BAB II
DASAR HUKUM DAN TUJUAN RUMAH SUSUN, SERTA KONSEP, KLASIFIKASI PERUMAHAN PEMUKIMAN DAN PROGRAM-PROGRAM
PEMERINTAH DALAM PELAKSANAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN YANG LAYAK HUNI
A. Dasar Hukum Rumah Susun di Indonesia
Undang-Undang No.1 Tahun 2011 Pasal 28 mengatakan :
1) Jenis rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dibedakan
berdasarkan pelaku pembangunan dan penghunian yang meliputi:
a. rumah komersial;
b. rumah umum;
c. rumah swadaya;
d. rumah khusus; dan
e. rumah negara.
2) Rumah komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselenggarakan
untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3) Rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diselenggarakan
untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR.
4) Rumah swadaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diselenggarakan
atas prakarsa dan upaya masyarakat, baik secara sendiri maupun berkelompok.
5) Rumah khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diselenggarakan
dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah untuk kebutuhan khusus.
6) Rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mendapatkan
7) Rumah swadaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat memperoleh
bantuan dan kemudahan dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
8) Rumah khusus dan rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dan huruf e disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Namun yang akan penulis bahas dalam bab ini adalah rumah umum yang
diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan bagi Masyarakat Berpenghasilan
Rendah, dalam hal ini adalah rumah susun.
Kepastian hukum dalam pengadaan permukiman dan perumahan telah diatur
dalam pasal 3 UU No.1 Tahun 2011, yakni Perumahan dan kawasan permukiman
diselenggarakan untuk:
a. Memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman;
b. Mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk
yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan
permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan
kepentingan, terutama bagi MBR;
c. Meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan
perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di
kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan;
d. Memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan
dan kawasan permukiman;
e. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya; dan
f. Menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan
Negara sepenuhnya sertanggung jawab dalam penyelenggaraan perumahan dan
pembinaan yang telah dimuat dalam pasal 5 ayat 1 UU No.1 Tahun 2011 yang
mengatakan Negara sertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah.
Dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman telah diatur dalam UU
No.1 tahun 2011 pasal 56 yang mengatakan :
1) Penyelenggaraan kawasan permukiman dilakukan untuk mewujudkan wilayah
yang berfungsi sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan yang terencana, menyeluruh, terpadu, dan
berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang.
2) Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan untuk memenuhi hak warga negara atas tempat tinggal yang layak
dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur serta menjamin kepastian
bermukim.
Sementara tugas pemerintahan kota telah dimuat dalam pasal 15 UU No.1
Tahun 2011 yang mengatakan :
Pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan pembinaan mempunyai tugas:
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota
di bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada
kebijakan dan strategi nasional dan provinsi;
b. menyusun dan melaksanakan kebijakan daerah dengan berpedoman pada strategi
nasional dan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil rekayasa
c. menyusun rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan
permukiman pada tingkat kabupaten/kota;
d. menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi terhadap pelaksanaan
kebijakan kabupaten/kota dalam penyediaan rumah, perumahan, permukiman,
lingkungan hunian, dan kawasan permukiman;
e. melaksanakan pemanfaatan teknologi dan rancang bangun yang ramah
lingkungan serta pemanfaatan industri bahan bangunan yang mengutamakan
sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal yang aman bagi kesehatan;
f. melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan, kebijakan, strategi, serta program di bidang perumahan dan
kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota;
g. melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota;
h. melaksanakan peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat
kabupaten/kota;
i. melaksanakan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman;
j. melaksanakan kebijakan dan strategi daerah provinsi dalam penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan
nasional;
k. melaksanakan pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan
kawasan permukiman;
l. mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dan provinsi di bidang
m. mengalokasikan dana dan/atau biaya pembangunan untuk mendukung
terwujudnya perumahan bagi MBR;
n. memfasilitasi penyediaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat, terutama
bagi MBR;
o. menetapkan lokasi Kasiba dan Lisiba; dan
p. memberikan pendampingan bagi orang perseorangan yang melakukan
pembangunan rumah swadaya.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun diundangkan
pada tanggal 31 Desember 1985 dalam Lembaran Negara RI nomor 75/1985.
Undang-undang ini dapat disebut dengan undang-undang kondominium Indonesia
yang menjadi landasan hukum untuk mengatur rumah susun. Peraturan pelaksanaan
dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 dimuat dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 4 Tahun 1988. Mulai tanggal tersebutlah masalah hukum mengenai rumah
susun mendapat jawaban yang pasti. Namun menimbang bahwa Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun sudah tidak sesuai dengan
perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang, dan partisipasi masyarakat serta
tanggung jawab dan kewajiban Negara dalam penyelenggaraan rumah susun
sehingga perlu diganti.19
19
. Konsideran bagian Menimbang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011
Untuk menjawab perkembangan hukum serta kebutuhan
masyarakat yang belum terakomodir oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985
tersebut maka pada tanggal 10 Nopember 2011 melalui sidang paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah
Susun merumuskan bahwa rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan
merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama. Pengertian mengenai rumah susun tersebut
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 sama seperti yang disebutkan dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Dengan demikian
tidak ada perubahan mengenai pengertian tentang makna dari rumah susun itu baik
yang dijelaskan dalam UURS yang lama maupun yang baru. Dalam Penjelasan Pasal
1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 menegaskan bahwa rumah susun
yang dimaksudkan dalam UURS ini adalah istilah yang memberikan pengertian
hukum bagi rumah susun yang senantiasa mengandung sistem pemilikan
perseorangan dan hak bersama, yang penggunaannya untuk hunian atau bukan
hunian, secara mandiri ataupun terpadu sebagai satu kesatuan sistem pembangunan.
Dengan demikian berarti tidak semua rumah susun itu dapat disebut rumah susun
menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, tetapi setiap rumah susun adalah
selalu rumah susun.20
Jika rumusan rumah susun menurut Pasal 1 angka 1 dan penjelasannya itu
dicermati, diperoleh pemahaman sebagai berikut :
21
a. Rumah susun merupakan terminologi hukum Indonesia untuk mengekspresikan
bangunan gedung bertingkat yang mengandung pemilikan perseorangan dan hak
20
Oloan Sitorus & Balans Sebayang, Kondominium…. Op. Cit., hlm. 16 21
bersama. Dalam pengertian inilah, maka rumah susun merupakan terjemahan dari
kata-kata condominium, flat atau apartment
b. Rumah susun merupakan bangunan gedung bertingkat “yang distrukturkan secara
fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal” (Pasal 1 angka 1 UURS).
Dalam Penjelasan UURS di atas menyatakan “yang distrukturkan secara
fungsional dalam arah horizontal dan vertikal”. Kata “maupun” serta “dan” perlu
dicermati oleh karena membawa konsekuensi pada ruang lingkup UURS. Apakah
pengaturan pemilikan satuan ruang dalam rumah susun selain rumah susun dapat
tunduk pada UURS. Urgensi telaah kata “maupun” serta “dan” tersebut semakin
berarti, terutama jika dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 79 Peraturan Pemerintah
Nomor 4 Tahun 1988 yang mencontohkan “rumah toko, rumah sarana industri
dan lain-lain” yang dibangun di atas tanah bersama sebagai rumah susun yang
tidak termasuk dalam pengertian rumah susun. Selanjutnya, Penjelasan pasal 79
PP Nomor 4 Tahun 1988 tersebut menyebutkan bahwa contoh bangunan gedung
tidak bertingkat yang dibangun di atas tanah bersama dalam suatu lingkungan
adalah rumah-rumah peristirahatan, rumah kota (town house), dan lain-lain.
Ahmad Chairudin dalam Surat Kabar Harian Suara Pembaruan tanggal 13
April 1994, menyatakan bahwa bangunan gedung bertingkat pada sistem ruko
(rumah toko) dan rukan (rumah kantor) bagian- bagiannya terbagi dalam bagian-
bagian yang distrukturkan dalam arah horizontal saja, tidak dalam arah vertikal.
Tetapi karena dalam kata-kata kalimat Pasal 1 angka 1 UURS menyebut : “yang
distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal”, maka yang
secara horizontal pun dapat disebut rumah susun, asal memenuhi
ketentuan-ketentuan lainnya tentang rumah susun.22
Kedua pendapat Pejabat Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan
Nasional tersebut setuju bahwa kepemilikan satuan bangunan pada bangunan yang
hanya distrukturkan secara horizontal pun dapat tunduk pada pengaturan UURS.
Kiranya kedua pendapat tersebut dapat diterima logika hukum. Ketentuan pasal 1
UURS merupakan ketentuan yang berisi definisi/rumusan konsep-konsep yang
menjadi kata-kata kunci atau terminologi teknis yuridis dalam keseluruhan ketentuan
UURS. Oleh karena itu jika terdapat perbedaan pengertian rumah susun di dalam
ketentuan pasal 1 angka 1 UURS dengan Penjelasan Umum UURS serta Penjelasan
Pasal 79 PP No. 4 Tahun 1988 sebagai peraturan pelaksana UURS, maka yang
dijadikan pegangan adalah rumusan Pasal 1 angka 1 UURS.
Selanjutnya Menteri Negara Agraria/Kepala BPN menyatakan bahwa sebagai
akibat pesatnya kemajuan sektor ekonomi yang ditunjang kemajuan teknologi dalam
pembangunan perumahan dan pemukiman serta lahirnya bentuk sertifikat baru yang
berupa Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, maka seharusnya bentuk
kepemilikan rumah dan toko (ruko) atau town house dapat menggunakan Sertifikat
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun sebagai alat untuk kepemilikannya. Hal ini
mengingat bahwa bentuk bangunan dan penataan lingkungannya sesuai dengan
ketentuan yang ada pada rumah susun yang bangunannya berupa bangunan yang
tersusun secara horizontal dan memiliki jenis kepemilikan perseorangan dan
pemilikan bersama.
23
22
Ibid, hlm 16 23
Dengan Penjelasan Umum UURS akan “dimenangkan” Pasal 1 angka 1 UURS
oleh karena Pasal 1 angka 1 yang lebih spesifik (rinci) merumuskan pengertian
rumah susun dibandingkan dengan Penjelasan Umum UURS. Selanjutnya
ketidaksinkronan (pertentangan) antara Pasal 1 angka 1 UURS dengan Penjelasan
Pasal 79 PP No. 4 Tahun 1988 “dimenangkan “ Pasal 1 angka 1 oleh karena di dalam
peraturan perundang-undangan diberlakukan asas “Hukum yang lebih tinggi
mengenyampingkan hukum yang lebih rendah” (lex superior de rogat lex inferior)
Rumah susun mengandung sistem pemilikan perseorangan (individual) dan
hak bersama. Kita mengenal ada 3 (tiga) bentuk sistem pemilikan, yaitu :
a. sistem pemilikan perseorangan
b. sistem pemilikan bersama yang terikat
c. sistem pemilikan perseorangan yang sekaligus dilengkapi dengan sistem
pemilikan bersama yang bebas (condominium)
Rumah susun merupakan kategori sistem pemilikan yang ketiga. Di dalam
rumah susun secara simultan terkandung sistem pemilikan perseorangan dengan hak
bersama yang bebas. Oleh karena itulah, maka hak pemilikan perseorangan atas
satuan (unit) rumah susun meliputi pula hak bersama atas bangunan, benda dan
tanahnya.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa hak milik (individual) atas satuan
rumah susun juga meliputi hak bersama atas bagian bersama, benda bersama dan
tanah bersama. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang
Rumah Susun merumuskan bahwa bagian bersama adalah bagian rumah susun yang
dimiliki secara terpisah tidak untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi
tersebut memberi contoh bagian bersama adalah antara lain : pondasi, kolom, balok,
dinding, lantai, atap, talang air, tangga, lift, selasar, saluran-saluran, pipa-pipa,
jaringan- jaringan listrik, gas dan telekomunikasi.
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 mendefinisikan
bahwa benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun
melainkan bagian yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian
bersama. Selanjutnya Penjelasan Pasal 25 ayat 1 mencontohkan benda bersama
adalah ; ruang pertemuan, tanaman, bangunan pertamanan, bangunan sarana sosial,
tempat ibadah, tempat bermain, dan tempat parkir yang terpisah atau menyatu
dengan struktur bangunan rumah susun.
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 merumuskan bahwa
tanah bersama adalah sebidang tanah hak atau tanah sewa untuk bangunan yang
digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rumah
susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin mendirikan bangunan.
Menurut A.P Parlindungan, sebenarnya rumah susun itu adalah suatu istilah
yang dibuat oleh perundangan kita yang berwujud sebagai suatu perumahan yang
dimiliki oleh beberapa orang/badan hukum secara terpisah dengan segala
kelengkapan sebagai suatu tempat hunian ataupun bukan hunian, untuk perkantoran,
usaha komersil dan lain-lain, dengan akses tersendiri untuk keluar ke jalan besar dan
dengan segala hak dan kewajibannya dan mempunyai bukti-bukti tentang haknya
tersebut, dengan berdimensi horizontal dan vertikal.24
24
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang…hal 99 27 Oloan Sitorus & Balans Sebayang, Kondominium…Op Cit, hlm. 7
Undang-Undang Nomor 16
Tahun 1985 menganut asas kondominium dalam pemilikan atas rumah susun.
secara terpisah bagian-bagian dari suatu rumah susun, di samping bangian-bagian
lainnya serta tanah di atas mana bangunan yang bersangkutan berdiri, yang karena
fungsinya harus digunakan bersama.
Soni Harsono dalam bukunya “Aspek Pertanahan Dalam Pembangunan
Rumah Susun,” berpendapat bahwa inti sistem kondominium adalah pengaturan
pemilikan bersama atas sebidang tanah dengan bangunan fisik di atasnya, karena itu
pemecahan masalahnya selalu dikaitkan dengan hukum yang mengatur tanah.25
Menurut Arie S. Hutagalung dalam bukunya “Membangun Condominium
(Rumah Susun), Masalah-Masalah Yuridis Praktis Dalam Penjualan, Pemilikan,
Pembebanan serta Pengelolaannya”, bahwa rumah susun merupakan terjemahan
dari kata-kata condominium, flat, atau apartment. Kondominium berasal dari kata
condominium, jika dipenggal, co berarti bersama-sama, dominium berarti pemilikan.
Istilah yang dipakai berbeda menurut sistem hukum yang bersangkutan, misalnya di
Inggris disebut joint property, di Amerika menggunakan istilah condominium,
sedangkan di Singapura dan Australia menggunakan istilah strata title. Di antara
istilah-istilah tersebut di atas, istilah strata title yang lebih memungkinkan adanya
pemilikan bersama secara horizontal, di samping pemilikan secara vertikal.
Walaupun di Indonesia digunakan istilah seperti: rumah susun, apartemen, flat,
maupun kondominium, namun bahasa hukum semuanya disebut rumah susun, karena
mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 yang kini diganti menjadi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011.26
Pasal 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 dan penjelasannya menyatakan
bahwa asas penyelenggaraan rumah susun adalah sebagai berikut:
25
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang…hal 99 27 Oloan Sitorus & Balans Sebayang, Kondominium…Op Cit, hlm. 7
26
a. asas kesejahteraan
Yang dimaksud dengan asas kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan rumah susun yang layak bagi masyarakat agar mampu
mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya
b. Asas keadilan dan pemerataan
Yang dimaksud dengan asas keadilan dan pemerataan adalah memberikan hasil
pembangunan di bidang rumah susun agar dapat dinikmati secara proporsional
dan merata bagi seluruh rakyat.
c. Asas kenasionalan
Yang dimaksud dengan asas kenasionalan adalah memberikan landasan agar
kepemilikan sarusun dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan nasional.
d. Asas keterjangkauan dan kemudahan
Yang dimaksud dengan asas keterjangkauan dan kemudahan adalah memberikan
landasan agar hasil pembangunan rumah susun dapat dijangkau oleh seluruh
lapisan masyarakat, serta mendorong terciptanya iklim kondusif dengan
memberikan kemudahan bagi MBR.
e. asas keefisienan dan kemanfaatan
Yang dimaksud dengan asas keefisienan dan kemanfaatan adalah memberikan
landasan penyelenggaraan rumah susun yang dilakukan dengan memaksimalkan
potensi sumber daya tanah, teknologi rancang bangun, dan industri bahan
bangunan yang sehat serta memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi
f. asas kemandirian dan kebersamaan
Yang dimaksud dengan asas kemandirian dan kebersamaan adalah memberikan
landasan penyelenggaraan rumah susun bertumpu pada prakarsa, swadaya, dan
peran serta masyarakat sehingga mampu membangun kepercayaan, kemampuan,
dan kekuatan sendiri serta terciptanya kerja sama antarpemangku kepentingan.
g. asas kemitraan
Yang dimaksud dengan asas kemitraan adalah memberikan landasan agar
penyelenggaraan rumah susun dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
dengan melibatkan pelaku usaha dan masyarakat dengan prinsip saling
mendukung.
h. asas keserasian dan keseimbangan
Yang dimaksud dengan asas keserasian dan keseimbangan adalah memberikan
landasan agar penyelenggaraan rumah susun dilakukan dengan mewujudkan
keserasian dan keseimbangan pola pemanfaatan ruang.
i. asas keterpaduan
Yang dimaksud dengan asas keterpaduan adalah memberikan landasan agar
rumah susun diselenggarakan secara terpadu dalam hal kebijakan dalam
perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengendalian.
j. asas kesehatan
Yang dimaksud dengan asas kesehatan adalah memberikan landasan agar
pembangunan rumah susun memenuhi standar rumah sehat, syarat kesehatan
k. asas kelestarian dan keberlanjutan
Yang dimaksud dengan asas kelestarian dan keberlanjutan adalah memberikan
landasan agar rumah susun diselenggarakan dengan menjaga keseimbangan
lingkungan hidup dan menyesuaikan dengan kebutuhan yang terus meningkat
sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk dan keterbatasan lahan.
l. asas keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan
Yang dimaksud dengan asas keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan adalah
memberikan landasan agar bangunan rumah susun memenuhi persyaratan
keselamatan, yaitu kemampuan bangunan rumah susun mendukung beban
muatan, pengamanan bahaya kebakaran, dan bahaya petir; persyaratan
kenyamanan ruang dan gerak antar ruang, pengkondisian udara, pandangan,
getaran, dan kebisingan; serta persyaratan kemudahan hubungan ke, dari, dan di
dalam bangunan, kelengkapan prasarana, dan sarana rumah susun termasuk
fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia.
m. asas keamanan, ketertiban, dan keteraturan
Yang dimaksud dengan asas keamanan, ketertiban, dan keteraturan adalah
memberikan landasan agar pengelolaan dan pemanfaatan rumah susun dapat
menjamin bangunan, lingkungan, dan penghuni dari segala gangguan dan
ancaman keamanan; ketertiban dalam melaksanakan kehidupan bertempat tinggal
dan kehidupan sosialnya; serta keteraturan dalam pemenuhan ketentuan
administratif.
B. Tujuan Pembangunan Rumah Susun
Tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan kesejahteraan lahir
untuk mengisi cita-cita perjuangan bangsa Indonesia bagi terwujudnya masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu
unsur pokok kesejahteraan rakyat adalah terpenuhinya kebutuhan akan perumahan
yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap warga Negara Indonesia dan
keluarganya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Di samping itu,
pembangunan perumahan merupakan salah satu unsur yang penting dalam strategi
pengembangan wilayah, yang menyangkut aspek-aspek yang luas di bidang
kependudukan, dan berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi dan kehidupan
sosial dalam rangka pemantapan Ketahanan Nasional.27
Sehubungan dengan uraian tersebut, maka kebijaksanaan umum
pembangunan perumahan diarahkan untuk:
Dari hal-hal tersebut di atas, jelaslah bahwa perumahan merupakan masalah
nasional, yang dampaknya sangat dirasakan di seluruh wilayah tanah air, terutama di
daerah perkotaan yang berkembang pesat. Oleh karena itu, sebagaimana diamanatkan
dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, pembangunan perumahan untuk memenuhi
kebutuhan yang terus meningkat perlu ditangani secara mendasar, menyeluruh,
terarah, dan terpadu, oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dengan
keikutsertaan secara aktif usaha swasta dan swadaya masyarakat. Pembangunan
perumahan yang telah dirintis sejak Pelita I perlu ditingkatkan dan dikembangkan,
khususnya perumahan dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli golongan
masyarakat yang berpenghasilan rendah.
28
27
Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun & Apartemen, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 157 28
Ibid, hlm 159
a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat,
secara adil, dan merata, serta mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang
b. Mewujudkan permukiman yang serasi dan seimbang, sesuai dengan pola tata
ruang kota dan tata daerah serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil
guna.
Sejalan dengan arah kebijaksanaan umum tersebut, maka di daerah perkotaan
yang berpenduduk padat, sedangkan tanah yang tersedia sangat terbatas, perlu
dikembangkam pembangunan perumahan dan pemukiman dalam bentuk rumah
susun yang lengkap, seimbang, dan serasi dengan lingkungannya. Pengertian rumah
susun adalah bangunan gedung bertingkat yang distrukturkan secara fungsional
dalam arah horizontal dan arah vertikal yang terbagi dalam satu-satuan yang
masing-masing jelas batas-batasnya, ukuran dan luasnya, dan dapat dimiliki dan dihuni
secara terpisah. Selain satuan-satuan yang penggunaannya terpisah, ada bagian
bersama dari bangunan tersebut serta benda bersama dan tanah bersama yang di
atasnya didirikan rumah susun, yang karena sifat dan fungsinya harus digunakan dan
dinikmati bersama dan tidak dapat dimiliki secara perseorangan. Hak pemilikan atas
satuan rumah susun merupakan kelembagaan hukum baru, yang perlu diatur dengan
undang-undang, dengan memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat
Indonesia. Dengan undang-undang ini diciptakan dasar hukum hak milik atas satuan
rumah susun, yang meliputi:29
29
Ibid, hlm 161
a. Hak pemilikan perseorangan atas satuan-satuan rumah susun yang digunakan
secara terpisah
b. Hak bersama atas bagian-bagian dari bangunan rumah susun
d. Hak bersama atas tanah yang semuanya merupakan satu kesatuan hak yang secara
fungsional tidak terpisahkan
Pembangunan rumah susun ditujukan terutama untuk tempat hunian,
khususnya bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Namun demikian,
pembangunan rumah susun harus dapat mewujudkan permukiman yang lengkap dan
fungsional, sehingga diperlukan adanya bangunan gedung bertingkat lainnya untuk
keperluan bukan hunian yang terutama berguna bagi pengembangan kehidupan
masyarakat ekonomi lemah. Adapun tujuan pembangunan rumah susun seperti yang
tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang No.16 Tahun 1985 pembangunan rumah
susun bertujuan untuk :
1. a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan
masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjami kepastian hukum
dalam pemanfaatannya;
b. Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah pekotaan dengan
memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan
pemukiman yang lengkap, serasi, dan seimbang
2. Memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang berguna bagi kehidupan
masyarakat, dengan tetap mengutamakan ketentuan ayat (1 huruf a), dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tujuan pembangunan rumah susun
adalah:
a. Menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau dalam
lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan serta menciptakan
permukiman yang terpadu guna membangun ketahanan ekonomi, sosial, dan
b. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah, serta
menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan dalam menciptakan
kawasan permukiman yang lengkap serta serasi dan seimbang dengan
memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan;
c. Mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman
kumuh;
d. Mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan yang serasi, seimbang, efisien,
dan produktif;
e. Memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi yang menunjang kehidupan penghuni
dan masyarakat dengan tetap mengutamakan tujuan pemenuhan kebutuhan
perumahan dan permukiman yang layak, terutama bagi MBR;
f. Memberdayakan para pemangku kepentingan di bidang pembangunan rumah
susun;
g. Menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan terjangkau,
terutama bagi MBR dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan
berkelanjutan dalam suatu sistem tata kelola perumahan dan permukiman yang
terpadu; dan
h. Memberikan kepastian hukum dalam penyediaan, kepenghunian, pengelolaan,
dan kepemilikan rumah susun.
Uraian tujuan pembangunan rumah susun dari kedua Undang-Undang Rumah
Susun di Indonesia, kita tahu pada Undang-Undang No.16 Tahun 1985 adalah hanya
menitik beratkan dalam membantu masyarakat berpenghasilan rendah dan
Undang-Undang No.20 Tahun 2011 telah diuraikan secara lengkap bahwa tujuan
pembangunan rumah susun adalah selain dari pada menjamin kebutuhan perumahan
bagi masyarakat juga menjamin keamanan, kesehatan lingkungan, harmonis serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah, serta
menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan karena kawasan perkotaan
saat ini semakin sempit sementara setiap tahunnya masyarakat perkotaan
pertumbuhannya semakin meningkat.
C. Konsep dan Klasifikasi Perumahan dan Pemukiman yang Layak Huni
Meningkatnya pembangunan perumahan, baik yang dilakukan oleh
pemerintah, swasta, maupun perorangan, perlu ditujang dengan ketentuan-ketentuan
yang dapat dijadikan pedoman baik dalam persiapan, perencanaan, pelaksanaan,
maupun pengawasan dan pembiayaannya.
Pembangunan lingkungan perumahan harus direncanakan pada daerah yang
telah ditentukan bagi pengembangan perumahan seperti yang telah ditetapkan dalam
rencana tata ruang suatu wilayah. Masing-masing lokasi perumahan ini mempunyai
tingkat kesulitan yang berbeda, tergantung kondisi fisik masing-masing lokasi.
Secara umum, tingkat kemudahan lingkungan perumahan dibedakan dalam tiga
tingkatan yaitu :
1. Lingkungan perumahan di daerah dengan tingkat kemudahan I, yaitu lingkungan
perumahan di daerah yang paling dekat dengan pusat kegiatan yang memberikan
pelayanan untuk kehidupan sehari-hari, misalnya fasilitas pendidikan, pelayanan
umum, kesehatan, perbelanjaan, olahraga, lapangan terbuka, dan lain-lain.
Tempat terjauh dari pusat pelayanan tersebut mempunyai jarak tempuh 15 menit
2. Lingkungan perumahan di daerah dengan tingkat kemudahan 11, yaitu
lingkungan perumahan di mana tempat kediamannya berada di dalam daerah
yang berbatasan dengan lingkungan perumahan daerah kemudahan tingkat 1.
3. Lingkungan perumahan di daerah dengan tingkat kemudahan III, yaitu
lingkungan perumahan di mana tempat kediamannya berada di dalam daerah
yang berbatasan dengan lingkungan perumahan daerah kemudahan tingkat 11.30
Untuk merencanakan lingkungan perumahan dengan baik, kita perlu
memperhatikan beberapa kriteria berikut31
a. Antara Lokasi perumahan dan tempat bekerja serta pusat-pusat layanan
kegiatan dihubungkan dengan prasarana dan sarana jalan umum. :
1. Lokasi
Lokasi perumahan sebaiknya dipilih di daerah yang memberikan akses yang
mudah bagi para pemukim (selama-lamanya 30 menit dengan menggunakan alat
transportasi umum) untuk menuju tempat kerja dan pusat-pusat kegiatan
pelayanan yang lebih luas. Ketentuan ini mengandung beberapa pengertian
berikut:
b. Antara lokasi perumahan dan tempat bekerja serta pusat-pusat layanan
kegiatan dilalui alai transportasi umum yang dapat diakses oleh seluruh
lapisan masyarakat yang bermukim di tempat tersebut.
c. Perencanaan permukiman harus dapat memberikan keseimbangan sosial,
dalam arti bahwa pembangunan perumahan tersebut harus dapat
menciptakan hubungan yang serasi antara berbagai lapisan masyarakat,
misalnya dalam hubungannya dengan golongan pendapatan (rendah,
30
M. Sastra S. dkk, 2005. Op. Cit, hal.131 31
sedang, menengah, dan tinggi), agama, dan budaya sehingga tercipta
hubungan yang harmonis di dalam masyarakat. Keseimbangan sosial yang
terbentuk merupakan salah satu ciri berkembangnya kondisi masyarakat ke
arah yang positif. Kondisi ini dalam jangka panjang merupakan salah satu
pertimbangan pengembangan wilayah sekitarnya menjadi kawasan
permukiman baru.
Kondisi sosial masyarakat yang seimbang akan memberi kesempatan kepada
setiap anggota masyarakat untuk membina diri dan keluarganya sehingga dapat
tumbuh dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Kondisi Geologi/Topografi
Suatu daerah permukiman memerlukan kondisi dasar geologi maupun topografi
yang baik untuk dapat berkembang dengan baik. Dari aspek geologi, struktur
dan kekuatan tanah yang direncanakan untuk pengembangan daerah
permukiman harus dalam kondisi yang baik dan stabil. Kondisi geologi tanah
yang kurang menguntungkan sebaiknya diolah terlebih dahulu hingga mencapai
kondisi yang baik sebelum dikembangkan menjadi daerah permukiman. Apabila
tanah mempunyai kestabilan dan kemantapan yang baik, secara teknis di lahan
tersebut akan dapat dikembangkan berbagai bangunan secara bebas dan leluasa.
Tidak jarang pengembang permukiman kurang memikirkan hal ini, namun hanya
mengejar harga tanah yang murah saja, misalnya dengan memilih lokasi
permukiman di daerah bantaran sungai. Selain menyalahi aturan teknis, daerah
ini juga labil. Secara teknis di daerah bantaran sungai tidak boleh didirikan
bangunan permanen untuk menghindari bahaya banjir. Dipandang dari aspek
karena tanahnya cenderung labil.
Kondisi topografi adalah kondisi yang menggambarkan kondisi kemiringan
lahan, atau kontur lahan. Semakin besar kontur lahan berarti lahan tersebut
mempunyai kemiringan yang semakin besar. Lahan yang baik untuk
dikembangkan sebagai area perumahan adalah lahan yang relatif landai, memiliki
kemiringan yang kecil, sehingga mempunyai potensi pengembangan yang besar.
3. Kepastian Hukum
Status hukum suatu lahan merupakan hal yang sangat penting sehubungan
dengan legalitas lahan tersebut. Dengan kejelasan status hukum suatu lahan,
pemilik akan mempunyai kebebasan untuk mengembangkan (selama masih
dalam aturan yang berlaku di wilayah tersebut), bahkan juga
memindahtangankan lahan kepada orang lain.
Suatu bangunan/rumah dan tanah dikatakan mempunyai status hukum yang jelas
apabila tanah, rumah, dan penghuniannya diperoleh dengan tata cara/prosedur
hukum. Tanah, rumah, dan penghuniannya dalam hal ini akan dilindungi oleh
hukum.
Kegiatan-kegiatan/prosedur hukum pemilikan tanah, rumah, dan penghuniannya
dapat dilakukan oleh perseorangan atau badan hukum/perusahaan, meliputi:
a. Pembebasan tanah
b. Permohonan hak
c. Pembangunan
D. Program-Program Pemerintah Terkait Pelaksanan Perumahan dan Permukiman Yang Layak Huni
Disamping usaha dan program Pemerintah untuk membantu memberdayakan
masyarakat dalam pengadaan perumahannya di daerah perkotaan ada beberapa
program Pemerintah yang berkaitan dengan masalah perumahan masyarakat
berpenghasilan rendah di daerah perkotaan. Beberapa program yang penting, antara
lain32
a. Program pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah oleh
Perum Perumnas. :
b. Program peremajaan kota dan lingkungan kumuh.
c. Program perbaikan kampung.
Meskipun program-program tersebut ditujukan bagi masyarakat
berpenghasilan rendah, tujuan dan cara pelaksanaannya berbeda-beda33
a. Sifat usaha dari Perusahaan adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan :
1. Pembangunan Perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah oleh Perum Perumnas
Program pembangunan perumahan bagi masyarakat, terutama masyarakat
berpenghasilan rendah di daerah perkotaan dimulai pada awal Pelita II. Untuk
melaksanakan program tersebut pada tahun 1974 dibentuk Perum Perumnas.
Sebagai perusahaan negara yang bergerak di bidang pengadaan perumahan rakyat,
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah
No. 12 Tahun 1988. Secara garis besar tugas Perum Perumnas yang tercantum
dalam Pasal 5 sebagai berikut:
32
Panudju, B. Pengadaan Perumahan Dengan Peran Serta Masyarakat Berpenghasilan Rendah, (Penerbit Alumni : Bandung, 2009). Hal. 175
33
umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan
perusahaan.
b. Maksud didirikannya perusahaan adalah untuk menyelenggarakan kemanfaatan
umum berupa kegiatan-kegiatan produktif di bidang pelaksanaan pembangunan
perumahan rakyat beserta sarana dan prasarananya, dan melakukan pemupukan
dana.
c. Tujuan perusahaan melaksanakan kebijaksanaan dan program Pemerintah di
bidang pelaksanaan pembangunan perumahan rakyat beserta sarana dan
prasarananya yang mampu mewujudkan lingkungan permukiman sesuai dengan
rencana pembangunan wilayah/kota.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, kegiatan-kegiatannya telah dirumuskan
dalam Pasal 6 sebagai berikut:
a. Menyiapkan perencanaan proyek-proyek pembangunan perumahan rakyat
dalam arti luas dan prasarana lingkungan;
b. Mengusahakan pembiayaan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan
tugasnya;
c. Menyiapkan, melaksanakan dan mengendalikan pelaksanaan proyek-proyek
pembangunan perumahan rakyat dan prasarana lingkungan yang mencakup
penguasaan dan pematangan tanah, pembangunan perumahan, pembangunan
prasarana lingkungan, perbaikan lingkungan serta kegiatan-kegiatan lainnya
yang berhubungan dengan hal itu;
d. Mengelola tanah-tanah yang dikuasainya, dengan kewenangan untuk:
- merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;
- menyerahkan bagian-bagian daripada tanah tersebut berikut rumah/
bangunannya dan/atau memindah-tangankan (menjual) tanah yang sudah
dimatangkan berikut prasara yang diperlukan kepada pihak ketiga.
e. Melaksanakan dan mengusahakan unit-unit produksi bahan bangunan dan usaha
penunjang lainnya dalam pelaksanaan tugas pokok perusahaan;
f. Melakukan hubungan kerja dan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka
pelaksanaan tugasnya.
Dari arahan-arahan tersebut di atas, pada kenyataannya Perum Perumnas
mempunyai fungsi ganda yang tidak mudah untuk dilaksanakan. Disatu pihak harus
melaksanakan fungsi sosial untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah,
dilain pihak harus memupuk keuntungan.
Pada awal-awal kegiatan, antara tahun 1974 sampai dengan 1979 cumber
dana pembangunan Perum Perumnas berasal dari APBN sebesar 97%, dalam bentuk
penyertaan modal pemerintah dan selebihnya dari usaha sendiri dan pinjaman luar
negeri. Sejak tahun 1979, sebagai akibat menurunnya harga minyak, penyertaan
modal pemerintah semakin dikurangi dan pada tahun anggaran 1982/1983
penyertaan modal pemerintah dihentikan sama sekali.
Karena lingkup kegiatan Perum Perumnas meliputi seluruh propinsi di
Indonesia, Perum Perumnas berkembang menjadi suatu perusahaan yang cukup
besar. Untuk melaksanakan operasinya kantor pusat Perum Perumnas di Jakarta
membawahi beberapa kantor cabang di kota-kota Medan, Jakarta dua buah,
Bandung, Semarang, Surabaya, dan Ujung Pandang. Disamping itu, ada beberapa
puluh kantor unit proyek di berbagai kota. Hal tersebut menyebabkan jumlah
Sesuai dengan program dan target pemerintah sejak Pelita II Perum
Perumnas telah membangun cukup banyak rumah di berbagai kota di 27 propinsi.
Meskipun jumlah yang telah dibangun jumlahnya relatif cukup banyak, belum dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama -masyarakat berpenghasilan rendah.
Dalam pelaksanaan pembangunan perumahan tersebut, seperti apa yang
dijelaskan pada Peraturan Pemerintah No. 121 Tahun 1988 Pasal 6, Perum
Perumnas sertanggung jawab melaksanakan proses pengadaan perumahan sejak
pengadaan lahan, pembuatan rencana tapak, pematangan lahan, pembuatan rencana
bangunan maupun pelaksanaan pembangunan fisik rumah dan lingkungannya.
Namun, karena banyaknya pembangunan perumahan yang ditangani, Perum
Perumnas menggunakan jasa konsultan dan kontraktor. Dalam proses ini tidak ada
keterlibatan masyarakat, calon penghuni sama sekali.
Meskipun dalam pelaksanaan pembangunan perumahan di lapangan menjadi
tanggung jawab kepada unit atau kepala proyek, dalam pengambilan
keputusan-keputusan penting seperti penentuan pemilihan lokasi, penentuan rencana tapak,
perencanaan bangunan dan penentuan konsultan maupun kontraktor masih banyak
ditentukan oleh kantor cabang dan terutama kantor pusat.
Dengan demikian proses pelaksanaan pembangunan perumahan oleh Perum
Perumnas sampai beberapa waktu yang lalu masih sangat sentralistis.
Standar-standar perancanaan maupun perencanaan dan rancangan rumah
telah ditentukan dari pusat sehingga seringkali memperhatikan kondisi sosial
ekonomi dan budaya setempat, terutama di kota- kota kecil di luar Pulau Jawa.
Dalam pelaksanaannya Perum Perumnas sangat terikat oleh
Pemerintah dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1974 tentang Pembentukan
Perum Perumnas, yang secara jelas telah mengatur lingkup pekerjaan, cara
pembiayaan, cara pembangunan dan lain sebagainya.
Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut, kegiatan-kegiatan Perum
Perumnas sudah sangat terarah dan sangat formal. Dalam pemilihan para calon
penghuni, selain persyaratan- persyaratan untuk calon penghuni yang ketat, proses
pendaftarannya pun diatur secara rinci sehingga untuk dapat mendaftar sebagai
calon penghuni Kompleks Perumahan Perum Perumnas sudah merupakan suatu
saringan cukup berat.
Karena bagi pembeli perumahan yang dibangun oleh Perum Perumnas
diberikan fasilitas kredit oleh BTN, selain peraturan-peraturan tersebut di atas,
masih ada peraturan-peraturan tentang pembangunan perumahan dengan dukungan
KPR BTN yang harus diakui oleh Perum Perumnas seperti yang dimuat dalam
peraturan-peraturan sebagai berikut:
a. Ketentuan Proyek Perumahan Sederhana dengan Dukungan Kredit Pemilikan
Rumah Bank Tabungan Negara.
b. Ketentuan dan Syarat serta Prosedur Pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
dan Kredit Pemilikan Kapling Siap Bangun (KPKSB) dari Bank Tabungan
Negara.
Dari peraturan-peraturan tersebut di atas, terlihat bahwa bagi masyarakat
berpenghasilan rendah yang tidak mempunyai penghasilan tetap seperti buruh
bangunan, tukang becak, buruh kasar, dan lain pekerjaan yang sifatnya tidak tetap,
sulit untuk bisa mendapatkan perumahan yang dibangun oleh Perum Perumnas.
relatif tingginya harga rumah dan perbandingan kebutuhan dengan rumah yang
dapat dihasilkan oleh Perum Perumnas, program ini belum dapat membantu
sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah.34
Peremajaan lingkungan perumahan kumuh merupakan bagian dari progran
peremajaan kota. Program ini dilaksanakan berdasarkan, Instruksi Presiden Nomor 5
Tahun 1990 tentang peremajaan Permukiman Kumuh di atas Tanah Negara. Sesuai
dengan Instruksi Presiden tersebut, arahnya adalah sebagai berikut
2. Peremajaan Kota dan Lingkungan Perumahan Kumuh
35
a. Peremajaan Permukiman Kumuh adalah pembongkaran sebagian atau seluruh
permukiman kumuh yang sebagian besar atau seluruhnya berada di atas tanah
negara dan selanjutnya ditempat yang sama dibangun prasarana dan fasilitas
lingkungan, rumah susun serta bangunan-bangunan lainnya sesuai dengan
rencana tata ruang kota yang bersangkutan.
:
b. Peremajaan Permukiman Kumuh bertujuan untuk:
• Meningkatkan mutu kehidupan, harkat, derajat, dan martabat masyarakat
penghuni permukiman kumuh terutama golongan masyarakat
berpeng-hasilan rendah, dengan memperoleh perumahan yang layak dalam
lingkungan permukiman yang sehat dan teratur.
• Mewujudkan kawasan kota yang ditata secara sesuai dengan fungsinya
sebagai ditetapkan dalam rencana tata ruang kota yang bersangkutan.
• Mendorong penggunaan lahan yang lebih efisien dengan pembangunan
rumah susun, meningkatkan tertib bangunan, memudahkan penyediaan
34Ibid
, hal.178-179 35
sarana dan prasarana lingkungan permukiman yang diperlukan serta
mengurangi kesenjangan kesejahteraan penghuni dari berbagai kawasan
daerah perkotaan.
Prinsip pelaksanaan program tersebut adalah para penghuni wilayah yang
diremajakan dan ditampung dalam rumah-rumah susun yang akan dibangun di
wilayah-wilayah tersebut atau di lokasi lain yang dekat dengan lokasi peremajaan
tersebut. Rumah-rumah tersebut dapat disewa maupun dimiliki dengan bantuan
fasilitas kredit pemilikan rumah. Selama proses perombakan dan pembangunan
kembali tersebut masyarakat yang terlibat akan ditampung di dalam perumahan
sementara.
Konsep pemikiran dari program ini, selain untuk meningkatkan kondisi
perumahan masyarakat berpenghasilan rendah, adalah untuk mendapatkan lahan di
lokasi-lokasi yang strategis di dalam kota yang nilai lahannya cukup tinggi. Dengan
demikian, sasaran utama dari program ini adalah untuk dapat menampung para
penghuni di kawasan tersebut dalam rumah susun, sehingga terdapat kelebihan
lahan yang cukup luas, untuk dapat dipergunakan pembangunan fasilitas-fasilitas
kota yang secara komersial menguntungkan. Hal ini mengakibatkan pembangunan
kembali perumahan masyarakat yang tadinya horisontal, untuk meningkatkan daya
tampung lahan perlu dibangun secara vertikal dalam bentuk rumah susun sederhana.
Dengan demikian, biaya konstruksi setiap unit rumah menjadi lebih tinggi bila
dibandingkan, dengan pembangunan rumah murah biaya. Selain biaya
pembangunan rumah susun, masih ada biaya-biaya lain yang perlu dikeluarkan
dalam kegiatan ini, yaitu biaya pembongkaran rumah-rumah lama, pembangunan
prasarana air, listrik, pembuangan limbah dan prasarana jalan lingkungan. Dengan
demikian, program ini memerlukan biaya yang cukup besar.
Mengingat kegiatan ini memerlukan perhitungan ekonomi yang teliti,
perencanaan dan perancangan yang rinci, pengelolaan pembongkaran, penampungan
serta pembangunan dalam jumlah yang relatif besar, pelaksanaannya harus
dilaksanakan oleh sebuah organisasi atau perusahaan yang profesional mempunyai
tenaga ahli yang memadai dan mempunyai modal yang cukup besar. Menurut
pengarahan Pemerintah organisasi yang memungkinkan kegiatan tersebut antara
lain:
a. Pemerintah Pusat, melalui Departemen pekerjaan Umum, dengan sumber dana
dari APBN dan atau pinjaman atau bantuan luar negeri.
b. Badan Usaha Milik Negara, seperti Perum Perumnas, dengan modal dari
perusahaan itu sendiri maupun pinjaman dari pihak luar.
c. Badan Usaha Milik Daerah, dengan modal dari perusahaan, bantuan dari
pemerintah atau pinjaman luar negeri.
d. Perusahaan pengembang swasta, dengan modal dari perusahaan maupun kerja
sama dengan berbagai pihak dalam maupun luar negeri.
e. Yayasan-yayasan semi pemerintah, seperti yayasan dana pension atau
yayasan-yayasan lain yang mempunyai simpanan dana yang cukup besar, yang bekerja
sama dengan pihak lain.
Ditinjau dari kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah, sampai saat ini
program ini belum berkembang dan belum menguntungkan masyarakat
berpenghasilan rendah.
program ini belum berkembang dan belum menguntungkan masyarakat
berpenghasilan rendah.
3. Perbaikan Kampung36
a. Mengurangi genangan air di waktu hujan, dengan cara memperbaiki sistem
saluran drainase dan pengerasan jalan-jalan dalam kampung.
Program perbaikan kampung yang lebih dikenal dengan nama Kampung
Improvement Project yang disingkat KIP pada kenyataannya bukan suatu program
baru di Indonesia. Kegiatan tersebut telah ada pada waktu penjajahan Belanda
dengan nama Kampoeng Verbetering.
Tujuan program ini pada awalnya adalah untuk memperbaiki kondisi
lingkungan perumahan kampung di dalam kota yang kumuh dan tidak sehat, agar
masyarakat dapat tinggal dalam lingkungan perumahan yang lebih sehat dan lebih
nyaman. Dengan adanya perbaikan kondisi lingkungannya, diharapkan masyarakat
secara, sertahap akan berkembang memperbaiki kondisi rumah mereka
masing-masing.
Program perbaikan kampung dimulai kembali di Indonesia pada akhir tahun
enam puluhan di dua kota. Program ini dilaksanakan oleh Pemerintah DKI - Jakarta
diberi nama Proyek Muhammad Husni Thamrin dan oleh Pemerintah Daerah
Tingkat II Kotamadya Surabaya yang diberi nama Proyek W.R. Supratman.
Konsep pelaksanaan program perbaikan kampung pada awalnya cukup
sederhana. Untuk meningkatkan kondisi fisik lingkungan perumahan kampung,
sasarannya adalah:
b. Meningkatkan pengadaan air bersih, dengan cara pemasangan kran-kran umum
36
di beberapa tempat.
c. Mengurangi gangguan sampah, dengan cara memperbaiki sistem pembuangan
sampah melalui pengadaan gerobak-gerobak sampah, tong dan bak sampah.
d. Meningkatkan kondisi sanitasi lingkungan, dengan cara pembangunan fasilitas
mandi, cuci, kakus atau MCK.
Untuk beberapa kampung yang membutuhkan, program ini juga membangun
Puskesmas, Pos Pelayanan Kesehatan maupun penambahan atau perbaikan Sekolah
Dasar
Meskipun pada prinsipnya tujuan program ini sama, pada kenyataannya
konsepnya berkembang dari waktu ke waktu. Berdasarkan penelitian Johan Silas,
konsep tersebut selalu berkembang dan disempurnakan. Konsep tersebut dapat
dikategorikan sebagai berikut:
a. Konsep Politis
Konsep ini dilaksanakan pada waktu penjajahan Belanda. Program ini dipakai
sebagai alas politik
Pemerintah untuk memenuhi tuntutan pihak oposisi di parlemen maupun untuk
memenuhi tanggung jawab Pemerintah Daerah.
b. Konsep Proyek Pekerjaan Umum
Konsep pekerjaan ini pertama sekali mulai di Jakarta dan Surabaya pada akhir
enam puluhan dan awal tujuh puluhan, konsep yang dipakai adalah konsep
pekerjaan umum. Kegiatan-kegiatan pembangunan di kampung sangat
ditentukan oleh apa yang menurut Pemerintah penting untuk dilakukan.
c. Konsep Perumahan
bantuan pinjaman dari Bank Dunia. Program perbaikan kampung diharapkan
untuk dapat menghasilkan rumah-rumah dengan standar minimum yang masih
dapat diterima, tanpa harus membangun rumah-rumah baru. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara meningkatkan rumah-rumah yang dibawah standar
menjadi rumah-rumah yang standarnya dapat diterima oleh Pemerintah.
d. Konsep dengan Peran Serta Masyarakat
Dengan bantuan Institut Teknologi Sepuluh November atau ITS di Surabaya,
masyarakat setempat yang akan terkena program tersebut diajak berkonsultasi
dan dimintai pendapatnya tentang program perbaikan kampung yang akan
dilaksanakan di kampungnya. Dalam diskusi tersebut dijelaskan pula apa yang
dapat dan tidak dapat dilakukan oleh proyek tersebut. Disamping itu, dijelaskan
pula apa yang diharapkan untuk dapat dilengkapi oleh masyarakat setempat.
Dapat pula ditambahkan disini bahwa konsep yang mirip telah dikembangkan
oleh Prof. Hasan Poerbo dan Jurusan Arsitektur ITB untuk program yang sama
di Kota Bandung.
e. Konsep Pengembangan Kota
Setelah banyak kampung di dalam kota menjadi baik, dana Pemerintah masih
tetap terbatas sedangkan untuk memenuhi kebutuhan kualitas selalu meningkat.
Oleh karena itu, program perbaikan kampung dijadikan salah satu bagian dari
program pengembangan kota secara terpadu. Dengan menggunakan kekuasaan
Pemerintah Daerah, program perbaikan kampung dimanfaatkan sebagai alas
untuk mengintegrasikan, merangsang dan memaksakan adanya subsidi silang
Dengan adanya penyempurnaan konsep-konsep tersebut, komponen
perbaikan awal dari program ini juga mengalami perubahan dan penambahan,
disesuaikan dengan kondisi kampung dan masyarakat setempat. Sejak dilaksanakan
di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1969 program perbaikan kampung terns
dilaksanakan d berbagai kota. Sejak Pelita II program perbaikan kampung, dengan
bantuan Bank Dunia, dikembangkan di beberapa kota besar antara lain, Jakarta,
Surabaya dan Ujung Pandang. Mulai Pelita III dan dilanjutkan pada pelita-pelita
berikutnya program perbaikan kampung dilaksanakan di kota-kota sedang dan kecil.
Sampai saat ini telah banyak kampung di beberapa kota di Indonesia yang telah
terkena program ini. Dari hasil penelitian dan pengamatan dari para peneliti antara
lain John Taylor dan Johan Silas yang dikemukakan dalam sebuah pertemuan yang
diprakarsai oleh Bank Dunia di Surabaya pada tahun 1994, ada beberapa hal yang
dapat dikemukakan tentang dampak program perbaikan kampung pada masyarakat,
yaitu antara lain sebagai berikut:
Terlihat adanya sedikit kontribusi dari program ini pada peningkatan
pendapatan masyarakat maupun pola pengeluaran masyarakat, demikian pula
adanya peningkatan yang tidak mencolok pada kesehatan masyarakat.
Secara Kualitatif dapat dilihat adanya peningkatan yang cukup besar pada
kondisi lingkungan sosial, mengakibatkan adanya peningkatan komitmen
masyarakat untuk meningkatkan perbaikan dan pemeliharaan komponen- komponen
program perbaikan kampung maupun rumah mereka masing-masing.
Komitmen masyarakat tersebut meningkat sejalan besarnya keterlibatan masyarakat
dalam perencanaan maupun pelaksanaan perbaikan, kampung tersebut.
yang belum terpecahkan dengan baik pada program ini yaitu masalah status
kepemilikan lahan milik masyarakat, yang menyulitkan pengaturan dan penertiban
kampung tersebut. Disamping itu, menurut Johan Silas di beberapa lokasi proyek
perbaikan kampung, karena meningkatnya nilai tanah dan rumah, ada
kecenderungan masyarakat yang ekonominya lemah tergusur dari kampungnya
karena rumah dan tanahnya dijual kepada masyarakat yang lebih mampu, atau tidak
mampu membayar sewa rumah yang meningkat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun secara keseluruhan
program perbaikan kampung telah dapat meningkatkan kondisi perumahan
masyarakat berpenghasilan rendah dan beberapa bagian dari kota, secara kuantitas
tidak dapat menambah jumlah rumah yang sangat diperlukan oleh masyarakat
berpenghasilan rendah.37
Dalam sebuah lingkungan perumahan harus disediakan prasarana untuk
memberikan kemudahan bagi penghuni. prasarana-prasarana yang harus disediakan
adalah sebagai berikut
5. Prasarana Lingkungan Perumahan
38
1) Jalan Penghubung Lingkungan Perumahan, yaitu jalan yang menghubungkan
lingkungan perumahan yang satu dengan lainnya, atau menghubungkan
lingkungan perumahan dengan fasilitas layanan di luar lingkungan :
a. Jalan
Klasifikasi jalan pada lingkungan perumahan dapat dibedakan menjadi beberapa
jenis, yaitu:
37Ibid
, hal.189-191 38
perumahan.
2) Jalan poros Lingkungan Perumahan, yaitu jalan utama pada suatu
lingkungan perumahan.,
3) Jalan Lingkungan, yaitu jalan pembagi suatu lingkungan perumahan, yang
hierarkinya lebih rendah daripada jalan poros lingkungan perumahan. Jalan
lingkungan ini dapat dibagi lagi menjadi jalan lingkungan tingkat I, jalan
lingkungan tingkat II, dan jalan lingkungan tingkat III, yang mempunyai
hierarki yang semakin rendah.
Proporsi jalan pada lingkungan perumahan dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis, yaitu:
1) pada perumahan daerah kemudahan tingkat I, jalan lingkungan II dan III
sebesar 80%, jalan lingkungan I 15%, dan jalan poros lingkungan 5%.
2) pada perumahan daerah kemudahan tingkat II, jalan lingkungan II dan III
sebesar 60%, jalan lingkungan I 30%, dan jalan poros lingkungan 10%.
3) pada perumahan daerah kemudahan tingkat III, jalan lingkungan II dan III
sebesar 40%, jalan lingkungan I 40%, dan jalan poros lingkungan 20%.
b. Air minum
Suatu lingkungan perumahan harus menyediakan sumber air bersih bagi
warganya. Sumber air bersih ini dapat saja disediakan per unit ataupun secara
sentral untuk seluruh area permukiman.
c. Air limbah
Lingkungan perumahan yang baik harus mempunyai sarana pengolahan air
limbah. Karena fungsinya sebagai kawasan permukiman, sebagian besar air
menyediakan septic tank dan sumur resapan.
d. Pembuangan air hujan
Untuk pembuangan air hujan dapat disediakan sumur resapan di area-area
terbuka di dalam kawasan perumahan ataupun berupa selokan yang dikendalikan
bersama untuk seluruh area perumahan. Untuk memenuhi persyaratan kesehatan,
saluran air hujan ini sebaiknya berupa saluran tertutup.
e. Pembuangan sampah
Sarana pembuangan sampah merupakan kelengkapan yang penting terkait
dengan persyaratan kesehatan lingkungan. Tempat pembuangan sampah rumah
tangga sebaiknya disediakan pada setup unit hunian. Dari unit-unit hunian ini
sampah diangkut ke tempat pembuangan sementara (TPS), misalnya dengan
menggunakan gerobak ataupun mobil sampah. Selanjutnya sampah diangkut ke
Tempat Pembuangan Akhir dengan menggunakan dumb truck, yang
operasionalisasinya dapat dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah setempat
dan dapat pula dikelola secara mandiri.
f. Jaringan listrik
Sesuai tuntutan kebutuhan hidup saat ini, listrik merupakan sarana penerangan
yang penting. Pada lingkungan perumahan, pasokan listrik harus diperhitungkan
dengan standar minimal 450 VA per keluarga ataupun 90 VA per individu.
7. Fasilitas Lingkungan Permukiman
Lingkungan permukiman yang baik harus dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas
menjadi39
a. Fasilitas Pendidikan :
Pendidikan merupakan sarana untuk membangun individu. Pada era
globalisasi saat ini, pendidikan merupakan suatu faktor penting bagi
peningkatan derajat sosial seseorang.
Karenanya kawasan permukiman harus dilengkapi dengan fasilitas
pendidikan sesuai dengan standar di bawah ini:
1). Untuk setiap 1000 penduduk harus disediakan 1 fasilitas pendidikan
setingkat Taman Kanak-kanak (TK).
2). Untuk setiap 1600 penduduk harus disediakan 1 fasilitas pendidikan
setingkat Sekolah Dasar (SD).
3). Untuk setiap 6000 penduduk harus disediakan 1 fasilitas pendidikan
setingkat Sekolah Menengan Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah
Atas (SMA).
b. Fasilitas Kesehatan
Suatu lingkungan pennukiman yang penduduknya telah mencapai 6000
orang, selain harus dilengkapi dengan fasilitas pendidikan, juga harus
dilengkapi dengan fasilitas kesehatan dengan ketentuan sebagai berikut:
1). Untuk setiap 6000 jiwa harus disediakan. 1 fasilitas kesehatan setingkat
Puskesmas Pmbantu yang sebaiknya diletakkan di tengah-tengah
lingkungan permukiman dengan radius pencapaian maksimum 1500 m.
2). Selain itu, apabila jumlah penduduk di suatu lingkungan permukiman
telah mencapai 6000 jiwa, selain Puskesmas Pembantu juga perlu
39
dilengkapi dengan fasilitas pendukung yang lain seperti tempat praktek
dokter. Fasilitas ini sebaiknya diletakkan di tengah-tengah lingkungan
permukiman dengan radius pencapaian maksimum 1500 m.
3). Untuk setiap 30.000 jiwa harus disediakan 1 fasilitas kesehatan setingkat
Puskesmas yang lebih tinggi daripada Puskesmas Pembantu. Pada
lingkungan ini harus disediakan Puskesmas Induk yang membawahi 5
puskesmas pembantu. Sebaiknya fasilitas tersebut diletakkan di
tengah-tengah lingkungan permukiman sehingga akses setiap Puskesmas
Pembantu ke Puskesmas Induk dapat sama rata, dengan radius
pencapaian maksimum 3000 m.
4). Apabila jumlah penduduk mencapai 10.000 jiwa, suatu lingkungan
permukiman harus dilengkapi dengan rumah bersalin. Fasilitas ini
sebaiknya diletakkan di tengah-tengah dengan radius pencapaian
maksimum 2000 m.
5). Selain itu, apabila penduduk suatu permukiman sudah mencapai 10.000
jiwa, maka lingkungan ini juga harus dilengkapi dengan apotik yang
sebaiknya diletakkan ditengah-tengah dengan radius pencapaian
maksimum 1500 m.
c. Fasilitas Perbelanjaan dan Niaga
Fasilitas perbelanjaan dan niaga merupakan fasilitas komersil sebagai
layanan sebuah lingkungan permukiman. Fasilitas ini direncanakan dengan
tujuan untuk mempermudah aktivitas ekonomi masyarakat. Ketentuannya
adalah sebagai berikut:
sebaiknya disediakan fasilitas perbelanjaan terkecil yang dapat berwujud
warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Fasilitas ini sebaiknya
diletakkan di tengah-tengah dengan radius pencapaian maksimum 300 m.
2). Apabila jumlah penduduk telah mencapai 2500 jiwa, suatu lingkungan
permukiman sebaiknya dilengkapi dengan fasilitas perbelanjaan berupa
pertokoan yang diletakkan di tengah-tengah dengan radius pencapaian
maksimum 500 m.
3). Apabila jumlah penduduknya sudah mencapai 30.000 jiwa, suatu
lingkungan permukiman sebaiknya mempunyai pusat perbelanjaan
lingkungan sebagai tempat jual beli keperluan sehari-hari seperti bahan
makanan, pakaian, alat rumah tangga, alat sekolah, dll. Pusat
perbelanjaan ini terdiri dari pertokoan dan pasar, yang sebaiknya terletak
di tengahtengah agar mudah dicapai oleh setiap warga permukiman.
4). Untuk lingkungan permukiman setara kecamatan dengan jumlah
penduduk mencapai 120.000 jiwa sebaiknya mempunyai pusat
perbelanjaan dan niaga setara kecamatan. Selain pusat perbelanjaan dan
niaga biasa, perlu juga dilengkapi dengan bank dan industri unit produksi
yang tidak menimbulkan gangguan polusi serta tempat-tempat hiburan.
d. Fasilitas Pemerintahan dan Layanan Umum
Untuk memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakat,
Selain fasilitas-fasilitas standar di atas, perlu juga disediakan fasilitas umum
lain, seperti:
1). Untuk setiap 500 kk atau 2500 jiwa penduduk perlu disediakan balai
keamanan/hansip.
2). Untuk setiap 6000 kk atau 30.000 jiwa perlu disediakan kantor
kelurahan, pos polisi, kantor pos pembantu, pos pemadam kebakaran,
parkir umum dan kamar mandi umum serta gedung serbaguna.
3). Untuk setiap 24.000 kk atau 120.000 jiwa perlu disediakan kantor
kecamatan, kantor polisi, kantor pos cabang, kantor telepon cabang, pos
pemadam kebakaran, parkir umum dan kamar mandi umum, gedung
serba guna, dan gardu listrik.
e. Fasilitas Peribadatan
Untuk membangun kehidupan rohani warga, dalam suatu kawasan
permukiman juga perlu disediakan sarana peribadatan. Ketentuannya adalah
sebagai berikut (misalnya 80% penduduk beragama Islam):
1). Untuk setiap 500 kk atau 2500 jiwa perlu disediakan 1 buah langgar.
2). Untuk setiap 600 kk atau 30.000 jiwa, selain langgar juga perlu
disediakan masjid.
3). Untuk setiap 24.000 kk atau 120.000 jiwa, perlu disediakan masjid
setingkat kecamatan dan fasilitas ibadah lain di samping masjid dan
langgar tingkat kelurahan.
f. Fasilitas Rekreasi dan Kebudayaan
Untuk memberikan keseimbangan pada kondisi psikologi warga, selain
fasilitas-fasilitas di atas perlu juga disediakan fasilitas rekreasi dan
kebudayaan sebagai sarana apresiasi diri. Ketentuannya adalah sebagai
berikut:
1). Untuk setiap 6000 kk atau 30.000 jiwa (setingkat kelurahan) perlu
2). Untuk setiap 24.000 kk atau 120.000 jiwa (setingkat kecamatan) di
samping gedung serbaguna perlu juga disediakan gelanggang remaja.
g. Fasilitas Olah Raga dan Lapangan Terbuka.
Pada suatu kawasan permukiman perlu juga disediakan fasilitas olah raga
dan lapangan terbuka. Ketentuannya adalah sebagai berikut:
1). Untuk kelompok 50 kk atau 250 jiwa (setingkat RT) perlu disediakan
tempat bermain anak sebagai pengikat lingkungan.
2). Untuk kelompok 500 kk atau 3000 jiwa (setingkat RW) perlu disediakan
lapangan terbuka, sebaiknya berupa taman yang sekaligus dapat
digunakan untuk berolah raga (volley, badminton, dll).
3). Untuk kelompok 6000 kk atau 30.000 jiwa (setingkat kelurahan), di
samping tempat bermain anak, lapangan terbuka, perlu juga disediakan
lapangan olah raga.
4). Untuk kelompok 24.000 kk atau 120.000 jiwa (setingkat kecamatan),
selain fasilitas-fasilitas di atas, perlu juga lapangan olah raga yang
diperkeras seperti tennis, bola basket, dilengkapi dengan tempat ganti
pakaian dan kakus40
40