• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Definisi Gagal Ginjal Kronis (GGK) Gagal ginjal kronis atau End Stage Renal Disease (ESRD) adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Definisi Gagal Ginjal Kronis (GGK) Gagal ginjal kronis atau End Stage Renal Disease (ESRD) adalah"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Gagal Ginjal Kronis

1. Definisi Gagal Ginjal Kronis (GGK)

Gagal ginjal kronis atau End Stage Renal Disease (ESRD) adalah kerusakan pada ginjal yang terus menerus dengan terjadinya penurunan fungsi ginjal secara bertahap yang progresif dan irreversible, akan mengakibatkan terjadi penumpukan sisa metabolisme protein dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, sehingga terjadi uremia serta gangguan multisystem, yang mana berdasarkan klasifikasi terlihat nilai LFG menurun <60 ml/menit/1,73m2 dan berlangsung dalam > 3 bulan. (Chalene, 2001 ; Baughman, 2002 ; Black&Hawks, 2008 ; Brunner & Suddarth, 2006 ; Sukandar, 2006) : National Kidney Foundation Kidney Disease Outcome Quality Initiative (NKF-KDOQI, 2002).

Klasifikasi ginjal kronis menurut National Kidney Foundation Kidney Disease Outcome Quality Initiative (NKF-KDOQI, 2002), berdasarkan

(2)

Table 2.1 Klasifikasi Gagal Ginjal Berdasarkan Nilai LFG

Derajat Deskripsi LFG ( mL/menit.1,73m²)

0 Risiko meningkat ≥ 90 dengan faktor risiko 1 Kerusakan ginjal disertai LFG

normal atau meninggi

≥ 90

2 Penurunan rungan LFG 60 – 89

3 Penurunan moderat LFG 30 – 59

4 Penurunan berat LFG 15 – 29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialysis

(Sumber : Clarkson, 2005)

1. Etiologi

Penyebab terjadinya Gagal Ginjal adalah : diabetes mellitus, hipertensi, glomerulonephritis dan penyakit ginjal polikistik. Berdasarkan persentasi penyebab terbanyak gagal ginjal terminal adalah penyakit hipertensi (34%), nefropati diabetik (27%), glomerulopati primer (14%), nefropati obstruksi (8%), pielonefritis kronis (6%), penyakit ginjal polikistik (1%), nefropati lupus (1%) dan penyebab yang tidak diketahui (1%) (Indonesia Renal Registry (IRR), 2001)

2. Patofisiologi

Patogenesis GGK berhubungan erat dengan adanya penurunan dan kerusakan nefron yang menyebabkan kehilangan fungsi ginjal secara progresif. Nefron yang masih berfungsi mengalami hipertropi karena beratnya beban untuk menyaring solute yang ada. Sehingga mengakibatnya ginjal kehilangan kemampuan dalam pemekatan urine secara adekuat. Kerusakan ginjal lebih lanjut dan berlangsung trus menerus akan menurunnya jumlah nefron yang masih berfungsi, sehingga menyebabkan LFG menurun drastis. Hal ini menyebabkan tubuh

(3)

kehilangan kemampuan untuk mengeluarkan kelebihan air, garam dan membersihkan sampah metabolik. Jika LFG <10-20 ml/mnt maka terjadilah penumpukan toksin uremik yang membahayakan tubuh. Keadaan seperti ini harus segera mendapat penanganan dengan dialisis atau transplantasi ginjal untuk mengatasi kondisi uremia dan mencegah kematian ( Black & Hawks, 2008).

3. Manifestasi Klinis

Penyakit ginjal kronis bila ureum darah >200 mg%. Dimana konsentrasi ureum darah merupakan indikator adanya retensi sisa metabolisme protein dalam tubuh. Kadar kreatinin serum menjadi parameter akurat untuk menilai fungsi ginjal, serta peningkatan ureum akan meningkatkan kadar kreatinin dalam darah (Sukandar, 2006). Tekanan onkotik intravascular dapat menurun karena terjadinya proteinuria dan kurangnya asupan protein serta gangguan produksi dan metabolisme insulin menyebabkan intoleransi karbohidrat. Begitu juga akumulasi toksin ureum berhubungan dengan terjadinya perikarditis dan berkembang menjadi efusi perikardia dan tamponade jantung merupakan komplikasi yang mengancam kehidupan (Black & Hawks, 2008).

Menurut (Black & Hawks, 2009; Suwitra, 2010), Manifestasi klinis yang muncul pada pasien dengan gagal ginjal bervariasi sesuai klasifikasi atau derajat sebagai berikut:

(4)

Tabel 2.2 Manifestasi Klinis Penyakit Ginjal

Derajat Manifestasi Klinik

I Pasien dengan tekanan darah normal, tanpa abnormalitas hasil tes laboratorium dan tanpa manifestasi klinis

II Umumnya asimtomatik, tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum

III Mulai terjadi ada keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan

IV Pasien sudah terlihat ada gejala tanda uremia yang nyata seperti anemia, hipertensi, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, gangguan keseimbangan natrium dan kalium, edema.

V Terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal

4. Perubahan yang terjadi pada pasien GGK

Pasien yang menjalani hemodialisa karena menderita GGK mengalami perubahan fungsi tubuh dalam dirinya dapat dilihat dibawah ini :

Tabel 2.3 Perubahan pada Pasien yang menjalani Hemodialisa

Fungsi Fisiologis (Black & Hawk, 2005)

Ketidakseimbangan elektrolit Pasien dapat mengalami hyponatremia sehingga terjadi retensi cairan yang mengakibatkan kondisi hipertensi dan gagal jantung, hyperkalemia, hipokalsemia dan hiperfosfatermia, yang akan menyebabkan terhadap ostemalasia, osteitis fibrosa, dan osteosclerosis.

Perubahan metabolik Terjadinya peningkatan sampah metabolisme protein yaitu BUN dan kreatinin didalam darah. Dimana kreatinin serum adalah indikator fungsi ginjal yang paling akurat. Diet protein yang tidak adekuat akan mengakibatkan terjadinya hipoproteinemia, peningkatan trigliserida terjadi hampir secara umum. Asidosis metabolik terjadi karena ketidakmampuan ginjal mengeksresikan ion hidrogen.

(5)

Perubahan hematologi Salah satu fungsi ginjal memproduksi eritropoentin sehingga karena kerusakan ginjal berefek terjadinya anemia pada pasien GGK, sehingga pasien sering mengalami kelemahan, fatigue dan intoleransi terhadap dingin.

Perubahan gastrointestinal Pasien seringkali mengalami anoreksia, mual, muntah, rasa pahit, dan rasa asin serta napas seringkali berbau ammonia, amis, dan berbau busuk. Dapat juga terjadi stomatitis, parotitis dan gingivitis dan konstipasi pada pasien GGK.

Perubahan imunologi Pada pasien GGK sangat mudah terjadi infeksi karena kerusakan pada sistem imun.

Perubahan metabolisme obat-obat

Pasien uremia memiliki resiko tinggi keracuan obat-obat karena perubahan renal dalam metabolisme obat-obat dalam farmakokinetik obat-obatan akibat GGK Perubahan kardiovaskuler Hipertensi yang paling sering ditemukan akibat

komplikasi GGK pada sistem cardiovaskuler. Hal ini terjadi volume dalam jantung overload mengakibatkan hipertrofi ventrikuler dan gagal jantung. Disritmia dapat terjadi karena hyperkalemia, asidosis, hipermagnesium, dan penurunan perfusi koroner. Perubahan respirasi Edema pulmonal dapat terjadi karena cairan yang

berlebihan, peningkatan frekuensi nafas, dan sesak. Perubahan muskuloskeletal Sistem muskuloskeletal terdapat 90% pasien GGK

yang mengalami renal osteodistrofi yang berlanjut pada osteomalasia, osteitis fibrosa, osteoporosif dan osteoslerosis. Pasien mengeluh adanya kram otot. Perubahan integumen Pasien GGK ditemukan kulit menjadi kering karena

atropi kelenjar keringat dan perubahan warna kulit akibat pigmen urokrom. Pasien mengalami pruritus akibat hiperparatiroidisme sekunder dan deposit kalsium pada kulit. Rambut dan kuku menjadi tipis dan rapuh. Hal ini akan mengganggu kenyamanan pasien.

Perubahan neurologic Neuropati perifer menyebabkan berbagai gejala seperti kaki terasa terbakar, ketidakmampuan menemukan posisi kaki yang nyaman, perubahan gaya berjalan,

(6)

Perubahan reproduktif Pada pasien GGK wanita akan mengalami ketidakteraturan mensturasi, terutama amenore dan infertilitas. Pada pasien laki-laki terjadi impoten akibat faktor fisik dan psikologis, atropi testicular, oligospermia, penurunan motilitas sperma, ditemukan adanya penurunan libido.

Perubahan endokrin GGK berefek pada sisten endokrin seperti insulin dan fungsi paratiroid.

Fungsi psikologis

Ekspresi psikologis yang sering terjadi berupa sedih, depresi, perasaan menyesal, gangguan gambaran diri, dan rendah diri. Hal ini dialami diawal didiagnosa gagal ginjal dan harus menjalani hemodialisa (Farida, 2010)

Fungsi spiritual

Perubahan spiritual yang terjadi pada pasien GGK yang menjalani hemodialisa berupa rasa bersyukur, pasrah, dan upaya meningkatkan ibadah (Farida, 2010)

Psikososial

Pada pasien GGK perubahan intraksi sosial yakni cenderung lebih banyak bersosialisasi dengan lingkungan sekitar rumah dan intraksi jarak jauh menjadi terbatas atau berpergian tidak dapat dilakukan lebih dari 3-4 hari. Intraksi baru terjadi dengan sesama pasien yang menjalani hemodialisa (Farida, 2010)

Ekonomi

Perubahan status ekonomi dirasakan oleh pasien dimana kebutuhan akan keuangan bertambah dengan menjalani hemodialisa walaupun biaya tidak bayar (dengan dibebankan kepihak lain seperti asuransi atau pemerintah), namun informan mengatakan adanya biaya lain yang harus dikeluarkan setiap bulan yakni obat-obatan, pemeriksaan laboratorium yang tidak dijamin, atau biaya transportasi dari rumah ke rumah sakit yang cukup besar (Farida, 2010)

5. Penatalaksanaan

Menurut suwitra (2010) penatalaksanaan pada pasien penyakit ginjal berdasarkan klasifikasi dan kondisi klinis pasien. Penatalaksanannya sebagai berikut :

a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya. Untuk memberikan terapi ini waktu yang tepat yaitu sebelum terjadi penurunan GFR, sehingga

(7)

sampai 20-30% dari normal, maka terapi ini sudah tidak banyak memberi manfaat.

b. Pencegahan dan terapi terhadap komorbiditas. Hal ini terkait erat dengan kecepatan penurunan GFR, sehingga pemantauan secara ketat harus dilakukan pada pasien gagal ginjal. Komorbiditas yang dimaksud adalah gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi saluran urinaria, obstrukasi saluran urinaria, obat yang bersifat nefrotoksik, bahan radiokontras, dan peningkatan aktivitas panyakit dasar.

c. Menghambat perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein yang dimulai pada GFR, ≤ 60% mL/Menit, terapi farmakologis untuk menguragi hipertensi intraglomerulus.

d. Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler dan komplikasi, yang termasuk dalam penatalaksanaan ini adalah pengendalian penyakit diabetes, hipertensi, dyslipidemia, anemia, hipofosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. e. Terapi pengganti ginjal, meliputi dialisis (hemodialisa dan peritoneal

dialisis) dan transplantasi ginjal.

B. Hemodialisa (HD)

1. Definisi Hemodialisa

HD merupakan suatu proses yang digunakan oleh pasien dalam keadaan sakit akut dan gagal ginjal stadium akhir yang digunakan jaga panjang atau permanen untuk mengganti fungsi ginjal mengeluarkan zat-zat nitrogen

(8)

dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Brunner & Suddart, 2002 ; Suharyanto dan Madjid, 2009). HD bertujuan untuk mengeliminasi sisa-sisa produk metabolisme protein dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan dialisat melalui selaput membran semipermeabel yang berperan sebagai ginjal buatan. HD bersifat individual tergantung pada target pembuangan cairan dan solute yang diharapkan (Foote & Manley, 2008). Akses vascular menjadi hal yang penting dalam HD, karena bertujuan untuk menghubungkan sirkuit darah pasien dengan membrane dialyzer. Akses vascular sementara seperti double lumen cathether dan permanen adalah internal arteriovenous shunt (Av Shunt/Cimino) (Sukandar, 2006).

HD merupakan proses saat solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membrane berpori dari satu kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya. Dimana proses HD merupkan tehnik utama yang digunakan dalam dialisis dan prinsip dasarnya yaitu difusi solute dan air dari plasma ke luar dialisis sebagai respon terhadap adanya perbedaan konsentrasi (Corwin, 2009). Ada tiga prinsip dasar HD yaitu difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah yang ada dalam aliran darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah dengan konsentrasi tinggi ke cairan dialisat konsentrasi lebih rendah. HD bertujuan mengganti fungsi ekskresi dari ginjal, sehingga tidak terjadi uremia berat dan mencegah komplikasi yang bersifat berbahaya dan menyebabkan kematian (PERNEFRI, 2003)

(9)

2. Indikasi Hemodialisa (HD)

Konsensus Dialisis Pernefri (2003), menyatakan indikasi dilakukan HD pada pasien gagal ginjal dengan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) <15 mL/menit, pasien dengan test Klirens Kreatinin (TKK)/LFG <10 mL/menit dengan gejala uremia atau TKK/LFG <5 mL/menit walau tanpa gejala. Karena fungsi ekskresi ginjal sudah minimal bila TKK/LFG <5 mL/menit, sehingga mengakibatkan akumulasi zat toksik dalam darah dan komplikasi yang membahayakan bila tidak dilakukan tindakan dialisis.

Berdasarkan tujuan pengobatan terapi pengganti ginjal (TPG), dibedakan menjadi renal support dan renal replacement (Metha, 2000). Perbedaan tujuan pengobatan tersebut seperti pada tabel dibawah ini:

Table 2.4 Tujuan Pengobatan Terapi Pengganti Ginjal (TPG)

Renal Replacement (Pengganti Ginjal)

Renal Support ( Pembantu Ginjal) Tujuan Pengobatan Mengganti fungsi ginjal

(fungsi eksokrin)

Membantu ginjal dan organ lain

Saat melakukan intervensi

Tergantung parameter biokimia

Tergantung kebutuhan individu

Indikasi dialysis Sempit Luas

Dosis dialysis Sesuai penurunan fungsi ginjal

Sesuai kebutuhan dan indikasi

Lamanya pengobatan Selamanya (rutin) Sementara (sampai gangguan ginjal akut membaik)

(10)

Berdasarkan strategi pengobatan penyakit ginjal, terapi penyakit ginjal (TPG) dibagi berdasarkan kondisi penyakit antara Acut Kidney Injury (AKI) dan End Strage Renal Disease (ESRD) (Metha, 2000) adalah :

Table 2.5 Perbedaan Strategi Manajemen Pengobatan Penyakit Ginjal

AKI ESRD

Tujuan Pengobatan Memperbaiki kegagalan sistem

Memperbaiki kondisi uremia

Hasil yang

diinginkan

Ketahanan hidup,

penyembuhan fungsi ginjal

Ketahanan hidup jangka panjang, peningkatan kualitas hidup Faktor yang

menentukan

Fungsi organ lain Proses yang ada pada ginjal

Indikasi dialysis Renal support Renal replacement

C. Self Care Teori Orem

Filosofi ilmu keperawatan adalah memandirikan dan membantu individu dalam memenuhi kebutuhan dirinya (self care). Salah satu teori yang paling dikenal dalam keperawatan adalah teori self-care Orem. Dimana Orem melihat individu sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri dari aspek fisik, psikologis, dan sosial dengan derajat kemampuan untuk merawat dirinya yang berbeda-beda serta individu memiliki kemampuan untuk terus berkembang dan belajar sehingga tindakan perawat berupaya mencapai kemampuan tersebut. (Asmadi, 2008 ; Kusnanto, 2003).

Orem mendefinisikan keperawatan sebagai seni dalam memberikan bantuan kepada individu dengan ketidakmampuannya untuk melakukan perawatan mandiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari serta membantu dalam perawatan medis yang diberikan oleh dokter

(11)

(Swanburg, 2000). Perawat berperan dalam melaksanakan self care. Dimana tujuan utama sistem orem adalah menemukan kebutuhan self-care (self care demand) pada pasien sehingga mampu melaksanakannya

(Orem, 2007 dalam Mosby Dictionary, 2009). Dalam melakukan asuhan keperawatan kepada pasien perawat harus melakukan pengkajian awal kemampuan pasien dalam melakukan pemenuhan perawatan diri, sehingga perawat dapat mengetahui tingkat kemampuan pasien dalam memenuhi kebutuhan secara mandiri (Hartweg, 1995 dalam Potter & Perry, 2005).

Teori Orem mengidentifikasi ilmu keperawatan yakni nusing practice science dan foundational sciences. Yang ternasuk nursing practice science

yakni 1) Wholly compensatory dimana perawat membantu penuh ketidakmampuan total pasien dalam melakukan self care; 2) partially compensatory dimana perawat membantu ketidakmampuan sebagian

pasien dalam melakukan self care; 3) supporting-educative dimana perawat membantu pasien untuk membuat keputusan dalam memiliki kemampuan dan pengetahuan. Dan termasuk foundational sciences yakni self-care, self care agency, dan human assistance (Basavanthappa, 2007;

Tomey & Alligood, 2006). Teori Orem dikenal sebagai Self-Care Deficit Theory yang terdiri dari 3 teori yang terkait, yaitu:

a. Theory of self-care tentang mengapa dan bagaimana seseorang merawat diri mereka sendiri

b. Theory of self-care deficit tentang mengapa seseorang dapat dibantu dalam perawatan dirinya dalam keperawatan

(12)

c. Theory of nursing system tentang hubungan yang dibuat perawat untuk dimiliki dan dipelihara oleh pasien (Tomey & Alligood, 2006).

Definisi self care merupakan aktifitas seseorang untuk berinisiatif dan menunjukan kesadaran dirinya sendiri untuk memelihara kehidupan, fungsi kesehatan, perkembangan diri, dan kesejahteraan dengan menemukan kebutuhan untuk pengaturan fungsi dan perkembangan (Orem, 2001 dalam Alligood & Tomey, 2010). Self care agency akan mempengaruhi seseorang untuk bertindak dalam mengatur fungsi dan perkembangan dirinya (Orem, 2001 dalam Alligood & Tomey, 2010). Nursing agency merupakan seseorang yang terdidik yaitu perawat yang

berwewenang dalam mempresentasikan diri sebagai perawat dalam hubungan interpersonal untuk bertindak dalam melakukan pengkajian kebutuhan perawatan diri yang terapeutik (therapeutic self-care demand) dan mengatur perkembangan dan latihan dari self-care agency mereka (Alligood & tomey, 2010).

Basic Conditioning factoris adalah faktor yang mempengaruhi nilai dari

self care demand, self care agency dan nursing agency. Adapun

faktor-faktornya meliputi : umur, jenis kelamin, status perkembangan, status kesehatan, pola kehidupan (Pattern of Living), sistem pelayanan kesehatan, sistem keluarga, sosial budaya, ketersediaan sumber dan lingkungan (Alligood & Tomey, 2010, Muhlisin & Indarwati, 2010).

(13)

Praktek keperawatan untuk mengaplikasikan teori self care Orem bisa dilakukan di area hemodialisa. Dimana pasien dalam menjalani hemodialisa dapat berperan aktif dalam perawatan dirinya. Tujuan dalam praktek keperawatan ini untuk membantu pasien menyiapkan diri serta berperan secara adekuat dalam perawatan diri yang berpengaruh pada outcame pasien dan kualitas hidup. Dalam area ini perawat melakukan

hubungan saling percaya dengan pasien, memberikan dukungan dan pendidikan kesehatan (Simmons, 2009).

D. Self Care Management GGK yang Menjalani Hemodialisa

Self care management didefinisikan sebagai manajemen diri atau

perawatan diri yang mengaju pada metode, keterampilan dan strategi dimana individu secara efektif dapat mengarahkan kegiatan mereka sendiri untuk mencapai tujuan, termasuk menetapkan tujuan, membuat keputusan, melaksanakan perencanaan, penjadwalan kegiatan, evaluasi diri dan pengembangan diri (Omisakin & Neama, 2011). Manajemen diri adalah keterlibatan pasien dalam kegiatan yang melindungi dan meningkatkan kesehatan, usaha pasien dalam mengatasi gejala dan tanda-tanda penyakit, kepatuhan terhadap pengobatan dan usaha pasien mengatasi efek penyakit fisik, emosi, dan hubungan interpersonal (Gruman & Von Korff, 1996, yang dikutip dalam Curtin, Mapes, Schatell & Hudson, 2005).

(14)

Dari lima demensi manajemen diri yang termasuk dalam self care management dalam penelitian ini adalah aktivitas perawatan diri yang

meliputi pembatasan cairan, pengaturan diet, pengobatan dan perawatan akses vaskuler terhadap kepatuhan self care management pasien dalam menjalankan HD sesuai prosedur intruksi dokter dan perawat diaktivitas sehari-hari. Konsep self care management dipahami sebagai pendidikan dalam proses dan hasil kegiatan yang dilakukan. Pendidikan dalam proses self care management meliputi partisipasi dalam pendidikan yang

dirancang untuk membawa hasil yang spesifik, persiapan individu untuk mengelola kondisi kesehatan sehari-hari, praktek perilaku kesehatan, dan pengembangan keterampilan serta kemampuan yang diperlukan untuk mengurangi dampak fisik dan emosional dari penyakit dengan atau tanpa kolaborasi tim kesehatan (McGown, 2007).

Proses perawatan kesehatan self care management mengacu pada kemampuan individu dalam mengelola gejala, pengobatan, kondisi fisik dan psikososial serta perubahan gaya hidup yang dilakukan oleh penderita penyakit kronis (Barlow, Bancroft, & Turner, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Arova (2014), dengan judul gambaran self care management pasien gagal ginjal dengan hemodialisa diwilayah

Tanggerang Selatan. Salah satu hasilnya bahwa self care management penting untuk diperhatikan pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa.

(15)

Self care management pada pasien yang menjalani HD merupakan usaha

positif pasien untuk menemukan dan berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan untuk mengoptimalkan kesehatan, mencegah komplikasi, mengontrol gejala, menyusun sumber-sumber pengobatan, meminimalisir gangguan dalam penyakit yang dapat mengganggu kehidupan (Curtin & Mapes, 2001). Yang termasuk didalamnya menurut Richard (2006) meliputi : pembatasan cairan, pengaturan diet, pengobatan dan akses vaskuler.

1. Pembatasan Cairan

Pengukuran dalam pembatasan cairan/air pada pasien gagal ginjal, sangat perlu dilakukan, untuk mencegah terjadinnya edema dan komplikasi kardiovaskuler, dimana air yang masuk kedalam tubuh harus seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss (IWL). Asupan cairan yang dibutuhkan

tergantung pada urin yang keluar selama 24 jam ditambah IWL (Almatsier, 2005; Brunner & Suddart , 2002).

Cara menghitung kebutuhan pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa akan kebutuhan air dapat ditentukan lewat penggukuran jumlah air seni yang keluar dalam 24 jam menggunakan gelas ukur dan kemudian ditambah kurang lebih 500 ml kedalam jumlah yang dieksresikan. Penambahan 500 ml ini akan menggantikan jumlah yang ekskresi/kehilangan air yang tidak terlihat. Hal ini merupakan

(16)

gambaran jumlah cairan yang harus diterima penderita gagal ginjal kronik yang menjalani HD pada hari berikutnya. Makanan yang berbentuk cair seperti agar-agar, es krim dianggap cairan yang masuk yang harus diperhitungkan (Hartono, 1995).

Menggontrol asupan cairan merupakan salah satu masalah utama pada pasien yang menjalani hemodialisa. Karena kebanyakan dalam kondisi normal manusia tidak dapat bertahan lebih lama tanpa asupan cairan dibanding dengan makanan. Namun bagi penderita gagal ginjal kronik harus melakukan pembatasan asupan cairan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Ginjal yang sehat melakukan tuganya menyaring dan membuang limbah dan racun dalam bentuk urin 24 jam sehari. Pada penderita gagal ginjal kronik terapi dialysis yang menggantikan tugas dari ginjal tersebut. Pasien dalam menjalani terapi hemodialisa, di Indonesia mayoritas dilakukan terapi hemodialisa 2 kali seminggu dan setiap tindakan selama 4-5 jam. Hal ini artinya tubuh harus menanggung kelebihan cairan diantara dua kali waktu terapi (YGDI, 2008).

Pembatasan asupan jumlah cairan bila tidak dilakukan oleh pasien maka cairan akan menumpuk di dalam tubuh dan menimbulkan edema di sekitar tubuh seperti tangan, kaki dan muka. Dapat juga terjadi penumpukan cairan didalam rongga perut yang membuat perut menjadi asites. Kelebihan cairan dalam tubuh akan memperberat kerja

(17)

jantung sehingga tekanan darah meningkat. Penumpukan cairan pada paru-paru akan mengakibatkan pasien sesak nafas. Pentingnya pasien harus membatasi cairan yang masuk karena akan mengakibatkan komplikasi ke sistem yang lain seperti dijelaskan diatas. Pembatasan cairan penting untuk dilakukan agar pasien tetap marasa nyaman pada saat sebelum, selama dan sesudah terapi hemodialisa (Brunner & Suddart, 2002; YGDI, 2008). Menurut Nicola (2002), mengatakan bahwa berat badan bersih sangat penting untuk mempermudah perawat dan pasien dalam menentukan caiaran selama pelaksanaan hemodialisa. Dimana perbandingan berat badan dan kebutuhan cairan adalah 1 kg sebanding dengan 1 liter cairan. Artinya berat badan pasien adalah merupakan metode sederhana dan akurat untuk menilai pertambahan maupun penggurangan cairan selama program hemodialisa berlangsung.

Peningkatan berat badan mengidentifikasi kelebihan cairan dalam tubuh. Dimana kenaikan yang diterima adalah 0,5 kg per tiap 24 jam diantara dialysis (Hudak dan Gallo, 1995). Kelebihan cairan dapat terlihat dari peningkatan berat badan secara cepat dapat diklasifikasikan sebagai berikut : penambahan berat badan 2% dari berat badan normal (berat badan kering) merupakan kelebihan cairan ringan, penambahan berat badan 5% dari barat badan normal (berat badan kering) merupakan kelebihan cairan sedang dan penambahan berat badan 8% dari berat badan normal (berat badan kering)

(18)

merupakan cairan berat (Prince & Wilson, 1995; Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2004 dalam buku Rahmawati 2008). Interdialytic Weight Gain (IWG) merupakan ukuran yang digunakan dalam pembatasan

cairan atau berat yang diperoleh selama hemodialisa. IWG dipengaruhi oleh ukuran tubuh, volume urin output, apa yang minum pasien, intake natrium, adanya riwayat diabetes mellitus (DM mempengaruhi intake cairan karena hiperglikemia menstimulasi haus), kontrol gula darah, cuaca dan self efficacy (kepercayaan diri pasien dalam mengatur pembatasan cairan).

Ketidakpatuhan dalam pembatasan cairan dapat juga diukur dengan berat badan pasien antara 2 sesi hemodialisa yang disebut berat badan interdialytic (IWG) dan penurunan berat badan selama sesi yang

disebut berat badan intradialytic (IWL). Cara menentukan ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan dapat dilihat dalam kelebihan berat badan anatara 2 sesi dialisis (IWG), dan yang hilang selama sesi dialisis (IWL). Seorang pasien dikatakan tidak patuh apabila kenaikan berat badan diantara waktu hemodialisa (IWG) > 5,7% (Kammerer, et al, 2007 & Denhaerynck, et,al, 2007). Penambahan berat badan diantara waktu hemodialisa berkaitan dengan kelebihan beban natrium dan air merupakan faktor penting yang menyebabkan hipertensi arteri saat hemodialisa (Lopez, et al, 2005). Penggukuran diantara waktu dialisis diukur berdasarkan berat badan kering (dry weigth) pasien dalam kondisi klinis. Berat badan kering

(19)

adalah barat badan tanpa kelebihan cairan yang terbentuk antara perawatan dialisis atau berat terendah yang aman dicapai pasien setelah dilakukan dialisis.

Menurut Kallenbach (2005), berat badan kering adalah berat badan yang harus dicapai oleh pasien setelah dilakukan terapi HD tanpa adanya edema dan tekanan darah pasien normal (tekanan sistolik antara 120-170 mmHg dan tekanan diastolik antara 80-100 mmHg). Dari beberapa pendapat berat badan kering adalah dilihat dari berdasarkan trial dan error dari evaluasi setiap 2 minggu sekali idealnya dan berdasarkan hasil pemeriksaan perawat dan dokter serta ahli diet serta tidak adanya eviden klinis seperti hipertensi, edema, peningkatan nadi leher dan nafas pendek (Thomas, 2003; Daugirdas, Blake dan Ing 2001 dalam Mithell, 2002; Cvengros et al, 2004 dalam Arnold, 2008).

Jamiatun (2013), melakukan penelitian Analisa faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pembatasan cairan pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Islam Jakarta Sukapura. Didapat hasil : Terdapat hubungan yang bermakna antara kepatuhan dengan lama hemodialisa (p=0,039), kepatuhan dengan pengetahuan (p=0,013), dan yang paling berhubungan dukungan keluarga dengan nilai OR 3,563.

(20)

Penelitian yang dilakukan oleh Komalasari (2014) melakukan penelitian Pengaruh edukasi metode TPB menggunakan booklet terhadap kepatuhan pembatasan asupan cairan dan interdialytic weight gain (IWG) pasien gagal ginjal termina di RSUD Al Ihsan Bandung

Barat Provinsi Jawa Barat. Dengan hasil untuk korelasi sikap, norma subyektif dan PBC terhadap intensi terdapat korelasi positif yang signifikan dengan nilai p < 0,01. Pengaruh intervensi edukasi TBP terhadap kepatuhan pembatasan asupan cairan tidak segnifikan dengan nilai p > 0,05, pengaruh intervensi edukasi TBP terhadap penilaian IWG signifikan dengan nilai p < 0,01dan korelasi kepatuhan pembatasan asupan cairan terhadap IWG tidak signifikan nilai p > 0,05 dengan arah korelasi negatif yang artinya semakin besar nilai kepatuhan maka IWG semakin kecil dan turun.

2. Pengaturan Diet

Pasien GGK penting untuk melakukan self care management dalam pengaturan diet untuk mempertahankan status nutrisi dan keseimbangan elektrolit. Kepatuhan dalam program diet yang telah dibuat sesuai dengan kondisi ginjal, dimana kecukupan kalori dan nutrisi yang dibutuhkan tubuh pada pasien yang menderita GGK. Pasien GGK yang mempunyai pengetahuan tentang diet, akan tetapi bila tidak mematuhi program diet dikatakan tidak melakukan program diet yang telah ditetapkan.

(21)

Malnutrisi menurut World Health Organization (WHO) adalah ketidakseimbangan antara asupan dan kebutuhan nutrisi untuk menjamin pertumbuhan yang optimal. Pengukuran status gizi Kejadian malnutrisi dapat dideteksi dengan pengukuran status gizi yang diperoleh melalui penilaian pemasukan diet (asupan makan) dan penilaian antropometri. Pasien hemodialisa beresiko tinggi mengalami malnutrisi energi-protein. Penilaian status gizi yang direkomendasikan oleh KDOQI (2000) adalah penilaian antropometri. Pengukuran antropometri adalah pengukuran yang dianggap sesuai sebagai indikator status kecukupan energi-protein pada pasien hemodialisis rutin.

Pasien yang menjalani HD berkaitkan dengan sindroma uremia yang menyebabkan anoreksia, mual, muntah yang inadekuat. Sehingga menyebabkan pasien cenderung menghindari makanan yang menyebabkan mual seperti yang mengandung protein (telur dan ikan). Pasien biasanya menggantinya dengan makanan berenergi tinggi (biskuit dan roti). Sehingga adekuasi HD berbanding lurus dengan asupan energi dan protein, artinya semakin tinggi adekuasi HD maka akan ada peningkatan asupan energi dan protein. Adekuasi HD berbanding terbalik dengan indeks massa tubuh, artinya semakin tinggi adekuasi HD maka IMT semakin rendah. Pengaruh asupan protein memegang peranan yang penting dalam penanggulangan gizi penderita gagal ginjal kronik, karena gejala sindrom uremik disebabkan

(22)

menumpuknya katabolisme protein tubuh oleh karena itu semakin baik asupan protein semakin baik pula dalam mempertahankan status gizinya (Almatsier 2005).

Pola makan harus dirubah pada pasien gagal ginjal yang menjalani HD sesuai dengan kondisi ginjal. Tujuan terapi diet dan intervensi nutrisi untuk mencapai dan menjaga status nutrisi yang baik, mencegah atau memperlambat penyakit kardiovaskuler, cerebrovaskuler dan penyakit vaskuler perifer, atau memperbaiki keracunan uremik dan gangguan metabolik lain, yang dipengaruhi nutrisi, yang terjadi pada gagal ginjal dan tidak dapat teratasi dengan HD (Cahyaningsih, 2009). Pasien HD harus mendapatkan asupan makanan yang cukup agar tetap sehat dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting untuk terjadinya kematian. Sehingga dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Menurut Suwitra dalam Sudoyo dkk, (2009) Adapun asupan diet yang dianjurkan adalah :

a. Asupan protein diberikan 1-1,2 g/kgBB/hari dengan 50% terdiri atas protein dengan nilai biologis tinggi seperti daging, ikan, telur, dan susu. Jenis daging yang tidak dianjurkan adalah jeroan, hati, usus, otak karena dapat meningkatkan asam urat dalam darah.

b. Asupan kalium diberikan 40-70 mg/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan.

(23)

c. Asupan natrium dibatasi 40-120 meq/hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus, mendorong pasien untuk minum berlebihan.

Berikut beberapa makanan dan porsi yang dianjurkan untuk pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa dalam Suwitra (2010): a. Nasi mempunyai jumlah kalori tertentu yang harus dimakan, setiap

hari diperbolehkan secara bebas mengkomsumsi nasi, dikarenakan pasien memerlukan kalori yang cukup tinggi untuk mengimbangi penyakit ginjalnya, kecuali yang menderita diabetes. Untuk pasien yang sering mengalami gangguan pada pencernaan disarankan untuk makan dalam porsi kecil beberapa kali (4-5 kali) dalam sehari. Tidak dianjurkan makan terlalu kenyang atau menunda sampai terlalu lapar

b. Garam dapat meningkatkan tekanan darah dan mengakibatkan sembab/bengkak. Sehingga garam hanya diperbolehkan paling banyak setengah sendok teh dalam sehari. Demikian pula makanan asin lainnya seperti kecap asin, bumbu penyedap dan lain sebagainya.

c. Buah-buahan dibatasi karena banyak mengandung kalium. Kalium ini banyak terdapat dalam buah sehingga dapat mengakibatkan kelainan jantung. Buah yang tidak boleh dimakan adalah durian, blimbing, air kelapa.

(24)

Buah yang boleh dimakan adalah pisang, pepaya, tomat, apel, mangga, melon. Untuk mengurangi kadar kalium dalam buah, dapat diupayakan dengan merebus buah tersebut atau dipotong-potong kemudian dicuci dan direndam dengan air hangat sehingga kalium yang terkandung didalamnya terlarut dalam air.

d. Sayur Sayur juga mengandung banyak kalium, oleh karenanya harus dibatasi. Beberapa jenis sayur yang dibatasi adalah bayam, buncis, kembangkol. Hal tersebut dikarenakan dapat meningkatkan asam urat. Kalium dalam sayur dapat dikurangi dengan cara memotong-motong terlebih dahulu kemudian dicuci dan dimasak.

e. Mengkomsumsi tahu/tempe karena tetap diperlukan oleh tubuh namun dengan jumlah yang terbatas. Jumlahnya paling banyak adalah 50 gram perhari.

3. Pengobatan

Dalam buku karangan Enday Suhendar tentang Gagal ginjal dan panduan terapi dialisis (2006), perubahan fungsi ginjal bersifat individual dimana setiap individu bervariasi akan lama terapi konservatif bulan sampai tahunan. Terapi konservatif ini bertujuan mencegah memburuknya fungsi ginjal secara progresif, meringgankan keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, mempertahankan dan memperbaiki metabolime secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

(25)

Terapi simtomatik yang sering diberikan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani HD adalah :

a. Asidosis metabolik

Pemberian asidosis metabolik harus dikoreksi pemberian karena meningkatkan serum kalium (Hyperkalemia), seperti suplemen alkali dan terapi alkali.

b. Anemia

Anemia normokrom normositer berhubungan dengan retensi toksin dan defisiensi hormone eritopoeitin. Pilihan utama pemberian terapi adalah Eprex 30-50U per Kg dan alternatif lain pemberian hormon androgen (Erythropoetin 2000 iu) dan pada anemia defisiensi Fe (besi) berhubungan dengan perdarahan saluran pencernaan dan kehilangan besi saat proses dialisis. Untuk kasus ini transpusi darah (PRC) merupakan salah satu terapi alternatif dan efektif. Dalam pemberian transpusi harus berhati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. Pemberian suplemen untuk mencegah perubahan tulang akan diberikan vitamin B dan untuk metabolime energi, serta vitamin C merupakan antioksidan bagi pembentuk kekebalan serta kolagen pembuluh darah.

c. Keluhan gastrointestinal

Keluhan yang sering dijumpai pada pasien yang menjalani HD adalah anoreksia, cegukan, mual, muntah. Untuk terapi diberikan obat-obatan golongan prochlorperazine dan trimethobenzamide.

(26)

d. Kelainan kulit

Keluhan gatal ditemukan 25% pada kasus GGK, meningkat pada pasien yang menjalani HD regular. Kulit kering dan warna kehitaman dapat diberikan terapi local seperti tropical.

Dalam buku karangan Andry Hartono dengan judul Rawat ginjal cegah cuci darah (2009), Pasien GGK yang menjalani HD biasanya mendapatkan terapi mengkomsumsi obat. Hal yang perlu diketahui oleh pasien berkaitan obat adalah jumlah obat yang diminum, waktu minum obat, dosisnya, jenisnya, kegunaan dan efek dalam tubuh pasien. Perlu juga dikehati-hatian mengomsumsi obat-obat yang bahannya berasal dari produk nabati, umumnya kaya akan kalium dan magnesium sehingga berbahaya pada pasien. Begitu juga pemakaian obat-obat secara bebas tidak dianjurkan karena salah satu fungsi ginjal mengelurkan zat sisa dari metabolime makanan seperti protein, zat-zat asing (obat bahan aditif pangan). Pasien mesti mengetahui tentang obat-obat yang harus dikonsumsi sesuai gejala yang dialami berdasarkan resep dokter, misalnya minum obat untuk menurunkan kadar fosfor ketika makan makanan dengan kandungan fosfor yang tinggi dengan dosis tepat (Kutner, 2002; Loghman-Adham, 2003). Dosis yang tepat meliputi jenis dan jumlah obat yang dikonsumsi benar serta waktu minum obat yang sesuai dengan resep dokter (Richard, 2006).

(27)

Penelitian yang dilakukan oleh Nurt (2008), tentang ketidakpatuhan terhadap resep diet pasien penderita panyakit gagal ginjal kronis dimana hasil penelitian bahwa pasien HD memiliki tingkat prevalansi ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan bervarasi antara 30-74% (berdasarkan self report atau yang dilaporkan sendiri), berdasarkan IWG berjumlah 10-60%, terhadap asupan kalium 2-39%, terhadap asupan pospor 9-57% dan terhadap regimen pengobatan 19-99%. Dampak dari ketidakpatuhan tersebut dilaporkan ada enam komplikasi penyakit yang terjadi antara lain : osteodystophy ginjal, klasifikasi metatastik, terjadi kematian dini, aritmia jantung (dampak ketidakpatuhan kalium), overload cairan dengan oedema paru, hipertropy ventrikel kiri dan gagal jantung (dampak ketidakpatuhan cairan dan natrium) serta malnutrisi energi dan protein.

4. Akses Vaskuler

HD membutuhkan aliran darah yang tinggi antara 250-450 ml/mnt, aliran sebesar itu tidak dapat dicapai dengan vena perifer. Sehingga proses HD membutuhkan akses vena sentral untuk menyediakan kebutuhan aliran darah tersebut (Cahyaningsih, 2009). Vasvular access adalah istilah yang berasal dari bahasa inggris yang berarti jalan untuk memudahkan mengeluarkan darah dari pembuluhnya untuk keperluan tertentu. Dalam kasus gagal ginjal terminal untuk proses HD. Adapun alasan Pemasangan akses vaskuler memudahkan dokter dan perawat untuk melakukan akses atau penusukan sehingga lebih mudah dan

(28)

mengurangi resiko dari penusukan yang dilakukan pada tempat lain seperti area femoral (Ronco 2004).

Menurut (Cahyaningsih, 2009; Ronco 2004) bentuk Vaskular Akses Untuk Terapi Ginjal Pengganti :

1. Sejenis alat berupa saluran atau kanula (kateter) yang dimasukan kedalam lumen pembuluh darah seperti sub clavia dan jugular. 2. Berupa pembuluh darah vena atau pembuluh darah buatan

(politetrafluroetilen nama dagang : gerotek) yang disambungkan (anstomosis) dengan arteri (Av shunt/Brecia cimino).

3. Bila dialisis dilakukan jangka panjang maka dibutuhkan akses permanen yang ideal (fistula, graft atau permacath) dan kanulasi akses temporer menggunakan vena besar (femoral, subklavia atau jugular internal) paling sering digunakan.

Akses permanen yang dipasang di internal digunakan pada pasien yang harus melakukan dialisis permanen, sehingga dilakukan persiapan tindakan dialisis yaitu Av Fistula/Av Shunt/Cimino. Pemasangan Av Fistula dibuat melalui anastomosis arteri secara langsung ke vena pada lengan yang tidak dominan (Price & Wilson, 2006). Tempat yang paling sering digunakan pada lengan bawah terletak arteri radialis dan vena cepalika. Pembuluh darah lain yang juga dapat digunakan seperti arteri ulnar dan vena basilika. Pada lengan atas arteri brachialis dapat dianastomosis dengan vena basilika (Cahyaningsih, 2009).

(29)

Teknik Penyambungan atau Anatomosis Pada Av fistula:

1. Side (sisi) to End (ujung) adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan pembuluh darah vena yang dipotong dengan sisi pembuluh darah arteri.

2. Side (sisi) to side (Sisi) adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan sisi pembuluh darah vena dengan sisi pembuluh darah arteri.

3. End (ujung) to End (ujung) adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan pembuluh darah vena yang dipotong dengan pembuluh darah arteri yang juga di potong.

4. End (ujung) to side (sisi) adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan pembuluh darah arteri yang dipotong dengan sisi pembuluh darah vena.

Teknik penyambungan side to end merupakan teknik yang sering dilakukan karena mempunyai aliran darah vena yang menuju ke jantung yang terbesar volumenya dan mencegah terjadinya hipertensi vena serta dapat mencegah pembengkakan. Av fistula memerlukan waktu untuk siap pakai setelah tindakan selama 4 sampai 6 minggu pulih dan segmen vena berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen besar dengan ukuran -14 sampai -16. Pasien dianjurkan untuk melakukan latihan guna meningkatkan ukuran pembuluh darah dengan meremas-remas bola karet untuk melatih fistula yang dibuat di lengan bawah. Dengan demikian pembuluh darah

(30)

yang sudah lebar dapat menerima jarum berukuran besar yang digunakan dalam proses hemodialisa (Smeltzer & Bare, 2002).

Menurut (Cahyaningsih, 2009; Li, Jiang & Lin, 2013; Wang & Nazawa, 2004) Hal-hal yang dilakukan dalam perawatan akses vaskuler untuk membantu menjaga fistula atau cangkok bekerja lagi dengan baik adalah :

1. Memeriksa aliran darah beberapa kali setiap hari dengan merasakan getaran, yang juga disebut denyut nadi. Bila ada perubahan yang dirasakan segera menghubungi dokter atau pusat dialisis.

2. Jangan memakai pakaian ketat atau perhiasan di lengan yang terpasang akses vaskuler, dan jangan membawa barang-barang berat atau melakukan apa pun yang akan memberikan tekanan pada akses vaskuler lebih dari 3 kg..

3. Saat tidur lengan yang terpasang akses vaskuler tidak boleh tertindih oleh kepala

4. Jangan menggunakan lengan yang terpasang akses vaskeler untuk pengukur tekanan darah, sama halnya juga dalam pengambilan darah

5. Meminta tim perawatan dialisis untuk memutar jarum bila masih ragu.

(31)

6. Selalu memberikan tekanan lembut untuk akses setelah jarum dicabut, karena terlalu banyak tekanan akan menghentikan aliran darah melalui akses.

7. Jika ada riwayat terjadi pendarahan setelah dilakukan dialisis, lakukan tekanan lembut untuk situs jarum dengan handuk bersih atau kain kasa. Jika pendarahan tidak berhenti dalam 30 menit, hubungi dokter atau pusat dialisis yang biasa dikunjungi.

8. Pasien bisa menyesuaikan aktivitas sehari-hari yang dilakukan seperti bekerja, melakukan pekerjaan rumah atau melakukan hoby dengan kondisi tubuhnya.

Perawatan akses vaskuler sehari-hari untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih buruk adalah :

1. Fistula atau Graft atau Av Shunt

a. Cucilah dengan sabun antibakteri setiap hari, dan selalu sebelum dialisis. Jangan menggaruk kulit atau pilih berkeropeng

b. Periksa kemerahan, panas, adanya bengkak pada akses vaskuler c. Tanyakan kepada tim perawatan dialisis untuk memutar jarum

ketika memiliki perawatan dialisis. 2. Kateter

a. Simpanlah kateter pada kain yang bersih dan kering. b. Pastikan area akses vaskuler sudah dibersihkan c. Perawatan dilakukan pada setiap sesi dialisis.

(32)

d. Siapkan sebuah kit (alat kesehatan) untuk mengganti dalam keadaan darurat di rumah dan jika diperlukan mengubah perlakuan.

e. Jangan pernah membuka kateter karena mengakibatkan udara masuk.

Pada penelitan ini perawatan akses vaskuler yang dimana pasien yang terpasang Av Shunt/Cimino pada lengan bawah terletak arteri radialis dan vena cepalika. Penelitian yang dilakukan Nasution Tina (2014) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan manajemen diri pada pasien yang menjalani hemodialisa, dengan hasil faktor pembiayaan (p=0,023), nilai-nilai yang terkait hemodialisa yang dimiliki pasien (p=0,046) dan kecemasan (p= 0,022).

E. Konseling (Counseling)

Konseling adalah proses belajar yang bertujuan peserta mengenal dan menerima diri sendiri serta realistis dalam proses strategi utama dalam proses bimbingan dan merupakan tehnik standard dan tugas konselor dalam pusat pendidikan. Konseling membantu memecahkan masalah pribadi, mengerti diri mengeksplorasi diri dan dapat memimpin diri sendiri dalam mengembangkan kesehatan mental, perubahan sikap dan tingkah laku ( Nurihsan, 2009).

(33)

Konseling merupakan metode pendekatan individual untuk membantu pasien menghadapi masalah pada pasien yang menjalani hemodialisa dan dapat memikirkan mengatasi masalahnya sendiri serta melakukan upaya yang dapat dilakukan dengan usaha sendiri (Notoatmodjo, 2007). Indrayani, et al., (2012) melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui efektifitas konseling untuk meningkatkan kedisiplinan hasil analisa melalui dua kali siklus yang pertama dilaksanakan tiga termin dan satu kali evaluasi, sedangkan untuk siklus ke dua dilakukan tiga termin dengan dua kali evaluasi menggunakan pillcount dan observasi. Dimana pada pertemuan awal menceritakan masalah, hambatan dan selanjutnya solusi serta evaluasi, hasilnya efektif dengan adanya perubahan derajat kedisiplinan.

Pendidikan kesehatan individual berbeda dengan konseling keperawatan, dimana penerapan konseling mempuyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Konseling sebagai proses yang dapat membantu klien dalam memahami dirinya dengan lebih baik, mengutarakan isi hatinya terutama hal yang bersifat sensitif dan sangat pribadi.

2. Konseling bertujuan membantu klien mengambil keputusan dalam memecahkan masalah

3. Beda halnya konseling dengan konsultasi maupun penyuluhan, dimana konsultasi memberikan nasehat bahwa penasehat seorang yang” ahli” dalam hal ini yang dihadapi masalah sedangkan penyuluhan merupakan penyampaian informasi dengan tujuan meningkatkan kesadaran.

(34)

Tahapan proses konseling meliputi tahap awal mengkaji masalah, tahap pertengahan melakukan tahap kerja dengan mendefinisikan masalah dan tahap akhir melakukan tahap tindakan (Willis, dalam buku Priyanto, 2009). Menurut Bursks dan Stefflre (dalam McLeod, 2006) bahwa konseling didesain untuk membantu pasien memahami tujuan diri mereka melalui pilihan yang telah diinformasikan sehingga dapat memecahkan masalah emosional dengan karakter interpersonal. Konseling efektif dapat dilakukan bila didasari adanya hubungan yang positif antara konselor dan pasien. Perawat dalam menjalankan fungsinya sebagai pelaksana konseling secara langsung memberikan pemecahan masalah dan dukungan pada pasien dalam prilaku yang mendukung kesehatan.

Penelitian yang dilakukan oleh Oom Komalasari (2013), Pengaruh konseling metode perilaku terhadap kepatuhan pengobatan klien TB paru fase intensif di wilayah kerja dinas kesehatan kabupaten karawang. Dengan hasil kelompok intervensi menunjukan bahwa tingkat kepatuhan responden meningkat dengan kenaikan 73% dan kelompok kontrol dengan kenaikan 24%, dengan hipotesia yang bermakna (p = 0,000). Dan pada kelompok intervensi didapat ada pengaruh tingkat kepatuhan sebelum dan sesudah konseling dengan p= 0,0001 (p=< α 0,05).

(35)

Komunikasi (communication) merupakan suatu proses penyampaian informasi antar-individu atau kelompok, baik secara verbal maupun nonverbal yang dapat menimbulkan respon timbal balik antara pengirim dengan penerima infornasi (Priyanto, 2009). Komunikasi dalam pendidikan kesehatan mempunyai sasaran dalam masyarakat adalah individu, kelompok atau masyarakat. Tujuan komunikasi kesehatan adalah menumbuhkan perubahan perilaku yang berkaitan dengan kesehatan dan perubahan pada derajat kesehatan. Dalam melakukan komunikasi dalam pendidikan kesehatan dengan menggunakan salah satu media merupakan alat bantu pendidikan yang disampaikan dengan tujuan untuk mempermudah penerimaan pesan-pesan kesehatan. Media yang dalam pendidikan kesehatan meliputi : media cetak seperti Booklet, Leaflet, Fiyer, Flip Chart, Rubrik, poster. Booklet adalah salah satu media untuk menyampaikan pesan kesehatan (Notoatmodjo, 2007) .

Booklet merupakan perpanduan antara leaflet dan buku atau sebuah buku

dengan format (ukuran) kecil. Struktur isinya menyerupai buku (pendahuluan, isi, penutup), hanya saja isinya lebih singkat daripada sebuah buku. Perkembangan booklet karena kebutuhan untuk menyediakan referensi (bahan bacaan) bagi kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan akses terhadap buku sember dengan berbagai kondisi. Dengan adanya booklet, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan seperti membaca sebuah buku, dengan waktu membaca sesingkat seperti leaflet (Simamora, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh

(36)

Fatimah (2004) dengan Pengaruh buku informasi yang diberikan kepada pengasuh pasien yang menjalani hemodialisis sebagai manajemen perawatan di rumah di unit vijaya diayisis, Chennai. Dengan hasil terdapat hubungan yang signifikan dengan (p < 0,01) pengaruh pemberian buku informasi menggunakan booklet terhadap peningkatan pengetahuan pada pengasuh pasien setelah dilakukan post test.

F. Kepatuhan

1. Definisi Kepatuhan

Kepatuhan (compliance) berarti mengikuti suatu spesifikasi standar atau hukum yang telah diatur dengan jelas yang biasanya diterbitkan oleh lembaga atau organisasi yang berwewenang dalam satu bidang tertentu. Kepatuhan adalah suatu prilaku manusia yang taat terhadap peraturan, perintah, prosedur dan disiplin, sedangkan tingkat kepatuhan adalah besar kecilnya penyimpangan pelaksanaan pelayanan dibandingkan dengan standar pelayanan yang ditetapkan sesuai anjuran (Notoatmodjo, 2007). Menurut Sarafino dalam Slamet (2007), mendefinisikan kepatuhan (ketaatan) adalah melaksanakan cara dan perilaku yang disarankan oleh orang lain, dan kepatuhan juga dapat didefinisikan sebagai perilaku positif dalam mencapai tujuan.

Menurut sacket definisi kepatuhan adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan atau keputusan dalam pengobatan, seperti diet, kebiasaan pola hidup, ketetapan dalam pengobatan.

(37)

Kepatuhan terhadap regimen terapi dan mencegah atau meminimalkan komplikasi adalah penting yang berkonstribusi untuk bertahan dan kualitas, pengontrolan cairan pada pasien penyakit ginjal yang menjalani hemodialisa merupakan faktor penting yang dapat menentukan keberhasilan terapi (Barnett et al, 2007). Menurut Yandianto Kamus Umum Bahasa Indonesia (2009), patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah, sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin.

Ley dan Spelman (1967) dalam Niven (2002) menyatakan bahwa lebih dari 60% pasien yang diwawancara setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan, dikarenakan tenaga professional kesehatan dalam penyampaian informasi tidak lengkap, menggunakan istilah medis, dan banyaknya instruksi yang harus diingat oleh pasien. Menurut Anderson (1986) dalam Niven (2002) dalam penelitiannya tentang komunikasi dokter dan pasien di Hongkong menyatakan pasien yang diberi 18 jenis informasi untuk diingat dalam setiap konsultasi, ternyata hanya 31% yang mampu mengingat saja. Ketepatan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit sangat penting.

Pengukuran tingkat kepatuhan pada pasien yang menjalani hemodialisa dikategorikan menjadi patuh bila perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan profesional kesehatan dan tidak patuh jika

(38)

klien menunujukan ketidaktaatan terhadap instruksi yang diberikan (Niven, 2002). Pada penelitian ini penulis mengaplikasi teori orem supporting-educative dalam memberikan konseling self care

management menggunakan media booklet dan hasilnya dilakukan

penggukuran tingkat kepatuhan pasien dalam menjalani hemodialisa menggunakan kuesioner.

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan

Menurut Stein et al dalam Niven (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah:

1) Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh pasien secara mandiri. Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi. Seperti informasi tentang segala hal yang dapat meningkatkan derajat kesehatan sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk perilaku seseorang terhadap pola hidupnya. Pada umunya

(39)

semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin mudah menerima informasi (Notoatmodjo, 2010). Begitu juga semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, dia akan cenderung untuk berperilaku positif karena pendidikan yang diperoleh dapat meletakkan dasar-dasar pengertian dalam diri seseorang (Azwar, 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Mollaoghu (2006), yang menjelaskan bahwa ada hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan self care pada pasien yang menjalani hemodialisa. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Budiman (2013) didapatkan adanya hubungan antara faktor pendidikan lebih tinggi memiliki tingkat kepatuhan terhadap tindakan kemoterapi. Hal sama pada penelitian Efek Edukasi terhadap Kepatuhan Suplemen oral Iron pada pasien hemodialisis yang dilakukan oleh Jones (2002), terdapat hubungan bermakna antara pendidikan dengan kepatuhan. Penelitian dilakukan di unit Hemodialisis Rumah Sakit di Kanada pada 39 sampel, terdapat karakteristik pendidikan terdiri atas pendidikan dasar sebesar 15 (38,5 %), pendidikan menengah 9 (23,0 %) dan pendidikan tinggi 15 (38,5 %) dengan hasil (Pvalue = 0,01). Menurut Krueger et al, (2005) dalam Kamerrer, (2007) pendidikan pasien berperan dalam kepatuhan, tetapi memahami instruksi pengobatan dan pentingnya perawatan mungkin lebih penting daripada tingkat pendidikan.

(40)

2) Akomodasi

Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian yang dapat mempengaruhi kepatuhan adalah jarak dan waktu, biasanya cenderung malas melakukan pada tempat yang jauh dan menghabiskan banyak waktu. Pasien yang lebih mandiri merasakan keterlibatan secara aktif dalam program pengobatan, berbeda dengan pasien yang mengalami ansietas sehingga lebih sulit untuk menjalani pengobatan. Feuerstein et al (1936) dalam Niven (2002) mengatakan bahwa jika tingkat ansietas pasien terlalu tinggi atau terlalu rendah, maka kepatuhan pasien menjadi kurang.

3) Modifikasi Faktor Lingkungan dan Sosial (Dukungan)

Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman. Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan. Lingkungan kerja berpengaruh besar pada kepatuhan, lingkungan yang harmonis dan positif akan membawa dampak yang positif, begitu juga sebaliknya lingkungan negatif akan membawa dampak buruk pada motivasi pribadi.

4) Meningkatkan Interaksi Profesional Kesehatan dengan Pasien Meningkatkan interaksi profesional dengan teman sejawat maupun antar profesi adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya secara lengkap

(41)

yang dinformasikan oleh tenaga kesehatan yang dipahami oleh pasien. Informasi yang diterima oleh pasien untuk menunjang melakukan konsultasi selanjutnya dapat membantu meningkatkan kepatuhan.

5) Perubahan Model therapy

Program terapi pengobatan yang dirancang lebih sederhana dan tidak menyakitkan, maka klien akan lebih aktif dalam mengikuti program terapi. Kesederhanaan dalam pengobatan dapat memperkuat selanjutnya dalam tindakan pengobatan dan mempengaruhi kepatuhan.

6) Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu, dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Fungsi pengetahuan merupakan dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencari penalaran dan mengorganisasikan pengalamannya. Adanya unsur pengalaman yang semula tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu akan disusun, ditata kembali atau diubah sedemikian rupa, sehingga tercapai suatu konsistensi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan, semakin baik pula kepatuhan (Azwar, 2007).

(42)

Pengetahuan pasien dapat diperoleh dari pendidikan non formal yang diberikan oleh petugas kesehatan melalui pendidikan kesehatan terkait penyakit danprogram pengobatan. Hal ini dapat mempengaruhi perubahan intelektual pasien, sehingga pasien memiliki kemampuan dalam menerima informasi dan mengambil keputusan (Purwanto, 2004). Selain itu pengetahuan pasien dapat diperoleh dari pengalaman pribadi dan belajar dari pengalaman orang lain yang memiliki riwayat penyakit dan pengobatan yang sama.

Penelitian oleh Jones (2002) tentang Efek Edukasi terhadap Kepatuhan Suplemen oral Iron pada pasien hemodialisis, bahwa terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan dengan kepatuhan dengan nilai pvalue 0,021 < α 0.05. Selain pengetahuan , motivasi, keyakinan, self efficacy merupakan hal yang penting untuk mematuhi prosedur pengobatan program HD tentang self care management dapat mempengaruhi terhadap kepatuhan (Morgan,

2000 dalam Kammerer 2007; Sabate 2001; Kammerer 2007).

7) Usia

Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) pada tahun 2006, menyatakan bahwa penderita gagal ginjal yang menjalani HD 49% berusia 35-55 tahun. Kasus GGK cenderung meningkat pada usia

(43)

dewasa karena proses perjalanan penyakitnya yang bersifat kronis dan progresif. (Smeltzer et al, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Dewi, Anita dan Syaifudin (2015) tentang hubungan lamamya HD dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal di RS PKU Muhammadiayh Yogyakarta sebagian besar responden berusia 41-60 tahun sebayak 32 (53,3%).

Kepercayaan masyarakat lebih tua akan dikatakan lebih dewasa dan dipercaya dibanding yang lebih muda. Dimana pengalaman dan kematangan jiwanya serta cara berpikir semakin baik. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja (Notoatmodjo, 2007). Semakin cukup usia, tingkat kematangan seseorang akan lebih dalam berpikir dan bertindak. Dan dari segi kepercayaan usia lebih tua lebih dipercaya daripada yang belum cukup kedewasaanya.

Usia yang bertambah akan meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan, berfikir rasional, mengendalikan emosi, toleran dan semakin terbuka terhadap pandangan orang lain termasuk pula keputusannya untuk mengikuti program-program terapi yang berdampak pada kesehatannya. Hasil penelitian menjelaskan ada hubungan yang positif antara usia dengan self care management pada pasien yang menjalani hemodialis, dimana

(44)

self care management pada pasien yang menjalani hemodialisa

(Curtin et al., 2008), sama halnya penelitian yang dilakukan oleh Washington (2013) yang menjelaskan bahwa pasien yang menjalani hemodialisa yang berusia lebih tua memiliki kemampuan self care lebih baik dibanding yang berusia lebih muda.

Penelitian yang dilakukan oleh Kim & Evangelista (2010) tentang Hubungan Persepsi Sakit, Kepatuhan dan Clinical Outcomes pada pasien Hemodialisis di Dialisis Center, Los Angeles California. Salah satu tujuan penelitian adalah mencari hubungan perilaku kepatuhan dengan sosio demografi, memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara usia (65 tahun keatas) dengan perilaku kepatuhan yaitu (p = 0.01). Artinya ketidakpatuhan pada usia muda beresiko untuk tidak patuh dibandingkan usia yang lebih tua. Perry & Potter, (2005) mengatakan bahwa usia dewasa merupakan masa pencapaian tanggung jawab sosial, membantu anak-anak menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan (Niven, 2002) antara lain :

a. Pemahaman tentang instruksi

Tidak seorang pun dapat mematuhi instruksi, jika ia salah paham atau tidak mengerti tentang instruksi yang diberikan padanya,

(45)

sering sekali disebabkan oleh kegagalan tenaga kesehatan dalam memberikan informasi lengkap, penggunaan istilah medis dalam memberikan instruksi yang harus diingat oleh pasien. Ketepatan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit akan meningkatkan pemahaman instruksi.

b. Kualitas Interaksi

Kualitas interaksi antara teman sejawat merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Tenaga kesehatan lebih bersikap ramah dan dalam memberikan informasi dengan singkat dan jelas. Kualitas berintraksi tidak berkaitan dengan lamanya konsultasi dan bukan panjang pendeknya waktu pemberian informasi. Akan tetapi lebih kekualitas interaksi yang tepat.

c. Isolasi sosial dan keluarga

Keluarga merupakan unit terkecil masyarakat yang terdiri 2 orang atau lebih dimana adanya ikatan persaudaraan atau pertalian darah, hidup dalam satu atap rumah tangga dan berintraksi satu sama yang lain, mempertahankan satu kebudayaan (Effendy, 2006). Keluaraga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. Dalam bersosial sering adanya jaringan sosial dimana individu meminta

(46)

pendapat tentang kesehatan, hal ini berperan penting dalam penentuan keputusan untuk mencari dan mematuhi anjuran pengobatan.

d. Keyakinan, sikap dan kepribadian klien

Becker et al (1978) dalam niven (2002), membuat suatu model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan. Dimana kegunaan penelitian memperkirakan ketidakpatuhan terhadap ketentuan untuk pasien yang menjalani hemodialisa kronis. Pasien diwawancara tentang keyakinan kesehatan mereka dan hasil pengukuran tiap-tiap dimensi sangat berguna untuk mengukur kepatuhan dalam pengobatan. Jadi pasien cenderung tidak patuh dari program pengobatan berhubungan antara professional kesehatan dan pasien, keluarga dan teman, keyakinan tentang kesehatan dan kepribadian seseorang berperan dalam menentukan respons pasien terhadap anjuran pengobatan.

Penelitian yang dilakukan oleh Ratna (2010), tentang faktor-faktor yang mendukung kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan, dengan hasil menyimpulkan adanya hubungan faktor internal (motivasi, perilaku kesehatan, persepsi pasien), faktor eksternal (pengetahuan, sikap, dukungan keluarga dan dukungan tenaga kesehatan dalam memberikan penyuluhan) terhadap kepatuhan pasien.

(47)

G. Konsep Dukungan Keluarga

1. Pengertian Keluarga

Keluarga merupakan sebuah sistem sosial kecil yang terbuka yang terdiri atas suatu rangkaian bagian yang sangat saling tergantungan dan dipengaruhi baik oleh struktur internal maupun lingkungan eksternal (Friedman, 2010). Sedangkan menurut BKKBN keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri atau suami istri dan anak-anaknya atau ibu dan anak-anaknya (Setyowati, 2008).

Dalam keperawatan keluarga ada istilah fungsi keluarga oleh Friedman (2010), dibagi menjadi lima fungsi yaitu : fungsi afektif, fungsi sosial, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi dan fungsi perawatan kesehatan. Dari kelima fungsi diatas, lebih difokuskan pada fungsi perawatan kesehatan yang mana keluarga mempunyai peranan fokus sentral untuk berfungsi dengan baik dan sehat. Pemenuhan fungsi kesehatan keluarga dapat menjai sulit, yang dapat dipengaruhi factor internal dan eksternal seperti struktur keluarga dan sistem pelayanan kesehatan. Agar keluarga dapat menjadi sumber kesehatan primer dan efektif, maka keluarga harus ditingkatkan keterlibatannya dalam tim kesehatan dan proses terapi. Peran partisipasi keluarga sangat dibutuhkan baik pada kebutuhan kesehatan promostif, preventif dan kuratif (Friedman, 2010)

(48)

Ketika mengkaji sebuah keluarga, khususnya ketika anggota keluarga mengalami masalah kesehatan, perawat harus mengkaji kemampuan keluarga untuk memberikan perawatan diri, motivasi keluarga dan kompetensi aktual dalam menangani masalah kesehatan. Keluarga perlu memiliki pemahaman mengenai status kesehatan dan masalah kesehatannya sendiri serta langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki atau memelihara kesehatan keluarga dalam upaya tanggung jawab terhadap self care management. Pengkajian mengenai kemampuan perawatan diri keluarga, yang berfokus pada pengetahuan, motivasi dan kekuatan atau koordinasi keterampilan motorik yang diperlukan untuk melakukan tugas perawatan fisik, memberikan landasan untuk evaluasi kebutuhan akan intervensi keperawatan. Keluarga yang mengemban tanggung jawab perawatan kesehatan bagi anggota keluarga yang lemah atau yang mengalami masalah kesehatan yang berat dapat mengalami tingkat ketegangan fisik dan emosional yang tinggi (Friedman, 2010)

2. Dukungan Keluarga

Friedman (2010), mengatakan dukungan keluarga adalah proses hubungan antara keluarga yang diperlihatkan melalui sikap, tindakan dan penerimaan keluarga yang terjadi selama hidup. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan internal yang didapat dari suami, istri atau saudara kandung dan dukungan eksternal dari keluarga inti. Dalam siklus kehidupan dukungan keluarga secara penuh dapat

(49)

meningkatkan adaptasi dalam kesehatan keluarga. Sedangkan menurut Taylor (2006), dukungan keluarga merupakan bantuan yang diberikan oleh anggota keluarga yang dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis pada orang yang dihadapkan pada situasi stres. Dukungan keluarga proses yang terjadinya selama masa hidup, dengan sifat dan tipe dukungan bervariasi pada masing-masing tahap siklus kehidupan keluarga. Walaupun demikian, dukungan keluarga memungkinkan keluarga berfungsi secara penuh dan dapat meningkatkan adaptasi dalam kesehatan keluarga (Friedman, 2010).

Hasil penelitian Lo (1999) dalam Hensarling (2009) mengindikasikan bahwa keberhasilan regimen terapi pada pasien DM berhubungan dengan dukungan keluarga yang baik.

Berdasarkan konsep oleh House & Khan yang tercantum dalam Friedman (2010) bahwa terdapat empat bentuk dukungan keluarga yaitu :

a. Dukungan Emosional

Keluarga merupakan tempat yang aman dan damai untuk beristirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Dukungan emosional meliputi dukungan diwujudkan dalam bentuk dimana keluarga memberikan perhatian, kasih sayang serta merasa empati sehingga pasien tidak merasa sendiri, yakin diperdulikan dan dicintai oleh keluarga. Menurut Petersow & Bredow (2004), dukungan emosional merupakan aspek yang

Gambar

Tabel 2.2 Manifestasi Klinis Penyakit Ginjal
Table 2.5 Perbedaan Strategi Manajemen Pengobatan Penyakit Ginjal

Referensi

Dokumen terkait

Karena dengan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini dengan judul “ KAJIAN FENOMENOLOGI PERAN GANDA WANITA

Dengan ini kami mengajukan permohonan bantuan Prosram Pemherdayaan pondok Pesantren untuk bidang Sarana Prasarana yang bertujuan untuk mengembangkan t merehabilitasi

Penelitian ini mengunakan model OLS untuk melihat pengaruh dari harga pupuk, infrastruktur, produksi padi, luas panen, dan inflasi terhadap nilai tukar petani sub

Disimpulkan bahwa lebih dari 56.25% atlet petanque Kabupaten Pekalongan memiliki tingkat kebugaran jasmani yang kurang baik, melihat hasil dari tes kondisi fisik

Ada 11 partisipan (27,5%) yang mengetahui bahwa sopi adalah minuman beralkohol, 4 partisipan (10%) mengatakan sopi merupakan minuman beralkohol yang dijadikan

Kapal yang berlayar di perairan wajib pandu secara tepat dan teratur kurang dari 24 jam serta dinakhodai oleh seseorang Nakhoda yang memiliki

· Bahan pemadaman yang tidak sesuai karena alasan keselamatan: Air dengan tekanan jet penuh · Bahaya khusus akibat dari zat atau campuran Tidak ada informasi lebih lanjut yang

berikutnya merupakan inti dari pemikiran atau gagasan Hujair A.H Sanaky yaitu strategi pendidikan islam dalam proses perubahan menuju masyarakat madani Indonesia