• Tidak ada hasil yang ditemukan

menu yang itu-itu saja, sehingga mengurangi selera makan. Menyediakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "menu yang itu-itu saja, sehingga mengurangi selera makan. Menyediakan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pola Konsumsi Anak Sekolah

Pola konsumsi pangan atau kebiasaan makan adalah berbagai informasi yang dapat memberikan gambaran mengenai jumlah, jenis dan frekuensi bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh seseorang dan merupakan ciri khas untuk satu kelompok masyarakat tertentu. Sebenarnya pola konsumsi tidak dapat menentukan status gizi seseorang atau masyarakat secara langsung, namun hanya dapat digunakan sebagai bukti awal akan kemungkinan terjadinya kekurangan gizi seseorang atau masyarakat (Supariasa, 2001). Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan model bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari (Persagi, 2003).

Pola makan terdiri dari : a. Frekuensi makan

Frekuensi makan adalah jumlah makan dalam sehari-hari baik kualitatif dan kuantitatif (Persagi, 2003).

b. Jenis makanan

Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan, dicerna, dan diserap akan menghasilkan paling sedikit susunan menu sehat dan seimbang (Persagi, 2003). Seseorang akan merasa bosan apabila dihidangkan menu yang itu-itu saja, sehingga mengurangi selera makan. Menyediakan variasi makanan merupakan salah satu cara untuk menghilangkan rasa bosan. Dalam menyusun menu hidangan sehat memerlukan keterampilan dan

(2)

pengetahuan gizi dengan berorientasi pada pedoman umum gizi seimbang. Variasi menu yang tersusun oleh kombinasi bahan makanan yang diperhitungkan dengan tepat akan memberikan hidangan sehat baik secara kualitas maupun kuantitas.

Konsumsi makanan oleh masyarakat atau oleh keluarga bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga, dan kebiasaan makan secara perorangan. Hal ini bergantung pula pada pendapatan, agama, dan adat kebiasaan di masyarakat. Konsumsi pangan yang keliru akan mengakibatkan timbulnya gizi salah (malagizi), baik gizi kurang maupun gizi lebih.

Asupan makanan yang tidak memadai dan penyakit merupakan penyebab langsung masalah gizi ibu dan anak yang disebabkan praktek pemberian makan bayi dan anak yang tidak tepat, penyakit infeksi yang berulang terjadi, perilaku kebersihan dan pengasuhan yang buruk. Pada akhirnya, semua ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti kurangnya pendidikan dan pengetahuan pengasuh anak, penggunaan air yang tidak bersih, lingkungan yang tidak sehat, keterbatasan akses ke pangan dan pendapatan (UNICEF Indonesia, 2012).

Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh didalam suatu susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain. Kualitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Kalau susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, maka tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan gizi baik, disebut konsumsi adekuat. Kalau konsumsi baik dari kuantitas dan kualitasnya melebihi kebutuhan tubuh, dinamakan

(3)

konsumsi berlebih, maka akan terjadi suatu keadaan gizi lebih. Sebaliknya konsumsi yang kurang baik kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi kurang atau kondisi defisit (Sediaoetama, 2000).

Tingkat konsumsi zat gizi yang terdapat pada makanan sehari-hari sangat berpengaruh terhadap keadaan kesehatan gizi. Zat gizi yang dibutuhkan disesuaikan dengan usia, berat badan, dan tinggi badan anak. Tingkat pertumbuhan berbeda untuk setiap anak, begitu juga dengan kebutuhan gizinya.

Pertumbuhan anak dipengaruhi oleh faktor makanan (gizi) dan genetik. Pertumbuhan anak-anak dinegara berkembang termasuk Indonesia ternyata selalu tertinggal dibanding anak-anak di Negara maju. Pada awalnya kita menduga faktor genetik adalah penyebab utamanya. Namun, tumbuh kembang anak Indonesia sampai dengan usia enam bulan ternyata sama baiknya dengan anak-anak di Negara maju (Devi, 2012).

2.2. Anak Sekolah

Anak sekolah adalah anak usia 6-12 tahun, dimana saat ini mereka sedang duduk di bangku SD dan SMP. Anak usia ini sedang menjalani pendidikan dasar yang merupakan titik awal anak mengenal sekolah yang sesungguhnya dengan kurikulum dan mata pelajaran yang serius.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa status gizi anak sekolah yang baik akan menghasilkan derajat kesehatan yang baik dan tingkat kecerdasan yang baik pula. Sebaliknya, status gizi yang buruk menghasilkan derajat kesehatan yang buruk, mudah terserang penyakit, dan tingkat kecerdasan yang kurang sehingga prestasi anak di sekolah juga kurang. Untuk mendapatkan status gizi yang baik diperlukan

(4)

pengetahuan gizi bagi setiap keluarga agar dapat menyediakan menu pilihan makanan gizi seimbang.

Perilaku gizi yang salah pada anak sekolah perlu mendapat perhatian. Misalnya tidak sarapan pagi, jajanan yang tidak sehat di sekolah, kurang mengonsumsi sayuran dan buah, terlalu banyak mengonsumsi jenis makanan fast food dan junk food, terlalu banyak mengonsumsi zat makanan tambahan seperti bahan pengawet, pewarna, dan penambah cita rasa. Gizi seimbang untuk anak sekolah harus memenuhi zat gizi makro dengan karbohidrat 45-65 persen total energi, protein 10-25 persen total energi, dengan perbandingan protein hewani dan nabati = 2:1, lemak 25-40 persen total energi. Selain itu harus memenuhi zat gizi mikro seperti halnya vitamin dan mineral (Almatsier, 2011)

2.2.1. Kebutuhan Gizi Anak Sekolah

Gizi dibutuhkan anak sekolah untuk pertumbuhan dan perkembangan, energi berpikir, beraktivitas fisik dan daya tahan tubuh. Zat gizi yang dibutuhkan anak adalah seluruh zat gizi yang terdiri dari zat gizi makro seperti karbohidrat, protein, lemak, serta zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral. Zat gizi yang dibutuhkan disesuaikan dengan usia, berat badan, dan tinggi badan anak.

Menginjak usia 6 tahun anak sudah mulai menentukan pilihan makanannya sendiri, tidak seperti saat balita lagi yang sepenuhnya tergantung pada orangtua. Periode ini merupakan periode yang cukup kritis dalam pemilihan makanan, karena anak baru saja belajar memilih makanan dan belum mengerti makanan yang bergizi yang dapat memenuhi kebutuhan gizinya sehingga anak memerlukan bimbingan orangtua dan guru. Pada saat ini pertumbuhan fisik terutama pertambahan tinggi

(5)

badan anak berlangsung cepat, anak banyak melakukan aktivitas fisik, aktivitas sosial sejalan dengan perkembangan kognitif anak.

Tabel 2.1. Kebutuhan Zat Gizi Anak Menurut Kelompok Umur (AKG 2004)

Kelompok Umur 4-6 tahun 7-9 tahun 10-12 tahun 13-15 tahun

L P L P L P Energi (Kal) 1550 1800 2050 2050 2400 2350 Protein (g) 39 45 50 50 60 57 Vitamin A (RE) 450 500 600 600 600 600 Vitamin D (mcg) 5 5 5 5 5 5 Vitamin E (mg) 7 7 11 11 15 15 Vitamin K (mcg) 20 25 35 35 55 55 Vitamin B1 (mg) 0,6 0,9 1 1 1,2 1,1 Vitamin B2 (mg) 0,6 0,9 1 1 1,2 1 Niasin (mg) 8 10 12 12 14 13 Asam folat (mcg) 200 200 300 300 400 400 Vitamin B6 (mg) 0,6 1 1,3 1,2 1,3 1,2 Vitamin B12 (mcg) 5 1,5 1,8 1,8 2,4 2,4 Vitamin C (mg) 45 45 50 50 75 65 Kalsium (mg) 500 600 1000 1000 1000 1000 Fosfor (mg) 400 400 1000 1000 1000 1000 Magnesium (mg) 80 120 170 180 220 230 Besi (mg) 9 10 13 20 19 26 Yodium (mcg) 120 120 120 120 150 150 Seng (mg) 9,7 11,2 14 12,6 17,4 15,4 Selenium (mcg) 20 20 20 20 30 30 Mangan (mg) 1,5 1,7 1,9 1,6 2,2 1,6 Sumber Almatsier, 2011

2.2.2. Gizi dan Pertumbuhan Tinggi Badan

Tulang merupakan parameter penentu tinggi badan karena tinggi badan

ditentukan oleh ukuran panjang tulang seseorang. Masa kanak-kanak dan remaja merupakan masa penting pembangun tulang. Sebesar 45 persen pertumbuhan massa tulang terjadi pada usia 0-10 tahun. Pada masa itu tulang tumbuh memanjang. Ketika

(6)

remaja, sekitar 45 persen massa tulang dewasa terbentuk sampai dengan sebelum usia 18 tahun. Anak disebut pendek apabila tinggi per umur dibawah normal.

Zat gizi yang berperan penting dalam pertambahan tinggi badan tersebut, yaitu :

1. Protein

Protein adalah senyawa organik yang terdiri dari asam amino bergabung dengan ikatan peptide. Tubuh tidak dapat memproduksi beberapa asam amino (disebut asam amino essensial) sehingga harus dipasok dari asupan makanan. Protein sangat bermanfaat bagi tubuh, karena memiliki berbagai macam fungsi seperti pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, membentuk senyawa-senyawa essensial tubuh, mengatur keseimbangan air, mempertahankan kenetralan (asam-basa) tubuh, membentuk antibodi, dan mentranspor zat gizi (Almatsier, 2011).

Pada tulang protein berfungsi dalam pembentukan jaringan tulang yang baru dan pergantian jaringan tulang yang rusak. Selain itu protein juga berfungsi memperkuat otot sekitar tulang sehingga tulang terpelihara. Angka kecukupan protein tahun 2004 untuk anak laki-laki dan perempuan usia 7-9 tahun adalah 45 gram per hari, 10-12 tahun adalah 50 gram per hari, usia 13-15 tahun untuk anak laki-laki sebanyak 60 gram per hari dan untuk anak perempuan 57 gram per hari. Sumber protein dalam makanan banyak terdapat pada lauk hewani seperti daging sapi, ayam, telur bebek, dan ikan segar, pada lauk nabati seperti tahu dan tempe kacang kedelai, dan pada kacang-kacangan seperti kedelai, kacang merah, kacang tanah, kacang hijau, pada sayuran seperti daun singkong, bayam kangkung dan wortel (Almatsier, 2010).

(7)

Berdasarkan penelitian Solia (2014), tentang hubungan pola konsumsi makanan dan konsumsi susu dengan tinggi badan anak usia 6-12 tahun bahwa kecukupan protein dari konsumsi makanan dengan tinggi badan anak SD terdapat hubungan yang bermakna antara kecukupan asupan protein dengan tinggi badan anak.

2. Kalsium

Kalsium adalah mineral yang penting bagi manusia. Fungsi kalsium bagi tubuh yaitu pembentukan tulang dan gigi, mengatur pembekuan darah, katalisator reaksi-reaksi biologik, kontraksi otot. Beberapa fungsi lainnya adalah meningkatkan transfor membrane sel, kemungkinan dengan bertindak sebagai stabilisator membrane, transmisi ion melalui membrane organel sel (Almatsier, 2008).

Kalsium merupakan mineral terbanyak dalam tubuh dan sebanyak 99 persen terdapat dalam tulang dan gigi. Angka kecukupan gizi tahun 2004 bagi anak usia 7-9 tahun untuk kalsium adalah 600 mg per hari dan anak usia 10-12 tahun adalah 1000 mg per hari. Angka ini merupakan angka kecukupan tertinggi di sepanjang hidup seorang manusia.. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan tinggi badan anak pada rentang usia tersebut. Sumber kalsium pada makanan banyak terdapat pada udang kering, teri kering, tahu dan sayuran seperti bayam, sawi, daun melinjo, daun katuk, dan daun singkong serta susu bubuk dan susu kental manis (Almatsier, 2010).

(8)

Susu merupakan sumber kalsium terbaik yang dapat meningkatkan kekuatan tulang. Satu cangkir susu mengandung lebih dari 300 mg kalsium, hampir sepertiga dari kebutuhan kalsium harian. Hal itulah yang mendasari susu dianggap sebagai strategi terbaik pencegah osteoporosis (Wirakusumah, 2007). Berdasarkan penelitian Solia (2014), tentang hubungan pola konsumsi makanan dan konsumsi susu dengan tinggi badan anak usia 6-12 tahun bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kecukupan kalsium dari konsumsi susu dengan tinggi badan anak sekolah.

3. Fosfor

Fosfor berfungsi dalam mineralisasi tulang dan gigi dan sebanyak 80 persen fosfor tersimpan dalam tulang. Kristal mineral dibentuk selama klasifikasi (pengerasan) tulang yang terdiri dari kalsium fosfat, komponen utama mineral kompleks yang membentuk struktur dan kekuatan kepada tulang. Angka kecukupan gizi tahun 2004 bagi anak usia 7-9 tahun dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah sebanyak 400 mg per hari dan bagi anak usia 10-18 tahun dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah sebanyak 1000 mg per hari. Angka ini merupakan angka kecukupan tertinggi di sepanjang rentang hidup manusia. Fosfor banyak terdapat pada makanan seperti teri kering, tahu, kacang-kacangan, sayuran seperti kentang, bayam, daun singkong, dan wotel, pada buah-buahan seperti pisang ambon (Almatsier, 2010).

4. Vitamin

Vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah yang sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh. Oleh

(9)

karena itu harus didatangkan dari makanan. Vitamin termasuk kelompok zat pengatur pertumbuhan dan pemeliharaan kehidupan. Setiap vitamin mempunyai tugas spesifik di dalam tubuh (Almatsier, 2009). Vitamin A berpengaruh terhadap sitesis protein dalam pertumbuhan sel. Vitamin A dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan gigi. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan pertumbuhan tulang terhambat dan bentuknya tidak normal. Begitu juga dengan vitamin C yang berfungsi membantu absorbsi kalsium yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (Cakrawati dan Mustika, 2011).

Vitamin A banyak terdapat pada lauk hewani seperti hati sapi, ayam, dan ikan sardine (kaleng), namun pada sayuran dan buah-buahan juga banyak seperti wortel, daun papaya, daun katuk, daun singkong, sawi, kangkung, bayam, ubi jalar, mangga, pisang, tomat dan juga semangka. Vitamin C pada umumnya hanya terdapat dalam pengan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam, seperti jeruk, nenas, rambutan, jambu biji, papaya, dan tomat, vitamin C juga banyak terdapat dalam sayuran seperti daun singkong, daun katuk, sawi, kol, kembang kol, bayam, dan kangkung (Almatsier, 2010).

5. Magnesium

Magnesium berfungsi sebagai mineralisasi dalam tulang dan 50 persen magnesium dalam tubuh terdapat dalam tulang. Magnesium, fosfor dan seng, ketiga mineral ini berfungsi sebagai mineralisasi dalam tulang, yaitu pelekatan kalsium dan mineral lain diantara serat protein. Mineralisasi ini memberikan kekuatan pada tulang (Devi, 2012). Sumber utama magnesium banyak terdapat

(10)

pada sayuran hijau, biji-bijian dan kacang-kacangan. Daging, susu dan hasilnya serta coklat juga merupakan sumber magnesium yang baik (Almatsier, 2010). 6. Seng

Seng berperan untuk pertumbuhan sel dan berkolerasi positif dengan pertumbuhan tinggi badan. Di saat anak-anak kekurangan seng dalam proses pertumbuhan yang lamban, maka dengan jelas menunjukkan penurunan kadar seng dalam pembentukan susunan organ dan kapasitas pertumbuhan tubuh akan melambat pada saat yang bersamaan. Sumber seng paling baik adalah dari protein hewani, terutama daging, ayam, ikan, hati, kerang, dan telur. Serealia tumbuk dan kacang-kacangan juga merupakan sumber yang baik, namun mempunyai ketersediaan biologik yang rendah (Almatsier, 2010).

Dari 12 juta anak balita di Indonesia, 38,6 persen atau sekitar 5 juta balita memiliki tinggi badan dibawah rata-rata tinggi badan balita dunia. Guru Besar Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Soekirman Ph.D mengatakan, dari laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tersebut menunjukkan adanya kondisi kekurangan gizi kronis pada anak-anak Indonesia. Kekurangan gizi, terutama zat seng yang banyak terdapat pada protein hewani itu dimulai sejak janin di kandungan ibu, atau sejak kelahiran sampai bayi berusia dua tahun. Soekirman membantah jika tidak sesuainya tinggi badan anak dengan standar usia (stunted) disebabkan karena faktor keturunan (genetika) (Devi, 2012).

(11)

Berdasarkan penelitian Setijowati (2005) hubungan kadar seng serum dengan tinggi badan anak sekolah dasar penderita GAKY bahwa rendahnya TB/U lebih banyak dikarenakan rendahnya masukan kalori dan mungkin juga protein, yang tentunya ditunjang dengan rendahnya konsumsi yodium dan seng.

2.3. Perilaku Gizi Yang Salah Pada Anak Sekolah 1. Tidak Mengonsumsi Menu Gizi Seimbang

Di Indonesia prinsip gizi seimbang divisualisasikan dalam bentuk tumpeng dengan bentuk nampannya yang disebut tumpeng gizi seimbang (TGS). TGS dirancang untuk membantu setiap orang memilih makanan dengan jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan menurut usia, dan sesuai dengan keadaan kesehatan. TGS menggambarkan empat prinsip gizi seimbang, yaitu makanan yang beraneka ragam sesuai kebutuhan, kebersihan, aktifitas fisik, dan pemantauan berat badan ideal. Piramida tumpeng menggambarkan enam golongan pangan dan paling bawah dan paling dasar diisi dengan air, yang merupakan zat gizi essensial yang harus dikonsumsi minimal dua liter dalam sehari. Golongan sumber karbohidrat menempati urutan kedua dari bawah, dan merupakan potongan tumpeng paling besar dan dianjurkan dikonsumsi 3-8 porsi/hari. Urutan ketiga ditempati golongan sayuran, yang dianjurkan 3-5 porsi/hari dan buah dianjurkan 2-3 porsi/hari sebagai sumber vitamin dan serat. Urutan keempat ditempati golongan makanan sumber protein yang dianjurkan 2-3 porsi/hari dan puncaknya ditempati minyak dan gula yang disarankan untuk dikonsumsi seperlunya (Cakrawati dan Mustika, 2011).

(12)

2. Tidak Sarapan Pagi

Makan pagi mempunyai peranan penting bagi anak sekolah usia 6-12 tahun, yaitu untuk pemenuhan gizi dipagi hari dimana anak-anak berangkat ke sekolah dan mempunyai aktivitas yang sangat padat di sekolah. Apabila anak-anak terbiasa makan pagi, maka akan berpengaruh terhadap kecerdasan otak, terutama daya ingat anak sehingga dapat mendukung prestasi belajar anak kearah yang lebih baik (Devi, 2012). Dengan sarapan pagi diharapkan karbohidrat berguna sekali untuk menjaga kadar gula darah normal tubuh. Dengan kadar gula yang normal ini berguna sebagai energi bagi sel-sel tubuh dapat terpenuhi sehingga dapat berfungsi dengan baik. Kebiasaan tidak sarapan pagi juga mengakibatkan pemasukan gizi menjadi berkurang dan tidak seimbang sehingga pertumbuhan anak menjadi terganggu, intelektualnya rendah, prestasi disekolahnya akan turun dan penampilan sosialnya pun terganggu. Dia tidak mau bermain dengan teman-temannya, tidak mau turut dalam kegiatan berorganisasi baik di sekolah maupun di lingkungan keluarga (Arisman, 2008).

Jenis hidangan untuk makan pagi dapat dipilih dan disusun sesuai dengan keadaan, misalnya : nasi goreng, nasi uduk, roti isi telur dadar, pisang/ubi goreng, bubur kacang hijau, mie goreng/rebus. Akan lebih baik bila terdiri dari makanan sumber zat tenaga, sumber zat pembangun dan zat pengatur.

3. Jajan Tidak Sehat di Sekolah

Makanan jajanan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Konsumsi makanan jajanan di masyarakat di perkirakan terus meningkat mengingat makin terbatasnya waktu anggota keluarga untuk mengolah makanan sendiri. Keunggulan makanan jajanan

(13)

adalah murah dan mudah didapat, serta cita rasanya yang enak dan cocok dengan selera kebanyakan masyarakat (Mudjajanto, 2005).

Budaya jajan menjadi bagian dari keseharian hampir semua kelompok usia dan kelas sosial, termasuk anak usia sekolah dan golongan remaja. Kandungan zat gizi pada makanan jajanan bervariasi, tergantung dari jenisnya yaitu makanan utama, makanan kecil, maupun minuman. Besar kecilnya konsumsi makanan jajanan akan memberikan kontribusi (sumbangan) zat gizi bagi status gizi seseorang (Sari, 2004).

Makanan jajanan dalam membantu pasokan kalori tentunya baik, namun keamanan jajanan tersebut dari segi mikrobiologis maupun kimiawi masih dipertanyakan. Apalagi dalam waktu terakhir ini Badan POM telah mengungkapkan temuannya tentang berbagai bahan kimia berbahaya seperti formalin dan bahan pewarna tekstil pada bahan makanan yang ada di pasaran. Sehingga perilaku makan pada anak usia di sekolah harus diperhatikan secara cermat dan serius (Devi, 2012).

4. Kurang Mengonsumsi Buah dan Sayur

Buah dan sayur merupakan sumber zat gizi vitamin dan mineral. Vitamin yang terdapat dalam buah dan sayuran adalah provitamin A, vitamin C, K, E, dan berbagai kelompok vitamin B kompleks. Disamping itu, buah dan sayuran juga kaya akan berbagai jenis mineral, diantaranya kalium (K), kalsium (Ca), natrium (Na), zat besi (Fe), magnesium (Mg), mangan (Mn), seng (Zn) dan selenium (Se) (Winarno, F, 2004).

Anak sekolah di Indonesia umumnya kurang mengonsumsi sayuran. Ini disebabkan kurangnya kesadaran anak dan orang tua akan pentingnya zat gizi dari buah dan sayuran. Hal ini merupakan pola makan yang salah, karena jelas-jelas tidak

(14)

memenuhi menu gizi seimbang dan dapat berakibat pada kesehatan anak sekolah. Anak sekolah bisa saja mengalami kekurangan vitamin A, vitamin C, besi, kalsium, dan seng yang berakibat pada pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak. Data hasil Riskesdas, 2007 bahwa sebanyak 93,5 persen anak usia 10 tahun ke atas tidak mengonsumsi buah dan sayur (Depkes RI, 2007).

5. Mengonsumsi Fast Food dan Junk Food

Menurut Wikipedia.org, fast food adalah istilah yang diberikan untuk makanan yang dapat disusun dan disajikan dengan sangat cepat. Istilah ini mengacu pada makanan yang dijual di restoran atau toko dengan bahan yang dipanaskan atau dimasak, dan diberikan kepada pelanggan dalam bentuk paket untuk dibawa. Sedangkan junk food mendeskripsikan makanan yang tidak sehat atau memiliki sedikit kandungan nutrisi. Junk food mengandung jumlah lemak yang besar.

Makanan cepat saji seperti hamburger, kentang goreng, pizza sering dianggap sebagai junk food. Junk food juga diartikan sebagai makanan yang nutrisinya terbatas. Makanan yang tergolong dalam kategori ini adalah makanan yang mengandung banyak gula, garam, lemak, dan kalorinya tinggi, sementara protein, vitamin, mineral, dan seratnya rendah (Devi, 2012).

Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa anak usia 10 tahun ke atas sebanyak 65,2 persen mengonsumsi makanan manis, sebanyak 24,5 persen mengonsumsi makanan asin dan 12,8 persen mengonsumsi makanan berlemak (Depkes RI, 2007).

(15)

6. Konsumsi Gula Berlebih

Gula ditemukan secara alami dalam buah-buahan (fruktosa) dan susu cairan dan produk susu (laktosa). Namun, ada pula gula yang ditambahkan kedalam makanan selama pemprosesan, persiapan, atau saat di meja makan. Gula tambahan tersebut termasuk sirup jagung tinggi fruktosa, gula putih, gula merah, sirup jagung, padatan sirup jagung, gula mentah, sirup malt, sirup maple, sirup pancake, pemanis fruktosa, fruktosa cair, madu, molasses, dekstrosa anhidrat, dan dekstrosa Kristal (Devi, 2012).

Rekomendasi WHO adalah tidak lebih dari 10 persen dari energi total berasal dari gula tambahan. Jadi bila dibandingkan dengan AKG (Angka Kecukupan Gizi), maka anak usia 1-3 tahun dengan AKG 1.000 kalori, maka 10 persen dari AKG adalah 100 kalori setara dengan 25 gram gula dan setara dengan 5 sendok the gula. Sedangkan untuk anak usia 4-6 tahun dengan AKG 1.550 kalori, maka 10 persen AKG adalah 155 kalori setara dengan 38,75 gram gula dan setara dengan 7,7 sendok teh gula. Seterusnya untuk anak usia 7-9 tahun dengan AKG 1.800 kalori setara dengan 45 gram gula dan setara dengan 9 sendok teh gula. Untuk anak usia 10-12 tahun dengan AKG 2050 kalori, maka setara dengan 51,25 gram gula dan setara dengan 10,25 sendok teh gula (Devi, 2012).

Kelebihan konsumsi gula dapat mengakibatkan terjadinya karies gigi, diabetes, obesitas, dan jantung koroner. Diperkirakan bahwa 90 persen dari anak-anak usia sekolah di seluruh dunia dan sebagian besar orang dewasa pernah menderita karies. Hasil Riskesdas 2007 prevalensi anak usia diatas 10 tahun mengonsumsi makanan manis sebanyak 68, 1 persen (Depkes RI, 2007).

(16)

7. Konsumsi Natrium Berlebihan

Natrium paling banyak terdapat dalam garam karena 40 persen dari berat garam adalah natrium. Terdapat juga pada produk susu, air, makanan laut, daging, telur, unggas, dan ikan. Terdapat sedikit pada serealia, buah-buahan dan sayuran. Pada saat membeli jajanan anak sekolah cenderung membeli makanan yang mengandung tinggi garam, seperti makanan ringan yang rasanya asin. Berdasarkan RISKESDAS 2007 prevalensi anak usia diatas 10 tahun mengonsumsi makanan asin sebanyak 24,5 persen (Depkes, 2007).

8. Konsumsi Lemak Berlebihan

Lemak makanan terdapat pada tumbuhan dan hewan. Lemak sebagai sumber energi dan asam lemak essensial, dan membantu dalam penyerapan vitamin yang larut dalam lemak A, D, E, dan K. Anak sekolah menyukai makanan berlemak seperti bakso, soto, fast food, dan menurut Riskesdas 2007 prevalensi anak diatas usia 10 tahun yang mengonsumsi makanan berlemak dan jeroan adalah sebanyak 14,8 persen. Beberapa dari lemak yang harus diwaspadai adalah asam lemak jenuh, asam lemak trans, dan kolesterol (Depkes, 2007).

9. Mengonsumsi Makanan Berisiko

Anak sekolah disadari atau tidak telah mengonsumsi makanan yang menimbulkan risiko terhadap kesehatan mereka, makanan berisiko tersebut adalah penyedap makanan (MSG), makanan berkafein, makanan yang diberi pengawet, dan bahan pewarna yang dilarang. Data Riskesdas 2007 menunjukkan anak usia 10 tahun keatas sebanyak 77,8 persen mengonsumsi penyedap (MSG), 36,5 persen

(17)

mengonsumsi makanan berkafein, dan 6,3 persen mengonsumsi makanan yang diawetkan (Depkes, 2007).

2.4. Masalah Gizi Anak Sekolah

Masalah gizi adalah gangguan kesehatan dan kesejahteraan seseorang, kelompok orang, atau masyarakat sebagai akibat adanya ketidakseimbangan antara asupan (intake) dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan pengaruh interaksi penyakit (infeksi).

Ketidakseimbangan ini akan mengakibatkan:

1. Menurunnya pertahanan tubuh terhadap penyakit (imunitas) 2. Gangguan pertumbuhan fisik

3. Gangguan perkembangan dan kecerdasan otak 4. Rendahnya produktivitas

5. Gangguan gizi dan kesehatan lainnya

Gizi kurang pada anak dapat dilihat dari berat badan dan tinggi badan anak. Bila berat badan anak dibawah normal maka dikatakan kurus. Bila tinggi badan anak dibawah normal maka dikatakan pendek.

Masalah gizi kurang pada anak sekolah diantaranya :

1. Kurang Energi, yang mengakibatkan anak kurang aktif dalam pergaulan, badan kurus karena asupan energi dari makanan tidak mencukupi, serta tidak optimal saat menerima pelajaran dan berpikir.

2. Kurang Protein, yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan fisik karena pada saat ini pertumbuhan anak terutama pertambahan tinggi badan sangat

(18)

pesat dan untuk itu diperlukan protein; terhambatnya perkembangan otak; menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap penyakit.

3. Kurang Lemak, yang mengakibatkan tubuh menjadi kurus, otak tidak akan berkembang atau berfungsi secara optimal.

4. Kurang Vitamin A, yang mengakibatkan terganggunya perkembangan otak; terhambatnya pertumbuhan, serta meningkatnya kemungkinan menderita penyakit infeksi.

5. Kurang Besi, yang mengakibatkan kurang darah, berkurangnya kemampuan belajar dan kecerdasan, terhambatnya pembentukan zat kimia penunjang kerja otak, menurunnya daya ingat dan prestasi sekolah

6. Kurang Yodium, yang mengakibatkan gondok, gangguan pertumbuhan berupa tubuh pendek, bisu, tuli, lumpuh, gangguan fungsi mental, lesu, dan apatis dalam kehidupan.

7. Kurang Seng, yang mengakibatkan pertumbuhan tinggi badan terhambat (pendek), gangguan perkembangan kecerdasan anak, terhambatnya pematangan seksual, mudah terkena infeksi, kehilangan nafsu makan.

2.5. Stunting

Stunting adalah gambaran status gizi kurang yang berkepanjangan selama periode paling genting dari pertumbuhan dan perkembangan di awal kehidupan. Hal ini dapat diartikan sebagai balita yang berumur 0 sampai 59 bulan yang mempunyai tinggi badan menurut umur dibawah minus dua standar deviasi dan minus tiga standar deviasi dari median standar pertumbuhan balita yang telah ditetapkan oleh WHO (UNICEF, 2013).

(19)

Stunting merupakan salah satu bentuk gizi kurang pada anak yang dihitung berdasarkan pengukuran tinggi badan menurut umur (TB/U) atau panjang badan menurut umur (PB/U), dimana nilai Z-score <-2 SD (standar deviasi). Menurut WHO, stunting merupakan kegagalan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal. Status stunting dihitung dengan menggunakan baku antropometri anak umur 5-19 tahun WHO 2007 yaitu dengan menghitung nilai Z-score TB/U masing-masing anak. Selanjutnya berdsarkan nilai Z-score status gizi anak dikategorikan sebagai stunting (pendek) dan tidak stunting. Stunting juga menggambarkan kejadian gizi kurang yang berlangsung dalam waktu yang lama dan merupakan masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan dan kematian hingga terhambatnya pertumbuhan mental.

Menurut The Lancet (2008), stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di negara berpendapatan rendah dan menengah karena hubungannya dengan peningkatan risiko kematian pada masa kanak-kanak, stunting juga mempengaruhi fisik dan fungsional dari tubuh.

Anak dengan keadaan stunting tidak mengalami potensi tumbuh secara maksimal dan dapat menjadi remaja dan dewasa yang stunting. Dampaknya pada masa dewasa diantaranya adalah terbatasnya kapasitas kerja karena terjadinya pengurangan aktivitas tubuh dan pada wanita dapat menyebabkan terjadinya risiko komplikasi kandungan karena memiliki ukuran panggul yang kecil serta berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.

(20)

Berdasarkan penelitian Nurmiati (2006), yang melakukan penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita yang mengalami stunting menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kelompok anak normal lebih baik daripada kelompok anak stunting. Pada keadaan stunting, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik, dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah kependekan merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat, karena masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya kronis.

2.6. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Stunting 2.6.1. Asupan Makanan

Gizi merupakan batu bata penopang pertambahan tinggi badan dan tinggi badan merupakan salah satu indikator status gizi anak. Bagi anak-anak yang terbiasa memilih-milih makanan kesukaan tanpa mempertimbangkan zat gizi yang terkandung didalamnya akan menyebabkan terhambatnya pertambahan tinggi badan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa protein, kalsium, fosfor, vitamin A, yodium, seng mempunyai efek langsung terhadap pertumbuhan tinggi badan anak.

Menurut wahlqvist dan Tienboon dalam penelitian Fitri (2012), bahwa terhambatnya pertumbuhan pada bayi dan anak-anak tercermin dalam ketinggian yang tidak sesuai dengan usia, merupakan contoh adaptasi pada asupan energy rendah

(21)

dalam waktu yang lama. Stunting mencerminkan kekurangan gizi kronis dan terdeteksi sebagai gangguan pertumbuhan linier. Seorang bayi yang stunting dan anak usia dini telah secara konsisten ditemukan mempengaruhi kesehatan individu baik jangka pendek dan jangka panjang.

Protein merupakan zat gizi yang sangat penting karena yang paling erat hubungannya dengan pertumbuhan. Protein nabati dapat diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, sedangkan protein hewani didapat dari hewan. Protein merupakan faktor utama dalam jaringan tubuh. Protein membangun, memelihara, dan memulihkan jaringan di tubuh, seperti otot dan organ. Saat anak tumbuh dan berkembang, protein adalah gizi yang sangat diperlukan untuk memberikan pertumbuhan yang optimal. Asupan protein harus terdiri sekitar 10% sampai 20% dari asupan energi harian.

Menurut Lawson dalam penelitian Fitri (2012), bahwa peningkatan asupan energi protein diperlukan untuk bayi dan anak-anak yang stunting dan yang tumbuh dalam rangka untuk mengejar ketinggalan. Kekurangan gizi selama tahun pertama kehidupan, meskipun potensial untuk mengejar pertumbuhan sampai akhir pubertas, kekurangan gizi selama kehidupan awal dapat menyebabkan gangguan permanen fungsi kognitif. Peningkatan kebutuhan protein untuk mngejar petumbuhan secara proporsional lebih besar daripada peningkatan energi yang tergantung pada usia dan kecepatan pertumbuhan.

(22)

2.6.2. Berat Lahir

Berat lahir memiliki dampak yang besar terhadap pertumbuhan anak, perkembangan anak dan tinggi badan pada saat dewasa. Standar pertumbuhan anak yang dipublikasikan pada tahun 2006 oleh WHO telah menegaskan bahwa anak-anak berpotensi tumbuh adalah sama diseluruh dunia (WHO 2006).

Berdasarkan penelitian Fitri (2012), menunjukkan bahwa sebagian besar balita mempunyai berat badan lahir normal (95,2%) sedangkan balita lainnya mempunyai berat lahir rendah yaitu sebesar 4,8%. Berdasarkan hasil penelitian bahwa proporsi kejadian stunting pada balita (12-59 bulan) lebih banyak ditemukan pada balita dengan berat lahir rendah (49,3%) dibandingkan balita dengan berat lahir normal (36,9%).

Berdasarkan penelitian Leni dan Mira (2011) , bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko untuk mengalami stunting pada usia 6-12 bulan sebesar 3,6 kali dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat badan normal, yang akan berlanjut sampai usia anak selanjutnya jika tidak ditanggulangi dengan baik.

2.6.3. Umur

Seorang anak hingga dewasa memiliki fase yang berbeda. Fase growth spurt (tumbuh cepat) yang pertama sejak anak dalam kandungan sampai usia dua tahun. Tidak heran pada fase awal ini, anak yang baru lahir dan saat dia menginjak usia tahun kedua, biasanya terlihat berbeda. Fase pertumbuhan berikutnya adalah fase pertumbuhan biasa pada rentang usia 2-5 tahun. Di atas lima tahun, fase pertumbuhan anak terbagi lagi menjadi tiga, yaitu usia 5-8 tahun adalah masa anak-anak, prapuber

(23)

terjadi pada usia 9-12 tahun, dan masa puber atau remaja pada usia 13-18 tahun. Di masa remaja inilah menjadi tahap tumbuh cepat yang kedua.

Usia anak sekolah adalah antara 6-12 tahun. Pada usia ini tumbuh secara perlahan dan menunjukkan pematangan keterampilan motorik kasar dan halus. Kepribadiannya berkembang dan tingkat kemandiriannya meningkat. Hal-hal ini berpengaruh terhadap jumlah dan jenis makanan yang dimakan dan cara memakannya. Pada saat ini terbentuk rasa suka dan tidak suka terhadap makanan tertentu, yang sering merupakan dasar bagi kebiasaan makan selanjutnya. Lingkungan dan tingkah laku keluarga banyak berpengaruh terhadap kebiasaan makan ini. Orang tua pada masa ini hendaknya memberikan bimbingan dan contoh yang baik tentang makanan di sekolah merupakan sarana yang baik untuk penyuluhan gizi (Almatsier, dkk, 2011).

Kekurangan gizi pada anak merupakan akibat dari berbagai faktor, yang sering terkait dengan kualitas makanan yang buruk, asupan makanan yang tidak cukup, dan penyakit infeksi yang parah dan berulang, atau sering beberapa kombinasi ketiganya. Kondisi ini, pada gilirannya, sangat erat terkait dengan standar keseluruhan hidup dan apakah suatu populasi dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti akses terhadap pangan, perumahan dan perawatan kesehatan (WHO, 2007).

Keadaan gizi kurang pada anak-anak mempunyai dampak pada keterlambatan pertumbuhan dan perkembangannya yang sulit disembuhkan. Oleh karena itu anak yang gizi kurang tersebut kemampuannya untuk belajar dan bekerja serta bersikap akan lebih terbatas dibandingkan dengan anak yang normal (Santoso dan Lies, 2004).

(24)

2.6.4. Jenis Kelamin

Jenis kelamin menentukan pula besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang. Pria lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein dibandingkan wanita. Pria lebih sanggup mengerjakan pekerjaan berat yang biasanya tidak biasa dilakukan oleh wanita. Tetapi dalam kebutuhan zat besi, wanita jelas lebih membutuhkan lebih banyak daripada pria.

Hasil penelitian Bosch, dalam penelitian Fitri (2012), adalah kemungkinan stunting pada masa remaja untuk anak perempuan adalah sekitar 0,4 kali kemungkinan untuk anak laki-laki, yang berarti bahwa anak perempuan di masa remaja sedikit lebih menjadi stunting daripada anak laki-laki. Perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan mungkin berkaitan dengan efek gabungan dari perbedaan dalam pertumbuhan dan perbedaan potensi dalam konteks kekurangan gizi. Anak perempuan memasuki masa puber dua tahun lebih awal daripada anak laki-laki, dan dua tahun juga merupakan selisih di puncak kecepatan tinggi antara kedua jenis kelamin.

2.6.5. Tingkat Pendidikan Ibu

Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan dan gizi anak-anak dan keluarganya. Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada faktor sosial ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup, makanan, perumahan dan tempat tinggal. Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka

(25)

peroleh. Hal ini bisa dijadikan landasan untuk membedakan metode penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Suhardjo, 2003).

Berdasarkan penelitian Anindita (2012) bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan stunting pada balita. Hal ini bisa disebabkan karena indikator TB/U merefleksikan riwayat gizi masa lalu dan bersifat kurang sensitive terhadap perubahan masukan zat gizi, dimana dalam hal ini ibu mempunyai peranan dalam alokasi masukan zat gizi.

2.6.6. Besarnya Keluarga

Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat miskin, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika yang harus diberi makanan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi dan memenuhi asupan gizi yang cukup untuk keluarga yang besar tersebut.

Berdasarkan penelitian Astari dalam penelitian Fitri (2012) yang dilakukan di kabupaten Bogor, rata-rata besar keluarga pada kelompok anak stunting dan normal dapat dikatakan tidak berbeda. Sebagian besar, besar keluarga pada kedua kelompok tersebut termasuk keluarga sedang (4-6 orang).

(26)

2.6.7. Wilayah Tempat Tinggal

Stunting biasanya paling menonjol di daerah pedesaan dan ini merupakan indikasi yang berkaitan dengan kondisi lingkungan (WHO, 2003). Menurut Ehiri dalam penelitian Fitri (2012), bahwa stunting adalah umum terjadi bahkan di Negara dengan prevalensi lebih sering terjadi di pedesaan daripada daerah perkotaan. Prevalensi rumah tangga dengan anak stunting dan ibu kelebihan berat badan melebihi 10 persen di Bolivia. Prevalensi tinggi terjadi ketika ada kelebihan ketika ada kelebihan berat badanyang tinggi dan tingkat stunting yang tinggi. Prevalensi ini umumnya terbesar di wilayah pedesaan. Hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukkan bahwa balita yang tinggal diperkotaan memiliki prevalensi stunting lebih rendah daripada balita yang tinggal di pedesaan (Depkes RI, 2010).

2.6.8. Status Ekonomi Keluarga

Kekurangan gizi sering kali bagian dari lingkaran yang meliputi kemiskinan dan penyakit. Ketiga faktor ini saling terkait sehingga masing-masing memberikan kontribusi terhadap yang lain. Perubahan sosial-ekonomi dan politik yang meningkatkan kesehatan dan gizi dapat mematahkan siklus, karena dapat gizi tertentu dan intervensi kesehatan. Kekurangan gizi mengacu pada sejumlah penyakit, masing-masing berhubungan dengan satu atau lebih zat gizi, misalnya protein, yodium, vitamin A atau zat besi. Ketidakseimbangan ini meliputi asupan yang tidak memadai dan berlebihan asupan energi, yang pertama menuju kekurangan berat badan, stunting dan kurus, dan yang terakhir mengakibat kelebihan berat badan dan obesitas (WHO, 2007).

(27)

Stunting mencerminkan proses kegagalan untuk mencapai potensi pertumbuhan linier sebagai hasil dari kesehatan dan atau kondisi gizi. Pada dasarnya, tingkat stunting yang tinggi berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah dan peningkatan risiko bertambah dengan adanya penyakit dan atau praktik pemberian makan yang tidak tepat. Prevalensi stunting mulai naik pada usia sekitar 3 bulan, proses dari terhambatnya pertumbuhan melambat sekitar usia 3 tahun (Semba dan Bloem, 2001).

Berdasarkan penelitian Anindita (2012), bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan yang diterima tidak sepenuhnya dibelanjakan untuk kebutuhan makanan pokok, tetapi untuk kebutuhan lainnya. Tingkat pendapatan yang tinggi belum tentu menjamin status gizi baik pada balita karena tingkat pendapatan belum tentu teralokasikan cukup untuk keperluan makan.

2.7. Penilaian Status Gizi Anak

Status gizi diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Penilaian status gizi dibagi menjadi dua, yaitu penilaian status gizi secara langsung dan penilaian status gizi secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik (Supariasa, 2002). Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.

2.7.1. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan

(28)

pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama (Supariasa, 2002).

Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup sehat, dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek (Depkes RI, 2010).

2.7.2. Klasifikasi Status Gizi

Baku antropometri yang sekarang digunakan di Sumatera adalah baku rujukan WHO dan metode Z-score. Untuk menilai status gizi anak maka angka berat badan dan tinggi badan setiap anak dikonversikan kedalam bentuk nilai standar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri anak WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi anak dengan batasan sebagai berikut :

Tabel 2.2. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Indeks Kategori Status

Gizi Ambang Batas (Z-score)

Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Sangat Pendek < -3 SD

Pendek -3 SD sampai dengan < -2SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD

Tinggi ˃ 2 SD

(29)

2.8. Kerangka Teori

Sumber : Kanjilal et al (2010) & Bhutta, Z. A. et al (2008) Gambar 1. Kerangka Teori Status Sosial Ekonomi

Wilayah Tempat Tinggal Karakteristik Rumah Tangga Paparan Infeksi Keamanan Makanan Pelayanan Kesehatan Pertumbuhan Intrauterin Kekurangan Zat Gizi Mikro

Asupan Energi Kurang Pola Menyusui Infeksi STUNTING Infeksi

(30)

2.9. Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep

Anak usia 9-12 tahun merupakan usia dimana pertumbuhan tinggi badan anak mulai cepat kembali setelah pertumbuhan pada tahun pertama kelahiran. Pada rentang usia 9-12 tahun anak sudah menjadi konsumen aktif yang telah membentuk kebiasaan makannya diluar makanan yang diperolehnya di rumah. Dalam keadaan ini kebutuhan zat gizi harus tercukupi, baik dalam jumlah, frekuensi dan jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Pada anak stunting keadaan gizi yang kurang pada awal kelahirannya diharapkan pada fase pertumbuhan cepat kedua ini dapat memenuhi kebutuhan zat gizinya, agar dapat mengejar ketertinggalan pertumbuhan tinggi badannya dibanding anak normal lainnya. Pada fase pertumbuhan ini anak yang stunting berpotensi dalam mengejar ketertinggalannya, dengan memperhatikan asupan makanan yang baik dan menunjang pertumbuhan tinggi badan.

Pola Konsumsi Stunting

Kecukupan Zat Gizi : - Zat Gizi Makro (energi,

protein)

- Zat Gizi Mikro (Kalsium, Fosfor, Magnesium, Seng, Vitamin A dan C)

Gambar

Gambar 2. Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa dalam rangka melaksanakan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,

Dari beberapa teori dapat disimpulkan bahwa kemampuan matematika awal adalah kepekaan terhadap cara berpikir ilmiah dan membangun konsep yang ditunjukkan dengan

Pada proses pengelolaan limbah radioaktif latar rendah, sifat- sifat migrasi atau perpindahan radionuklida pada lapisan tanah sangat renting diketahui untuk

Analysis, pada tahap ini dilakukan analisis masalah untuk mengetahui permasalahan yang sedang dihadapai untuk dicarikan solusi dari permasalahan tersebut serta

Penyelengaraan FLS2N di tingkat nasional tahun 2012 dibiayai dengan dana APBN, sedangkan untuk transportasi baik peserta maupun pendamping dibiayai melalui dana dekonsentrasi pada

Sifat migrasi Co-60 di dalam kolom tanah tersusun oleh dua kurva eksponensial yang menunjukkan bahwa pada larutan pH 12 akan terdiri atas dua fraksi migrasi yang

Jika matahari tinggi maka radiasi yang jatuh hampir tegak lurus pada permukaan bumi, sedangkan jika matahari rendah ma- ka radiasi akan disebarkan dalam area yang luas sehingga

membentuk lapisan &gt;e(/2 atau hidrksida yang terus menerus bertambah seiring dengan  berjalannya waktu. Piringan pisau menggunakan bahan dasar durall . Bahan dasar durall