• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Putusan pengadilan merupakan produk penegak hukum yang didasarkan pada hal-hal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Putusan pengadilan merupakan produk penegak hukum yang didasarkan pada hal-hal"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

1

1. Permasalahan

1.1 Latar Belakang Masalah

Putusan pengadilan merupakan bagian dari proses penegakan hukum. Putusan pengadilan merupakan produk penegak hukum yang didasarkan pada hal-hal yang relevan, secara yuridis yang muncul secara sah di persidangan. Kualitas suatu putusan pengadilan menurut Artidjo Alkostar berkorelasi dengan profesionalisme, kecerdasan moral dan kepekaan nurani dari seorang hakim.

Dalam upaya menemukan dan menerapkan keadilan dan kebenaran, putusan pengadilan harus sesuai dengan tujuan asasi dari suatu putusan pengadilan tersebut. Tujuan putusan pengadilan sesungguhnya harus mengandung hal-hal sebagai berikut :

1) Harus mengandung solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak, dan tidak ada lembaga lain selain badan peradilan yang lebih tinggi, yang dapat mengoreksi suatu putusan pengadilan.

2) Harus mengandung efisiensi, yaitu cepat, sederhana, biaya ringan, karena keadilan yang tertunda itu merupakan suatu ketidakadilan (justice delayed is justice denied) tersendiri.

3) Harus sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan sebagai dasar dalam putusan pengadilan tersebut.

(2)

4) Harus mengandung aspek stabilitas, yaitu putusan pengadilan harus mengandung ketertiban sosial dan ketentraman masyarakat.

5) Harus mengandung fairness, yaitu suatu putusan pengadilan harus memberikan kesempatan yang sama bagi pihak-pihak (dalam perkara pidana yaitu pihak terdakwa atau jaksa) yang berperkara di pengadilan.1

Disamping hal-hal yang dikemukakan di atas, dalam perkara pidana berdasarkan KUHAP, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Berkaitan dengan fungsi putusan pengadilan harus memberikan kesempatan yang sama bagi pihak-pihak yang berperkara di pengadilan, hal tersebut sudah merupakan suatu prinsip universal yang menyatakan bahwa semua orang sama dan mempunyai hak yang sama di hadapan hukum serta berhak atas perlindungan hukum tanpa perlakuan atau sikap diskriminatif. Dan setiap orang berhak atas peradilan yang efektif dari pengadilan nasional jika ada pelanggaran hak-hak asasi yang dijamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan nasional.

Sejalan dengan asas tersebut, bahwa tidak seorangpun boleh ditangkap, ditahan atau diperlalukan secara sewenang-wenang dan setiap orang berhak diadili secara adil oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, baik mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajibannya maupun dalam tuntutan pidana yang ditujukan kepada terdakwa.

1 Artidjo Alkostar,2009, Dimensi Kebenaran dalam Putusan Pengadilan,Varia Peradilan, Majalah Hukum

(3)

Asas perlakuan yang sama dimuka hukum dan tidak membeda-bedakan perlakuan (tanpa diskriminasi) merupakan hak dasar bagi setiap orang. Tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam proses peradilan pidana tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat 1 Undang-undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum”, juga dalam Pasal 28 I ayat 2 Undang-undang Dasar 1945 menentukan bahwa : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap yang bersifat diskriminatif itu.

Sebagai tindak lanjut (follow up) dari ketentuan dalam konstitusi tersebut, hal itu juga terwujud dalam pasal dari Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Hal ini berarti bahwa setiap orang dihadapan pengadilan harus diadili secara bebas, adil serta tidak memihak dan tidak sewenang-wenang.

Sesuai prinsip due process of law, dimana dalam proses hukum yang adil tersebut, setidak-tidaknya meliputi :

1. Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara 2. Pengadilanlah yang berhak menentukan salah atau tidaknya terdakwa 3. Sidang pengadilan harus bersifat terbuka untuk umum, kecuali terhadap

(4)

4. Tersangka atau terdakwa harus diberikan jaminan untuk dapat membela kepentingan dirinya. 2

Bila dicermati, ternyata perlindungan hak asasi manusia lebih besar diberikan kepada tersangka atau terdakwa daripada korban dari tindak pidana itu sendiri. Jadi KUHAP di bangun pada saat gencar-gencarnya perhatian dunia terhadap hak-hak asasi manusia dari pelaku pidana, dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dengan mengabaikan hak asasi manusia korban yang menderita akibat perbuatan pelaku dari tindak pidana itu sendiri. Hal ini terbukti dalam KUHAP begitu minimnya ketentuan yang mengatur perlindungan terhadap korban tindak pidana, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum acara pidana hanya diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101, yang pada dasarnya ketentuan ini memberikan peluang kepada korban tindak pidana tersebut, untuk menggabungkan gugatan ganti kerugiannya kepada perkara pidana tersebut. Pasal 98 ayat (1) menyebutkan :

Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri menimbulkan akibat bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.3

Sementara Pasal 99 sampai Pasal 101 hanya berkaitan pada prosedur penggabungan ganti kerugian tersebut.

Oleh karena itulah, korban bukan hanya dimaksud sebagai obyek dari suatu tindak pidana, akan tetapi harus dipahami pula sebagai subyek yang perlu

2 I Gusti Ketut Ariawan,2008, Eksistensi Konsep Due Process of Law HAM dalam KUHAP, Bahan

Pendalaman Mata Kuliah (MK) Bantuan Hukum dan Penyantuan Terpidana, Program Magister Ilmu Hukum,

Universitas Udayana, Denpasar, hal 8.

3 Anonim,Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1996/1997, Undang-Undang Hukum Acara

(5)

mendapatkan perlindungan secara sosial dan hukum. Korban tindak pidana adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain yang mencapai pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi pihak yang dirugikan.4

Secara luas, pengertian korban bukan hanya sekedar korban yang menderita secara langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami penderitaan yang dapat dikualifikasikan sebagai korban. Korban tidak langsung disini seperti seorang istri kehilangan suami (seperti Suciwati yang kehilangan suaminya, Munir), seorang anak kehilangan bapaknya, orang tua kehilangan anaknya dan seterusnya.

Bahwa korban atau keluarga korban dalam mengekspresikan tuntutan terhadap pelaku tindak pidana tersebut kepentingannya telah diakomodasi oleh Jaksa, karena dalam perkara pidana Jaksa sebagai pihak dalam berperkara di Pengadilan, disamping mempresentasikan kepentingan negara dan masyarakat, juga mempresentasikan kepentingan korban atau keluarga korban.

Bertitik tolak dari pemikiran pengadilan memberikan kesempatan yang sama bagi pihak-pihak yang berpekara yaitu hal mana sudah merupakan sebagai suatu prinsip universal yaitu bahwa semua orang pihak-pihak sama dan mempunyai hak yang sama di hadapan hukum, oleh karena itulah Jaksa di samping mewakili kepentingan negara dan masyarakat juga sebagai presentasi mewakili kepentingan korban atau keluarga korban. Oleh karena itu Jaksa sebagai salah satu pihak dalam perkara pidana, tidak ditentukan secara tegas kewenangannya untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali , seperti hak yang diberikan secara tegas kepada

(6)

terpidana. Namun dalam perkembangan praktek peradilan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa /Penuntut Umum telah dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Hal ini diatur dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas mengaturnya, dimana Pasal 263 ayat 1 KUHAP menyatakan sebagai berikut :

Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Pengajuan Kembali kepada Mahkamah Agung.

Alasan-alasan yang dijadikan oleh Mahkamah Agung dalam mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum, misalnya dapat dilihat dalam perkara terdakwa Joko Soegiarto Tjandra, Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009, tanggal 11 Juni 2009, yaitu :

1. Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang secara tegas tidak dapat dimintakan permohonan kasasi, namun melalui penafsiran terhadap Pasal 244 KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung.

2. Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 jo Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 (sekarang Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman), dimana ketentuan Pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan Kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (negara). Oleh karena itu, pihak yang berkepentingan yang disebut dalam Pasal

(7)

21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 (sekarang Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) tersebut ditafsirkan adalah Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.

3. Pasal 263 ayat (3) menurut penafsiran Mahkamah Agung Republik Indonesia, maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa/Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar putusan Hakim diubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemidanaan dapat diubah dengan diikuti pemidanaan terhadap terdakwa.

4. Berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perseorangan (termohon Peninjauan Kembali ) dengan kepentingan umum, bangsa dan negara di lain pihak, di samping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili Kejaksaan tersebut dapat juga melakukan Peninjauan Kembali (PK).

5. Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di negara Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan Undang-undang diterapkan secara tepat dan adil, karena itu Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang masalah Peninjauan Kembali putusan Kasasi perkara pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP

(8)

dengan cara menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi) demi untuk adanya kepastian serta mengakomodasi kepentingan yang belum diatur dalam hukum acara pidana.

6. Berdasarkan argumentasi yuridis sebagaimana disebutkan di atas maka Mahkamah Agung berpendirian bahwa secara formal permohonan Kejaksaan untuk Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 398 K/Pid/1995 tanggal 29 Septemer 1995 dapat diterima oleh Mahkamah Agung RI sehingga dapat diperiksa kembali.

Mahkamah Agung atas dasar pertimbangan untuk memelihara keseragaman putusan Mahkamah Agung (consistency in court decision), maka Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili perkara Peninjauan Kembali terpidana tersebut, akan mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusan-putusannya yang terdahulu (yaitu putusan tanggal 25 Oktober 1996 Nomor 55 PK/Pid/1996, putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 Nomor 3 PK/Pid/2001 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Januari 2008 Nomor 109 PK/Pid/2007) tersebut diatas, yang secara formal telah mengakui hak atau wewenang Jaksa/Penuntut Umum untuk mengajukan permintaan Peninjauan Kembali .

Ternyata upaya-upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung, khususnya dalam Putusan Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 atas nama terdakwa Joko Soegiarto Tjandra, ternyata banyak pihak-pihak yang tidak sependapat dengan pendirian Mahkamah Agung tersebut, antara lain :

(9)

1. OC. Kaligis, SH berpendapat bahwa :

Sebenarnya Kitab Undang-Undang Hukum acara pidana (KUHAP) berkaitan dengan Peninjauan Kembali (PK) sebagai upaya hukum luar biasa amat sangat jelas. Pasal 263 KUHAP dan penjelasan tidak membuka peluang bagi Jaksa untuk melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK).

Sayang, upaya coba-coba Jaksa mendapatkan justifikasi dari judex juris. Kalau hukum acara yang merupakan lex certa ditabrak, maka terbuka peluang untuk menabrak pasal-pasal lain di dalam KUHAP.5

2. Herman Suryokumoro, berpendapat bahwa :

Bahwa hukum Peninjauan Kembali dalam KUHAP merupakan suatu sistem. Oleh sebab itu, menolak putusan Mahkamah Agung yang membenarkan Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum, dengan alasan bahwa putusan Mahkamah Agung itu sudah keluar dari sistem. Suatu sistem hukum yang berpihak pada landasan Peninjauan Kembali hanya ditujukan untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak terdakwa yang telah dirampas oleh negara secara tidak sah. Putusan Mahkamah Agung itu bertentangan dengan jiwa dibentuknya lembaga Peninjauan Kembali .6

3. Laden Marpaung, berpendapat bahwa :

5. H. Adami Chazawi, 2009 Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana,Penegakan Hukum

dalam Penyimpangan Praktek dan Peradilan Sesat, Penerbit Sinar Grafika,Jakarta hal. 5 (selanjutnya disebut

H.Adami Chazawi I)

(10)

- Pengajuan Permohonan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum selama ini belum lumrah, sebagaian para pakar telah mengungkapkan keberatan atau ketidak setujuan pendapat-pendapat para pakar tersebut ada yang berbeda meremehkan Mahkamah Agung.7

4. Adami Chazani, berpendapat :

- Bahwa putusan Mahkamah Agung yang membenarkan alasan pengajuan permintaan Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum, merupakan putusan yang dengan jelas memperlihatkan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana dimaksud Pasal 263 ayat 2 huruf c KUHAP hal ini dapat dimasukkan ke dalam putusan peradilan sesat dalam hukum, bukan sesat dalam hal dan karena fakta8

Bukan hanya dikalangan para pakar saja yang tidak sependapat dengan upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum, juga sikap tidak setuju tersebut juga ditunjukkan oleh anggota majelis yang menangani perkara Nomor 12.PK/Pid.Sus/2009 atas nama terdakwa Joko Soegiarto Tjandra, yang mengambil posisi dissenting opinion yaitu

a. Komariah E. Sapardjaja, dengan pendapatnya sebagai berikut :

- Bahwa dalam sejarah pembentukan KUHAP, masalah Peninjauan Kembali disampaikan oleh pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 9 Oktober 1979 (vide Sejarah Pembentukan Undang-Undang

7 Laden Marpaung,2000, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana, Sinar

Grafika, Jakarta, hal 84-85 (selanjutnya disebut Laden Marpaung I)

(11)

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara pidana, disusun oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Depertemen Kehakiman RI, Jakarta, Jakarta, 2 April 1982, halaman 119). Masalah Peninjauan Kembali tersebut telah ditanggapi oleh berbagai Fraksi di DPR, bahwa “Lembaga Peninjauan Kembali ini justru dijadikan untuk melindungi kepentingan terpidana” sehingga tidak sulit untuk disepakati.

- Bahwa Pasal -Pasal tentang Peninjauan Kembali, harus ditafsirkan secara sistematis dengan Pasal 3 KUHAP dan Pasal 182 ayat (1) huruf b, yang menyatakan bahwa : “dengan ketentuan bahwa terdakwa atau Penasehat Hukum selalu mendapat giliran terakhir”, maka jelaslah bahwa Peninjauan Kembali adalah juga upaya hukum luar biasa bagi terpidana, dan bukan bagi Jaksa/Penuntut Umum. - Bahwa dalam bagian “menimbang” dalam Undang-Undang RI Nomor

8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana butir c, telah digariskan “bahwa Pembangunan Nasional di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia”.

- Bahwa alasan-alasan yang dikemukakan diatas adalah alasan yuridis untuk membantah dalil Jaksa/Penuntut Umum (Pemohon Peninjauan

(12)

Kembali, pada halaman 6 Memori Peninjauan Kembali ), bahwa dilarang Jaksa/Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali . - Bahwa dalam sejarah perjuangan hak asasi manusia khususnya

tentang asas legalitas dalam KUHAP ( jo Pasal 3 KUHAP) yang merupakan hasil perjuangan rakyat terhadap rezim kekuasaan absolut pada zaman ancient regime, sehingga diperlukan jaminan kepastian hukum bagi perlindungan individu dari kesewenang-wenangan penguasa, adalah alasan historis utuk membantah dalil Jaksa/Penuntut Umum seperti disebutkan di atas.

b. Suwardi, berpendapat :

- Bahwa alasan-alasan Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, oleh karena :

1. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menerapkan peraturan secara umum tentang Peninjauan Kembali , sedangkan Peninjauan Kembali dalam perkara pidana diatur secara khusus dalam Pasal 263 KUHAP.

2. Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terdakwa atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung”.

(13)

a) Bahwa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat diajukan permintaan Peninjauan Kembali .

b) Yang berhak mengajukan permintaan Peninjauan Kembali hanya terdakwa atau ahli warisnya. Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali .9

Atas pendapat yang kontra itu, ada pakar hukum yang sependapat dengan pendirian Mahkamah Agung dalam mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/ Penuntut Umum, yaitu :

- Muhamad Alim, berpendapat bahwa :

- Apabila sebagai narapidana, karena putusan perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap dan sudah dieksekusi, sebab permohonan Peninjauan Kembali tidak menunda eksekusi sesuai ketentuan Pasal 268 ayat 2 KUHAP, masih diberikan kesempatan untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, yang ketentuan ini adalah ketentuan hukum acara yang harus memperlakukan sama terhadap semua pihak betapa tidak adilnya jika Jaksa/Penuntut Umum yang mewakili masyarakat pada umumnya, korban pada khususnya, tidak diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali . Adalah suatu perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) apabila seorang narapidana sangat dilindungi, sementara korban yang dalam perkara pidana diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum tidak diberikan perlindungan yang sepadan dengan terpidana dalam hal ada Novum untuk memohon Peninjauan Kembali. terpidana sudah nyata, berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah orang yang bersalah masih diberi kesempatan untuk mengajukan Peninjauan Kembali sementara korban yang diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum adalah orang yang baik yang telah dizalimi oleh terpidana, tetapi tidak diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali.10

9 Ibid. hal. 134-135

10 Budi Suharianto,2012, Peninjauan Kembali Putusan Pidana oleh Jaksa Penuntut Umum, Pusat

(14)

Terjadinya perbedaan pendapat diantara para pakar hukum terhadap dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum oleh Mahkamah Agung, akan tetapi Mahkamah Agung tetap secara konsisten terhadap pendiriannya tersebut, hal ini terbukti dengan dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara terdakwa Ram Gulunal pada tahun 2001, pada tahun 2006 dalam perkara terdakwa Soetyawati dan terakhir pada tahun 2007 Mahkamah Agung juga menerima permohonan Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara Pollycarpus.11

Melihat problem dalam permasalahan upaya hukum Peninjauan Kembali, bagaimana sebaiknya nanti upaya hukum Peninjauan Kembali diatur pada masa yang akan datang, apabila Jaksa/Penuntut Umum ternyata dapat membuktikan adanya kesalahan atau memiliki alasan-alasan seperti yang ditentukan dalam Pasal 263ayat 1 KUHAP, ketika putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun harus disadari dalam praktek peradilan bahwa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ternyata terdapat kekeliruan atau kesalahan baik mengenai faktanya maupun dalam penerapan hukumnya. Atas peristiwa tersebut lembaga upaya hukum Peninjauan Kembali sebagai sarana rekorektif terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diharapkan benar-benar dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi, tanpa meninggalkan asas keadilan maupun asas kepastian hukum. Oleh karena itu untuk memahami upaya hukum Peninjauan Kembali itu secara menyeluruh, perlu dikaji secara utuh, lembaga upaya

(15)

hukum Peninjauan Kembali dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP).

Sesuai ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP bahwa yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali : “hanya terpidana atau ahliwarisnya”. Dalam ketentuan tersebut seolah-olah upaya hukum Peninjauan Kembali, menutup kemungkinan hak Jaksa/Penuntut Umum untuk dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali.

Kalau disimak secara seksama dan mendalam dari ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP tersebut, disana disebutkan “...kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung”, menjadi pertanyaan sekarang, terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, siapa yang dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali tersebut, sedangkan penjelasan Pasal 263 ayat 1 KUHAP, hanya disebutkan cukup jelas, menurut penulis dalam ketentuan tersebut terdapat “norma kosong”.

Begitu juga dalam ketentua Pasal 263 ayat 3 ditentukan bahwa : “ Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut Pasal 263 ayat 2 (dari Pasal 263 KUHAP), terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan permohonan Peninjauan Kembali apabila dalam putusan itu sudah dinyatakan terbukti tapi tidak diikuti suatu pemidanaan. Dalam ketentuan Pasal 263 ayat 3 KUHAP tersebut juga tidak menjelaskan siapa yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali tersebut. Ternyata dalam Penjelasan

(16)

dari Pasal 263 ayat 3 KUHAP juga hanya dinyatakan cukup jelas, oleh karena itu dalam ketentuan tersebut juga dapat dipandang sebagai “norma kosong”.

Atas ketidak jelasan dari pada ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP maupun Pasal 263 ayat 3 KUHAP itulah, telah dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung dalam mengabulkan permintaan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara Joko Soegiarto Tjandra, perkara Nomor : 12 PK/Pid Sus /2009, tanggal 11 Juni 2009, dalam pertimbangannya pada angka 3 sebagaimana telah diuraikan diatas.

Selanjutnya hemat penulis, terlepas dari diskursus terhadap upaya hukum hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum tersebut, namum yang menjadi masalahnya sekarang bagaimana pengaturan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana terkait dikabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum, sehubungan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009.

Berdasarkan atas permasalahan tersebut diatas, penulis tertarik dan memandang perlu untuk membahas dan menulis tesis ini yang berjudul :

“Pengaturan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana, (terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum”)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan isu hukum yang telah diuraikan sebagaimana tersebut di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian tesis ini adalah :

(17)

1. Bagaimanakah pengaturan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum?

2. Bagaimanakah sebaiknya pengaturan upaya hukum Peninjauan Kembali dimasa datang untuk tetap dapat mencerminkan rasa keadilan bagi pencari keadilan?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Suatu permasalahan yang akan dibahas perlu dibatasi pada segi tertentu yang dianggap penting serta yang perlu diketahui. Dalam setiap penulisan karya ilmiah perlu diadakan pembahasan secara tegas mengenai hal-hal yang perlu dijadikan inti permasalahan yang akan dibahas. Bertitik tolak dari hal tersebut guna mencegah cakupan permasalahan pengaturan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa /Penuntut Umum, diperlukan batasan-batasan dimana ruang lingkup pembahasannya adalah bagaimana hak terpidana untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diberikan oleh undang-undang, terhadap ketentuan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 24 ayat 2 Undang-undang 48 tahun 2009), ketika upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan oleh Mahkamah Agung.

1.4 Tujuan Penelitian

(18)

Secara Umum penelitian ini untuk mendiskripsikan mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam praktek peradilan di Indonesia

b. Tujuan Khusus :

1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum.

2. Untuk mengatahui, apakah terpidana dapat mengajukan Peninjauan Kembali, terkait dikabulkannya, Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum.

3. Untuk menemukan konsep hukum bagaimana upaya hukum Peninjauan Kembali sebaiknya diatur secara tegas di masa yang akan datang, supaya tidak menimbulkan multi-tafsir atas dasar pertimbangan keadilan dan perikemanusiaan.

1.5 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk kalangan praktisi dan kalangan akademisi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan hukum acara pidana, yang ternyata sekarang paradigma yang berkembang bukan semata-mata hanya memberikan perlindungan hukum terhadap pelaku tindak pidana saja, tetapi juga memberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana itu juga tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan.

(19)

b. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam rangka perubahan hukum acara pidana yang akan datang, agar upaya hukum Peninjauan Kembali tidak lagi menimbulkan mutitafsir.

1.6 Originalitas Penelitian

Sepengetahuan penulis, Penulis menemukan tesis yang judulnya hampir mirip dengan judul tesis yang penulis ajukan :

1. Bona Fernandez MT. Simbolon, tesis tahun 2009 Universitas Sumatera Utara, Medan, dengan judul : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana.

Dalam tesis ini masalah yang dikaji mengenai :

a) Apakah Jaksa/Penuntut Umum berwenang untuk melakukan permohonan Peninjauan Kembali menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

b) Bagaimana dengan praktek Peradilan Indonesia apakah yang membenarkan Jaksa/Penuntut Umum untuk melakukan permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

c) Alasan-alasan apakah yang digunakan oleh Jaksa/Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali dalam praktek peradilan.

2. Rio Adhitya Wicaksono, tesis tahun 2010, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jawa Timur – Surabaya, dengan judul : Kewenangan Jaksa/Penuntut Umum Dalam Pengajuan Peninjauan Kembali Perkara

(20)

Tindak Pidana Korupsi, studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 / Pid.Sus / 2009, terpidana Joko Sugiarto Tjandra.

Dalam tesis ini masalah yang dikaji mengenai :

a) Mengapa Jaksa/Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara tindak pidana korupsi.

b) Bagaimana cara pembuktian Novum (keadaan baru) dalam kehilafan hakim.

c) Apa dasar pertimbangan Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum dalam praktek tindak pidana korupsi.

Bila judul tesis tersebut bermiripan akan tetapi permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidaklah sama dengan penelitian-penelitian tersebut. Permasalahan dan penyajian dalam penelitian ini merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri yang di dasarkan pada referensi buku-buku dan informasi. Maka berdasarkan pada alasan-alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah, karena penekanan pada penelitian ini belum pernah memperoleh kajian oleh peneliti-peneliti lainnya. Oleh karena itu penelitian yang penulis lakukan dapat dikemukakan bersifat orisinal dan layak untuk dijadikan sebagai obyek penulisan dalam bentuk tesis.

1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berfikir

1.7.1 Landasan Teoritis

Sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian maka diperlukan landasan teori. Landasan teori sebagai landasan berfikir yang

(21)

bersumber dari suatu teori yang sering diperlukan sebagai tuntutan untuk mengucapkan berbagai permasalahan dalam sebuah penelitian. Landasan teori tersebut juga merupakan upaya untuk mengidentifikasi teori-teori hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum serta norma-norma hukum.12

Dalam tesis (tulisan) ini tentang Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana (terkait dikabulkannya Upaya Hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum), akan dibahas lebih luas dan lebih mendalam. Sebagaimana upaya hukum (rechts middelen) lainnya, seperti perlawanan, banding, kasasi dimana upaya hukum Peninjauan Kembali dalam proses peradilan pidana dapat dikatakan bagian dari proses penegakan hukum sebagaimana pendapat dari Bagir Manan. 13 Penegakan hukum di Indonesia sejalan dengan perkembangan masyarakat telah banyak mengalami pergeseran peradigma, sesuai KUHAP telah terjadi perlakuan yang cukup besar terhadap tersangka atau terdakwa, dimana tersangka atau terdakwa, sejak pada tingkat penyidikan sudah dapat didampingi oleh Penasehat Hukum.

Upaya penegakan supremasi hukum, menurut Nyoman Serikat Putra Jaya, harus ditegakkan asas persamaan didepan hukum (equality before the law) yang didukung oleh Kekuasaan Kehakimanyang merdeka dari segala pengaruh (baik internal maupun eksternal) sebagai

12 Anonim, 2008, Buku Pedoman Pemeriksaan Usulan Penelitian dan Tesis Program Magister Ilmu

Hukum, Universitas Udayana, hal 10.

13 Bagir Manan,2005, “Penegakan Hukum yang Berkeadilan,” dalam Varia Peradilan Tahun ke XX

(22)

langkah dalam menciptakan sistim checks and balances antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif agar tidak terjadi dominasi kekuasaan oleh salah satu cabang penyelenggaraan negara tersebut. 14

Terkait dengan proses penegakan hukum, menurut Bagir Manan terdapat dua aspek penting dalam keberhasilan penegakan hukum tersebut, yaitu tata cara penegakan hukum (prosudural justice). 15 Tata cara dimaksud adalah tata cara untuk mewujudkan keadilan, karena menurut Bagir Manan, tujuan mewujudkan keadilan hanya dapat dicapai dengan cara-cara yang adil pula. Penegakan hukum sebagai suatu proses menurut Wayne La Favre sebagaimana dikutif Soerjono Soekamto, pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. 16

Berkaitan dengan pendapat-pendapat tersebut diatas, dalam pandangan Satjipto Rahardjo, menyatakan penegakan hukum pada hakekatnya berbicara tentang penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang notabene adalah abstrak. Dikatakan demikian karena pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak. Karenanya Satjipto Rahardjo mengelompokkan pendapat Gustav Radbruch sebagai yang abstrak

14 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008, Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana, PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 132.

15 Bagir Manan, Op.cit hal 10.

16 Soerjono Soekamto, 2008, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo

(23)

tersebut termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. 17

Bertitik tolak dari pendapat-pendapat para sarjana tersebut, dapat dikatakan bahwa upaya hukum (rechts middlelen) baik perlawanan, banding, kasasi maupun Peninjauan Kembali merupakan bagian dari proses penegakan hukum, karena pada hakekatnya upaya hukum (rechts middelen) juga merupakan upaya mewujudkan ide mencapai keadilan ataupun kepastian hukum serta kemanfaatan sosial.

Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 12 dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana bahwa upaya hukum (rechts middlelen) adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP). Secara singkat eksistensi upaya hukum tersebut adalah upaya untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran materiil (materiil waarheid) bagi terdakwa/terpidana maupun Jaksa/Penuntut Umum dari pengadilan yang lebih tinggi. 18

Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, maksud dari upaya hukum pada pokoknya adalah untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya dan

17 Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta,

(selanjutnya disebut Satjipto Raharjo I) hal 12.

18 Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktek, Tehnik Penyusunan

(24)

untuk kesatuan dalam peradilan.19 Disamping itu Martiman Prodjohamidjojo juga menyatakan bahwa upaya hukum adalah alat untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan atas putusan hakim. 20

Adapun tujuan daripada upaya hukum itu sendiri pada dasar sebagai berikut:

a. Diperolehnya kesatuan dan kepastian dalam hal menyatakan peradilan (operasi justice)

b. Melindungi tersangka terhadap tindakan-tindakan yang bersifat sewenang-wenang dari hakim

c. Memperbaiki kealpaan –kealpaan dalam menjalankan peradilan d. Usaha dari para pihak, baik terdakwa maupun Jaksa memberikan

keterangan baru (novum).

Peninjauan Kembali (herzeining) sebagai upaya hukum luar biasa, mulai serius dibicarakan setelah munculnya kasus Sengkon dan Karta. Karena pada saat itu telah terjadi kesalahan negara yang telah terlanjur menghukum Sengkon dan Karta, yang kemudian terbukti tidak bersalah karena itu diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1980 yang sifatnya sementara. Sifat sementara ini dikarenakan hukum acara mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali tidak seharusnya dibuat dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung, melainkan harus melalui undang-undang. Namun dalam keadaan yang sangat mendesak

19 Anonim, 1982, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Yayasan

Pengayoman, Jakarta, hal 159.

20 Martiman Prodjohamidjojo, 1982, Komentar Atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,Jakarta,

(25)

Mahkamah Agung kembali mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 yang sudah dicabut karena mendapat reaksi dari pihak parlemen. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 dikeluarkan mengacu kepada Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. 21 Melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980, upaya hukum Peninjauan Kembali terhadap perkara pidana ketika itu menjadi dimungkinkan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 nya, untuk mengatasi perkara Sengkon dan Karta. Selanjutnya setelah lahir Kitab Undang-undang Hukum Acara itu, ketentuan upaya hukum Peninjauan Kembali telah diatur dalam ketentuan Pasal 263 ayat 2 KUHAP.

Dalam perkembangan praktek peradilan selama ini, upaya hukum Peninjauan Kembali bukan saja diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya, tetapi juga diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Adapun beberapa perkara pidana yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum upaya hukum Peninjauan Kembali, yang telah diputus oleh Mahkamah Agung seperti perkara Muchtar Pahpahan, perkara Ram Gulumal alias V.Ram (The Gandhi Memorial School), Soetiawati alias Ahua binti Kartaningsih, perkara Joko Soegiarto Tjandra, serta perkara Pollycarpus Budihari Priyanto, terlihat Mahkamah Agung telah menyimpang dari ketentuan Pasal 263 KUHAP.disamping memperlihatkan kesan tidak adanya konsistensi dalam penerapan Undang-undang (KUHAP) oleh

21 H.R, Otje Salman,S dan Anton F. Susanto, 2007, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, hal 22.

(26)

Mahkamah Agung dalam mengadili perkara yang dimohonkan upaya hukum Peninjauan Kembali, karena dalam penegakan hukum pidana akan menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dan juga menimbulkan ketidak adilan karena Mahkamah Agung dengan Surat Edarannya Nomor 10 Tahun 2009 telah melarang permohonan upaya hukum Peninjauan Kembali lebih dari satu kali dan memerintahkan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dengan penetapannya untuk menyatakan permohonan upaya hukum Peninjauan Kembali itu dinyatakan tidak dapat diterima, bila permohonan Peninjauan Kembali diajukan lebih dari satu kali. Padahal sesuai norma ketentuan Pasal 263 KUHAP bahwa yang berhak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali adalah terpidana atau ahli warisnya, sementara karena perkembangan praktek saja, kemudian Jaksa/Penuntut Umum dibolehkan mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali semestinya untuk keadilan, bila kemudian setelah upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum, ternyata kemudian terpidana memiliki fakta hukum baru (novum) yang potensial dapat melumpuhkan putusan sebelumnya, kepada terpidana juga harus diberikan kesempatan atau dibuka ruang untuk dapat mengajukan Peninjauan Kembali.

Untuk menjawab permasalahan tersebut perlu diklarifikasi secara akademik melalui teori-teori yang berkaitan. Dalam Shorter Oxford Dictionary dikatakan bahwa definisi teori adalah merupakan suatu skema atau sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan

(27)

atau keterangan dari sekelompok fakta atau fenomena ...suatu pernyataan tentang sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu yang diketahui atau diamati.22 Dalam tesis ini teori-teori dimaksud untuk menggambarkan dan menjelaskan suatu fenomena tertentu yang berkaitan dengan pengaturan hak, pengaturan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Bagi Terpidana (Terkait Dikabulkannya Upaya Hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum). Penguraian landasan teoritis ini berangkat dari teori atau konsep antara lain :

1.7.1.1 Teori Keadilan dari John Rawls

Bahwa Pasal 263 ayat (1) sampai ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang mengatur tentang upaya hukum Peninjauan Kembali harus memberikan rasa keadilan, baik terhadap pelaku tindak pidana tersebut maupun korban dari tindak pidana, dengan memberikan keadilan prosedural kepada kedua pihak tersebut. Sedangkan pihak korban, kepentingannya diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum.

Sejalan dengan pemikiran di atas, dalam yurisprudensi tersebut (Perkara Nomor 275 K/Pid/1983 tanggal 10 Desember 1983) dapat dijelaskan antara lain dari pertimbangan hak asasi antara kepentingan perseorangan (Termohon Peninjauan Kembali ) dengan kepentingan umum, bangsa dan negara. Di lain pihak, disamping perseorangan

22 H.R, Otje Salman,S dan Anton F. Susanto, 2007, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan

(28)

(terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan tersebut dapat pula melakukan Peninjauan Kembali .

Bahwa pertimbangan tersebut di atas, sesuai dengan model yang bertumpu pada konsep “daad-dader-strafrecht”, yang oleh Muladi disebut model “keseimbangan kepentingan”, yaitu model yang realistis yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan23 dan selaras pula dengan tujuan hukum dari filsafat hukum

Pancasila, yaitu pengayoman. Dimana hukum harus mengayomi semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana maupun korban tindak pidana.

Dalam praktek acapkali menghadapi kasus perkara yang dalam penerapan hukumnya telah terjadi benturan kepentingan. Di satu sisi kepentingan kepastian hukum yang bermuara pada aspek prosedural, dan di sisi lain berhadapan dengan kepentingan kebenaran dan keadilan yang bermuara pada kepentingan umum atau negara. Harus disadari bahwa nilai keadilan dan kebenaran tidak dapat diperoleh dari fungsinya aspek kepastian hukum, akan tetapi ditentukan oleh faktor keseimbangan aspek perlindungan hukum terhadap korban maupun pelaku kejahatan. Oleh karena itu, konsekuensinya semakin serius akibat dan sifat kejahatannya, maka semakin besar pula tuntutan nilai keadilan yang harus dicapai dan

(29)

melebihi dari tuntutan nilai kepastian hukum. Dengan kata lain, agar dapat mencapai nilai keadilan dan kebenaran yang lebih tinggi, hakim harus berani mereduksi nilai kepastian hukum.24

Pendirian diatas sejalan dengan praktik peradilan yang terjadi selama ini, seperti dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yaitu : dalam perkara Mochtar Pakpahan, Ram Gulumal alias V Ram (kasus The Gandhi Memorial School ), Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih, Joko S Tjandra maupun Pollycarpus budihari Priyanto, telah terjadi reduksi terhadap nilai kepastian hukum yang terkandung dalam norma Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Dalam beberapa putusan tersebut Mahkamah Agung dalam tingkat Peninjauan Kembali telah menerima permintaan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung mana telah menyimpang dari norma yang terdapat dalam KUHAP, karena sesuai ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP, Jaksa/Penuntut Umum bukan sebagai pihak yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, melainkan pihak yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali adalah terpidana atau ahli warisnya saja. Disini menunjukkan dari Mahkamah Agung telah melakukan langkah mereduksi nilai kepastian hukum yang terdapat dalam norma Pasal 263 ayat 1 KUHAP.

Terhadap pendirian Mahkamah Agung dalam putusan-putusannya tersebut, bagi kalangan yang menganut aliran positivisme

(30)

atau analytical positivism atau rechts dogmatick, yang cenderung melihat bahwa hukum sebagai suatu otonom, bahwa tujuan hukum tidak lain dari sekedar mencapai terwujudnya kepastian hukum, 25 dengan demikian putusan Mahkamah Agung tersebut diatas sudah tentu dipandangnya telah melampaui kewenangannya, karena telah meriduksi nilai kepastian hukum yang ditentukan undang-undang. Karena sesuai pandangan aliran positivisme, bahwa penyimpangan terhadap undang-undang juga dianggap telah meniadakan kepastian hukum. Kesimpulan dari pendekatan ini adalah satu-satunya hukum yang diterima sebagai hukum merupakan tata hukum, sebab hanya hukum inilah dapat dipastikan kenyataannya. 26

Kenyataan-kenyataan dasar yang dimaksud oleh aliran positivisme diatas, telah ditentukan sebagai berikut :

1. Tata hukum negara tidak dianggap berlaku, karena hukum itu mempunyai dasarnya dalam kehidupan sosial (menurut Conte dan Spencer), bukan juga karena hukum itu bersumber dari jiwa bangsa (menurut Von Savigny), bukan juga karena hukum itu merupakan cermin dari suatu hukum alam. Dalam pandangan positivisme yuridis hukum hanya berlaku, oleh karena hukum itumendapat bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang.

2. Dalam mempelajari hukum hanya bentuk yuridisnya dapat dipandang, dengan kata lain bahwa hukum sebagai hukum hanya ada hubungan dengan bentuk formalnya. Dengan ini bentuk yuridis hukum dipisahkan dari kaidah-kaidah hukum material.

3. Isi material hukum memang ada, tetapi tidak dipandang sebagai bahan ilmu pengetahuan hukum, oleh sebab isi ini dianggap variabel dan bersifat sewenang-wenang. Isi hukum tergantung situasi etis dan politik suatu negara, maka harus dipelajari dalam

25 Ahmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama,

Jakarta, hal. 94

26 Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, (selanjutnya

(31)

suatu ilmu pengetahuan lain, bukan dalam ilmu pengetahuan hukum. 27

Berkaitan dengan pandangan positifisme diatas, dalam teori HLA Hart, terdapat pembedaan dua sistem hukum, yaitu apa yang disebut sebagai aliran primer (primery rules) dan aturan sekunder (secondary rules). 28 Aturan primer (primery rules) lebih menekankan

kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Artinya agar berbuat atau bertingkah laku sebagaimana seharusnya sesuai dengan norma yang ada. Sedangkan dalam secondary rules atau yang disebut sebagai aturan tentang aturan (rules about rules) meliputi :

- Pertama : aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat dianggap sah (rules of recognation)

- Kedua : bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change) dan

- Ketiga : bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan/dipaksa (rules of adjudication) 29

Dari teori positivisme yang memandang hukum hanya berlaku oleh karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang dan hukum sebagai hukum hanya ada hubungan dengan bentuk formalnya, ajaran ini menggambarkan dan menjelaskan bahwa suatu produk hukum dibatasi oleh aturan-aturan yang mengikat sebagai pedoman. Oleh karenanya keputusan-keputusan hukum yang akan dihasilkan oleh pihak manapun tidak dengan mudah berubah-ubah, tidak

27 Ibid, hal. 128-129

28 HR Otje Salman S dan Anton F Susanto, Op.cit, hal. 90 29 HR Otje Salman Salman, Ibid hal. 90-91

(32)

bertentangan satu dengan yang lainnya, mudah dimengerti dan tidak membingungkan serta memiliki nilai kepastian.

Putusan-putusan Mahkamah Agung sebagaimana disebutkan diatas, dalam pandangan aliran positivisme akan sulit untuk diterima, karena tidak berdasarkan pada ketentuan hukum (KUHAP), karena putusan Mahkamah Agung tersebut telah menyimpang dari norma pasal 263 ayat 1 KUHAP, dimana Mahkamah Agung telah menerima upaya hukum Peninjauan Kembali dari Jaksa/Penuntut Umum, yang tidak ditentukan sebagai pihak dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP. Penyimpangan yang dilakukan Mahkamah Agung tersebut menurut pandangan aliran positivisme dinilai tidak konsisten terhadap pelaksanaan undang-undang karena tidak berdasarkan pada aturan yang ada dan tidak memberikan kepastian hukum. Ketidak pastian hukum ini akan berlanjut, bagaimana hak bagi terpidana untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum, mengingat sesungguhnya Pasal 263 ayat 1 KUHAP hanya memberikan hak untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali hanya pada terpidana atau ahli warisnya, hal inilah menjadi kajian dalam tesis ini dan pembahasannya lebih mendalam akan dibahas dalam bab tersendiri.

Bahwa pandangan positivisme diatas, kalau dilihat dalam penegakan hukum, sepintas nampaknya dapat dijadikan pegangan dalam usaha menegakkan asas kepastian hukum tersebut. Hal ini dikarenakan

(33)

hukum ditanggapi sebagai kaidah-kaidah (undang-undang) yang mengatur hidup bersama, dibuat oleh instansi yang berwenang dan berlaku sebagai norma. Akan tetapi, dibalik pandangan tersebut, banyak juga pendapat para ahli hukum yang mengkritisi, apakah kaidah-kaidah hukum dalam suatu undang-undang sudah dipastikan dapat dikatakan sebagai hukum yang baik dalam tata kehidupan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan.

Bila ditinjau dari sisi keadilan, dimana putusan-putusan Mahkamah Agung yang menerima upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum, belum tentu dikatakan sebagai putusan yang keliru atau salah karena telah menyimpang dari ketentuan yang berlaku (KUHAP) karena berdasarkan fakta ternyata ada peraturan perundang-undangan yang tidak mencerminkan pada prinsip-prinsip keadilan. Dimana hal tersebut sebagaimana diketahui bahwa KUHAP, khususnya dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP, tentang upaya hukum Peninjauan Kembali, ternyata hanya memungkinkan terpidana atau ahli warisnya saja yang boleh mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dan tidak memberi kesempatan kepada pihak lainnya, yaitu Jaksa/Penuntut Umum yang mewakili kepentingan korban kejahatan atau masyarakat lainnya ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP jelas bersifat diskriminatif, karena tidak memberikan hak yang sama (equal treatment) bagi pihak dalam suatu proses perkara (pidana), hal ini jelas bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 (Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945,

(34)

bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum), karena membeda-bedakan hak terpidana dengan Jaksa/Penuntut Umum, hal ini sejalan dengan substansi putusan Mahkamah Kostitusi Nomor 65/PUU-IX/2011. 30

Perlakuan tidak adil (unequal treatment) dalam suatu peraturan perundang-undangan akan sulit untuk mencari kebenaran materiil dalam suatu proses perkara pidana, apabila ternyata kemudian dapat diketahui bahwa terdapat kesalahan atau kekeliruan yang nyata telah dilakukan oleh hakim dalam memutus suatu perkara pidana, yang mengakibatkan kerugian bagi korban kejahatan atau masyarakat umum. Apabila terjadi kejadian seperti ini, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia, yang mempunyai tugas dan kewenangan untuk mencari jalan keluar dan menyelesaikansudah pada tempatnya mengambil tindakan yang didasarkan masalah tersebut dan apabila Mahkamah Agung sebagai institusi yang mempunyai tugas menyelesaikan masalah tersebut, bila memutus perkara itu hanya semata-mata apa katanya undang-undang sebagai corong undang-undang maka dapat dibayangkan korban kejahatan atau masyarakat umum untuk selamanya tidak bisa membela kepentingannya.

Bertitik tolak dari fakta dan kenyataan tersebut, Mahkamah Agung sudah pada tempatnya mengambil tindakan yang didasarkan pada

(35)

prinsip-prinsip keadilan hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan memberikan rasa keadilan bagi mereka yang secara langsung berhadapan dengan persoalan itu. Karena pada prinsip-prinsip keadilan, jika diterapkan pada fakta struktur masyarakat, harus mengerjakan 2 (dua) hal, yaitu :

1. Memberi penilaian konkrit tentang adil tidaknya institusi-institusi dan praktek-praktek institusional.

2. Membimbing kita dalam mempertimbangkan kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam struktur dasar masyarakat tertentu. 31

Berkaitan dengan prinsip keadilan diatas John Rawls dalam teorinya yang disebut sebagai Kerdetan Prosudural Murai, menyatakan : The procedure for determining the just result must actually be carried out for in these cases there is no independent critirion by refrence to whict a definite autcome can be know to be just. Clearly we cannot say that a particular state of affair is just because it could have been reached by following a fair procedure. This sould permit for too much and would lead to absurdly consequences. 32

Menurut Jhon Rawls, bahwa prosudur untuk menentukan hasil yang adil harus benar-benar dijalankan. Sebab dalam hal ini tidak ada kriteria independen yang bisa dijadikan acuan agar hasil nyata bisa adil. Lebih lanjut disebutkan John Rawls, kita tidak bisa mengatakan bahwa kondisi tertentu adalah adil karena ia bisa dicapai dengan mengikuti

31 Darji Darnodiharjo dan Sidharta, 2006, Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum

Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 163

(36)

prosudur yang fair. Hal ini akan terlampau banyak membiarkan dan secara absurd akan mengarah pada konsekuensi-konsekuensi yang tidak adil.

Melalui teori John Rawls diatas, ingin dijelaskan bahwa penerapan Pasal 263 KUHAP secara tekstual tidaklah menjamin akan mendatangkan nilai adil dalam penyelesaian suatu perkara yang diajukan Peninjauan Kembali, oleh karenanya pencarian prosudur yang adil perlu diupayakan, yaitu ketika ditemukan adanya unsur ketidak adilan.

Selain itu John Rawls juga menegaskan, bahwa The minimum cafacity for the sense of justice insures that everyone has equel rights. The claims of all are to be adjudicated by the principle of justice. Equality is supported by the general facts of nature and not merely by aprosudural rule withhout substantive force.33 Untuk menjamin pencapaian keadilan prosudur diatas, menurut Jhon Rawls, setiap orang harus mempunyai hak yang setara. Kesetaraan tersebut didukung oleh fakta-fakta alamiah umum, bukan sekedar dengan sebuah aturan prosedur tanpa kebenaran substantif. Teori keadilan dari Jhon Rawls adalah sejalan dengan putusan-putusan Mahkamah Agung yang telah mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum.

Keadilan yang tercipta setelah dikabulkannya atau dibenarkannya Jaksa/Penuntut Umum mengajukan upaya hukum

(37)

Peninjauan Kembali, kemudian kembali terjadi ketidak adilan prosudur dalam proses perkara pidana dengan dikeluarnya Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009 oleh Mahkamah Agung, dimana Surat Edaran tersebut pada pokoknya menyatakan : “bahwa permohonan Peninjauan Kembali perkara yang sama perdata maupun pidana yang diajukan lebih dari satu kali bertentangan dengan undang-undang.” Dan apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, diperintahkan untuk menyatakan permohonan Peninjauan Kembali tersebut dinyatakan tidak dapat diterima.

Padahal kalau dicermati secara seksama sesungguhnya dengan dibenarkannya Jaksa/Penuntut Umum, mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung, sebenarnya terpidana secara faktual belum pernah menggunakan haknya yang diberikan oleh ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP tersebut. Dan bagaimana halnya kemudian suatu kelak setelah upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan Mahkamah Agung, ternyata kemudian terpidana mempunyai alasan bahwa “terdapat keadaan baru (novum) yang kualitasnya mampu atau potensial dapat melumpuhkan Putusan Mahkamah Agung tersebut, oleh karena itu adalah memenuhi rasa keadilan apabila kepada terpidana itu dibuka ruang untuk dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum.

(38)

Karena itu teori-teori keadilan dari John Rawls, selanjutnya akan dipergunakan untuk menganalisis, Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009 tersebut, yang melarang diajukannya permohonan upaya hukum Peninjauan Kembali lebih dari satu kali.

1.7.1.2. Teori Responsif oleh Nonet-Selznick

Pandangan positivisme muncul sebagai akibat pengaruh perkembangan masyarakat modern yang ditandai oleh kemajuan tingkat sosial ekonomi sebagai akibat dari pesatnya industrialisasi. Sehingga hal itu mempengaruhi cara berfikir masyarakat modern terutama selama masa pencerahan, pada umumnya bersifat rasionalistis dan individualistis. Dalam rasionalisme itu orang berfikir dengan bertolak atau berangkat dari ide-ide yang umum yang berlaku bagi semua manusia individual. 34 Hal ini dikatakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa :

Masyarakat terutama masyarakat modern, sangat membutuhkan adanya kepastian dalam berbagai interaksi antara para anggotanya dan tugas itu diletakkan dipundak hukum. Kepastian hukum menjadi semacam idiologi dalam kehidupan berhukum, sehingga diperlukan suatu pemahaman yang kritis mengenai kata tersebut. Dengan menjadi idiologi, terjadi kecenderungan untuk mencampur adukkan antara pernyataan dan kebenarannya. 35

Kepastian hukum (rechts sicherkeit/security/rechts zekerheid) adalah sesuatu yang baruyaitu sejak hukum itu dituliskan, dipositifkan dan menjadi publik. Kepastian hukum menyangkut

34 Theo Huijbers I, Op.cit hal 104

35 Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Bacaan Mahasiswa Program Doktor Ilmu

(39)

masalah “law being written down” bukan tentang keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum adalah sicher keit des rechts selbst (kepastian tentang hukum itu sendiri) 36 sehingga terlihat bahwa hukum hadir bukan lagi untuk melayani masyarakat dan mendatangkan kesejahteraan bagi manusia, melainkan hadir demi dirinya sendiri.

Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat, seringkali aturan hukum yang ada tidak mendukung terhadap suatu peristiwa konkrit, seperti yang terlihat pada aturan yang mengatur tentang upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali. Dimana dalam ketentuan pasal 263 ayat 1 KUHAP hanya mengatur terpidana atau ahliwarisnya yang dapat mengajukan permohonan upaya hukum Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Ketentuan mana terkesan diskriminatif, karena hanya melindungi individu pelaku dari tindak pidana tersebut (terpidana) atau ahli warisnya, dan tidak mencerminkan asas persamaan didepan hukum (equality before the law) maupun asas perlindungan hak warga negaramelalui proses hukum yang adil (due process of law) sebagaimana ditentukan Pasal 28 D ayat 1 Undang-undang Dasar 1945, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

(40)

Fakta menunjukkan dalam pandangan positivisme demi terwujudnya kepastian hukum dan keteraturan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat, Mahkamah Agung sebagai penegak hukum sekaligus sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman (tertinggi), diharuskan melaksanakan aturan hukum (undang-undang) apa adanya atau sesuai teks yang tertulis dalam undang-undang. Penegakan hukum yang demikian sepertinya tidak memberikan ruang bagi pihak-pihak yang merasa kepentingannya terganggu untuk membela diri, padahal dalam praktek peradilan, tidak tertutup kemungkinan terjadi kekeliruan atau kealpaan atau kesalahan penerapan hukum oleh hakim dalam suatu putusan peradilan.ketika terjadi kealpaan atau kesalahan penerapan hukum dalam putusan pengadilan, maka pihak korban kejahatan atau masyarakat umum maupun negara yang merasa kepentingannya terganggu, berdasarkan Pasal 263 ayat 1 KUHAP tersebut, dimana Jaksa/Penuntut Umum sebagai institusi yang dalam perkara pidana mewakili kepentingan korban kejahatan atau masyarakat umum maupun negara, menjadi tidak dapat menuntut hak yang terganggu tersebut karena memang sudah dibatasi oleh undang-undang.

Apabila ketentuan diatas diberlakukan secara strict atau kaku, maka pasti sudah dapat dibayangkan essensi tujuan hukum pada segi yang lain, yaitu rasa keadilan, akan sulit dapat diwujudkan. Karena sebagaimana diketahui bahwa tujuan hukum tidak hanya

(41)

ingin untuk mewujudkan tercapainya kepastian hukum semata, tetapi juga bertujuan untuk mewujdkan ketertiban dan keadilan secara konkrit dan nyata dalam masyarakat.

Hukum disatu pihak memperlihatkan kecenderungan untuk berupaya memelihara dan mempertahankan apa yang telah dicapai, tetapi lain pihak juga memperlihatkan usaha untuk mendorong dan mengarahkan perubahan. Pemositifan hukum dalam perundang-undangan menjadikan hukum itu terbatas dan sering tertinggal oleh dinamika perkembangan masyarakat. Untuk itu menurut Khudzaifah Dumyati diperlukan cara-cara yang dapat menjadi sistim hukum positif itu survive dan tetap mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapkan kepadanya baik pada saat sekarang maupun yang akan datang (ius constituendum), konstruksi hukum, penafsiran analogi, penghalusan hukum, adalah contoh-contoh untuk itu. 37

Berkaitan dengan persoalan hukum diatas, Philippe Nonet dan Philip Selznick (Nonet-Selznick) dalam teorinya yang dikenal dengan teori hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka hukum mengedepankan

37 Khudzaefah Dunyati,2005, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di

(42)

akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik. 38

Perkembangan hukum yang terjadi sekarang ini, telah timbul permasalahan tentang hak permintaan upaya hukum Peninjauan Kembali atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana. Praktik peradilan dalam menyikapi permintaan upaya hukum Peninjauan Kembali tersebut, ternyata telah melangkah melebihi aturan hukum yang telah diatur dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP, dimana Jaksa/Penuntut Umum telah dibenarkan mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan pertimbangan utama untuk memberikan nilai keadilan bagi pihak-pihak dalam suatu perkara, hal ini terbukti dengan telah dikabulkannya oleh Mahkamah Agung beberapa upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum, sebagaimana telah disinggung diatas.

Praktik peradilan tersebut terlihat sebagai respon terhadap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini seperti teori hukum responsif yang dikemukakan Nonet-Selznick bahwa hukum dituntut menjadi sistim yang terbuka dalam perkembangan yang ada dengan mengandalkan keutamaan tujuan (the souvereignity of

38 Bernart L Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV.Kita,

(43)

purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari kerjanya hukum. 39

Hukum seperti ini yang dibutuhkan dalam masa transisi. Artinya, ketika suatu aturan hukum yang telah ada tidak lagi bisa menjawab permasalahan yang timbul akibat perkembangan yang terjadi terjangkau oleh aturan hukum tersebut, maka hukum harus peka mengakomodasi perkembangan yang ada itu demi mencapai keadilan dalam masyarakat.

Atas dasar itu maka dalam doktrinnya Nonet-Selznick mengemukakan, pertama hukum itu harus fungsional, pragmatik, betujuan dan rasional. Kedua, kompetensi menjadi patokan evaluasi terhadap semua pelaksanaan hukum. 40 Karena kompetensi

sebagai tujuan berfungsi norma kritik, maka tatanan hukum responsif menekankan kepada :

1. Keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum 2. Peraturan merupakan sub-ordinasi dari prinsip dan

kebijakan

3. Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan masyarakat

4. Penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam pengambilan keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada tujuan

5. Memupuk sistim kewajiban sebagai ganti sistim paksaan 6. Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam

menjalankan hukum

7. Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat

8. Penolakan terhadap hukum harus dilihat sebagai gugatan terhadap legitimasi hukum

39 Ibid, hal 239 40 Ibid, hal 240

(44)

9. Akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan sosial 41

Menarik teori hukum responsif diatas, dalam hal suatu keputusan hukum berorientasi pada maksud mencari keadilan atau kemanfaatan bagi masyarakat, seperti dalam pemberlakuan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, meskipun dalam aturan hukum yang telah ada (Pasal 263 ayat 1 KUHAP), Jaksa/Penuntut Umum tidak disebutkan sebagai pihak yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, namun Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya telah mengabulkan atau membenarkan Jaksa/Penuntut Umum mengajukan upaya hukum atas dasar pertimbangan terciptanya nilai keadilan dalam masyarakat.

Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009 oleh Mahkamah Agung, yang pada pokoknya telah melarang diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali lebih dari satu kali terhadap perkara yang sama, telah menimbulkan ketidak adilan (baru) lagi terhadap terpidana. Karena walaupun secara normatif (Pasal 263 ayat 1 KUHAP) terpidana atau ahli warisnya dinyatakan dapat mengajukan permintaan (upaya hukum) Peninjauan Kembali. Akan tetapi kalau dicermati dengan seksama, sesungguhnya secara faktual terpidana belum pernah menggunakan haknya untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan

(45)

Kembali yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 263 ayat 1 KUHAP). Terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Karena bagaimana halnya setelah dikabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum, kemudian terpidana atau ahli warisnya menemukan atau memiliki alat bukti baru (novum) yang kualitasnya mampu atau potensial dapat melumpuhkan putusan Mahkamah Agung tersebut. Oleh karena itu akan memenuhi nilai rasa keadilan, apabila kepada terpidana atau ahli warisnya dibuka ruang untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum. Oleh karena itu teori hukum responsif dari Nonet-Selznick juga akan dipergunakan untuk menganalisa upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya, terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum.

1.7.1.3. Teori Perlindungan Hukum

Disamping itu penelitian tesis ini menggunakan teori perlindungan hukum, baik terhadap masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana sebagai pelaku tindak pidana maupun masyarakat (pihak) yang menjadi korban daripada tindak pidana tersebut.

Sebagaimana diketahui, secara umum sering dikatakan bahwa fungsi dari suatu undang-undang acara pidana adalah untuk

(46)

membatasi kekuasaan negara dalam melindungi setiap warga masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana, sehingga diharapkan terjamin perlindungan para tersangka dan terdakwa dari tindakan aparat penegak hukum dan pengadilan. Dengan demikian, hukum yang sama memberikan pula pembatasan terhadap hak asasi warganya. Jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam peraturan hukum acara pidana mempunyai arti yang sangat penting sekali, karena sebagian besar dalam rangkaian proses dari hukum acara pidana ini menjurus kepada pembatasan-pembatasan hak asasi manusia.

Di lain pihak, korban dari tindak pidana, bukan hanya dimaksudkan sebagai obyek dari suatu tindak pidana, akan tetapi harus dipahami pula sebagai subyek yang perlu mendapatkan perlindungan hukum. Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepantingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi pihak yang dirugikan. Memperhatikan sejarah perkembangan hukum pidana, pada mulanya reaksi atas suatu tindak pidana adalah menjadi hak dari korban, yang berakibat terjadi balas dendam yang tidak berkesudahan. Karena perbuatan tersebut mengganggu ketertiban masyarakat, maka kemudian reaksi itu diambil alih oleh negara, yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada jaksa dalam

Referensi

Dokumen terkait

Untuk kajian ini, penyelidik memilih untuk menggunakan soal selidik strategi pembelajaran bahasa seperti yang dijelaskan oleh Alwahibee (2000) dimana strategi

Pemeriksaan sarana produksi dilakukan oleh petugas yang berpredikat Sertifikasi (yang dikeluarkan oleh Balai POM), pada Dinas Kesehatan Kota memeriksa sarana produksi. Pemberian

digunakan untuk memprediksi pengungkapan risi- ko finansial atau dapat dikatakan bahwa ukuran dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris, komposisi komisaris independen,

60. Sesungguhnya, dunia kini sedang diselubungi oleh pelbagai ketidaktentuan. Mengambil pengajaran itu, saya ingin menyentuh tiga cabaran utama yang bakal kita tempuhi iaitu:

Preoperatif, dengan menggunakan radiografi periapikal dokter gigi dapat melihat gigi secara keseluruhan disetiap detailnya dari mahkota, akar (jumlah, letak, bentuk,.. ukuran,

Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian Hidayat dari Universitas Padjadjaran Tahun 2006, sejumlah 1785 kasus yang membutuhkan radiografi semuanya menggunakan radiografi

poliklinik, belum adanya daftar singkatan yang ditetapkan sebagai acuan dalam penulisan terminologi medis, dan sudah adanya Standar Operasional Prosedur (SOP)