tapi dari yayasan.

(20:30)

Anak-anakku disini semua sekolah, 12 ini, lumayan sekolahnya, yang bungsu belum nikah, jadi dosen, sekarang di Pekanbaru, dulu di Padang trus gak dikasih sempat sama dosennya, ketuanya itu, cuma kesempatan di kantor, dia marah, keluar dari situ dia, dipanggil lagi dalam waktu sekian nglamar di Pekanbaru, dapat di Sampeorna yang jurusan dari surabaya, dia sering ke Surabaya juga, kadang dia dijemput disuruh ngajar, tergantung ngajar nang ndi, ngajar bule-bule, kadang-kadang nang Duri, menyaring orang mau masuk kerja.

Dulu nggak ikut keluar ke Pekanbaru, karena mamakku bapakku masih disini jadi aku keberatan kalau aku pergi-pergi, jadi cuma suamiku itu yang kerja di bukaan Duri, tiga tahun nggak bisa pulang, kan nggak ada jalan, hubungan, komunikasi, kerja di Duri sama Amerika, kerjanya ndak tau aku,(Pak Sarmoedjie : kontraktornya Caltex lah, umumnya begitu), trus

(4)

pulang, nggak boleh sama orangtuanya pergi lagi, ndak boleh nanti kesana bagaimana orangtua, sudah tua-tua orangtuanya, kok mbok tinggal, ndak mau juga dia.

Disini, bapak ibu bisa kerja tapi tani ya, bapakkau sendiri nanam bakau disini, bagus hasilnya disini (Pak Sarmoedjie : timbang rokok tuku yo [sambil tertawa-red]), (Pak Basar : mungkin

disana pernah bercocok tanam tembakau).

Dulu kan waktu pertama kan rumahku sana, rumahku tingkat kan, jalan belakang dekat mesjid disini, kan aku daripada disana nggak ada kawannya, lha meninggalnya di rumah ini, rumahnya tingkat, takut angin besar, jadi ta’tinggal aja omahku, trus aku beli rumah jadi, beli kira-kira tahun 81, ada orang jual rumah sini, terus kita beli ajalah, deketnya orang-orang, sana nggak ada kawannya, sekarang ditempati anakku semua situ.

(25:20)

(Pak Sarmoedjie : Tumpuk [adik Bu Tuminah-red] tuh di Caltex kerja sebagai perawat, ndak

juga sekolah perawat), mau disekolahkan ke Amerika, dia tuh nggak mau, keberatan orang

tuanya sudah tua, mamaknya sudah tua jadi nggak mau ninggalkan mamaknya. (Pak

Sarmoedjie : soalnya begini ya, yang kerja di Caltex tuh bukan educated labor tapi trained labor, jadi yang terampil, ijasah nanti, tapi yang penting bisa kerja, trampil, trengginas, itu kerja dulu. Di dalam itu baru ada pendidikan, disekolahkan lagi, Teguh Sastro tuh dulu sekolahnya situ).

Dia [Tumpuk-red] tuh sama yayasan ikut juga kerja-kerja, daftar-daftar orang ini kemana, ya ikut juga, ya rajin. Aku nggak bisa ikut di yayasan, kan anak saya banyak, ya nek mau keluar ya gimana anak-anaknya ya, aku kan 12. Yang satu di Palembang, yang satu di pulau Mentawai yang nomor 2, yang nomor 3 di Kuala Lumpur, tapi enggak pulang, ndak tau aku. Yang di Kuala Lumpur sama yang di pulau Mentawai, Padang itu, dicari gak ketemu, itu dapat maratua pensiun, anaknya orang pensiun, tapi nggak tau sekarang. Waktu anak-anakku sekolah ning Padang podo kuliah itu, krungu kabar ono wong seko Pasaman kene kerja ning Pulau Mentawai, digoleki nggak ketemu, mungkin lain, mboh kepiye, anakku laki-laki. Anak 12, perempuannya cuma 3, semua laki-laki. Di Malaysia laki-laki yang nomor 3, bilangnya kan kerja, dibawa pemborong di Kuala Lumpur, terus udah lama itu emang aku dapat surat, dapat uang juga dari dia, tapi dihubungke sama mendiang Ngatimin terus ditukarkan duit sampe teko kene, preine nggak ada kabarnya, gimana, udahlah, moga-moga dapat bagus lah. (30:00)

(5)

Kalau yang no 4 ini kerja di PT BK, trus dia mau dioper di Jawa, ndak mau dia, ndak usah. Istrinya di Padang sama anaknya, sebulan sekali pulang, rumahnya Padang.

Dulu dapat jatah pekarangan disana, jalan masjid itu lurus kesana. Dapat di situ tiga-tiganya, morotua, ibuku sendiri, aku sendiri, bikin rumah sendiri-sendiri. Sawah juga dapat disana, tapi sekarang udah dibikin rumah sama anakku yang no 7 perempuan, yang dibikin areng si Sarmoedjie, bagus jalannya sampe situ, kan bikin arang kan sininya bacak kalau ngambil air kan naik-naik dekat dari situ, sana jadi kebun sawit.

Di Suriname, sering kumpul-kumpul sama orang Jawa, banyak kan orang, ada arisan, ada kelompok di rumah pernangsi itu, arisan ibu-ibunya, ngomongnya ya Jawa lah, tapi kalau nek ke pasar, kan orang campur, wong India, wong Negro, Belanda, jadi kalau dipasar kan yang jualan orang ireng itu, orang india, orang Jawa, harus kita bisa bilang itu. Kalau disana kan itu pres [price-red], kalau sudah pres nggak ada turunnya, nggak ada naiknya, nggak ada tawar-menawar, di toko ditaleni pres semua, kalau disini swalayan, liat barangnya, nanti harganya harus sama [antar penjual-red] kan price, kalau nggak sama, ntar dilihat duane-duane kan (Pak Sarmoedjie & Pak Basar : polisi ekonomi ada disana, yang menentukan harga,

nggak ada saingan, belinya berdasarkan kebutuhan, rejeki masing-masing, waktu itu, sekarang mungkin sudah ada beda, tapi kok itu masih price), kalau Indonesia kan nggak,

kalau disana tertib. (36:25)

[Bu Tuminah ngomong ke Pak Sarmoedjie-red) eh dolan neng Krepyak [Clevia-red], (Pak

Basar : itu dekat dari Paramaribo, naek bis saja bisa, termasuk distrik Paramaribo juga Krepyak ini, nek wong jowo kan nek ngomong dadi Krepyak, nang ndi, nang pernangsi

krepyak ngono, (Pak Sarmoedjie : pernangsi itu perumahan satu perusahaan).

Ada telpon-telponan sama kakak di sana [Suriname-red], pernah kesini juga, sekali, 3 tahun yang lalu kesini, yang panglinglah, sudah tua-tua semua, umurnya antara 77 tahun, yo ora nangis mene, itu pokok’e.

[Kakak cerita-red] kalau sekarang yang rame tuh Paramaribo, yang di Krepyak, yang Blauwgrond, tani sampe sekarang.

Ya ingin [ke Suriname-red] tapi aku kok berat rasanya kalau kesana itu, kalau aku mbilang, aku uda sakit-sakitan, ayolah kesanalah dek, nggak mau akulah, karena aku sendiri kesana, anakku disini semua, aduh sakitnya anak-anakku, ndak bisa aku ninggalken dia. Kemarin itu anaknya kakakku bilang pas telpon, ‘ hei Bik, Bik nggak ingin ke Suriname, ndak ada duwit

(6)

aku bilang, kita jemput yo, kalau mau jemput, jemputlah’, aku bilang gitu tapi sambil bergurau ta, ndak tau aku, ndak taulah aku, kalau aku suruh kesana, nggak ada duwitlah aku, telpon aja aku gak mau, ongkosnya itu besar kali, kalau kamu mau telepon sini teleponlah, kita terima, tapi kalo aku yang telepon gak bisa aku bilang, mahal.

(41:01)

Kakak sudah pensiun, gak ada kerja cuma lakinya yang kerja tapi sekarang terima pensiun, suaminya dulu ndak tau kerja apa, ndak kerja dimana-mana, ga jelas aku, yang pasti tani nggak, tapi ada kerja, orang Jawa juga.

Kalau aku, enakan di Tongar [dibandingkan Suriname-red] karena semua kumpul, lha mbahku buyut, sedang sak maratua, sak bapaknya, sedang mamakku, bapakku, semua kumpul, disini semua kan, jadi aku seneng, mungkin kalau ndak ada yang disini, mungkin aku susah, tapi senengnya itu kumpul. Maka itu yang di Pekanbaru tuh kalau kamu dipindahkan di Surabaya, nggak usah lah, adoh-adoh, anakku yang bungsu.

[Pak Sarmoedjie ngobrol dengan Bu Tuminah tentang istri Pak Sarmoedjie-red], oalah dadi bojomu seko kene to, anakke pak satimin, iyo kene ki omahe, disinilah, iki kan jejer telu, tak pikir bojomu seko jogja po seko Surobaya, yo rapopo, muter-muter tapi bagus jugalah, mau kemana lagi, rumahnya dulu situ, buchnich [bertingkat-red] semua, tonggaknya tinggi, (Pak

Basar : karena takut harimau waktu itu mungkin-red), tapi bagus, papan, itu bangun sendiri.

(45:00)

[Anak-anakku jodohnya-red] ada yang Mandiling, ada yang Minang, banyaklah macem-macem, aku nggak tau, cari sendiri-sendiri, pokoknya yang bener aja, liat aja, jangan sembarangan. Anak-anak jarang bahasa jawa, kecil kan sekolahnya bahasa Indonesia, tentu kalau ada orang [bicara-red] basa-basa Jawa alus tuh, tanya bilang apa ndak tau, boso kasar yo iyo, ya si Lilin kemarin aja, mamak kalau ngunjuk tuh apa, minum, ngombe itu ngunjuk, kalau dhahar, yo mangan iku, jadi ya ndak tau. Dia kuliah 4 tahun akhirnya di rumah aja, digoda orang, nggak jadi kerja, iku ning nggone omah sing mbok nggo gawe areng itu.

Aku ndak ada nanam sawit, anak-anakku [yang nanam-red], aku udah tua, ndak ada yang dicari, trimo aja lah, duduk-duduk di rumah aja.

Kalau dulu kita [pembagian tanahnya-red] banyak, satu orang dua hektar, tapi punyaen bapakku sendiri nggak kita ambil, lha gimanalah mengurusnya itu. Bapakku sndiri, bapak morotua diambil sendiri, punyaan mbah buyut diambil morotuo, aku cuma bagianku sendiri aja, diurus anak-anak sekarang, ditanami sawit, kan kampung situ, bukan hutan, sekarang

(7)

udah jadi kampung, dulu waktu pertama, aduh kayunya segini, kayu ketoko, meranti, ikir, yang mahal-mahal itu tapi kita nggak tau, kadang-kadang ya ditarik sama trailer, bawa, (Pak

Sarmoedjie :kadang kita lihat, nah ini potong, gawe areng).

(50:23)

Pindah ke Tongar, ya sedih sikit, karena nengok orang tua ada, kalau aku nggak nangis, nangisnya tuh apa yang ditangisi, sudah dibawa semua, kan Cuma kakakku yang ndak mau, ya udah pikiran kita.

Bantuan dari pemerintah dulu tuh bantuan kain kayaknya, masih Pak Jito transmigrasi itu ada, kain katun-katun itulah, dapat tuh kalau nggak salah, kain buwat baju dapat bantuan itu, yang dapat sekawanku aja yang dari Suriname kalau yang disinilah, kalau yang lain gak tau aku, ntah lupa lagi tahun berapa.

Waktu perang PRRI waduh susahlah kehidupannya, gimanalah ya, nanam padi masih asli, nggak ada obat nggak ada pupuk, ndak buah, macem2, susah. Kalau buat makan ya ntahlah dari mana ya, sepunyaan kita jual untuk beli beras, kalau untuk mertua, untuk mbah buyut ya cari sendiri-sendiri, ya nanam padi sikit-sikit, nanam ubi, tanam jagung sikit-sikit, disini kan masih ada lahan, nah jadi ndak bisa bilang apa-apa aku, jadi bagaimana itu. Makan yo asal aja, mau ambil apa, paling-paling dapat ikan rawa, ikan gabus, ikan limbek [lele-red], dimasak masakan jawa, kalau masak Minang kan sambel lado, kalau kita masak jawa, dipanggang, digoreng, digule gitu.

Kalau ke anak-anak kita, kita cerita [pengalaman di Suriname-red], bilang gini, lha mak’e kok cerita-cerita, ya bukan cerita, kamu tuh biar tahu. Cerita alah dulu mamak tuh payah kali, ayahmu dulu jual papan aja nggak laku aku bilang gitu.(Pak Basar : pernah gergaji papan di

hutan), habis itu kan sudah bangkrut dia, (Pak Basar : sudah nggak hidup lagi yayasan ini),

sama ini satu di atas, satu di bawah, dijual papannya nggak laku, dipikul di pundak sini, sama kawan, paling nggak kawannya empat, dua, tiga (Pak Basar : dipikul dari hutan tuh, 10 lembar, 9 lembar), lama lah kerja gitu, ada tani lah sikit-sikit, sambilan

(56:08)

Ibu nggak bisa [kerja-red] apa-apa, ngasuh anaknya aja, tiap tahun ada, maka itu sekarang aku mau gendong-gendong cucuku males, bosen aku, 12 coba bayangin, aku yang asuh sendiri seperti anak-anak saya aja banyak, tiap tahun, uda capek saya, kalau sudah besar macam ini mau, ini cucu ini [menunjuk cucunya-red], kalau masih digendong-gendong, diangkat, males

(8)

aku. Ini cucuku yang anak nomor 11, perempuan kan, ini cucu, aku minta satu, untuk temen, nggak ada temennya, anaknya jauh-jauh.

Kesenian jawa di Commewijne ada, kalau disana nggak pake pentas, halaman gini aja, pasang selambu, jadi nggak nampak gituan, di pentas nya itu nggak ada, itu biasanya pas malem minggu.

Kalau orang mbralek [pesta-red] itu malem minggu, kalau hari-harian itu kan orang kerja, kalau yang kerja dines-dines tuh nggak bisa, jadi ya pokoknya sabtu malam minggu gitu, (Pak

Sarmoedjie : mbralek itu pesta), jadi malem minggu aja itu, kalau dino sabtu sudah nggak

kerja lagi kalau di Suriname, masuk lima hari semua. Kalau hari minggu, nganggur lah, toko aja tutup bentar, jam 9 buka, pagi tutup. Jalan-jalan ada lah, ya sekitar situ aja, pulau-pulau kecil dimana tuh, kalau di Monggo sama nang Stat saiki jalan mobil, dulu kan jalan kapal, jadi udah bagus jalan, jalan mobil semua, (Pak Sarmoedjie : wong ke Nickerie aja sudah pake bis

kok, dulu pake kapal, sekarang udah jalan darat), dulu kapal, ke Mariënburg, ke Stat aja yang

pake kapal, Mariënburg tu kan pabrik gula, kampungku.

Dulu listrik di Suriname ada tapi di kotanya aja, kalau di desa nggak ada, kalau rumahku yo ada, kan di kota, kalau di pelosok-pelosok itu belum.

Dulu masakannya ya Jawa lah, asal usul dari ibu, yang sering dimasak ya sayur-sayuran biasa seperti sini aja, oseng-oseng biasa itu, sayur lodeh juga, kan kalau mamaknya orang jawa jadi tau, tentu tau itu. Bahan-bahannya ada, sama ama Indonesia.

(1:00:30)

Sambatan ya ada, pas hari nggak kerja umpamanya, gotong royong itu, hari sabtu kan nggak kerja, minggu juga nggak kerja. Bersih kampung ada juga, tiap kalau biasa, kalau wong Jawa kan eneng muludan, eneng rejeban, hampir tiap bulan ada bersih desa. Ibu-ibu nggak ada bantuin apa-apa, masak sendiri-sendiri, kalau waktu di langgar itu, bawa nasi itu untuk makan bersama kalau di tempat kita, kalau sana langgar, sini mesjid, ada langgar namanya orang jawa ya ada juga di kampung tapi. Makan bareng yo pas seperti itu kalau mauludan, rejeban, kalau orang jawa masih dipake itu. Kalau lebaran disana ya biasa [berkunjung ke rumah tetangga, sungkeman-red], kan orang jawa ya, sama aja, wong bibitnya dari Jawa, kalau kampung kita gitu, ntah kampung lainnya.

Perkumpulan orang-orang Jawa nampaknya kurang, nggak ada, karena takut tersinggung sama lainnya kalau orang jawa ada partai, kumpul-kumpulan, kalau baru ini kita mau pulang Indonesia baru ada kumpulan, kalau dulu nggak ada.

(9)

Lingkungan tempat tinggal dulu kalau orang India, kalau di kampungnya ada, kalau orang negro nya nggak ada, cuma India itu, kalau India kan suka memelihara jawi, banyak itu. Manfaat pernah tinggal di Suriname nggak kurasa itu, karena bagaimana ya cara jaman dulu itu.

Kalau orang minang walaupun 10 meter, yo di sungai [WCnya-red], tengah malam, kalau orang jawa kan nggak mau. Dulu pertama bangun rumah disini ya pake lah WC, sistemnya tuh kan lain ama orang minang itu, maksudnya kan secara kita, kita dulu-dulunya kita pake gitu kan, apalagi kalau sudah ada, tentu pake yang bagus, kalau dulu kan seadanya tentu ada WCnya, dimana-mana ada WC, ndak sembarangan kalau orang dari Suriname. Dulu tetangga-tetangga [disini-red] sudah pake WC semua.

(1:05:11)

Pertama di Tongar, gimana yo kalau kita bahasa negro, dia bahasa Minang, kalau mau belanja orang banyak yang tertawa, kalau di pasar, bahasa jawa aja, orangnya yo sekali-sekali tau, (Pak Basar : maen tunjuk-tunjuk aja, bahasa tarzan).

Perekonomian saya di Suriname sama di Tongar ya sama aja kalau sekarang. Waktu pertama masuk tuh ya susah disini, gimana nggak susah nggak tau apa-apa, kalau nunggu jatah dari yayasan aja kurang, jadi apa yang kita ada untuk belikan ikan itu, jual aja untuk beli ikan gabus, ada simpanan dari Suriname, sekarang udah habis ya, (Pak Basar : kebanyakan gitu

dulu, kalau kekurangan apa-apa, ini dibuka, ini dibuka [perhiasan emas-red], sebagian ada yang bawa sini).

Yang takut ya nggak bisa bawa [emas-red], kalau kita kan deket ketua-ketua, bestier-bestier itu rumahku dekat di Suriname, jadi takut bawa apa-apa, jangan bawa apa-apa, nanti ada duane-duane itu periksa, ndak bisa aku bawa apa-apa, tapi keadaannya dulu waktu itu nggak (Pak Basar : sakjane nggak, ndak ada pemeriksaan), tapi undang-undangnya tuh ada, (Pak

Basar : [nggak boleh bawa-red] mungkin seperti apalah kok kita bawa barang dari luar negeri), kalau orang jawa sistemnya tuh kalau ada emasnya dibawa, dipake semua besar-besar,

gini-gini, ringgit, perak, tuh nggak boleh pake, ntar takut macem-macem, kita nggak tau situasinya di jalan, nanti kalau ada mobil, sampe sini aja kita udah payah, nginepnya di kapstat ada, di gadut, orang gila-gila itu, suruh nginap sana, (Pak Basar : gadut tuh tempat

rehabilitasi orang kurang sehat pikiran, waktu sampe padang sebagian ada di situ ditempatkan, dipisah-pisah, ada banyak tempat, ada empat atau berapa, kita banyak, 300an,

(10)

kalau kita di gedung-gedung SD yang belum jadi waktu itu, dilos gitu aja), seperti orang

buangan aja. (1:10:24)

Sampe sini, dibagi rumah-rumah itu, sampenya sore, ya mengerikan. Nggak denger suara harimau yang jauh-jauh, kalau aku nggak nampak, karena aku dapat rumah mesin, rumah gudang, jadi rame terus tiap sore, tiap malam, jadi aman.

Kalau kita di bedeng nggak lama, trus bikin rumah sendiri, hampir setahun palingan. Bikin rumah, kita sambil seperti kerja tapi dibayar, kalau kita bikin papan, kerja, dibayar, papannya nggak beli aku, graji sendiri [yayasan yang bayar-red], yayasan bangkrut ndak bisa bayar lagi, kerja sendiri, cari makan sendiri, susah kalau ndak ada modal, untungnya tuh ada modal sikit-sikit.

Dulu kalau jual emas di pasar simpang empat, pasar kecil-kecilan. Dulu dari sini sampe simpang empat jalan kaki, lho bener jalan kaki, apalagi di Kinali jalan kaki, sepeda ndak bisa, ndak beli sepeda, [uangnya-red] untuk makan, (Pak Basar : jalan berbatu, rumput kiri kana

jalan itu masih), iya jalan setapak.

Dulu anak-anak sekolah belum aspal, ada yang kecil-kecil, bikin sekolahan sendiri kan yayasan, terus anak-anak tuh belajar. Itu bikin sekolah SD dulu, SMPnya di simpang empat. Kita gotong royong juga yo, orangtua anaknya siapa yang mau sekolah, gotong royong ke simpang 4, bapak-bapaknya (Pak Sarmoedjie : atapnya itu atap ilalang, alang-alang,

dindingnya sekian ini dari anyaman bamboo, gurunya Gendon, Slamet, awalnya ya, terus baru SD masuk. SD masuk tuh kita dapat lokasi di balai pertemuan satu kelas untuk kita, ada kelas 6, kelas 5, ada lain-lain), (Pak Basar & Pak Sarmoedjie : mula-mula didatangkan guru dari Lubuk Sikaping, khusus guru yang pandai berbahasa belanda, jadi disiapkan satu orang untuk kami-kami, inilah angkata, ini, belajarnya bahasa campur, dikasih belajar bahasanya Indonesia, bahasa belandanya begini, indonesianya gini, Abdul Hakim ya namanya, setahun diajar guru itu, udah bahasa Indoneia satu-satu, baru dikirim langsung ke SMP tanpa ujian, karena di sana sudah ada yang di Mulo, ada yang di apa, dan usia kita juga udah tinggi, kelewat tua, jadi satu kelas nggak selalu sama kelasnya, tingkatannya berbeda-beda, tapi disini campur, nggak ada yang protes, ya kita kan manut kabeh jaman mbiyen, diaturlah),

istilahnya kan kita mbangun, jadi sembarangan aja. (1:15:46)

(11)

Nama suami Jarot, tanggal lahirnya nggak tau, tahunnya nggak juga, asalnya Suriname, kelahiran Suriname, pekerjaannya dulu disana sopir, disini sopir juga, trus yayasan bangkrut kita usaha sendiri, usaha bikin papan sendiri, tapi wong mbiyen dulu kerjaane mikul kayu, kok sehat yo, nggak ada rematiknya, nggak ada macem-macem, dulu papan 10 dipikul dari ujung sana, kayu besar dinaikkan di atas, digraji, kalau kita nengok kok bisa naek sampe ke atas bagimana caranya kan balok besar gitu, ndak tau aku.

Anaknya 12, pertama Sumardi, Sumarsono, Sumarjono, Sriyanto, Sudrisman, Nurkandar, laki-laki semua tuh, ketujuh Yarlini, perempuan, kedelapan Mutarisih laki-laki-laki-laki, sembilan laki-laki-laki-laki Siswahyudi, sepuluh perempuan Murni namanya, sebelas Sudarmi perempuan, duabelas Adi Pranoto yang bungsu. Tanggal lahir anak nggak ada yang inget, tahunnya itulah nggak ada yang inget, semua lahir di Tongar.

Kakaknya Tumirah, tanggal lahirnya tau, lahirnya di Suriname, sekarang pensiun. Yang kedua saya, kelahiran Suriname juga. Kalau adiknya Marius Tumpuk, kerjanya di Caltex, pensiunan Caltex, lahir di Suriname juga.

(1:20:56)

Bapakku namanya Tukiran, ibu Riyatun, bapak aslinya Jawa, jawanya nggak tau, ibu dari Jawa juga. Nggak tau bapaknya kerja apa, nggak inget. Nama kakek nggak tau. Mertua namanya Mijan, asalnya Suriname, jawa juga, tapi nggak tau aku, ibunya suami Ngadirah, dari jawa kayaknya.

Aku lahir di daerah Krepyak, Commeweijne, 3 bulan sebelum berangkat pindah ke Stat, Paramaribo, sampe sekarang di Tongar. Sekolahnya nggak tau aku, di Commeweijne.

Referensi

Dokumen terkait

(1995) yang meneliti benih kedelai menghasilkan karakter yang terkait dengan vigor kekuatan tumbuh benih yang dikendalikan secara genetik dan mempengaruhi produktivitas

Jika benturan ini berlangsung terus menerus, dapat mengakibatkan terjadinya tennis elbow (Core, 2006:1). Cedera ini terjadi secara perlahan-lahan dan menjadi

Sarana produksi pertanian dapat diperoleh di pasar dan koperasi yang ada di Kabupaten Karanganyar maupun Kecamatan Mojogedang, selain itu pasar dan koperasi

Tujuan pembuatan tugas akhir ini adalah untuk menghasilkan sebuah karya dokumenter inspiratif yang menarik sekaligus memberikan pesan moral tentang

Produk Lokal Unggulan Daerah adalah produk baik berupa barang maupun jasa yang dihasilkan oleh koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah yang potensial untuk

Hasil yang diperoleh adalah arah pergeseran horizontal yang tertinggi pada stasiun MLKN sebesar -20.7 milimeter dan arah vertikal yang tertinggi pada stasiun BSAT sebesar -

Informasi yang diberikan dimaksudkan hanya sebagai panduan untuk penanganan, penggunaan, pengolahan, penyimpanan, transportasi, pembuangan dan pelepasan dan tidak dianggap

Sehingga dalam dunia teknologi informasi, citra ini dapat diartikan sebagai gambar atau rupa hasil representasi dari suatu objek nyata dalam bentuk dua atau tiga dimensi yang