• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering,"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ergonomi 2.1.1 Defenisi

Ergonomi dapat didefenisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen, dan desain/perancangan (Nurmianto, 2008). Sedangkan pada International Ergonomics Association menyatakan bahwa ergonomi disebut juga sebagai “Human Factors”.

Fungsi spesial ergonomi adalah untuk mendesain atau meningkatkan tempat kerja, stasiun-kerja, perkakas, peralatan, dan prosedur dari para pekerja supaya tidak sampai pada batas melelahkan, kegelisahan, dan luka-luka atau kerugian juga secara efisien menuju keberhasilan tujuan dari pribadi dan perusahaan. Tujuannya adalah kepada peningkatan nafkah dari pekerjaan di dalam kemampuan teori dan fisik dari karyawan.

2.1.2 Sikap Tubuh Dalam Bekerja

Posisi tubuh dalam bekerja sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan yang dilakukan. Masing-masing posisi kerja mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap tubuh. Sikap tubuh dalam pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk, susunan, ukuran dan tata letak peralatan seperti macam gerak, arah dan kekuatan.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan sikap tubuh dalam melakukan pekerjaan :

a. Semua pekerjaan hendaknya dilakukan dalam sikap duduk atau sikap berdiri secara bergantian.

(2)

b. Semua sikap tubuh yang tidak alami harus dihindarkan. Seandainya hal ini tidak memungkinkan, hendaknya diusahakan agar beban statik diperkecil.

c. Tempat duduk harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak membebani, melainkan dapat memberikan relaksasi pada otot-otot yang sedang dipakai untuk bekerja dan tidak menimbulkan penekanan pada bagian tubuh (paha). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya gangguan sirkulasi darah dan sensibilitas pada paha, mencegah keluhan kesemutan yang dapat mengganggu aktivitas.

Sikap tubuh dalam bekerja terdiri dari : 1) Sikap kerja duduk

Dinamika posisi duduk dapat lebih mudah digambarkan dengan mempelajari mekanika sistem penyangga dan keseluruhan struktur tulang yang terlibat di dalam geraknya. Menurut Tichauler (1978) yang dikutip (Panero dan Zelnik) sumbu penyangga dari batang tubuh yang diletakkan dalam posisi duduk adalah sebuah garis pada bidang datar koronal, melalui titik terendah dari tulang duduk (ischial tuberosities) di atas permukaan tempat duduk.

Posisi duduk pada otot rangka (musculoskeletal) dan tulang belakang (vertebral) terutama pada pinggang (sacrum, lumbar dan thoracic) harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar dari nyeri (back pain) dan terhindar cepat lelah (fatigue). Selain itu, ketika duduk kaki harus berada pada alas kaki dan dalam sikap duduk dapat bergerak dengan relaksasi. Menurut Richard Ablett (2001) saat ini terdapat 80% orang hidup setelah dewasa mengalami nyeri pada tubuh bagian belakang (back pain) karena berbagai sebab, dan karena back pain ini mengakibatkan 40% orang tidak masuk kerja.

Suatu perancangan tempat duduk harus diupayakan sedemikian rupa sehingga berat badan yang disanggah oleh tulang duduk tersebar pada daerah yang cukup luas. Alas yang tepat pada landasan tempat duduk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Harus juga

(3)

diupayakan agar subjek yang sedang duduk di atas tempat duduk tersebut dapat mengubah-ubah posisi atau postur tubuhnya untuk mengurangi rasa ketidaknyamanannya.

Sumber : Pheasant, S, 1991. Ergonomics, Work And Health

Gambar 2.1 Sikap Posisi Duduk

2) Sikap kerja berdiri setengah duduk

Berdasarkan hasil penelitian Gempur (2003) bahwa tenaga kerja bubut yang telah terbiasa bekerja dengan posisi berdiri tegak diubah menjadi posisi berdiri setengah duduk tanpa sandaran duduk dan setengah duduk pakai sandaran menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kelelahan otot biomekanik antar kelompok.

3) Sikap kerja posisi berdiri

Bekerja dengan posisi berdiri terus-menerus sangat mungkin akan terjadi penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki, hal ini akan bertambah bila berbagai bentuk dan ukuran sepatu yang tidak sesuai. Seperti dokter gigi, penjaga tiket, tukang cukur pasti memerlukan sepatu ketika bekerja, apabila sepatu tidak pas maka sangat mungkin akan sobek pada jari kaki, mata kaki, dan bagian sekitar telapak kaki. Desain alas kaki untuk kerja berdiri, ukuran alas kaki harus lebih longgar dari ukuran telapak kaki, apabila bagian alas

(4)

kaki terjadi penahanan yang kuat pada tali sendi (ligaments) pergelangan kaki dan hal itu terjadi pada jangka waktu yang lama, maka otot rangka akan mudah mengalami kelelahan.

2.1.2.1 Sikap kerja alamiah/ postur normal (Humantech, 1995)

Sikap kerja alamiah/postur normal yaitu sikap / postur dalam proses kerja yang sesuai dengan anatomi tubuh, sehingga tidak terjadi pergeseran atau penekanan pada bagian penting tubuh seperti organ tubuh, syaraf, tendon, dan tulang sehingga keadaan menjadi relaks dan tidak menyebabkan keluhan Musculoskeletal Disorders dan sistem tubuh yang lain.

a) Pada tangan dan pergelangan tangan

Sikap/postur normal pada bagian tangan dan pergelangan tangan adalah berada dalam keadaan garis lurus dengan jari tengah, tidak miring ataupun mengalami fleksi/ekstensi.

b) Pada leher

Sikap/posisi normal leher lurus dan tidak miring/memutar ke samping kiri atau kanan. Posisi miring pada leher tidak melebihi 20° sehingga tidak terjadi penekanan pada discus tulang cervical .

c) Pada bahu

Sikap/posisi normal pada bahu adalah tidak dalam keadaan mengangkat dan siku berada dekat dengan tubuh sehingga bahu kiri dan kanan dalam keadaan lurus dan proporsional.

d) Pada punggung

Sikap/postur normal dari tulang belakang untuk bagian toraks adalah kifosis dan untuk bagian lumbal adalah lordosis serta tidak miring ke kiri atau ke kanan. Postur tubuh membungkuk tidak boleh lebih dari 20°.

(5)

2.1.2.2 Sikap kerja tidak alamiah/postur janggal (Humantech, 1995)

Sikap kerja tidak alamiah/postur janggal adalah deviasi/pergeseran dari gerakan tubuh atau anggota gerak yang dilakukan oleh pekerja saat melakukan aktifitas dari postur atau posisi normal secara berulang-ulang dalam waktu yang relatif lama. Gerakan dan postur janggal ini adalah suatu faktor risiko untuk terjadinya gangguan, penyakit dan cidera pada sistem musculoskeletal.

a) Pada tangan /pergelangan tangan

1) Jari menjepit

Adalah posisi jari ketika menjepit objek dengan beban > 0,9 kg.

2) Jari menggenggam

Adalah posisi jari ketika menggenggan objek dengan beban > 4,5 kg.

3) Jari menekan

Adalah penggunaan tekanan satu jari atau lebih terhadap permukaan suatu objek. Postur janggal ini dipertahankan dalam waktu ≥ 10 detik, dan dilakukan secara berulang-ulang sebanyak ≥ 30 kali per menit.

4) Deviasi radial

Adalah postur tangan yang miring ke arah ibu jari. Postur janggal ini dipertahankan dalam waktu ≥ 10 detik, dan dilakukan secara berulang-ulang sebanyak ≥ 30 kali per menit.

5) Deviasi ulnar

Adalah postur tangan yang miring ke arah jari kelingking. Postur janggal ini diperhatikan dalam waktu ≥ 10 detik, dan dilakukan secara berulang-ulang sebanyak ≥ 30 kali per menit.

(6)

6) Fleksi pergelangan tangan ≥ 45°

Adalah posisi pergelangan tangan yang menekuk ke arah telapak tangan, diukur dari sudut yang dibentuk oleh lengan bawah dan sumbu tangan sebesaar ≥ 45°. Postur janggal ini dipertahankan dalam waktu ≥ 10 detik, dan dilakukan secara berulang-ulang sebanyak ≥ 30 kali per menit.

7) Ekstensi pergelangan tangan ≥ 45°

Adalah posisi pergelangan tangan yang menekuk ke arah punggung tangan, diukur dari sudut yang dibentuk oleh lengan bawah dan sumbu tangan sebesar ≥ 45°. Postur janggal ini dipertahankan dalam waktu ≥ 10 detik, dan dilakukan secara berulang-ulang sebanyak ≥ 30 kali per menit.

b) Pada siku

1) Rotasi lengan

2) Ekstensi penuh

Adalah besarnya sudut yang dibentuk oleh sumbu lengan atas dan sumbu lengan bawah ≥ 135°. Durasi untuk posisi janggal pada siku belum ada standarnya. Frekuensi posisi janggal tersebut dilakukan secara berulang ≥ 2 kali per menit.

c) Pada bahu

Bahu merupakan salah satu bagian tubuh yang berfungsi sebagai penopang otot. Karena itu postur janggal pada tangan dan pergelangan tangan juga dapat mempengaruhi keadaan bahu dikarenakan bahu merupakan tempat penopang otot-otot tangan. Bentuk postur janggal pada bahu ditandai dengan gerakan bahu yang mendekati ujung telinga bawah, baik yang kiri maupun yang kanan. Postur janggal ini dipertahankan dalam waktu ≥ 10 detik, dan dilakukan sebanyak ≥ 2 kali per menit.

(7)

d) Pada leher

1) Menunduk

Menunduk ke arah depan sehingga sudut yang dibentuk oleh garis vertikal dengan sumbu ruas tulang leher ≥ 20°. Postur janggal ini dipertahankan dalam waktu ≥ 10 detik, dan dilakukan secara berulang-ulang sebanyak ≥ 2 kali per menit.

2) Miring

Setiap gerakan dari leher yang miring, baik ke kanan maupun ke kiri, tanpa melihat besarnya sudut yang dibentuk oleh garis vertikal dengan sumbu dari ruas tulang leher. Postur janggal ini dipertahankan dalam waktu ≥ 10 detik, dan dilakukan secara berulang-ulang sebanyak ≥ 2 kali per menit.

3) Menengadah

Setiap postur dari leher yang mendongak ke atas, tanpa melihat besarnya sudut yang dibentuk oleh garis vertikal dengan sumbu dari ruas tulang leher. Postur janggal ini dipertahankan dalam waktu ≥ 10 detik, dan dilakukan secara berulang-ulang sebanyak ≥ 2 kali per menit.

4) Rotasi

Setiap gerakan dari leher yang memutar baik ke kanan maupun ke kiri tanpa melihat besarnya derajat rotasi yang dilakukan. Postur janggal ini dipertahankan dalam waktu ≥ 10 detik, dan dilakukan secara berulang-ulang sebanyak ≥ 2 kali per menit.

e) Pada punggung

1) Membungkuk

Adalah posisi badan ke arah depan sehingga antara sumbu badan bagian atas akan membentuk sudut ≥ 20° dengan garis vertikal. Postur janggal ini dipertahankan dalam waktu ≥ 10 detik dan dilakukan sebanyak ≥ 2 kali per menit.

(8)

2) Miring

Adalah penyimpangan tubuh dari garis vertikal, tanpa memperhitungkan besarnya sudut yang dibentuk. Postur janggal ini dipertahankan dalam waktu ≥ 10 detik, dan dilakukan sebanyak ≥ 2 kali per menit.

3) Rotasi Badan

Setiap gerakan dari badan yang memutar, baik ke kanan maupun ke kiri, tanpa melihat besarnya derajat rotasi yang dilakukan. Postur janggal ini dipertahankan dalam waktu ≥ 10 detik, dan dilakukan sebanyak ≥ 2 kali per menit.

2.1.3 Metode Penilaian Ergonomi

A. Baseline Risk Identification of Ergonomics Factors (BRIEF)

Baseline Risk Identification of Ergonomics Factors (BRIEF) adalah alat penyaring awal menggunakan struktur dan bentuk sistem tingkatan untuk mengidentifikasi penerimaan tiap tugas dalam suatu pekerjaan. BRIEF digunakan untuk menentukan sembilan bagian tubuh yang dapat beresiko terhadap terjadinya CTD (Cummulative Trauma Disorders) atau risiko gangguan kesehatan pada sistem rangka. Penilaian pekerjaan menggambarkan tinjauan ulang ergonomi secara mendalam dari ketiga penetapan data ( sederhana, mudah dipahami, dan dapat dipercaya) dan juga yang paling memberikan beban paling berat. Bagian tubuh yang dianalisa meliputi : tangan kiri, dan pergelangannya, siku kiri, bahu kiri, leher, punggung, tangan kanan dan pergelangnya, siku kanan, bahu kanan dan kaki (Humantech, 1989, 1995)

Survei ini mengidentifikasi risiko-risiko yang berhubungan dengan postur, tenaga, durasi dan frekuensi ketika mengobservasi ke-sembilan bagian tubuh tersebut. Penilaian risiko digunakan untuk menentukan tinggi, sedang, atau rendahnya risiko untuk setiap bagian tubuh.

(9)

B. Rapid Entire Body Assessment (REBA)

REBA (Highnett and McAtamney, 2000) dikembangkan untuk mengkaji postur bekerja yang dapat ditemukan pada industri pelayanan kesehatan dan industri pelayanan lainnya. Data yang dikumpulkan termasuk postur badan, kekuatan yang digunakan, tipe dari pergerakan, gerakan berulang, dan gerakan berangkai. Skor akhir REBA diberikan untuk memberi sebuah indikasi pada tingkat risiko mana dan pada bagian mana yang harus dilakukan tindakan penanggulangan. Metode REBA digunakan untuk menilai postur pekerjaan berisiko yang berhubungan dengan Musculoskletal Disorders / Work Related Musculoskeletal Disorders (WRMSDs).

Kelebihan REBA antara lain :

a) Merupakan metode yang cepat untuk menganalisa postur tubuh pada suatu pekerjaan yang dapat menyebabkan risiko ergonomi.

b) Mengidentifikasi faktor-faktor risiko dalam pekerjaan (kombinasi efek dari otot dan usaha, postur tubuh dalam pekerjaan, genggaman atau grip, peralatan kerja, pekerjaan statis atau berulang-ulang).

c) Dapat digunakan untuk postur tubuh yang stabil maupun yang tidak stabil.

d) Skor akhir dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah, untuk menentukan prioritas penyelidikan dan perubahan yang perlu dilakukan.

e) Fasilitas kerja dan metode kerja yang lebih baik dapat dilakukan ditinjau dari analisa yang telah dilakukan.

Sedangkan kekurangan atau kelemahan metode REBA adalah: a) Hanya menilai aspek postur dari pekerja.

b) Tidak mempertimbangkan kondisi yang dialami oleh pekerja terutama yang berkaitan dengan faktor psikososial.

(10)

c) Tidak menilai kondisi lingkungan kerja terutama yang berkaitan dengan vibrasi, temperatur dan jarak pandang.

C. Rapid Upper Limb Assessment (RULA)

Rapid Upper Limb Assesment (RULA) merupakan sebuah cara penilaian beban musculoskeletal secara mudah untuk berbagai pekerjaan yang memiliki resiko pada leher dan bagian atas lengan yang dirancang oleh McAtamney & Corlett pada tahun 1993. RULA lebih umum digunakan untuk menilai postur, tenaga, dan pergerakan dari sebuah pekerjaan yang cenderung statis (Neville et.al, 2005). Penilaian postur dengan RULA akan menghasilkan sebuah skor yang memiliki rentang angka dari 1 hingga 7 yang menggambarkan resiko postur tersebut terhadap sistem musculoskeletal pekerja. Skor itu kemudian dikelompokkan kembali dalam 4 level yang menjelaskan rentang waktu yang diharapkan untuk mengendalikan resiko postur tersebut. Terdapat empat aplikasi utama dari metode RULA yaitu :

1) Mengukur resiko musculoskeletal, biasanya sebagai bagian dalam sebuah investigasi ergonomi.

2) Membandingkan beban musculoskeletal dari desain workstation saat ini dan setelah perbaikan.

3) Mengevaluasi hasil keluaran (output) seperti produktivitas atau kecocokan peralatan yang digunakan oleh pekerja

4) Mengajarkan pekerja mengenai resiko musculoskeletal yang diakibatkan oleh postur kerja tertentu.

Postur tubuh yang dinilai oleh RULA dibagi menjadi 2 kelompok yaitu grup A dan grup B. Postur yang dinilai pada grup A adalah lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan. Sedangkan, postur yang dinilai pada grup B adalah leher, punggung, dan kaki. Skor

(11)

yang diperoleh dari kedua grup kemudian dapat ditambahkan dengan skor tambahan dari faktor lainnya yaitu penggunaan otot dan gaya / beban yang ditangani.

RULA dapat digunakan untuk menilai secara teliti pekerjaan atau postur untuk satu orang pekerja maupun kelompok (Herbert et al, 1996). Itu mungkin dibutuhkan untuk menilai sebuah angka perbedaan postur selama putaran dalam bekerja untuk menetapkan sebuah profil dari beban otot.

Sistem penilaian untuk faktor pekerjaan yang dianalisis dengan Metode RULA dapat dilihat pada tahap-tahap berikut:

Tahap I Mengelompokkan bagian tubuh yang akan dianalisis

Kelompok A memperlihatkan postur tubuh bagian lengan atas, lengan bawah pergelangan tangan. Kisaran dapat diukur dan diskor dengan dasar penemuan dari studi yang dilakukan oleh Tichauer,Caffin, Herbert Et Al, Hagbeg, Schuld dan Harms-Ringdahl dan Shuldt. Skor-skor tersebut adalah:

(12)

A1. Lengan atas :

Skor 1 untuk 0 - 20° extension hingga 20° flexion Skor 2 untuk extension lebih dari 200 atau 200-450 flexion Skor 3 untuk 450-900 flexion

Skor 4 untuk 90° flexion atau lebih +1 jika pundak atau bahu ditinggikan +1 jika lengan atas abdusted

+1 jika operator bersandar atau bobot lengan ditopang.

A2. Lengan bawah

Skor 1 untuk 60° - 100° flexion.

Skor 2 untuk kurang dari 60° atau lebih dari 100° flexion.

+1 jika lengan bekerja melintasi garis tengah badan atau keluar dari sisi.

A.3 Pergelangan tangan

Skor 1 untuk berada pada posisi netral. Skor 2 untuk 0-150 flexion maupun extension Skor 3 untuk 15° atau lebih flexion maupun extension.

+1 jika pergelangan tangan berada pada deviasi radial maupunulnar.

A.4 Pergelangan tangan memutar

+1 jika pergelangan tangan berada pada rentang menengah putaran.

(13)

Kelompok B, rentang postur untuk leher, punggung, dan kaki didasarkan pada studi yang dilakukan oleh Chaffin dan Kilbom Et Al. Skor dan kisaran tersebut adalah

Gambar 2.3 Kelompok B pada RULA

B1. Leher

Skor 1 untuk 0 - 10° flexion. Skor 2 untuk 10 - 20° flexion. Skor 3 untuk 20° atau lebih flexion. Skor 4 jika dalam posisi extention.

B2. Punggung :

Skor 1 ketika duduk dan ditopang dengan baik dengan sudut paha tubuh 90° atau lebih. Skor 2 untuk 0 - 20° flexion.

Skor 3 untuk 20° - 60° flexion. Skor 4 untuk 60° atau lebih flexion.

Jika punggung diputar atau dibengkokkan: +1 jika tubuh diputar.

(14)

B3. Kaki

+1 jika kaki tertopang ketika duduk dengan bobot seimbang rata.

+1 jika berdiri dimana bobot tubuh tersebar merata pada kaki dimana terdapat ruang untuk berubah posisi.

+2 jika kaki tidak tertopang atau bobot tubuh tidak tersebar merata

Tahap II Pengelompokan skor postur tubuh

Tabel 2.1 Tabel A dalam RULA Worksheet

Tabel 2.2 Tabel B dalam RULA Worksheet

Kemudian sistem pemberian skor dilanjutkan dengan melibatkan otot dan tenaga yang digunakan. Penggunaan yang melibatkan otot dikembangkan berdasarkan penelitian Durry dalam Stanton (2005), yaitu skor untuk penggunaan otot sebagai berikut :

(15)

+1 jika postur statis (dipertahankan dalam waktu 1 menit) atau frekuensi penggunaan postur tersebut berulang lebih dari 4 kali dalam 1 menit.

Penggunaan tenaga (beban) dikembangkan berdasarkan penelitian Putz-Anderson dan Stevenson dan Baaida dalam Stanton (2005), yaitu sebagai berikut:

0 jika pembebanan sesekali atau tenaga kurang dari 2 kg. 1 jika beban sesekali 2-10 kg.

2 jika beban 2-10 kg bersifat statis atau berulang. 2 jika beban sesekali namun lebih dari 10 kg.

3 jika beban atau tenaga lebih dari 10 kg dialami secara statis atau berulang. 4 jika pembebanan seberapapun besarnya dialami dengan sentakan cepat.

Tahap III Mengisi Grand Score

Sumber : Handbook of Human Factors and Ergonomics Methods (Stanton et al, 2005) Gambar 2.4 Grand Score RULA

B A - Lengan atas - Lengan bawah - Pergelangan tangan - Pergelangan tangan memutar Postur skor A Otot Tenaga (Beban) Skor C B - Leher - Punggung - Kaki Otot

Postur skor B Skor D

Tenaga (Beban) Grand Score + + = + + =

(16)

Grand Score adalah perpotongan Skor C (Skor A+ otot + tenaga) dengan Skor D (Skor B + otot + tenaga), seperti pada tabel berikut :

Tabel 2.3 Tabel Grand Score dalam RULA

Setelah diperoleh grand score , yang bernilai 1 sampai 7 menunjukkan level risiko musculoskeletal dan level tindakan (action level) sebagai berikut:

Tabel 2.4 Tabel Action Level Grand Score RULA

Sumber : Handbook of Human Factors and Ergonomics Methods (Stanton et al, 2005)

D. Nordic Body Map (NBM)

Metode Nordic Body Map merupakan metode penilaian yang sangat subjektif artinya keberhasilan aplikasi metode ini sangat tergantung dari kondisi dan situasi yang dialami pekerja pada saat dilakukannya penelitian dan juga tergantung dari keahlian dan pengalaman observer yang bersangkutan. Kuesioner Nordic Body Map ini telah secara luas digunakan oleh para ahli

(17)

ergonomi untuk menilai tingkat keparahan gangguan pada sistem muskuloskeletal dan mempunyai validitas dan reabilitas yang cukup (Tarwaka, 2011).

Dalam mengaplikasikan metode Nordic Body Map menggunakan lembar kerja berupa peta tubuh (body map) merupakan cara yang sangat sederhana, mudah dipahami, murah dan memerlukan waktu yang sangat singkat ± 5 menit per individu. Observer dapat langsung mewawancarai atau menanyakan kepada responden otot – otot skeletal bagian mana saja yang mengalami gangguan/nyeri atau sakit dengan menunjuk langsung pada setiap otot skeletal sesuai yang tercantum dalam lembar kerja kuesioner Nordic Body Map. Kuesioner Nordic Body Map meliputi 28 bagian otot – otot skeletal pada kedua sisi tubuh kanan dan kiri. Dimulai dari anggota tubuh bagian atas yaitu otot leher sampai dengan otot pada kaki. Melalui kuesioner ini akan dapat diketahui bagian – bagian otot mana saja yang mengalami gangguan kenyerian atau keluhan dari tingkat rendah (tidak ada keluhan/cedera) sampai dengan keluhan tingkat tinggi (keluhan sangat sakit) (Tarwaka, 2010; Palilingan dkk, 2012b).

Pengukuran gangguan otot skeletal dengan kuesioner Nordic Body Map digunakan untuk menilai tingkat keparahan gangguan otot skeletal individu dalam kelompok kerja yang cukup banyak atau kelompok sampel yang mereprensentasikan populasi secara keseluruhan.

Penilaian dengan menggunakan kuesioner Nordic Body Map dapat dilakukan dengan berbagai cara; misalnya dengan menggunakan 2 jawaban sederhana yaitu Ya (adanya keluhan atau rasa sakit pada otot skeletal) dan Tidak (tidak ada keluhan atau tidak ada rasa sakit pada otot skeletal ). Tetapi lebih utama untuk menggunakan desain penelitian dengan skoring ( misalnya; 4 skala Likert). Apabila menggunakan skala Likert maka setiap skor atau nilai haruslah mempunyai definisi operasional yang jelas dan mudah dipahami oleh responden (Tarwaka, 2010).

Selanjutnya setelah selesai melakukan wawancara dan pengisian kuesioner maka langkah berikutnya adalah menghitung total skor individu dari seluruh otot skeletal (28 bagian otot

skeletal) yang diobservasi. Pada desain 4 skala Likert akan diperoleh skor individu terendah

(18)

melakukan upaya perbaikan pada pekerjaan maupun sikap kerja, jika diperoleh hasil tingkat keparahan pada otot skeletal yang tinggi. Tindakan perbaikan yang harus dilakukan tentunya sangat bergantung dari resiko otot skeletal mana yang mengalami adanya gangguan. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat presentase jumlah skor pada setiap bagian otot skeletal dan kategori tingkat resiko. Tabel di bawah ini merupakan pedoman sederhana yang dapat digunakan untuk menentukan klasifikasi tingkat resiko otot skeletal.

Klasifikasi subjektivitas tingkat resiko otot skeletal berdasarkan total skor individu yaitu :

Tabel 2.5 Klasifikasi Tingkat Risiko MSDs Berdasarkan Total Skor Individu Total Skor Individu Tingkat Resiko MSDs 28-49 Rendah 50-70 Sedang 71-91 Tinggi 92-112 Sangat Tinggi Sumber : Tarwaka (2010)

2.2 Gangguan Kesehatan Akibat Sikap Kerja Duduk

Bekerja sebagai Tukang jahit, tukang sepatu, tukang sandal, tukang kasir, murid sekolah dan penjaga tol tidak terlepas dari bekerja dengan posisi duduk yang ternyata bisa menimbulkan masalah kesehatan apabila dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan posisi statis. Hal ini dapat menimbulkan gangguan pada leher, bahu, punggung dan lengan karena pada sikap kerja statis terjadi kontraksi otot yang kuat dan lama tanpa kecukupan kesempatan pemulihan, dan aliran darah ke otot terhambat. Akibatnya timbul rasa lelah dan nyeri pada otot. Oleh karena itu, perlu menerapkan duduk dinamis yaitu sesering mungkin mengubah posisi pada saat duduk.

Duduk lama dengan posisi yang salah juga akan menyebabkan nyeri pinggang bawah karena otot-otot pinggang menjadi tegang dan dapat merusak jaringan lunak sekitarnya. Dan bila hal ini berlanjut terus akan menyebabkan penekanan pada bantalan saraf tulang belakang

(19)

yang mengakibatkan hernia nucleus pulpolus. Duduk dengan mencondongkan kepala ke depan dapat menyebabkan gangguan pada leher, duduk dengan lengan terangkat menyebabkan nyeri bahu dan leher, dan duduk tanpa sokongan lengan bawah dapat menyebabkan rasa nyeri pada bahu dan pinggang.

2.2.1 Musculoskeletal Disorders (MSDS)

Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan sekumpulan gejala atau gangguan yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligamen, kartilago, sistem saraf, struktur tulang, dan pembuluh darah. Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada awalnya menyebabkan rasa sakit, nyeri, mati rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan, gemetar, gangguan tidur, dan rasa terbakar (OSHA, 2000).

Humatech (1995) menyatakan bahwa gangguan pada sistem musculoskeletal tidak pernah terjadi secara langsung, tetapi merupakan kumpulan-kumpulan benturan kecil dan besar yang terakumulasi secara terus menerus dalam waktu relatif lama, dapat dalam hitungan beberapa hari, bulan dan tahun, tergantung pada berat ringannya trauma setiap kali dan setiap saat, sehingga dapat menimbulkan suatu cidera yang cukup besar yang diekspresikan dengan rasa sakit, kesemutan, pegal-pegal, nyeri tekan, pembengkakan dan gerakan yang terhambat atau gerakan minim atau kelemahan pada anggota tubuh yang terkena trauma. Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan istilah yang memperlihatkan adanya gangguan pada sistem musculoskeletal, dan bukan merupakan suatu diagnosis.

Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon. Keluhan inilah yang disebut dengan keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) (Grandjean,1993; Lemastars, 1996 dalam Tarwaka, et.al. 2004). Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

(20)

Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan resebut akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan.

1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan resebut akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan.

2. Keluhan Menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap. Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut. Sebaliknya, keluhan otot kemungkinan tidak terjadi apabila kontraksi otot hanya berkisar antara 15-20% dari kekuatan otot maksimum. Namun apabila kontraksi otot melebihi 20% maka peredaran darah ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot.

2.2.2 Gangguan Kesehatan Muculoskeletal A. Carpal Tunnel Syndrome (CTS)

CTS dapat menyebabkan sulitnya seseorang menggenggam sesuatu pada tangannya. CTS merupakan gangguan tekanan/ pemampatan pada syaraf yang mempengaruhi syaraf tengah, salah satu dari tiga syaraf yang menyuplai tangan dengan kemampuan sensorik dan motorik.

B. Low Back Pain (LBP)

Cidera pada punggung dikarenakan otot-otot tulang belakang mengalami peregangan jika postur punggung membungkuk. Diskus mengalami tekanan yang kuat dan menekan juga bagian dari tulang belakang termasuk syaraf. Apabila postur

(21)

membungkuk ini berlangsung terus menerus, maka diskus akan melemah yang pada akhirnya menyebabkan putusnya diskus (disc rupture) atau biasa disebut herniation. C. Penyakit musculoskeletal yang terdapat di bagian lutut berkaitan dengan tekanan pada cairan di antara tulang dan tendon. Tekanan yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan cairan tersebut tertekan, membengkak, kaku, dan meradang atau biasa disebut bursitis. Tekanan dari luar ini juga menyebabkan tendon pada lutut meradang yang akhirnya menyebabkan sakit (tendinitis).

2.3 Kerangka Konsep

Berdasarkan teori-teori yang telah dijabarkan maka penulis menyusun variabel untuk diteliti lebih lanjut yaitu sikap kerja sebagai variabel independen dan Musculoskeletal Disorders sebagai variabel dependen. Penyusunan kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.5 Kerangka Konsep Penelitian Sikap Kerja - Rendah - Sedang - Tinggi - Sangat Tinggi Musculoskeletal Disorders - Rendah - Sedang - Tinggi - Sangat Tinggi

Gambar

Gambar 2.2 Kelompok A pada RULA
Gambar 2.3 Kelompok B pada RULA
Tabel 2.2 Tabel B dalam RULA Worksheet
Tabel 2.4 Tabel Action Level Grand Score RULA
+3

Referensi

Dokumen terkait

Perlindungan hukum desain Indistri Secara substantif, dalam Undang-Undang Desain Industri terdiri dari 57 pasal tersebut mengatur beberapa hal penting berkaitan

Sifat adil dituntut dalam agama Islam dan sebagai seorang pemimpin harus mengamalkan keadilan dalam membuat sebarang keputusan kerana keadilan pemimpin akhirnya akan dinilai oleh

spesies murbei tergolong moderat dan berkisar antara 60-65%. Taraf kecernaan bahan kering keempat spesies murbei berkisar antara 60-65% dan tergolong moderat. Taraf

Vordinan Limbong : Penentuan Jumlah Pitch (Perekat) Yang Terkandung Dalam Gas Buang Pada Pemanggangan Anoda Untuk Produksi Anoda Karbon Di PT.. USU Repository

Karakteristik shoaling ikan pelagis kecil di Perairan Selat Bangka pada musim timur adalah sebagai berikut : Kelompok pertama, berbentuk elips dengan ukuran panjang 4.3 m, berada

(2) Bagi kepala sekolah dapat meningkatkan motivasi guru dengan menjadikan diri kepala sekolah sebagai inspiratif guru dalam menjalankan tugasnya, membantu guru

Adapun kajian yang akan dibahas penulis adalah “Studi Komparasi antara Hukum Positif dan Hukum Islam tentang Menipulasi Akta Nikah dalam perkawinan” dari semua yang

Kelebihan dari sistem alat akuisisi data panel surya ini adalah hasil pengukuran dari setiap sensor dapat diproses secara langsung disimpan oleh SD Card dari nilai tegangan dan