• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2 SEKILAS TENTANG UMKM BATIK DI KOTA SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2 SEKILAS TENTANG UMKM BATIK DI KOTA SURAKARTA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 2

SEKILAS TENTANG UMKM BATIK DI

KOTA SURAKARTA

2.1. UMKM Batik Di Kota Surakarta

Kota Surakarta atau Kota “Solo” tidak bisa dilepaskan dengan komoditas batik karena nilai historis yang dimilikinya. Usaha batik yang umumnya merupakan usaha rumah tangga banyak diusahakan di dua sentra batik yaitu sentra laweyan dan Mutihan. Khusus untuk Laweyan, sentra ini telah diresmikan sebagai kampung Batik oleh Walikota Surakarta pada pertengahan tahun 2004.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Islam Batik (UNIBA) Surakarta, diketahui bahwa dari 22 pengusaha yang ada di sentra tersebut belum ada yang masuk kategori usaha menengah berdasarkan jumlah tenaga kerja. Belum ada usaha batik yang mempunyai lebih dari 100 tenaga kerja. Oleh karena itu kecilnya skala usaha ini berkorelasi dengan lemahnya berbagai aspek usaha mereka seperti aspek produksi, pemasaran, sumber daya manusia dan keuangan. Berbagai aspek tersebut saling berhubungan. Kurangnya tenaga pembatik yang terampil menyebabkan kurangnya inovasi dalam berproduksi. Minimnya inovasi menyulitkan pembukaan pasar baru yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya keuntungan usaha. Minimnya profit margin pada akhirnya

(2)

berakibat pada rendahnya upah pekerja sehingga berdampak pada makin sedikitnya tenaga kerja yang tertarik untuk bekerja pada bidang ini. Oleh karena kompleksnya permasalahan yang dihadapi maka tidak aneh bila pertumbuhan industri batik di Laweyan relatif stagnan.

Ditinjau dari segi bidang usaha yang dilakukan, sebagian besar pengusaha adalah saudagar batik yaitu para pengusaha yang menguasai bisnis batik dari hulu ke hilir. Selain itu masih terdapat perajin batik/ pembatik, pembuat pakaian bercitra batik/ konveksi dan pedagang produk batik. Daerah pemasaran mereka umumnya masih sebatas Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Jogjakarta. Kesulitan yang dihadapi para pengusaha makin besar dengan masuknya batik cetak/ print dan batik cap. Dengan demikian secara keseluruhan ada empat jenis batik yaitu batik tulis, batik kuas, batik cap dan batik cetak/ print. Berdasarkan survey UNIBA, diketahui bahwa jumlah pengusaha yang masih mengusahakan batik tulis jumlahnya menyusut menjadi satu orang, batik cap, print dan kuas masing masing diusahakan oleh dua orang sedangkan kombinasi beberapa jenis batik/ campuran dilakukan oleh 50 persen pengusaha , yaitu 11 orang. Sisanya sebanyak empat orang merupakan pedagang batik.

(3)

Gambar 2.1 Proses Produksi batik Tulis

(4)

Gambar 2.2 Proses Produksi Batik Cap

Sumber : data sekunder, 2001

Berdasarkan gambar tersebut terlihat rumitnya proses produksi batik. Proses ini masih berlanjut bila kain batik yang dihasilkan akan dijual dalam bentuk garmen sehingga harus melalui tahap penjahitan dan pengemasan dengan mencantumkan merk dagang pengusaha. Sebagian besar

(5)

pasar ekspor namun sampai saat ini masih dilakukan melalui perantara dan belum digarap dengan baik.

2.2 Profil UMKM Sampel

Potensi UMKM dapat dilihat dari empat indikator yaitu tingkat pendidikan pengelola UMKM, usia UMKM, motivasi berusaha, dan ketrampilan manajemen keuangan. Oleh karena itu profil UMKM sampel akan difokuskan pada empat indikator tersebut.

Indikator 1 : Tingkat Pendidikan

Hampir separuh (46,67%) dari total responden memiliki tingkat pendidikan SMA/ sederajat, diikuti 28,89 persen responden yang berpendidikan tamat sekolah dasar (SD). Hal ini mengindikasikan adanya kemampuan dalam mengolah informasi yang berguna bagi kemajuan usahanya. Kondisi ini berlaku pada berbagai skala usaha, baik mikro, kecil dan menengah.

Tabel 2.1 Distribusi Responden menurut Tingkat Pendidikan Skala Usaha Tdk tamat SD Tamat SD Tamat SMP/ Sederajat Tamat SMA/ Sederajat PT Total f % f % f % f % f % Mikro 1 3.70 5 18.52 4 14.81 15 55.56 2 7.41 27 Kecil 0 0.00 5 38.46 2 15.38 4 30.77 2 15.38 13 Menengah 0 0.00 3 60.00 0 0.00 2 40.00 0 0.00 5 Total 1 2.22 13 28.89 6 13.33 21 46.67 4 8.89 45

Sumber: Data Primer, 2005

Indikator 2 : Motivasi Berusaha

Untuk menilai motivasi berusaha yang dimiliki sampel, digunakan sejarah kepemilikan usaha sebagai

(6)

pengukurnya. Hal ini dilakukan dengan pemahaman bahwa jika suatu usaha didirikan atas inisiatif sendiri maka motivasi berusaha sang pemilik akan lebih tinggi dibandingkan dengan usaha yang diperoleh dari warisan.

Tabel 2.2 Motivasi Berusaha Menurut Skala Usaha

Inisiatif Sendiri Warisan

Total Skala Usaha f % f % Mikro 27 64.28571 0 0 27 Kecil 11 26.19048 2 66.66667 13 Menengah 4 9.52381 1 33.33333 5 Total 42 100 3 100 45

Sumber: Data Primer, 2005

Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa hampir seluruh responden mempunyai usaha yang bukan warisan dan didirikan sendiri oleh mereka. Hal ini seharusnya menjadi faktor pendorong yang kuat dalam mengemabngkan usaha. Semangat kewirausahaan mereka mestinya terus dipupuk dan dikembangkan melalui berbagai pelatihan.

Indikator 3: Ketrampilan Pengelolaan Keuangan Sejumlah 24 dari 45 responden telah menerapkan manajemen keuangan sederhana berupa pencatatan keuangan dalam usahanya. Kondisi ini wajar mengingat kompleksnya usaha yang dikelola. Namun kegiatan pemisahan keuangan usaha dengan keuangan pribadi

(7)

Tabel 2.3 Penerapan Manajemen Keuangan Sederhana

KOMODITAS

Membuat Catatan Keuangan

Ya Tidak

Total

f % f %

Batik 24 53.33 21 46.67 45

KOMODITAS

Memisahkan Keuangan Usaha & Pribadi

Ya Tidak

Total

f % f %

Batik 10 22.22 35 77.78 45

KOMODITAS

Memanfaatkan Catatan Keuangan

Ya Tidak

Total

f % f %

Batik 10 22.22 35 77.78 45

Sumber: Data Primer, 2005

Indikator 4 : Tahun Memulai Usaha

Tahun pendirian usaha berguna untuk memberikan informasi tentang lama usaha. Sebanyak 77,78 persen dari total responden menyatakan bahwa usaha mereka berdiri antara tahun 1981-2000. Ini berarti lama usaha sekitar lima sampai dengan 20 tahun. Tidak banyak usaha baru yang didirikan selama lima tahun terakhir. Data pada tabel 3.6 menunjukkan hanya empat dari 45 responden yang menyatakan lama usaha mereka kurang dari lima tahun (tahun pendirian 2001- sekarang). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa industri batik relatif stagnan.

(8)

Tabel 2.4 Distribusi Responden menurut Tahun mulai Usaha

Komoditas Sebelum 1980 1981 - 2000 Sesudah 2000 lupa

Total Skala usaha f % f % f % f % Batik Mikro 2 7.41 23 85.19 2 7.41 0 0.00 27 Kecil 3 23.08 8 61.54 2 15.38 0 0.00 13 Menengah 1 20.00 4 80.00 0 0.00 0 0.00 5 Total 6 13.33 35 77.78 4 8.89 0 0.00 45

Sumber: Data Primer, 2005

Dengan melakukan skoring terhadap data dari empat indikator tersebut dapat ditentukan potensi pengembangan UMKM batik. Perhitungan potensi dilakukan dengan menghitung rata-rata skor dari setiap indikator yang diperoleh dengan mengalikan frekuensi dan bobot pada setiap kategori jawaban yang terdapat pada indikator yang bersangkutan. Selanjutnya skor yang diperoleh dari setiap indikator akan dijumlahkan dan dicari nilai rata-ratanya agar diperoleh hasil perhitungan potensi. Kriteria potensi diklasifikasikan sebagai berikut:

RANGE SKOR KRITERIA POTENSI

0-1 RENDAH

(9)

Dengan berpedoman pada langkah tersebut maka hasil perhitungan potensi sampel adalah sebagai berikut:

Tabel 2.5 Perhitungan Potensi Responden

Tingkat Pendidikan Frekuensi Bobot Skor

Tdk sekolah 1 0 0

Tamat SD 13 1 13

Tamat Sek.menegh 27 2 54

PT 4 3 12

SubTotal 45 1.755556

Lama Usaha f Bobot Skor

>25 tahun 6 3 18

5-25 tahun 35 2 70

<5 tahun 4 1 4

Sub Total 45 2.044444

Motivasi Berusaha f Bobot Skor

inisiatif sendiri 42 3 126

warisan 3 2 6

lain-lain 0 1 0

Sub Total 45 2.933333

Ketr.Manj. Keuangan f Bobot Skor

Ya =3 10 3 30 Ya =2 0 2 0 ya=1 14 1 14 ya=0 21 0 0 Sub Total 45 0.977778 Rata-rata Indikator 1.927778 Kriteria SEDANG

(10)

Menarik untuk disimak hasil perhitungan potensi yang menunjukkan bahwa sampel memiliki potensi sedang. Ini berarti UMKM batik masih berpeluang untuk dikembangkan lebih lanjut. Untuk itu perlu ditelaah faktor-faktor penghambat pengembangannya dari tiga aspek yang menjadi fokus tulisan ini.

Gambar

Gambar 2.1 Proses Produksi batik Tulis
Gambar 2.2 Proses Produksi Batik Cap
Tabel 2.1 Distribusi Responden menurut Tingkat  Pendidikan  Skala  Usaha  Tdk  tamat  SD  Tamat SD  Tamat SMP/  Sederajat  Tamat SMA/  Sederajat  PT  Total  f  %  f  %  f  %  f  %  f  %  Mikro  1  3.70  5  18.52  4  14.81  15  55.56  2  7.41  27  Kecil  0
Tabel 2.2 Motivasi Berusaha Menurut Skala Usaha
+4

Referensi

Dokumen terkait

asam homogentisic darah dijaga sangat rendah melalui clearance ginjal cepat, l ebih asam homogentisic waktu disimpan dalam tulang rawan di seluruh tubuh dan diubah menjadi

Pada umumnya, jika suatu tingkat diskon yg digunakan dalam analisis adalah sama dengan tingkat bunga yang mana perusahaan harus membayar, dan apabila itu sungguh-sungguh

Berdasarkan berbagai hal yang dapat menyebabkan storage lesion pada PRC dan parameter yang menunjukkan peningkatan selama penyimpanan PRC dalam beberapa penelitian lain,

Level minat membeli ulang yang tinggi menggambarkan tingkat kepuasan yang tinggi pula dari pelanggan, saat pelanggan memutuskan untuk selalu mengkonsumsi produk

Dalam hal perkara telah diputus, Mahkamah Agung wajib mengirimkan salinan putusan pada Pengadilan Agama pengaju untuk diberitahukan kepada Para Pihak paling lambat dalam waktu 2

BAB IV merupakan analisis data dari hasil penelitian yang membahas antara lain tentang analisis sumber dana dan syarat pada akad Qardhul Hasan di BMT UGT Sidogiri serta sumber

perdesaan dan perkotaan relatif tidak berbeda. b) Tingkat pendapatan rata-rata rumah tangga miskin di wilayah perdesaan relatif lebih kecil dibandingkan yang tinggal di wilayah

Hasil analisis vegetasi yang dilakukan di titik sarang tarsius menunjukkan terdapat total 152 jenis tumbuhan yang berada di hutan lambusango dengan jumlah