BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti spinal dan intra orbita, dan meskipun tidak mengivasi jaringan otak, meningioma menyebabkan penekanan dan pendesakan, serta menginvasi dura termasuk dura pada sinus (Reifenberger et. al., 2010). Karena lokasinya tersebut, tumor ini seringkali menyebabkan komplikasi serius dan kematian (Wiemels et. al., 2010).
Di orbita meningioma dapat ditemukan sebagai tumor primer maupun sekunder, dengan gejala yang ditimbulkan berupa kehilangan visus ipsilateral, defek pupil aferen, gangguan pengihatan warna, gangguan lapang pandang, proptosis, edema diskus optikus, gangguan gerak bola mata, nyeri dan edema palpebra. Meningioma selubung saraf optik merupakan 1/3 tumor saraf optik primer dan 5-10% tumor orbita, sedangkan meningioma saraf optik sekunder merupakan perluasan dari intrakranial (Turbin & Pokorny, 2004).
Meningioma merupakan tumor intrakranial jinak primer yang paling sering dilaporkan di Amerika (Dolecek et. al., 2012). Data insidensi meningioma yang dilaporkan di negara Asia masih terbatas. Di Indonesia, khususnya di RS Dr Sardjito Yogyakarta data dari bagian Patologi Anatomi menunjukkan bahwa meningioma adalah tumor otak terbanyak pada tahun 2001-2008 yaitu sebanyak 43,18% (Susilowati, 2010).
Insidensi meningioma dilaporkan 2 kali lipat lebih tinggi pada wanita dibanding pria, dengan peningkatan rasio 3,5:1 pada masa reproduksi (Wiemels et. al., 2014). Pada tahun 2007 diperkirakan lebih dari 100.000 wanita di Amerika mengalami pembedahan untuk diagnosis, dengan 9000 kasus meningioma baru (Claus et. al.,2007). Hasil yang serupa dilaporkan di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, yaitu rasio wanita dibanding pria adalah 4:1 dengan usia rata-rata 40,6 tahun (Zebua, 2011).
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan masih sangat sedikit yang diketahui mengenai etiologi meningioma. Perubahan ukuran meningioma pada siklus menstruasi, kehamilan dan menopouse serta hubungannya dengan kanker payudara banyak dilaporkan oleh berbagai penelitian. Begitu juga dengan
perubahan simtomatologi selama siklus menstruasi, misalnyagejala yang berhubungan dengan meningioma seperti diplopia, skotoma sentral atau ptosis dapat meningkat selama fase luteal dari siklus menstruasi (Wahab dan Al Azzawi,
2003). Berdasarkan hal tersebut hormon steroid endogen maupun eksogen diduga
berhubungan dengan meningioma dan mungkin berperan dalam tumorigenesis dan progresifitas meningioma (Claus et. al., 2007).
Terapi sulih hormon dan kontrasepsi adalah faktor risiko yang sering dihubungkan dengan meningioma. Penggunaan terapi sulih hormon pada wanita menopouse dilaporkan positif berhubungan dengan meningioma, sedangkan kontrasepsi oral tidak menunjukkan hasil yang konsisten (Claus et. al.,2007; Qi et. al.,2013). Hubungan tersebut terutama dengan paparan hormon yang mengandung hormon progestin. Qi, et. al., (2013)juga melaporkan peningkatan risiko
meningioma pada pengguna terapi sulih hormon, wanita paska menopouse, dan paritas.
Pengaruh hormon pada meningioma juga didukung oleh berbagai penelitian yang melaporkan bahwa sebagian besar meningioma mengekspresikan reseptor hormon pada membran sel, dengan berbagai variasi (Marosi et. al., 2008). Lebih dari 70% meningioma mengekspresikan reseptor progesteron, dan kurang dari 31% mengekspresikan reseptor estrogen, sehingga reseptor progesteron merupakan faktor yang diduga lebih berperan pada etiologi meningioma (Wahab & Al Azzawi, 2003). Manipulasi hormon eksogen diduga menyebabkan perubahan predominansi isoform progesteron sehingga disarankan penelitian pada pasien yang menerima terapi hormon eksogen (Vadivelu & Schulder, 2012).Selain itu beberapa penelitian juga menyarankan perlu dilakukannya evaluasi terhadap penggunaan hormon eksogen dengan perhatian khusus pada jenis hormon, durasi dan usia dikaitkan dengan tipe reseptor hormon.
Para ahli juga mengembangan penelitian yang menilai aktivitas faktor-faktor pertumbuhan dan angiogenesis pada meningioma yang penting untuk tatalaksana dan rekurensi meningioma. Berdasarkan vaskularitasnya meningioma merupakan tumor yang mempunyai berbagai derajat vaskularitas yang umumnya berkaitan dengan derajat edema peri tumor (Pamir, 2010). Pada penerapannya secara klinis sebuah penelitian merekomendasikan terapi dengan anti VEGF pada jaringan meningioma yang mempunyai aktivitas melawan rekurensi dan progesifitas serta mengatasi oedem otak peri tumor (Hou, et. al., 2013).
Penelitian oleh Baxter et. al., (2014) melaporkan ekspresi reseptor faktor-faktor pertumbuhan selain reseptor hormon pada meningioma yaitu insulin like growth factor 1 (IGF-1), epidermal growth factor receptor (EGFR) dan growth hormone receptor (GHr) pada 88-94% kasus, sedangkan reseptor VEGF di temukan pada 69% kasus. Tingginya ekspresi epithelial growth factor (EGF) dan platelet derived growth factor (PDGF) pada meningioma diduga selain berperan sebagai mitogen juga menginduksi regulasi VEGF. Berdasarkan penelitian pada hewan coba ekspresi mRNA VEGF diregulasi secara hormonal pada sel yang memproduksi dan berespon terhadap steroid, oleh karena itu hubungan antara peningkatan regulasi VEGF dan kadar progesteron pada jaringan meningioma diduga penting secara molekuler (Pamir, 2010).
Penggunaterapi sulih hormon di Indonesia masih sangat terbatas (Baziad, 1997). Sedangkanberdasarkan data yang dilaporkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pengguna kontrasepsi di Indonesia pada tahun 2013 sebagian besar merupakan pengguna kontrasepsi hormonal dengan metode suntikan (36%)dan pil (15,1%) yang terutama mengandung progesteron sintetik.Sampai saat ini data tentang perbedaan karakteristik populasi, jenis paparan terkait faktor risikoeskpresi reseptor hormon serta aktivitas angiogenesis pada meningioma di Indonesia, khususnya di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya masih sangat terbatas.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Apakah jenis dan durasi kontrasepsi berhubungan dengan ekspresi reseptor progesteron, estrogen pada jaringan meningioma wanita?
C. Keaslian Penelitian
Penelitian yang pertama-tama melaporkan hubungan positif meningioma dengan paparan hormon eksogen adalah Nurse’s Health Control Study (NHS). Risiko relatif wanita premenopouse yang menggunakan terapi hormon dibanding wanita post menopouse yang tidak menggunakan adalah 2,48, sedangkan pada wanita post menopouse yang menggunakan adalah 1,86. Namun dalam penelitian ini tidak ditemukan hubungan antara meningioma dan pengguna kontrasepsi oral (Jahwar et. al.,2003). Sedangkan penelitian mengenai resptor hormon sex steroid telah banyak dilakukan terkait dengan derajat histopatologi dan prognosis meningioma. Penelitian oleh Roser F et. al.,(2004) danTaghipour, et.al., (2007) menunjukkan reseptor progesteron yang positif ditemukan secara signifikan pada meningioma jinak dan berasosiasi dengan prognosis yang lebih baik.
Hubungan faktor risiko hormon eksogen dengan ekspresi reseptor baru dilaporkan kemudian oleh Custer et. al., (2006) pada sebuah penelitian kasus kontrol di Amerika. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Korhonen et. al., (2010) di Finlandia. Pada kedua penelitian tersebut status hormonal, paritas, menopouse dan paparan hormon eksogen terutama penggunaan terapi sulih hormon dan kontrasepsi hormonal dianalisis hubungannya dengan status ekspresi
hormon estrogen dan progesteron. Pada penelitian yang dilaporkan oleh Custer et. al., (2006) ekspresi reseptor progesteron yang rendah (25%) berhubungan dengan kontrasepsi oral dan jumlah kelahiran hidup. Sedangkan penelitian oleh Korhonen et. al.,(2010)melaporkan adanya peningkatan risiko reseptor progesteron positif pada penggunaan kontrasepsi oral dan kontrasepsi hormonal lain.
Penelitian mengenai keberadaan reseptor VEGF yang diduga bertanggungjawab pada angiogenesis meningioma telah banyak dipublikasikan. Jalur VEGF-A terbukti berhubungan dengan panjang kapiler tumor yang diduga berhubungan dengan oedem otak peri tumor (Nassehi et. al., 2013). VEGF-A diduga disekresikan oleh sel meningioma secara langsung untuk menginduksi angiogenesis dan edemagenesis.
Keterkaitan hormon steroid pada regulasi VEGF didukung oleh penelitian secara in vitro pada kultur sel endometrium dengan reseptor progesteron positif yang menunjukkan bahwa proliferasi sel distimulasi oleh estrogen namun angiogenesis diinduksi oleh progesteron melalui peningkatan sekresi VEGF yang lebih lanjut meningkatkan vaskularitas dan aliran darah subendometrial (Wen et. al.,2009).Keberadaan reseptor VEGF sendiri pada jaringan meningioma dilaporkan cukup tinggi yaitu 69%, bersama dengan 87% reseptor progesteron pada jaringan meningioma yang diperiksa (Baxter et. al., 2014). Namun keberadaan reseptor VEGF tersebut pada sel meningioma dan hubungannya dengan progesteron belum dianalisis.
Pada penelitian ini peneliti ingin melihat hubungan ekspresi reseptor progesteron dan estrogen pada jaringan histopatologi meningiomadalam % sel imunopositif, yang dihubungkan dengan faktor risiko jenis dan durasi paparan hormon eksogen di daerah Yogyakarta dan sekitarnya.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah jenis dan durasi
kontrasepsi berhubungan dengan ekspresi reseptor progesterone dan estrogen di jaringan histopatologi meningioma wanita.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuktikan kesesuainekspresi
reseptor hormon steroid progesteron dan estrogen pada wanita penderita meningioma dengan jenis dan durasi kontrasepsi dan kemungkinan peran hormon progesteron dan estrogen pada regulasi VEGF.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran lebih jelas apakah paparan hormon eksogen dapat merupakan faktor risiko meningioma pada wanita pengguna kontrasepsi hormonal melalui karakteristik reseptor hormon yang diekspresikan. Dengan demikian dapat memperjelas etiologi meningioma dan memberi masukan dalam penatalaksanaan serta pencegahan meningioma pada wanita.