• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakter Morfometrik dan Meristik Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Perairan Mangrove Kampung Sentosa Barat Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakter Morfometrik dan Meristik Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Perairan Mangrove Kampung Sentosa Barat Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Chapter III V"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

METODOLOGI

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2017. Lokasi penelitian

berada di Perairan Mangrove Kampung Sentosa Barat Lingkungan 20 Kelurahan

Belawan Sicanang. Lokasi Penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. Analisis

sampel dilakukan di Laboratorium Terpadu Program Studi Manajemen

Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning System), bubu, Toolbox, penggaris, milimeter blok, spidol, timbangan, alat tulis dan kamera digital, pH meter, refraktometer dan termometer.

(2)

Deskripsi Area

Penelitian dilakukan di Perairan Mangrove Kampung Sentosa Barat

Lingkungan 20 Kelurahan Belawan Sicanang. Penetapan lokasi pada 3 stasiun

dilakukan untuk membandingkan karakter morfometrik dan meristik

masing-masing stasiun yang masih terdapat di satu kawasan yang sama.

Stasiun I

Stasiun I secara geografis terletak pada koordinat 3º44'59,5''LU -

3º44'79,5''LU dan 98º38'28''BT - 98º38'33''BT. Lokasi ini merupakan daerah yang

bersebelahan dengan lahan tambak khusus Kepiting Bakau dan dikelilingi oleh

mangrove dengan kerapatan yang tidak terlalu tinggi. Kondisi stasiun I disajikan

pada Gambar 5.

Gambar 5. Stasiun I

Stasiun II

Stasiun II secara geografis terletak pada koordinat 3º45'24,9''LU -

3º45'44,9''LU dan 98º38'51,4''BT - 98º38'56,4''BT. Lokasi ini merupakan daerah

yang berada dekat dengan pemukiman warga dan berada paling jauh dari muara.

(3)

Gambar 6. Stasiun II Stasiun III

Stasiun III secara geografis terletak pada koordinat 3º45'10,2''LU -

3º45'22,2''LU dan 98º38'39,7''BT - 98º38'44,7''BT. Lokasi ini memiliki kerapatan

mangrove yang tinggi disebabkan belum banyak tersentuh oleh masyarakat.

Kondisi stasiun III disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Stasiun III

Prosedur Penelitian Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel kepiting akan dilakukan dengan menggunakan bubu.

(4)

penopang kayu agar tidak hanyut pada saat air pasang. Bubu digunakan sebanyak

10 buah di setiap stasiun dengan jarak pemasangan antar bubu adalah 10 m.

Pengangkatan bubu dilakukan pada saat air mulai surut dan kepiting bakau yang

tertangkap sebanyak 40 ekor. Sampel Kepiting Bakau yang digunakan untuk

identifikasi morfometrik, meristik dan pola pertumbuhan diambil dari beragam

ukuran (kecil < 70 mm, sedang 70-100 mm dan besar > 100 mm).

Sampel Kepiting Bakau yang tertangkap dibersihkan dan diberi nomor

menggunakan kertas label sebelum dimasukkan ke dalam toolbox dan selanjutnya diamati karakter morfometrik, meristik dan pola pertumbuhan di Laboratorium

Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan.

Pengukuran kualitas air meliputi suhu, pH dan Salinitas dilakukan secara

insitu. Pengukuran dilakukan sebelum pemasangan bubu di setiap stasiun.

Analisis Sampel

Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Terpadu Manajemen

Sumberdaya Perairan. Terlebih dahulu dilakukan pengamatan terhadap jenis

kelamin dengan cara melihat bentuk abdomen kepiting bakau, dimana jantan

memiliki bentuk abdomen yang mengerucut sedangkan betina memiliki bentuk

abdomen yang melebar. Abdomen Kepiting Bakau dapat dilihat pada Gambar 7.

(5)

Bobot tubuh ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian

10 gram dan pengukuran lebar karapas dengan menggunakan jangka sorong

dengan ketelitian 1 mm. Pengukuran aspek morfometrik dilakukan dengan

menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm dan pengukuran aspek meristik

secara visual serta pengolahan data lebar karapas dengan bobot untuk pola pertumbuhan. Seluruh data tersebut dicatat pada data sheet yang telah disiapkan. Pengukuran Aspek Morfometrik

Bagian morfometrik kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 8. Adapun

karakter morfometrik yang di ukur pada kepiting bakau (S. serrata) adalah sebagai berikut:

1. Lebar karapas (L): Jarak antara ujung duri marginal terakhir di sebelah kanan

dengan duri marginal terakhir di sebelah kiri (horizontal)

2. Panjang karapas (P): Jarak antara tepi duri frontal margin dengan tepi bawah karapas

3. Tinggi karapas (T): Panjang garis tegak antara karapas dengan abdomen

4. Optical groove widths: Jarak duri frontal margin di antara mata

5. Panjang chela sebelah kanan (PCR): Panjang capit (hand) sebelah kanan mulai dari ujung palm hingga ujung dactylus

6. Panjang chela sebelah kiri (PCL): Panjang capit (hand) sebelah kiri mulai dari ujung palm hingga ujung dactylus

7. Panjang profundus chela sebelah kanan (PPR): Jarak antara ujung palm dengan tepi dactylus sebelah kanan

(6)

9. Tinggi chela sebelah kanan (TCR): Jarak lurus terbesar secara vertikal antara tepi atas dan bawah chela sebelah kanan

10. Tinggi chela sebelah kiri (TCL): Jarak lurus terbesar secara vertikal antara tepi atas dan bawah chela sebelah kiri

Gambar 9. Morfometrik Kepiting Bakau yang diukur

Pengukuran Aspek Meristik

Karakter meristik yang diamati adalah sebagai berikut:

a. Jumlah duri frontal margin: Jumlah duri frontal margin yang berada di antara kedua mata kepiting

b. Jumlah duri anterolateral margin sebelah kanan: Jumlah seluruh duri anterolateral margin yang berada di sebelah kanan karapas

c. Jumlah duri anterolateral margin sebelah kiri: Jumlah seluruh duri anterolateral margin yang berada di sebelah kiri karapas

d. Jumlah duri outer margin sebelah kanan: jumlah duri yang berada pada outer margin sebelah kanan

(7)

f. Jumlah duri inner margin sebelah kanan: jumlah duri yang berada pada inner margin sebelah kanan

g. Jumlah duri inner margin sebelah kiri: jumlah duri yang berada pada inner margin sebelah kiri

h. Jumlah ruas walking leg (perioped) bentuk capit (cheliped): jumlah ruas yang ada pada walking leg (perioped) bentuk capit (cheliped)

i. Jumlah ruas walking leg (perioped) bentuk dayung (pleopod): jumlah ruas yang ada pada walking leg (perioped) bentuk dayung (pleopod)

Pengukuran Kualitas Air

Pengukuran kualitas air meliputi suhu, pH dan Salinitas. Pengukuran

tersebut dilakukan secara insitu. Parameter dan alat kualitas air dapat diliht pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter dan alat pengukuran kualitas air

No Parameter satuan Alat Keterangan

1 Salinitas ppt Refraktometer insitu

2 Suhu ˚ C Termometer insitu

3 pH - pH indikator insitu

Analisis Data

Analisis karakter morfometrik dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama

adalah menganalisis masing-masing karakter morfometrik yang diukur. Tahap

kedua adalah menganalisis perbandingan karakter morfometrik yang telah

ditentukan.

Untuk mengetahui kemiripan seluruh karakter morfometrik dan

perbandingan karakter morfometrik maka dilakukan cluster analysis terhadap

(8)

Chatfield dan Collins (1988) dalam Sitorus (2011), vektor yang jaraknya sama menunjukkan tingkat kesamaan karakteristik dari peubah yang diukur dianalisis

menggunakan ukuran kemiripan yaitu ukuran jarak yang dikenal dengan jarak

Euclidean. Dari hasil analisis akan didapat suatu kesamaan antar karakter yang

nilai-nilainya menunjukkan seberapa dekat suatu karakter memiliki keterkaitan

dengan karakter lainnya, biasa disebut sebagai suatu hubungan kekerabatan.

Analisis statistik ini dilakukan menggunakan SPSS.

Analisis karakter meristik dilakukan untuk mengetahui kisaran nilai

masing-masing karakter meristik. Dari kisaran nilai ini kemudian ditentukan

modusnya. Nilai kisaran dan modus inilah yang menjadi dasar dalam penulisan

rumus suatu karakter meristik.

Pola Pertumbuhan

Pola pertumbuhan kepiting bakau dapat diketahui dengan melihat

hubungan lebar karapas kepiting bakau dan bobot tubuh melalui analisa regresi

linier sederhana. Studi hubungan lebar karapas dan bobot tubuh mempunyai nilai

praktis yang memungkinkan mengkonversi nilai lebar karapakas ke dalam bobot

tubuh kepiting bakau atau sebaliknya. Bobot tubuh Kepiting Bakau dapat

dianggap sebagai suatu fungsi dari lebar karapasnya (Effendie, 1997).

W= a Lb atau Ln W = Ln a + b Ln L

Keterangan:

W : bobot tubuh (g)

L : lebar karapas

(9)

Analisis regresi menggunakan software SPSS digunakan pada metode ini untuk mendapatkan parameter a dan b. Regresi dilakukan dengan menjadikan

nilai ln bobot (W) sebagai ‘Y’ dan Ln lebar karapas (L) sebagai ‘X’, maka

didapatkan persamaan regresi :

Y = a + bX

Nilai b yang dihasilkan diuji menggunakan uji-t (uji parsial), dengan

hipotesis (Steel and Torie, 1993).

H0 : b = 3, hubungan panjang dengan berat adalah isometrik.

H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik, yaitu :

• Allometrik positif, jika b>3 (pertambahan berat lebih cepat daripada

pertambahan panjang)

• Allometrik negatif, jika b<3 (Pertambahan panjang lebih cepat daripada

pertambahan berat).

b1 - b0

Sb1

Keterangan :

b1 = Nilai b (dari hubungan panjang berat)

b0 = 3

Sb1 = Simpangan koefisien b

Nilai t hitung dibandingkan dengan nilai t tabel pada selang kepercayaan

95%. Pola pertumbuhan kepiting bakau ditentukan dengan sebagai berikut :

t hitung > t tabel : tolak hipotesis nol (H0)

(10)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Morfologi Kepiting Bakau (S. serrata)

Berdasarkan pengamatan Kepiting Bakau (S. serrata) diperoleh ciri morfologi, antara lain : memiliki duri yang tinggi dengan warna kemerahan

hingga jingga pada capit dan kaki, duri bagian depan kepala lancip, dan duri tajam

pada bagian corpus. Ciri morfologi S. serrata dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Karakter Morfologi Kepiting Bakau

Keterangan:

a. Capit c. Kaki e. Abdomen Jantan

b. Duri Frontal d. Karapas Belakang f. Abdomen Betina

Kelimpahan Kepiting Bakau

a b

c d

(11)

Hasil penelitian Kepiting Bakau yang diperoleh selama penelitian berjumlah

40 ekor, 12 ekor terdapat di stasiun I, 10 ekor di stasiun II, dan 18 ekor di stasiun

III. Hasil tangkapan Kepiting Bakau tertinggi diperoleh di stasiun III dan terendah

diperoleh di stasiun II. Hasil tangkapan Kepiting Bakau yang diperoleh pada tiap

stasiun penelitian dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Hasil Tangkapan Kepiting Bakau

Hasil tangkapan Kepiting Bakau berdasarkan jenis kelamin adalah 26 ekor

jantan dan 14 ekor betina. Stasiun III memiliki jumlah tangkapan jantan dan

betina yang lebih banyak dibanding dengan stasiun lainnya. Hasil tangkapan

Kepiting Bakau jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Hasil Tangkapan Kepiting Bakau Jantan dan Betina

Kelimpahan Kepiting Bakau berdasarkan kelas ukuran secara keseluruhan

(12)

ind, dan nilai frekuensi terendah pada kisaran kelas 137-143 mm sebesar 1 ind.

Kelimpahan kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Kelimpahan Kepiting Bakau

Analisis Karakter Morfometrik Berdasarkan Hubungan Kekerabatan

Hasil analisis karakter morfometrik dari 40 sampel Kepiting Bakau yang

diperoleh menghasilkan nilai koefisien yang menjadi tolak ukur suatu kemiripan

dari seluruh sampel yang diamati. Nilai hubungan kemiripan dapat dilihat pada

(13)
(14)

Kepiting Bakau yang telah dibedakan berdasarkan karakter dengan jarak

euclidean menghasilkan hubungan variabel dengan beberapa pengelompokan (cluster). Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa semakin kecil nilai koefisien antar variabel, maka kemiripan dari Kepiting Bakau semakin dekat. Sehingga didapat

bahwa kemiripan terdekat pada stage 1 sampai 8 dengan nilai koefisien 0,000

(terdekat) sedangkan kemiripan terjauh pada stage 39 yang beranggotakan sampel

no 1 dan 4 dengan nilai koefisien 40,535.

Hasil penelitian dan analisis kemiripan pada karakter morfometrik

Kepiting Bakau menghasilkan dendogram suatu kemiripan yang dapat dilihat

pada Gambar 14.

Gambar 14. Dendogram Kemiripan Kepititing Bakau

I

II IA

IB

IC

(15)

Analisis kemiripan berdasarkan 40 sampel yang diteliti pada skala jarak 25

terbentuk menjadi dua kelompok (cluster). Apabila akan dibentuk 2 cluster, maka cluster 1 beranggotakan sampel k23 sampai dengan k15 (sesuai urutan dalam dendogram) dan cluster 2 beranggotakan sampel k7 sampai dengan k18. Demikian seterusnya dapat dengan mudah dilihat anggota tiap cluster sesuai jumlah cluster yang diinginkan.

Analisis Karakter Meristik

Untuk hasil perhitungan meristik Kepiting Bakau di ekosistem mangrove

Kampung Sentosa Barat Lingkungan 20 Kelurahan Belawan Sicanang disajikan

pada Tabel 3.

Tabel 3. Meristik Kepiting Bakau (S. serrata)

No Karakter Stasiun

2 Jumlah duri anterolateral margin sebelah kanan dan kiri (AM)

18 18 18

3 Jumlah duri outer margin sebelah kanan dan kiri (OM)

8 8 8

4 Jumlah duri inner margin sebelah kanan dan kiri (IM)

8 8 8

5 Jumlah ruas perioped bentuk capit (WLC) 10 10 10

6 Jumlah ruas perioped bentuk dayung (WLD) 12 12 12

Pengukuran Kualitas Air

Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air di ekosistem mangrove

Kampung Sentosa Barat Lingkungan 20 Kelurahan Belawan Sicanang diperoleh

data kualitas air yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengukuran Kualitas Air

Parameter Stasiun

I II III

Salinitas (ppt) 18 16 16

Suhu (oC) 30,5 30 31

(16)

Pola Pertumbuhan

Analisis pertumbuhan digunakan untuk meramalkan ukuran rata-rata biota

di suatu populasi pada waktu tertentu dan untuk membandingkan kondisi biota di

daerah perikanan yang berbeda atau pada daerah yang sama dengan strategi

manejemen yang berbeda. Di dalam fase pertumbuhan kepiting bakau, terdapat

suatu rangkaian lepas cangkang (molt atau ecdysis) yang dipisahkan oleh suatu rangkaian antar ganti cangkang (intermolt) (Rachmawati, 2009). Kajian pertumbuhan kepiting bakau meliputi hubungan lebar karapas-bobot dapat dilihat

pada Gambar 15.

Gambar 15. Hasil Regresi Lebar Karapas-Bobot Kepiting Bakau

Pada Gambar 15, nilai R= 0,954 menunjukkan bahwa korelasi antara lebar

karapas bobot tubuh Kepiting Bakau adalah 0,954 dan menghasilkan sebuah

persamaan Y = 54,754 + 0,217 X.

(17)

Pembahasan

Morfologi Kepiting Bakau (S. serrata)

Berdasarkan ciri morfologi Kepiting Bakau (S. serrata) yang diamati (Gambar 10), antara lain : memiliki duri yang tinggi dengan capit dan kaki

berwarna kemerahan hingga jingga, duri bagian depan (frontal) kepala lancip, dan duri pada bagian corpus tajam, karapas berwarna merah kecoklatan, dan juga bentuk abdomen berbeda pada jantan dan betina. Beberapa ciri morfologi tersebut

menunjukkan adanya perbedaan morfologi antara Kepiting Bakau (S. serrata) dengan jenis Kepiting Bakau lainnya.

Hal tersebut dinyatakan oleh Keenan (1999) yang menyatakan bahwa

Kepiting Bakau jenis S. serrata memiliki duri yang tinggi dengan warna kemerahan hingga oranye terutama pada capit dan kakinya. Pada duri bagian

depan kepala umumnya lancip, dan memiliki duri tajam pada bagian corpus.

Berbeda dengan Kepiting Bakau jenis Scylla lainnya dengan ciri morfologi yaitu: Kepiting Bakau jenis S. paramamosain memiliki duri yang relatif agak tinggi/sedang, memiliki warna karapas cokelat kehijauan, sumber pigmen

polygonal terdapat pigmen putih pada bagian terakhir dari kaki-kaki. Kepiting

Bakau jenis S. transquebarica memiliki warna karapas kehijauan sampai kehitaman dengan sedikit garis-garis berwarna kecoklatan pada kaki renangnya.

Duri bagian depan kepala umumnya tumpul, dan memiliki duri tajam bagian

bagian corpus dan Kepiting Bakau jenis S. olivacea memiliki warna karapas hijau keabuabuan, rambut atau setae melimpah pada bagian karapas, duri bagian kepala

(18)

Kelimpahan Kepiting Bakau

Sampel Kepiting Bakau yang terdapat di stasiun I berjumlah 12 ekor, pada

stasiun II berjumlah 10 ekor, dan pada stasiun III 18 ekor (Gambar 11). Hasil

tangkapan Kepiting Bakau tertinggi diperoleh di stasiun III yang memiliki substrat

dan kondisi mangrove baik yang dapat dilihat dari banyaknya mangrove yang

berada di stasiun III dibanding dengan stasiun lainnya. Mangrove berperan

penting pada kedudukan Kepiting Bakau sebagai habitat. Dinyatakan oleh

Soviana (2004) bahwa hutan mangrove dikenal sebagai daerah asuhan berbagai

jenis binatang perairan dan menjadi habitat alami bagi berbagai jenis kepiting.

Karakteristik habitat yang cukup baik dan kondisi mangrove masih baik

sangat mendukung kehidupan Kepiting Bakau sehingga stasiun III yang memiliki

substrat dan kondisi lingkungan yang baik menghasilkan tangkapan yang lebih

banyak. Hal ini sesuai dengan Avianto dkk, (2013) yang menyatakan bahwa

Kepiting Bakau cenderung menyebar berkelompok secara acak untuk mencari

habitat yang cocok dan dapat mendukung kehidupannya pada daerah terlindung

yang bersubstrat lumpur dengan tingkat penggenangan yang baik serta

ketersediaan makanan alami yang cukup.

Kepiting Bakau yang diperoleh selama penelitian berjumlah 40 ekor yang

terdiri dari 26 ekor jantan dan 14 ekor betina (Gambar 12). Banyaknya kepiting

jantan yang ditangkap diperkirakan karena kepiting jantan lebih agresif dalam

mencari makan dan juga Kepiting Bakau betina ketika akan memijah melakukan

ruaya ke laut sehingga mengurangi populasinya di ekosistem mangrove. Hal ini

sesuai dengan Sentosa dan Syam (2011) yang menyatakan bahwa banyaknya

(19)

bakau. S. serrata yang melakukan perkawinan di perairan mangrove dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan

beruaya ke laut dan memijah, sedangkan kepiting jantan tetap di perairan hutan

bakau atau muara sungai. Kepiting jantan yang banyak tertangkap dibandingkan

betina diduga juga dipengaruhi oleh sifat agresif S. serrata jantan dalam mencari makan.

Kelimpahan Kepiting Bakau dari stasiun I, stasiun II dan stasiun III secara

keseluruhan diperoleh frekuensi tertinggi pada kisaran kelas 60-66 mm sebesar 10

ind, dan frekuensi terendah pada kisaran kelas 137-143 mm sebesar 1 ind, untuk

ketiga stasiun (Gambar 13). Ukuran lebar karapas Kepiting Bakau yang dominan

adalah berukuran kecil (muda) atau belum dewasa berdasarkan KKP (2016) yang

menyatakan bahwa kepiting matang pada ukuran lebar karapas antara 80-120 mm

secara fisiologis. Sama halnya dengan penelitian Avianto dkk (2013) di Hutan

Mangrove Cibako yakni hasil tangkapan Kepiting Bakau yang diperoleh banyak

didominasi oleh kepiting berukuran kecil. Hal ini diduga akibat intensitas

penangkapan yang terus meningkat.

Utina dkk (2013) menambahkan bahwa Kepiting Bakau dikatakan telah

dewasa kelamin jika memiliki ukuran lebar karapas lebih dari 100 mm.

Sedangkan PERMEN-KP (2016) menyatakan bahwa ukuran lebar karapas

minimum layak tangkap : > 15 cm, berat minimum tangkap : 200 g. Dapat

disimpulkan bahwa Kepiting Bakau yang tertangkap umumnya masih belum

dewasa karena dominan berukuran < 100 mm.

Hasil penelitian yang diperoleh dan yang dilakukan Avianto dkk (2013)

(20)

penangkapan yang terus menerus tanpa memperhatikan ukuran dari Kepiting

Bakau. Penangkapan yang dilakukan secara terus menerus mengakibatkan

Kepiting Bakau yang berukuran besar cenderung menurun, sehingga struktur

populasi Kepiting Bakau mengalami degradasi.

Analisis Karakter Morfometrik

Kepiting Bakau yang telah dibedakan berdasarkan karakter dengan jarak

euclidean menghasilkan hubungan variabel dengan beberapa pengelompokan (cluster) (Tabel 2). Semakin kecil nilai koefisien antar variabel, maka kemiripan dari kepiting bakau semakin dekat. Sehingga didapat bahwa kemiripan terdekat

pada stage 1 sampai 8 dengan nilai koefisien 0,000 (terdekat) sedangkan

kemiripan terjauh pada stage 39 yang beranggotakan sampel no 1 dan 4 dengan

nilai koefisien 40,535.

Tingkat kemiripan diperoleh dari kepiting bakau yang memiliki ukuran

karakter yang sama. Kemiripan Kepiting Bakau dapat disebabkan oleh habitat dan

kondisi lingkungannya. Kepiting Bakau umumnya berada pada substrat berlumpur

di ekosistem mangrove. Sehingga perbedaan substrat juga mempengaruhi

kehidupan Kepiting Bakau. Karakteristik habitat Kepiting Bakau dijelaskan oleh

Eprilurahman (2015) yang menyatakan bahwa S. serrata merupakan jenis kepiting air payau yang pada umumnya hidup pada daerah mangrove dengan substrat

berlumpur. S. serrata suka membenamkan dirinya dalam lumpur untuk berlindung dari predator. Siahainenia (2008) juga menambahkan bahwa habitat Kepiting

Bakau adalah perairan intertidal (dekat hutan mangrove) yang bersubstrat lumpur. Substrat di sekitar hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau

(21)

ditemukan bahwa substrat di ketiga stasiun tidak jauh berbeda sehingga ukuran

dari kepiting bakau cenderung sama.

Analisis tingkat kemiripan berdasarkan 40 sampel yang diteliti pada skala

jarak 25 terbentuk menjadi dua kelompok (cluster) (Gambar 14). Apabila akan dibentuk 2 cluster, maka cluster 1 beranggotakan sampel k23 sampai dengan k15

(sesuai urutan dalam dendogram) dan cluster 2 beranggotakan sampel k7 sampai

dengan k18. Demikian seterusnya dapat dengan mudah dilihat anggota tiap cluster

sesuai jumlah cluster yang diinginkan.

Pengelompokan tersebut berasal dari kemiripan berdasarkan pada nilai

koefisien dari karakter morfometrik yang sama. Sedangkan kemiripan jauh karena

antar karakter morfometrik memiliki nilai berbeda. Kepiting Bakau yang diteliti

adalah satu jenis yakni S. serrata sehingga lebih memudahkan untuk pengelompokan karakter morfometriknya. Hal ini dinyatakan oleh Santoso (2002)

bahwa analisis hubungan kekerabatan dan kemiripan dilakukan dengan

menggunakan teknik hierarchical cluster analysis, yaitu dengan mengelompokkan obyek-obyek berdasarkan kesamaan karakteristik yang terdapat

di antara obyek-obyek tersebut. Obyek tersebut diklasifikasikan ke dalam satu

atau lebih cluster (kelompok) sehingga obyek-obyek yang berada dalam satu cluster akan mempunyai kemiripan satu dengan yang lainnya. Misalnya pada hasil variabel yang memliki karakter morfometrik sama atau dekat yaitu stage 1 sampai

8 dengan nilai koefisien 0,000 pada skala yang telah ditentukan.

Analisis Karakter Meristik

(22)

sebelah kanan dan kiri (AM): 18 ; jumlah duri outer margin sebelah kanan dan kiri (OM): 8 ; jumlah duri inner margin sebelah kanan dan kiri (IM): 8 ; jumlah ruas perioped bentuk capit (WLC): 10 ; jumlah ruas perioped bentuk dayung (WLD): 12. Perhitungan meristik Kepiting Bakau (S. serrata) cenderung tetap dan tidak mengalami perubahan walaupun terjadi pertumbuhan. Hal ini dinyatakan

oleh Rachmawati (2009) yang menyatakan bahwa perbedaan morfologis antar

populasi atau spesies biasanya digambarkan sebagai kontras dalam bentuk tubuh

secara keseluruhan atau ciri-ciri anatomi tertentu. Hal yang sama dapat dilakukan

pada ciri-ciri meristik. Terdapat perbedaan yang mendasar antara ciri morfometrik

dan meristik, yaitu ciri meristik memiliki jumlah yang lebih stabil selama masa

pertumbuhan, sedangkan ciri morfometrik berubah secara kontinu sejalan dengan

ukuran dan umur. Kementerian Kelautan dan Perikanan (2016) menyatakan

bahwa Kepiting Bakau genus Scylla ditandai dengan bentuk karapas yang oval bagian depan pada sisi panjangnya terdapat 9 duri di sisi kiri dan kanan serta 4

yang lainnya diantara ke dua matanya. Spesies-spesies di bawah genus ini dapat

dibedakan dari penampilan morfologi maupun genetiknya. Seluruh organ tubuh

yang penting tersembunyi di bawah karapas. Anggota badan berpangkal pada

bagian cephalus (dada) tampak mencuat keluar di kiri dan kanan karapas, yaitu 5 (lima) pasang kaki.

Pengukuran Kualitas Air Suhu

Pengukuran suhu di lapangan pada setiap stasiun adalah berkisar

30,5-31oC (Tabel 4). Nilai tersebut termasuk dalam kisaran yang layak untuk

(23)

dengan hasil penelitian Sagala dkk (2013) yang menyatakan bahwa kisaran

kualitas air menunjukkan suhu berkisar 30-31oC. Hal ini masih berada dalam

kisaran yang dapat ditolerir oleh kepiting bakau. Sedangkan Hasil pengukuran

Sihombing (2011) pada Hutan Mangrove Di Kawasan Sungai Serapuh Kecamatan

Tanjung Pura Kabupaten Langkat tidak jauh berbeda yang memperlihatkan bahwa

rata-rata suhu air pada tiap stasiun adalah berkisar antara 28oC – 29,30oC. suhu

cenderung mendekati tinggi disebabkan pada saat pengukuran suhu dilakukan

menjelang siang hari.

Dinyatakan oleh Rachmawati (2009) bahwa faktor suhu dapat menjadi

salah satu variabel yang mempengaruhi karakteristik morfometrik Kepiting Bakau

walaupun terpisah oleh jarak geografi yang jauh karena suhu dapat mempengaruhi

iklim pada suatu daerah. Adha (2015) menambahkan bahwa suhu air yang lebih

rendah dari 20°C dapat mengakibatkan aktivitas dan nafsu makan turun drastis.

Suhu terlalu tinggi juga tidak dapat ditoleransi kepiting bakau. Suhu di atas

42,1°C dapat menyebabkan kematian pada kepiting. Suhu yang baik untuk

pertumbuhan kepiting bakau adalah 23°C - 32°C. Berdasarkan literatur tersebut

maka diperoleh bahwa kisaran suhu pada lokasi penelitian masih tergolong baik.

Salinitas

Kisaran salinitas pada setiap stasiun antara 16-18 ppt (Tabel 4) merupakan

kisaran salinitas yang pada umumnya ditempati oleh Kepiting Bakau. Kepiting

Bakau merupakan biota yang memiliki toleransi yang besar terhadap salinitas.

Salinitas berpengaruh pada setiap fase pertumbuhan kepiting bakau terutama pada

(24)

seperti perairan muara hingga perairan pantai. Kemampuan Kepiting Bakau jenis

S. serrata ini juga dikarenakan memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan salinitas perairan. Siahainenia, (2008) juga menyatakan bahwa secara umum

kisaran salinitas yang dapat ditolerir oleh Kepiting Bakau dapat hidup pada

kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15 ppt sampai lebih besar dari 30 ppt. Ini

menunjukkan bahwa kisaran salinitas yang didapat masih tergolong baik untuk

kehidupan Kepiting Bakau.

Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Sagala dkk (2013) bahwa salinitas

merupakan salah satu faktor bagi organisme akuatik yang dapat memodifikasi

peubah fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan pengaruh yang berdampak

terhadap organisme. Salinitas sangat berpengaruh terhadap kehidupan Kepiting

Bakau terutama pada saat moulting. Tingkat Keasaman (pH)

pH yang diukur pada penelitian berkisar antara 6,1-7,2 (Tabel 4) dan

masih dalam batas toleransi bagi Kepiting Bakau. Hasil pengukuran pH tersebut

mendekati sama pada penelitian Ratnawati (2013) di perairan ekosistem

mangrove Belawan dengan hasil pengukuran pH air pada tiap stasiun

mendapatkan nilai berkisar antara 6,75 – 7,20. Hasil pengukuran pH tidak terlalu

jauh dengan penelitian Sihombing, (2011) yaitu nilai pH air pada tiap stasiun di

sepanjang Sungai Serapuh yang ditumbuhi hutan mangrove sepanjang Sungai

Serapuh berkisar antara 6,80-7,00 dan penelitian Tahmid dkk (2015) di ekosistem

mengrove Teluk Bintan mendapatkan derajat keasaman (pH) air berkisar antara

6,55-7,2 juga. Nilai pH yang hampir sama di lokasi berbeda bisa disebabkan oleh

(25)

sehingga substratnya bisa dikatakan tidak jauh berbeda. Kisaran pH tersebut

termasuk baik untuk kelangsungan habitat Kepiting Bakau. Sesuai dengan

pernyataan Soviana (2004) bahwa derajat keasaman (pH) merupakan faktor

lingkungan yang erat hubungannya dengan kelangsungan hidup biota air termasuk

crustacea.

Pola Pertumbuhan

Hasil regresi antara lebar karapas dan bobot tubuh Kepiting Bakau yang

tertangkap pada tiap stasiun di perairan mangrove Kampung Sentosa Barat

diperoleh persamaan sebagai berikut: Y = 54,754 + 0,217 X dan nilai R= 0,954

menunjukkan bahwa korelasi antara lebar karapas bobot tubuh Kepiting Bakau

sangat kuat (Gambar 15). Nilai b mendeskripsikan pola pertumbuhan Kepiting

Bakau, sedangkan R menunjukkan keeratan hubungan antara lebar karapas

Kepiting Bakau dan bobot tubuhnya. Berdasarkan persamaan tersebut maka dapat

diduga bobot tubuhnya melalui ukuran lebar karapasnya.

Hasil analisis memperlihatkan nilai b sebesar 0,217. Effendie (1997)

menyatakan bila nilai b=3, maka pertumbuhan dikatakan isometrik atau

pertambahan lebar karapas sama dengan bobotnya. Nilai b lebih besar atau lebih

kecil dari 3, pertumbuhan dikatakan allometrik atau pertambahan lebar karapas

tidak sama dengan pertambahan bobotnya.

Hasil analisis juga menunjukkan nilai b lebih kecil dari 3. Berdasarkan

nilai tersebut dapat dikatakan bahwa pola pertumbuhan Kepiting Bakau di

perairan mangrove Kampung Sentosa Barat termasuk pola pertumbuhan

allometrik negatif, yang berarti pertambahan lebar karapas kepiting bakau lebih

(26)

koefisien determinasi (R2) sebesar 0,910, yang berarti 91,0 % variabel bobot

tubuh kepiting bakau (S. serrata) dipengaruhi oleh variabel lebar karapas, dan selebihnya oleh faktor lain.

Sama halnya dengan hasil penelitian Herliany dan Zamdial (2015)

menyatakan bahwa pola pertumbuhan Kepiting Bakau adalah allometrik negatif

(b < 3) yang berarti pertambahan lebar karapas lebih cepat dibandingkan

pertambahan berat tubuh dan penelitian Sangari dan Toloh (2015) juga

menyatakan bahwa berdasarkan nilai b secara umum, Kepiting Bakau yang

tertangkap di Pulau Mantehage, memiliki pola pertumbuhan yang bersifat

allometrik negatif.

Lain halnya dengan Yusrudin (2016) yang melakukan penelitian di

perairan Payau Sukolilo memperoleh hasil bahwa pola pertumbuhan kepiting

bakau bersifat isometrik yang berarti pertambahan lebar karapas sebanding

dengan pertambahan beratnya.

Perbedaan dari hasil pola pertumbuhan diberbagai lokasi berbeda dapat

disebabkan oleh kondisi lingkungannya sehingga mempengaruhi pertumbuhan

dari Kepiting Bakau. Hal tersebut juga bisa disebabkan oleh Kepiting Bakau yang

masih muda sehingga nutrisi yang dimakan digunakan untuk pertumbuhan ukuran

tubuh (lebar karapas). Suryani (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan pada

Kepiting Bakau dicirikan oleh perubahan bentuk dan ukuran yang disebabkan

(27)

Rekomendasi Pengelolaan

Hasil pengukuran karakter morfometrik Kepiting Bakau (S. serrata) diperoleh lebar karapas secara keseluruhan berkisar 60-143 mm. Kepiting Bakau

yang tertangkap dominan muda atau belum dewasa berdasarkan KKP (2016) yang

menyatakan bahwa kepiting matang pada ukuran lebar karapas antara 80-120 mm

secara fisiologis. Utina dkk (2013) menambahkan bahwa Kepiting Bakau

dikatakan telah dewasa kelamin jika memiliki ukuran lebar karapas lebih dari 100

mm. Sedangkan PERMEN-KP (2016) menyatakan bahwa ukuran lebar karapas

minimum layak tangkap : > 15 cm, berat minimum tangkap : 200 g. Sampel

Kepiting Bakau (S. serrata) yang diperoleh selama penelitian memperlihatkan bahwa umumnya Kepiting Bakau masih belum dewasa karena dominan berukuran

< 100 mm.

Rekomendasi pengelolaan yang diberikan adalah sebaiknya para nelayan

di Kampung Sentosa Barat tidak melakukan penangkapan terhadap kepiting bakau

(S. serrata) yang masih muda, atau tidak sesuai dengan ukuran minimum layak tangkap yang telah di tetapkan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan. Hal ini

akan menyebakan populasi kepiting bakau di alam akan mengalami penurunan,

karena Kepiting Bakau harus mengalami pertumbuhan dan moulting untuk menjadi dewasa. Kepiting Bakau muda yang masuk kedalam bubu nelayan

sebaiknya dikembalikan ke alam agar dapat melanjutkan pertumbuhannya atau

bisa dimasukkan ke tambak yang juga merupakan mata pencarian sampingan dari

masyarakat Kampung Sentosa. Oleh sebab itu, diperlukan perhatian dari

masyarakat dan kebijakan pemerintah yang terstruktur serta adanya pengawasan

(28)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat dari penelitian adalah sebagai berikut:

3. Ukuran morfometrik kepiting bakau dari stasiun 1, stasiun 2 dan stasiun 3

secara keseluruhan adalah lebar karapas (L): 60-40 mm, panjang karapas (P):

35-90 mm, tinggi karapas (T): 19-35 mm, optical groove widths (OGW): 16-29 mm, panjang chella sebelah kanan (PCR): 26-50 mm, panjang profundus

chela sebelah kanan (PPR): 13-30 mm, tinggi chela sebelah kanan (TCR):

10-26 mm, panjang chella sebelah kiri (PCL): 24-48 mm, panjang profundus

chela sebelah kiri (PPL): 14-28 mm, tinggi chela sebelah kiri (TCL): 9-25

mm, bobot (B): 29-370 dan kisaran meristik kepiting bakau dengan jumlah

duri frontal margin (FM): 4, jumlah duri anterolateral margin sebelah kanan

dan kiri (AM): 18, jumlah duri outer margin sebelah kanan dan kiri (OM): 8,

jumlah duri inner margin sebelah kanan dan kiri (IM): 8, jumlah ruas

perioped bentuk capit (WLC): 10 dan jumlah ruas perioped bentuk dayung

(WLD): 12 di ekosistem mangrove Kampung Sentosa.

4. Pola pertumbuhan Kepiting Bakau (S. serrata) di ekosistem mangrove Kampung Sentosa Barat adalah Allometrik Negatif.

Saran

Saran yang dapat diberikan adalah perlu dilakukan suatu kajian/penelitian

lanjutan mengenai kepiting bakau (S. serrata) tentang MSY, parameter pertumbuhan dan laju eksploitasi sehingga hasil penelitian tersebut dapat

Gambar

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian
Gambar 5. Stasiun I
Gambar 6. Stasiun II
Gambar 9. Morfometrik Kepiting Bakau yang diukur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ide ini, sama dengan pandangan bahwa semua ilmu pada akhirnya berasal dari sumber yang sama, terdapat ide kesatuan dalam ilmu disepakati secara bersama ol eh ketiga

Dengan berlakunya Undang-Undang No 7 tahun 2017 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang terkait dengan pengawasan yaitu Bahwa Bawaslu (Badan

 Board mikrokontroler jenis Arduino Uno yang terhubung dengan modul sensor IR, PIR, RFID reader, saklar tekan, dan buzzer.  Relay 5V yang terhubung dengan power

Masa remaja ditandai dengan pertumbuhan fisik yang sangat pesat seperti perubahan suara, tumbuhnya bulu pada tubuh bagian tertentu, tumbuhnya jakun pada pria, mulai membesarnya

Battery back up yang digunakan pada sistem ini adalah sebuah powerbank dengan kapasitas 10.000mAh, yang berfungsi sebagai cadangan listrik untuk menghidupkan

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada

Hambatan apa saja yang dialami oleh Dinas Pariwisata dalam pengembangan objek wisata TWI dalam meningkatkan pengunjung wisata.. Bagaimana kondisi sarana dan prasarana

Pada sebuah ruangan steril dibutuhkan sebuah alat pengukur untuk mengambil sample udara yang berada di dalam ruangan tersebut dengan menggunakan sebuah alat yang bernama air