• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN PROTEIN PAKAN SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) JANTAN PADA BERBAGAI BOBOT HIDUP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMANFAATAN PROTEIN PAKAN SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) JANTAN PADA BERBAGAI BOBOT HIDUP"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN PROTEIN PAKAN SAPI PERANAKAN

ONGOLE (PO) JANTAN PADA BERBAGAI BOBOT HIDUP

(Dietary Protein Utilization in Ongole Grade Bulls at Various Body Weight)

EDY RIANTO,S.ATOURROCHMAN,C.M.SRI LESTARI,A.PURNOMOADI danE.PURBOWATI

Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Kampus Baru Tembalang Semarang ABSTRACT

A study was carried out to investigate the utilisation of dietary protein in Ongole Grade bulls at various body weight. Eight Ongole Grade bulls weighed from 133,5 to 228 kg and aged from 6 to 18 months were used in this study. The bulls were fed Napier grass (Pennisetum purpureum) ad libitum and concentrate consisting of rice bran and soy cake at amount of 2.1% body weight per day. The results showed that body weight had positive correlation with dry matter intake (r = 0.98; P < 0.05), total protein intake (r = 0.996; P < 0.05), digestible protein intake (r = 0.88; P < 0.05), fecal protein excretion (r = 0.95; P < 0.05) and retained protein (r = 0.65; P < 0.05). On the other hand, the body weight had negative correlation with protein digestibility (r = -0.72; P < 0.05). There was no significant correlation between body weight and body weight gain (r = 0.35; P > 0.05), protein retention (r = 0.10; P > 0.05), urinary protein excretion (r = 0.05; P > 0.05), total protein conversion (r = 0.42; P > 0.05), digestible protein conversion (r = 0.24; P > 0.05) and retained protein conversion (r = 0.41; P > 0.05). It was concluded that protein requirement increased with body weight, however the efficiency of dietary protein was not affected. It was concluded that the body weight increased as a result of increase in consumption and utilization rate of protein.

Key Words: Ongole Grade bulls, Body Weight, Dietary Protein, Utilisation ABSTRAK

Suatu penelitian telah dilaksanakan untuk mengkaji pemanfaatan protein dalam pakan pada sapi Peranakan Ongole (PO) jantan pada berbagai bobot hidup. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 8 ekor sapi PO jantan dengan kisaran bobot hidup dari 133,5 sampai 228 kg, dengan kisaran umur antara 6 dan 18 bulan. Sapi tersebut diberi pakan rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dan konsentrat yang terdiri dari campuran bekatul dan bungkil kedelai. Rumput Gajah diberikan secara ad libitum, sedangkan konsentrat diberikan sebanyak 2,1% dari bobot hidup per hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot hidup sapi memiliki korelasi positif yang nyata dengan konsumsi BK (r = 0,98; P < 0,05), konsumsi protein (r = 0,996; P < 0,05), jumlah protein tercerna (r = 0,88; P < 0,05), protein feses (r = 0,95; P < 0,05), jumlah protein terdeposisi (r = 0,65; P < 0,05) dan memiliki korelasi negatif yang nyata dengan kecernaan protein (r = -0,72; P < 0,05). Tidak terdapat korelasi yang nyata antara bobot hidup dengan PBHH (r = 0,35; P > 0,05), deposisi protein (r = 0,10; P > 0,05), protein urin (r = 0,05; P > 0,05), konversi protein terkonsumsi (r = 0,42; P > 0,05), konversi protein tercerna (r = 0,24; P > 0,05) dan konversi protein terdeposisi (r = 0,41; P>0,05). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin besar bobot hidup ternak, jumlah konsumsi protein meningkat, dan pada akhirnya meningkatkan pemanfaatan jumlah protein.

Kata Kunci: Sapi PO, Bobot Hidup, Pemanafaatan, Protein Pakan

PENDAHULUAN

Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu bangsa sapi tropis yang sekarang banyak dipelihara oleh peternak di Pulau Jawa. Terbatasnya pengetahuan menyebabkan pola pemeliharaan khususnya menajemen pakan kurang mendapat perhatian khusus dikalangan

peternak. Banyak peternak memberikan pakan tanpa memperhatikan kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan pada ternak. Peternak cenderung memberikan pakan yang sama (kualitas dan kuantitas) kepada ternak-ternak yang dipelihara padahal ternak terus berkembang seiring bertambahnya umur.

(2)

Protein merupakan salah satu nutrien yang dibutuhkan oleh ternak untuk memelihara jaringan tubuh dan pertumbuhan. Protein yang dikonsumsi tidak semuanya dimanfaatkan oleh ternak. Protein pakan yang tidak dimanfaatkan oleh ternak dibuang bersama feses dan urin. Nilai pemanfaatan protein pakan pada suatu ternak dapat diketahui melalui retensi protein yang dapat dihitung dari selisih antara protein pakan yang dikonsumsi dengan protein yang dibuang bersama feses dan urin.

Selama ini, penelitian yang mengarah pada hubungan antara bobot hidup ternak dengan tingkat pemanfaatan protein pakan masih terbatas. Sedikitnya informasi tentang hal ini, menyebabkan peternak memberikan pakan yang sama pada ternak-ternaknya tanpa melihat perbedaan bobot hidup masing-masing ternak. Hal ini mengakibatkan efisiensi pemanfaatan protein pakan pada ternak rendah dan pada akhirnya biaya pakan menjadi tinggi, karena harga protein sangat mahal dan produktivitas ternak yang dicapai tidak optimal. Pemahaman tentang pemanfaatan protein pakan pada sapi PO pada bobot hidup tertentu, dapat membantu peternak dalam menentukan komposisi nutrisi ransum ternak. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan protein, yang nantinya mengarah pada pertambahan bobot hidup yang optimal serta penekanan biaya pakan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemanfaatan protein pakan untuk sapi PO pada bobot hidup yang berbeda. Manfaat yang diperoleh adalah didapatkannya informasi mengenai pemanfaatan protein pakan pada sapi PO pada bobot hidup yang berbeda.

MATERI DAN METODE

Penelitian pemanfaatan protein pakan pada sapi PO jantan dengan bobot hidup yang

berbeda yang dipelihara secara intensif dilakukan di Laboratorium Ilmu Ternak Potong dan Kerja, Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai bulan September 2007.

Penelitian ini menggunakan 8 ekor sapi PO jantan dengan kisaran bobot hidup antara 152,5 dan 253,3 kg, dan umur antara 6 dan 18 bulan. Bobot hidup dan umur sapi tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Bobot hidup dan umur sapi percobaan

Bobot hidup (kg) Umur (bulan)

152,5 6 178,6 6 180,4 9 189,9 9 213,3 9 215,4 18 219,3 18 253,3 15

Pakan yang diberikan terdiri dari hay rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dan konsentrat yang terdiri dari bungkil kedelai dan bekatul dengan perbandingan 1 : 2,5. Kandungan nutrisi bahan pakan penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Cross Sectional

Comparison menurut rekomendasi SUDARMOYO (1993), yaitu membandingkan ternak dengan bobot hidup yang berbeda pada waktu yang bersamaan.

Penelitian ini dilakukan dalam 3 periode, yaitu adaptasi (3 minggu), pendahuluan (satu minggu) dan pengamatan atau pengambilan data (8 minggu). Pada periode adaptasi, sapi dibiasakan dengan pakan dan lingkungan baru. Pada periode pendahuluan jumlah pakan yang

Tabel 2. Kandungan nutrisi bahan pakan penelitian

Kandungan Nutrisi dalam 100% BK

Bahan pakan BK

Protein Lemak SK Abu BETN

---%---

Hay Rumput Gajah 44,16 7,76 6,96 24,73 17,00 43,55

Konsentrat 90,68 20,23 6,32 11,36 11,36 50,73

(3)

diberikan sesuai dengan kemampuan ternak untuk mengkonsumsi dan ternak ditimbang untuk mengetahui bobot hidup awal. Kegiatan yang dilakukan pada periode pengamatan atau pengambilan data adalah melakukan penimbangan ternak setiap satu minggu sekali pada pagi hari sebelum pemberian pakan untuk mengetahui pertambahan bobot hidup. Pemberian konsentrat dalam bentuk BK sebanyak 2,1% dari bobot hidup. Konsentrat tersebut diberikan 2 kali sehari, yaitu pada pukul 07.00 WIB dan 13.30 WIB. Hay rumput Gajah dan air minum diberikan secara ad

libitum.

Pada minggu ke-2 periode pengamatan dilakukan pengamatan kecernaan dan deposisi protein. Pengamatan ini dilakukan selama satu minggu. Setiap pagi hasil penampungan feses dan urin ditimbang dan diambil sampel setelah sebelumnya diaduk secara homogen. Pengambilan sampel harian sebesar 1 kg untuk feses dan 250 g untuk urin. Pengambilan sampel feses dan urin hari berikutnya disesuaikan proporsinya dengan pengambilan hari pertama. Sampel feses dan urin kemudian dianalisis untuk mengetahui kandungan BK dan proteinnya. Kandungan protein yang diperoleh kemudian dipakai sebagai pengurang protein pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Hasil pengurangan protein yang dikonsumsi dengan protein dalam urin dan feses merupakan nilai protein pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak.

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi BK pakan, pertambahan bobot hidup harian (PBHH), konsumsi protein pakan, kecernaan BK, jumlah BK dan protein yang terkandung dalam feses maupun protein urin, kecernaan protein, jumlah protein tercerna, jumlah protein terdeposisi, retensi protein, konversi protein terkonsumsi, konversi protein tercerna, dan konversi protein tedeposisi.

Rumus untuk menghitung parameter yang diamati adalah sebagai berikut:

Bobot hidup akhir – bobot hidup awal PBHH =

Lama pemeliharaan

Konsumsi BK = (konsumsi hijauan x % BK hijauan) + (konsumsi konsentrat x % BK konsentrat)

Protein dalam feses = BK feses x % protein feses

Protein dalam urin = BK urin x % protein urin x 100%

Konsumsi protein

Kecernaan BK = x 100% PBBH

Konsumsi protein = (konsumsi BK rumput Gajah x % protein rumput Gajah) + (konsumsi BK konsentrat x % protein konsentrat)

Jumlah protein tercerna = konsumsi protein – protein feses

konsumsi protein – protein feses Kecernaan protein = x 100%

Konsumsi protein

Deposisi protein =

konsumsi protein – (protein feses – protein urin) x 100%

konsumsi protein

Jumlah protein terdeposisi = konsumsi protein – (protein feses + protein urin)

Konsumsi protein

Konversi protein terkonsumsi =

PBBH

Jumlah protein tercerna Konversi protein tercerna =

PBBH

Jumlah protein terdeposisi Konversi protein terdeposisi =

PBBH

Analisis data

Data yang diperoleh dicari nilai korelasinya (r) dengan bobot hidup yang dilanjutkan dengan uji-t pada taraf kepercayaan 95% sesuai dengan petunjuk HASAN (2002).

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi bahan kering (BK)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara bobot hidup dan konsumsi BK memiliki korelasi positif yang nyata (r = 0,98; P < 0,05). Konsumsi BK meningkat seiring naiknya

(4)

bobot hidup sapi (Gambar 1). Hal ini sesuai dengan pendapat KEARL (1982) bahwa semakin tinggi bobot hidup sapi, maka semakin meningkat konsumsi bahan kering ransum. PARAKKASI (1994) menyatakan bahwa semakin tinggi bobot hidup sapi, maka kapasitas fisik lambung dan saluran pencernaan juga bertambah besar yang mengakibatkan konsumsi BK juga semakin meningkat. Dijelaskan lebih lanjut bahwa bobot hidup akan mempengaruhi kebutuhan nutrisi untuk hidup pokok, dan kebutuhan tersebut dipenuhi dari mengkonsumsi pakan.

Sapi yang bobot hidupnya paling besar (253,3 kg) mengkonsumsi BK sebesar 7.102 g/hari (2,8% BH), sedangkan sapi yang bobot hidupnya paling kecil (152,5 kg) mengkonsumsi BK sebesar 4.613 g/hari (3,0% BH). Persentase konsumsi BK terhadap bobot hidup semakin menurun seiring kenaikan bobot hidup sapi (Gambar 1). Hal ini sesuai dengan pendapat CHURCH dan POND (1978) bahwa kebutuhan BK akan bertambah dengan meningkatnya bobot hidup ternak, tetapi persentase kebutuhan BK terhadap bobot hidup akan menurun. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa antara bobot hidup sapi dengan persentase konsumsi BK terhadap bobot hidup memiliki korelasi negatif yang nyata (r = -0,76; P < 0,05). Namun demikian, persentase konsumsi pakan terhadap bobot hidup metabolik menunjukkan angka yang relatif tetap (lihat Gambar 2).

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa konsumsi BK berkisar antara 2,80 dan 3,17% BH. Sementara itu, hasil penelitian SUSANTO et al. (2004) menunjukkan bahwa sapi PO

jantan dengan bobot hidup 200 kg yang diberi pakan rumput Raja dan konsentrat mengkonsumsi BK sebesar 5.840 g/hari (2,9% BH), sedangkan RIANTO et al. (2007a) melaporkan bahwa sapi PO jantan dengan bobot hidup 227 kg yang diberi pakan jerami padi dan konsentrat (dedak padi dan gandum) mampu mengkonsumsi BK sebesar 5.890 g/hari (2,6% BH). Perbedaan konsumsi BK sapi tersebut diduga dipengaruhi oleh adanya perbedaan bobot hidup sapi yang digunakan pada masing-masing penelitian, perbedaan palatabilitas dan kandungan nutrisi (CHURCH

dan POND, 1978; KEARL, 1982; HAMDAN et

al., 2004).

Gambar 1. Hubungan antara bobot hidup dan konsumsi BK

y = 23,67x + 1194,4 r = 0,98 y = -0,0028x + 3,5452 r = -0,76 4000 5000 6000 7000 8000 145 175 205 235 Bobot hidup (kg) Konsum si BK ( g /har i) 2.75 2.80 2.85 2.90 2.95 3.00 3.05 3.10 3.15 3.20 Konsum si BK ( % BB)

Linear (hubungan antara BH dan konsumsi BK (g/hari) Linear (hubungan antara BH dan konsumsi BK (%BB)

(5)

Gambar 2. Hubungan antara bobot hidup metabolik (kg BH0,75) dan konsumsi BK Konsumsi protein

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara bobot hidup sapi dan konsumsi protein memiliki korelasi positif yang nyata (r = 0,996; P < 0,05). Hal ini berarti konsumsi protein semakin meningkat seiring naiknya bobot hidup sapi (Gambar 3). Peningkatan konsumsi protein terjadi seiring dengan meningkatnya konsumsi BK. Hal ini sesuai dengan pendapat TILLMAN et al. (1991) bahwa besar kecilnya jumlah nutrisi yang masuk dipengaruhi oleh konsumsi BK. Kebutuhan sapi akan protein semakin meningkat seiring kenaikan bobot hidupnya, semakin besar bobot hidup suatu ternak, semakin besar pula kebutuhan akan protein (KEARL, 1982; TILLMAN et al., 1991). Protein pakan yang masuk ke dalam tubuh akan digunakan ternak untuk mengganti jaringan tubuh yang telah rusak dan untuk pertumbuhan (TILLMAN et al., 1991; ANGGORODI, 1994).

Konsumsi protein yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 794 dan 1.303 g/hari. Sementara itu, hasil penelitian PRAYUGO et al. (2003) menunjukkan bahwa sapi PO jantan dengan bobot hidup 78,50 kg yang diberi pakan rumput Gajah (10,15% protein) dan konsentrat (14,15% protein),

mengkonsumsi protein sebesar 686 gram/hari, sedangkan RIANTO et al. (2007b) melaporkan bahwa sapi PO jantan dengan bobot hidup 228 kg yang diberi pakan hay rumput Gajah (13,04% protein), dedak (6,33% protein), dan bungkil kelapa sawit (15,39% protein), mampu mengkonsumsi protein sebesar 670 gram/hari. Adanya perbedaan konsumsi protein antar ternak ini antara lain dipengaruhi oleh adanya perbedaan bobot hidup sapi yang digunakan pada masing-masing penelitian. Selain bobot hidup, faktor lain yang mempengaruhi perbedaan konsumsi pakan diantaranya adalah pertambahan bobot hidup, jumlah pakan yang dikonsumsi, kecernaan dan kandungan protein serta energi yang terkandung dalam ransum (CRAMPTON dan HARIS yang disitasi oleh SUSANTO et al., 2004).

Kecernaan protein dan jumlah protein tercerna

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya korelasi negatif yang nyata (r = -0,72; P < 0,05) antara bobot hidup sapi dan kecernaan protein. Semakin tinggi bobot hidup ternak, semakin rendah kecernaan protein (Gambar 4). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa sapi

y = 0.0167x + 10.271 R2 = 0.1123 y = 0.1192x - 0.3965 R2 = 0.9642 y = -0.0141x + 3.7223 R2 = 0.5703 0 2 4 6 8 10 12 14 40 45 50 55 60 65 Bobot hidup metabolik (kg BB0,75)

Konsum si BK pakan kg % BB % BBM Linear (% BBM) Linear (kg) Linear (% BB)

(6)

Gambar 3. Hubungan antara bobot hidup dan konsumsi protein

yang bobot hidupnya paling besar (253,3 kg) memiliki kecernaan protein sebesar 57,69%, sedangkan sapi yang bobot hidupnya paling kecil (152,5 kg) memiliki kecernaan protein sebesar 65,85%. Di lain pihak, bobot hidup sapi memiliki korelasi positif yang nyata (r = 0,88; P < 0,05) dengan jumlah protein tercerna; jumlah protein tercerna meningkat seiring dengan bertambahnya bobot hidup sapi (Ilustrasi 4). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa sapi yang bobot hidupnya paling besar (253,3 kg) mengkonsumsi protein dapat dicerna sebesar 752 g/hari (0,29% BH), sedangkan sapi dengan bobot hidup paling kecil (152,5 kg) mengkonsumsi protein dapat dicerna sebesar 523 g/hari (0,34% BH). Ternak muda relatif memerlukan lebig banyak protein untuk pertumbuhan, proses sintesis protein pada ternak muda (bobot hidup kecil) berlangsung lebih cepat daripada ternak dewasa, dan pada gilirannya memerlukan banyak protein per unit bobot hidupnya untuk berlangsungnya proses tersebut, meskipun total protein yang dibutuhkan oleh ternak yang berbobot hidup besar lebih tinggi

(STANGASSINGER et al., 1995; MOUGHAN dan FULLER, 2003).

Hasil kecernaan protein pada penelitian ini berkisar antara 54,11 dan 65,85%. Hasil kecernaan protein lebih rendah daripada yang dilaporkan oleh MAHESTI et al. (2004), yaitu sebesar 74,4%. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kualitas pakan terutama perbedaan kadar protein ransum. Pakan yang digunakan penelitian ini berupa hay rumput Gajah dan konsentrat (bekatul dan bungkil kedelai) yang masing-masing memiliki kadar protein sebesar 7,76% dan 20,23%. Sementara itu, pakan yang digunakan dalam penelitian MAHESTI et al. (2004) adalah ampas bir dan rumput Raja yang memiliki kadar protein yang lebih tinggi yaitu masing-masing sebesar 26,08 dan 15,67%. CHURCH dan POND (1978) menyatakan bahwa kecernaan protein berhubungan dengan kadar protein dalam pakan. Peningkatan kadar protein dalam pakan akan meningkatkan laju perkembangbiakan dan populasi mikrobia rumen sehingga kemampuan mencerna protein pakan menjadi lebih besar (OKTARINA et al., 2004). y = 4.9013x + 67.334 r = 0,996 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 140 160 180 200 220 240 260 Bobot hidup (kg)

Konsumsi Protein (g/har

(7)

Gambar 4. Hubungan antara bobot hidup dan kecernaan protein serta jumlah protein tercerna

Deposisi protein

Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara bobot hidup sapi dan deposisi protein pakan tidak memiliki korelasi yang nyata (r = 0,10; P > 0,05). Dalam hal ini, pemanfaatan protein pakan tidak dipengaruhi oleh bobot hidup ternak. Deposisi protein yang diperoleh berkisar antara 22,64 – 39,47% dari konsumsi protein. Deposisi protein yang diperoleh bernilai positif, hal ini menunjukkan bahwa jumlah protein dikonsumsi lebih tinggi daripada yang dikeluarkan bersama feses dan urin, dan dapat diharapkan bahwa ternak yang bersangkutan dapat meningkatkan bobot hidupnya (MAYNARD dan LOOSLI, 1969).

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa deposisi protein memiliki variasi yang tinggi (Gambar 5) pada berbagai bobot hidup ternak. Menurut ENSMINGER yang disitasi oleh RIANTO et al. (2003), deposisi protein berhubungan dengan kebutuhan nutrisi untuk

hidup pokok.

Apabila jumlah protein yang terdeposisi sudah cukup, maka kelebihannya disimpan sebagai cadangan energi dengan cara membuang elemen nitrogen, karena ternak sapi tidak memiliki kecenderungan untuk mendeposisikan lebih banyak protein (OWEN dan ZINN, 1988).

Deposisi protein pada penelitian ini lebih rendah daripada yang dilaporkan MAHESTI et

al. (2004), yaitu sebesar 50,11% dari konsumsi

protein. Hal ini diduga karena adanya perbedaan kualitas pakan, terutama kadar protein ransum. Dengan peningkatan kualitas pakan khususnya kadar protein ransum, menyebabkan kecernaan protein akan tinggi dan menyebabkan nilai deposisi protein menjadi lebih tinggi. Menurut FORBES dan FRANCE (1993), peningkatan kadar protein pada pakan akan meningkatkan deposisi protein. Selain kualitas pakan, faktor-faktor yang mempengaruhi deposisi protein antara lain adalah tingkat konsumsi pakan (ORSKOV, 1992).

- - - Hubungan antara bobot hidup dan jumlah protein tercerna Hubungan antara bobot hidup dan kecernaan protein

y = -0,0931x + 80,167 r = -0,72 y = 2,0489x + 231,09 r = 0,88 53 56 59 62 65 68 150 180 210 240 Bobot hidup (kg) Kecerna an pro te in (%) 500 550 600 650 700 750 800 Ju mlah pro tein t ercern a (g /hari )

(8)

Gambar 5. Hubungan antara bobot hidup dan deposisi protein

Terdapat korelasi positif yang nyata (r = 0,65; P < 0,05) antara bobot hidup sapi dan jumlah protein terdeposisi. Semakin besar bobot hidup sapi, semakin besar pula jumlah protein terdeposisi (Gambar 6). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa jumlah protein terdeposisi pada sapi yang bobot hidupnya paling besar (253,3 kg) adalah 472 g/hari, sedangkan pada sapi yang bobot hidupnya

paling kecil (152,5 kg) adalah 299 g/hari. Hal ini dikarenakan semakin naik bobot hidup, konsumsi protein semakin meningkat (Gambar 3), sejalan dengan peningkatan konsumsi BK (Gambar 1). ORSKOV (1992) menyatakan bahwa tingkat konsumsi protein yang tinggi tersebut akan berakibat pada peningkatan absorbsi protein oleh tubuh dan protein yang terdeposisi juga akan semakin besar.

Gambar 6. Hubungan antara bobot hidup dan jumlah protein terdeposisi

y = 1.9624x - 65.736 r = 0,65 200 300 400 500 150 170 190 210 230 250 270 Bobot badan (kg) Jumlah pro tein t erdeposisi (g /har i) y = 0.0226x + 26.605 r = 0,10 20 25 30 35 40 45 150 170 190 210 230 250 270 Bobot hidup (kg) Deposisi protein (%)

(9)

Protein yang terdeposisi pada penelitian ini berkisar antara 219 dan 472 g/hari. Angka tersebut lebih tinggi daripada yang dilaporkan RIANTO et al. (2005), bahwa protein terdeposisi

pada sapi PO adalah 162 g/hari dengan konsumsi protein sebesar 440 g/hari. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan bobot hidup ternak yang digunakan; bobot hidup sapi PO pada penelitian berkisar antara 152,5 dan 253,3 kg, sedangkan penelitian RIANTO et al. (2005) menggunakan sapi PO dengan bobot hidup lebih rendah, yaitu sekitar 109 kg. Kebutuhan sapi potong akan protein semakin tinggi seiring kenaikan bobot hidupnya (KEARL, 1982). Perbedaan protein terdeposisi juga disebabkan karena kadar protein pakan yang digunakan penelitian lebih tinggi. Menurut MAYNARD dan LOOSLI (1969), meningkatnya aras protein dalam pakan berhubungan dengan peningkatan konsumsi pakan pada ternak ruminansia dan mengakibatkan meningkatnya absorbsi protein.

Pertambahan bobot hidup harian (PBHH) Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara bobot hidup sapi dan PBHH tidak memiliki korelasi yang nyata (r = 0,35; P > 0,05), sebagaimana tergambar pada Gambar 7. Tidak adanya korelasi yang nyata antara bobot hidup

dan PBHH diduga dikarenakan kebutuhan BK dan kebutuhan hidup pokok semakin meningkat seiring dengan meningkatnya bobot hidup ternak (KEARL, 1982; PARAKKASI, 1994), sehingga jumlah nutrisi yang tersisa untuk pertumbuhan (PBHH) pada sapi penelitian relatif sama. Hal ini sesuai dengan pendapat SOEPARNO (1994) bahwa kenaikan bobot hidup seiring bertambahnya umur tidak menyebabkan peningkatan bobot hidup ternak, tetapi memberikan kesempatan kepada ternak untuk tumbuh, mencapai dewasa dan berinteraksi dengan lingkungan.

Pertambahan bobot hidup harian yang diperoleh berkisar antara 0,58 dan 1,00 kg. Hasil ini lebih rendah daripada yang dilaporkan RIANTO et al. (2007b) bahwa sapi PO jantan yang diberi pakan hay rumput Gajah, ampas tahu, dan ubi kayu mampu mencapai PBHH sebesar 1,09 kg. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kadar protein dalam pakan yang digunakan pada masing-masing penelitian. Konsentrasi protein dalam pakan akan mempengaruhi bobot hidup ternak. Semakin tinggi kadar protein dalam pakan akan meningkatkan konsumsi pakan dan mengakibatkan laju pertumbuhan yang lebih cepat (MAYNARD dan LOOSLI, 1969). Pakan yang digunakan penelitian berupa hay rumput Gajah dan konsentrat (bekatul dan bungkil

Gambar 7. Grafik hubungan antara bobot hidup dan pertambahan bobot hidup harian (PBHH)

y = 1.6268x + 512.76 r = 0,35 500 600 700 800 900 1000 1100 150 170 190 210 230 250 270 Bobot hidup (kg) PBHH (g/hari)

(10)

kedelai) yang masing-masing memiliki kadar protein sebesar 7,76% dan 20,23%. Sementara itu, pakan yang digunakan dalam penelitian RIANTO et al. (2007b) adalah hay rumput Gajah, ampas tahu, dan ubi kayu yang masing-masing memiliki kadar protein sebesar 13,04; 21,39 dan 2,45%. Pertambahan bobot hidup sapi ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu jenis sapi, jenis kelamin, umur, kualitas pakan, jumlah konsumsi pakan, faktor lingkungan dan genetik (CAMPBELL dan LASLEY, 1985).

Konversi protein

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot hidup sapi tidak memiliki korelasi yang nyata dengan konversi protein terkonsumsi (r = 0,42; P > 0,05), protein tercerna (r = 0,24; P > 0,05) dan protein terdeposisi (r = 0,41; P > 0,05); sebagaimana tergambar pada Gambar 8. Tidak adanya korelasi yang nyata antara bobot hidup sapi dan konversi protein terkonsumsi, konversi protein tercerna, serta konversi protein

terdeposisi dikarenakan antara bobot hidup sapi dan PBHH tidak memiliki korelasi yang nyata (Gambar 6). Sementara itu, antara bobot hidup sapi dan jumlah protein terkonsumsi, jumlah protein tercerna, serta jumlah protein terdeposisi memiliki korelasi yang nyata, sehingga protein yang diperlukan untuk menaikan 1 kg bobot hidup pada sapi dengan berbagai bobot hidup relatif sama.

Hasil konversi protein yang diperoleh mengindikasikan bahwa konversi protein tidak dipengaruhi oleh kenaikan bobot hidup seiring bertambahnya bobot hidup ternak. Hal ini menunjukkan bahwa sapi-sapi yang digunakan dalam percobaan ini memiliki memiliki proporsi protein tubuh yang hampir sama pada setiap satuan pertambahan bobot hidup. Angka konversi protein menjadi pertambahan bobot hidup dapat dijadikan indikator bagi komposisi tubuh ternak, semakin tinggi angka konversi protein, semakin tinggi pula jumlah protein yang terdeposisi pada setiap pertambahan bobot hidup (RIANTO et al., 2005).

Gambar 8. Hubungan antara bobot hidup dan konversi protein terkonsumsi, protein tercerna serta protein

terdeposisi

Hubungan antara bobot hidup dan konversi protein terkonsumsi ... Hubungan antara bobot hidup dan konversi protein tercerna - - - - Hubungan antara bobot hidup dan konversi protein terdeposisi

y = 0.0039x + 0.5002 r = 0,42 y = 0.0013x + 0.5324 r = 0,24 y = 0.0015x + 0.0943 r = 0,41 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 1,80 2,00 150 170 190 210 230 250 270 Bobot hidup (kg)

(11)

Nilai konversi protein terkonsumsi, protein tercerna dan protein terdeposisi pada berturut-turut adalah berkisar 1,05 – 1,91; 0,59 – 1,14; dan 0,25 – 0,49. Hasil ini lebih rendah daripada yang dilaporkan oleh ARIFIN et al. (2006), bahwa nilai konversi protein terkonsumsi, protein tercerna dan protein tedeposisi pada sapi PO jantan dengan bobot hidup 228,17 kg berturut-turut adalah 2,12; 1,23; dan 0,95. Hal ini berarti sapi PO yang digunakan dalam penelitian membutuhkan lebih sedikit protein pakan untuk menaikkan satu kilogram bobot hidupnya dibandingkan dengan sapi PO yang digunakan dalam penelitian ARIFIN et al. (2006). Semakin rendah nilai konversi protein pakan menunjukkan bahwa protein yang terdeposisi pada setiap satuan pertambahan bobot hidup semakin sedikit (OKTARINA et al., 2004; RIANTO et al., 2005). CAMPBELL dan LASLEY (1985) menyatakan bahwa perbedaan konversi protein antar ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah pakan yang dikonsumsi, nutrisi pakan yang hilang, kemampuan ternak untuk mencerna pakan, dan kebutuhan ternak akan protein.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin besar bobot hidup ternak, maka semakin tinggi pula jumlah konsumsi protein, sehingga meningkatkan jumlah protein dapat dimanfaatkan. Meskipun demikian, bobot hidup tidak berpengaruh terhadap efisiensi pemanfaatan protein pakan.

Pemberian protein pakan hendaknya disesuaikan dengan komposisi tubuh ternak, agar pemanfaatan protein pakan dapat berlangsung secara lebih efisien.

DAFTAR PUSTAKA

ANGGORODI, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan ke-5. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

ARIFIN,H.D.,E.RIANTO dan C.M.S.LESTARI. 2006. Deposisi protein pada sapi Peranakan Ongole dan Peranakan Friesian Holstein jantan dengan pakan rumput Gajah, dedak padi dan bungkil kelapa sawit. Pros. Seminar Nasional Fakultas Peternakan Universitas Jenderal

Soedirman. Purwokerto, 11 Februari 2006. hlm. 206 – 211.

CAMPBELL,J.P. and J.F.LASLEY. 1985. The Science of Animal that Serve Mankind. 2nd Ed. Tata Mc Graw-Hill Publishing Co. Ltd, New Delhi. CHURCH, D.C. and W.G. POND. 1978. Animal

Nutrition and Feeding. O & B Book. Corvallis, Oregon.

FORBES, J.M. and J. FRANCE. 1993. Quantitative Aspect of Ruminant Digestion and Metabolism. CAB International, Wallingford. HAMDAN, A.,N.NGADIYONO dan A.AGUS. 2004.

Konsumsi pakan dan peningkatan bobot hidup sapi Bali dan sapi Peranakan Ongole jantan yang diberi pakan basal jerami padi terfermentasi dan suplemen konsentrat. J. Pengembangan Peternakan Tropis. Special Edition Bulan Oktober Buku II:126 – 131. KEARL, L.C. 1982. Nutrient Requirements of

Ruminants in Developing Countries. 1st Ed. International Feedstuff Institute. Utah Agricultural Experiment Station University, Logan.

MAHESTI, G., E. RIANTO, A. PRAWOTO dan A. PURNOMOADI. 2004. Pemanfaatan protein pada sapi Peranakan Ongole dan sapi Peranakan Limousin yang mendapat pakan rumput Raja dan ampas bir. J. Pengembangan Peternakan Tropis. Special Edition Bulan Oktober Buku I: 91 – 95.

MAYNARD, L.A. and J.K. LOOSLI. 1969. Animal Nutrition. Tata McGraw. Hill Publishing Company Ltd, New Delhi.

MOUGHAN,P.J. and M.F.FULLER. 2003. Modelling amino acid metabolism and the estimation. In: J.P.F. D’Mello (Editor). Amino Acid in Animal Nutrition (Second Ed.). CAB International, Wallingford, pp. 187 – 202. OKTARINA,K.,E.RIANTO, R.ADIWINARTIDAN A.

PURNOMOADI. 2004. Pemanfaatan protein pada domba ekor tipis jantan yang mendapat pakan penguat dedak padi dengan aras yang berbeda. J. Pengembangan Peternakan Tropis. Special Edition Bulan Oktober Buku I: 110 – 115.

ORSKOV,E.R. 1992. Protein Nutrition in Ruminants. 2nd. Academic Press. Harcout Brace Javanovich Publisher, London.

OWEN,F. and R.ZINN. 1988. Protein Metabolism of Ruminant Animals. In: D.C. Church (Editor). The Ruminant Animal: Digestive Physiology and Nutrition. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs.

(12)

PARAKKASI, A. 1994. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Cetakan Ke-5. UI Press, Jakarta.

PRAYUGO,S.,E.PURBOWATI dan S.DARTOSUKARNO. 2003. Penampilan sapi Peranakan Ongole dan Peranakan Limousin yang dipelihara secara intensif. Pros. Seminar Nasional I. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. Hlm. 240 – 244.

RIANTO, E.,ABDILLAH dan E.PURBOWATI. 2007a. Deposisi protein pada sapi Peranakan Ongole dan Peranakan Friesian Holstein jantan yang mendapat pakan jerami padi dan konsentrat. Pro. Seminar Nasional AINI VI ”Kearifan Lokal dalam Penyediaan serta Pengembangan Pakan dan Ternak di Era Globalisasi”. Yogyakarta, 26-27 Juli 2007. Hlm. 368-374. RIANTO, E., M. WULANDARI dan R. ADIWINARTI.

2007b. Pemanfaatan protein pada sapi Jantan Peranakan Ongole dan Peranakan Fresian Holstein yang mendapat pakan rumput Gajah, ampas tahu dan singkong. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 21 – 22 Agustus 2007. Hlm. 64-70. RIANTO,E.,M.Y.EFFENDI,SODIKUN,R.ADIWINARTi

dan A.PURNOMOADI. 2003. Deposisi protein pada sapi Peranakan Ongole x Limousin jantan muda yang dipelihara secara intensif. J. Pengembangan Peternakan Tropis. Special Edition bulan Oktober buku I: 130 – 135.

RIANTO, E., NURHIDAYAT dan A. PURNOMOADI. 2005. Pemanfaatan protein pada sapi Peranakan Ongole dan Sapi Peranakan Ongole x Limousin jantan yang mendapat pakan jerami padi fermentasi dan konsentrat. J. Pengembangan Peternakan Tropis. 30(3): 186 – 191.

SOEPARNO. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. STANGASSINGER,X.B.CHER,J.E.LINDBERG and D.

GIESECKE. 1995. Metabolism of purine in relation to microbial production. Proc. of the Eight International Symposium on Ruminant Physiology. Ruminant Physiology: Digestion, Metabolism, Growth, and Reproduction. Ferdinand Enke Verlag, Stuttgart. pp. 387 – 406.

SUDARMOYO, B. 1993. Metode Penelitian. Badan Penelitian Universitas Diponegoro, Semarang. SUSANTO,S.A.,E.RIANTO dan J.A.PRAWOTO. 2004.

Pengaruh penggantian konsentrat dengan ampas bir terhadap penampilan produksi sapi Peranakan Ongole yang mendapat pakan basal rumput Raja. J. Pengembangan Peternakan Tropis. Special Edition Bulan Oktober Buku I: 35 – 39.

TILLMAN,A.D.,H.HARTADI,S.PRAWIROKUSUMO,S. REKSOHADIPRODJO dan S. LEBDOSUKOJO. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Gambar

Gambar 1. Hubungan antara bobot hidup dan konsumsi BK y = 23,67x + 1194,4r = 0,98y = -0,0028x + 3,5452r = -0,7640005000600070008000145175205235Bobot hidup (kg)Konsumsi BK (g/hari) 2.752.802.852.902.953.003.053.103.153.20 Konsumsi BK (%BB)
Gambar 2. Hubungan antara bobot hidup metabolik (kg BH 0,75 ) dan konsumsi BK
Gambar 3. Hubungan antara bobot hidup dan konsumsi protein
Gambar 4. Hubungan antara bobot hidup dan kecernaan protein serta jumlah protein tercerna
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah perlakuan dengan lama fermentasi 0 hari, 2 hari, 4 hari, dan 6 hari berpengaruh sangat nyata (P&lt;0,01) terhadap

Tidak hanya itu saja, kepala wisma mengevaluasi bahwa perawat pada panti ini masih terburu-buru dalam melayani lansia, kurang berhati-hati ketika memandikan

(9) Dalam hal jumlah keluarga penerima manfaat untuk Desa berstatus Desa Mandiri yang telah direalisasikan lebih besar atau lebih kecil dari jumlah keluarga

Jika Tertanggung dirawat inap di rumah sakit selama lebih dari 12 jam karena sakit atau Kecelakaan dalam Masa Pertanggungan Asuransi, maka akan dibayarkan Manfaat Harian Perawatan

pekerjaan untuk alumni Fakultas Ekonomi Bisnis Program Studi S1 Akuntansi Universitas Lampung lulusan tahun 2017 dapat diketahui bahwa alumni yang mulai mencari

Strat rateg egi i WT WT ad adal alah ah ta takt ktik ik me memp mper erta tahan hanka kan n ko kond ndis isi i ya yang ng di dius usaha aha ka kan n de deng ngan an

Apabila tegangan, arus dan daya dari suatu modul tidak mencukupi untuk beban yang digunakan, maka modul – modul tersebut dapat dirangkaikan seri, paralel ataupun kombinasi

Pola pengambilan keputusan dalam rumah tangga juga sangat didominasi oleh pria terutama pada hal-hal yang dianggap penting, sedangkan untuk kegiatan rutin rumah