• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWARISAN CUCU YATIM DALAM HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN YORDANIA. Skripsi. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEWARISAN CUCU YATIM DALAM HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN YORDANIA. Skripsi. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

KEWARISAN CUCU YATIM DALAM HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN YORDANIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

FARIN MUNAZAH NIM: 11170440000056

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH

JAKARTA 1442 H/2021 M

(2)

ii

KEWARISAN CUCU YATIM DALAM HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN YORDANIA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

FARIN MUNAZAH NIM: 11170440000056

Di Bawah Bimbingan

Dr. Muchtar Ali, M.Hum NIP.195704081986031002

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1442 H/2021 M

(3)

iii

LEMBAR PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama Lengkap : FARIN MUNAZAH

NIM : 11170440000056

Tempat, Tanggal Lahir : Brebes, 17 September 1999 Prodi/ Fakultas : Hukum Keluarga

Alamat :Dk. Krajan Wanatirta RT 05/01 Kecamatan Wanatirta, Paguyangan, Brebes, Jawa Tengah

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia untuk menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 Februari 2021

Farin Munazah NIM. 11170440000056

(4)

iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “KEWARISAN CUCU YATIM DALAM HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN YORDANIA" telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas lslam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Maret 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Hukum Keluarga.

Jakarta, 29 Maret 2021 Mengesahkan

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Dr. Mesraini, M.Ag.

NIP. 197602132003122001 2. Sekretaris : Achmad Chairul Hadi, M.A NIP. 197205312007101002 3. Pembimbing : Dr. Muchtar Ali, M.Hum

NIP. 195704081986031002

4. Penguji 1 : Dr. Isnawati Rais. M A. NIP.195710271985032001 5. Penguji 2 : Sri Hidayati M Ag.

NlP. 197102151997032002

Fakultas Syariah dan Hukum

(5)

v ABSTRAK

Farin Munazah. NIM 11170440000056. KEWARISAN CUCU YATIM DALAM HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN YORDANIA. Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M.

Studi ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan mengenai kewarisan cucu yatim di Indonesia dan Yordania. Dalam hukum kewarisan Islam cucu yatim tidak berhak mendapatkan bagian waris jika masih ada anak laki-laki dari pewaris dan untuk cucu dari anak perempuan tidak berhak mendapatkan kewarisan karena termasuk ke dalam kelompok dzawil arham. Keadaan tersebut menimbulkan perlunya diadakan reformasi hukum terkait kewarisan cucu yatim, karena seringnya muncul ketidakadilan terhadap cucu yatim yang hidup dalam kemiskinan karena kematian orang tuanya sementara paman dan bibinya hidup dalam berkecukupan.

Penelitian ini menggunakan metode penilitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif. Teknik yang dilakukan dalam mengumpulkan data melalui kajian kepustakaan (library research)dengan mengkaji kitab fikih klasik serta Undang-Undang Hukum Keluarga Yordania dan Kompilasi Hukum Islam.

Hasil penelitian menunjukkan cucu yatim di Indonesia memiliki hak waris melalui konsep Ahli Waris Pengganti dengan besarnya tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris sederajat dengan yang diganti sesuai dengan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan cucu yatim di Yordania memiliki hak waris melalui konsep Wasiat Wajibah dengan besarnya tidak boleh melebihi sepertiga dari harta peninggalan sesuai dengan Pasal 279 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2010. Hasil penelitian melalui perbandingan vertikal menunjukkan bahwa Hukum Keluarga di Indonesia dan Yordania telah beranjak dari ketentuan waris fikih mazhab. Namun, keberanjakan Indonesia terlampau jauh dengan konsep ahli waris pengganti yang merupakan hasil penafsiran dari An-Nisa ayat 33 oleh Hazairin. Sedangkan secara horizontal terlihat adanya satu persamaan dan tiga perbedaan mengenai ketentuan kewarisan cucu yatim di Indonesia dan Yordania. Persamaan tersebut mengenai tujuan dari penerapan hukum tersebut, sedangkan perbedaannya terdapat pada segi bentuk ketentuan, peruntukkan, serta besarnya bagian. Kemudian, secara perbandingan diagonal hukum keluarga di Indonesia memiliki keunggulan dalam segi peruntukkan, ahli waris pengganti dapat diberikan kepada cucu dari anak perempuan. Hal ini sangat berbeda dengan Yordania yang hanya memberikan wasiat wajibah hanya untuk cucu dari anak perempuan sehingga tidak memberikan keadilan bagi cucu yatim dari anak perempuan.

Kata kunci: Kewarisan, Indonesia, Yordania Pembimbing: Dr. H. Muchtar Ali, M. Hum Daftar Pustaka: 1952 s.d. 2020

(6)

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini digunakan untuk beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata dalam bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا tidak dilambangkan

ب B Be

ت T Te

ث Ts te dan es

ج J Je

ح H ha dengan garis bawah

خ Kh ka dan ha د D De ذ Dz de dan zet ر R Er ز Z Zet س S Es ش Sy es dan ye

(7)

vii

ض D de dengan garis bawah

ط T te dengan garis bawah

ظ Z zet dengan garis bawah

ع ‘ koma terbalik di atas

hadap kanan غ Gh ge dan ha ف F ef ق Q qo ك K ka ل L ef م M em ن N en و W we ه H ha ء ` apostrof ي Y ya b. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki vokal tunggal atau monoftong dan voka rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

(8)

viii

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َ A fathah

َ I kasrah

َ U dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ي Ai a dan i و Au a dan u c. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ا

 a dengan topi di atas

ي Î i dengan topi di atas

و Û u dengan topi di atas

d. Kata Sandang

Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan lam (لا), dialihaksarankan menjadi huruf “I” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf qamariyyah, misalnya:

(9)

ix ةصخ رلا = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah e. Tasydîd (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:

ةعفشلا = al-syuf’ah, tidak ditulis asy-syuf’ah. f. Ta Marbûtah

Jika ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta Marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta Marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” (lihat contoh 3)

g. Ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan

Huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh ير اخبلا = al-Bukhâri, tidak ditulis Al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.

No Kata Arab Alih Aksara

1 ةعي رش syarî‘ah

2 ةيم لاس لإلا ةعي شلا al-syarî‘ah al-islâmiyyah

(10)

x

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kata nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Din al-Râniri.

h. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

1. تار وظحملا حيبت ةرو رضلا al-darûrah tubîhu al-mahzûrat 2. يملاسلإ ا داصتقلاا al-iqtisad al-islâmî

3. هقفلا لوصأ Usûl al-fiqh

4. ةح ابلإاءايشلأا يف لصلأا al-asl fî al-asyyâ al-ibâhah 5. ةلسرملا ةحلصملا al-maslahah al-mursalah

(11)

xi

KATA PENGANTAR ِمْي ِح َّرل ا ِنمْح َّرل ا ِالله ِمْسِب

Segala puja dan puji syukur saya panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah, serta keberkahan-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian atau skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa saya sanjungkan kepada Baginda Agung Nabi Muhammad SAW, dan semoga kelak kita dapat mendapatkan syafa’atnya di akhirat.

Penulisan skripsi ini bertujuan sebagai pemenuhan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Program Hukum Keluarga pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini saya persembahkan secara khusus kepada kedua orang tua tersayang, ayah Abdurrokhim dan Ibu Novie Ariyanti serta kakak Nadzar Maulana yang tidak pernah lelah untuk selalu memberikan semangat, motivasi, bimbingan, dukungan, dan doa kepada Penulis. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat, dan kasih sayang-Nya. Aamiin.

Selama proses penulisan skripsi ini Penulis menghadapi sedikit banyak hambatan serta kesulitan, namun berkat rahmat serta hidayah Allah Penulis diberikan kemudahan dalam proses pengerjaan skripsi ini. Selain itu berkat dukungan dari berbagai pihak juga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada para pihak baik yang langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, SH., MH., MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Mesraini, M. Ag, selaku ketua Program Studi Hukum Keluarga dan

(12)

xii

Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.

4. Dr. Abdul Halim yang senantiasa memberikan nasihat dan motivasi untuk mahasiswa-mahasiswanya.

5. Dr. Muchtar Ali, M. Hum, selaku Dosen Pembimbing yang senantiasa meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan nasihat, arahan serta perbaikan selama proses penyusunan skripsi ini, terimakasih atas arahan, saran serta kritik yang bersifat membangun, semoga Allah SWT senantiasi membalas kebaikan Bapak.

6. Pimpinan perpustakaan, pengelola perpustakaan, Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi fasilitas untuk mengadakan studi kepustkaan. 7. Anjas Rinaldi Siregar, Aufal Jundi Abdalqawi, Dwi Mutia Ningrum,

Minhatul Maula, Muhamad Royhan, Ratu Bilqis, Wilda Amalia, dan Zaimatul Qistina yang senantiasa menemani dan memberikan dukungan kepada Penulis selama proses penulisan skripsi ini.

Semoga Allah senantiasa memberkan rahmat serta balasan terhadap kebaikan yang telah diterima oleh Peneliti. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu di bidang hukum keluarga.

Jakarta, 22 Februari 2021 M

(13)

xiii DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN...iv

ABSTRAK ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii

KATA PENGANTAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang Masalah ... 1

Identifikasi Masalah ... 5 Pembatasan Masalah ... 5 Rumusan Masalah ... 5 Tujuan Penelitian ... 6 Manfaat Penelitian ... 6 Kajian Pustaka ... 6 Metode Penelitian ... 10 Sistematika Penulisan ... 12

BAB II FASE PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN YORDANIA... 14

A. Indonesia ... 14

1. Sekilas Negara Indonesia ... 14

2.Perkembangan Hukum Keluarga Di Indonesia ... 15

B. Yordania ... 34

1.Sekilas Negara Yordania ... 34

2.Perkembangan Hukum Keluarga di Yordania ... 38

BAB III KETENTUAN KEWARISAN CUCU YATIM... 43

A. Hukum Kewarisan Islam ... 43

1. Pengertian Hukum Kewarisan ... 43

2. Rukun Waris ... 44

B. Ketentuan Wasiat Menurut Islam ... 52

1. Pengertian Wasiat ... 52

(14)

xiv

3. Wasiat Wajibah ... 55

C. Kewarisan Cucu Yatim Menurut Pendapat Ulama ... 57

1. Kewarisan Cucu Dari Anak Laki-Laki Menurut Pendapat Ulama...57

2. Kewarisan Cucu Yatim dari Anak Perempuan Menurut Pendapat Ulama ... 60

D. Ketentuan Kewarisan Cucu Yatim Dalam Hukum Keluarga di Indonesia ... 64

E. Ketentuan Kewarisan Cucu Yatim Dalam Hukum Keluarga Yordania ...69

BAB IV PERBANDINGAN KETENTUAN KEWARISAN CUCU YATIM72 A. Analisis Perbandingan Vertikal Ketentuan Kewarisan Cucu Yatim di Indonesia dan Yordania ... 72

B. Analisis Perbandingan Horizontal Ketentuan Kewarisan Cucu Yatim di Indonesia dan Yordania ... 78

C. Analisis Perbandingan Diagonal Ketentuan Kewarisan Cucu Yatim di Indonesia dan Yordania ... 81

BAB V PENUTUP ... 83

A. Simpulan ... 83

B. Saran ... 84

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Reformasi hukum keluarga Islam khususnya bidang kewarisan dan wasiat tidak banyak dilakukan di negara-negara Islam. Salah satu hal kontroversial dalam bidang kewarisan dan wasiat yang mengalami reformasi hukum adalah posisi cucu yatim terhadap harta warisan kakek atau neneknya. Cucu yatim adalah cucu yang kematian ayahnya tidak mendapat warisan kakek atau neneknya karena terhalang oleh saudara-saudara ayahnya. Hukum waris Islam mengatur bahwa cucu yatim terhijab oleh anak laki-laki untuk mendapatkan harta warisan kakek dan nenek. Hal ini disebabkan posisi anak pewaris menempati derajat pertama, dan cucu menempati derajat kedua. Menurut prinsip hukum Islam tradisional, “Ahli waris yang terdekat akan menghijab ahli waris yang jauh.” Maka, anak dari pewaris yang sudah meninggal tidak dapat memperoleh harta warisan selama pemilik bagian yang sudah ditetapkan dengan jelas (dzaw al-furud) masih ada.1 Selain itu, dalam Kitab Ahkam al-Mawarits menyebutkan bahwa “cucu terhalang oleh anak laki-laki si mayit, terhalang oleh bapaknya karena ia terhubung langsung dengan si mayit, dan terhalang oleh pamannya karena menjadi ashabah terdekat si mayit.”2

Selain itu, cucu dari anak perempuan pewaris juga tidak berhak mendapatkan warisan kakek atau neneknya. Dalam mazhab suni, cucu dari anak perempuan merupakan dzaw al-arham atau kerabat dari luar atau kerabat lak-laki atau perempuan dari jalur perempuan. 3Menurut Wahbah Zuhaili, Dzawil arham adalah kerabat mayit yang bukan termasuk dzawil

1

Asep Saepudin Jahar, Hukum Keluarga Pidana & Bisnis : Kajian Perundang-

Undangan Indonesia, Fikih, dan Hukum Internasional (Jakarta: Kencana Prenadamedia

Group Bekerja Sama Dengan UIN Jakarta Press, 2004), h.74. 2

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkam al-Mawarits fi al-Fiqh

al-Islam (Jakarta: Senayan Abadi, 2004), h.283.

3Sri Hidayati, “Ketentuan Wasiat Wajibah Di Pelbagai Negara Muslim

(16)

2

furudh atau ashabah baik dari kalangan perempuan seperti bibi dari garis ayah, bibi dari garis ibu, dan anak perempuan saudara laki-laki atau dari kalangan laki yaitu ayah dari ibu, anak saudari perempuan dan anak-anak dari anak-anak perempuan.4 Hal ini yang menyebabkan kesejahteraan cucu yatim tidak terpenuhi. Kenyataannya banyak anak-anak yang karena kematian orangtuanya tersebut hidup dalam kemiskinan, sementara saudara-saudara ayah hidup berkecukupan.5 Kasus tersebut mendapatkan perhatian dari berbagai negara di dunia sehingga banyak negara Islam yang melakukan reformasi untuk memungkinkan cucu tersebut mendapat bagian yang pasti dari warisan kakek-nenek.6 Terdapat beberapa metode yang menjadi solusi dari permasalahan ini, diantaranya memberikan wasiat wajibah, menjadikannya ahli waris pengganti, dan memberikan hak waris secara penuh.

Negara yang mengatur wasiat wajibah sebagai kewarisan cucu yatim menetapkan cucu berhak mendapatkan harta waris kakek-nenek tidak melebihi 1/3 dari harta peninggalannya. Beberapa negara yang menetapkan wasiat wajibah untuk cucu yatim adalah Mesir, Tunisia, Syria, Maroko, Irak, Kuwait dan Yordania. Namun, terdapat perbedaan terkait cucu yang berhak menerima wasiat wajibah itu. Seperti halnya di negara Yordania yang menetapkan bahwa hanya cucu dari anak laki-laki yang berhak mendapatkan wasiat wajibah, hal ini sesuai dengan Pasal 279 Huruf (D) Qanun Al-Akhwalul Syakhsiyah No.36 Tahun 2010 yang berbunyi:

“Wasiat Wajibah hanya diberikan kepada cucu dari anak laki-laki dari garis ayah dan seterusnya ke bawah dengan ketentuan dua bagian untuk cucu laki-laki.”

4Wahbah Az- Zuhaili, ed, Fiqh Islam Wa Adilatuhu Jilid 10, Penerjamah Abdul

Hayyie al- Kattani, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 373.

5Sri Hidayati, “Ketentuan Wasiat Wajibah Di Pelbagai Negara Muslim Kontemporer”, Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah, 12, No.1 (1 Februari, 2012), h.81.

6Kemal Faruki, “Orphaned Grandchildren In Islamic Succession Law A Comparation of Modern Muslim Solutions”, Islamic Studies, 4, 3 (1965), h.1.

(17)

Pasal tersebut mendapat banyak pertentangan dari masyarakat Yordania, terutama para aktivis perempuan termasuk The Jordanian National Comission for Women (JNCW) yang melakukan gerakan untuk menuntut Senat agar mempertimbangkan untuk mengubah Pasal 279 Qanun Al-Akhwalul Syakhsiyah, agar cucu dari anak perempuan berhak mendapatkan wasiat wajibah.7 Ketentuan tersebut dianggap tidak adil terhadap kaum perempuan mengingat sudah terdapat beberapa negara seperti Mesir, Tunisia, dan Maroko yang telah menetapkan bahwa cucu dari anak perempuan berhak mendapatkan wasiat wajibah.

Indonesia termasuk negara yang menetapkan cucu yatim berhak mendapatkan kewarisannya melalui ahli waris pengganti seperti yang disebutkan dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: 1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka

kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.

2) Bagian dari ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Dengan adanya ketentuan ahli waris pengganti, cucu dapat mewarisi bersama anak laki-laki dan anak perempuan pewaris.8 Aturan yang tercantum pada Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian hak waris dari ahli waris yang sudah meninggal kepada keturunannya yang masih hidup. Penetapan ahli waris pengganti dianggap sebagai suatu terobosan yang baru dan berani, karena sebelumnya tidak ada istilah ahli waris pengganti dalam hukum waris Islam.9 Keberanian merumuskan ahli

7

Jordan’s Civil Society Fights for More Rights in Personal Status Law, al-monitor .com, 26/Desember/2018/Jordan-civil-status-code-women-marriage-divorce-children.html.

8Hajar M, “Hak Kewarisan Cucu (Analisis Yurisprudensi Mahkamah Tinggi Syariah Di Selangor, Malaysia dan Mahkamah Agung Di Indonesia)”, Jurnal Hukum Ius

Quia Iustum, 21, 3 (2014), h.466.

9 Islachuddin Almubarok, “Ahli Waris Pengganti”, An-Nawa: Jurnal Studi Islam, 1, 2 (11 Desember, 2018), h.35.

(18)

4

waris pengganti kepada cucu yatim dan kemungkinan adanya pemberian hak yang imbang antara ahli waris laki-laki dan perempuan merupakan bentuk penerobosan terhadap kelangsungan watak fikih yang khilafiyah.10

Dengan demikian, Penulis tertarik untuk menganalisis perbandingan ketentuan waris cucu yatim di Negara Yordania yang mengatur waris cucu yatim melalui wasiat wajibah yang hanya diperuntukkan bagi cucu dari keturunan laki-laki, dan memilih Indonesia yang mempunyai ketentuan sangat berbeda terhadap waris cucu yatim yaitu dengan menetapkan cucu yatim sebagai ahli waris pengganti yang memungkinkan cucu dari anak laki-laki dan cucu dari anak perempuan berhak mendapatkan waris kakek/neneknya.

Alasan lain penulis tertarik untuk menganalisis ketentuan kewarisan cucu yatim di Indonesia dan Yordania adalah kedua negara tersebut merupakan negara yang telah melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam dan memodifikasi agar sesuai dengan kemasalahatan warganya. Pembagian tersebut merupakan pemetaan kelompok negara berdasarkan sudut pandang pemberlakukan undang-undang menurut Tahir Mahmood.11

Selain untuk membandingkan, Penulis juga tertarik untuk mengetahui dan menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi Indonesia dan Yordania dalam menetapkan cucu yang berhak mendapatkan waris, khususnya Yordania yang hanya memberikan kepada cucu dari anak laki-laki. Maka, Penulis tertarik untuk membahas “Kewarisan Cucu Yatim Dalam Hukum Keluarga Di Indonesia Dan Yordania.”

10Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum

Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h.63.

11Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Isam

(19)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan waris bagi cucu yatim dalam hukum Islam? 2. Bagaimana ketentuan waris bagi cucu yatim dalam hukum keluarga

Indonesia?

3. Bagaimana ketentuan waris bagi cucu yatim dalam hukum keluarga Yordania?

4. Apa yang menjadi alasan hukum Indonesia menentukan ahli waris pengganti sebagai kewarisan cucu yatim?

5. Apa yang menjadi alasan hukum Yordania menetapkan wasiat wajibah sebagai kewarisan cucu yatim?

6. Apakah persamaan dan perbedaan sistem kewarisan cucu yatim di Indonesia dan Yordania?

C. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasan akan lebih jelas dan terarah. Penulis hanya akan membahas mengenai Ketentuan Waris Cucu Yatim Dalam Hukum Keluarga Indonesia dan Yordania.

D. Rumusan Masalah

Fokus pada penelitian ini adalah kewarisan bagi cucu yatim dalam hukum keluarga di Yordania dan Indonesia. Permasalahan pada skripsi ini dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana ketentuan kewarisan cucu yatim dalam Hukum Keluarga Indonesia dan Hukum Keluarga Yordania?”. E. Tujuan Penelitian

(20)

6

1. Untuk menganalisis ketentuan kewarisan cucu yatim dalam hukum keluarga di Indonesia.

2. Untuk menganalisis ketentuan kewarisan cucu yatim dalam hukum keluarga di Yordania.

3. Untuk membandingkan sistem kewarisan cucu yatim dalam hukum keluarga Indonesia dan Yordania.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa manfaat, diantaranya; A. Manfaat Akademis

1. Dapat menjadi rujukan ilmiah bagi akademisi dalam mencari kajian tentang Hukum Keluarga di Indonesia dan Hukum Keluarga di Yordania khususnya mengenai kewarisan cucu yatim;

2. Memperkaya objek bahasan dalam disiplin ilmu hukum keluarga di dunia Islam;

B. Manfaat Perspektif

1. Dapat dijadikan bahan evaluasi atau refleksi bagi ketentuan kewarisan cucu yatim yang sedang berlaku di Indonesia dan Yordania.

G. Kajian Pustaka 1. Studi Terdahulu

Studi mengenai kajian yang berkaitan dengan kewarisan cucu yatim sudah banyak dilakukan, diantaranya; Aang Abdul Aziz (2017), menyatakan menurut Yahya Harahap penetapan ahli waris pengganti bagi cucu yatim dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil pengomparasian antara hukum Islam, hukum adat, dan hukum Eropa. Hukum adat yang diambil adalah hukum adat daerah Tapanuli Selatan yang dipadukan dengan ketentuan KUH Perdata Pasal 841 dan 842.12 Aisyah Eka

12 Aang Abdul Aziz, “Analisis Kritis Hukum Terhadap Kedudukan Ahli Waris Pengganti Dalam Hukum Keluarga Islam Di Indonesia”, Asy-Syari’ah, 19, 1 (2017), h.13.

(21)

Pratiwi (2016), menyatakan di Indonesia cucu yatim tetap mendapatkan waris hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam. Ketentuan ahli waris pengganti ini didasarkan pada keadilan distributif yaitu bagian yang diperoleh sebesar jasa dan tanggung jawab yang dibawa.13

Akhmad Khisni (2017), menyatakan ketentuan waris di negara Mesir, Tunisia, Syiria menetapkan cucu yatim berhak mendapatkan wasiat wajibah. Namun setiap negara tersebut mempunyai ketentuan yang berbeda terkait golongan atau cucu yang berhak mendapatkan wasiat wajibah. Di Indonesia cucu yatim mendapat bagian waris dengan ketentuan ahli waris pengganti Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, namun Pasal 185 masih menimbulkan perdebatan di kalangan yuris Islam.14 Azmi Reza (2017), menyatakan menurut Hazairin cucu termasuk dalam ahli waris dan berhak menggantikan kedudukan orangtuanya. Sedangkan menurut Yusuf al-Qardhawi, cucu tidak mempunyai hak waris terhadap harta kakeknya. Cucu hanya dapat menerima waris dari kakek melalui wasiat wajibah.15

Hajar M (2016), menyatakan bahwa ketentuan ahli waris pengganti yang terdapat dalam KHI dirumuskan melalui jalur yurisprudensi yang bersumber dari hukum adat. Selain itu, ketentuan ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam tidak sesuai dengan prinsip keadilan, asas ibari dalam teori ahli waris, tidak sejalan dengan unsur-unsur kewarisan dan juga bertentangan dengan prinsip keutamaan dan hijab. Sehingga perlu diadakannya tinjauan ulang terkait ketentuan ahli waris pengganti.16 Muhammad Mustofa (2017), menyatakan ketentuan ahli waris pengganti

13

Aisyah Eka Pertiwi, “Keadilan Distributif Kewarisan Cucu Yatim Dalam Kompilasi Hukum Islam.” (Tesis S-2 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2016), h.106.

14

Akhmad Khisni, “Hukum Kewarisan Cucu Di Negara Mayoritas Islam Dan Analisis Pasal 185 KHI Di Indonesia”, Jurnal Hukum Khaira Ummah, 12, 1 (1 Maret, 2017), h.125.

15 Azmi Reza, “Hak Cucu Atas Harta Kakek Ketika Orang Tuanya Meninggal Sebelum Kakek (Studi Komparatif Antara Pemikiran Hazairin Dan Yusuf al-Qardhawi)” (Skripsi S-1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Ar-Rainry Darussalam – Banda Aceh, 2017), h.88.

16 M. Hajar, “Asal Usul Dan Implementasi Ahli Waris Pengganti Persepektif Hukum Islam”, Asy-Syirah: Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, 50, 1 (Juni 2016), h.76.

(22)

8

dalam Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil ijtihad para ulama Indonesia. Pemberian waris kepada kerabat lebih diutamakan daripada memberikannya kepada pihak lain, sehingga diterapkannya ahli waris pengganti.17 Nabil Ashrof (2018), menyatakan ketentuan wasiat wajibah di Indonesia, Iran, dan Malaysia mempunyai kesamaan dalam hal definisi, tujuan serta manfaat, dan kadarnya. Dan terdapat perbedaan dalam hal penerima wasiat wajibah, sumber hukum serta kedudukan hukum. Dalam menetapkan wasiat wajibah Indonesia berpedoman pada maslahah mursalah, Iran dan Malaysia berpedoman pada pandangan Ibnu Hazm, yang wajib memberikan wasiat wajibah kepada kerabat yang tidak mendapatkan bagian warisnya.18

Dari studi terdahulu tersebut, maka terdapat perbedaan dengan penelitian ini. Pada penelitian ini akan dibahas perbandingan peraturan perundang-undangan kewarisan cucu yatim dalam hukum keluarga di Indonesia dan Yordania, serta ingin menganalisis faktor yang mempengaruhi ditetapkannya aturan tersebut.

2. Kerangka Konseptual a. Kewarisan

Waris menurut hukum Islam bermakna hukum yang mengatur mengenai peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli waris.19 Dalam istilah lain waris disebut juga sebagai fara’id. Hilman Hadikusumo sebagai ahli hukum adat memberikan definisi kewarisan sebagai hukum penerusan harta kekayaan dari satu generasi kepada keturunannya. 20Jadi, dapat

17

Muhammad Mustofa, “Ahli Waris Pengganti Dalam Kompilasi Hukum Islam”,

Inklusif (Jurnal Pengkajian Penelitian Ekonomi dan Hukum Islam), 2, 2 (1 Desember,

2017), h.64.

18 Nabil Asrof, “Komparasi Wasiat Wajibah Di Indonesia, Malaysia, Dan Irak,” (Skripsi S-1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h.61.

19 Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h.3.

20 Abdul Wasik dan Samsul Arifin, Fiqih Keluarga: antara Konsep dan Realitas, (Yogyakarta: Budi Utama, 2019), h.145.

(23)

disimpulkan kewarisan adalah peralihan atau pemberian harta peninggalan dari orang yang sudah meninggal (pewaris) kepada orang yang masih hidup (ahli waris).

b. Cucu Yatim

Ketika seorang kakek atau nenek menjadi pewaris dan mempunyai ahli waris beberapa anak yang salah satu anaknya meninggal namun anak yang meninggal tersebut mempunyai anak (cucu) maka anak tersebut yang dinamakan cucu yatim.21 Menurut hukum Islam, cucu yatim tidak berhak mendapatkan bagian waris ketika bersama ahli waris yang lebih dekat,hal ini didasarkan pada sebuah hadits yang mempunyai arti “Berikanlah bagian-bagian warisan kepada yang berhak dan harta yang tersisa adalah haknya para pihak laki laki yang terdekat.” Jadi, dapat dikatakan bahwa kewarisan cucu yatim terhijab oleh ahli waris terdekat. Hijab secara bahasa bermakna menahan, dinding, mencegah dan menghalangi.22 Secara istilah, hijab adalah dinding yang menjadi halangan untuk sampai pada suatu hal. Maksud dari dinding adalah halangan untuk menjadi ahli waris karena masih ada ahli waris yang mempunyai hubungan pertalian yang lebih dekat dengan pewaris. c. Hukum Keluarga di Indonesia

Hukum keluarga di Indonesia mengatur cucu yatim berhak mendapatkan warisan melalui ketentuan ahli waris pengganti atau Plaatsvervulling yang diatur dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam. Ahli waris pengganti adalah ahli waris yang haknya terbuka sebagai suatu akibat dari ketiadaan ahli waris tertentu.23 Konsep ahli waris pengganti merupakan suatu terobosan hukum baru dan merupakan hasil

21

Asep Saepudin Jahar, Ibid, h.74. 22

Suryati, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: Andi, 2017), h.61.

23Aulia Muthiah dan Novy Sri Partiwi Hardani, Hukum Waris Islam,

(24)

10

ijtihad dari pemikiran Prof. Hazairin dalam bukunya “Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran (1956)”.24

d. Hukum Keluarga di Yordania

Pada sistem hukum keluarga Yordania, cucu yatim berhak mendapatkan waris melalui ketentuan wasiat wajibah yang diatur dalam Pasal 279 Undang-Undang Yordania Al-Akhwalul Syakhsiyah Nomor 36 Tahun 2010. Namun, yang berhak menerima wasiat wajibah hanya cucu dari anak laki-laki. Istilah wasiat berasal dari kata washaitu-ushi asy-syai’a (Aku menyumbang sesuatu). 25Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukkan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian waris karena adanya suatu halangan tertentu. 26

Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud dengan kewarisan bagi cucu yatim dalam hukum keluarga Indonesia dan Yordania pada topik penelitian ini adalah pembagian atau peralihan harta peninggalan milik kakek/nenek kepada cucu yatim atau cucu dari anak sebagai ahli waris kakek/nenek yang telah meninggal sebelum pewaris dalam sistem hukum keluarga di Indonesia yang menentukan waris cucu yatim melalui ketentuan ahli waris pengganti dan Yordania yang menentukan wasiat wajibah sebagai waris cucu yatim.

H. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu strategi pertanyaan yang menekankan kepada pencarian makna, pengertian, konsep, gejala,

24 Ahmad Zarkasih, Ahli Waris Pengganti Pasal Waris Bermasalah Dalam KHI

(Kompilasi Hukum Islam), (Jakarta: Rumah Fiqh Publishing, 2019), h.34.

25 Eko Setiawan, “Penerapan Wasiat Wajibah Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam Kajian Normatif Yuridis”, Muslim Heritage, 1, 2, (November 2016-April 2017), h. 47.

26 Andi Syamsu Alam, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: PT Kencana, 2008), h.79.

(25)

simbol mengenai suatu hal, baik suatu peraturan di masyarakat atau yang lainnya dengan menggunkan beberapa cara yang disajikan secara naratif.27 Dalam penelitian ini, metode penelitian kualitatif digunakan untuk menjelaskan ketentuan kewarisan cucu yatim yang diatur oleh Undang-Undang Hukum Keluarga di Indonesia dan Yordania.

2. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah normatif-yuridis. Penelitian normatif merupakan suatu metode untuk meneliti hukum dari perspektif internal dengan objek penelitiannya adalah norma hukum. 28Pendekatan ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam terakait aturan tertulis maupun tidak tertulis. Disisi lain, penelitian normatif bertujuan untuk memberikan argumen yuridis ketika terjadi kekosongan, kekaburan dan konflik norma.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian pustaka (library reseacrh) yaitu menelusuri dan menemukan data yang sesuai dengan permasalahan penelitian ini. Setelah data terkumpul, maka penulis akan memaparkan data tersebut dan analisa.29

4. Sumber Bahan Hukum

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Data sekunder ini dibagi menjadi dua, yaitu: a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil dari

27

A. Muri Yusuf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian

Gabungan, cet.ke-1,(Jakarta: Prenadamedia Group,2014), h.329.

28I Made Pasek Diantha, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif dalam

Justifikasi Teori Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2017), h.12

29 Mukti Fajar Nd Dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif

(26)

12

tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu.30 Bahan hukum primer yang digunakan pada penelitian ini adalah Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 dan Qanun Rakmin 36 Lia’amin 2010 Al-Akhwalul Syakhshiyah (Undang-Undang Al-Akhwalul Syakhshiyah Nomor 36 Tahun 2010).

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah skripsi, jurnal, artikel yang relevan dengan tema ini.

5. Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah komparatif yaitu metode yang membandingkan bermacam-macam fakta di masyarakat beserta bidangnya untuk memperoleh perbedaan dan persamaan serta penyebabnya. Dari perbedaan dan persamaan tersebut maka akan ditemukan petunjuk mengenai perilaku masyarakat dari masa silam dan masa sekarang.31

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan dalam menyusun penulisan ini berpacu pada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

I. Sistematika Penulisan

Penulis membuat sistematika penulisan yang disusun perbab, hal ini bertujuan agar penulisan skripsi ini menjadi lebih terarah. Dalam skripsi ini, terdapat lima bab yang setiap sub babnya memiliki penjelasannya

30 Djulaeka Dan Devi Rahayu, Buku Ajar: Metode Penelitian Hukum, (Surabaya: Scopindo Media Pustaka, 2020), h.89.

31 JM Henny Wiludjeng, Dkk, Sosiologi Untuk Mahasiswa Fakultas Hukum, (Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 2019), h.30.

(27)

masing-masing. Bab pertama ini membahas pendahuluan yang di dalamnya memuat latar belakang masalah terkait penelitian ini, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan studi terdahulu, teori dan kerangka konseptual, dan metode penelitian. Bagian ini digunakan sebagai acuan untuk bab selanjutnya, agar tidak keluar dari pembahasan.

Bab kedua, bab ini mengurai mengenai sejarah perkembangan hukum keluarga di Indonesia dan Yordania . Selanjutnya bab ketiga, bab ini membahas ketentuan kewarisan cucu yatim, pada bab ini akan mengurai mengenai kewarisan cucu yatim dalam hukum Islam, kewarisan cucu yatim dalam hukum keluarga Indonesia, dan kewarisan cucu yatim dalam hukum keluarga Yordania.

Selanjutnya pada bab empat, bab ini membahas komparasi atau perbandingan kewarisan cucu yatim di Indonesia dan Yordania. Bab lima, bab ini merupakan penutup yang memuat simpulan dan saran. Simpulan ini diperoleh dari analisa terhadap ketentuan waris bagi cucu yatim di Indonesia dan Yordania.

(28)

14 BAB II

FASE PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN YORDANIA

A. Indonesia

1. Sekilas Negara Indonesia

Indonesia adalah salah satu negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara dan merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki koneksi langsung dengan pasar terbesar dunia dengan Selat Malaka sebagai jalur laut paling aktif di dunia dan menjadi rute utama pelayaran global.1 Indonesia memiliki luas wilayah sekitar 7,81 juta km2, dari total luas wilayah tersebut 3,25 juta km2 adalah lautan dan 2,55 juta km2 adalah Zona Ekonomi Eksklusif. Hanya sekitar 2,01 juta km2 yang berupa daratan.2 Berdasarkan data Globalreligiousfuture, penduduk Indonesia yang beragama Islam pada 2010 mencapai 209,12 juta atau sekitar 87% dari total populasi. Kemudian pada tahun 2020, penduduk Indonesia yang beragama Islam diperkirakan mencapai 229,62 juta jiwa.3

Indonesia adalah negara hukum, hal ini didasarkan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sistem hukum yang digunakan di Indonesia mengalami perubahan, terutama karena Indische Staatsregeling (IS) telah diganti dengan UUD 1945 sebagai sumber hukum. Sistem hukum Indonesia yang mengandung unsur-unsur hukum adat, hukum Islam, civil law, dan common law dalam perumusan setiap undang-undang dan menjadi bahan dan sumber yang tidak dapat

1Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus Republik Indonesia, kek.go.id/

Sekilas-Tentang-Indonesia.

2 Oki Pratama, “Konservasi Perairan Sebagai Upaya Menjaga Potensi Kelautan

dan Perikanan Indonesia”, kkp.go.id/ Konservasi-Perairan-Sebagai-Upaya-Menjaga-Potensi-Kelautan-dan-Perikanan-Indonesia.

3Viva Budykusnandar, Indonesia, Negara Dengan Penduduk Muslim Terbesar

(29)

diabaikan.4 Keanekaragaman hukum yang digunakan dalam sistem hukum tersebut dinamakan sebagai pluralisme hukum. Hukum adat digunakan di Indonesia karena hukum adat merupakan hukum asli yang lahir dari kebudayaan dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu, hukum Islam diberlakukan di Indonesia karena mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam, maka hukum Islam mendominasi berhukum penduduk Indonesia terutama dalam hal kewarisan, perkawinan, atau hukum kekeluargaan lainnnya.5 Civil law ditetapkan di Indonesia karena masuknya Belanda ke nusantara. Dengan masuknya Belanda secara langsung maupun tidak langsung membawa sistem hukum tersebut ke Indonesia. Pengaruh Civil Law terlihat pada bidang hukum perdata, hukum pidana, dan hukum dagang. Sedangkan common law diterapkan di Indonesia karena diawali melalui perjanjian-perjanjian atau konvensi internasional dimana Indonesia menjadi anggota dalam konvensi tersebut. Selain itu juga karena pengaruh dari sarjana hukum yang mendapat pendidikan di negara anglo saxon seperti Amerika Serikat dan Australia.6

2. Perkembangan Hukum Keluarga Di Indonesia

Fase perkembangan hukum keluarga terutama hukum kewarisan di Indonesia terbagi menjadi 3 masa, diantaranya adalah:

a. Masa Sebelum Penjajahan

Sebelum pemerintahan Belanda menjajah Indonesia, hukum Islam sudah banyak diterapkan di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan banyaknya kerajaan-kerajaan Islam pada masa itu yang sudah menerapkan hukum Islam, seperti Kerajaan Demak, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Gowa, Kerajaan

4Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasinal, Cet.2, (Jakarta: Gema Insani, 2006) h.219.

5Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, (Yogyakarta: Media Perkasa, 2013), h.75.

(30)

16

Ternate, dan Kerajaan Bima. Orang-orang Islam meyakini bahwa apabila mereka telah menerima Islam sebagai agama mereka, maka secara otomatis mereka akan menerima hukum Islam untuk diterapkan dalam setiap permasalahan yang ada.7 Hal inilah yang menyebabkan secara otomatis hukum Islam dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Salah satu cara yang dilakukan oleh kerajaan dan kesultanan pada masa itu dalam melaksanakan syari’at Islam adalah dengan membentuk institusi agama dan badan peradilan untuk memeriksa, memutus, dan mengadili perkara berdasarkan hukum Islam. Serta dengan menyebarkan pendekatan-pendekatan syariat seperti menanamkan bahwa menyelesaikan perkara di lembaga peradilan agama merupakan fardu kifayah atau kewajiban sosial bagi orang-orang Islam. Dengan adanya pendekatan syariat tersebut orang-orang Islam pada masa itu merasa wajib untuk menyelesaikan sengketa di lembaga peradilan agama yang telah dibentuk oleh kerajaan dan kesultanan pada masa itu.

Salah satu lembaga peradilan yang dibentuk oleh kerajaan dan kesultanan untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara orang Islam adalah melalui cara tahkim.8 Tahkim merupakan mubaligh atau guru atau orang-orang yang dianggap mampu dan mempunyai ilmu agama yang bagus. Dalam setiap penyelesaian sengketa termasuk mengenai waris antara orang muslim, hukum yang diterapkan oleh tahkim dalam mengadili setiap perkara adalah hukum Islam. Adapun dalam menyelesaikan perkara tersebut, mayoritas tahkim pada masa itu mengacu kepada ajaran Mazhab Syafii.9 Hal ini dikarenakan mayoritas kerajaan Islam di Indonesia

7 A. Ahmad Rosyadi dan M. Rais Ahma, Formulasi Syari’at Islam Dalam

Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), h.74.

8 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), h.139.

9 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo, 2010), h.38-39.

(31)

menganut paham Mazhab Syafii, seperti Kerajaan Samudera Pasai yang pada abad ke-13 secara resmi menganut hukum Islam Mazhab Syafii, Kerajaan Gowa, Kerajaan Ternate, Bima dan lainnya.10 Dari tahkim tersebut, hukum waris Islam dapat diterapkan sebagai hukum yang hidup di masyarakat (living law) sekaligus menjadi budaya di masyarakat pada masa itu. Salah satu bukti yang menandakan hukum Islam sudah menjadi budaya adalah adanya ungkapan di masyarakat Minangkabau yang menyebutkan bahwa “Hukum adat bersendikan Syara dan Syara bersendikan Kitabullah (al-Quran).11Masyarakat Minangkabau membuktikan bahwa hukum Islam sudah diterapkan dilingkungan masyarakat. Contoh lainnya adalah konsep Sapikul Sagendhongan dalam pembagian waris budaya Jawa. Sapikul Sagendhongan merupakan konsep pembagian waris dengan ketentuan pria mendapat sapikul dan wanita mendapat sagendhongan. Hal ini menggambarkan sikap masyarakat Jawa yang meninggikan pria dibandingkan wanita dalam hal kewarisan.12

Dari konsep pembagian waris sapikul sagendong terlihat adanya penerapan hukum waris Islam. Dalam hukum waris Islam ditetapkan bahwa laki-laki mendapatkan dua bagian dan perempuan mendapatkan satu bagian dalam setiap pembagian waris. Hal ini didasarkan pada QS. An-Nisa ayat 11 yang menyebutkan bahwa “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pustaka untuk) anak-anakmu yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” Dari ayat tersebut, masyarakat Jawa mengadopsi pembagian waris pihak laki-laki mendapat bagian lebih banyak daripada perempuan dengan istilah Sapikul

10 Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.53. 11 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandar Lampung: PT Citra Aditya Bakti, 2010), h.57.

12 Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, (Yogyakarta: Cakrawala, 2006), h.77.

(32)

18

Sagendhongan. Dengan adanya pengadopsian nilai-nilai waris Islam dalam konsep waris di Jawa, membuktikan bahwa hukum Islam sangat diterima dan sangat diterapkan oleh masyarakat Islam pada masa itu. Hukum Islam menjadi hukum yang hidup di masyarakat yang sekaligus menjadi budaya yang telah melekat pada kehidupan sosial masyarakat.

b. Masa Penjajahan Belanda

Pada masa penjajahan Belanda terutama pada masa VOC, kebijakan terkait hukum keluarga khususnya hukum kewarisan yang telah dilaksanakan oleh para sultan atau masyarakat Islam lainnya tetap dipertahankan. Bahkan pada masa VOC lebih banyak memberikan kemudahan dan fasilitas agar hukum Islam tetap berkembang.13 Salah satu bentuk kemudahan yang diberikan oleh VOC adalah menerbitkan buku-buku Islam untuk menjadi pegangan para hakim dalam memutus perkara. Adapun kitab yang diterbitkan diantaranya al- Muharrar atau Compedium Mogharaer Code yang diterbitkan di Semarang untuk Pengadilan Negeri Semarang dan Shirathal Mustaqim yang ditulis oleh Nuruddin ar- Raniry di Kerajaan Aceh.14

Selain menerbitkan kitab-kitab tersebut, pemerintah Belanda juga memerintahkan kepada D.W Freijer untuk menyusun sebuah ringkasan dalam bahasa Belanda mengenai hukum perkawinan dan kewarisan Islam yang diambil dari kitab-kitab fikih serta aturan yang berlaku pada masa kerajaan, lalu diperbaiki dan disempurnakan oleh penghulu dan ulama yang disebut dengan Compendium Freijer. Pemberlakukan Compendium Freijer didasarkan pada I.S. 25 Mei 1760 (Resolutie der Indische Regeling 25 Mei 1760, geapprobeerde

13Wati Rahmi Ria, Hukum Keluarga Islam, (Lampung: Sinar Bakti, 2017), h.4. 14Achmad Irwan Hamzani, Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2020), h.112.

(33)

civiele wetten der Mohammedanen). Selain Compendium Freijer, atas usul residen Cirebon Mr. P.C Hasselaer dibuatlah sebuah kitab Tjirebonsche Rechtsboek atau Pepakem Cirebon.15 Tjirebonsche Rechtsboek (Pepakem Cirebon) merupakan aturan yang memuat hukum perkawinan dan hukum waris yang berlaku di Cirebon.16

Pada tahun 1820 pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan Staatsblad 1820 No.22 Jo. Staatsblad 1835 Nomor 58 yang berisi bahwa bupati wajib memperhatikan soal-soal agama Islam. Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain dalam hal perkawinan, pembagian harta, dan sengketa yang sejenis maka pemuka agama dapat memberikan putusan.17 Dengan dikeluarkannya Staatsblad 1820 No.22 Jo. Staatsblad 1835 Nomor 58 menjadi landasan hukum bahwa dalam menyelesaikan sengketa waris yang digunakan adalah hukum waris Islam. Lalu, Compendium Freijer mengalami pembaharuan pada tanggal 3 Agustus 1828 dengan Besluit van den Comissaris Generaal termuat dalam Staatsblad 1828 Nomor 55. Compendium Freijer mulai dicabut keberlakuannya secara berangsur, dimulai dari materi hukum perkawinan pada awal abad ke-19, sedangkan hukum kewarisan baru dicabut pada tahun 1913 dengan Koninklikke Besluit tepatnya 17 Februari 1913 dalam Staatsbald 1913 Nomor 354. Dengan tidak berlakunya Compendium Freijer, maka berakhirlah riwayat hukum waris Islam secara tertulis dan hukum waris hanya tertampung pada Pasal 131 ayat (2) sub b I.S (Indische

15Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h.11-12.

16Barzah Latupono, La Ode Angga, dan Muchtar, Buku Ajar Hukum Islam Edisi

Revisi, (Yogyakarta: Deepublish, 2020), h.78.

17Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai

(34)

20

Staatsregeling) yang merupakan kelanjutan dari Pasal 75 Regelings Reglement tahun 1854. 18

Setelah dicabutnya Compendium Freijer, keberadaan hukum waris hanya ada pada kitab-kitab fiqih serta hukum adat jika tidak ada hukum agama yang mengaturnya. Hal ini didasarkan pada Pasal 75 Regerings Reglement (RR) tahun 1854 yang menyatakan bahwa “Dalam memberikan keadilan kepada golongan Indonesia, hakim mempergunakan asas-asas umum hukum perdata Eropa, bagi pedoman manakala mereka harus memutus perkara yang tidak diatur dalam ketentuan agama, lembaga-lembaga dan adat kebiasaan bangsa Indonesia yang mengaturnya.”

Keberadaan hukum waris Islam mulai terancam ketika munculnya teori Receptie yang dikemukakan oleh Vollenhoven dan Snouck Hurgrounje yang menyatakan bahwa Hukum Islam mempunyai kekuatan jika bisa masuk dan diterima menjadi hukum adat.19 Sehingga dengan adanya teori Receptie hukum kewarisan hukum Islam tidak dapat diberlakukan, jika belum diterima atau bertentangan dengan hukum adat. Hal ini didasarkan pada Pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling tahun 1929 berbunyi: “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi.”

Salah satu bentuk pelenyapan hukum waris Islam juga terdapat pada Staatsblad 1937 Nomor 116, yang mengatur:20

18Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h.13.

19A. Rachmad Rosyadi dan M. Rais Ahma, Formalisasi Syariat Islam Dalam

Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), h.76.

20M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: “Mempositifkan

Abstraksi Hukum Islam dalam Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional”, (Jakarta: Logos, 1999), h.27.

(35)

a) Hukum kewarisan Islam belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat

b) Mencabut kewenangan Peradilan Agama untuk mengadili perkara warisan dan wewenang ini dialihkan kepada Landraad

c) Pengadilan Agama ditempatkan di bawah pengawasan Landraad d) Putusan Pengadilan Agama tidak dapat dilaksanakan tanpa executoir

verklaring dari ketua Landraad

Munculnya teori Receptie sangat merugikan umat Islam di Indonesia, karena teori tersebut secara tidak langsung melenyapkan hukum Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari isi Staatsblad 1937 Nomor 116 yang menyatakan waris tidak lagi menjadi kewenangan pengadilan agama, dampak dari perpindahan kewenangan tersebut adalah waris menjadi kewenangan pengadilan negeri dan diadili berdasarkan hukum adat. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa Belanda sangat memaksakan umat Islam untuk menundukkan diri kepada hukum adat.

c. Masa Setelah Merdeka

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, hukum yang digunakan pada masa setelah merdeka adalah hukum yang berlaku pada masa penjajahan Belanda. Hal ini didasarkan pada Pasal I dan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa segala peraturan perundang-undangan dan lembaga negara yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.21 Sehingga, pada masa ini pengaruh teori Receptie masih dapat dirasakan yaitu kewarisan masih menjadi kewenangan pengadilan negeri yang

21 Wati Rahmi Ria dan Muhammad Zulfikar, Hukum Waris Berdasarkan Sistem

Perdata Barat Dan Kompilasi Hukum Islam, (Lampung: Gunung Pesagi Press, 2018),

(36)

22

diadili dengan hukum adat. Sehingga pada masa awal kemerdekaan hukum waris yang digunakan masih menggunakan hukum adat.

Pada dasarnya pasal peralihan tersebut mendapat pertentangan dari Hazairin yang berpendapat bahwa hukum kolonial Belanda yang hasil produk teori hukum Receptie dianggap tidak berlaku lagi karena bertentangan dengan alquran dan sunah rasul (teori receptie exit). Dan muncul juga teori Receptio a Contrario oleh Sajuti Thalib yang mengemukakan bahwa:

1) Bagi orang Islam berlaku hukum Islam

2) Hal tersebut harus sesuai dengan keyakinan dan cita-cita moral 3) Hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan

dengan agama Islam dan Hukum Islam22

Lalu, setelah mendapat banyak pertentangan dari berbagai kalangan pada tanggal 3 Desember 1960 teori Receptie dihapus berdasarkan Ketetapan MPRS No.11/MPRS/1960. Dalam Ketetapan MPRS No.11/MPRS/1960 juga menyatakan bahwa dalam penyempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris supaya diperhatikan adanya fakor-faktor agama. Setelah dikeluarkannya Ketetapan MPRS Nomor 11, Lembaga Pembinaan Hukum Nasional atau LPHN yang sekarang disebut BPHN menetapkan suatu keputusan pada tanggal 28 Mei 1962 mengenai hukum kekeluargaan Indonesia, yang berisi: 23

a) Di seluruh Indonesia hanya berlaku satu sistem kekeluargaan yaitu sistem parental, yang diatur dalam undang-undang, dengan

22 Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), h.15-17.

23Wati Rahmi Ria dan Muhammad Zulfikar, Hukum Waris Berdasarkan Sistem

Perdata Barat Dan Kompilasi Hukum Islam, (Lampung: Gunung Pesagi Press, 2018),

(37)

menyesuaikan sistem-sistem lain yang terdapat dalam hukum adat kepada sistem parental.

b) Hukum waris untuk seluruh rakyat diatur secara bilaterilal individual dengan kemungkinan adanya variasi dalam sistem bilateral individual, dengan kemungkinan adanya variasi dalam sistem bilateral tersebut untuk kepentingan golongan Islam yang memerlukannya.

c) Sistem keutamaan dan sistem penggantian dalam hukum waris pada prinsipnya sama untuk seluruh wilayah Indonesia, dengan sedikit perubahan bagi hukum waris Islam.

Lalu, pada tanggal 12-16 Maret 1963 diadakan Seminar Hukum Nasional di Jakarta. Salah satu bidang yang dibahas pada seminar tersebut adalah “Dasar-Dasar Tata Hukum Nasional dalam Bidang Hukum Waris” yang di dalamnya berisi:24

1) Tujuan sosialisme Indonesia sebagai pancaran Pancasila hendaknya selalu menjiwai penyusunan Undang-Undang Hukum Waris Nasional dengan mengindahkan prinsip keseimbangan pembagian antara laki-laki dan perempuan. 2) Kewarisan parental dalam menjelaskannya belum tentu harus

segera berakibat penarikan garis kekeluargaan parental seluruhnya. Oleh karena itu, dalam usaha menuju terlaksananya sistem kekeluargaan parental hendaknya dilaksanakan dengan bijaksana sesuai dengan perkembangan keadaan.25

3) Berkenaan dengan pemaparan Prof. Dr. Hazairin, S.H., hasil seminar berpendapat bahwa pada prinsipnya dapat diterima:

24

Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Edisi Revisi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), h. 136.

(38)

24

Hukum Kewarisan Nasional Republik Indonesia26

a) Hukum Kewarisan dalam kesatuan bulat tata hukum nasional b) Unifikasi dan kodifikasi Hukum Kewarisan

c) Hukum Kewarisan Nasional berdasarkan Pancasila.

d) Hukum adat yang tidak bertentangan dengan undang-undang Kewarisan Parental Individual dan Sosialisme Indonesia boleh berlaku terus.

e) Hukum kewarisan tertulis dari zaman kolonial dicabut sepenuhnya.

f) Peratuaran fara’idh untuk orang Islam diakui sebagai variasi dalam sistem kewarisan parental individual.

g) Untuk rakyat yang bukan beragama Islam tidak diadukan variasi dalam sistem kewarisan parental individual

h) Hukum kewarisan Islam adalah parental-individual

i) Hukum kewarisan parental-individual untuk rakyat, yang bukan beragama Islam, berlandaskan hukum adat yang sesuai dengn Pancasila

j) Janda dan duda sebagai ahli waris.

k) Sistem kewarisan parental untuk rakyat Indonesia harus individual

l) Tanggung jawab ahli waris secara terbatas.

m) Waktu berbagi selekas-lekasnya setelah 40 hari kematian. Pengluasan tugas Balai Harta Peninggalan, hibah, hibah-wasiat, dan wasiat:

1) Menurut hukum Islam 2) Menurut hukum adat

n) Mengenai paragraf 16, bulat pendapat agar suami atau istri saling mewarisi.

26 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Simposium Hukum Waris Nasional, (Jakarta: Departemen Kehakiman, 1989), h.253.

(39)

Setelah diadakannya seminar dan dikeluarkannya ketetapan MPRS dan LPHN tersebut sampai dicabutnya MPRS No.11/MPRS/1960, pemerintah Indonesia tidak mengeluarkan satupun undang-undang kewarisan walaupun Lembaga Pembinaan Hukum Nasional telah menyiapkan RUU Kewarisan.27 Pada saat itu, hanya terdapat dua rancangan undang-undang mengenai perkawinan yang sedikit membahas mengenai kewarisan dan hanya sebatas mengenai harta suami istri. Kedua rancangan undang-undang tersebut adalah:

1) RUU yang diajukan Pemerintah/Departemen Agama RI kepada DPR pada tanggal 27 Mei 1967 dengan nama RUU mengenai Pokok-Pokok Peraturan Pernikahan umat Islam.

2) RUU yang diajukan Pemerintah/Departemen Kehakiman RI kepada DPR pada tanggal 7 September 1968 dengan nama RUU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perkawinan.

Dari RUU tersebut, keduanya menyinggung hukum waris mengenai apabila terjadinya perceraian di antara suami istri karena cerai hidup maka harta bersama mereka dibagi kepada kedua pihak. Menurut RUU dari Departemen Agama pembagian tersebut dilakukan secara “berimbang” dan menurut RUU Departemen Kehakiman pembagian dilakukan dengan konsep “seorang separuh”. Apabila diantara suami istri terjadi perceraian karena cerai mati maka semua harta dipisahkan terlebih dahulu mana bagian yang menjadi hak orang yang masih hidup dan mana bagian orang yang meninggal. Lalu, harta peninggalan yang dijadikan warisan adalah harta yang telah dipisahkan milik orang yang meninggal tersebut.28

27 Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional,

(Depok: Gema Insani, 1996), h.135.

28 Sayuthi Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Edisi Revisi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), h.138.

(40)

26

Namun, kedua rancangan tersebut tidak menjadi undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat mengembalikan kedua RUU kepada pemerintah dan menganjurkan agar membuat RUU mengenai perkawinan yang baru. Lalu, pada tanggal 31 Juli 1973 pemerintah mengajukan kembali RUU Perkawinan yang baru. RUU Perkawinan tersebut sekarang sudah menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat pasal yang menjelaskan harta kekayaan suami istri (mempunyai hubungan kewarisan) yang termuat dalam Pasal 34, 36, dan 37.29

Sehingga pada saat itu, hukum yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan waris adalah hukum waris Islam yang terdapat pada kitab-kitab fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan yurisprudensi Mahakamah Agung yang sudah mulai digunakan pada tahun 1959.30 Terdapat 13 kitab fiqh yang ditetapkan sebagai referensi hukum materiil di Pengadilan Agama melalui Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama RI Nomor B/I/735 tanggal 18 Februari 1985.31 Diantara 13 kitab tersebut adalah:

a. Al-Bajuri b. Fathul Mu’in

c. Asy-Syarkawi ‘ala at-Tahrir d. Al-Qalyubi/al-Mahalli

e. Fathu al-Wahhab wa syarhuh; f. At-Tuhfah

29 Sayuthi Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Edisi Revisi), (Jakarta:

Sinar Grafika, 2018), h.139.

30Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Depok: Gema Insani, 1996), h.135.

31Warkum Sumitra, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial

(41)

g. Targhib al-Musytaq

h. Al-Qawanin asy-Syar’iyyah li Sayyid bin Yahya

i. Al-Qawanin asy-Syar’iyyah li Sayyid Shadaqoh Dachlan j. Asy-Syamsuri fi al-Faraid

k. Bughyah al-Mustarsyidin

l. Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah m. Al-Mughni al-Muhtaj

Penetapan kitab-kitab fiqih tersebut tidak berhasil memberikan jaminan kepastian hukum dan kesatuan hukum di pengadilan agama.32 Hal ini dikarenakan muncul persoalan krusial dan tidak adanya keseragaman hakim dalam menetapkan keputusan hukum yang dihadapi. Hukum Islam yang diterapkan di pengadilan agama cenderung simpang siur karena adanya perbedaan pendapat para ulama dalam setiap kasus.33Adanya kondisi tersebut mendorong pemerintah Indonesia untuk membentuk suatu aturan baku kodifikasi hukum keluarga berupa Kompilasi Hukum Islam, tepat pada tanggal 10 Juni Presiden menetapkan dan menandatangani sebuah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Dengan adanya instruksi presiden tersebut maka Kompilasi Hukum Islam secara resmi dapat disebarluaskan dan dapat digunakan sebagai salah satu rujukan di seluruh ketua pengadilan agama dan ketua pengadilan tinggi agama.34

Hukum kewarisan Islam diatur dalam buku II Kompilasi Hukum Islam, terdiri dari 6 bab dan terinci dalam 44 pasal. Secara garis besar materi hukum kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum

32Syukri Albani Nasution, Hukum Perkawinan Muslim: Antara Fikih Munakahat

dan Teori Neo-Receptie in Complexu, (Jakarta: Kencana, 2019), h.89-90.

33Dirjen Binbaga Islam, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1991), h.139.

34Eka Susylawati, Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Mengadili Perkara

(42)

28

Islam sebagai berikut : Bab 1 Ketentuan Umum (Pasal 171), Bab II Ahli Waris (Pasal 172-175), Bab III Besarnya Bagian (Pasal 176-191), Bab IV Aul dan Radd (Pasal 192-193), Bab V Wasiat (Pasal 194-209), dan Bab VI Hibah.35

Terdapat beberapa pokok-pokok materi hukum kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam, di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Secara umum mirip dengan faraidh

Ketentuan kewarisan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam berpedoman pada garis hukum faraidh. Hampir keseluruhan ketentuan kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam memedomani garis rumusan nash yang terdapat dalam Al-quran.36

b. Wasiat wajibah bagi anak angkat

Saat mengumpulkan bahan-bahan Kompilasi Hukum Islam, pada sebuah wawancara dengan kalangan ulama di Indonesia tidak ada satupun ulama yang menerima penerapan status anak angkat menjadi ahli waris. Menurut ulama pada saat itu, perumusan KHI tidak perlu melangkah membelakangi ijma’ ulama yang mengkaitkannya dengan perstiwa Zaid bin Hartsah. Oleh karena itu, perumus KHI menetapkan meskipun hukum adat menyamakan hak dan kedudukan anak angkat dengan status kandung, Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi hal tersebut seperti yang diatur dalam Pasal 171 Huruf h.

35Mahkamah Agung Republik Indonesia, Himpunan Peraturan

Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Kompilasi Hukum Islam dengan Pengertian dalam Pembahasannya, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2011), h.54.

36Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, cet, 2 (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), h.152.

(43)

c. Bagian anak laki-laki dan anak perempuan yang sesuai dengan nash

Pembagian waris anak laki-laki tidak mengalami reaktualisasi, dalam Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa “anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat duapertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.37 Pasal 176 sesuai dengan Q.s. An-Nisa (4): 11 yang menyebutkan bahwa “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pustaka untuk) anak-anakmu yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” d. Penertiban warisan bagi anak yang belum dewasa

Sebelum adanya perumusan Kompilasi Hukum Islam, pembagian warisan kepada anak yang belum dewasa kerap dilakukan hanya berdasarkan kepercayaan saja kepada salah satu kerabat dan tanpa adanya pengawasan dan pertanggungjawaban.38 Akibat dari hal tersebut adalah pada saat anak beranjak dewasa harta yang dipercayakan kepada kerabatnya lenyap ditelan oleh pemelihara hartanya. Untuk mengantisipasi ketidaktertiban pembagian kewarisan tersebut maka Pasal 184 Kompilasi Hukum Islam menggariskan suatu kepastian penegakkan hukum, di antaranya adalah:

1) Untuk menjamin terpelihara dan keutuhan harta warisan yang menjadi bagian anak yang belum dewasa diangkat wali.

37Suryati, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: Andi, 2017), h.86.

38 Eka Susylawati, Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Mengadili Perkara

Referensi

Dokumen terkait

Tarbiyatul Athfal Bahrul Ulum Desa Kp.. Al Hidayah Jl Lettu

Dengan adanya TAP MPR Nomor XVII tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia, maka hak pemajuan dan perlindungan keberadaan masyarakat hukum adat termasuk di dalamnya tanah ulayat

a. Guru membimbing peserta didik untuk mempersiapkan diri secara fisik dan psikis untuk mengikuti pembelajaran dengan melakukan berdoa, menanyakan kehadiran peserta

Selanjutnya, secara normatif dapat ditarik satu konsep difinisi yang utuh tentang substansi administrasi bangunan gedung yaitu suatu rangkaian per syaratan

- Untuk sales growth , hasil penelitian menunjukkan pengaruh yang positif dan tidak signifikan terhadap profitabilitas sedangkan pada nilai perusahaan memiliki

Untuk menggambar sebuah bentuk, baik itu sebuah kotak, sebuah polygon atau yang lain, ada dua method pilihan yaitu method fill() untuk menggambar

Peningkatan Kemampuan koneksi Matematis Siswa Dengan Menggunakan Pendekatan CTL, Universitas Syiah Kuala Lumpur, Jurnal Pendidikan Matematika PARADIGMA, vol 6 Nomor