• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERMODELAN POISSON S RATIO. Berikut ini adalah diagram alir dalam mengerjakan permodelan poisson s ratio.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV PERMODELAN POISSON S RATIO. Berikut ini adalah diagram alir dalam mengerjakan permodelan poisson s ratio."

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

94

BAB IV

PERMODELAN POISSON’S RATIO

4.1 Work Flow Permodelan Poisson Ratio

Berikut ini adalah diagram alir dalam mengerjakan permodelan poisson’s ratio. Selain dari data seismic, kita juga membutuhkan data pembanding (data seismic rock physics) yang berasal dari core.

Gambar 4.1 Diagram alir untuk permodelan Poisson’s Ratio (WISFIR laboratory research report, 2007).

(2)

95 Berdasarkan gambar di atas, syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk mendapatkan penampang avo_Rp dan avo_Rs adalah mengikatkan well seismik. Langkah ini dilakukan dengan cara membuat data offset-dependent sinthetic. Kemudian data offset-dependent seismic ini dikorelasi terhadap data seismik real.

Kemudian data offset-dipendent sinthetic ini kita inversi AVO untuk mendapatkan penampang avo_Rp dan avo_Rs. Pada penampang avo_Rp dan avo_Rs tersebut nilai Rp dan Rs dapat kita lihat dalam bentuk representasi warna.

(3)

96 4.2 Membaca Data Log dari Well

Pada saat awal kita membaca well, maka terkadang pada well tersebut belum terdapat log gelombang S.

Gambar 4.2 Log density dan gelombang P untuk well Said.

Gelombang S dapat kita prediksi dengan menggunakan persamaan Castagna di AVO. Gelombang S tersebut memiliki hubungan yang linear terhadap gelombang P. Secara umum persamaan Castagna dapat ditulis sebagai berikut.

(4)

97 Tetapi untuk well Said tersebut sudah terdapat log gelombang S, yang kemudian kita sebut sebagai S-Wave original. Log S-Wave original tersebut dapat kita cross plot terhadap density berdasarkan rentang kedalaman. Hal ini dapat kita lihat sebagai berikut.

Cross Plot Rho Vs Poisson's Ratio

y = -0,3348x + 1,9105 0 0,5 1 1,5 2 2,5 0,36 0,37 0,38 0,39 0,4 0,41 Poisson's Ratio D e n s it y ( g /c c ) Depth 900-1100 meter Linear (Depth 900-1100 meter) (a)

Cross Plot Rho Vs Poisson's Ratio

y = 7,3193x - 0,805 1,7 1,8 1,9 2 2,1 2,2 0,37 0,38 0,39 0,4 0,41 Poisson's Ratio D e n s it y ( g /c c ) Depth 1100-1300 meter Linear (Depth 1100-1300 meter) (b)

(5)

98

Cross Plot Rho Vs Poisson's Ratio

y = 20,19x - 5,8744 1,8 1,9 2 2,1 2,2 2,3 0,38 0,385 0,39 0,395 0,4 Poisson's Ratio D e n s it y ( g /c c ) Depth 1300-1500 meter Linear (Depth 1300-1500 meter) (c)

Cross Plot Rho Vs Poiss on's Ratio

y = 15,195x - 3,8387 1,9 2 2,1 2,2 2,3 0,388 0,39 0,392 0,394 0,396 0,398 0,4 Poisson's Ratio D e n s it y ( g /c c ) Depth 1500-1700 meter Linear (Depth 1500-1700 meter) (d)

Cross Plot Rho Vs Poisson's Ratio

y = -1,7807x + 2,9372 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5

Pois son's Ratio

D e n s it y ( g /c c ) Depth 1700-1900 meter Linear (Depth 1700-1900 meter) (e)

(6)

99

Cross Plot Rho Vs Poisson's Ratio

y = -0,5557x + 2,647 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5

Pois son's Ratio

D e n s it y ( g /c c ) Depth 1900-2100 meter Linear (Depth 1900-2100 meter) (f)

Cross Plot Rho Vs Poisson's Ratio

y = -0,7981x + 2,7073 2,5 2,55 2,6 2,65 2,7 0 0,05 0,1 0,15 0,2 Poisson's Ratio D e n s it y ( g /c c ) Depth 2100-2300 Linear (Depth 2100-2300) (g)

Cross Plot Rho Vs Poisson's Ratio

y = -0,1348x + 2,6293 2,54 2,56 2,58 2,6 2,62 2,64 2,66 0 0,05 0,1 0,15 0,2 Poisson's Ratio D e n s it y ( g /c c ) Depth 2300-2500 meter Linear (Depth 2300-2500 meter) (h)

(7)

100

Cross Plot Rho Vs Poisson's Ratio

y = -1,1849x + 2,7794 2,5 2,55 2,6 2,65 2,7 0 0,05 0,1 0,15 0,2 Poisson's Ratio D e n s it y ( g /c c ) Depth 2500-2700 meter Linear (Depth 2500-2700 meter) (i)

(8)

101

Cross Plot Rho Vs Poisson's Ratio

y = 15,195x - 3,8387 (depth 1500-1700 meter) y = -0,5557x + 2,647 (depth 1900-2100 meter) y = -1,1849x + 2,7794 (depth 2500-2700 meter) y = -1,7807x + 2,9372 (depth 1700-1900 meter) y = -0,3348x + 1,9105 (depth 900-1100 meter) y = 7,3193x - 0,805 (depth 1100-1300 meter) y = 20,19x - 5,8744 (depth 1300-1500 meter) y = -0,7981x + 2,7073 (depth 2100-2300 meter) y = -0,1348x + 2,6293 (depth 2300-2500 meter) 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 Poisson's Ratio D e n s it y ( g /c c )

Depth

900-1100 meter

Depth

1100-1300

meter

Depth

1300-1500

meter

Depth

1500-1700

meter

Depth

1700-1900

meter

Depth

1900-2100

meter

Depth

2100-2300

meter

Depth

2300-2500

meter

Depth

2500-2700

meter

(j)

(9)

102 Gambar 4.3 Crossplot massa jenis (density) terhadap kedalaman (a) pada kedalaman 900-1100 meter (b) pada kedalaman 1100-1300 meter (c) pada kedalaman 1300-1500 meter (d) pada kedalaman 1500-1700 meter (e) pada kedalaman 1500-1700-1900 meter (f) pada kedalaman 1900-2100 meter (g) pada kedalaman 2100-2300 meter (h) pada kedalaman 2300-2500 meter (i) pada kedalaman 2500-2700 meter, dan (j) gabungan dari seluruh kedalaman.

(10)

103 4.3 Inversi AVO

4.3.1 Permodelan AVO untuk single well

Langkah ini dilakukan untuk memilih well yang akan digunakan untuk menghasilkan AVO sintetik. Karena kita hanya menggunakan satu well saja, maka kita pilih well tersebut (well Said). Karena dalam kasus kita kali ini hanya memiliki log gelombang P dan log density, maka kita dapat menghasilkan log gelombang S dengan menggunakan operasi persamaan Castagna

Gambar 4.4 Tampilan untuk memasukkan nilai konstanta pada persamaan Castagna yang memberikan hubungan linear antara kecepatan gelombang P dan kecepatan gelombang S.

Maka pada window AVO modeling untuk single well (well Said) tampak sebagai berikut

(11)

104 Gambar 4.5 Log gelombang S well Said hasil transformasi dengan log

(12)

105 4.3.2 Membuat Seismik Sintetik

Pada operasi ini akan dihasilkan offset-dependent synthetic menghitung ray-tracing untuk menghitung incidence dan persamaan Zoeppritz untuk menghitung amplitude. Hanya primary reflection events yang akan dimodelkan.

Gambar 4.6 Trace seismik untuk well Said dengan menggunakan wave 0.

4.3.3 Memasukkan Data Seismik Prestack

Sekarang kita telah menghasilkan data sintetik seismogram, kita akan membandingkan data tersebut dengan data seismik sebenarnya. Sebelumnya kita loading terlebih dahulu data seismik tersebut.

(13)

106 Gambar 4.7 Data Pre Stack Time Migration.

Berdasarkan gambar di atas, well Said berada pada CDP 2616. Kurva yang diinsert pada well adalah log gelombang P. Pada waktu yang bersamaan, AVO modeling window juga menampilkan data real seismik di sekitar lokasi well Said.

(14)

107 Gambar 4.8 Data seismik real di sekitar well Said.

4.3.4 Mengekstrak Wavelet dan Mengkorelasi Log

Sekarang data seismik telah diload, kita dapat melihat beberapa perbedaan antara data real seismik dan data sintetik. Perbedaan yang pertama adalah time of event pada data sintetik berbeda dengan data real seismik. Hal ini disebabkan karena kita belum menerapkan koreksi checkshot dan kurva time-depth membutuhkan sedikit modifikasi. Perbedaan yang kedua adalah penggunaan wavelet pada data sintetik yang belum sesuai dengan wavelet data real seismik.

(15)

108 Untuk langkah pertama, kita akan mengekstrak wavelet dari data seismik real. Kemudian wavelet tersebut akan kita gunakan untuk membuat data sintetik dari well Said yang baru dan lebih sesuai dengan data seismik real.

(a) (b)

Gambar 4.9 Wavelet hasil ekstraksi (a) Wavelet yang dipilih untuk membuat seismik sintetik dari well (b) Sebaran frekuensi dari wavelet yang dipilih.

Setelah kita mengekstraksi wavelet dari data seismik real dan melakukan koreksi checkshot, maka tampilan untuk data sintetik adalah sebagai berikut.

(16)

109 Gambar 4.10 Trace seismik sintetik setelah menggunakan wavelet hasil ekstraksi.

Operasi terakhir adalah korelasi log. Ini adalah proses untuk mengkoreksi kurva depth-time yang digunakan untuk menghitung data sintetik. Pada AVO modeling window terdapat 2 macam trace seismik. Trace yang berwarna biru adalah trace yang berasal dari sintetik, sedangkan trace yang berwarna merah adalah yang diekstrak dari data seismik real. Untuk operasi ini langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan rotasi phasa pada data sintetik sampai pada akhirnya kita mendapatkan nilai korelasi yang tinggi.

(17)

110 Gambar 4.11 Rotasi phasa trace seismik sintetik untuk menghasilkan korelasi tinggi.

Setelah kita melakukan rotasi phasa terhadap data sintetik, langkah berikutnya adalah melakukan koreksi terhadap kurva depth-time dengan menghubungkan antara puncak dan lembah trace data sintetik (biru) dengan trace data seismik real (merah).

Gambar 4.12 Langkah-langkah peaking untuk melakukan koreksi terhadap kurva depth-time untuk menghasilkan korelasi tinggi.

(18)

111 Setelah kita melakukan peaking terhadap kedua trace tersebut dan menstrechnya, maka kita akan memperoleh nilai korelasi yang lebih tinggi (nilai korelasi awal=0,499; nilai korelasi akhir=0,503)

Data sintetik yang baru akan terlihat sebagai berikut pada AVO window modelling

(19)

112 4.3.5 Analisis AVO pada Data 2D

Untuk menyederhanakan tampilan nilai amplitude, maka nilai amplitude tersebut dapat ditunjukan dengan representasi warna.

Gambar 4.14 Representasi warna untuk menunjukan amplitude pada data seismik real.

Sekarang, kita akan melihat beberapa fungsi analisis AVO penting. Fungsi analisis yang pertama adalah Super Gather. Super Gather adalah proses membentuk CDP rata-rata untuk meningkatkan signal to noise ratio. Rata-rata

(20)

113 dilakukan dengan mengumpulkan CDP-CDP terdekat dan menjumlahkan mereka secara bersamaan.

Hasil dari proses ini adalah sebagai berikut.

Gambar 4.15 Data seismik real yang telah melalui proses super gather.

Setelah kita melakukan proses super gather, maka langkah yang terakhir pada AVO modeling adalah menghasilkan AVO attribute volume dari super gather volume. Langkah terakhir ini dilakukan untuk menghasilkan avo_Rp dan avo_Rs seperti berikut ini.

(21)

114 (a)

(22)

115 (b)

(23)

116 4.4 Permodelan dan Inversi untuk Menghasilkan Penampang Poisson’s Ratio Untuk melakukan modeling dan inversi maka kita membutuhkan 2 input data yang dihasilakan dari analisis AVO, yaitu avo_Rp dan avo_Rs.

4.4.1 Membaca Data Log dari Well

Untuk membaca data log dari well, hal tersebut telah dilakukan sebelumnya.

4.4.2 Memasukkan data avo_Rp dan avo_Rs

Avo_Rp dan avo_Rs yang diloading memiliki bentuk Post stack. Hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut.

(24)

117 (b)

Gambar 4.17 Data post stack hasil analisis AVO(a) Data post stack avo_Rp (b) Data post stack avo_Rs.

4.4.3 Import Horizon

Setelah kita memasukkan avo_Rp dan avo_Rs, maka langkah berikutnya adalah memasukkan horizon pada avo_Rp volume dan avo_Rs volume. Horizon ini adalah batas antara 2 lapisan yang berbeda. Beda lapisan tersebut dapat dilihat dari jenis ataupun umur batuan penyusunnya.

(25)

118 (a)

(26)

119 Gambar 4.18 Data post stack yang telah diberi horizon (a) Data post stack avo_Rp yang telah diberi horizon (b) Data post stack avo_Rs yang telah diberi horizon.

4.4.4 Menghasilkan Model Awal (Inisial Model)

Pada langkah ini kita akan membuat model awal penampang P-Impedance (Acoustic Impedance) dan S-Impedance (Shear Impedance).

(27)

120 (b)

Gambar 4.19 Model awal untuk melakukan inversi (a) Model awal P-Impedance (b) Model awal S-Impedance.

4.4.5 Inversi Berdasarkan Model Awal

Setelah melakukan permodelan, maka langkah selanjutnya adalah inversi berdasarkan model yang kita buat (Acoustic Impedance model dan Shear Impedance model). Secara umum seismogram yang kita peroleh adalah hasil konvolusi antara wavelet dengan koefisien refleksi. Secara matematis dapat kita tuliskan sebagai berikut

Seismogram = Wavelet * Koefisien refleksi (4.2)

(28)

121 Koefisien refleksi = Wavelet-1 * Seismogram (4.3)

Persamaan 4.3 dapat juga dituliskan secara lebih umum sebagai berikut

P = L-1 * t (4.4) Maka 1 * P Lt ∆ = ∆ (4.5)

Persamaan (4.5) dapat juga dituliskan sebagai berikut

(

T

)

1 T

P L L λIL t

∆ = + ∆ (4.6)

Untuk proses inversi, ∆P ini dicari secara berulang-ulang dengan menggunakan persamaan (4.6) agar kita mendapatkan model yang mendekati model sebenarnya, walaupun model tersebut tidak eksak. Jika kita misalkan Ptrue adalah nilai P hasil observasi (P dari seismogram) dan Pmodel adalah nilai P dari model awal yang kita tebak, maka untuk mendapatkan Ptrue dari Pmodel, kita masukkan nilai P tersebut ke dalam persamaan Ptrue ≈ Pmodel + ∆P.

(29)

122 (a)

(b)

Gambar 4.20 Hasil inversi model awal (a) Penampang P-Impedance (b) Penampang S-Impedance.

(30)

123 Untuk mendapatkan penampang Poisson’s Ratio, kita masukkan kedua penampang hasil inversi tersebut di atas ( penampang Acoustic Impedance dan penampang Shear Impedance ) ke dalam persamaan Poisson’s Ratio.

2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 1       −       − =       −       − = AI SI AI SI V V V V P S P S σ (4.7)

Dimana SI adalah Shear Impedance dan AI adalah Acoustic Impedance.

Setelah kita menggunakan persamaan di atas maka kita akan peroleh penampang persamaan Poisson’s Ratio seperti di bawah ini.

(31)

124 Gambar 4.21 Penampang Poisson’s Ratio hasil inversi.

Berdasarkan hasil inversi penampang Poisson’s Ratio tersebut, tiap warna merepresentasikan rentang nilai Poisson’s Ratio. Semakin kecil nilai Poisson’s Ratio, maka lapisan tersebut semakin keras. Sebaliknya, semakin besar nilai Poisson’s Ratio, maka lapisan tersebut semakin lunak.

Gambar

Gambar 4.1 Diagram alir untuk permodelan Poisson’s Ratio (WISFIR laboratory  research report, 2007)
Gambar 4.2 Log density dan gelombang P untuk well Said.
Gambar  4.4  Tampilan  untuk  memasukkan  nilai  konstanta  pada  persamaan  Castagna  yang  memberikan  hubungan  linear  antara  kecepatan  gelombang P dan kecepatan gelombang S
Gambar 4.6 Trace seismik untuk well Said dengan menggunakan wave 0.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di Sekolah Dasar yakni : a) mengenalkan konsep yang berkaitan dengan masyarakat serta lingkungannya. b)

Jika anda memilih 25 kotak secara acak tanpa dikembalikan dari ribuan kotak yang diisi pada sebuah shift, sampel ini jumlahnya jauh lebih sedikit dari 5%

Karena tingkat ketidakpastian yang relatif tinggi dari data-data laju transpor nitrogen global, pada saat ini tidak mungkin untuk menentukan apakah siklus nitrogen di laut

Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi multikolinieritas, salah satunya yaitu dengan menggunakan nilai VIF ( Variance Inflation Factor ) dari

(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain

Berdasarkan hasil analisa data, observasi dan wawancara yang dilakukan diketahui bahwa dengan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe think pair square memberikan dampak yang

“Bimbingan Konseling Sufistik Dalam Mengurangi Stres Pada Calon Jemaah Umrah yang Gagal Berangkat” (Studi Kasus Calon Jemaah Umrah PT..

Pengujian hasil clustering dengan standar deviasi Setelah proses clustering dengan menggunakan k-means dan fuzzy c-means dilakukan, selanjutnya dilakukan perhitungan rata-rata