• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSELING KEDAMAIAN: STRATEGI KONSELOR UNTUK MEREDUKSI PERILAKU AGRESI REMAJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSELING KEDAMAIAN: STRATEGI KONSELOR UNTUK MEREDUKSI PERILAKU AGRESI REMAJA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

KONSELING KEDAMAIAN: STRATEGI KONSELOR UNTUK MEREDUKSI

PERILAKU AGRESI REMAJA

Wahyu Nanda Eka Saputraˡ, Irvan Budhi Handaka² Universitas Ahmad Dahlan,

wahyu.saputra@bk.uad.ac.idˡ, irvan.handaka@bk.uad.ac.id² Abstrak

Perilaku agresi saat ini masih menjadi permasalahan klasik yang dilakukan oleh remaja. Belakangan di Daerah Istimewa juga terjadi perilaku agresi yang dilakukan kalangan remaja yang terkenal dengan sebutan klitih. Salah satu strategi konselor yang dapat dilakukan untuk mereduksi perilaku agresi adalah menerapkan konseling kedamaian. Strategi tersebut mendorong remaja untuk berpikir damai ketika mengalami fenomena tertentu yang mungkin tidak menyenangkan bagi mereka, sehingga remaja mengurungkan niatnya untuk menyakiti orang lain baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Konseling kedamaian adalah pengembangan dari pendidikan kedamaian yang diterapkan dalam sesi konseling, diharapkan model konseling ini dapat menjadi salah satu strategi yang dapat dirujuk oleh konselor untuk mereduksi perilaku agresi remaja.

Kata Kunci: perilaku agresi, konseling kedamaian PENDAHULUAN

Sebagai warga negara memiliki kewajiban untuk ikut serta dalam menjaga ketertiban sehingga terwujud suasana yang aman dan nyaman serta berujuang pada kesejahteraan baik secara fisik maupun psikis. Pernyataan tersebut termuan dalam pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tentunya hal ini membutuhkan komitmen kuat bagi warga negara Indonesia untuk menjaga ketertiban dan perdamaian sehingga tidak muncul berbagai perilaku yang menyakiti orang lain baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

Kondisi di atas saat ini ternyata belum sepenuhnya tercipta di Indonesia. Berbagai permasalahan terjadi, terutama terkait dengan kedamaian dan ketertiban di Indonesia, terutama remaja sekolah yang masih melakukan perilaku agresi. Penelitian yang dilaksanakan oleh Shelton dkk. (2009) menunjukkan bahwa setidaknya terdapat 72,16% pelajar melakukan jenis kejahatan yang melibatkan kekerasan fisik, sedangkan sisanya 27,84% siswa cenderung melakukan jenis kejahatan yang tidak melibatkan kekerasan fisik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Routt &

Anderson (2011) menunjukkan bahwa dari keseluruhan remaja yang diwawancarai, 72% melakukan serangan fisik kepada ibu mereka, 16% menyerang atau mengancam ayah mereka, 5% karena menyerang atau mengancam kakak mereka, dan 5% menyerang atau mengancam saudara mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Hidayat, Yusri & Ilyas (2013) menunjukkan bahwa perilaku agresi siswa dapat dilihat dari menyakiti orang lain secara fisik dengan persentase 35,32%, sedangkan tindakan agresi yang dilakukan siswa dilihat dari menyakiti orang secara verbal 41,30%, dan tindakan agresi dilihat dari merusak dan menghancurkan harta benda dengan persentase 30,42%.

Salah satu strategi yang bisa dilakukan konselor untuk mereduksi perilaku agresi remaja terutama pelajar adalah dengan menerapkan konseling

kedamaian. Konseling kedamain

merupakan salah satu konseling yang pola pengembangannya berdasarkan konsep pendidikan kedamian. Saputra (2016) menjelaskan bahwa ada peluang bagi pendidik terutama konselor untuk menerapkan pendidikan kedamaian di pendidikan tingkat dasar. Ini menjadi salah satu sinyal bahwa tidak menutup kemungkinan juga pendidikan kedamian

(2)

diaplikasikan pada sesi konseling pada pendidikan menengah.

Makalah ini akan menyajikan uraian konseptual terkait dengan aplikasi konseling kedamain untuk mereduksi perilaku agresi remaja, terutama pelajar. Diharapkan model konseling ini menjadi salah satu rujukan konselor dalam upayanya mereduksi perilaku agresi yang dilakukan remaja. Sehingga remaja memiliki peran dalam upayanya untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

PEMBAHASAN Perilaku agresi

Perilaku agresi masih menjadi

permasalahan serius yang terjadi pada remaja. Perilaku agresi adalah fenomena kompleks yang beroperasi pada beberapa tingkat, dengan berbagai macam makna, dan dimunculkan dalam berbagai bentuk perilaku (Ramirez, 2009). Myers (2012) menyatakan bahwa agresi merupakan perilaku fisik maupun verbal yang bertujuan untuk menyakiti orang lain. Sedangkan menurut MacLaren, Best & Bigney (2010) menyatakan bahwa perilaku agresi lahir untuk merespon ancaman (menurut persepsi atau yang sungguh-sungguh ada) yang berasal dari individu atau kelompok lain diluar kelompoknya.

Perilaku agresi menjadi perilaku bermasalah yang komplek cakupannya dan masih sering dilakukan oleh remaja sampai saat ini. Beberapa ahli mendefinisikan gagasannya tentang aspek-aspek perilaku agresi. Buss & Perry (1992) telah mengklasifikasikan agresivitas menjadi empat aspek, yaitu fisik, verbal, kemarahan, dan kebencian. Sedangkan tokoh lain, Myers (2012) menyatakan bahwa perilaku agresi terdiri dari dua aspek, yaitu aspek fisik dan verbal.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku agresi adalah bentuk perilaku fisik maupun verbal yang dilakukan untuk menyerang

dan menyakiti orang lain yang dilakukan dengan menunjukkan unsur kesengajaan.

Konseling kedamaian

Adiputra & Saputra (2015) menjelaskan bahwa konseling merupakan proses hubungan interaksi pribadi yang unik dan berkesinambungan antara konselor dan konseli secara profesional dan bersifat membantu konseli mencapai kebahagiaan. Model konseling kedamaian dikembangkan dengan akar konsep pendidikan kedamaian dengan tokoh terkenalnya adalah Johan Galtung (Navarro-Castro & Nario-Galace, 2008; Galtung & Fischer, 2013). Galtung (1967) mengkonsep makna damai itu sendiri adalah suatu kondisi internal manusia yang memiliki pikiran damai terhadap dirinya sendiri. Navarro-Castro & Nario-Galace (2008) menjelaskan bahwa konsep kedamaian bertujuan untuk menghindarkan situasi perang atau kekerasan secara langsung. Selanjutnya Momodu (2015) mengumpulkan beberapa konsep dari kedamaian itu sendiri. Pertama, W.E.B. Du Bois. Tokoh tersebut menyebutkan kedamaian adalah tanggung jawab tanpa kekuasaan ejekan dan lelucon. Kedua, konsep dari Paolo Friere. Tokoh tersebut menyebut bahwa kedamaian adalah dimensi kemurahan hati yang bertujuan

untuk mengikis penyebab suatu

pertempuran.

Pendidikan kedamaian yang merupakan akar dari konseling kedamaian telah memiliki definisi yang beragam tergantung pada konteks dan konten yang akan diatasi. Navarro-Castro & Nario-Galace (2008) menjelaskan pendidikan kedamaian adalah pendidikan yang mempromosikan budaya perdamaian, yang pada dasarnya transformatif dengan membangun kesadaran, pemahaman, dan kepedulian yang akan memungkinkan orang untuk hidup, berinteraksi, dan menciptakan

kondisi dan sistem yang

mengaktualisasikan antikekerasan, keadilan, peduli lingkungan dan nilai-nilai perdamaian lainnya. Anand (2014) menjelaskan pendidikan kedamaian adalah proses di mana individu dapat mengubah

(3)

sikap dan perilakunya tentang konflik kekerasan, memperoleh nilai-nilai,

pengetahuan dan mengembangkan

keterampilan dan perilaku untuk hidup dalam harmoni dengan orang lain. Adeyemi & Salawudeen (2014) menjelaskan pendidikan kedamaian adalah suatu filosofi dan proses yang berkaitan dengan akuisisi pengetahuan dan keterampilan menciptakan perdamaian. Tujuan utama dari pendidikan kedamaian adalah untuk mengekspos peserta didik dengan cara-cara non-kekerasan dalam menangani konflik. Hal ini sesuai dengan pandangan dasar dari Mahatma Gandhi, “Non-Violence” (Biswas, 2015).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konseling kedamaian adalah konseling yang berakar dari filosofis pendidikan kedamaian yang secara perlahan berusaha untuk mengikis konflik-konflik yang telah terjadi dan menimbulkan suatu ketenangan hati baik yang bersifat intrapersonal dan interpersonal.

Komponen konseling kedamaian

Beberapa tokoh mendefinisikan komponen-komponen yang ada dalam konseling kedamaian, yang mana akar konseling kedamaian adalah pendidikan

kedamaian. Komponen konseling

kedamaian yang mendasarkan pada pendidikan kedamaian dapat memberikan gambaran prosedur konseling kedamaian yang akan dilaksanakan. Fountain (1999)

menyebutkan bahwa UNICEF

mendefinisikan pendidikan kedamaian

sebagai proses mempromosikan

pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diperlukan untuk membawa

perubahan perilaku yang akan

memungkinkan anak-anak, remaja dan orang dewasa untuk (1) mencegah konflik dan kekerasan; (2) menyelesaikan konflik secara damai; dan (3) menciptakan kondisi

yang kondusif bagi perdamaian

intrapersonal, interpersonal, antarkelompok, tingkat nasional dan internasional.

Ahli lain, Navarro-Castro & Nario-Galace (2008) menjelaskan bahwa

pendidikan kedamaian dapat dilaksanakan melalui tiga komponen. Pertama, dimensi kognitif. Pada dimensi pertama ini, konnselor akan menjelaskan pentingnya implementasi dan tujuan konseling kedamaian bagi konseli. Konseli sebagai peserta didik akan menyadari dan memahami akar dan dampak konflik tertentu. Kedua, dimensi afektif. Pada dimensi yang kedua, konseli akan melakukan refleksi, yaitu diskusi melihat fenomena konflik dari berbagai perspektif dan membayangkan diri mereka berada di tempat lain, untuk menumbuhkan empati untuk korban kekerasan. Ketiga, dimensi aktif. Pada dimensi yang ketiga ini, konseli akan memunculkan pikiran alternatif mereka dalam bentuk perilaku konstruktif dan konselor mendorong mereka untuk berperilaku melalui cara-cara tanpa kekerasan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konseling kedamaian diterapkan dengan mengadopsi konsep pendidikan kedamaian yang melalui prosedur sebagai berikut: (1) rasional model konseling kedamaian; (2) menggali akar permasalahan kekerasan; (3) refleksi terhadap fenomena kekerasan dari berbagai perspektif; (4) mengajarkan mencari alternatif perilaku kekerasan; (5) mencari bentuk berbeda dari kekerasan dan menghilangkannya; dan (6) evaluasi dan tindak lanjut pikiran, perasaan, dan perilaku damai.

Konseling kedamaian untuk mereduksi perilaku agresi

Telah dijelaskan di atas bahwa salah satu strategi yang dapat diterapkan konselor untuk mereduksi perilaku agresi adalah mengembangkan pikiran damai konseli dengan menerapkan konseling kedamaian. Kedamaian sendiri dimaknai Galtung (1967) memiliki tiga ranah, yaitu (1) sinonim untuk stabilitas atau keseimbangan; (2) tidak adanya kekerasan kolektif terorganisir, dan (3) sinonim untuk semua hal-hal lain yang baik di masyarakat dunia, khususnya kerja sama antara kelompok-kelompok manusia tanpa adanya

(4)

kekerasan. Sedangkan penelitian dari Anugrah, dkk. (2016) mengidentifikasi pikiran damai berdasarkan tokoh markesot yang terdiri dari enam cara berpikir damai, yaitu: (1) berpikir konstruktif ketika melihat dan mengalami suatu fenomena; (2) berpikir kritis terhadap peristiwa yang terjadi; (3) memaknai suatu fenomena dengan perspektif yang berbeda; (4) memiliki pola pikir bahwa hidup harus dengan pendirian yang positif; (5) melihat sebab akibat dari suatu permasalahan; dan (6) berpikir bahwa manusia memiliki kedaulatan terhadap dirinya sendiri.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konseling kedamaian yang berakar pada pendidikan kedamaian dapat mereduksi perilaku agresi. Penelitian yang dilakukan di Turki oleh Sagkal, Turnuklu & Totan (2012) menyimpulkan pendidikan kedamaian dapat meningkatkan empati siswa. Aspek empati ini yang bisa menjadi bekal siswa untuk berkomitmen untuk tidak saling menyakiti satu dengan yang lain. Penelitian lain Ekpoh & Imo (2015) menyimpulkan pendidikan kedamaian telah diintegrasikan pada kurikulum sekolah yang belum memiliki budaya damai di lingkungan sekolah. Hasil penelitian-penelitian tersebut memberikan angin segar bagi konselor di Indonesia untuk mengintegrasikan pendidikan kedamaian dalam program layanan konseling untuk mereduksi perilaku agresi siswa. Terlebih gagasan dari Saputra, Widiasari & Dina (2016) menyatakan bahwa pendidikan kedamaian dapat ditilik dalam perspektif islam dan berpotensi diimplementasikan dalam sesi konseling.

Pendidikan kedamaian yang diintegrasikan pada program layanan konseling ditawarkan untuk dikembangkan dan diterapkan karena saat ini muncul berbagai perilaku agresi dalam bentuk kekerasan dan perselisihan antara individu, kelompok, dan masyarakat (Momodu & Jude, 2013). Konsep pendidikan kedamaian akan dikemas dalam layanan konseling dengan konselor sebagai pelaksananya. Konselor yang menerapkan konseling

kedamaian berupaya untuk menanamkan kedamaian pada pikiran setiap manusia (Anand, 2014). Kestabilan emosi yang tertanam pada siswa diharapkan dapat mempromosikan kestabilan emosi sehingga meminimalisir munculnya perilaku agresi.

PENUTUP

Perilaku agresi adalah

permasalahan klasik yang masih dilakukan oleh remaja sekolah sampai saat ini. Perilaku agresi yang dilakukan remaja sekolah memiliki banyak dampak negatif, salah satunya adalah munculnya iklim sekolah yang tidak kondusif di sekolah dan ini akan berdampak pula pada menurunnya prestasi siswa di sekolah tersebut. Salah satu strategi konseling yang dapat diterapkan konselor adalah konseling kedamaian. Strategi ini akan mendorong konseli untuk dapat berpikir damai dan pikiran damai tersebut akan mereduksi keinginan konseli untuk menyakiti orang lain baik secara verbal dan non verbal. Strategi konselor dengan model konseling kedamaian ini seyogyanya dapat menjadi rujukan konselor dalam usahanya mereduksi perilaku agresi remaja sekolah yang masih banyak terjadi saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adeyemi, B. A., & Salawudeen, M. O. (2014). The Place of Indigenous Proverbs in Peace Education in Nigeria: Implications for Social Studies Curriculum. International Journal of Humanities and Social Science, 4(2), 186-192.

Adiputra, S., & Saputra, W. N. E. (2015). Teori Dasar Konseling. Lampung: Aura Publishing.

Anand, S. (2014). The Contemporary Issues and Significance of Peace Education in India. International Journal of Research in Humanities, Arts and Literature, 2 (10), 47-54.

(5)

Biswas, P. (2015). Mahatma Gandhi’s views on peace education. Education Journal, 4(1), 10-12.

Buss, A. H., & Perry, M. (1992). The aggression questionnaire. Journal

of personality and social

psychology, 63(3), 452.

Ekpoh, & Imo, U. (2015). Assessing the Institutionalization of Peace Education and Peace Culture at Post Primary School Level in Calabar Education Zone, Cross River State, Nigeria. International Journal of Education and Research, 3(7), 175-182.

Fountain, S. (1999). Peace Education In UNICEF. New York: United

Nations Children's Fund

Programme Publications.

Galtung, J. (1967). Theories of Peace: A Synthetic Approach to Peace Thinking. Oslo: International Peace Research Institute.

Galtung, J., & Fischer, D. (2013). Johan Galtung: Pioneer of Peace Research. New York: Springer Heidelberg.

Hidayat, H., Yusri, & Ilyas, A. (2013). Profil Siswa Agresif dan Peranan Guru BK. Jurnal Ilmiah Konseling, 2(1), 1-5.

MacLaren, V. V., Best, L. A., & Bigney, E. E. (2010). Aggression–hostility predicts direction of defensive responses to human threat scenarios. Personality and Individual Differences, 49(2),

142-147.

Momodu & Jude, A. (2013). Mainstreaming Peace Education in Secondary School Curricula in Nigeria. International Journal of

English and Education, 2(2), 535-546.

Momodu, F. (2015). The Relevance of Peace Education in Today’s Context. International Journal of Research in Humanities & Social Studies, 2(5), 1-4.

Myers, D. G. (2012). Social psychology. New York: Mc Graw-Hill.

Navarro-Castro, L., & Nario-Galace, J. (2008). Peace Education: A Pathway to a Culture of Peace. Quezon City: Center for Peace Education, Miriam College.

Ramirez, J. M. (2009). Some dychotomous classifications of aggression according to its function. Journal of

Organisational Transformation & Social Change, 6(2), 85-101.

Routt, G., & Anderson, L. (2011). Adolescent violence towards parents. Journal of Aggression, Maltreatment & Trauma, 20(1),

1-19.

Sagkal, A. S., Turnuklu, A., & Totan, T. (2012). Empathy for Interpersonal Peace: Effects of Peace Education on Empathy Skills. Educational Sciences: Theory & Practice, 12(2), 1454-1460.

Saputra, W. N. E. (2016). Pendidikan Kedamaian: Peluang Penerapan pada Pendidikan Tingkat Dasar di Indonesia. Jurnal CARE (Children

Advisory Research and

Education), 3(3), 88-94.

Saputra, W. N. E., Widiasari, S. W., & Dina, D. A. M. (2016). Peace

Education: Islamic Perspective.

Makalah Disampaikan dalam 1st International Conference on Islamic Education.

(6)

Shelton, D., Sampl, S., Kesten, K. L., Zhang, W., & Trestman, R. L. (2009). Treatment of impulsive aggression in correctional settings. Behavioral sciences & the

law, 27(5), 787-800.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Waluyo, A. T., Suryani, L. E., Syammari, S., & Saputra, W. N. E. (2016). Pikiran Damai berdasarkan Pitutur Markesot: Modal Remaja untuk Meminimalisir Perilaku Agresi. Makalah Disampaikan dalam Seminar Nasional Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan surat penetapan penyediaan barang dan jasa Nomor 04/PPBJ.04.02/III/2015 tanggal 27 Maret 2015, dengan ini pejabat pengadaan barang dan jasa Dinas pertanian

Determining description process of score in Muhammadiyah Elementary School of Gunungpring still manually using Microsoft Excel and preparing reports with

Ibu Maya Silvi Lydia, B.Sc, M.Sc selaku Sekretaris Program Studi S1 Ilmu Komputer Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembanding I yang telah memberikan kritik dan

Penjaminan fidusia berupa piutang terdapat kemungkinan- kemungkinan dimana piutang yang di berikan debitur kepada kreditur tersebut fiktif karena debitur memang beriktikad

Berdasarkan hasil perhitungan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9, OSB yang direkat dengan IC dapat digunakan untuk keperluan eksterior dan tahan kondisi

Kegiatan yang dilakukan pada tahap perencanaan siklus I adalah: 1) Membicarakan mengenai skenario pembelajaran yang akan dilakukan guru mata pelajaran akuntansi dengan

Perlu dibuat materi pembelajaran yang khusus mengenai pengetahuan lingkungan dengan kondisi lingkungan dimana materi tersebut di ajarkan, misalnya di kalimantan

Hasil: Penilaian jumlah leukosit darah tepi berdasarkan kelompok dosis menunjukan peningkatan jumlah leukosit yang bermakna (p<0,05) pada kelompok K2, D1, D2, dan D3.