• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAMPAK USAHA RITEL MODERN TERHADAP USAHA RITEL TRADISIONAL (STUDI KASUS DI WILAYAH KECAMATAN GUNUNGPATI, MIJEN, TEMBALANG, DAN BANYUMANIK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS DAMPAK USAHA RITEL MODERN TERHADAP USAHA RITEL TRADISIONAL (STUDI KASUS DI WILAYAH KECAMATAN GUNUNGPATI, MIJEN, TEMBALANG, DAN BANYUMANIK)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

*) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Semarang

ANALISIS DAMPAK USAHA RITEL MODERN TERHADAP

USAHA RITEL TRADISIONAL

(STUDI KASUS DI WILAYAH KECAMATAN GUNUNGPATI, MIJEN,

TEMBALANG, DAN BANYUMANIK)

Wyati Saddewisasi, Teguh Ariefiantoro, Aprih Santoso

*)

Abstract

The purpose of this research is to get an overview of the characteristics, position and potency of traditional retail business and the impact of modern retail to tradisional retail business. The result shows that most traditional retailers are women and in productive ages. The type of business that they are doing is selling goods of daily needs. Mostly they come from low education. The difference between the traditional retailers and modern retailers is 194 meters. Based on the statistic analysist shows that the omzet, turnover of merchandises, gross profits and expenses of traditional retail there are significant defferences between before and after modern retail exists.

Keywords : traditional retail, modern retail

I. Pendahuluan

Dikotomi tentang ritel modern dan tradisional selalu menarik perhatian bagi pembuat kebijakan. Tekanan persaingan terbesar peritel tradisional adalah minimarket (convenience strore). Menurut Rhenald Kasali (2007) hubungan diantara kedua pelaku usaha tersebut tidak bersifat dikotomi. Menurutnya para pengembang gedung-gedung pertokoan memanfaatkan kehadiran ritel modern untuk memajukan ritel-ritel tradisional. Namun demikain seiring dengan perubahan struktur penghasilan masyarakat, jumlah wanita yang memasuki dunia kerja terus meningkat, waktu yang dimiliki konsumen terbatas, serta semakin meningkatnya transportasi, alat pembayaran, kemasan dan alat pendingin menyebabkan peran usaha ritel tradisional memudar (http : // iswekon . wordpress .com).

Menurut Direktur Ritailer Service AC Nielsen Yongky Surya Susilo (dalam Ritel Modern Masih Tumbuh Lebih Pesat dari Toko Tradisional @ Mesin Kasir) pada acara konferensi pers di Jakarta, Kamis (19/3/2009), Industri ritel modern tumbuh lebih pesat dibandingkan ritel tradisional pada tahun 2008. Ritel tradisional tumbuh sebesar 19,6%, industri ritel modern tumbuh hingga 23,6% dibandingkan tahun 2007. Padahal, pertumbuhan ritel tradisional ini jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa ritel tradisional pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan ritel modern.

Di lain pihak Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengatakan, tanpa aturan yang kaku mengenai zonasi, pasar dan toko tradisional tetap dapat berkembang. Ketua Umum Aprindo Benjamin J Mailool mengatakan, hal itu terbukti di beberapa lokasi di Indonesia dan negara-negara lain. Meski terletak berdekatan, lanjut dia, pasar dan toko

tradisional tetap dapat bertumbuh seperti ritel modern yang ada di sekitarnya. Mudahnya mendapat izin pendirian ritel modern baik mal maupun minimarket di Kota Semarang, mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Hal ini terjadi karena kemungkinan akan berdampak sangat luas dan mematikan pedagang kecil, warung di permukiman dan pedagang di pasar tradisional.

Kota Semarang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah, mempunyai fungsi sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, kegiatan industri, transportasi, pendidikan, pariwisata dan pemukiman. Dengan fungsinya tersebut, Kota Semarang mempunyai potensi untuk berkembangnya usaha ritel modern. Demikian pula daerah pinggiran Kota Semarang seperti Kecamatan Gunungpati, Mijen, Tembalang, dan Banyumanik merupakan daerah yang mulai dilirik para peritel modern seperti Indomart dan Alfamart. Apabila usaha ritel modern dan tradisional dapat tumbuh dan berkembang secara seimbang, maka visi Kota Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa yang merupakan basis aktivitas ekonomi masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat terealisir.

Secara keseluruhan visi Kota Semarang mengandung pengertian bahwa dalam jangka waktu lima tahun kedepan, dapat terwujud Kota Semarang yang memiliki sarana prasarana kota berskala metropolitan sehingga dapat melayani seluruh aktivitas masyarakat termasuk daerah hinterland-nya, dengan aktivitas ekonomi utama yang bertumpu pada sektor perdagangan dan jasa dengan tetap memperhatikan keberadaan potensi ekonomi lokal, dalam bingkai dan tatanan masyarakat yang senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai religius guna mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat.

(2)

Analisis Dampak Usaha Ritel Modern

Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)

32

Untuk mengetahui apakah keberadaan usaha ritel modern berdampak pada usaha ritel tradisional, maka diperlukan studi lebih lanjut. Untuk itu perlu ada kajian yang lebih mendalam tentang hal-hal yang terkait dengan faktor-faktor yang berdampak pada usaha ritel tradisional.

Selama ini penanganan masalah dikotomi ritel modern dan ritel tradisional di Kota Semarang telah ditangani oleh dinas/ instansi terkait baik di lingkungan pemerintah maupun non pemerintah. Namun demikian belum diketahui dengan pasti bagaimana dampak keberadaan ritel modern yang ada di pinggriran kota terhadap ritel tradisional.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik, posisi dan potensi usaha ritel tradisional serta dampak usaha ritel modern terhadap usaha ritel tradisional di wilayah pinggiran Kota Semarang yang meliputi Kecamatan Gunungpati, Mijen, Tembalang, dan Banyumanik.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi karakteristik, posisi dan

potensi usaha ritel tradisional.

2. Menganalisis apakah ada perbedaan usaha ritel tradisional sebelum dan setelah adanya usaha ritel modern.

3. Apabila ada perbedaan, bagaimana dampak usaha ritel modern terhadap ritel tradisional, apakah berdampak positif atau negatif.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi hasil sebagai berikut:

1. Memberikan masukan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil kebijakan dalam mengatasi masalah usaha ritel tradisional, sehingga program pengembangannya yang tepat dapat segera tersusun .

2. Dengan memahami perbedaan usaha ritel tradisional sebelum dan sesudah adanya ritel modern, maka dampak usaha ritel modern terhadap usaha ritel tradisional dapat diketahui, sehingga dapat digunakan untuk memberdayakan pengusaha ritel tradisional agar: (1) peritel tradisional tetap eksis ditengah usaha peritel modern, (2) peritel tradisional dapat bersaing secara sehat dengan peritel modern, dan (3) peritel tradisional terlindungi . Dengan demikian akan tercipta persaingan usaha yang sehat dan berkelanjutan.

3. Untuk menambah perbendaharaan ilmiah dan sekaligus sebagai sumbangan pemikiran guna menunjang penelitian selanjutnya terutama yang berhubungan dengan usaha ritel.

Penelitian ini akan mengkaji perbedaan usaha ritel tradisional sebelum dan sesudah adanya

ritel modern serta dampak usaha ritel modern terhadap usaha ritel tradisional. Kajian tersebut dilakukan melalui pengumpulan data di lapangan yang meliputi antara lain data jumlah omset penjualan, perputaran barang dagangan, jumlah jam buka, laba bersih, laba kotor, biaya usaha ritel tradisional sebelum dan sesudah ada usaha ritel modern.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan jumlah omset penjualan, perputaran barang dagangan, jumlah jam buka, laba bersih, laba kotor, biaya usaha ritel tradisional sebelum dan sesudah ada usaha ritel modern.

Penelitian ini merupakan survei pada wilayah pinggiran Kota Semarang yang meliputi Kecamatan Gunungpati, Mijen, Tembalang, dan Banyumanik. Populasi penelitian ini adalah pengusaha ritel tradisional di wilayah tersebut. Penentuan sampel dilakukan secara random. Jumlah sampel untuk masing - masing wilayah ditetapkan 30 pengusaha ritel tradisional.

Langkah awal dari penelitian ini adalah melakukan identifikasi posisi usaha ritel tradisional dari aspek kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dengan bantuan kuesioner dikumpulkan data primer untuk memperoleh gambaran karakteristik dan potensi usaha serta data lainnya yang terkait dengan tujuan penelitian ini. Dengan demikian ada dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari publikasi-publikasi maupun literatur dari dinas/ instansi terkait serta perpustakaan dan website. Sedangkan data primer diperoleh langsung dari responden melalui wawancara kepada peritel tradisional

Data yang diperoleh dari lapangan penelitian dianalisis secara diskriptif kulitatif dan kuantitatif untuk mengidentifikasi karakteristik, posisi dan potensi usaha ritel tradisional dan mendiskripsikan bagaimana pengembangan potensi usaha peritel tradisional. Selain itu digunakan analisis uji beda untuk menganalisis apakah ada perbedaan usaha ritel tradisional setelah adanya usaha ritel modern. Apabila ada perbedaan, bagaimana dampak usaha ritel modern terhadap ritel tradisional, apakah berdampak positif atau negatif.

Untuk menguji hipotesis digunakan metode analisis Uji-t berpasangan (paired t-test). Uji-t berpasangan adalah salah satu metode pengujian hipotesis dimana data yang digunakan tidak bebas (berpasangan). Ciri-ciri yang paling sering ditemui pada kasus yang berpasangan adalah individu (obyek penelitian) dikenai 2 buah perlakuan yang berbeda (Marthin, 2009).

(3)

33 II. Hasil dan Pembahasan

A. Karakteristik, Posisi dan Potensi Usaha Ritel Tradisional

1. Karakteristik Responden

Penelitian ini menggunakan responden pengusaha ritel tradisional di wilayah pinggiran Kota Semarang yang meliputi Kecamatan Gunungpati, Mijen, Tembalang, dan Banyumanik. Jumlah pengusaha yang dijadikan responden sebanyak 120 orang. Dipilih empat kecamatan sebagai obyek penelitian karena pada kecamatan tersebut merupakan wilayah pinggiran kota yang mulai dilirik peritel modern.

Responden sebanyak 120 orang pengusaha ritel tradisional terdiri dari 57 orang atau 47,50 % laki-laki dan 63 orang atau 52,50 % perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha ritel tradisional merupakan usaha sampingan yang digunakan untuk membantu menopang perekonomian keluarga, dimana laki-laki lebih berperan untuk bekerja pada sektor formal.

Untuk usia responden, baik laki-laki maupun perempuan semuanya berada dalam usia produktif. Dalam hal ini usia produktif bisa dikatakan juga sebagai usia kerja yaitu usia antara 17 tahun sampai 65 tahun. Berdasarkan data di lapangan, bila di rata-rata usia responden adalah 44 tahun dengan kisaran usia antara 17 tahun sampai 65 tahun. Dengan kondisi tersebut bisa dikatakan bahwa para pengusaha ini masih memiliki semangat kerja yang tinggi untuk menjalankan usahanya dan dimungkinkan juga untuk dilakukan pengembangan terhadap usaha mereka.

Jenis usaha yang dijalankan dan digeluti oleh semua pengusaha ritel masih terfokus pada jenis usaha kelontong (kebutuhan sehari-hari) hal ini lebih dikarenakan keinginan untuk memenuhi kebutuhan pokok konsumen yang tentunya mempunyai segmen pasar yang lebih luas dan juga kemudahan dalam penyediaan barang.

Berdasarkan data di lapangan, semua responden beragama Islam, hal ini lebih dikarenakan oleh mayoritas penduduk di masing-masing wilayah obyek penelitian memeluk agama Islam.

Untuk tempat kelahiran responden ,sebagian besar responden, 47 orang laki-laki (39,17 %) maupun 59 orang perempuan (49,16 %) lahir di Kota Semarang. Sedangkan 14 orang (10 orang laki-laki atau 8,33 % dan 4 orang perempuan atau 3,33 %) lahir di luar Kota Semarang. Dapat dikatakan mayoritas responden merupakan penduduk asli Semarang, yang tentunya akan sangat menguntungkan dalam menjalankan usahanya karena mereka sudah sangat mengenal karakter lingkungannya. Hal ini juga didukung data di lapangan yang menunjukkan bahwa semua responden saat ini berdomisili atau bertempat tinggal di Semarang. Keadaan ini tentunya sudah disadari oleh responden bahwa

faktor efisiensi dan efektifitas dalam menjalankan usaha harus diperhatikan, salah satunya dengan berdomisili di daerah dimana usaha dijalankan.

Sebagian besar responden (sebanyak 48 orang atau 40%) yang terdiri dari laki – laki 25 orang atau 20,83 % dan perempuan 23 orang atau 19,17 % memiliki tingkat pendidikan yang rendah yaitu SD, serta masih ditambah responden yang mengisi lainya yaitu 7 orang atau 5,83 % . Jawaban lainnya muncul karena beberapa hal, yaitu: responden tidak pernah sekolah dan responden sudah pernah mengenyam pendidikan dasar (SD) tetapi tidak tamat.

Dengan kondisi ini bisa dikatakan bahwa tingkat pendidikan yang rendah ini akhirnya memaksa atau menuntut mereka untuk menciptakan suatu usaha yang sesuai dengan kemampuan mereka sehingga pilihan terakhir adalah dengan menjadi pengusaha ritel tradisional. Juga dipengaruhi oleh pola pemikiran yang sederhana bahwa pendidikan tinggi tidak diperlukan tetapi yang terpenting adalah bagaimana bisa mencari nafkah dan menambah pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Sedangkan 39 orang atau 32,5 % reponden lulusan SMA memilih menjadi pengusaha ritel tradisional karena beberapa sebab, yaitu: jiwa wirausaha yang tinggi, sulitnya mencari pekerjaan, serta tuntutan kebutuhan.

Jarak tempat usaha responden dengan ritel modern bila dirata-rata adalah 194 m, dengan range jarak tempat usaha antara 5 sampai dengan 500 m dari ritel modern. Dari data temuan di lapangan ini dapat dikatakan tidak ada kejelasan mengenai berapa jarak yang ideal antara ritel tradisional dengan ritel modern. Sehingga dengan kondisi ini sangat dimungkinkan dampak keberadaan dari ritel modern memiliki pengaruh yang sangat besar bagi keberadaan ritel tradisional. Walaupun dalam ijin pendirian sudah disyaratkan mengenai kajian dampak lingkungan dalam kenyataannya ritel modern tumbuh dengan pesat dan muncul pro dan kontra akan keberadaanya.

2. Posisi dan Potensi Usaha Ritel Tradisional

Menurut pasal 10 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 53/ M-DAG/PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, pelaku usaha yang akan melakukan kegiatan usaha di bidang pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern, wajib memiliki:

a. Ijin Usaha Pendirian Pasar Tradisional (IUP2T) untuk Pasar Tradisional;

(4)

Analisis Dampak Usaha Ritel Modern

Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)

34

b. Ijin Usaha Pusat Perbelanjaan (IUPP) untuk Pertokoan, Mall, Plasa dan Pusat Perdagangan;

c. Ijin Usaha Toko modern (IUTM) untuk Minimarket, Supermarket, Department Store. Mengacu pada pasal tersebut, maka pengusaha ritel tradisional seharusnya juga memiliki ijin usaha. Hasil penelitian menunjukkan, pengusaha ritel tradisional yang memiliki ijin usaha hanya sebanyak 15 orang (12,5 %), sedangkan yang tidak memiliki ijin usaha 105 orang (87,5 %). Banyaknya responden yang tidak memiliki ijin usaha menunjukkan kurangnya pemahaman tentang arti penting ijin usaha yang diberikan pemerintah daerah dan didukung pula oleh pola pemikiran bahwa ijin pasti akan menimbulkan biaya sehingga akan mengganggu kelancaran usaha.

Berdasarkan temuan di lapangan, jenis dagangan yang dijual oleh pengusaha ritel tradisional adalah kelontong. Apabila dikelompokkan berdasarkan jenis pedagang, maka 7 orang atau 5,83 % merupakan pedagang grosir sedangkan 106 orang atau 88,33 % merupakan pedagang eceran. Sisanya 7 orang atau 5,83 % merupakan pedagang yang melayani grosir dan eceran.

Sebagian besar (106 atau 88,83%) merupakan pedagang eceran, hal ini disebabkan karena konsumen yang dilayani cenderung konsumen rumah tangga/ individu yang mana cenderung mencari barang kebutuhan sehari-hari, disamping itu untuk eceran jumlah modal usaha yang dibutuhkan tidak terlalu besar. Berbeda dengan pedagang grosir yang melayani

konsumen pembeli barang untuk dijual kembali, tentunya modal yang dibutuhkanpun lebih besar. Terkait dengan luas tempat usaha, dari penelitian ini didapatkan rata-rata luas tempat usaha pengusaha ritel tradisional adalah 24 m² yang secara keseluruhan luasan tempat usaha berada pada kisaran antara 2 m² sampai 150 m². Kondisi ini tentunya jauh sekali jika dibandingkan luas usaha ritel modern. Menurut Bab V pasal 9 ayat 2 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 53/ M-DAG/PER/12/2008 tentang pedoman penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko Modern.

Batasan luas lantai penjualan toko modern dengan modal dalam negeri 100% (seratus persen) adalah:

a. Minimarket dengan luas lantai penjualan kurang dari 400 m² (empat ratus meter persegi);

b. Supermarket dengan luas lantai penjualan kurang dari 1.200 m² (seribu dua ratus meter persegi); dan

c. Department Store dengan luas lantai penjualan kurang dari 2.000 m² (dua ribu meter persegi).

Dari peraturan mentri di atas, tentunya dapat dilihat bahwa walaupun luas minimal minimarket kurang dari 400 m² tetap tidak sebanding dengan pengusaha ritel tradisional (rata-rata 24 m²) yang tentunya apabila lokasi berdekatan (dari hasil penelitian ada yang hanya berjarak 5 m) akan berpengaruh pada konsumen, karena dukungan fasilitas dan produk yang lebih bervariasi.

Tabel 1

Status Tempat Usaha Responden

Jenis Kelamin Milik Sendiri Status Tempat Usaha Kontrak Responden Total

Jml % Jml % Jml %

Laki – laki 55 45,83 2 1,67 57 47,5

Perempuan 58 48,33 5 4,17 63 52,5

Jumlah Keseluruhan 113 94,17 7 5,83 120 100

Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Dari Tabel 1 terlihat bahwa, sebagian besar status tempat usaha adalah milik sendiri (113 orang atau 94,17%). Kondisi ini terjadi karena sebagian besar responden memanfaatkan tempat usaha juga sebagai tempat tinggal atau malah sebaiknya, sehingga bisa dikatakan juga ruko (rumah toko). Tentunya hal ini banyak keuntungannya, selain biaya sewa tempat yang bisa ditiadakan juga bisa dilakukan dua kegiatan sekaligus yaitu: menjalankan usaha dan menjalankan aktivitas rumah tangga.

Lama usaha yang telah dijalani oleh pengusaha ritel tradisional rata-rata 11,8 tahun, dimana kisaran lama usaha antara 1 tahun sampai 31 tahun. Dari rata-rata lama usaha dapat dikatakan bahwa pengusaha ritel tradisional sudah berpengalaman dalam menjalankan usahanya dan sudah memikirkan berbagai strategi untuk menjaga kelangsungan usaha mereka. Tetapi harus pula dicermati bahwa usaha mereka tidak mungkin berhasil baik bila tidak ada dukungan dari pihak-pihak yang terkait (pemerintah) baik dari sisi

(5)

35 peraturan, maupun fasilitas yang lain

(permodalan).

Bila dibandingkan antara modal awal usaha dengan modal sekarang terjadi kenaikan yang sangat tinggi. Rata-rata modal awal usaha yang dikeluarkan pengusaha ritel tradisional adalah Rp. 7.378.000,00 dan untuk saat ini rata-rata modal adalah Rp 23.200.000,00 (naik sekitar 300%). Hal ini tentunya merupakan hal yang wajar karena terkait juga dengan kenaikan harga barang kebutuhan yang terjadi selama 11, 8 tahun (rata-rata lama usaha).

Berkaitan dengan kemitraan atau kerjasama antara responden dengan pihak lain, sebagian

besar responden (pengusaha ritel tradisional) tidak menjalin kerjasama dengan pihak lain (91 0rang atau 75,83%). Alasan yang dikemukakan sederhana yaitu tidak tahu prosedur yang harus ditempuh dan usaha yang dijalankan masih sangat terbatas sehingga tidak diperlukan kemitraan. Sedangkan 29 orang responden (24,16%) menjalin kemitraan dengan pihak lain dengan alasan kemitraan memiliki banyak manfaat yang positif bagi pengusaha ritel tradisional. Bentuk kemitraan yang dilakukan meliputi: pemasaran, pasokan barang maupun dengan pihak perbankan yang terkait dengan penambahan modal usaha.

Tabel 2 Asal Barang Dagangan

Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Adapun berdasar tabel 2 terlihat bahwa sebagian besar responden (82 orang atau 68,33%) membeli langsung barang dagangan ke pasar/tempat grosir karena barang yang dibeli biasanya tidak banyak dan kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari konsumen dalam partai kecil, selain itu juga dipengaruhi oleh modal usaha yang terbatas (kecil). Selain itu ada juga yang hanya mengambil barang dari pemasok saja (10 orang atau 8,32%), hal ini dikarenakan untuk melayani konsumen secara grosir sehingga barang yang dibeli dalam jumlah besar dan membutuhkan modal yang besar. Sedangkan 28 orang lainnya (23,34%) melakukan pembelian secara langsung dan melalui pemasok. Hal ini disebabkan karena pengusaha ritel tradisional ingin melayani semua jenis pembelian baik yang grosir dan eceran dan juga terkait dengan sifat barang yang slow moving (perputaran lambat) maupun yang fast moving (perputaran cepat).

Hasil penelitian mendapatkan bahwa sebagian besar responden tidak menggunakan tenaga kerja (94 orang atau 78,33%), dengan kata lain pengusaha ritel tradisional disini bertindak sebagai pemilik usaha dan pelaku usaha (pekerja). Asumsi mereka, gaji untuk tenaga kerja bisa dialihkan untuk menambah modal kerja. Seharusnya secara ekonomi apa yang mereka kerjakan diperhitungkan sehingga dapat dihitung secara pasti berapa besar keuntungan yang didapatkan setelah dikurangi biaya pekerja. Sedangkan 26 orang (21,66%) menggunakan tenaga kerja karena merasa usahanya semakin maju dan tidak memungkinkan untuk dikerjakan sendiri. Tenaga

kerja yang direkrutpun sebagian besar berasal dari luar lingkungan usaha karena kebanyakan masyarakat sekitar lebih memilih bekerja di pabrik atau sektor swasta lain daripada harus bekerja di toko.

Terkait dengan adanya pembinaan bagi pengusaha ritel tradisional, sebagian besar responden menyatakan belum pernah mendapatkan pembinaan usaha (114 orang atau 95%) Sedangkan 5 orang (5%) mendapatkan pembinaan baik dari perbankan, swasta, Perguruan Tinggi (UNNES) maupun dari pihak keluarga. Dengan keadaan ini dapat dikatakan bahwa apabila ada pembinaan dari pihak-pihak tertentu baik negri maupun swasta akan dapat meningkatkan pengetahuan para pengusaha tentang bagaimana cara mengelola usaha baik dari aspek pemasaran, keuangan (permodalan) maupun dari sisi SDM (karyawan) dan apabila pengetahuan tersebut diaplikasikan diharapkan akan meningkatkan keuntungan dari para pengusaha ritel tradisional.

B. Kondisi Sebelum dan Sesudah Ada Ritel Modern

1. Omzet Penjualan

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa terjadi penurunan rata-rata omzet penjualan dari Rp. 28.672.917,00 menjadi Rp. 21.505.000,00 atau turun rata-rata sebesar Rp. 7.167.917 (25%). Kondisi ini perlu dikaji apakah ini terjadi murni karena kehadiran ritel modern sehingga semakin memperketat persaingan usaha atau lebih disebabkan karena turunnya daya beli masyarakat.

Jenis Kelamin Kulakan Pemasok Jenis Pedagang Kulakan & Pemasok Responden Total

Jml % Jml % Jml % Jml %

Laki – laki 38 31,67 5 4,16 14 11,67 57 47,5

Perempuan 44 36,67 5 4,16 14 11,67 63 52,5

(6)

Analisis Dampak Usaha Ritel Modern

Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)

36

Penurunan omset penjualan karena kehadiran ritel modern menunjukkan pengaruh negatif dari adanya usaha ritel modern terhadap usaha ritel tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen lebih suka berbelanja pada ritel modern dari pada ritel tradisional.

Omset penjualan sebelum dan sesudah adanya ritel modern dapat dilihat pada Tabel 3. Terlihat bahwa sebelum adanya ritel modern, omset penjualan ritel tradisional paling kecil Rp. 500.000,00 per bulan dan sesudah adanya ritel tradisional paling kecil Rp. 300.000,00 per bulan. Ini menunjukkan bahwa setelah adanya ritel modern omset penjualan mengalami penurunan. Hal ini juga dikuatkan oleh adanya informasi bahwa usaha ritel tradisional yang memiliki omset penjualan kecil, jumlahnya meningkat dari 112 sebelum adanya ritel modern menjadi 117 sesudah adanya ritel modern. Sebaliknya diperoleh informasi bahwa yang memiliki omset besar mengalami penurunan dari sejumlah 3 orang sebelum ada ritel modern menjadi 1 orang sesudah ada ritel modern.

2. Jumlah Jam Buka Usaha

Terkait dengan jumlah jam buka tidak ada perubahan yang signifikan, hal ini dapat diketahui rata-rata jam buka usaha sebelum maupun sesudah ada ritel modern sebanyak 13,8 jam. Jumlah rata-rata jam buka sebelum

dan sesudah ada ritel modern tetap sama, hal ini sangat dimungkinkan karena sudah diperhitungkan berdasarkan pengalaman para pengusaha ritel tradisional ada jam-jam dimana ramai pelanggan dan jam dimana sepi pelangaan sehingga bila dilakukan penambahan jam bukapun mereka berasumsi tidak akan menambah keuntungan secara signifikan.

Jumlah jam buka usaha dapat dikelompokkan menjadi jam buka pendek, sedang dan panjang. Apabila kita cermati Tabel 4, maka tampak bahwa jam buka sebelum ada ritel modern paling pendek 4 jam, namun setah ada ritel modern paling pendek 7 jam. Hal ini tidak menggambarkan adanya kenaikan jam buka, karena jumlah peritel tradisional yang melakukan jam buka pendek dan sedang mengalami kenaikan dibanding dengan sebelum ada ritel modern. Disisi lain, ada penurunan yang cukup banyak pada usaha ritel tradisional yang melakukan usaha dengan jam buka panjang. Dengan demikian, secara rata-rata jam buka tidak mengalami perubahan. Tabel 4 menunjukkan jumlah jam buka usaha yang dirinci berdasarkan kriteria pendek,sedang dan panjang baik sebelum maupun sesudah ada ritel modern.

Keberadaan ritel modern tidak berdampak pada jumlah jam buka. Ini menunjukkan bahwa kebiasaan melakukan usaha bagi peritel tradisional tidak mengalami perubahan aktivitas. Tabel 3

Omset Penjualan

Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern

Kriteria Omset Penjualan Per Bulan (Rp) Orang Jumlah % Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh Kecil 500.000-100.333.332 300.000-100.999.999 112 117 93 97 Sedang 100.333.333-200.166.666 100.200.000-200.099.999 5 2 4 2 Besar 200.166.667-300.000.000 200.100.000-300.000.000 3 1 3 1 Total 120 120 100 100

Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Tabel 4

Jumlah Jam Buka Usaha Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern

Kriteria Jumah jam Buka Usaha (jam) Orang Jumlah %

Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh

Pendek 4-8 7-10 1 7 1 6

Sedang 9-13 11-14 36 74 30 62

Panjang 14-18 15-18 83 39 69 32

Total 120 120 100 100

(7)

37 3. Perputaran Barang Dagangan

Perputaran barang dagangan secara rata-rata sebelum dan sesudah ada ritel modern terjadi perubahan. Penelitian ini mengungkapkan adanya perubahan yang terjadi pada perputaran barang dagangan, artinya perputaran barang semakin cepat dari 18 kali menjadi 17 kali. Hal ini kemungkinan sebagai akibat dari adanya penurunan omset penjualan. Omset yang jumlahnya sedikit menunjukkan bahwa stok barang dagangan juga sedikit sehingga perputarannya menjadi semakin cepat.

Tabel 5 menunjukkan perputaran barang dagangan yang dirinci menurut kriteria lambat, sedang serta cepat sebelum dan sesudah ada ritel modern.

Tabel 5

Perputaran Barang Dagangan Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern

Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Ritel modern berdampak pada perputaran barang dagangan, ini ditunjukkan dengan

perputaran yang semakin cepat dibandingkan sebelum adanya ritel modern. Apabila ditelaah secara mendalam perputaran barang dangangan yang semakin cepat adalah baik. Namun demikian perlu dikaitkan dengan jumlah omset penjualan yang semakin sedikit, maka dampak ritel modern terhadap perputaran barang dagangan adalah negatif karena perputaran yang cepat diakibatkan omset yang sedikit.

4. Biaya Usaha

Rata-rata biaya usaha mengalami perubahan dari Rp. 14.141.667,00 menjadi Rp. 12.692.083,00 atau turun sebesar 10,25%. Dengan demikian ada penurunan biaya usaha setelah ada ritel modern. Kondisi ini sebetulnya merupakan efek dari sirkulasi barang yang menurun kemudian turunnya omset sehingga pengeluaran terutama untuk pembelian barang semakin menurun.

Biaya usaha sebelum dan sesudah ada ritel modern dapat dilihat pada Tabel 6. Biaya usaha yang menurun merupakan dampak negatif dari keberadaan ritel modern. Hal ini dapat dijelaskan dari biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang dagangan yang menurun sebagai akibat omset penjualan yang menurun pula.

Tabel 6

Biaya Usaha Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern

Kriteria Per Bulan (Rp) Biaya Usaha Orang Jumlah %

Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh

Kecil 100.000-96.733.332 50.000-96.699.999 118 118 98 98

Sedang 96.733.333-193.366.666 96.700.000-193.349.999 1 1 1 1

Besar 193.366.667-290.000.000 193.350.000-290.000.000 1 1 1 1

Total 120 120 100 100

Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Tabel 7

Laba Bersih Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern

Kriteria Per Bulan (Rp) Laba Bersih Orang Jumlah %

Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh

Kecil 200.000-25.333.332 0-4.999.999 119 116 99 97

Sedang 25.133.333-50.066.666 5.000.000-9.999.999 0 3 0 3

Besar 50.066.667-75.000.000 10.000.000-15.000.000 1 1 1 1

Total 120 120 100 100

Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Tabel 8

Laba Kotor Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern

Kriteria Per Bulan (Rp) Laba Kotor Orang Jumlah %

Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh

Kecil 300.000-16.866.666 0-9.999.999 115 113 96 95

Sedang 16.866.667-33.433.332 10.000.000-19.999.999 3 4 2 3

Besar 33.433.333-50.000.000 20.000.000-30.000.000 2 3 2 2

Total 120 120 100 100

Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Kriteria Barang Dagangan Perputaran (jam) Jumlah Orang % Sblm Sdh Sblm Sdh Sblm Sdh Pendek 4-8 7-10 1 7 1 6 Sedang 9-13 11-14 36 74 30 62 Panjang 14-18 15-18 83 39 69 32 Total 120 120 100 100

(8)

Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43

*) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Semarang 5. Laba Bersih

Penelitian ini mengungkapkan terjadinya penurunan rata-rata laba bersih dari Rp.

2.575.833,00 sebelum ada ritel modern menjadi Rp. 1.683.083,00 setelah ada ritel modern.

Besarnya penurunan tersebut adalah 34,66%. Perincian menurut kriteria laba bersih kecil, sedang dan besar dapat dilihat pada Tabel 7.

Penurunan laba bersih ini bukan merupakan dampak dari adanya ritel modern. Penurunan laba bersih tersebut diakibatkan karena pendapatan yang berasal dari omset penjualan yang menurun diikuti dengan penurunan biaya yang tidak sebanding dengan penurunan pendapatan. Penurunan omset penjualan lebih tinggi dari pada penurunan biaya usaha.

6. Laba Kotor

Laba kotor rata-rata juga mengalami penurunan dari Rp. 4.999.166,00 sebelum ada ritel modern menjadi Rp. 3.553.333,00 sesudah ada ritel modern atau turun Rp. 1.445.833,00 (40,69%). Penurunan tersebut, tentunya lebih dikarenakan persaingan usaha. Hal ini juga tampak pada saat sebelum ada ritel modern laba kotor minimal Rp. 300.000,00 dan sesudah ada

ritel modern laba kotor minimal Rp 0,00. Sedangkan laba kotor maksimal Rp. 50.000.000,00 sebelum ada ritel modern dan turun menjadi Rp.30.000.000,00 setelah ada ritel modern. Tabel 8 menunjukkan laba kotor sebelum dan sesudah ada ritel modern yang dirinci menurut kriteria laba kotor kecil, sedang dan besar.

Penurunan laba usaha merupakan dampak negatif dari adanya ritel modern. Hal ini sesuai dengan pendapatan dari omset penjualan yang menurun.

C. Analisis Statistik dengan Uji Beda 1. Jumlah Omzet Penjualan

Secara deskriptif omset penjualan mengalami penurunan bila dibandingkan dengan sebelum ada ritel modrn. Ini mengindikasikan bahwa konsumen lebih suka berbelanja di peritel modern. Untuk mengetahui apakah jumlah omset penjualan usaha retail tradisional sebelum dan sesudah adanya usaha retail modern berbeda nyata atau tidak, maka dilakukan pengujian dengan uji beda rata-rata berpasangan dan didapat hasilnya seperti tertera pada Tabel 9.

Tabel 9

Jumlah Omset Penjualan

No Uraian N Rata-rata Jumlah Omset

Penjualan/ bulan (Rp) hitung t df (2-tailed) Sig 1. Jumlah Omset Penjualan usaha retail

tradisional sebelum ada usaha ritel modern 120 28.672.917,00

3,943 119 .000

2. Jumlah Omset Penjualan usaha retail

tradisional sesudah ada usaha ritel modern 120 21.505.000,00

Tabel 10

Perputaran Barang Dagangan

No Uraian N Rata-rata Perputaran

barang dagangan hitung t df (2-tailed) Sig 1. Perputaran barang dagangan usaha retail

tradisional sebelum ada usaha ritel modern 120 18,20

3.285 119 .001

2. Perputaran barang dagangan usaha retail

tradisional sesudah ada usaha ritel modern 120 17,29

Tabel 11 Jumlah Jam Buka

No Uraian N Rata-rata

Jumlah Jam Buka hitung t df (2-tailed) Sig 1. Jumlah jam buka usaha retail tradisional

sebelum ada usaha ritel modern 120 13.80

.159 119 0.874

2. Perputaran barang dagangan usaha retail

tradisional sesudah ada usaha ritel modern 120 13.78

Pada tabel 9 tersebut terlihat bahwa nilai signifikansi jumlah omset penjualan usaha retail tradisional sebelum ada usaha retail modern dan sesuhah ada retail modern sebesar .000. Ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah omset penjualan usaha retail tradisional sesudah dan sebelum adanya retail modern, karena nilai signifikansi < 0,05.

Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Dari Tabel 9 diperoleh nilai t-hitung sebesar 3,943 yang lebih besar dari tabel distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara jumlah omset penjualan usaha retail tradisional sebelum dan sesudah adanya

(9)

39 usaha retail modern, kareta t-hitung>t-tabel

(3,943>1.980)

2. Perputaran Barang Dagangan

Perhitungan uji beda terkait dengan perputaran barang dagangan didapatkan hasil seperti pada Tabel 10.

Pada Tabel 10 terlihat bahwa nilai signifikansi perputaran barang dagangan usaha retail tradisional sebelum ada usaha retail modern dan sesuhah ada retail modern sebesar .001. Ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara perputaran barang dagangan usaha retail tradisional sesudah dan sebelum adanya retail modern, karena nilai signifikansi < 0,05. Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Dari tabel 18 diperoleh nilai t-hitung sebesar 3,285 yang lebih besar dari tabel distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara perputaran barang dagangan usaha retail tradisional sebelum dan sesudah adanya usaha retail modern, kareta t-hitung>t-tabel (3,285>1.980)

3. Jumlah Jam Buka

Untuk mengetahui apakah jumlah jam buka usaha retail tradisional sebelum dan sesudah

adanya usaha retail modern berbeda nyata atau tidak, maka dilakukan pengujian dengan uji beda rata-rata berpasangan dan didapat hasilnya seperti tertera pada Tabel 11.

Pada Tabel 11 terlihat bahwa nilai signifikansi jumlah jam buka retail tradisional sebelum ada usaha retail modern dan sesuhah ada retail modern sebesar .874. Ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah jam buka usaha retail tradisional sesudah dan sebelum adanya retail modern, karena nilai signifikansi > 0,05. Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Dari Tabel 11 diperoleh nilai t-hitung sebesar .159 yang lebih kecil dari tabel distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan antara jumlah jam buka usaha retail tradisional sebelum dan sesudah adanya usaha retail modern, kareta t-hitung<t-tabel (.159<1.980). 5. Laba Bersih

Berdasarkan perhitungan uji beda terkait dengan laba bersih didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 12 Laba Bersih

No Uraian N Rata-rata Laba

Bersih/ bulan (Rp) hitung t df (2-tailed) Sig 1. Laba bersih usaha retail tradisional

sebelum ada usaha ritel modern 120 2.575.833,00

1.452 119 .149

2. Laba bersih usaha retail tradisional

sesudah ada usaha ritel modern 120 1.683.083,00

Tabel 13 Laba Kotor

No Uraian N Rata-rata Laba

Kotor/ bulan (Rp) hitung t df (2-tailed) Sig 1. Laba kotor usaha retail tradisional

sebelum ada usaha ritel modern 120 4.999.166,00

4.157 119 .000

2. Laba kotor usaha retail tradisional

sesudah ada usaha ritel modern 120 3.553.333,00

Tabel 14 Biaya Usaha

No Uraian N Rata-rata Biaya

Usaha/ bulan (Rp) hitung t df (2-tailed) Sig 1. Biaya usaha retail tradisional

sebelum ada usaha ritel modern 120 14.141.667,00

4.194 119 .000

2. Biaya usaha retail tradisional

sesudah ada usaha ritel modern 120 12.692.083,00

Untuk mengetahui apakah laba bersih usaha retail tradisional sebelum dan sesudah adanya usaha retail modern berbeda nyata atau tidak, maka dilakukan pengujian dengan uji beda rata-rata berpasangan dan didapat hasilnya seperti tertera pada tabel 20. Pada tabel tersebut terlihat bahwa nilai signifikansi laba bersih usaha retail tradisional sebelum ada

usaha retail modern dan sesudah ada retail modern sebesar .149. Ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laba bersih usaha retail tradisional sesudah dan sebelum adanya retail modern, karena nilai signifikansi > 0,05. Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Dari Tabel 12 diperoleh nilai t-hitung sebesar 1,452

(10)

Analisis Dampak Usaha Ritel Modern

Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)

40

yang lebih kecil dari tabel distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan antara laba bersih usaha retail tradisional sebelum dan sesudah adanya usaha retail modern, kareta t-hitung<t-tabel (1,452<1.980)

6. Laba Kotor

Untuk mengetahui apakah laba kotor usaha retail tradisional sebelum dan sesudah adanya usaha retail modern berbeda nyata atau tidak, maka dilakukan pengujian dengan uji beda rata-rata berpasangan dan didapat hasilnya seperti tertera pada Tabel 13.

Pada tabel tersebut terlihat bahwa nilai signifikansi laba kotor usaha retail tradisional sebelum ada usaha retail modern dan sesudah ada retail modern sebesar .000. Ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara laba kotor usaha retail tradisional sesudah dan sebelum adanya retail modern, karena nilai signifikansi < 0,05. Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Dari Tabel 13 diperoleh nilai t-hitung sebesar 4.157 yang lebih besar dari tabel distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara laba kotor usaha retail tradisional sebelum dan sesudah adanya usaha retail modern, kareta t-hitung > t-tabel (4,157>1.980)

7. Biaya Usaha

Berdasarkan perhitungan uji beda terkait dengan biaya usaha didapatkan hasil seperti pada Tabel 14.

Biaya usaha retail tradisional sebelum dan sesudah adanya usaha retail modern berbeda nyata atau tidak dapat diketahui dengan melakukan pengujian dengan uji beda rata-rata berpasangan dan hasilnya diperoleh seperti tertera pada Tabel 14. Pada tabel tersebut terlihat bahwa nilai signifikansi biaya usaha retail tradisional sebelum ada usaha retail modern dan sesudah ada retail modern sebesar .000. Ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara biaya usaha retail tradisional sesudah dan sebelum adanya retail modern, karena nilai signifikansi < 0,05. Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Dari Tabel 14 diperoleh nilai t-hitung sebesar 4.194 yang lebih besar dari tabel distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara biaya usaha retail tradisional sebelum dan sesudah adanya usaha retail modern, kareta t-hitung>t-tabel (4.194>1.980)

III. Penutup A. Kesimpulan

1. Karakteristik, Posisi dan Potensi Usaha Ritel Tradisional

a. Karakteristik Responden

Sebagian besar responden adalah perempuan. Untuk usia responden, baik laki-laki maupun perempuan semuanya berada dalam usia produktif. Jenis usaha yang dijalankan dan digeluti oleh semua pengusaha ritel masih terfokus pada jenis usaha kelontong (kebutuhan sehari-hari). Semua responden beragama Islam. Sebagian besar responden, baik laki-laki maupun perempuan lahir di Kota Semarang. Tingkat pendidikan peritel tradisional sebagian besar rendah. Jarak tempat usaha peritel modern dengan tradisional rata-rata adalah 194m.

b. Posisi dan Potensi Usaha Ritel Tradisional

Sebagian besar peritel tradisional tidak memiliki ijin usaha. Jenis dagangan yang dijual oleh pengusaha ritel tradisional adalah kelontong dan merupakan pedagang eceran. Rata-rata luas tempat usaha pengusaha ritel tradisional adalah 24 m². Sebagian besar status tempat usaha adalah milik sendiri.

Lama usaha yang telah dijalani oleh pengusaha ritel tradisional rata-rata 11,8 tahun. Bila dibandingkan antara modal awal usaha dengan modal sekarang terjadi kenaikan yang sangat tinggi. Rata-rata modal awal usaha yang dikeluarkan pengusaha ritel tradisional adalah Rp. 7.378.000,00 dan untuk saat ini rata-rata modal yang dikeluarkan adalah Rp 23.200.000,00.

Sebagian besar responden tidak menjalin kerjasama dengan pihak lain. Sebagian kecil melakukan kemitraan yang meliputi: pemasaran, pasokan barang maupun dengan pihak perbankan yang terkait dengan penambahan modal usaha.

Untuk asal barang dagangan sebagian besar responden membeli langsung barang dagangan ke pasar/tempat grosir karena barang yang dibeli biasanya tidak banyak dan kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari konsumen dalam partai kecil, selain itu juga dipengaruhi oleh modal usaha yang terbatas (kecil). Selain itu ada juga sebagian kecil yang hanya mengambil barang dari pemasok saja.

Untuk penggunaan tenaga kerja sebagian besar responden tidak menggunakan tenaga kerja dan hanya sebagian kecil menggunakan tenaga kerja karena merasa usahanya semakin maju dan tidak memungkinkan untuk dikerjakan sendiri. Tenaga kerja yang direkrutpun sebagian besar berasal dari luar lingkungan usaha karena kebanyakan masyarakat sekitar lebih memilih

(11)

41 bekerja di pabrik atau sektor swasta lain

daripada harus bekerja di toko.

Terkait dengan adanya pembinaan bagi pengusaha ritel tradisional sebagian besar responden menyatakan belum pernah mendapatkan pembinaan usaha sedangkan sebagian kecil mendapatkan pembinaan baik dari perbankan, swasta, Perguruan Tinggi (UNNES) maupun dari pihak keluarga.

2. Kondisi Sebelum dan Sesudah Ada Ritel Modern

a. Omzet Penjualan

Penurunan omset penjualan karena kehadiran ritel modern menunjukkan pengaruh negatif dari adanya usaha ritel modern terhadap usaha ritel tradisional. Sebelum adanya ritel modern, omset penjualan ritel tradisional paling kecil Rp. 500.000,00 per bulan dan sesudah adanya ritel tradisional paling kecil Rp. 300.000,00 per bulan. Ini menunjukkan bawha setelah adanya ritel modern omset penjualan mengalami penurunan. Hal ini juga dikuatkan oleh adanya informasi bahwa usaha ritel tradisional yang memiliki omset penjualan kecil, jumlahnya meningkat dari 112 sebelum adanya ritel modern menjadi 117 sesudah adanya ritel modern. Sebaliknya diperoleh informasi bahwa yang memiliki omset besar mengalami penurunan dari sejumlah 3 orang sebelum ada ritel modern menjadi 1 orang sesudah ada ritel modern.

b. Jumlah Jam Buka Usaha

Terkait dengan jumlah jam buka tidak ada perubahan yang signifikan, hal ini dapat diketahui rata-rata jam buka usaha sebelum maupun sesudah ada ritel modern sebanyak 13,8 jam. Keberadaan ritel modern tidak berdampak pada jumlah jam buka. Ini menunjukkan bahwa kebiasaan melakukan usaha bagi peritel tradisional tidak mengalami perubahan aktivitas.

c. Perputaran Barang Dagangan

Perputaran barang dagangan secara rata-rata sebelum dan sesudah ada ritel modern terjadi perubahan. Penelitian ini mengungkapkan adanya perubahan yang terjadi pada perputaran barang dagangan, artinya perputaran barang semakin cepat dari 18 kali menjadi 17 kali. Hal ini kemungkinan sebagai akibat dari adanya penurunan omset penjualan. Omset yang jumlahnya sedikit menunjukkan bahwa stok barang dagangan juga sedikit sehingga perputarannya menjadi semakin cepat.

Ritel modern berdampak pada perputaran barang dagangan, ini ditunjukkan dengan perputaran yang semakin cepat dibandingkan sebelum adanya ritel modern. Apabila ditelaah secara mendalam perputaran barang dangangan

yang semakin cepat adalah baik. Namun demikian perlu dikaitkan dengan jumlah omset penjualan yang semakin sedikit, maka dampak ritel modern terhadap perputaran barang dagangan adalah negatif karena perputaran yang cepat diakibatkan omset yang sedikit.

d. Biaya Usaha

Rata-rata biaya usaha mengalami perubahan yaitu ada penurunan biaya usaha setelah ada ritel modern. Kondisi ini sebetulnya merupakan efek dari sirkulasi barang yang menurun kemudian turunnya omset sehingga pengeluaran terutama untuk pembelian barang semakin menurun. Biaya usaha yang menurun merupakan dampak negatif dari keberadaan ritel modern. Hal ini dapat dijelaskan dari biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang dagangan yang menurun sebagai akibat omset penjualan yang menurun pula.

e. Laba Bersih

Penelitian ini mengungkapkan terjadinya penurunan rata-rata laba bersih. Walaupun terjadi penurunan laba bersih, ini bukan merupakan dampak dari adanya ritel modern. Penurunan laba bersih tersebut diakibatkan karena pendapatan yang berasal dari omset penjualan yang menurun diikuti dengan penurunan biaya yang tidak sebanding dengan penurunan pendapatan. Penurunan omset penjualan lebih tinggi dari pada penurunan biaya usaha.

f. Laba Kotor

Laba kotor rata-rata juga mengalami penurunan sesudah ada ritel modern. Penurunan tersebut, tentunya lebih dikarenakan persaingan usaha. Penurunan laba usaha merupakan dampak negatif dari adanya ritel modern. Hal ini sesuai dengan pendapatan dari omset penjualan yang menurun.

3. Analisis Statistik dengan Uji Beda a. Jumlah Omzet Penjualan

Nilai signifikansi jumlah omset penjualan usaha retail tradisional sebelum ada usaha retail modern dan sesudah ada retail modern sebesar .000. Ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah omset penjualan usaha retail tradisional sesudah dan sebelum adanya retail modern, karena nilai signifikansi < 0,05. Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Nilai t-hitung sebesar 3,943 yang lebih besar dari tabel distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara jumlah omset penjualan usaha retail tradisional sebelum dan sesudah adanya usaha retail modern, kareta t-hitung>t-tabel (3,943>1.980)

(12)

Analisis Dampak Usaha Ritel Modern

Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)

42

b. Perputaran Barang Dagangan

Nilai signifikansi perputaran barang dagangan usaha retail tradisional sebelum ada usaha retail modern dan sesuhah ada retail modern sebesar .001. Ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara perputaran barang dagangan usaha retail tradisional sesudah dan sebelum adanya retail modern, karena nilai signifikansi < 0,05. Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Diperoleh nilai t-hitung sebesar 3,285 yang lebih besar dari tabel distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara perputaran barang dagangan usaha retail tradisional sebelum dan sesudah adanya usaha retail modern, kareta t-hitung>t-tabel (3,285>1.980)

c. Jumlah Jam Buka

Nilai signifikansi jumlah jam buka retail tradisional sebelum ada usaha retail modern dan sesudah ada retail modern sebesar .874. Ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah jam buka usaha retail tradisional sesudah dan sebelum adanya retail modern, karena nilai signifikansi > 0,05. Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Nilai t-hitung sebesar .159 yang lebih kecil dari tabel distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan antara jumlah jam buka usaha retail tradisional sebelum dan sesudah adanya usaha retail modern, kareta t-hitung<t-tabel (.159<1.980).

d. Laba Bersih

Nilai signifikansi laba bersih usaha retail tradisional sebelum ada usaha retail modern dan sesudah ada retail modern sebesar .149. Ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laba bersih usaha retail tradisional sesudah dan sebelum adanya retail modern, karena nilai signifikansi > 0,05. Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Dari tabel 5.20 diperoleh nilai t-hitung sebesar 1,452 yang lebih kecil dari tabel distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan antara laba bersih usaha retail tradisional sebelum dan sesudah adanya usaha retail modern, kareta t-hitung<t-tabel (1,452<1.980). e. Laba Kotor

Nilai signifikansi laba kotor usaha retail tradisional sebelum ada usaha retail modern dan sesudah ada retail modern sebesar .000. Ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara laba kotor usaha retail tradisional sesudah dan sebelum adanya retail

modern, karena nilai signifikansi < 0,05. Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Dari tabel 5.21 diperoleh nilai t-hitung sebesar 4.157 yang lebih besar dari tabel distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara laba kotor usaha retail tradisional sebelum dan sesudah adanya usaha retail modern, karena t-hitung > t-tabel (4,157>1.980)

f. Biaya Usaha

Nilai signifikansi biaya usaha retail tradisional sebelum ada usaha retail modern dan sesudah ada retail modern sebesar .000. Ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara biaya usaha retail tradisional sesudah dan sebelum adanya retail modern, karena nilai signifikansi < 0,05. Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Diperoleh nilai t-hitung sebesar 4.194 yang lebih besar dari tabel distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara biaya usaha retail tradisional sebelum dan sesudah adanya usaha retail modern, kareta t-hitung>t-tabel (4.194>1.980).

Dengan demikian dapat disimpulkan terdapat empat variabel penelitian yaitu jumlah omset penjualan, perputaran barang dagangan, laba kotor usaha, dan biaya usaha yang mempunyai perbedaan yang nyata antara sebelum dan sesudah adanya peritel modern. Keberadaan ritel modern berpengaruh negatif terhadap jumlah omset penjualan, perputaran barang dagangan, dan laba kotor usaha. Sedangkan terhadap biaya usaha pengaruhnya positif.

B. Rekomendasi 1. Pemerintah

a. Menyusun Perda bagi pendirian ritel modern yang mencakup antara lain :

 pembatasan jumlah ritel modern dalam satu wilayah (misalnya : dalam satu kecamatan hanya diperbolehkan 1 sampai dengan 2 ritel modern),

 jarak antara ritel modern dan tradisional,

 pola kemitraan antara peritel tradisional dan modern misalnya dalam hal pasokan barang dagangan.

b. Pengembangan ritel tradisional melalui pelatihan dan pembinaan manajemen usaha yang meliputi antara lain :

 manajemen keuangan

 pemasaran (meliputi marketing mix, space management/ display barang dagangan),

 manajemen persediaan barang dagangan,

(13)

43 c. Peningkatan sarana prasarana usaha

d. Memfasilitasi kemudahan mendapatkan kucuran dana untuk menambah modal usaha.

2. Ritel Tradisional

a. Meningkatkan ketrampilan dibidang manajemen usaha

b. Meningkatkan omset penjualan melalui diversifikasi usaha

c. Membuat display barang dagangan yang menarik serta nyaman bagi konsumen d. Melakukan kemitraan dengan berbagai pihak

untuk mengembangkan usahanya 3. Ritel Modern

a. Mematuhi ketentuan yang diberlakukan di lingkungan berdirinya usaha

b. Mengadakan kemitraan dengan usaha ritel tradisional khususnya dalam hal pasokan barang dagangan

c. Memperhatikan jarak pendirian usaha titel modern dengan ritel tradisional, dalam hal ini jangan terlalu dekat jaraknya dengan ritel tradisional.

d. Dalam satu lokasi jangan terdapat dua ritel tradisional yang posisinya berdekatan 4. Akademisi

a. Melakukan kajian lebih lanjut keberadaan usaha ritel modern bagi pola belanja masyarakat di Kota Semarang

b. Kajian dari aspek sosial ekonomi untuk mengetahui pola belanja masyarakat Kota Semarang.

c. Menganalisis dampak usaha ritel modern terhadap usaha ritel tradisional dengan alat analisis selain uji beda

d. Berperan serta dalam usaha pengembangan ritel tradisional melalui pengabdian kepada masyarakat berupa pendampingan usaha maupun pelatihan manajemen usaha dan peningkatan jiwa kewirausahaan.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih disampaikan kepada WaliKota Semarang dan Kepala Bappeda Kota Semarang yang telah memberikan dana kegiatan penelitian melalui Bidang Penelitian dan Pengembangan Bappeda Kota Semarang tahun 2010.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Perdagangan RI dan PT Indef Eramadani (INDEF). 2007. “Kajian Dampak Ekonomi Keberadaan Hypermarket Ritel/ Pasar, Kerjasama antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri (Ringkasan Eksekutif)”.

Hutabarat, Marthin Rapael. 2009. Dampak Kehadiran Pasar Modern Brastagi Supermarket terhadap Pasar Tradisional SEI Sikambing di Kota Medan. Skripsi. Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara Medan.

Kasali, Rhenald.http://iswekon.wordpress.com “Minimarket dan Ritel Modern Kian Menakutkan”. http://www.poskota.co.id. “Pasar Ritel Modern Bukan Pembunuh Pasar

Tradisional”.

http://www.antaranews.com

Pemerintah Kota Semarang, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Daerah (RPJMD) Kota Semarang Tahun 2005-2010.

“Penelitian Dampak Keberadaan Pasar Modern (Supermarket dan Hypermarket) Terhadap Usaha Ritel Koperasi/ Waserda dan Pasar Tradisional”, Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM Nomor 1 Tahun I, 2006.

Penyempurnaan Perangkat Peraturan, Kebijakan Pelaksanaan Operasional dan Kajian Pengembangan Pasar Percontohan. Laporan Akhir.

“Ritel Marak, Warung Kecil Gulung Tikar”, http://www.poskota.co.id

“Ritel Modern Masih Tumbuh Lebih Pesat dari Toko Tradisional @ Mesin Kasir

Gambar

Tabel  2  Asal Barang Dagangan
Tabel 3  Omset Penjualan
Tabel  5  menunjukkan  perputaran  barang  dagangan  yang  dirinci  menurut  kriteria  lambat,  sedang  serta  cepat  sebelum  dan  sesudah  ada  ritel modern
Tabel 12  Laba Bersih

Referensi

Dokumen terkait

Sistem pembayaran satu tarif pada jasa layanan angkutan umum perkotaan di Purwokerto merupakan sistem pembayaran tarif dengan tidak memperhitungkan jarak tempuh sebagai

Pembayaran Kupon dilaksanakan di Indonesia dan akan dibayarkan kepada Pemilik ORI011 yang tercatat pada Tanggal Pencatatan Kepemilikan ( record date ) dengan

Kandungan polisakarida lain yang saat ini telah banyak diaplikasikan untuk beberapa industri makanan adalah agar dan karaginan pada alga merah dan alginat pada alga coklat (Atmadja

Pembelajaran 5 nilai-nilai karakter yang dikembangkan adalah cermat yang termuat dalam kegiatan ayo mengamati, riang gembira yang termuat dalam kehiatan ayo

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Tingkat Penerapan Teknologi PHT sebelum dan sesudah petani mengikuti SLPHT ; (2) Dampak Sekolah Lapangan

Unsur yang ada di pasal 364 KUHP menjelaskan bahwa perbuatan yang diterapkan dalam Pasal 362 KUHP, Pasal 363 ayat (1) ke-4 dan ke-5 apabila tidak dilakukan

JASA MARGA (Persero) Tbk,

Rokan memberikan sistem penerimaan pensiunan secara bulanan namun bagi karyawan yang masa kerjanya lebih lama bisa mendapatkan pensiun dibayar sekaligus dan tetap mendapatkan