PEMBAYARAAN UANG GANTI RUGI AKIBAT PEMBATALAN
SEWA MENYEWA BUS DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Jurusan Ekonomi Syariah
Oleh
M. JAMIL
310.252
FAKULTAS SYARIAH
vi ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Pembayaran Uang Ganti Rugi Akibat Pembatalan Sewa Menyewa Bus Ditinjau Dari Hukum Islam”, yang ditulis oleh M. Jamil, NIM, 310.252, mahasiswa Fakultas Syari’ah Jurusan Hukum Ekonomi Islam, UIN Imam Bonjol Padang, 2017. Penelitian ini dilatar belakangi oleh praktek sewa menyewa pada PO Jasa Malindo, yang menerapkan uang muka serta uang ganti rugi jika terjadi pembatalan, meskipun pembatalan tersebut karena memang bus yang dipesan tidak sesuai dengan yang dipesan oleh penyewa, seperti yang terjadi pada kasus Jendi dan kawan-kawan yang melakukan penyewaan bus isi 20 orang dan bisa memuat barang. Namun pada hari yang telah disepakati pihak PO mendatang isi 20 orang akan tetapi tidak bisa memuat barang. Kondisi ini tentu dituntut oleh Jendi dan kawan-kawan, lalu pihak PO membawa bus isi 16 orang dan ada tempat untuk memuat barang. Akhirnya pihak Jendi mengambil bus isi 16 orang itu, dan tidak mengambil bus isi 20 orang tersebut. Akan tetapi pihak bus menganggap pihak Jendi dan kawan-kawan telah melakukan pembatalan sewa bus isi 20 orang dan meminta pihak Jendi untuk membayar uang ganti rugi sebesar Rp. 350.000. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pembayaran uang ganti rugi akibat pembatalan sewa menyewa Bus. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif yakni menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya dan menganalisisnya dengan menggunakan logika ilmiah. Sumber data dalam penelitian ini adalah pemilik bus, supir, kernek, dan penyewa bus Jasa Malindo. Teknik pengumpulan data yang terdiri dari observasi dan wawancara, kemudian data dianalisis dengan metode induktif. Hasil penelitian ini adalah tinjauan Hukum Islam terhadap pembayaran uang ganti rugi disebabkan oleh pembatalan sewa Bus dengan membayar uang ganti rugi tersebut tidak sah. Karena kesalahan bukan pada pihak penyewa, tapi pada pihak PO Jasa Malindo, hal ini disebabkan tidak terpenuhinya syarat dari barang yang disewakan tersebut, sebagaimana kesepakatan awal antara pihak penyewa (mahasiswa) dan pihak yang menyewakan (PO Jasa Malindo).
iv
Rasa puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi yang diajukan untuk meraih gelar Sarjana
Hukum pada jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah Fakultas Syari’ah UIN Imam
Bonjol Padang dengan judul “Pembayaran Uang Ganti Rugi Akibat
Pembatalan Sewa Menyewa Bus Ditinjau Dari Hukum Islam”.
Selanjutnya syalawat beriringan salam semoga tercurah kepada
baginda Rasulullah SAW, yang telah memberi cahaya untuk kehidupan di
dunia. Kemudian berakat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, oleh karena itu penulis
ucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Rektor, Wakil rektor, serta seluruh karyawan/ti UIN Imam Bonjol
Padang.
2. Bapak Dekan, Pembantu Dekan, dosen, serta seluruh karyawan/ti
Fakultas Ekonomi Bisnis Islam UIN Imam Bonjol Padang.
3. Bapak Ketua, Pembantu Ketua dan Sekretaris Jurusan Hukum Ekonomi
Syari’ah serta seluruh dosen, karyawan/ti Jurusan Hukum Ekonomi
v
4. Ibuk Maidawati, SE, M.Si Selaku Pembimbing I dan Ibuk Dr. Hamda
Sulfinadia, M.Ag Selaku pembimbing II yang telah memberikan arahan
dan bimbingan hingga proses penyusunan skripsi ini selesai.
5. Pimpinan serta karyawan/ti perpustakaan Institut dan Fakultas Hukum
Ekonomi Syari’ah UIN IB yang telah membantu penulis menyediakan
literatur yang dibutuhkan dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Bapak/Ibu Dosen yang telah membekali dengan ilmu pengetahuan serta
seluruh karyawan/ti UIN Imam Bonjol Padang
7. Bakti dan ucapan terima kasih terdalam juga penulis sampaikan kepada
Ayahanda Ahmad Yusuf dan Ibunda Suhelmi tercinta, yang tentunya tidak
sedikit peranannya dalam mewujudkan cita-cita penulis, serta seluruh
anggota keluarga yang tercinta, dan rekan-rekan angkatan 2010 yang
telah banyak memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini
masih juah dari kesempurnaan, untuk itu penulis menerima kritik dan saran
yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi
ini. Akhirnya hanya kepada Allah SWT berserah yang Maha luas ilmunya dan
Maha Bijaksana
Padang, 25 Agustus 2017 Penulis
viii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vi
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah ... 1
2. Rumusan Masalah ... 6
3. Pertanyaan Penelitian ... 6
4. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7
5. Signifikansi Penelitian ... 7
6. Studi Literatur ... 7
7. Kerangka Teori Penelitian ... 10
8. Metode Penelitian ... 12
BAB II IJARAH DALAM FIQIH MUAMALAH 1. Pengertian dan Dasar Hukum Ijarah ... 15
1.1. Pengertian Ijarah ... 15
1.2. Dasar Hukum Ijarah ... 19
2. Rukun dan Syarat Ijarah ... 27
2.1. Rukun Ijarah ... 27
2.2. Syarat Ijarah ... 30
2.3. Syarat Sah Ijarah ... 35
3. Bentuk-bentuk Ijarah dan Berakhirnya Ijarah ... 37
3.1. Bentuk-Bentuk Ijarah ... 37
3.2. Berakhirnya Ijarah ... 42
ix
BAB III GAMBARAN TENTANG PROSEDUR KERJA SUPIR BUS PO JASA MALINDO
1. Sejarah Berdiri PO Jasa Malindo ... 46
2. Visi dan Misi ... 48
3. Struktur Organisasi ... 48
4. Aturan-Aturan yang Berlaku di PO Jasa Malindo ... 51
5. Standar Operasinal Prosedur (SOP) Jasa Malindo ... 53
6. Sistem Pengumpahan atau Gaji ... 60
7. Aturan Ganti Rugi di PO Jasa Malindo ... 62
BAB IV Pelaksanaan Sewa Menyewa pada PO Jasa Malindo dan Tinjauannya dari Hukum Islam 1. Pelaksanaan Sewa Menyewa pada PO Jasa Malindo ... 64
2. Pandangan Hukum Islam Terhadap Pembayaran Uang Cas Akibat Pembatalan Sewa Menyewa Bus PO. Jasa Malindo ... 66
BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan ... 74
2. Saran ... 74 DAFTAR PUSTAKA
1 1. Latar Belakang Masalah
Manusia memerlukan harta untuk memenuhi segala kebutuhannya, oleh sebab itu manusia akan selalu berusaha memperoleh harta kekayaan dan memilikinya. Setiap orang bebas mencari harta sebanyak-banyaknya, tetapi cara mendapatkan harta itu tidak boleh melanggar aturan syarak dan merugikan kepentingan orang lain baik pribadi maupun masyarakat. (Dahlan, 1996, 1177)
Di dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia melakukan berbagai macam cara seperti jual beli, bertani, berdagang, buruh, pinjam-meminjam dan ada yang melakukan akad sewa-menyewa, yang dalam kitab fiqih di sebut dengan ijarah. Ijarah itu sendiri mempunyai pengertian yang sangat luas, salah satunya adalah menjual manfaat suatu benda, bukan menjual benda itu sendiri.
Ulama hanafiyah mengartikan ijarah yang berisi pemilikan manfaat tertentu dari suatu benda yang diganti dengan pembayaran dalam jumlah yang disepakati.( Rozalinda dalam al-Zuhaili, 1994, 103) Di dalam istilah lain disebutkan bahwa ijarah adalah suatu akad yang berisi pengambilan manfaat suatu benda dengan sejumlah penggantian. Islam memboleh Ijarah berdasarkan surat Ath-Thallaq ayat 6:
2
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (Qs: Ath-Thalaaq:6) (Depag RI, 2002, 491)
Islam membagi ijarah dari segi objeknya kepada dua bentuk :
1.1. Ijarah terhadap manfaat suatu benda dikenal dengan sewa-menyewa
1.2. Ijarah terhadap perbuatan atau tenaga manusia yang diistilahkan dengan upah mengupah. (Pasaribu dan Suhrawardi, 1994, 92) Ijarah dapat dikatakan sah apabila telah tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian dan juga terpenuhi rukun dan syaratnya. Ijarah merupakan salah satu cara untuk memiliki suatu benda atau harta yang bersifat naqis atau tidak sempurna, yaitu seseorang memiliki salah satu dari unsur harta atau benda tersebut (Sudarsono, 1992,55).
Sewa menyewa dalam Islam merupakan persoalan yang mendapat perhatian yang cukup besar. Pada dasarnya sewa menyewa merupakan salah satu pokok persoalan dalam aktivitas kehidupan manusia mengenai sewa menyewa diatur dalam alquran yaitu Surat Al-Qashash ayat 26
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (QS. Al-Qashas: 26) (Depag RI, 2002, 388)
Berdasarkan rumusan di atas jelaslah bahwa sewa menyewa dalam Islam berlaku bagi zat maupun manfaat dari suatu benda, kebebasan dan keselamatan dalam sewa menyewa dijamin oleh hukum. Oleh sebab itu sewa menyewayang dilarang dalam Islam adalahsewa menyewa yang tidak ada manfaat nya merupakan tindakan merugi orang lain.
Sewa menyewa dalam Islam dibagi dua macam yaitu:
1.3. Sewa menyewa barang adalah hukum syar’i yang terkandung dalam suatu barang atau kegunaannya manfaatnya atas benda yang menuntut adanya kesempatan seseorang dengan orang lain untuk memanfaatkan dan menggunakan dengan jalan penguasaan yang ditentukan waktunya.
1.4. Sewa menyewa jasa adalah hukum syara’ yang diberlakukan untuk menyewa manusia dalam hal memberikan tenaga atau kepandaian seseorang dalam suatu pekerjaan dan mendapatkan upah atas pekerjaan tersebut (Sudarsono, 1992,55).
Sewa menyewa harus terpenuhi rukun dan syaratnya agar tidak adanya kemudaratan yang timbul akibat dari sewa menyewa tersebut. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 188
…..
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil… (Al-Baqarah: 188) (Depag RI, 2002, 29)
4
bertransaksi haruslah dengan cara yang disyri’atkan oleh Allah dan menghindarkan diri dari dari cara-cara yang tidak halal.
Salah satu bentuk sewa menyewa transportasi yang terjadi pada PO Jasa Malinto. Alat Transportasi yang disediakan oleh PO. Jasa Malindo adalah berupa mobil ( bus ). Daerah trayek yang dilalui bus PO. Jasa Malindo adalah daerah ( Padang – Solok ).
Berdasarkan keterangan yang penulis dapatkan dari pihak PO. Jasa Malindo yang bernama Surya Adi Putra, akrab dipanggil Surya, bahwa apabila terjadi sewa menyewa bus PO. Jasa Malindo diluar daerah trayek (Padang-Solok ), maka pihak penyewa memberikan uang muka minimal Rp. 150.000,- kepada pihak PO. Jasa Malindo sebagai tanda bukti sewa menyewa. Sedangkan untuk sewa menyewa yang masih didalam daerah trayek ( Padang-Solok ), maka uang mukanya Rp. 100.000,-. Apabila mobil atau bus yang sudah dibayar uang muka, kemudian sewa menyewa batal, maka uang yang sudah dibayarkan hilang, serta penyewa harus membayar uang cas sebesar Rp. 350.000,- .(Putra, 2016)
Besarnya uang sewa satu unit mobil atau bus ditentukan sesuai jarak yang ditempuh. Sebagai contoh sewa menyewa yang dilakukan oleh mahasiswa Kuliah Kerja Nyata IAIN Imam Bonjol Padang. Jendri (mahasiswa fakultas tarbiyah ) mengatakan dia menyewa kendaraan atau bus 1 unit untuk pergi KKN Solok Selatan.Uang sewa sebesar Rp. 1.550.000,-sudah termasuk uang muka. Dia memberikan uang tanda jadi (uang muka ) sebesar Rp.1.50.000,- kepada pihak PO. Jasa Malindo, sedangkan pihak PO. Jasa Malindo memberikan karcis untuk tanda bukti sewa menyewa tersebut. Dia memesan bus isi 20 orang untuk teman-teman kelompoknya.(Jendri, 2016)
dia mengatakan apabila kendaraan tersebut hanya untuk mengantar saja, dan apabila tidak jadi berangkat uang muka tersebut hilang. (Ifdal, 2016)
Keterangan penulis dapatkan dari pihak yang telah melakukan sewa menyewa pada PO. Jasa Malindo padang yaitu bernama Rio Maharta mahasiswa UNP (Universitas Negeri Padang ) bahwa bus yang disewa tersebut batal maka Mahasiswa membayar uang Ganti Rugi pada pihak PT . Malindo sebesar Rp. 350.000,-. Sebagai uang Ganti Rugi pada PO. Jasa Malindo akibat pembatalan sewa menyewa. (Maharta, 2016)
Mahasiswa tersebut melakukan sewa menyewa sesuai dengan kesepakatan yang ada pada PO. Jasa Malindo karena adanya penerapan pembayaran uang Ganti Rugi apabila terjadi pembatalan sewa menyewa tersebut. Sedangkan pihak PO. Jasa Malindo menerapkan pembayaran uang Ganti Rugi akibat pembatalan sewa menyewa karena waktu operasinalnya ( menambang ) berkurang dari biasanya (Danuarta, 2016)
Namun pada hari keberangkatan yang sudah ditentukan, pihak PO. Jasa Malindo mendatangkan dua unit bus untuk kelompok Jendri. Satu unit bus isi 20 orang satunya lagi bus isi 16 orang, bus yang isinya 20 orang tersebut tidak bisa dimuat barang- barang, sedangkan bus yang isinya 16 orang masih bisa dimuat barang ditenda atau diatapnya.
Oleh teman-teman Jendri masing- masing membawa barang, maka mereka berangkat pakai bus yang isinya 16 orang, sedangkan mereka tidak memesan bus tersebut karena yang mereka pesan adalah bus isi 20 orang. Akhirnya bus isi 20 orang tersebut batal untuk disewa karena sewa menyewa terhadap bus isi 20 orang batal, maka Jendri dan teman-temannya harus membayar uang Ganti Rugi sebesar Rp. 350.000,- dan uang muka yang sudah mereka bayar hilang.
6
Pihak PO. Jasa Malindo meminta uang cas akibat pembatalan sewa menyewa tersebut.
Penulis melihat ada suatu permasalahan yaitu mahasiswa harus membayar uang ganti rugi kepada pihak PO. Jasa Malindo sebagai akibat dari pembatalan sewa menyewa bus. Sedangkan bus yang batal itu tidak sesuai dengan kapasitas mahasiswa tersebut. Untuk menjawab permasalahan ini maka penulis bermaksud untuk meneliti lebih dalam berupa skripsi berjudul “Pembayaran Uang Ganti Rugi Akibat Pembatalan Sewa Menyewa Bus Ditinjau Dari Hukum Islam “
2. Rumusan Masalah
Di dalam suatu penelitian merumuskan masalah adalah suatu hal yang sangat penting, agar penelitian dapat dilakukan dengan titik fokus yang jelas dan mencapai hasil yang diharapkan. Apabila masalah telah di rumuskan, maka sasaran yang dituju dalam penelitian akan tercapai. Untuk itu dalam penelitian ini rumusan masalahnya yaitu: Bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap pembayaran uang ganti rugi akibat pembatalan sewa menyewa Bus?
3. Pertanyaan Penelitian
3.1. Bagaimana pelaksanaan pembayaran uang ganti rugi akibat pembatalan sewa menyewa Bus di PO Jasa Malindo?
3.2. Bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap pembayaran uang ganti rugi akibat pembatalan sewa menyewa Bus di PO Jasa Malindo? 4. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
4.1. Tujuan Penelelitian
4.1.2. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam terhadap pembayaran uang ganti rugi akibat pembatalan sewa menyewa Bus di PO Jasa Malindo
4.2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
4.2.1. Sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar kesarjanaan 4.2.2. Menambah pengetahuan dan kemampuan penulis dalam
memahami dan menganalisa permasalahan sewa menyewa.
5. Signifikansi Penelitian
Signifikansi penelitian ini adalah sebagai berikut : 5.1. Segi Akademis
5.1.1. Diharapkan dapat memperkaya kajian dalam permasalahan sewa menyewa, khususnya mengenai pembayaran uang ganti rugi akibat pembatalan sewa menyewa Bus di PO Jasa Malindo. 5.1.2. Memberikan saran dan pengembangan pada sistem sewa
menyewa Bus di PO Jasa Malindo. 5.2. Segi Praktis
5.2.1. Memberikan gambaran mengenai pelaksanaan pembayaran uang ganti rugi akibat pembatalan sewa menyewa Bus di PO Jasa Malindo
5.2.2. Memberikan masukan dan pertimbangan pada PO Jasa Malindo tentang bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap pembayaran uang ganti rugi akibat pembatalan sewa menyewa Bus di PO Jasa Malindo.
8
Dalam studi literature ini dideskripsikan beberapa karya ilmiah yang pernah ada untuk memastikan orisi alitas, sekaligus sebagai salah satu kebutuhan ilmiah yang berguna untuk memberikan batasan kejelasan pemahaman informasi yang telah didapat. Perlu diketahui, baik buku maupun karya ilmiah penulis belum menemukan yang membahas secara khusus tentang masalah pembayaran uang ganti rugi akibat pembatalan sewa bus.
Buku yang ditulis Ahmad Azhar Basyir (2000) yang berjudul Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam) menjelaskan bahwa kaidah-kaidah-kaidah umum dalam ajaran Islam menentukan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan dalam keadaan sehat akal dan bebas menentukan pilihan (tidak dipaksa). Oleh karenanya, tujuan akal memperoleh tempat penting untuk menentukan suatu akad dipandang sah atau batil, dipandang halal dan haram,sehingga tujuan akad mempunyai arti secara formal terjadi dan dapat mengubah juga nilai hukumnya. Semuanya itu, dipengaruhi mengenai hubungan niat dan perkataan dalam akad menurut ketentuan syariat Islam.
Kemudian tulisan dalam skripsi sebagaimana yang ditulis oleh Yulita Herawanti, Bp. 303.171, dengan judul “Menyewakan Barang Gadaian (Al-Marhun) Kepada Orang Lain Di Desa Betung Kuning Hilang Kecamatan Sitinjau Laut Kabupaten Kerinci Ditinjau Dari
Hukum Islam”. Dengan rumusan masalah bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap penyewaan barang gandai (al-marhun) kepada orang lain yang terjadi di desa Betung Kuning Hilang Kecamatan Sitinjau Laut Kabupaten Kerinci.
Zul Hera Listati BP. 303 091, judul skripsinya ” Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sewa Menyewa Pakaian renang Studi Analisi di Kolam
Renang Teratai GOR. H. Agus Salim”, yang membahas tentang bagaimana hukum sewa menyewa pakaian renang yang terjadi di kolam renang teratai GOR H. Agus Salim jika di tinjau dari hukum Islam.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut Zul Hera Listati menyatakan bahwa sewa menyewa yang dilakukan secara lisan dan dengan menyerahkan uang kepada petugas atau pemilik pakaian tersebut.
Skripsi yang ditulis oleh Lusiana Oktavia, BP. 307. 382 dengan judul “Tinjauan Fiqh Muamalah Terkhusus Pada Prinsip-Prinsip Fiqh Muamalah Terhadap Praktek Sewa Menyewa Karangan Bunga Duka Di Kecamatan Kuranji Kota Padang”, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pandangan fiqh muamalah terhadap praktek sewa menyewa karangan bunga dari segi fiqh muamalah?
10
5) Terhadap Resiko dalam Sewa-Menyewa Karangan Bunga di Kecamatan Kuranji tidak bertentang dengan aturan-aturan hukum Islam, hal ini dikarenakan jalan yang diambil untuk menyelesaikan perselisihan diantara mereka adalah dengan cara musyawarah (kekeluargaan).
Dari buku dan skripsi yang ditelusuri, tidak ditemukan persamaan pembahasan dengan permasalahan yang akan diteliti ini. Dalam penelitian ini penulis membahas tentang tinjauan Hukum Islam terhadap pembayaran uang ganti rugi akibat pembatalan sewa menyewa Bus di PO Jasa Malindo 7. Kerangka Teori Penelitian
Praktek sewa-menyewa di tengah-tengah masyrakat banyak sekali jenis dan ragamnya selain itu juga menimbulkan persoalan-persoalan di dalamnya baik yang meyangkut barang sewaan,akad,syarat-syarat dan yang membatalkan sewa-menyewa. Dengan demikkina apabila tidak ada aturan hukum dan norma-norma yang tepat maka sudah barang tentu akan menimbulkan bencana dan kerusakan dalam masyarakat. Menurut hukum Islam sewa-menyewa adalah amal ibadah yang sangat erat kaitannya dengan tolong-menolong yang bisa membantu dalam memenuhi kehidupannya yang layak bagi orang-orang yang membutuhkannya.
Adapun ketentuan dalam Al-quran tentang sewa-menyewa terdapat dalam surat az-Zuhruf ayat 32, yaitu:
mereka agar mereka dapat mempergunakan yang lainnya dan rahmat tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”(Q.S. az-Zuhruf:32)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT memberikan kelebihan sebagian hamba atas sebagian yang lain, ada yang kaya dan ada yang lemah, ada yang pandai dan ada yang bodoh, ada yang maju dan ada yang terbelakang, salah satu caranya adalah dengan melakukan akad ijarah (sewa menyewa) karena dengan adanya akad ijarah (sewa menyewa) antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dapat saling membantu (Cahaya, 2011, 108-109).
Dalam urusan sewa-menyewa nabipun telah menganjurkan kepada para sahabat,sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari sa’ad bin waqash r.a berkata:
صاقو ىبا نبدعس نع
ىركن انك:لاق ملسو هيلع الله ىلص الله لوسر نا
ملسو هيلع الله ىلص الله لوسر ىهنف عرزلا نم ىقاوسلا ىلع امب ضرلأا
قرو وأ بهذب اهيركن نا انرماو كلذ نع
.
)
هاور
وبا ,دمحأ
ىئاسنلا و دواد
(Dari Sa’ad bin Abi Waqqash sesungguhnya Rasul SAW bersabda: dahulu kami menyewa tanah dengan (jalan membayar dari) tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang emas dan perak. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasa'i). (Nasaiy, 1994, 271)
Dalam kontrak sewa adanya persetujuan untuk melakukan sesuatu." Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih" (Soimin, 1994,1).
12
"Ta'wid (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan".
Ketentuan ganti rugi menurut fatwa DSN – MUI No: 43/DSNMUI/VIII/2004 tentang ganti rugi:
7.1. Ketentuan umum
7.1.1. Ganti rugi (ta’wid) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
7.1.2. Kerugian yang dapat dikenakan ta’wid sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
7.1.3. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.
7.1.4. Besar ganti rugi (ta’wid) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah aldha-i' ah).
7.1.5. Ganti rugi (ta’wid) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna' serta murabahah dan ijarah
7.2. Ketentuan khusus
7.2.2. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad
8. Metode Penelitian
8.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya prilaku, motivasi dan tindakan secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Pada konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Memperoleh data yang diperlukan, penulis langsung kelapangan,maka penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan.
8.2. Sumber Data adalah:
8.2.1. Data primer yaitu diambil dengan melakukan wawancara dengan para pihak PO. Jasa Malindo, Mahasiswa Pemakai Jasa, dan sopir PO Jasa Malindo.
8.2.2. Data sekunder yaitu data yang diambil dari kepustakaan, dengan membaca dan memahami buku-buku serta memahami literatur yang berhubungan dengan masalah yang penulis bahas ini diantaranya M.Yatimin Abdullah dengan judul bukunya, Studi Islam Kontemporer, Rozalinda dengan judul bukunya Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada Perbankan Syariah, dan buku-buku yang berkaitan dengan
penelitian ini.
8.3. Teknik Pengumpulan Data
14
Observasi merupakan langkah awal yang penulis lakukan untuk mengetahui gejala-gejala yang muncul dalam permasalahan yang sedang penulis teliti. Dengan observasi ini memudahkan bagi penulis untuk mengetahui apa yang terjadi di lapangan mengenai praktek sewa-menyewa bus di PO Jasa Malindo.
8.3.2.Wawancara
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan wawancara. Wawancara adalah mengadakan dialog atau proses tanya jawab langsung dengan responden untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Wawancara ini dilakukan dengan cara berhadapan langsung dengan responden. Sedangkan yang menjadi respondennya adalah Direktur PO. Jasa Malindo, sopir bus dan mahasiswa sebagai penyewa bus PO. Jasa Malindo.
8.3.3.Dokumentasi
Dokumentasi artinya “pengumpulan, pemilihan, pengelolaan, dan penyimpanan informasi” (Moeliono, 1989: 211). Memperhatikan pengertian dokumentasi yang demikian, dalam menggunakan data dari pusat penyimpanan data dari beberapa buku, majalah atau benda-benda lainnya.
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data-data dengan jalan menyelidiki dokumen-dokumen yang sudah ada dan merupakan tempat untuk menyiapkan sejumlah data dan informasi terutama yang berkaitan dengan gambaran umum tentang prosedur kerja supir bus PO. Jasa Malindo.
15 BAB II
IJARAH DALAM FIQIH MUAMALAH
1. Pengertian Ijarah dan Dasar Hukum Ijarah
1.1. Pengertian Ijarah
Lafal al-ijarah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa atau
imbalan. Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan mu'amalah
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa-menyewa,
kontrak atau menjual jasa kepada orang lain seperti menjadi buruh,
kuli dan lain sebagainya. Secara terminologi ada beberapa pengertian
ijarah yang dikemukakan oleh ulama fiqih yaitu:
1.1.1. Menurut Sayyid Sabiq, ijarah yaitu :
pahala juga dinamakan upah” (Sabiq, 1987, 7).
1.1.2. Menurut Abdurrahman Al-Jaziri:
ةراجلإا
“Ijarah menurut bahasa merupakan masdar sima’i bagi fi’il “ajara”
setimbang dengan “dharaba” dan “qatala”, maka mudhari’nya
ya’jiru dan ajir ( dengan kasrah jim dan dhammahnya) dan
maknanya adalah imbalan atas suatu pekerjaan” (Al-Jaziri,1972,
94).
Berdasarkan defenisi di atas secara etimologi ijarah adalah
pengertian ijarah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh para
ulama di bawah ini :
1.1.3. Menurut Ulama Hanafiyah
دقع
“Ijarah akad atas manfaat yang diketahui untuk maksud tertentu serta menerima ganti yang dibolehkan sebagai imbalan”. (Syafe’i, 2001, 122)
1.1.5. Menurut Sayyiq Sabiq
ىفو
manfaat dengan jalan penggantian”. (Sabiq,1987, 198)
1.1.6. Menurut Malikiyah
“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti ( imbalan)”. (Suwendi, 2000, 29)
17 tertentu yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan
menjual manfaat”. (Suwendi, 2000, 29)
1.1.8. Menurut Idris Ahmad bahwa upah artinya “Mengambil manfaat
tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut
syarat-syarat tertentu”. (Ahmad, 1986,139)
1.1.9. Adiwarman A. Karim ijarah merupakan hak untuk memanfaatkan
barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu, dengan
demikian dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan,
tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan
kepada penyewa. (Karim, 2007, 138)
1.1.10.Menurut Fatwa Dewan Syari'ah Nasional defenisi ijarah adalah:
" Ijarah adalah akad memindahkan hak guna (manfaat) atas suatu
barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa
atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang
itu sendiri." (MUI, 2001,55)
Berdasarkan beberapa pendapat ulama dan mazhab di atas tidak
ditemukan perbedaan yang mendasar tentang defenisi ijarah, tetapi
dapat dipahami ada yang mempertegas dan memperjelas tentang ………. pengambilan manfaat terhadap benda atau jasa sesuai dengan jangka
waktu yang ditentukan dan adanya imbalan atau upah serta tanpa
Kalau diperhatikan secara mendalam defenisi yang dikemukakan
olah para ulama mazhab di atas maka dapat kita pahami bahwa
unsur-unsur yang terdapat dalam ijarah antara lain :
a. Adanya suatu akad persetujuan antara kedua belah pihak yang
ditandai dengan adanya ijab dan kabul
b. Adanya imbalan tertentu, misalnya harga sewa sebuah mobil
c. Mengambil manfaat, misalnya mengupah seorang buruh untuk
bekerja.
Beranjak dari beberapa pendapat ulama dan mazhab di atas
tentang pengertian ijarah, maka penulis dapat memahami ijarah
menurut bahasa adalah : jual manfaat atas benda atau jasa dengan
adanya imbalan atau upah, sedangkan menurut istilah dapat dipahami
ijarah adalah akad atau transaksi yang bertujuan mengambil manfaat
atas suatu barang atau jasa tanpa mengurangi materi benda tersebut dan
benda tersebut boleh dimanfaatkan dengan jangka waktu tertentu
(sesuai dengan kesepakatan) dengan adanya uang imbalan atau sewa
tanpa diikuti pemindahan kepemilikan terhadap benda tersebut.
Berdasarkan pendapat Ulama di atas dapat di simpulkan bahwa
kontrak sewa merupakan bagian dari ijarah. Oleh karena itu kontrak
sewa merupakan suatu akad untuk melakukan sesuatu. Baik secara
tertulis maupun lisan, dan mereka yang mengadakan perjanjian itu
masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat
bersama. Kontrak sewa merupakan juga perjanjian kerja, dan dalam
perjanjian kerja ini apa yang termasuk dalam perjanjian kerja semuanya
merupakan konsep dari ijarah.
Perjanjian kerja ini sangat dibutuhkan karena melalui sebuah
perjanjianlah yang akan mengikat diri antara seseorang dengan orang
lain. Untuk melakukan kontrak sewa jasa-jasa tertentu salah satu pihak
19
mencapai suatu tujuan tertentu, dan pihak yang menghendaki tersebut
bersedia memberi upah, biasanya orang yang melakukan suatu
pekerjaan tersebut adalah orang yang ahli misalnya, Notaris. Lazimnya
pihak yang melakukan pekerjaan ini sudah menentukan tarif untuk suatu
pekerjaan yang akan dilakukannya tersebut.
Pada kontrak sewa adanya persetujuan untuk melakukan
sesuatu." Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih"
(Soimin, 1994,1).
1.2. Dasar Hukum Ijarah
1.2.1. Landasan al-Quran
Ijarah sangat dianjurkan dalam Islam karena mengandung unsur
tolong menolong dalam kebaikan antar sesama manusia. Ijarah disahkan
syariat berdasarkan al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Dalam al-Qur’an,
ketentuan tentang upah dari jasa tidak tercantum secara terperinci.
Namun dapat tersirat pada beberapa ayat berikut:
1.2.1.1. Surat al-Thalaq ayat 6:
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (Departemen Agama RI, 2001, 310)
Dalam penafsiran kata sulitnya yaitu :“wa’tamiruu bainakum bima’ruufin” Artinya bermusyawarahlah kalian wahai para bapak dan
para ibu dalam urusan anak-anak, dengan apa yan lebih baik bagi
anak-anak itu dalam urusan anak-anak. Dengan apa yang lebih baik
bagi anak-anak itudalam urusan kesehatan, moral dan peradaban.
Janganlah kalian menjadikan harta benda sebagai penghalang untuk
kebaikan anak-anak.Janganlah para bapak mendapatkan kesulitan
dalam hal upah-dan nafkah-nafkah lainnya. Dan jangan pula para ibu
menyusahkan dan menyempitkan para bapak, karena anak-anak itu
belahan hati para orang tua. (Al-Maroghi, 1993,237-238) Maksudnya
dalam ijarah tersebut harus ada musyawarah supaya adanya
kesepakatan seperti perjanjian supaya setiap pihak tidak saling
menyusahkan atau merugikan
1.2.1.2. Surat al-Baqarah ayat 233 :
...
pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada
21
Ayat tersebut menerangkan bahwa setelah seseorang
mempekerjakan orang lain hendaknya memberikan upahnya. Dalam
hal ini menyusui adalah pengambilan manfaat dari orang yang
dipekerjakan yaitu jasa dari diri seorang ibu yang menghasilkan air
susu lalu kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara yang ma’ruf. Hal itu termakna dari satu kata yaitu al
-maulud yang artinya “orang tua laki-laki”, (Al-Maroghi, 1992,317) Maksudnya untuk menjelaskan bahwa anak (bayi) tersebut adalah
milik ayahnya. Kepada ayahnyalah ia dinasabkan dan dengan nama
ayah pula disebut, Sedangkan ibunya berfungsi sebagai gudangnya
anak-anak. (Al-Maroghi, 1992,321)
1.2.1.3. Surat al- Kahfi ayat 77:
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu". (Departemen Agama RI, 2001, 241)
Kalimat “qaa la lausyi’ta lattakhodzta ngalaiyhi ajjran” yang
artinya: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”
dorongan kepada Khaidir agar mengambil upah dari perbuatannya
itu, untuk dinafkahkan dalam membeli makanan, minuman dan
kepentingan hidup lainnya. Dalam hal ini Khaidir mendapatkan upah
yang dari jasa yang dia lakukan setelah dia menegakkan dinding itu
yang terlihat dari arti kalimat: “fawa jadaa fihaa jidaa rayyuridu
ayyan’qadda fa aqaa mahuu” yang artinya: “kemudian keduanya
mendapatkan didalam negeri itu sebuah dinding yang miring dan
hampir roboh. Lalu Khaidir mengusapnya dengan tangannya, sehingga
dinding itu kembali tegak lurus.Maka hal ini menjadi salah satu
mu’jizatnya (Al-Maroghi, 1993,5).
1.2.1.4. Surat az-Zukhruf ayat 32 :
مُهَأ
“Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan”. (Departemen Agama RI, 2001, 392)
Lafadz “sukhriyyan” yang terdapat dalam ayat diatas bermakna
“saling menggunakan”. Menurut Ibnu Katsir, lafadz ini diartikan dengan “supaya kalian bisa saling mempergunakan satu sama lain
dalam hal pekerjaan atau yang lain, karena diantara kalian saling
membutuhkan satu sama lain”. Artinya, terkadang manusia
membutuhkan sesuatu yang berada dalam kepemilikan orang lain,
23
dengan cara melakukan transaksi, salah satunya dengan akad ijarah
atau sewa-menyewa (Djuwaini, 2010,154).
1.2.1.5. Surat al-Qashas ayat 26-27 :
تَلاَق
bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". Berkatalah dia (Syuaib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah satu putriku ini, atas dasar kamu bekerja denganku delapan tahun, dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak ingin memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik". (Departemen Agama RI, 2001, 310)
Ayat ini berkisah tentang perjalanan nabi Musa as bertemu
dengan kedua putri nabi Ishaq, salah seorang putrinya meminta nabi
Musa as untuk disewa tenaganya guna menggembala
domba.Kemudian nabi Ishaq as bertanya tentang alasan permintaan
putrinya tersebut.Putri nabi Ishaq mengatakan bahwa nabi Musa as
mampu mengangkat batu yang hanya bisa diangkat oleh sepuluh
orang, dan mengatakan “karena Sesungguhnya orang yang paling baik
dapat dipercaya”. Cerita ini menggambarkan proses penyewaan jasa
seseorang dan bagaimana pembayaran upah itu dilakukan (Djuwaini,
2010,155-156).
Tidak diragukan lagi, perkataan wanita itu termasuk perkataan
yang padat dan mengandung hikmah yang sempurna. Sebab manakala
kedua sifat ini yaitu keterpercayaan dan kemampuan yang terdapat
pada seseorang yang mengerjakan suatu perkara, Maka ia akan
mendatangkan keuntungan keberhasilan (Al-Maroghi, 1993,93).
Begitu pula dengan hal ijarah dimana seseorang yang ingin
memperkerjakan orang untuk dimanfaatkan jasanya harus adanya
kepercayaan terhadap kemampuan orang yang bekerja supaya apa
yang diharapkan oleh pemberi upah nantinya akan merasakan
manfaatnya.
1.2.2. Landasan Sunnah
Adapun dasar hukum dari hadits adalah:
هيلع الله ىلص الله لوسر رجأتسإ :تلاق اهنع الله ىضر ةشئاع نع
ملسو
أ و
وب
حار لله اعفدف شيرقرافك نيد ىلع وهو ،اتيرخ ليدلا ىنب نم لاجر ركب
هيتل
ام
هادعأوو
.امهيتلحارب لايل ةثلاث دعب روث راغ
)
ىراخبلا هاور
(
Dari Aisyah r.a, beliau mengabarkan: Rasulullah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang penunjuk jalan yang ahli dari Bani ad-Dail dan orang itu memeluk agama kafir Quraisy, kemudian beliau membayarnya dengan kendaraannya kepada orang tersebut dan menjanjikannya di Gua Tsur sesudah tiga malam dengan kendaraan keduanya (HR. Bukhari). (Imam Bukhari, tt, 332)
Pada hadits di atas dijelaskan bahwa Rasul SAW sendiri telah
25
dipakai jasanya menunjukkan jalan ke tempat yang dituju dan beliau
membayar orang yang disewanya tersebut dengan memberikan
kendaraannya. Dalam hal ini, Rasul tidak membeda-bedakan dari segi
agama terhadap orang yang disewa atau dipakai jasanya.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda:
ىركن انك:لاق ملسو هيلع الله ىلص الله لوسر نا صاقو ىبا نبدعس نع
ص الله لوسر ىهنف عرزلا نم ىقاوسلا ىلع امب ضرلأا
ملسو هيلع الله ىل
قرو وأ به ب اهيركن نا انرماو كلذ نع
.
)
هاور
وبا ,دمحأ
و دواد
ىئاسنلا
(Dari Sa’ad bin Abi Waqqash sesungguhnya Rasul SAW bersabda:
dahulu kami menyewa tanah dengan (jalan membayar dari) tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang emas dan perak. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasa'i). (Nasaiy, 1994, 271)
Hadits tersebut menerangkan bahwa pada zaman dahulu
praktik sewa-menyewa tanah pembayarannya dilakukan dengan
mengambil dari hasil tanaman yang ditanam di tanah yang disewa
tersebut. Oleh Rasul SAW, cara seperti itu dilarang dan beliau
memerintahkan agar membayarkan upah sewa tanah tersebut dengan
uang emas dan perak.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Rasulullah SAW,
bersabda:
ةريره ىبا نع
ريجلأا اوطعأ :لاق ملسو هيلع الله ىلص الله لوسر نا
هقرع فجي نأ لبق هرجأ
).
هاور
هجام نبا
Dari Abi Hurairah sesungguhnya Rasul SAW bersabda:
berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya
kering.(HR. Ibnu Majah). (Majah, tt, 87)
Hadits di atas menjelaskan bahwa, dalam persoalan
sewa-menyewa, terutama yang memakai jasa manusia untuk mengerjakan
suatu pekerjaan, upah atau pembayaran harus segera diberikan
sebelum keringatnya kering. Maksudnya, pemberian upah harus
segera dan langsung, tidak boleh ditunda-tunda pembayarannya.
1.2.3. Landasan Ijma’
Mengenai kebolehan ijarah para ulama sepakat. Tidak ada seorangpun ulama yang membantah kesepakatan (Ijma’) ini
sekalipun ada beberapa orang di antara mereka yang berbeda
pendapat akan tetapi itu tidak dianggap (Sabiq, 1987, 11).
2. Rukun dan Syarat Ijarah
2.1. Rukun Ijarah
Rukun merupakan sesuatu yang mesti ada dalam sebuah akad atau
transaksi. Tanpa rukun akad tidak akan sah. Rukun sebagaimana yang
dijelaskan oleh Abdul Hamid Hakim dalam bukunya “ Mubadi Awaliyah” sebagai berikut :
نكرلا
:
ام
وتي
فق
هيلع
هحص
ئشلا
ناكو
ج
ءز
هنم
Rukun adalah sesuatu yang tergantung kepadanya sahnya
sesuatu dan dia bagian dari padanya (Hakim, tth, 7).
Defenisi yang dikemukakan oleh Abdul Hamid Hakim di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa rukun mutlak adanya dalam sebuah akad
27
memenuhi sebuah rukun dan syarat. Agar transaksi sewa-menyewa atau
upah mengupah menjadi sah, harus terpenuhi rukun dan syaratnya.
Menurut ulama Hanafiyah rukun dari ijarah itu hanya satu ijab dan kabul.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang berakad, imbalan,
manfaat termasuk ke dalam syarat-syarat ijarah (Haroen, 2000,231).
Para ulama telah sepakat bahwa yang menjadi rukun ijarah
adalah:
a. Aqid (pihak yang melakukan perjanjian atau orang yang
berakad).
b. Ma'qud 'alaihi (objek perjanjian atau sewa/imbalan).
c. Imbalan
d. Sighat (Haroen, 2000,231).
Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan secara terperinci sebagai
berikut :
2.1.1. Aqid (Orang yang berakad).
Aqid adalah para pihak yang melakukan perjanjian, yaitu
pihak yang menyewakan atau pemilik barang sewaan yang disebut
"mu’ajjir" dan pihak penyewa yang disebut "musta’jir" yaitu pihak
yang mengambil manfaat dari suatu benda (Al-Jaziry, tt, 100).
Para pihak yang mengadakan perjanjian haruslah orang
yang cakap hukum artinya mampu. Dengan kata lain, para pihak
hendaklah yang berakal dan dapat membedakan mana yang baik
dan mana yang tidak baik. Jika salah seorang yang berakal itu gila
atau anak-anak yang belum dapat membedakan, maka akad itu
satu syarat lagi yaitu, baligh (sampai umur dewasa). Menurut
mereka, akad anak kecil sekalipun sudah dapat membedakan,
dinyatakan tidak sah (Sabiq, 1987, 19).
2.1.2. Ma'qud 'alaihi (objek perjanjian atau sewa/imbalan).
Ma'qud 'alaihi adalah barang yang dijadikan objek sewa,
berupa barang tetap dan barang bergerak yang merupakan milik
sah pihak mu’ajjir. Kriteria barang yang boleh disewakan adalah
segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya secara agama dan
keadaannya tetap utuh selama masa persewaan (Sabiq, 1987, 19).
Sebelum melakukan sebuah akad ijarah hendaknya
manfaat yang akan menjadi objek ijarah harus diketahui secara
jelas agar terhindar dari perselisihan di kemudian hari baik jenis,
sifat barang yang akan disewakan ataupun pekerjaan yang akan
dilakukan. Apabila manfaat yang akan menjadi objek ijarah
tersebut tidak jelas maka akadnya tidak sah. Misalnya.
Menyewakan motor hanya untuk duduk di atasnya, atau karena
dilarang oleh agama Islam. Seperti menyewa seseorang untuk
membinasakan orang lain. Perjanjian sewa menyewa barang atau
suatu pekerjaan yang manfaatnya tidak dibolehkan oleh ketentuan
agama adalah tidak sah atau wajib untuk ditinggalkan (Rusyd, tt,
218).
2.1.3. Imbalan atau upah yang akan diterima oleh buruh dari hasil
29
Dapat kita ketahui bahwa ijarah adalah sebuah akad yang
mengambil manfaat dari barang atau jasa yang tidak bertentangan
dengan hukum Syara' yang berlaku. Oleh sebab itu pelaksanaan
sewa atau imbalan mesti jelas dengan ketentuan awal yang telah
disepakati.
2.1.4. Sighat yaitu ijab dan kabul.
Sighat pada akad merupakan suatu hal yang penting sekali
karena dari sighatlah terjadinya ijarah. Karena sighat merupakan
suatu bentuk persetujuan dari kedua belah pihak untuk
melaksanakan ijarah. Dalam sighat ada ijab dan kabul. Ijab
merupakan pernyataan dari pihak pertama (mu'jir) untuk
menyewakan barang atau jasa sedangkan kabul merupakan
jawaban persetujuan dari pihak kedua untuk menyewakan barang
atau jasa yang dipinjamkan oleh mu'jir. Misalnya anda bersedia
bekerja pada proyek ini dalam waktu dua bulan dan dengan upah
perharinya Rp.20.000,- dan jenis pekerjaannya yaitu pekerjaan
jalan, kemudian buruh menjawab"ya", saya bersedia." (Syarifuddin
, 2013, 128-219).
2.2. Syarat Ijarah
Syarat merupakan sesuatu yang bukan bagian dari akad,
tapi sahnya sesuatu tergantung kepadanya. Adapaun syarat-syarat
transaksi ijarah yaitu :
2.2.1. Dua orang yang berakad ( Mu'jir dan Musta'jir) disyaratkan :
2.2.1.1. Berakal dan mumayiz, namun tidak disyaratkan baligh,
belum mumayiz dan belum berakal (Haidar dalam
Rozalinda, 2005, 105-106) . Amir syarifuddin
menambahkan pelaku transaksi ijarah harus telah
dewasa, berakal sehat, dan bebas dalam bertindak
dalam artian tidak dalam paksaan (Syarifuddin, 2013,
128). Jadi transaksi ijarah yang dilakukan oleh
anak-anak atau orang gila atau orang yang terpaksa tidak sah.
2.2.1.2. Kerelaan ( An-Tharadhin)
Kedua belah pihak yang berakad menyatakan
kerelaanya untuk melakukan akad ijarah. Dan para
pihak berbuat atas kemauan sendiri. Apabila salah
seorang diantaranya terpaksa melakukan akad itu,
maka akadnya tidak sah. Karena Allah melarang
penindasan atau intimidasi sesama manusia tapi
dianjurkan saling meredhai sesamanya. Sebagaimana
Firman Allah dalam Surat an-Nissa ayat 29:
اَهُّيَأاَي
31
Berdasarkan ayat ini dapat dijelaskan bahwa ijarah yang
dilakukan secara paksaan ataupun dengan jalan yang batil, maka
akad ijarah tersebut tidak sah, kecuali apabila dilakukannya
secara suka sama suka di antara kedua belah pihak.
Imam Syafi'i berpendapat bahwa ijarah tidak sah menurut
syari'at kecuali bila disertai dengan kata-kata yang menunjukkan
persetujuan. Sedangkan Imam Malik, Hanafi dan Imam Ahmad
cukup dengan serah terima barang yang bersangkutan karena
sudah menandakan persetujuan dan suka sama suka.( Bahreisy,
1989, 361)
2.2.2. Sesuatu yang diakadkan ( pekerjaan) disyaratkan :
2.2.2.1. Manfaat dari pekerjaan harus yang dibolehkan syara’,
maka tidak boleh ijarah terhadap maksiat seperti
mempekerjakan seseorang untuk mengajarkan ilmu
sihir atau mengupah orang untuk membunuh orang lain.
(Haroen, 2000, 233)
2.2.2.2. Manfaat dari pekerjaan harus diketahui oleh kedua
pihak sehingga tidak muncul pertikaian dan perselisihan
di kemudian hari.
2.2.2.3. Manfaat dari objek yang akan diijarahkan seseuatu yang
dapat dipenuhi secara hakiki.
2.2.2.4. elas ukuran dan batas waktu ijarah agar terhindar dari
persengketaan atau perbantahan.
2.2.2.5. Perbuatan yang diijarahkan bukan perbuatan yang
diwajibkan bagai musta'jir seperti Sholat, puasa dan
2.2.2.6. Pekerjaan yang diijarahkan menurut kebiasaan dapat
diijarahkan.
2.2.3. Upah atau imbalan disyaratkan
2.2.3.1. Upah berupa benda yang diketahui yang dibolehkan
manfaatnya.
2.2.3.2. Sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan uang
sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
2.2.3.3. Terhadap imbalan ada beberapa ketentuan dalam hal
menerima atau memberikan.
2.2.3.4. Imbalan atau upah tersebut hendaklah disegerakan
pembayarannya. Ini berdasarkan hadits nabi yang
diriwayatkan oleh Ibnu Madjah yang berbunyi :
نع
"Dari Abdullah bin Umar Berkata dia, Rasulullah SAW bersabda : bahwa sesungguhnya nabi berkata: berikanlah kepada orang yang kamu pakai tenaganya sebelum kering keringatnya". (Yazid Abu 'Abdullah, tt, 817)
Dari hadis di atas dapat kita pahami bahwa Nabi SAW
memerintahkan, bayarkanlah upah buruh itu sebelum kering
keringatnya, artinya upah pekerja dibayarkan secepatnya atau dengan
kata lain selesai bekerja buruh langsung menerima upahnya. Jenis ini
sering digunakan untuk buruh kasar seperti tukang angkat, buruh
33
menerima upahnya sebelum keringatnya artinya, pekerja menerima
upah menurut kebiasaan daerah setempat, atau menurut aturan yang
berlaku bagi pegawai negeri yang menerima gaji perbulan.
Sedangkan pembayaran bagi pekerja yang tidak ada aturan
yang mengaturnya perlu ada perjanjian kerja dan dilaksanakan sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati. Untuk itu dalam perjanjian
ijarah, penyewa dan yang memberikan jasa harus menetapkan kapan
dan berapa jumlah upah atau sewa yang akan diterima.
Sehubungan dengan ini Nabi SAW menjelaskan bahwa :
نع
mempekerjakan seseorang maka hendaklah menyebutkan upahnya."( HR. Bukhari) (Bukhari, 1987, 24)2.2.3.5. Mesti ada kejelasan berapa banyak yang diterima sehingga
kedua belah pihak akan terhindar hal-hal yang tidak
diinginkan di kemudian hari.
2.2.3.6. Imbalan atau upah itu dapat diberikan sesuai dengan
kesepakatan yang telah dibuat bersama. Apakah diberikan
seluruhnya atau selesai waktunya. Ini semua tergantung
kepada kebiasaan yang terjadi pada masyarakat asalkan
tidak ada yang terzalimi terhadap upah yang akan diterima
2.2.3.7. Imbalan atau upah benar-benar memberikan manfaat baik
berupa barang atau jasa, sesuai dengan ketentuan yang telah
disepakati bersama sehingga kedua belah saling merasa
puas dan tidak ada yang merasa dirugikan satu sama
lainnya. Maksudnya, terhadap semua kesepakatan yang
telah dibuat oleh kedua belah pihak tersebut memang mesti
ditunaikan. Sebagaimana firman Allah yang mengatakan
tentang perjanjian dalam surat al-Maidah ayat 1:
اَهُّيَأاَي
"Hai orang-orang yang beriman, tepatilah segala janjimu. Telah dihalalkan bagimu (memakan) hewan ternak ternak, ( unta, sapi, kerbau dan kambing), kecuali barang yang dibacakan kepadamu. Tiada dihalalkan memburu binatang , sedang kamu tengah ihram. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
2.2.3.8. Upah atau imbalan mesti berupa benda yang diketahui yang
dibolehkan memanfaatkannya.
2.2.4. Sighat (ijab dan Kabul) disyaratkan berkesesuaian dan
menyatunya majelis akad seperti yang disyaratkan dalam akad
jual beli. Maka akad ijarah tidak sah jika antara ijab dan kabul
tidak sesuai seperti antara objek akad atau batas waktu
2.3. Syarat Sah Ijarah
Untuk sahnya ijarah harus dipenuhi beberapa syarat yang
berkaitan dengan ‘aqid (pelaku), ma’qud ‘alaih (objek), ujrah (upah)
dan akadnya sendiri.syarat-syarat tersebut sebagai berikut:
2.3.1.1. Persetujuan kedua belah pihak, mereka menyatakan
35
seorang diantaranya merasa terpaksa melakukan akad itu,
maka akadnya tidak sah. (Haroen, 2007,232)
Dasarnya adalah firman Allah dalam surat an-Nisa ayat dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (Departemen Agama RI, 2002, 65)
2.3.1.2. Objek akad (ma’qud ‘alaih) yaitu manfaat harus jelas, dan
boleh dimanfaatkan menurut pandangan syara’, (Jafri, 2008,167). sehingga tidak menimbulkan perselisihan.
Apabila objek akad (manfaat) tidak jelas, sehingga
menimbulkan perselisihan, maka ijarah tidak sah, karena
dengan demikian, manfaat tersebut tidak bisa diserahkan,
dan tujuan akad tidak tercapai.( Muslich, 2010, 323)
2.3.1.3. Objek manfaat, penjelasan objek manfaat bisa dengan
mengetahui benda yang disewakan. Apabila seseorang
mengatakan: “saya sewakan kepadamu salah satu dari dua
rumah ini”, maka akad ijarah tidak sah, karena rumah mana
yang disewakan belum jelas.
2.3.1.4.1. Ma’qud ‘alaih (jasa) terhindar dari cacat. Jika terdapat cacat
pada ma’qud ‘alaih (jasa) penyewa boleh memilih antara meneruskan dengan membayar penuh atau
membatalkannya. (Syafei, 2001, 129)
2.3.1.4.2. Tidak ada udzur (alasan) yang dapat membatalkan akad
ijarah. Misalnya udzur pada salah seorang yang melakukan
akad, atau pada sesuatu yang disewakan. Apabila terdapat
udzur, baik pada pelaku maupun ma’qud ‘alaih, maka
pelaku berhak membatalkan akad. Ini menurut hanafiah.
Akan tetapi, menurut jumhur ulama, akad akad ijarah tidak
batal karena adanya udzur, selama objek akad yaitu
manfaat tidak hilang sama sekali.( Muslich, 2010, 327)
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ijarah batal karena
adanya uzur yang dimaksud sesuatu yang baru yang menyebabkan
kemadaratan bagi yang akad. Uzur dikategorikan menjadi tiga macam
(Syafei, 2001, 131) :
2.3.1.5. Uzur dari pihak penyewa, seperti berpindah-pindah dalam
memperkerjakan sesuatu sehingga tidak menghasilkan
sesuatu atau pekerjaan menjadi sia-sia.
2.3.1.6. Uzur dari pihak yang disewa, seperti barang yang disewakan
harus dijual untuk membayar utang dan tidak jalan lain,
kecuali menjualnya.
2.3.1.7. Uzur pada barang yang disewa, seperti menyewa kamar
mandi, tetapi menyebabkan penduduk dan semua penyewa
harus pindah.
2. Bentuk-bentuk Ijarah dan Berakhirnya Ijarah.
37
Dari segi objeknya ijarah terbagi kepada dua macam yaitu :
2.1.1. Ijarah yang bersifat manfaat. Pada ijarah ini khusus akad sewa
menyewa manfaat benda, misalnya sewa menyewa rumah,
toko, kendaraan dan lain-lain.
2.1.2. Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa). Yaitu dengan
mempekerjakan seseorang melakukan suatu pekerjaan.
Menurut ulama fiqih ijarah seperti ini adalah boleh apabila
jenis pekerjaan itu jelas. (Haroen, 2000, 236)
Ijarah ini berlaku dalam beberapa hal seperti menjahit
pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al-a’mal
(upah mengupah) terbagi kepada dua yaitu :
2.1.2.1. Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya
orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang
memberinya upah.
2.1.2.2. Ijarah Musytarak
Yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau
melalui kerjasama. Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan
orang lain. (Syafei, 2001, 133-134) Contohnya orang yang bekerja di
perusahaan atau bekerja di bawah komando seorang pemborong.
Masalah yang tak bisa diabaikan dalam akad ijarah adalah
pemenuhan hak pekerja dan hak atas upah yang layak. Persoalan
upah dalam Islam tidak ada ketentuan rinci secara tekstual, baik
dalam Al-Qur'an maupun dalam Sunnah Rasul. Namun secara umum
ada beberapa ketentuan yang mengandung substansi pengupahan
perspektif Islam, diantaranya yang terdapat dalam an-Nahl ayat 90
إ
melakukan perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambilpelajaran”. (QS. an-Nahl. 90) (Depag RI, 2002, 442)
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah memerintahkan
untuk berlaku adil dan berbuat dermawan kepada kaum kerabat.
Menurut Chairul Pasaribu dalam bukunya Perjanjian Kerja
menyatakan bahwa kata “kerabat” dalam ayat di atas dapat diartikan
dengan “tenaga kerja ”, sebab pekerja tersebut sudah merupakan bagian dari suatu perusahaan kalau bukan karena jerih payah pekerja
tidak mungkin majikan dapat berhasil menyelesaikan pekerjaannya.
(Pasaribu, 1994, 157)
Seseorang yang telah melakukan perjanjian kerja sama
hendaknya menunaikan upah sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 1:
اَهُّيَأاَي
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu".
(Depag RI, 2002, 84)
Ayat ini mengandung maksud jika majikan dengan pekerja
melakukan akad kerja sama, misalkan majikan akan membayar upah
pekerja setiap minggu atau setelah pekerjaan diselesaikan atau
barangkali membayar upah perhari, maka wajib menunaikan akad
39
Salah satu norma yang ditentukan Islam adalah memenuhi
hak-hak pekerja. Islam tidak membenarkan jika seseorang pekerja
mencurahkan jerih payahnya dan keringatnya sementara upah tidak
didapatkan, dikurangi, dan ditunda-tunda. (Qardawi, 1997, 403)
Dalam pembahasan lain, menurut ketentuan fiqh muamalah,
ijarah dibagi kepada 3 macam yaitu:
2.1.3. Sewa-menyewa tanah
Melihat betapa pentingnya keberadaan tanah, Islam sebagai
agama yang luwes membolehkan persewaan tanah dengan prinsip
kemaslahatan dan tidak merugikan para pihak, artinya antara
penyewa yang menyewakan sama-sama diuntungkan dengan
adanya persewaan tersebut. Sebagai agama yang mencintai
perdamaian dan persatuan, Islam mengatur berbagai hal mengenai
persewaan tanah agar terhindar dari kesalahpahaman dan
perselisihan di antara para pihak yang melakukan perjanjian
sewa-menyewa.
Dalam suatu perjanjian persewaan tanah, haruslah
disebutkan secara jelas tujuan persewaan tanah tersebut, apakah
untuk pertanian, mendirikan tempat tinggal atau mendirikan
bangunan lainnya yang dikehendaki penyewa.
Bila persewaan tanah dimaksudkan untuk pertanian,
maka penyewa harus menyebutkan jenis tanaman yang akan
ditanaminya kecuali pemilik tanah memberikan kebebasan
kepada penyewa untuk menanam sesuai dengan yang
diinginkannya. Menurut Sayyid Sabiq, jika syarat yang tersebut
karena pada dasarnya kegunaan tanah sangatlah beragam.
(Sabiq, 1987, 30)
Dengan tidak jelasnya penggunaan tanah dalam perjanjian
dikhawatirkan akan melahirkan persepsi yang berbeda antara
pemilik tanah dengan penyewa dan pada hakikatnya akan
menimbulkan persengketaan antara kedua pihak. Di samping itu
penyebutan jenis tanaman yang akan ditanam akan berpengaruh
terhadap waktu sewa dan dengan sendirinya berpengaruh pula
terhadap jumlah uang sewa.
2.1.4. Sewa-menyewa binatang
Dalam perjanjian sewa-menyewa binatang, hendaklah
disebutkan dengan jelas jangka waktu penyewaan, kegunaan atau
tujuan penyewaan, apakah untuk alat pengangkutan atau untuk
kepentingan lainnya.
Sebagaimana halnya dengan persewaan lainnya maka
persewaan binatang juga mengandung resiko. Resiko dalam
persewaan binatang adalah terjadinya kecelakaan atau matinya
binatang sewaan. Bila binatang sewaan sejak awal sudah
mempunyai cacat atau aib kemudian mati ketika dalam
tanggungan penyewa maka persewaan menjadi batal. Tetapi bila
binatang tersebut tidak cacat kemudian terjadi kecelakaan dan
mati ketika berada dalam tanggungan penyewa maka persewaan
itu tidak batal dan orang yang menyewakan wajib menggantinya.
(Sabiq, 1987, 30)
41
Toko merupakan tempat seseorang menjalankan usahanya
dengan cara berdagang. Tidak semua orang bisa mempunyai toko
pribadi, tetapi bila seseorang berkeinginan untuk meningkatkan
taraf hidupnya dengan cara berdagang. Islam memberikan
kemudahan dengan membolehkan persewaan toko atau rumah
untuk dijadikan tempat usaha atau sebagai tempat tinggal.
Ulama fiqh yang sangat populer pembahasannya tentang
persewaan toko dan rumah adalah ulama Hanafiyah. Mereka
memasukkan persewaan toko dan rumah ke dalam pembahasan
barang-barang yang sah disewakan, di samping persewaan tanah,
binatang, tenaga manusia dan pakaian. Menurut beliau toko-toko
dan rumah-rumah boleh disewakan tanpa disertai dengan
penjelasan tentang tujuan penyewaan. (Al-Jaziry, tt, 129)
Berdasarkan pendapat ulama Hanafiyah tersebut di atas
dapat dipahami, bahwa penyewa mempunyai kebebasan untuk
melakukan segala sesuatu yang dikehendakinya dalam batas-batas
yang wajar, artinya tidak mengakibatkan kerusakan pada
bangunan yang disewa. Namun wajib menggantikannya apabila
terjadi kerusakan terhadap rumah atau toko yang dikhususkan
untuk didiami namun dipergunakan untuk kepentingan lain.
Pada dasarnya Islam membolehkan persewaan berbagai
barang yang mempunyai manfaat dan memberikan keuntungan
kepada manusia. Islam hanya memberikan batasan-batasan agar
terciptanya kerja sama yang baik antar berbagai pihak dan
terlaksananya prinsip sewa-menyewa itu sendiri yaitu "keadilan"
dan "kemurahan hati", sesuai dengan firman Allah dalam surat
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat
kebaikan... (QS. an-Nahl: 90)
Selain itu, tidak saling menzalimi antara kedua belah pihak
(penyewa dan yang menyewakan), sesuai dengan firman Allah dalam
surat al-Baqarah ayat 279:
Berlaku adil dan berbuat kebajikan menjadi kewajiban setiap
muslim dalam segala aktivitas kehidupan, begitu pula dengan perintah
Allah untuk tidak saling menyakiti dan menganiaya orang lain. Dalam
hubungannya dengan sewa-menyewa merupakan suatu bentuk
transaksi bisnis yang melibatkan banyak pihak, sehingga dituntut
untuk berlaku adil dan saling menghormati.
2.2. Berakhirnya Ijarah
Akad ijarah akan berakhir apabila :
2.2.1. Objek dari akad tersebut hilang atau musnah, seperti rumah
yang disewakan terbakar atau seseorang menjahitkan bajunya
kepada tukang jahit kemudian hilang.
2.2.2. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah
berakhir, apabila yang disewakan rumah maka rumah itu
dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu
adalah jasa seseorang maka ia berhak menerima upahnya.