• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR DAN KOMPOSISI KOMUNITAS SERANGGA PADA PERTANIAN PADI ORGANIK DAN KONVENSIONAL DI DESA SUMBER NGEPOH KABUPATEN MALANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRUKTUR DAN KOMPOSISI KOMUNITAS SERANGGA PADA PERTANIAN PADI ORGANIK DAN KONVENSIONAL DI DESA SUMBER NGEPOH KABUPATEN MALANG"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

STRUKTUR DAN KOMPOSISI KOMUNITAS SERANGGA PADA PERTANIAN PADI ORGANIK DAN KONVENSIONAL

DI DESA SUMBER NGEPOH KABUPATEN MALANG

Amelia Tridiptasari, Agus Dharmawan, Suhadi Jurusan Biologi

Universitas Negeri Malang Email: atridiptasari@gmail.com

ABSTRAK: Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji struktur dan komposisi komunitas

serangga yang berpotensi sebagai hama dan predator pada pertanian padi organik dan konvensional di Desa Sumber Ngepoh Kabupaten Malang. Pengambilan data dilakukan secara langsung dengan mencuplik rumpun padi. Hasil penelitian (1) ditemukan serangga pada pertanian padi organik dan konvensional terdiri dari 6 ordo, 13 famili, dan 22 spesies (2) nilai Indeks Nilai Penting serangga yang berpotensi sebagai hama yang tertinggi pada pertanian padi organik adalah Nezara viridula dan pada pertanian padi konvensional adalah Leptocorisa oratorius, sedangkan serangga predator dengan Indeks Nilai Penting tertinggi pada pertanian organik maupun konvensional adalah Conocephalus longipennis (3) pada pertanian padi organik maupun konvensional, nilai indeks keanekaragaman serangga (H’) memiliki kriteria sedang, indeks kemerataan serangga (E) memiliki kriteria tinggi, dan indeks kekayaan serangga (R) memiliki kriteria sedang. meskipun indeks kekayaan (R) pada kedua lahan memliki kriteria yang sama, hasil uji-t menunjukkan adanya perbedaan nilai R karena jumlah jenis pada pertanian padi konvensional lebih banyak dibandingkan pada lahan organik.

Kata kunci: struktur dan komposisi komunitas serangga, pertanian organik dan konvensional,

Desa Sumber Ngepoh

ABSTRACT: This study was conducted to examine the structure and composition of insect

communities that have the potential as a pest and predator on organic and conventional rice farming in Sumber Ngepoh Malang. Data is collected directly by clipping clumps of rice. The results of the study (1) found insects in rice farming organic and conventional consists of 6 orders, 13 families and 22 species (2) the community structure of insects that have the potential as a pest in rice farming organic based on the importance value index is the highest is Nezara viridula and on conventional rice farming is Leptocorisa, while an insect predator is Conocephalus longipennis on both farmland ( 3) in both farmland, the value of insect diversity index (H’) has the high criteria, insect evenness index (E) has medium criteria , and insect richness index (R) has medium criteria. Altough, the richness index of both farmland has the same criteria, the result of t-test showed that it has difference because in conventional farmland the insects are more than in organic farmland.

Keywords: insect community structure and composition, organic and conventional farming,

Sumber Ngepoh Village

Pertanian merupakan salah satu sektor yang mendominasi pada setiap negara berkembang, termasuk salah satunya adalah Indonesia. Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduknya bekerja pada bidang pertanian. Salah satu jenis pertanian terbesar adalah padi karena sebagian besar penduduk Indonesia

(2)

2

mengkonsumsi beras sebagai sumber pangan utama. Indonesia sebagai negara agraris belum mampu memenuhi kebutuhan pangan, terutama beras, bagi penduduk Indonesia.

Berbagai upaya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut, salah satunya yaitu dengan memanfaatkan energi dari luar, seperti penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang banyak dilakukan pada sistem pertanian konvensional. Ameriana (2008) berpendapat bahwa pengunaan pestisida secara tidak bijaksana dapat menimbulkan dampak negatif, terutama bagi lingkungan. Kartohardjono (2011) mengungkapkan bahwa aplikasi insektisida atau pestisida efektif mengendalikan hama secara parsial namun secara bersamaan juga membunuh musuh alami sebagai agen pengendali hama. Munculnya dampak negatif tersebut membuat beberapa petani memilih sistem pertanian organik yang lebih mengutamakan kesehatan lingkungan. Sistem pertanian organik merupakan sistem pertanian yang dapat memberikan solusi terhadap masalah terkait adanya pertanian konvensional (Wheeler, 2008). Pertanian organik mendukung kehidupan hewan, khususnya serangga. Adanya perbedaan sistem pertanian memungkinkan adanya perbedaan struktur dan komposisi komunitas serangganya. Penelitian mengenai struktur dan komposisi serangga yang berpotensi sebagai hama dan predator pada pertanian padi organik dan konvensional perlu dilakukan untuk mendeskripsikan serangga yang ada pada kedua lahan pertanian tersebut, menentukan spesies kunci, dan karakter habitat pada kedua sistem pertanian tersebut. Variabel yang diperlukan untuk mengetahui struktur komunitas adalah kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominasi relatif (DR), dan indeks nilai penting (INP), sedangkan untuk komposisi komunitas adalah indeks keanekaragaman (H’), indeks kemerataan (E), dan indeks kekayaan (R).

METODE

Penelitian ini bersifat deskripstif eksploratif dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian dilakukan pada bulan Februari-April 2016 di lahan pertanian padi organik dan konvensional di Desa Sumber Ngepoh Kabupaten Malang. Penelitian dilakukan pada fase generatif tanaman padi. Pengambilan data dilakukan pada 9 plot di setiap lahan dengan ukuran plot 5x5. Pengambilan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan pada lahan yang berbeda.

(3)

3

Pengambilan sampel menggunakan pencuplikan rumpun padi secara langsung. Pada setiap plot dicuplik 5 rumpun. Serangga yang ada pada rumpun padi diperangkap secara langsung. Serangga (yang berpotensi sebagai hama dan predator) yang berada pada rumpun yang tercuplik kemudian diidentifikasi kemudian dilakukan analisis data. Pengambilan sampel dilakukan pada pukul 08.00-14.00 WIB. Pengukuran faktor abiotik (suhu udara, kelembaban udara, intensitas cahaya, kecepatan angina) diukur pada setiap plot. Analisis data dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

1. Kerapatan (K)= , kerapatan relatif (Kr)=

2. Frekuensi (F)= , frekuensi relatif (Fr)=

3. Dominasi (D) = pi, pi= , dominasi Relatif (Dr) = pi x 100% 4. INP= Kr + Fr +Dr.

5. Indeks keanekaragaman Shannon – Wiener (H’)= -

(Pi lnPi) 6. Nilai kemerataan / Evenness E=

7. Nilai kekayaan / richness (R)= N S ln

1

8. Membandingkan nilai H’, E, dan R serangga pada pertanian padi organik dan konvensional dengan menggunakan uji statistika dengan uji-t.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Serangga yang Ditemukan Pada Pertanian Padi Organik dan Konvensional

Pada pertanian padi organik dankonvensional, ditemukan serangga (yang berpotensi sebagai hama dan predator) terdiri dari 6 ordo, 13 famili, dan 22 spesies. Pada pertanian padi organik ditemukan 13 spesies yang termasuk kedalam 5 ordo dan 11 famili. Dari 13 spesies tersebut, 7 serangga termasuk serangga yang berpotensi sebagai hama dan 6 serangga termasuk serangga predator. Pada pertanian padi konvensional, ditemukan serangga yang terdiri dari 5 ordo, 8 famili, dan 15 spesies. Dari 15 spesies tersebut, 11 serangga termasuk serangga yang berpotensi sebagai hama dan 4 serangga sebagai serangga predator.

(4)

4

Struktur Komunitas Serangga Pada Pertanian Padi Organik dan Konvensional

Struktur komunitas serangga pada pertanian padi organik berdasarkan nilai rerata KR, FR, DR, dan INP tersaji pada tabel 1.

Tabel 1. Rerata Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), Dominasi Relatif (DR) dan Indeks Nilai Penting (INP) Serangga pada Pertanian Padi Organik

No Taksa KR (%) FR (%) DR (%)

INP (%) Peran dalam ekolsistem 1 Conocephalus longipennis 18,9 15,6 18,9 53,5 Predator

2 Nezara viridula 19,65 14,06 19,65 53.36 Hama

3 Stenocoris sp. 16,49 11,72 16,49 44,70 Hama

4 Mylabris phalerata 9,82 11,72 9,82 31,37 Predator

5 Paederus littoralis 7,37 8,59 7,37 23,33 Predator

6 Locusta migratoria 7,02 8,59 7,02 22,63 Hama

7 Pantala sp. 3,86 6,25 3,86 14,97 Predator

8 Stenacris vitreipennis 3,86 5,47 3,86 13,19 Hama

9 Oxya javanica 3,16 4,69 3,16 11,00 Hama

10 Atractomorpha sp. 3,16 3,91 3,16 10,22 Hama

11 Apanteles sp. 2,46 3,91 2,46 8,82 Predator

12 Micraspis inops 2,46 3,13 2,46 8,04 Predator

13 Euetheola sp. 1,75 2,34 1,75 5,85 Hama

Total 100 100 100 300

Berdasarkan tabel 1 tersebut, serangga yang berpotensi sebagai hama dengan nilai KR, FR, DR, dan INP tertinggi adalah Nezara viridula, sedangkan serangga predator dengan nilai INP tertinggi adalah Conocephalus longipennis. Struktur komunitas serangga pada pertanian padi konvensional tersaji pada tabel 2.

(5)

5

Tabel 2. Rerata Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), Dominasi Relatif (DR), dan Indeks Nilai Penting (INP) Serangga pada Pertanian Padi Konvensional

No Taksa KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) Peran dalam ekolsistem

1 Leptocorisa oratorius 27,14 16,67 27,14 71,95 Hama

2 Atractomorpha sp. 11,43 8,73 11,43 31,59 Hama

3 Conocephalus longipennis 8,93 11,90 8,93 29,76 Predator

4 Locusta migratoria 9,64 10,32 9,64 29,60 Hama

5 Lucilia sericata 7,50 7,94 7,50 22,94 Hama

6 Lyorhyssus sp. 6,07 6,35 6,07 18,49 Hama

7 Oxya javanica 4,64 7,14 4,64 16,43 Hama

8 Locusta egiziana 4,64 5,56 4,64 14,84 Hama

9 Oxya chinensis 3,93 5,56 3,93 13,41 Hama

10 Mylabris phalerata 3,57 4,76 3,57 11,90 Predator

11 Acheta sp. 3,57 3,97 3,57 11,11 Predator 12 Pantala sp. 3,21 3,97 3,21 10,40 Predator 13 Oxya sp. 2,50 3,17 2,50 8,17 Hama 14 Cletus sp. 2,14 2,38 2,14 6,67 Hama 15 Cosmopepla sp. 1,07 1,59 1,07 3,73 Hama 100 100 100 300

Berdasarkan tabel 2 tersebut dapat diketahui bahwa struktur komunitas serangga pada pertanian padi konvensional berdasarkan nilai KR, FR, DR, dan INP tertinggi untuk serangga yang berpotensi sebagai hama adalah Leptocorisa oratorius sedangkan untuk serangga predator adalah Conocephalus longipennis.

Pada pertanian padi organik, stuktur komunitas serangga yang berpotensi sebagai hama berdasarkan nilai KR, FR, DR, dan INP yang tertinggi adalah N.viridula sedangkan pada pertanian konvensional adalah L. oratorius. N.viridula merupakan serangga dari ordo Hemiptera yang berpotensi sebagai hama karena menyerang batang, daun, dan bulir padi dengan cara menghisap cairan tanaman padi dengan tipe mulut penusuk penghisap yang dimiliki sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman padi terganggu selama masa hidup serangga ini (Rusdy, 2010). L. oratorius atau walang sangit merupakan hama utama dari ordo Hemiptera yang merusak tanaman padi dengan cara menghisap bulir padi pada fase matang susu dengan tipe mulut penusuk penghisapnya sehingga bulir menjadi hampa.

Perbedaan spesies kunci serangga yang berpotensi sebagai hama pada pertanian organik dan konvensional ini dapat dikarenakan perbedaan pengendalian hama pada

(6)

6

kedua sistem pertanian tersebut. Pada lahan pertanian padi organik, pengendalian hama dilakukan dengan pestisida nabati yang terbuat dari ekstrak daun sirsak, bawang merah, dan bawang putih. Ekstrak daun sirsak memberikan efek antifeedant bagi serangga hama sehingga serangga hama tidak lagi memakan bagian tanaman yang disukainya (Terrirawe, 2010). Selain itu ekstrak bawang putih menurut penelitan Yunni et al (2013) dalam Tigauw et al (2015) memiliki kandungan senyawa aktif seperti alkaloid, flavonoid, saponin, tannin, dan sulfur yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Tingginya INP N. viridula pada pertanian organik karena pestisida yang digunakan lebih berpengaruh terhadap walang sangit atau L.oratorius sehingga tidak ditemukan walang sangit pada pertanian padi organik. Tasirilotik (2015) telah melaporkan bahwa ekstrak daun sirsak dapat menyebabkan tingkat mortalitas walang sangit atau L.oratorius. Selain karena penggunaan pestisida nabati tersebut, tingginya nilai INP N. viridula karena serangga ini banyak ditemukan pada fase generatif padi. Sianipar et al (2015) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada 2 jenis serangga yang hanya muncul pada fase generatif padi, yaitu salah satunya N. viridula. Tingginya nilai INP L.oratorius pada lahan konvensional dapat dikarenakan penggunaan pestisida secara rutin yang menyebabkan serangga manjadi resisten terhadap pestisida.

Serangga predator yang menjadi spesies kunci pada pertanian organik maupun konvensional adalah Conocephalus longipennis. Karindah (2011) berpendapat bahwa belalang jenis C. longipennis ini merupakan serangga predator dari hama pada pertanian padi. Belalang dari ordo Orthoptera ini dapat menjadi spesies kunci pada pertanian padi organik karena pada pertanian organik tidak diaplikasikan pestisida yang bersifat kimiawi sehingga predator dapat hidup dengan baik pada pertanian padi organik. Pada pertanian padi konvensional, C. longipennis menjadi serangga predator sebagai spesies kunci karena terdapat banyak L.oratorius yang telurnya menjadi makanan C. longipennis. Makanan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan serangga. Jumar (2010) berpendapat bahwa apabila makanan tersedia dengan baik dengan kualitas yang cocok, maka populasi serangga akan naik, begitu pula sebaliknya.

(7)

7

Komposisi Komunitas Serangga Pada Pertanian Padi Organik dan Konvensional

Komposisi serangga berdasarkan nilai indeks keanekaragaman (H’), indeks kemerataan (E), dan indeks kekayaan (R) di pertanian padi organik pada 3 ulangan tersaji pada tabel 3 sedangkan untuk nilai H’, E, dan R serangga di pertanian padi konvensional pada 3 ulangan tersaji pada tabel 4.

Tabel 3. Indeks Keanekaragaman, Indeks Kemerataan, dan Indeks Kekayaan Serangga pada Pertanian Padi Organik

1 2 3 Jumlah Rerata Kriteria

H' 2,30 2,02 2,06 6,39 2,12 Sedang

E 0,89 0,79 0,81 2,49 0,83 Tinggi

R 2,56 2,57 2,80 7,94 2,64 Sedang

Tabel 4. Indeks Keanekaragaman, Indeks Kemerataan, dan Indeks Kekayaan Serangga pada Pertanian Padi Konvensional

1 2 3 Jumlah Rerata Kriteria

H' 1,99 2,42 2,35 6,77 2,26 Sedang

E 0,74 0,89 0,85 2,50 0,83 Tinggi

R 3,16 3,10 2,98 9,25 3,08 Sedang

Berdasarkan tabel 3 dan tabel 4, dapat dikatakan bahwa nilai indeks keanekaragaman (H’) komunitas serangga pada pertanian padi organik dan konvensional adalah sedang karena masuk dalam kategori 1 < H’ <3 (Nurudin, 2013). Nilai indeks kemerataan (E) komunitas serangga pada pertanian padi organik dan konvensional memiliki kriteria tinggi karena nilai E > 6 ( Insafitri, 2010). Nilai indeks kekayaan (R) komunitas serangga pada pertanian padi organik dan konvensional adalah sedang karena termasuk dalam kategori 0,4 < E < 0,6 (Insafitri, 2010).

Nilai indeks keanekaragaman serangga dengan kategori sedang tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti misalnya karakteristik habitat dan ekosistem, luasan area, dan cara pengelolaan habitat atau ekosistem. Berdasarkan hasil di lapangan diketahui bahwa karakteristik habitat dan ekosistem pada penelitian ini merupakan buatan manusia. Karakteristik habitat atau ekosistem ini mempengaruhi terhadap nilai indeks keanekaragaman dengan kategori sedang karena pada ekosistem buatan, kondisi ekosistem yang cenderung homogen sehingga jenis serangga yang ditemukan memiliki keanekaragaman yang kecil ataupun sedang. Kriteria sedang pada indeks

(8)

8

keanekaragaman serangga dapat disebabkan juga oleh pengendalian hama di sawah tersebut. Pengendalian hama juga akan mempengaruhi distribusi jumlah hama. Distribusi jumlah individu juga dapat mempengaruhi nilai indeks keanekaragaman. Nelly et al (2015) berpendapat yang sama yaitu tingginya nilai keanekaragaman serangga pada suatu ekosistem juga ditentukan oleh distribusi jumlah individu pada tiap ekosistem. Pengendalian hama pada pertanian padi konvensional dengan pestisida maupun insektisida akan menurunkan populasi serangga, termasuk predator. Tauruslina et al (2015) menyatakan bahwa penggunaan insektisida pada lahan pertanian secara intensif dapat menyebabkan penurunan populasi serangga predator. Berdasarkan hasil uji-t diketahui bahwa tidak ada perbedaan nlai indeks keanearagaman serangga pada pertanian padi organik dan konvensional. Nilai indeks keanekaragaman pada kedua lahan pertanian tidak berbeda karena pada kedua lahan tersebut merupakan ekosistem buatan manusia yang ekosistemnya terkendali secara fisik. Keanekaragaman jenis cenderung rendah atau sedang pada ekosistem yang memiliki faktor pembatas yang kuat serta lingkungan yang dikendalikan secara fisik dan akan meningkat pada suatu ekosistem yang tidak diatur atau berlangsung secara alami. Rohman (2008) menyatakan bahwa keanekaragaman Arthropoda rendah hingga sedang dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu komunitas terkait merupakan komunitas binaan yang keberadaannya lebih banyak dikelola manusia, adanya alih guna lahan sehingga terjadi perubahan ruang hidup bagi suatu organisme, mikroklimat yang terdapat di area ekosistem, serta terjadi kompetisi diantara biota penghuni ekosistem terkait.

Indeks kemerataan (E) merupakan nilai jumlah individu dalam anggota populasi yang menyusun suatu komunitas. Nilai indeks kemerataan serangga yang pada pertanian padi organik dan konvensional dapat dikategorikan kemerataan tinggi, artinya jumlah individu dari setiap jenis pada area pertanian padi organik maupun konvensional merata. Keadaan ini memberikan makna bahwa tidak ada jenis yang dominan atau sub-dominan dalam area penelitian, sehingga tiap individu memiliki kesempatan yang sama dalam komunitas tersebut untuk dapat menjalankan fungsi ekologisnya, baik itu sebagai herbivor, parasitoid, ataupun predator. Sanjaya & Dibiyantoro (2012) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai indeks kemerataan, maka semakin sama kesempatan dari setiap jenis serangga dalam komunitas tersebut. Berdasarkan hasil uji-t diketahui bahwa

(9)

9

tidak ada perbedaan nilai indeks kemerataan serangga pada pertanian organik dan konvensional. Tidak adanya perbedaan ini menggambarkan bahwa serangga yang berada pada kedua lahan memiliki kesempatan yang sama dalam memanfaatkan habitat bagi jenis serangga baik hama maupun predator.

Parameter ketiga yang dihitung untuk mengetahui komposisi komunitas yaitu indeks kekayaan. Besarnya nilai indeks kekayaan sangat dipengaruhi oleh jumlah jenis serangga yang ditemukan di lahan pertanian. Indeks kekayaan serangga pada pertanian padi organik dan konvensional memiliki kriteria yang sama yaitu sedang. Tinggi rendahnya nilai indeks kekayaan serangga yang ditemukan disebabkan karena ketersediaan makanan yang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan naik atau turunnya populasi serangga. Yatno et al (2013) menyatakan bahwa ketersediaan makanan dengan kualitas yang cocok dan kuantitas yang cukup akan menyebabkan naiknya populasi dengan cepat begitu pula sebaliknya. Pada kedua lahan tersebut, ketersediaan makanan bagi hama terbatas karena penendalian hama yang dilakukan.

PENUTUP Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa serangga yang ditemukan pada lahan pertanian padi organik terdiri dari 5 ordo, 11 famili, dan 13 spesies, sedangkan pada pertanian padi konvensional serangga yang ditemukan terdiri dari 5 ordo, 8 famili, dan 15 spesies. Struktur komunitas serangga pada pertanian padi organik berdasarkan nilai KR, FR, DR, dan INP tertinggi sehingga menjadi spesies kunci, untuk serangga yang berpotensi sebagai hama adalah Nezara viridula dan pada pertanian padi konvensional adalah Leptocorisa oratorius, sedangkan serangga predator pada pertanian padi organik dan konvensional dengan nilai KR, FR, DR, dan INP tertinggi adalah Conocephalus longipennis. Komposisi komunitas serangga berdasarkan nilai indeks keanekaragaman (H’), indeks kemerataan (E), dan indeks kekayaan (R) memiliki kriteria yang sama yaitu nilai H’ dengan kriteria sedang, nilai E dengan kriteria tinggi, dan nilai R dengan kriteria sedang. Berdasarkan hasil uji-t diketahui bahwa nilai indeks kekayaan (R) pada pertanian padi organik dan konvensional terdapat perbedaan.

(10)

10

Saran

Berdasarkan simpulan di atas, maka saran/rekomendasi yang diajukan adalah perlu adanya pengawasan atau monitoring terhadap serangga yang berpotensi sebagai hama pada pertanian padi organik, selain pada jenis Leptocorisa oratorius. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pestisida nabati yang mampu mengandalikan hama yang menjadi spesies kunci pada pertanian padi organik, yaitu Nezara viridula. Penggunaan insektisida maupun pestisida pada pertanian padi konvensional perlu lebih bijaksana agar tidak membunuh serangga predatr dan tidak menyebabkan resistensi pada serangga yang berpotensi manjadi hama.

DAFTAR RUJUKAN

Ameriana. 2008. Perilaku Petani Sayuran dalam Menggunakan Pestisida Kimia. Jurnal Hortikultura, (Online), 18(1): 95-106

(http://hortikultura.litbang.pertanian.go.id/), diakses 5 Januari 2016

Insafitri, 2010. Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Bivalvia di Area Buangan Lumpur Lapindo Muara Sungai Porong. Jurnal Kelautan, 3(1):54-59 Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Rineka Cipta. Jakarta

Karindah,S. 2011.Predation of Five Generalist Predators on Brown Planthopper (Nilaparvata lugens Stål). Jurnal Entomologi Indonesia, 8(2):55-62

Kartohardjono, A. 2011. Penggunaan Musuh Alami Sebagai Komponen Pengendalian Hama Padi Berbasis Ekologi. Pengembangan Inovasi Pertanian, 4(1): 29-46 Nelly, N., Yaherwandi & Effendi,S. 2015. Keanekaragaman Coccinelidae Predator dan

Kutu Daun (Aphididae spp.) pada Ekosistem Pertanaman Cabai. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, (Online),1(2):247-253,(http://biodiversitas.mipa.uns. ac.id/M /M0102/M0 10213. pdf), diakses pada 13 Maret 2016

Nurudin, F,A. 2013. Keanekaragaman Jenis Ikan di Sungai Sekonyer Taman Nasional Tanjung Putting Kalimantan Tengah. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: Universitas Negeri Semarang

Rohman, F. 2008. Struktur Komunitas Tumbuhan Liar dan Arthropoda sebagai Komponen Evaluasi Agroekosistem di Kebun Teh Wonosari Singosari Kabupaten Malang. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Brawijaya Rusdy, A. 2010. Pemberian Pupuk Hayati dan Fosfor Pada Padi Gogo Terhadap

(11)

11

Sanjaya, Y & Dibiyantoro, L.H. 2012. Keragaman Serangga pada Tanaman Cabai (Capsicum annum) yang Diberi Pestisida Sintetis Versus Biopestisida Racun Laba-Laba (Nephila sp.).Jurnal HPT Tropika, (Online), 12 (2): 192-199, (www.hpttropica.org), diakses 27 Desember 2015.

Sianipar, M,S., Djaya, L., Santosa, E., & Soesilohadi,H. 2015. Indeks Keragaman Serangga Hama Pada Tanaman Padi (Oryza sativa L.) di Lahan Persawahan Padi Dataran Tinggi Desa Sukawening, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Malang. Jurnal Bioma, 17(1):9-15

Tasirilotik, F. 2015. Uji Efektivitas Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata L.) Sebagai Bahan Pestisida Organik Terhadap Mortalitas Hama Walang Sangit. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universtas Sanata Dharma

Tauruslina, E., Trizelia., Yaherwandi., & Hamid, H. 2015. Analisis Keanekaragaman Hayati Musuh Alami Pada Ekosistem Padi Sawah di Endemik dan Non-Endemik Wereng Batang Coklat Nilaparvata lugens di Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversity Indonesia, 1(2) : 581-589 Tigauw, S.M.I., Salaki,C.L., & Manueke,J. 2015. Efektivitas Ekstrak Bawang Putih

Dan Tembakau Terhadap Kutu Daun (Myzuz persicae Sulz.) Pada Tanaman Cabai (Capsicum sp.). Jurnal Eugenia, 21(3): 135-142

Terrirawe, A. 2011. Pengaruh Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata L.) Terhadap Mortalitas Larva (Helicoverpa armigera) pada Jagung, Balai Penelitian Tanaman Serealis, 512-529

Wheeler, S.A. 2008. What influences agricultural professionals' views towards organic agriculture. Ecological Economics. 65 : 145-154.

Yatno., Flora, P & Wahid. 2013. Keanekaragaman Arthropoda pada Pertanaman Kakao (Theobroma cacao L. ) di Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi. Jurnal Agroteknis, 1(5): 421-428

Yenie, E., Shinta, E., Anggi, K., & Muhammad, I. 2013. Pembuatan Pestisida Organik Menggunakan Metode Ekstraksi dan Sampah Daun Papaya dan Umbi Bawang Putih. Jurnal Teknik Lingkungan UNAND, 10(1):46-59

Referensi

Dokumen terkait

Sebagaimana watak Cempaka yang tidak mempunyai sebarang kekurangan dari aspek mendapatkan pakaian yang sempurna dalam novel Trilogi Cinta , keperluan mendapatkan pakaian

Tidak memiliki dukungan dana yang memadai, pemerintah Desa Grobogan tidak akan mampu membayai program-program pembangunan desa sesuai esensi masalah dan prioritas

Kedua, halaqah artinya lingkaran. Halaqah merupakan institusi pendidikan Islam setingkat dengan pendidikan tingkat lanjutan atau college. Sistem ini merupakan gambaran

Untuk kelas non-ginjal, akurasi yang diperoleh sama dengan akurasi yang diperoleh pada iterasi pertama di percobaan pertama, yaitu sebesar 83,33% dengan

Pada dasarnya kata kerja –te iku dan –te kuru memiliki cara penggunaan dalam arti yang berlawanan, yaitu kata kerja –te iku digunakan untuk menunjukan aktivitas perpindahan

menggambarkan tentang latar tempat di Masjid Pesantren Al Furqan. Saat azan berkumandang, Syamsul keluar dari kamar tempat ia istirahat. Ia ingin merasakan shalat berjamaah. Masjid

Petugas menia'kan alatalat ang su%a, %isterilisasi untuk  melakukan tin%akan be%a, minor aitu 'enabutan gigi sulung %an gigi teta' baik %engan anastesi loal

indica yang diduga resisten-glifosat dikumpulkan dari perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Langkat (Tabel 1 dan Gambar 1), dilakukan dengan cara mengambil biji