METODOLOGI
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2017. Lokasi penelitian
berada di Perairan Mangrove Kampung Sentosa Barat Lingkungan 20 Kelurahan
Belawan Sicanang. Lokasi Penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. Analisis
sampel dilakukan di Laboratorium Terpadu Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning System), bubu, Toolbox, penggaris, milimeter blok, spidol, timbangan, alat tulis dan kamera digital, pH meter, refraktometer dan termometer.
Deskripsi Area
Penelitian dilakukan di Perairan Mangrove Kampung Sentosa Barat
Lingkungan 20 Kelurahan Belawan Sicanang. Penetapan lokasi pada 3 stasiun
dilakukan untuk membandingkan karakter morfometrik dan meristik
masing-masing stasiun yang masih terdapat di satu kawasan yang sama.
Stasiun I
Stasiun I secara geografis terletak pada koordinat 3º44'59,5''LU -
3º44'79,5''LU dan 98º38'28''BT - 98º38'33''BT. Lokasi ini merupakan daerah yang
bersebelahan dengan lahan tambak khusus Kepiting Bakau dan dikelilingi oleh
mangrove dengan kerapatan yang tidak terlalu tinggi. Kondisi stasiun I disajikan
pada Gambar 5.
Gambar 5. Stasiun I
Stasiun II
Stasiun II secara geografis terletak pada koordinat 3º45'24,9''LU -
3º45'44,9''LU dan 98º38'51,4''BT - 98º38'56,4''BT. Lokasi ini merupakan daerah
yang berada dekat dengan pemukiman warga dan berada paling jauh dari muara.
Gambar 6. Stasiun II Stasiun III
Stasiun III secara geografis terletak pada koordinat 3º45'10,2''LU -
3º45'22,2''LU dan 98º38'39,7''BT - 98º38'44,7''BT. Lokasi ini memiliki kerapatan
mangrove yang tinggi disebabkan belum banyak tersentuh oleh masyarakat.
Kondisi stasiun III disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Stasiun III
Prosedur Penelitian Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel kepiting akan dilakukan dengan menggunakan bubu.
penopang kayu agar tidak hanyut pada saat air pasang. Bubu digunakan sebanyak
10 buah di setiap stasiun dengan jarak pemasangan antar bubu adalah 10 m.
Pengangkatan bubu dilakukan pada saat air mulai surut dan kepiting bakau yang
tertangkap sebanyak 40 ekor. Sampel Kepiting Bakau yang digunakan untuk
identifikasi morfometrik, meristik dan pola pertumbuhan diambil dari beragam
ukuran (kecil < 70 mm, sedang 70-100 mm dan besar > 100 mm).
Sampel Kepiting Bakau yang tertangkap dibersihkan dan diberi nomor
menggunakan kertas label sebelum dimasukkan ke dalam toolbox dan selanjutnya diamati karakter morfometrik, meristik dan pola pertumbuhan di Laboratorium
Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan.
Pengukuran kualitas air meliputi suhu, pH dan Salinitas dilakukan secara
insitu. Pengukuran dilakukan sebelum pemasangan bubu di setiap stasiun.
Analisis Sampel
Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Terpadu Manajemen
Sumberdaya Perairan. Terlebih dahulu dilakukan pengamatan terhadap jenis
kelamin dengan cara melihat bentuk abdomen kepiting bakau, dimana jantan
memiliki bentuk abdomen yang mengerucut sedangkan betina memiliki bentuk
abdomen yang melebar. Abdomen Kepiting Bakau dapat dilihat pada Gambar 7.
Bobot tubuh ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian
10 gram dan pengukuran lebar karapas dengan menggunakan jangka sorong
dengan ketelitian 1 mm. Pengukuran aspek morfometrik dilakukan dengan
menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm dan pengukuran aspek meristik
secara visual serta pengolahan data lebar karapas dengan bobot untuk pola pertumbuhan. Seluruh data tersebut dicatat pada data sheet yang telah disiapkan. Pengukuran Aspek Morfometrik
Bagian morfometrik kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 8. Adapun
karakter morfometrik yang di ukur pada kepiting bakau (S. serrata) adalah sebagai berikut:
1. Lebar karapas (L): Jarak antara ujung duri marginal terakhir di sebelah kanan
dengan duri marginal terakhir di sebelah kiri (horizontal)
2. Panjang karapas (P): Jarak antara tepi duri frontal margin dengan tepi bawah karapas
3. Tinggi karapas (T): Panjang garis tegak antara karapas dengan abdomen
4. Optical groove widths: Jarak duri frontal margin di antara mata
5. Panjang chela sebelah kanan (PCR): Panjang capit (hand) sebelah kanan mulai dari ujung palm hingga ujung dactylus
6. Panjang chela sebelah kiri (PCL): Panjang capit (hand) sebelah kiri mulai dari ujung palm hingga ujung dactylus
7. Panjang profundus chela sebelah kanan (PPR): Jarak antara ujung palm dengan tepi dactylus sebelah kanan
9. Tinggi chela sebelah kanan (TCR): Jarak lurus terbesar secara vertikal antara tepi atas dan bawah chela sebelah kanan
10. Tinggi chela sebelah kiri (TCL): Jarak lurus terbesar secara vertikal antara tepi atas dan bawah chela sebelah kiri
Gambar 9. Morfometrik Kepiting Bakau yang diukur
Pengukuran Aspek Meristik
Karakter meristik yang diamati adalah sebagai berikut:
a. Jumlah duri frontal margin: Jumlah duri frontal margin yang berada di antara kedua mata kepiting
b. Jumlah duri anterolateral margin sebelah kanan: Jumlah seluruh duri anterolateral margin yang berada di sebelah kanan karapas
c. Jumlah duri anterolateral margin sebelah kiri: Jumlah seluruh duri anterolateral margin yang berada di sebelah kiri karapas
d. Jumlah duri outer margin sebelah kanan: jumlah duri yang berada pada outer margin sebelah kanan
f. Jumlah duri inner margin sebelah kanan: jumlah duri yang berada pada inner margin sebelah kanan
g. Jumlah duri inner margin sebelah kiri: jumlah duri yang berada pada inner margin sebelah kiri
h. Jumlah ruas walking leg (perioped) bentuk capit (cheliped): jumlah ruas yang ada pada walking leg (perioped) bentuk capit (cheliped)
i. Jumlah ruas walking leg (perioped) bentuk dayung (pleopod): jumlah ruas yang ada pada walking leg (perioped) bentuk dayung (pleopod)
Pengukuran Kualitas Air
Pengukuran kualitas air meliputi suhu, pH dan Salinitas. Pengukuran
tersebut dilakukan secara insitu. Parameter dan alat kualitas air dapat diliht pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter dan alat pengukuran kualitas air
No Parameter satuan Alat Keterangan
1 Salinitas ppt Refraktometer insitu
2 Suhu ˚ C Termometer insitu
3 pH - pH indikator insitu
Analisis Data
Analisis karakter morfometrik dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama
adalah menganalisis masing-masing karakter morfometrik yang diukur. Tahap
kedua adalah menganalisis perbandingan karakter morfometrik yang telah
ditentukan.
Untuk mengetahui kemiripan seluruh karakter morfometrik dan
perbandingan karakter morfometrik maka dilakukan cluster analysis terhadap
Chatfield dan Collins (1988) dalam Sitorus (2011), vektor yang jaraknya sama menunjukkan tingkat kesamaan karakteristik dari peubah yang diukur dianalisis
menggunakan ukuran kemiripan yaitu ukuran jarak yang dikenal dengan jarak
Euclidean. Dari hasil analisis akan didapat suatu kesamaan antar karakter yang
nilai-nilainya menunjukkan seberapa dekat suatu karakter memiliki keterkaitan
dengan karakter lainnya, biasa disebut sebagai suatu hubungan kekerabatan.
Analisis statistik ini dilakukan menggunakan SPSS.
Analisis karakter meristik dilakukan untuk mengetahui kisaran nilai
masing-masing karakter meristik. Dari kisaran nilai ini kemudian ditentukan
modusnya. Nilai kisaran dan modus inilah yang menjadi dasar dalam penulisan
rumus suatu karakter meristik.
Pola Pertumbuhan
Pola pertumbuhan kepiting bakau dapat diketahui dengan melihat
hubungan lebar karapas kepiting bakau dan bobot tubuh melalui analisa regresi
linier sederhana. Studi hubungan lebar karapas dan bobot tubuh mempunyai nilai
praktis yang memungkinkan mengkonversi nilai lebar karapakas ke dalam bobot
tubuh kepiting bakau atau sebaliknya. Bobot tubuh Kepiting Bakau dapat
dianggap sebagai suatu fungsi dari lebar karapasnya (Effendie, 1997).
W= a Lb atau Ln W = Ln a + b Ln L
Keterangan:
W : bobot tubuh (g)
L : lebar karapas
Analisis regresi menggunakan software SPSS digunakan pada metode ini untuk mendapatkan parameter a dan b. Regresi dilakukan dengan menjadikan
nilai ln bobot (W) sebagai ‘Y’ dan Ln lebar karapas (L) sebagai ‘X’, maka
didapatkan persamaan regresi :
Y = a + bX
Nilai b yang dihasilkan diuji menggunakan uji-t (uji parsial), dengan
hipotesis (Steel and Torie, 1993).
H0 : b = 3, hubungan panjang dengan berat adalah isometrik.
H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik, yaitu :
• Allometrik positif, jika b>3 (pertambahan berat lebih cepat daripada
pertambahan panjang)
• Allometrik negatif, jika b<3 (Pertambahan panjang lebih cepat daripada
pertambahan berat).
b1 - b0
Sb1
Keterangan :
b1 = Nilai b (dari hubungan panjang berat)
b0 = 3
Sb1 = Simpangan koefisien b
Nilai t hitung dibandingkan dengan nilai t tabel pada selang kepercayaan
95%. Pola pertumbuhan kepiting bakau ditentukan dengan sebagai berikut :
t hitung > t tabel : tolak hipotesis nol (H0)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Morfologi Kepiting Bakau (S. serrata)
Berdasarkan pengamatan Kepiting Bakau (S. serrata) diperoleh ciri morfologi, antara lain : memiliki duri yang tinggi dengan warna kemerahan
hingga jingga pada capit dan kaki, duri bagian depan kepala lancip, dan duri tajam
pada bagian corpus. Ciri morfologi S. serrata dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Karakter Morfologi Kepiting Bakau
Keterangan:
a. Capit c. Kaki e. Abdomen Jantan
b. Duri Frontal d. Karapas Belakang f. Abdomen Betina
Kelimpahan Kepiting Bakau
a b
c d
Hasil penelitian Kepiting Bakau yang diperoleh selama penelitian berjumlah
40 ekor, 12 ekor terdapat di stasiun I, 10 ekor di stasiun II, dan 18 ekor di stasiun
III. Hasil tangkapan Kepiting Bakau tertinggi diperoleh di stasiun III dan terendah
diperoleh di stasiun II. Hasil tangkapan Kepiting Bakau yang diperoleh pada tiap
stasiun penelitian dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Hasil Tangkapan Kepiting Bakau
Hasil tangkapan Kepiting Bakau berdasarkan jenis kelamin adalah 26 ekor
jantan dan 14 ekor betina. Stasiun III memiliki jumlah tangkapan jantan dan
betina yang lebih banyak dibanding dengan stasiun lainnya. Hasil tangkapan
Kepiting Bakau jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Hasil Tangkapan Kepiting Bakau Jantan dan Betina
Kelimpahan Kepiting Bakau berdasarkan kelas ukuran secara keseluruhan
ind, dan nilai frekuensi terendah pada kisaran kelas 137-143 mm sebesar 1 ind.
Kelimpahan kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Kelimpahan Kepiting Bakau
Analisis Karakter Morfometrik Berdasarkan Hubungan Kekerabatan
Hasil analisis karakter morfometrik dari 40 sampel Kepiting Bakau yang
diperoleh menghasilkan nilai koefisien yang menjadi tolak ukur suatu kemiripan
dari seluruh sampel yang diamati. Nilai hubungan kemiripan dapat dilihat pada
Kepiting Bakau yang telah dibedakan berdasarkan karakter dengan jarak
euclidean menghasilkan hubungan variabel dengan beberapa pengelompokan (cluster). Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa semakin kecil nilai koefisien antar variabel, maka kemiripan dari Kepiting Bakau semakin dekat. Sehingga didapat
bahwa kemiripan terdekat pada stage 1 sampai 8 dengan nilai koefisien 0,000
(terdekat) sedangkan kemiripan terjauh pada stage 39 yang beranggotakan sampel
no 1 dan 4 dengan nilai koefisien 40,535.
Hasil penelitian dan analisis kemiripan pada karakter morfometrik
Kepiting Bakau menghasilkan dendogram suatu kemiripan yang dapat dilihat
pada Gambar 14.
Gambar 14. Dendogram Kemiripan Kepititing Bakau
I
II IA
IB
IC
Analisis kemiripan berdasarkan 40 sampel yang diteliti pada skala jarak 25
terbentuk menjadi dua kelompok (cluster). Apabila akan dibentuk 2 cluster, maka cluster 1 beranggotakan sampel k23 sampai dengan k15 (sesuai urutan dalam dendogram) dan cluster 2 beranggotakan sampel k7 sampai dengan k18. Demikian seterusnya dapat dengan mudah dilihat anggota tiap cluster sesuai jumlah cluster yang diinginkan.
Analisis Karakter Meristik
Untuk hasil perhitungan meristik Kepiting Bakau di ekosistem mangrove
Kampung Sentosa Barat Lingkungan 20 Kelurahan Belawan Sicanang disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Meristik Kepiting Bakau (S. serrata)
No Karakter Stasiun
2 Jumlah duri anterolateral margin sebelah kanan dan kiri (AM)
18 18 18
3 Jumlah duri outer margin sebelah kanan dan kiri (OM)
8 8 8
4 Jumlah duri inner margin sebelah kanan dan kiri (IM)
8 8 8
5 Jumlah ruas perioped bentuk capit (WLC) 10 10 10
6 Jumlah ruas perioped bentuk dayung (WLD) 12 12 12
Pengukuran Kualitas Air
Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air di ekosistem mangrove
Kampung Sentosa Barat Lingkungan 20 Kelurahan Belawan Sicanang diperoleh
data kualitas air yang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengukuran Kualitas Air
Parameter Stasiun
I II III
Salinitas (ppt) 18 16 16
Suhu (oC) 30,5 30 31
Pola Pertumbuhan
Analisis pertumbuhan digunakan untuk meramalkan ukuran rata-rata biota
di suatu populasi pada waktu tertentu dan untuk membandingkan kondisi biota di
daerah perikanan yang berbeda atau pada daerah yang sama dengan strategi
manejemen yang berbeda. Di dalam fase pertumbuhan kepiting bakau, terdapat
suatu rangkaian lepas cangkang (molt atau ecdysis) yang dipisahkan oleh suatu rangkaian antar ganti cangkang (intermolt) (Rachmawati, 2009). Kajian pertumbuhan kepiting bakau meliputi hubungan lebar karapas-bobot dapat dilihat
pada Gambar 15.
Gambar 15. Hasil Regresi Lebar Karapas-Bobot Kepiting Bakau
Pada Gambar 15, nilai R= 0,954 menunjukkan bahwa korelasi antara lebar
karapas bobot tubuh Kepiting Bakau adalah 0,954 dan menghasilkan sebuah
persamaan Y = 54,754 + 0,217 X.
Pembahasan
Morfologi Kepiting Bakau (S. serrata)
Berdasarkan ciri morfologi Kepiting Bakau (S. serrata) yang diamati (Gambar 10), antara lain : memiliki duri yang tinggi dengan capit dan kaki
berwarna kemerahan hingga jingga, duri bagian depan (frontal) kepala lancip, dan duri pada bagian corpus tajam, karapas berwarna merah kecoklatan, dan juga bentuk abdomen berbeda pada jantan dan betina. Beberapa ciri morfologi tersebut
menunjukkan adanya perbedaan morfologi antara Kepiting Bakau (S. serrata) dengan jenis Kepiting Bakau lainnya.
Hal tersebut dinyatakan oleh Keenan (1999) yang menyatakan bahwa
Kepiting Bakau jenis S. serrata memiliki duri yang tinggi dengan warna kemerahan hingga oranye terutama pada capit dan kakinya. Pada duri bagian
depan kepala umumnya lancip, dan memiliki duri tajam pada bagian corpus.
Berbeda dengan Kepiting Bakau jenis Scylla lainnya dengan ciri morfologi yaitu: Kepiting Bakau jenis S. paramamosain memiliki duri yang relatif agak tinggi/sedang, memiliki warna karapas cokelat kehijauan, sumber pigmen
polygonal terdapat pigmen putih pada bagian terakhir dari kaki-kaki. Kepiting
Bakau jenis S. transquebarica memiliki warna karapas kehijauan sampai kehitaman dengan sedikit garis-garis berwarna kecoklatan pada kaki renangnya.
Duri bagian depan kepala umumnya tumpul, dan memiliki duri tajam bagian
bagian corpus dan Kepiting Bakau jenis S. olivacea memiliki warna karapas hijau keabuabuan, rambut atau setae melimpah pada bagian karapas, duri bagian kepala
Kelimpahan Kepiting Bakau
Sampel Kepiting Bakau yang terdapat di stasiun I berjumlah 12 ekor, pada
stasiun II berjumlah 10 ekor, dan pada stasiun III 18 ekor (Gambar 11). Hasil
tangkapan Kepiting Bakau tertinggi diperoleh di stasiun III yang memiliki substrat
dan kondisi mangrove baik yang dapat dilihat dari banyaknya mangrove yang
berada di stasiun III dibanding dengan stasiun lainnya. Mangrove berperan
penting pada kedudukan Kepiting Bakau sebagai habitat. Dinyatakan oleh
Soviana (2004) bahwa hutan mangrove dikenal sebagai daerah asuhan berbagai
jenis binatang perairan dan menjadi habitat alami bagi berbagai jenis kepiting.
Karakteristik habitat yang cukup baik dan kondisi mangrove masih baik
sangat mendukung kehidupan Kepiting Bakau sehingga stasiun III yang memiliki
substrat dan kondisi lingkungan yang baik menghasilkan tangkapan yang lebih
banyak. Hal ini sesuai dengan Avianto dkk, (2013) yang menyatakan bahwa
Kepiting Bakau cenderung menyebar berkelompok secara acak untuk mencari
habitat yang cocok dan dapat mendukung kehidupannya pada daerah terlindung
yang bersubstrat lumpur dengan tingkat penggenangan yang baik serta
ketersediaan makanan alami yang cukup.
Kepiting Bakau yang diperoleh selama penelitian berjumlah 40 ekor yang
terdiri dari 26 ekor jantan dan 14 ekor betina (Gambar 12). Banyaknya kepiting
jantan yang ditangkap diperkirakan karena kepiting jantan lebih agresif dalam
mencari makan dan juga Kepiting Bakau betina ketika akan memijah melakukan
ruaya ke laut sehingga mengurangi populasinya di ekosistem mangrove. Hal ini
sesuai dengan Sentosa dan Syam (2011) yang menyatakan bahwa banyaknya
bakau. S. serrata yang melakukan perkawinan di perairan mangrove dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan
beruaya ke laut dan memijah, sedangkan kepiting jantan tetap di perairan hutan
bakau atau muara sungai. Kepiting jantan yang banyak tertangkap dibandingkan
betina diduga juga dipengaruhi oleh sifat agresif S. serrata jantan dalam mencari makan.
Kelimpahan Kepiting Bakau dari stasiun I, stasiun II dan stasiun III secara
keseluruhan diperoleh frekuensi tertinggi pada kisaran kelas 60-66 mm sebesar 10
ind, dan frekuensi terendah pada kisaran kelas 137-143 mm sebesar 1 ind, untuk
ketiga stasiun (Gambar 13). Ukuran lebar karapas Kepiting Bakau yang dominan
adalah berukuran kecil (muda) atau belum dewasa berdasarkan KKP (2016) yang
menyatakan bahwa kepiting matang pada ukuran lebar karapas antara 80-120 mm
secara fisiologis. Sama halnya dengan penelitian Avianto dkk (2013) di Hutan
Mangrove Cibako yakni hasil tangkapan Kepiting Bakau yang diperoleh banyak
didominasi oleh kepiting berukuran kecil. Hal ini diduga akibat intensitas
penangkapan yang terus meningkat.
Utina dkk (2013) menambahkan bahwa Kepiting Bakau dikatakan telah
dewasa kelamin jika memiliki ukuran lebar karapas lebih dari 100 mm.
Sedangkan PERMEN-KP (2016) menyatakan bahwa ukuran lebar karapas
minimum layak tangkap : > 15 cm, berat minimum tangkap : 200 g. Dapat
disimpulkan bahwa Kepiting Bakau yang tertangkap umumnya masih belum
dewasa karena dominan berukuran < 100 mm.
Hasil penelitian yang diperoleh dan yang dilakukan Avianto dkk (2013)
penangkapan yang terus menerus tanpa memperhatikan ukuran dari Kepiting
Bakau. Penangkapan yang dilakukan secara terus menerus mengakibatkan
Kepiting Bakau yang berukuran besar cenderung menurun, sehingga struktur
populasi Kepiting Bakau mengalami degradasi.
Analisis Karakter Morfometrik
Kepiting Bakau yang telah dibedakan berdasarkan karakter dengan jarak
euclidean menghasilkan hubungan variabel dengan beberapa pengelompokan (cluster) (Tabel 2). Semakin kecil nilai koefisien antar variabel, maka kemiripan dari kepiting bakau semakin dekat. Sehingga didapat bahwa kemiripan terdekat
pada stage 1 sampai 8 dengan nilai koefisien 0,000 (terdekat) sedangkan
kemiripan terjauh pada stage 39 yang beranggotakan sampel no 1 dan 4 dengan
nilai koefisien 40,535.
Tingkat kemiripan diperoleh dari kepiting bakau yang memiliki ukuran
karakter yang sama. Kemiripan Kepiting Bakau dapat disebabkan oleh habitat dan
kondisi lingkungannya. Kepiting Bakau umumnya berada pada substrat berlumpur
di ekosistem mangrove. Sehingga perbedaan substrat juga mempengaruhi
kehidupan Kepiting Bakau. Karakteristik habitat Kepiting Bakau dijelaskan oleh
Eprilurahman (2015) yang menyatakan bahwa S. serrata merupakan jenis kepiting air payau yang pada umumnya hidup pada daerah mangrove dengan substrat
berlumpur. S. serrata suka membenamkan dirinya dalam lumpur untuk berlindung dari predator. Siahainenia (2008) juga menambahkan bahwa habitat Kepiting
Bakau adalah perairan intertidal (dekat hutan mangrove) yang bersubstrat lumpur. Substrat di sekitar hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau
ditemukan bahwa substrat di ketiga stasiun tidak jauh berbeda sehingga ukuran
dari kepiting bakau cenderung sama.
Analisis tingkat kemiripan berdasarkan 40 sampel yang diteliti pada skala
jarak 25 terbentuk menjadi dua kelompok (cluster) (Gambar 14). Apabila akan dibentuk 2 cluster, maka cluster 1 beranggotakan sampel k23 sampai dengan k15
(sesuai urutan dalam dendogram) dan cluster 2 beranggotakan sampel k7 sampai
dengan k18. Demikian seterusnya dapat dengan mudah dilihat anggota tiap cluster
sesuai jumlah cluster yang diinginkan.
Pengelompokan tersebut berasal dari kemiripan berdasarkan pada nilai
koefisien dari karakter morfometrik yang sama. Sedangkan kemiripan jauh karena
antar karakter morfometrik memiliki nilai berbeda. Kepiting Bakau yang diteliti
adalah satu jenis yakni S. serrata sehingga lebih memudahkan untuk pengelompokan karakter morfometriknya. Hal ini dinyatakan oleh Santoso (2002)
bahwa analisis hubungan kekerabatan dan kemiripan dilakukan dengan
menggunakan teknik hierarchical cluster analysis, yaitu dengan mengelompokkan obyek-obyek berdasarkan kesamaan karakteristik yang terdapat
di antara obyek-obyek tersebut. Obyek tersebut diklasifikasikan ke dalam satu
atau lebih cluster (kelompok) sehingga obyek-obyek yang berada dalam satu cluster akan mempunyai kemiripan satu dengan yang lainnya. Misalnya pada hasil variabel yang memliki karakter morfometrik sama atau dekat yaitu stage 1 sampai
8 dengan nilai koefisien 0,000 pada skala yang telah ditentukan.
Analisis Karakter Meristik
sebelah kanan dan kiri (AM): 18 ; jumlah duri outer margin sebelah kanan dan kiri (OM): 8 ; jumlah duri inner margin sebelah kanan dan kiri (IM): 8 ; jumlah ruas perioped bentuk capit (WLC): 10 ; jumlah ruas perioped bentuk dayung (WLD): 12. Perhitungan meristik Kepiting Bakau (S. serrata) cenderung tetap dan tidak mengalami perubahan walaupun terjadi pertumbuhan. Hal ini dinyatakan
oleh Rachmawati (2009) yang menyatakan bahwa perbedaan morfologis antar
populasi atau spesies biasanya digambarkan sebagai kontras dalam bentuk tubuh
secara keseluruhan atau ciri-ciri anatomi tertentu. Hal yang sama dapat dilakukan
pada ciri-ciri meristik. Terdapat perbedaan yang mendasar antara ciri morfometrik
dan meristik, yaitu ciri meristik memiliki jumlah yang lebih stabil selama masa
pertumbuhan, sedangkan ciri morfometrik berubah secara kontinu sejalan dengan
ukuran dan umur. Kementerian Kelautan dan Perikanan (2016) menyatakan
bahwa Kepiting Bakau genus Scylla ditandai dengan bentuk karapas yang oval bagian depan pada sisi panjangnya terdapat 9 duri di sisi kiri dan kanan serta 4
yang lainnya diantara ke dua matanya. Spesies-spesies di bawah genus ini dapat
dibedakan dari penampilan morfologi maupun genetiknya. Seluruh organ tubuh
yang penting tersembunyi di bawah karapas. Anggota badan berpangkal pada
bagian cephalus (dada) tampak mencuat keluar di kiri dan kanan karapas, yaitu 5 (lima) pasang kaki.
Pengukuran Kualitas Air Suhu
Pengukuran suhu di lapangan pada setiap stasiun adalah berkisar
30,5-31oC (Tabel 4). Nilai tersebut termasuk dalam kisaran yang layak untuk
dengan hasil penelitian Sagala dkk (2013) yang menyatakan bahwa kisaran
kualitas air menunjukkan suhu berkisar 30-31oC. Hal ini masih berada dalam
kisaran yang dapat ditolerir oleh kepiting bakau. Sedangkan Hasil pengukuran
Sihombing (2011) pada Hutan Mangrove Di Kawasan Sungai Serapuh Kecamatan
Tanjung Pura Kabupaten Langkat tidak jauh berbeda yang memperlihatkan bahwa
rata-rata suhu air pada tiap stasiun adalah berkisar antara 28oC – 29,30oC. suhu
cenderung mendekati tinggi disebabkan pada saat pengukuran suhu dilakukan
menjelang siang hari.
Dinyatakan oleh Rachmawati (2009) bahwa faktor suhu dapat menjadi
salah satu variabel yang mempengaruhi karakteristik morfometrik Kepiting Bakau
walaupun terpisah oleh jarak geografi yang jauh karena suhu dapat mempengaruhi
iklim pada suatu daerah. Adha (2015) menambahkan bahwa suhu air yang lebih
rendah dari 20°C dapat mengakibatkan aktivitas dan nafsu makan turun drastis.
Suhu terlalu tinggi juga tidak dapat ditoleransi kepiting bakau. Suhu di atas
42,1°C dapat menyebabkan kematian pada kepiting. Suhu yang baik untuk
pertumbuhan kepiting bakau adalah 23°C - 32°C. Berdasarkan literatur tersebut
maka diperoleh bahwa kisaran suhu pada lokasi penelitian masih tergolong baik.
Salinitas
Kisaran salinitas pada setiap stasiun antara 16-18 ppt (Tabel 4) merupakan
kisaran salinitas yang pada umumnya ditempati oleh Kepiting Bakau. Kepiting
Bakau merupakan biota yang memiliki toleransi yang besar terhadap salinitas.
Salinitas berpengaruh pada setiap fase pertumbuhan kepiting bakau terutama pada
seperti perairan muara hingga perairan pantai. Kemampuan Kepiting Bakau jenis
S. serrata ini juga dikarenakan memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan salinitas perairan. Siahainenia, (2008) juga menyatakan bahwa secara umum
kisaran salinitas yang dapat ditolerir oleh Kepiting Bakau dapat hidup pada
kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15 ppt sampai lebih besar dari 30 ppt. Ini
menunjukkan bahwa kisaran salinitas yang didapat masih tergolong baik untuk
kehidupan Kepiting Bakau.
Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Sagala dkk (2013) bahwa salinitas
merupakan salah satu faktor bagi organisme akuatik yang dapat memodifikasi
peubah fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan pengaruh yang berdampak
terhadap organisme. Salinitas sangat berpengaruh terhadap kehidupan Kepiting
Bakau terutama pada saat moulting. Tingkat Keasaman (pH)
pH yang diukur pada penelitian berkisar antara 6,1-7,2 (Tabel 4) dan
masih dalam batas toleransi bagi Kepiting Bakau. Hasil pengukuran pH tersebut
mendekati sama pada penelitian Ratnawati (2013) di perairan ekosistem
mangrove Belawan dengan hasil pengukuran pH air pada tiap stasiun
mendapatkan nilai berkisar antara 6,75 – 7,20. Hasil pengukuran pH tidak terlalu
jauh dengan penelitian Sihombing, (2011) yaitu nilai pH air pada tiap stasiun di
sepanjang Sungai Serapuh yang ditumbuhi hutan mangrove sepanjang Sungai
Serapuh berkisar antara 6,80-7,00 dan penelitian Tahmid dkk (2015) di ekosistem
mengrove Teluk Bintan mendapatkan derajat keasaman (pH) air berkisar antara
6,55-7,2 juga. Nilai pH yang hampir sama di lokasi berbeda bisa disebabkan oleh
sehingga substratnya bisa dikatakan tidak jauh berbeda. Kisaran pH tersebut
termasuk baik untuk kelangsungan habitat Kepiting Bakau. Sesuai dengan
pernyataan Soviana (2004) bahwa derajat keasaman (pH) merupakan faktor
lingkungan yang erat hubungannya dengan kelangsungan hidup biota air termasuk
crustacea.
Pola Pertumbuhan
Hasil regresi antara lebar karapas dan bobot tubuh Kepiting Bakau yang
tertangkap pada tiap stasiun di perairan mangrove Kampung Sentosa Barat
diperoleh persamaan sebagai berikut: Y = 54,754 + 0,217 X dan nilai R= 0,954
menunjukkan bahwa korelasi antara lebar karapas bobot tubuh Kepiting Bakau
sangat kuat (Gambar 15). Nilai b mendeskripsikan pola pertumbuhan Kepiting
Bakau, sedangkan R menunjukkan keeratan hubungan antara lebar karapas
Kepiting Bakau dan bobot tubuhnya. Berdasarkan persamaan tersebut maka dapat
diduga bobot tubuhnya melalui ukuran lebar karapasnya.
Hasil analisis memperlihatkan nilai b sebesar 0,217. Effendie (1997)
menyatakan bila nilai b=3, maka pertumbuhan dikatakan isometrik atau
pertambahan lebar karapas sama dengan bobotnya. Nilai b lebih besar atau lebih
kecil dari 3, pertumbuhan dikatakan allometrik atau pertambahan lebar karapas
tidak sama dengan pertambahan bobotnya.
Hasil analisis juga menunjukkan nilai b lebih kecil dari 3. Berdasarkan
nilai tersebut dapat dikatakan bahwa pola pertumbuhan Kepiting Bakau di
perairan mangrove Kampung Sentosa Barat termasuk pola pertumbuhan
allometrik negatif, yang berarti pertambahan lebar karapas kepiting bakau lebih
koefisien determinasi (R2) sebesar 0,910, yang berarti 91,0 % variabel bobot
tubuh kepiting bakau (S. serrata) dipengaruhi oleh variabel lebar karapas, dan selebihnya oleh faktor lain.
Sama halnya dengan hasil penelitian Herliany dan Zamdial (2015)
menyatakan bahwa pola pertumbuhan Kepiting Bakau adalah allometrik negatif
(b < 3) yang berarti pertambahan lebar karapas lebih cepat dibandingkan
pertambahan berat tubuh dan penelitian Sangari dan Toloh (2015) juga
menyatakan bahwa berdasarkan nilai b secara umum, Kepiting Bakau yang
tertangkap di Pulau Mantehage, memiliki pola pertumbuhan yang bersifat
allometrik negatif.
Lain halnya dengan Yusrudin (2016) yang melakukan penelitian di
perairan Payau Sukolilo memperoleh hasil bahwa pola pertumbuhan kepiting
bakau bersifat isometrik yang berarti pertambahan lebar karapas sebanding
dengan pertambahan beratnya.
Perbedaan dari hasil pola pertumbuhan diberbagai lokasi berbeda dapat
disebabkan oleh kondisi lingkungannya sehingga mempengaruhi pertumbuhan
dari Kepiting Bakau. Hal tersebut juga bisa disebabkan oleh Kepiting Bakau yang
masih muda sehingga nutrisi yang dimakan digunakan untuk pertumbuhan ukuran
tubuh (lebar karapas). Suryani (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan pada
Kepiting Bakau dicirikan oleh perubahan bentuk dan ukuran yang disebabkan
Rekomendasi Pengelolaan
Hasil pengukuran karakter morfometrik Kepiting Bakau (S. serrata) diperoleh lebar karapas secara keseluruhan berkisar 60-143 mm. Kepiting Bakau
yang tertangkap dominan muda atau belum dewasa berdasarkan KKP (2016) yang
menyatakan bahwa kepiting matang pada ukuran lebar karapas antara 80-120 mm
secara fisiologis. Utina dkk (2013) menambahkan bahwa Kepiting Bakau
dikatakan telah dewasa kelamin jika memiliki ukuran lebar karapas lebih dari 100
mm. Sedangkan PERMEN-KP (2016) menyatakan bahwa ukuran lebar karapas
minimum layak tangkap : > 15 cm, berat minimum tangkap : 200 g. Sampel
Kepiting Bakau (S. serrata) yang diperoleh selama penelitian memperlihatkan bahwa umumnya Kepiting Bakau masih belum dewasa karena dominan berukuran
< 100 mm.
Rekomendasi pengelolaan yang diberikan adalah sebaiknya para nelayan
di Kampung Sentosa Barat tidak melakukan penangkapan terhadap kepiting bakau
(S. serrata) yang masih muda, atau tidak sesuai dengan ukuran minimum layak tangkap yang telah di tetapkan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan. Hal ini
akan menyebakan populasi kepiting bakau di alam akan mengalami penurunan,
karena Kepiting Bakau harus mengalami pertumbuhan dan moulting untuk menjadi dewasa. Kepiting Bakau muda yang masuk kedalam bubu nelayan
sebaiknya dikembalikan ke alam agar dapat melanjutkan pertumbuhannya atau
bisa dimasukkan ke tambak yang juga merupakan mata pencarian sampingan dari
masyarakat Kampung Sentosa. Oleh sebab itu, diperlukan perhatian dari
masyarakat dan kebijakan pemerintah yang terstruktur serta adanya pengawasan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari penelitian adalah sebagai berikut:
3. Ukuran morfometrik kepiting bakau dari stasiun 1, stasiun 2 dan stasiun 3
secara keseluruhan adalah lebar karapas (L): 60-40 mm, panjang karapas (P):
35-90 mm, tinggi karapas (T): 19-35 mm, optical groove widths (OGW): 16-29 mm, panjang chella sebelah kanan (PCR): 26-50 mm, panjang profundus
chela sebelah kanan (PPR): 13-30 mm, tinggi chela sebelah kanan (TCR):
10-26 mm, panjang chella sebelah kiri (PCL): 24-48 mm, panjang profundus
chela sebelah kiri (PPL): 14-28 mm, tinggi chela sebelah kiri (TCL): 9-25
mm, bobot (B): 29-370 dan kisaran meristik kepiting bakau dengan jumlah
duri frontal margin (FM): 4, jumlah duri anterolateral margin sebelah kanan
dan kiri (AM): 18, jumlah duri outer margin sebelah kanan dan kiri (OM): 8,
jumlah duri inner margin sebelah kanan dan kiri (IM): 8, jumlah ruas
perioped bentuk capit (WLC): 10 dan jumlah ruas perioped bentuk dayung
(WLD): 12 di ekosistem mangrove Kampung Sentosa.
4. Pola pertumbuhan Kepiting Bakau (S. serrata) di ekosistem mangrove Kampung Sentosa Barat adalah Allometrik Negatif.
Saran
Saran yang dapat diberikan adalah perlu dilakukan suatu kajian/penelitian
lanjutan mengenai kepiting bakau (S. serrata) tentang MSY, parameter pertumbuhan dan laju eksploitasi sehingga hasil penelitian tersebut dapat