• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR HUKUM DAN TUJUAN RUMAH SUSUN, SERTA KONSEP, KLASIFIKASI PERUMAHAN PEMUKIMAN DAN PROGRAM-PROGRAM PEMERINTAH DALAM PELAKSANAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN YANG LAYAK HUNI A. Dasar Hukum Rumah Susun di Indonesia - Tinjauan Atas Undang-Undang No. 20

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II DASAR HUKUM DAN TUJUAN RUMAH SUSUN, SERTA KONSEP, KLASIFIKASI PERUMAHAN PEMUKIMAN DAN PROGRAM-PROGRAM PEMERINTAH DALAM PELAKSANAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN YANG LAYAK HUNI A. Dasar Hukum Rumah Susun di Indonesia - Tinjauan Atas Undang-Undang No. 20"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

DASAR HUKUM DAN TUJUAN RUMAH SUSUN, SERTA KONSEP, KLASIFIKASI PERUMAHAN PEMUKIMAN DAN PROGRAM-PROGRAM

PEMERINTAH DALAM PELAKSANAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN YANG LAYAK HUNI

A. Dasar Hukum Rumah Susun di Indonesia

Undang-Undang No.1 Tahun 2011 Pasal 28 mengatakan :

1) Jenis rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dibedakan

berdasarkan pelaku pembangunan dan penghunian yang meliputi:

a. rumah komersial;

b. rumah umum;

c. rumah swadaya;

d. rumah khusus; dan

e. rumah negara.

2) Rumah komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselenggarakan

untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

3) Rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diselenggarakan

untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR.

4) Rumah swadaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diselenggarakan

atas prakarsa dan upaya masyarakat, baik secara sendiri maupun berkelompok.

5) Rumah khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diselenggarakan

dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah untuk kebutuhan khusus.

6) Rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mendapatkan

(2)

7) Rumah swadaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat memperoleh

bantuan dan kemudahan dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

8) Rumah khusus dan rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d

dan huruf e disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Namun yang akan penulis bahas dalam bab ini adalah rumah umum yang

diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan bagi Masyarakat Berpenghasilan

Rendah, dalam hal ini adalah rumah susun.

Kepastian hukum dalam pengadaan permukiman dan perumahan telah diatur

dalam pasal 3 UU No.1 Tahun 2011, yakni Perumahan dan kawasan permukiman

diselenggarakan untuk:

a. Memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan

permukiman;

b. Mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk

yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan

permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan

kepentingan, terutama bagi MBR;

c. Meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan

perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di

kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan;

d. Memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan

dan kawasan permukiman;

e. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya; dan

f. Menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan

(3)

Negara sepenuhnya sertanggung jawab dalam penyelenggaraan perumahan dan

pembinaan yang telah dimuat dalam pasal 5 ayat 1 UU No.1 Tahun 2011 yang

mengatakan Negara sertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan

kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah.

Dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman telah diatur dalam UU

No.1 tahun 2011 pasal 56 yang mengatakan :

1) Penyelenggaraan kawasan permukiman dilakukan untuk mewujudkan wilayah

yang berfungsi sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung

perikehidupan dan penghidupan yang terencana, menyeluruh, terpadu, dan

berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang.

2) Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

bertujuan untuk memenuhi hak warga negara atas tempat tinggal yang layak

dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur serta menjamin kepastian

bermukim.

Sementara tugas pemerintahan kota telah dimuat dalam pasal 15 UU No.1

Tahun 2011 yang mengatakan :

Pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan pembinaan mempunyai tugas:

a. menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota

di bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada

kebijakan dan strategi nasional dan provinsi;

b. menyusun dan melaksanakan kebijakan daerah dengan berpedoman pada strategi

nasional dan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil rekayasa

(4)

c. menyusun rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan

permukiman pada tingkat kabupaten/kota;

d. menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi terhadap pelaksanaan

kebijakan kabupaten/kota dalam penyediaan rumah, perumahan, permukiman,

lingkungan hunian, dan kawasan permukiman;

e. melaksanakan pemanfaatan teknologi dan rancang bangun yang ramah

lingkungan serta pemanfaatan industri bahan bangunan yang mengutamakan

sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal yang aman bagi kesehatan;

f. melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan peraturan

perundang-undangan, kebijakan, strategi, serta program di bidang perumahan dan

kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota;

g. melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota;

h. melaksanakan peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi

penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat

kabupaten/kota;

i. melaksanakan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman;

j. melaksanakan kebijakan dan strategi daerah provinsi dalam penyelenggaraan

perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan

nasional;

k. melaksanakan pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan

kawasan permukiman;

l. mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dan provinsi di bidang

(5)

m. mengalokasikan dana dan/atau biaya pembangunan untuk mendukung

terwujudnya perumahan bagi MBR;

n. memfasilitasi penyediaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat, terutama

bagi MBR;

o. menetapkan lokasi Kasiba dan Lisiba; dan

p. memberikan pendampingan bagi orang perseorangan yang melakukan

pembangunan rumah swadaya.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun diundangkan

pada tanggal 31 Desember 1985 dalam Lembaran Negara RI nomor 75/1985.

Undang-undang ini dapat disebut dengan undang-undang kondominium Indonesia

yang menjadi landasan hukum untuk mengatur rumah susun. Peraturan pelaksanaan

dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 dimuat dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 4 Tahun 1988. Mulai tanggal tersebutlah masalah hukum mengenai rumah

susun mendapat jawaban yang pasti. Namun menimbang bahwa Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun sudah tidak sesuai dengan

perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang, dan partisipasi masyarakat serta

tanggung jawab dan kewajiban Negara dalam penyelenggaraan rumah susun

sehingga perlu diganti.19

19

. Konsideran bagian Menimbang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011

Untuk menjawab perkembangan hukum serta kebutuhan

masyarakat yang belum terakomodir oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985

tersebut maka pada tanggal 10 Nopember 2011 melalui sidang paripurna Dewan

Perwakilan Rakyat resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011

(6)

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah

Susun merumuskan bahwa rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang

dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang

distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan

merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara

terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama,

benda bersama, dan tanah bersama. Pengertian mengenai rumah susun tersebut

dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 sama seperti yang disebutkan dalam

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Dengan demikian

tidak ada perubahan mengenai pengertian tentang makna dari rumah susun itu baik

yang dijelaskan dalam UURS yang lama maupun yang baru. Dalam Penjelasan Pasal

1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 menegaskan bahwa rumah susun

yang dimaksudkan dalam UURS ini adalah istilah yang memberikan pengertian

hukum bagi rumah susun yang senantiasa mengandung sistem pemilikan

perseorangan dan hak bersama, yang penggunaannya untuk hunian atau bukan

hunian, secara mandiri ataupun terpadu sebagai satu kesatuan sistem pembangunan.

Dengan demikian berarti tidak semua rumah susun itu dapat disebut rumah susun

menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, tetapi setiap rumah susun adalah

selalu rumah susun.20

Jika rumusan rumah susun menurut Pasal 1 angka 1 dan penjelasannya itu

dicermati, diperoleh pemahaman sebagai berikut :

21

a. Rumah susun merupakan terminologi hukum Indonesia untuk mengekspresikan

bangunan gedung bertingkat yang mengandung pemilikan perseorangan dan hak

20

Oloan Sitorus & Balans Sebayang, Kondominium…. Op. Cit., hlm. 16 21

(7)

bersama. Dalam pengertian inilah, maka rumah susun merupakan terjemahan dari

kata-kata condominium, flat atau apartment

b. Rumah susun merupakan bangunan gedung bertingkat “yang distrukturkan secara

fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal” (Pasal 1 angka 1 UURS).

Dalam Penjelasan UURS di atas menyatakan “yang distrukturkan secara

fungsional dalam arah horizontal dan vertikal”. Kata “maupun” serta “dan” perlu

dicermati oleh karena membawa konsekuensi pada ruang lingkup UURS. Apakah

pengaturan pemilikan satuan ruang dalam rumah susun selain rumah susun dapat

tunduk pada UURS. Urgensi telaah kata “maupun” serta “dan” tersebut semakin

berarti, terutama jika dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 79 Peraturan Pemerintah

Nomor 4 Tahun 1988 yang mencontohkan “rumah toko, rumah sarana industri

dan lain-lain” yang dibangun di atas tanah bersama sebagai rumah susun yang

tidak termasuk dalam pengertian rumah susun. Selanjutnya, Penjelasan pasal 79

PP Nomor 4 Tahun 1988 tersebut menyebutkan bahwa contoh bangunan gedung

tidak bertingkat yang dibangun di atas tanah bersama dalam suatu lingkungan

adalah rumah-rumah peristirahatan, rumah kota (town house), dan lain-lain.

Ahmad Chairudin dalam Surat Kabar Harian Suara Pembaruan tanggal 13

April 1994, menyatakan bahwa bangunan gedung bertingkat pada sistem ruko

(rumah toko) dan rukan (rumah kantor) bagian- bagiannya terbagi dalam bagian-

bagian yang distrukturkan dalam arah horizontal saja, tidak dalam arah vertikal.

Tetapi karena dalam kata-kata kalimat Pasal 1 angka 1 UURS menyebut : “yang

distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal”, maka yang

(8)

secara horizontal pun dapat disebut rumah susun, asal memenuhi

ketentuan-ketentuan lainnya tentang rumah susun.22

Kedua pendapat Pejabat Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan

Nasional tersebut setuju bahwa kepemilikan satuan bangunan pada bangunan yang

hanya distrukturkan secara horizontal pun dapat tunduk pada pengaturan UURS.

Kiranya kedua pendapat tersebut dapat diterima logika hukum. Ketentuan pasal 1

UURS merupakan ketentuan yang berisi definisi/rumusan konsep-konsep yang

menjadi kata-kata kunci atau terminologi teknis yuridis dalam keseluruhan ketentuan

UURS. Oleh karena itu jika terdapat perbedaan pengertian rumah susun di dalam

ketentuan pasal 1 angka 1 UURS dengan Penjelasan Umum UURS serta Penjelasan

Pasal 79 PP No. 4 Tahun 1988 sebagai peraturan pelaksana UURS, maka yang

dijadikan pegangan adalah rumusan Pasal 1 angka 1 UURS.

Selanjutnya Menteri Negara Agraria/Kepala BPN menyatakan bahwa sebagai

akibat pesatnya kemajuan sektor ekonomi yang ditunjang kemajuan teknologi dalam

pembangunan perumahan dan pemukiman serta lahirnya bentuk sertifikat baru yang

berupa Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, maka seharusnya bentuk

kepemilikan rumah dan toko (ruko) atau town house dapat menggunakan Sertifikat

Hak Milik atas Satuan Rumah Susun sebagai alat untuk kepemilikannya. Hal ini

mengingat bahwa bentuk bangunan dan penataan lingkungannya sesuai dengan

ketentuan yang ada pada rumah susun yang bangunannya berupa bangunan yang

tersusun secara horizontal dan memiliki jenis kepemilikan perseorangan dan

pemilikan bersama.

23

22

Ibid, hlm 16 23

(9)

Dengan Penjelasan Umum UURS akan “dimenangkan” Pasal 1 angka 1 UURS

oleh karena Pasal 1 angka 1 yang lebih spesifik (rinci) merumuskan pengertian

rumah susun dibandingkan dengan Penjelasan Umum UURS. Selanjutnya

ketidaksinkronan (pertentangan) antara Pasal 1 angka 1 UURS dengan Penjelasan

Pasal 79 PP No. 4 Tahun 1988 “dimenangkan “ Pasal 1 angka 1 oleh karena di dalam

peraturan perundang-undangan diberlakukan asas “Hukum yang lebih tinggi

mengenyampingkan hukum yang lebih rendah” (lex superior de rogat lex inferior)

Rumah susun mengandung sistem pemilikan perseorangan (individual) dan

hak bersama. Kita mengenal ada 3 (tiga) bentuk sistem pemilikan, yaitu :

a. sistem pemilikan perseorangan

b. sistem pemilikan bersama yang terikat

c. sistem pemilikan perseorangan yang sekaligus dilengkapi dengan sistem

pemilikan bersama yang bebas (condominium)

Rumah susun merupakan kategori sistem pemilikan yang ketiga. Di dalam

rumah susun secara simultan terkandung sistem pemilikan perseorangan dengan hak

bersama yang bebas. Oleh karena itulah, maka hak pemilikan perseorangan atas

satuan (unit) rumah susun meliputi pula hak bersama atas bangunan, benda dan

tanahnya.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa hak milik (individual) atas satuan

rumah susun juga meliputi hak bersama atas bagian bersama, benda bersama dan

tanah bersama. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang

Rumah Susun merumuskan bahwa bagian bersama adalah bagian rumah susun yang

dimiliki secara terpisah tidak untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi

(10)

tersebut memberi contoh bagian bersama adalah antara lain : pondasi, kolom, balok,

dinding, lantai, atap, talang air, tangga, lift, selasar, saluran-saluran, pipa-pipa,

jaringan- jaringan listrik, gas dan telekomunikasi.

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 mendefinisikan

bahwa benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun

melainkan bagian yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian

bersama. Selanjutnya Penjelasan Pasal 25 ayat 1 mencontohkan benda bersama

adalah ; ruang pertemuan, tanaman, bangunan pertamanan, bangunan sarana sosial,

tempat ibadah, tempat bermain, dan tempat parkir yang terpisah atau menyatu

dengan struktur bangunan rumah susun.

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 merumuskan bahwa

tanah bersama adalah sebidang tanah hak atau tanah sewa untuk bangunan yang

digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rumah

susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin mendirikan bangunan.

Menurut A.P Parlindungan, sebenarnya rumah susun itu adalah suatu istilah

yang dibuat oleh perundangan kita yang berwujud sebagai suatu perumahan yang

dimiliki oleh beberapa orang/badan hukum secara terpisah dengan segala

kelengkapan sebagai suatu tempat hunian ataupun bukan hunian, untuk perkantoran,

usaha komersil dan lain-lain, dengan akses tersendiri untuk keluar ke jalan besar dan

dengan segala hak dan kewajibannya dan mempunyai bukti-bukti tentang haknya

tersebut, dengan berdimensi horizontal dan vertikal.24

24

A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang…hal 99 27 Oloan Sitorus & Balans Sebayang, Kondominium…Op Cit, hlm. 7

Undang-Undang Nomor 16

Tahun 1985 menganut asas kondominium dalam pemilikan atas rumah susun.

(11)

secara terpisah bagian-bagian dari suatu rumah susun, di samping bangian-bagian

lainnya serta tanah di atas mana bangunan yang bersangkutan berdiri, yang karena

fungsinya harus digunakan bersama.

Soni Harsono dalam bukunya “Aspek Pertanahan Dalam Pembangunan

Rumah Susun,” berpendapat bahwa inti sistem kondominium adalah pengaturan

pemilikan bersama atas sebidang tanah dengan bangunan fisik di atasnya, karena itu

pemecahan masalahnya selalu dikaitkan dengan hukum yang mengatur tanah.25

Menurut Arie S. Hutagalung dalam bukunya “Membangun Condominium

(Rumah Susun), Masalah-Masalah Yuridis Praktis Dalam Penjualan, Pemilikan,

Pembebanan serta Pengelolaannya”, bahwa rumah susun merupakan terjemahan

dari kata-kata condominium, flat, atau apartment. Kondominium berasal dari kata

condominium, jika dipenggal, co berarti bersama-sama, dominium berarti pemilikan.

Istilah yang dipakai berbeda menurut sistem hukum yang bersangkutan, misalnya di

Inggris disebut joint property, di Amerika menggunakan istilah condominium,

sedangkan di Singapura dan Australia menggunakan istilah strata title. Di antara

istilah-istilah tersebut di atas, istilah strata title yang lebih memungkinkan adanya

pemilikan bersama secara horizontal, di samping pemilikan secara vertikal.

Walaupun di Indonesia digunakan istilah seperti: rumah susun, apartemen, flat,

maupun kondominium, namun bahasa hukum semuanya disebut rumah susun, karena

mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 yang kini diganti menjadi

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011.26

Pasal 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 dan penjelasannya menyatakan

bahwa asas penyelenggaraan rumah susun adalah sebagai berikut:

25

A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang…hal 99 27 Oloan Sitorus & Balans Sebayang, Kondominium…Op Cit, hlm. 7

26

(12)

a. asas kesejahteraan

Yang dimaksud dengan asas kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya

kebutuhan rumah susun yang layak bagi masyarakat agar mampu

mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya

b. Asas keadilan dan pemerataan

Yang dimaksud dengan asas keadilan dan pemerataan adalah memberikan hasil

pembangunan di bidang rumah susun agar dapat dinikmati secara proporsional

dan merata bagi seluruh rakyat.

c. Asas kenasionalan

Yang dimaksud dengan asas kenasionalan adalah memberikan landasan agar

kepemilikan sarusun dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan nasional.

d. Asas keterjangkauan dan kemudahan

Yang dimaksud dengan asas keterjangkauan dan kemudahan adalah memberikan

landasan agar hasil pembangunan rumah susun dapat dijangkau oleh seluruh

lapisan masyarakat, serta mendorong terciptanya iklim kondusif dengan

memberikan kemudahan bagi MBR.

e. asas keefisienan dan kemanfaatan

Yang dimaksud dengan asas keefisienan dan kemanfaatan adalah memberikan

landasan penyelenggaraan rumah susun yang dilakukan dengan memaksimalkan

potensi sumber daya tanah, teknologi rancang bangun, dan industri bahan

bangunan yang sehat serta memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi

(13)

f. asas kemandirian dan kebersamaan

Yang dimaksud dengan asas kemandirian dan kebersamaan adalah memberikan

landasan penyelenggaraan rumah susun bertumpu pada prakarsa, swadaya, dan

peran serta masyarakat sehingga mampu membangun kepercayaan, kemampuan,

dan kekuatan sendiri serta terciptanya kerja sama antarpemangku kepentingan.

g. asas kemitraan

Yang dimaksud dengan asas kemitraan adalah memberikan landasan agar

penyelenggaraan rumah susun dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah

dengan melibatkan pelaku usaha dan masyarakat dengan prinsip saling

mendukung.

h. asas keserasian dan keseimbangan

Yang dimaksud dengan asas keserasian dan keseimbangan adalah memberikan

landasan agar penyelenggaraan rumah susun dilakukan dengan mewujudkan

keserasian dan keseimbangan pola pemanfaatan ruang.

i. asas keterpaduan

Yang dimaksud dengan asas keterpaduan adalah memberikan landasan agar

rumah susun diselenggarakan secara terpadu dalam hal kebijakan dalam

perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengendalian.

j. asas kesehatan

Yang dimaksud dengan asas kesehatan adalah memberikan landasan agar

pembangunan rumah susun memenuhi standar rumah sehat, syarat kesehatan

(14)

k. asas kelestarian dan keberlanjutan

Yang dimaksud dengan asas kelestarian dan keberlanjutan adalah memberikan

landasan agar rumah susun diselenggarakan dengan menjaga keseimbangan

lingkungan hidup dan menyesuaikan dengan kebutuhan yang terus meningkat

sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk dan keterbatasan lahan.

l. asas keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan

Yang dimaksud dengan asas keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan adalah

memberikan landasan agar bangunan rumah susun memenuhi persyaratan

keselamatan, yaitu kemampuan bangunan rumah susun mendukung beban

muatan, pengamanan bahaya kebakaran, dan bahaya petir; persyaratan

kenyamanan ruang dan gerak antar ruang, pengkondisian udara, pandangan,

getaran, dan kebisingan; serta persyaratan kemudahan hubungan ke, dari, dan di

dalam bangunan, kelengkapan prasarana, dan sarana rumah susun termasuk

fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia.

m. asas keamanan, ketertiban, dan keteraturan

Yang dimaksud dengan asas keamanan, ketertiban, dan keteraturan adalah

memberikan landasan agar pengelolaan dan pemanfaatan rumah susun dapat

menjamin bangunan, lingkungan, dan penghuni dari segala gangguan dan

ancaman keamanan; ketertiban dalam melaksanakan kehidupan bertempat tinggal

dan kehidupan sosialnya; serta keteraturan dalam pemenuhan ketentuan

administratif.

B. Tujuan Pembangunan Rumah Susun

Tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan kesejahteraan lahir

(15)

untuk mengisi cita-cita perjuangan bangsa Indonesia bagi terwujudnya masyarakat

adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu

unsur pokok kesejahteraan rakyat adalah terpenuhinya kebutuhan akan perumahan

yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap warga Negara Indonesia dan

keluarganya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Di samping itu,

pembangunan perumahan merupakan salah satu unsur yang penting dalam strategi

pengembangan wilayah, yang menyangkut aspek-aspek yang luas di bidang

kependudukan, dan berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi dan kehidupan

sosial dalam rangka pemantapan Ketahanan Nasional.27

Sehubungan dengan uraian tersebut, maka kebijaksanaan umum

pembangunan perumahan diarahkan untuk:

Dari hal-hal tersebut di atas, jelaslah bahwa perumahan merupakan masalah

nasional, yang dampaknya sangat dirasakan di seluruh wilayah tanah air, terutama di

daerah perkotaan yang berkembang pesat. Oleh karena itu, sebagaimana diamanatkan

dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, pembangunan perumahan untuk memenuhi

kebutuhan yang terus meningkat perlu ditangani secara mendasar, menyeluruh,

terarah, dan terpadu, oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dengan

keikutsertaan secara aktif usaha swasta dan swadaya masyarakat. Pembangunan

perumahan yang telah dirintis sejak Pelita I perlu ditingkatkan dan dikembangkan,

khususnya perumahan dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli golongan

masyarakat yang berpenghasilan rendah.

28

27

Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun & Apartemen, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 157 28

Ibid, hlm 159

a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat,

secara adil, dan merata, serta mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang

(16)

b. Mewujudkan permukiman yang serasi dan seimbang, sesuai dengan pola tata

ruang kota dan tata daerah serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil

guna.

Sejalan dengan arah kebijaksanaan umum tersebut, maka di daerah perkotaan

yang berpenduduk padat, sedangkan tanah yang tersedia sangat terbatas, perlu

dikembangkam pembangunan perumahan dan pemukiman dalam bentuk rumah

susun yang lengkap, seimbang, dan serasi dengan lingkungannya. Pengertian rumah

susun adalah bangunan gedung bertingkat yang distrukturkan secara fungsional

dalam arah horizontal dan arah vertikal yang terbagi dalam satu-satuan yang

masing-masing jelas batas-batasnya, ukuran dan luasnya, dan dapat dimiliki dan dihuni

secara terpisah. Selain satuan-satuan yang penggunaannya terpisah, ada bagian

bersama dari bangunan tersebut serta benda bersama dan tanah bersama yang di

atasnya didirikan rumah susun, yang karena sifat dan fungsinya harus digunakan dan

dinikmati bersama dan tidak dapat dimiliki secara perseorangan. Hak pemilikan atas

satuan rumah susun merupakan kelembagaan hukum baru, yang perlu diatur dengan

undang-undang, dengan memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat

Indonesia. Dengan undang-undang ini diciptakan dasar hukum hak milik atas satuan

rumah susun, yang meliputi:29

29

Ibid, hlm 161

a. Hak pemilikan perseorangan atas satuan-satuan rumah susun yang digunakan

secara terpisah

b. Hak bersama atas bagian-bagian dari bangunan rumah susun

(17)

d. Hak bersama atas tanah yang semuanya merupakan satu kesatuan hak yang secara

fungsional tidak terpisahkan

Pembangunan rumah susun ditujukan terutama untuk tempat hunian,

khususnya bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Namun demikian,

pembangunan rumah susun harus dapat mewujudkan permukiman yang lengkap dan

fungsional, sehingga diperlukan adanya bangunan gedung bertingkat lainnya untuk

keperluan bukan hunian yang terutama berguna bagi pengembangan kehidupan

masyarakat ekonomi lemah. Adapun tujuan pembangunan rumah susun seperti yang

tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang No.16 Tahun 1985 pembangunan rumah

susun bertujuan untuk :

1. a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan

masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjami kepastian hukum

dalam pemanfaatannya;

b. Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah pekotaan dengan

memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan

pemukiman yang lengkap, serasi, dan seimbang

2. Memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang berguna bagi kehidupan

masyarakat, dengan tetap mengutamakan ketentuan ayat (1 huruf a), dan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tujuan pembangunan rumah susun

adalah:

a. Menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau dalam

lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan serta menciptakan

permukiman yang terpadu guna membangun ketahanan ekonomi, sosial, dan

(18)

b. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah, serta

menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan dalam menciptakan

kawasan permukiman yang lengkap serta serasi dan seimbang dengan

memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan

lingkungan;

c. Mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman

kumuh;

d. Mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan yang serasi, seimbang, efisien,

dan produktif;

e. Memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi yang menunjang kehidupan penghuni

dan masyarakat dengan tetap mengutamakan tujuan pemenuhan kebutuhan

perumahan dan permukiman yang layak, terutama bagi MBR;

f. Memberdayakan para pemangku kepentingan di bidang pembangunan rumah

susun;

g. Menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan terjangkau,

terutama bagi MBR dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan

berkelanjutan dalam suatu sistem tata kelola perumahan dan permukiman yang

terpadu; dan

h. Memberikan kepastian hukum dalam penyediaan, kepenghunian, pengelolaan,

dan kepemilikan rumah susun.

Uraian tujuan pembangunan rumah susun dari kedua Undang-Undang Rumah

Susun di Indonesia, kita tahu pada Undang-Undang No.16 Tahun 1985 adalah hanya

menitik beratkan dalam membantu masyarakat berpenghasilan rendah dan

(19)

Undang-Undang No.20 Tahun 2011 telah diuraikan secara lengkap bahwa tujuan

pembangunan rumah susun adalah selain dari pada menjamin kebutuhan perumahan

bagi masyarakat juga menjamin keamanan, kesehatan lingkungan, harmonis serta

meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah, serta

menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan karena kawasan perkotaan

saat ini semakin sempit sementara setiap tahunnya masyarakat perkotaan

pertumbuhannya semakin meningkat.

C. Konsep dan Klasifikasi Perumahan dan Pemukiman yang Layak Huni

Meningkatnya pembangunan perumahan, baik yang dilakukan oleh

pemerintah, swasta, maupun perorangan, perlu ditujang dengan ketentuan-ketentuan

yang dapat dijadikan pedoman baik dalam persiapan, perencanaan, pelaksanaan,

maupun pengawasan dan pembiayaannya.

Pembangunan lingkungan perumahan harus direncanakan pada daerah yang

telah ditentukan bagi pengembangan perumahan seperti yang telah ditetapkan dalam

rencana tata ruang suatu wilayah. Masing-masing lokasi perumahan ini mempunyai

tingkat kesulitan yang berbeda, tergantung kondisi fisik masing-masing lokasi.

Secara umum, tingkat kemudahan lingkungan perumahan dibedakan dalam tiga

tingkatan yaitu :

1. Lingkungan perumahan di daerah dengan tingkat kemudahan I, yaitu lingkungan

perumahan di daerah yang paling dekat dengan pusat kegiatan yang memberikan

pelayanan untuk kehidupan sehari-hari, misalnya fasilitas pendidikan, pelayanan

umum, kesehatan, perbelanjaan, olahraga, lapangan terbuka, dan lain-lain.

Tempat terjauh dari pusat pelayanan tersebut mempunyai jarak tempuh 15 menit

(20)

2. Lingkungan perumahan di daerah dengan tingkat kemudahan 11, yaitu

lingkungan perumahan di mana tempat kediamannya berada di dalam daerah

yang berbatasan dengan lingkungan perumahan daerah kemudahan tingkat 1.

3. Lingkungan perumahan di daerah dengan tingkat kemudahan III, yaitu

lingkungan perumahan di mana tempat kediamannya berada di dalam daerah

yang berbatasan dengan lingkungan perumahan daerah kemudahan tingkat 11.30

Untuk merencanakan lingkungan perumahan dengan baik, kita perlu

memperhatikan beberapa kriteria berikut31

a. Antara Lokasi perumahan dan tempat bekerja serta pusat-pusat layanan

kegiatan dihubungkan dengan prasarana dan sarana jalan umum. :

1. Lokasi

Lokasi perumahan sebaiknya dipilih di daerah yang memberikan akses yang

mudah bagi para pemukim (selama-lamanya 30 menit dengan menggunakan alat

transportasi umum) untuk menuju tempat kerja dan pusat-pusat kegiatan

pelayanan yang lebih luas. Ketentuan ini mengandung beberapa pengertian

berikut:

b. Antara lokasi perumahan dan tempat bekerja serta pusat-pusat layanan

kegiatan dilalui alai transportasi umum yang dapat diakses oleh seluruh

lapisan masyarakat yang bermukim di tempat tersebut.

c. Perencanaan permukiman harus dapat memberikan keseimbangan sosial,

dalam arti bahwa pembangunan perumahan tersebut harus dapat

menciptakan hubungan yang serasi antara berbagai lapisan masyarakat,

misalnya dalam hubungannya dengan golongan pendapatan (rendah,

30

M. Sastra S. dkk, 2005. Op. Cit, hal.131 31

(21)

sedang, menengah, dan tinggi), agama, dan budaya sehingga tercipta

hubungan yang harmonis di dalam masyarakat. Keseimbangan sosial yang

terbentuk merupakan salah satu ciri berkembangnya kondisi masyarakat ke

arah yang positif. Kondisi ini dalam jangka panjang merupakan salah satu

pertimbangan pengembangan wilayah sekitarnya menjadi kawasan

permukiman baru.

Kondisi sosial masyarakat yang seimbang akan memberi kesempatan kepada

setiap anggota masyarakat untuk membina diri dan keluarganya sehingga dapat

tumbuh dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Kondisi Geologi/Topografi

Suatu daerah permukiman memerlukan kondisi dasar geologi maupun topografi

yang baik untuk dapat berkembang dengan baik. Dari aspek geologi, struktur

dan kekuatan tanah yang direncanakan untuk pengembangan daerah

permukiman harus dalam kondisi yang baik dan stabil. Kondisi geologi tanah

yang kurang menguntungkan sebaiknya diolah terlebih dahulu hingga mencapai

kondisi yang baik sebelum dikembangkan menjadi daerah permukiman. Apabila

tanah mempunyai kestabilan dan kemantapan yang baik, secara teknis di lahan

tersebut akan dapat dikembangkan berbagai bangunan secara bebas dan leluasa.

Tidak jarang pengembang permukiman kurang memikirkan hal ini, namun hanya

mengejar harga tanah yang murah saja, misalnya dengan memilih lokasi

permukiman di daerah bantaran sungai. Selain menyalahi aturan teknis, daerah

ini juga labil. Secara teknis di daerah bantaran sungai tidak boleh didirikan

bangunan permanen untuk menghindari bahaya banjir. Dipandang dari aspek

(22)

karena tanahnya cenderung labil.

Kondisi topografi adalah kondisi yang menggambarkan kondisi kemiringan

lahan, atau kontur lahan. Semakin besar kontur lahan berarti lahan tersebut

mempunyai kemiringan yang semakin besar. Lahan yang baik untuk

dikembangkan sebagai area perumahan adalah lahan yang relatif landai, memiliki

kemiringan yang kecil, sehingga mempunyai potensi pengembangan yang besar.

3. Kepastian Hukum

Status hukum suatu lahan merupakan hal yang sangat penting sehubungan

dengan legalitas lahan tersebut. Dengan kejelasan status hukum suatu lahan,

pemilik akan mempunyai kebebasan untuk mengembangkan (selama masih

dalam aturan yang berlaku di wilayah tersebut), bahkan juga

memindahtangankan lahan kepada orang lain.

Suatu bangunan/rumah dan tanah dikatakan mempunyai status hukum yang jelas

apabila tanah, rumah, dan penghuniannya diperoleh dengan tata cara/prosedur

hukum. Tanah, rumah, dan penghuniannya dalam hal ini akan dilindungi oleh

hukum.

Kegiatan-kegiatan/prosedur hukum pemilikan tanah, rumah, dan penghuniannya

dapat dilakukan oleh perseorangan atau badan hukum/perusahaan, meliputi:

a. Pembebasan tanah

b. Permohonan hak

c. Pembangunan

(23)

D. Program-Program Pemerintah Terkait Pelaksanan Perumahan dan Permukiman Yang Layak Huni

Disamping usaha dan program Pemerintah untuk membantu memberdayakan

masyarakat dalam pengadaan perumahannya di daerah perkotaan ada beberapa

program Pemerintah yang berkaitan dengan masalah perumahan masyarakat

berpenghasilan rendah di daerah perkotaan. Beberapa program yang penting, antara

lain32

a. Program pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah oleh

Perum Perumnas. :

b. Program peremajaan kota dan lingkungan kumuh.

c. Program perbaikan kampung.

Meskipun program-program tersebut ditujukan bagi masyarakat

berpenghasilan rendah, tujuan dan cara pelaksanaannya berbeda-beda33

a. Sifat usaha dari Perusahaan adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan :

1. Pembangunan Perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah oleh Perum Perumnas

Program pembangunan perumahan bagi masyarakat, terutama masyarakat

berpenghasilan rendah di daerah perkotaan dimulai pada awal Pelita II. Untuk

melaksanakan program tersebut pada tahun 1974 dibentuk Perum Perumnas.

Sebagai perusahaan negara yang bergerak di bidang pengadaan perumahan rakyat,

berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah

No. 12 Tahun 1988. Secara garis besar tugas Perum Perumnas yang tercantum

dalam Pasal 5 sebagai berikut:

32

Panudju, B. Pengadaan Perumahan Dengan Peran Serta Masyarakat Berpenghasilan Rendah, (Penerbit Alumni : Bandung, 2009). Hal. 175

33

(24)

umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan

perusahaan.

b. Maksud didirikannya perusahaan adalah untuk menyelenggarakan kemanfaatan

umum berupa kegiatan-kegiatan produktif di bidang pelaksanaan pembangunan

perumahan rakyat beserta sarana dan prasarananya, dan melakukan pemupukan

dana.

c. Tujuan perusahaan melaksanakan kebijaksanaan dan program Pemerintah di

bidang pelaksanaan pembangunan perumahan rakyat beserta sarana dan

prasarananya yang mampu mewujudkan lingkungan permukiman sesuai dengan

rencana pembangunan wilayah/kota.

Untuk melaksanakan tugas tersebut, kegiatan-kegiatannya telah dirumuskan

dalam Pasal 6 sebagai berikut:

a. Menyiapkan perencanaan proyek-proyek pembangunan perumahan rakyat

dalam arti luas dan prasarana lingkungan;

b. Mengusahakan pembiayaan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan

tugasnya;

c. Menyiapkan, melaksanakan dan mengendalikan pelaksanaan proyek-proyek

pembangunan perumahan rakyat dan prasarana lingkungan yang mencakup

penguasaan dan pematangan tanah, pembangunan perumahan, pembangunan

prasarana lingkungan, perbaikan lingkungan serta kegiatan-kegiatan lainnya

yang berhubungan dengan hal itu;

d. Mengelola tanah-tanah yang dikuasainya, dengan kewenangan untuk:

- merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;

(25)

- menyerahkan bagian-bagian daripada tanah tersebut berikut rumah/

bangunannya dan/atau memindah-tangankan (menjual) tanah yang sudah

dimatangkan berikut prasara yang diperlukan kepada pihak ketiga.

e. Melaksanakan dan mengusahakan unit-unit produksi bahan bangunan dan usaha

penunjang lainnya dalam pelaksanaan tugas pokok perusahaan;

f. Melakukan hubungan kerja dan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka

pelaksanaan tugasnya.

Dari arahan-arahan tersebut di atas, pada kenyataannya Perum Perumnas

mempunyai fungsi ganda yang tidak mudah untuk dilaksanakan. Disatu pihak harus

melaksanakan fungsi sosial untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah,

dilain pihak harus memupuk keuntungan.

Pada awal-awal kegiatan, antara tahun 1974 sampai dengan 1979 cumber

dana pembangunan Perum Perumnas berasal dari APBN sebesar 97%, dalam bentuk

penyertaan modal pemerintah dan selebihnya dari usaha sendiri dan pinjaman luar

negeri. Sejak tahun 1979, sebagai akibat menurunnya harga minyak, penyertaan

modal pemerintah semakin dikurangi dan pada tahun anggaran 1982/1983

penyertaan modal pemerintah dihentikan sama sekali.

Karena lingkup kegiatan Perum Perumnas meliputi seluruh propinsi di

Indonesia, Perum Perumnas berkembang menjadi suatu perusahaan yang cukup

besar. Untuk melaksanakan operasinya kantor pusat Perum Perumnas di Jakarta

membawahi beberapa kantor cabang di kota-kota Medan, Jakarta dua buah,

Bandung, Semarang, Surabaya, dan Ujung Pandang. Disamping itu, ada beberapa

puluh kantor unit proyek di berbagai kota. Hal tersebut menyebabkan jumlah

(26)

Sesuai dengan program dan target pemerintah sejak Pelita II Perum

Perumnas telah membangun cukup banyak rumah di berbagai kota di 27 propinsi.

Meskipun jumlah yang telah dibangun jumlahnya relatif cukup banyak, belum dapat

memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama -masyarakat berpenghasilan rendah.

Dalam pelaksanaan pembangunan perumahan tersebut, seperti apa yang

dijelaskan pada Peraturan Pemerintah No. 121 Tahun 1988 Pasal 6, Perum

Perumnas sertanggung jawab melaksanakan proses pengadaan perumahan sejak

pengadaan lahan, pembuatan rencana tapak, pematangan lahan, pembuatan rencana

bangunan maupun pelaksanaan pembangunan fisik rumah dan lingkungannya.

Namun, karena banyaknya pembangunan perumahan yang ditangani, Perum

Perumnas menggunakan jasa konsultan dan kontraktor. Dalam proses ini tidak ada

keterlibatan masyarakat, calon penghuni sama sekali.

Meskipun dalam pelaksanaan pembangunan perumahan di lapangan menjadi

tanggung jawab kepada unit atau kepala proyek, dalam pengambilan

keputusan-keputusan penting seperti penentuan pemilihan lokasi, penentuan rencana tapak,

perencanaan bangunan dan penentuan konsultan maupun kontraktor masih banyak

ditentukan oleh kantor cabang dan terutama kantor pusat.

Dengan demikian proses pelaksanaan pembangunan perumahan oleh Perum

Perumnas sampai beberapa waktu yang lalu masih sangat sentralistis.

Standar-standar perancanaan maupun perencanaan dan rancangan rumah

telah ditentukan dari pusat sehingga seringkali memperhatikan kondisi sosial

ekonomi dan budaya setempat, terutama di kota- kota kecil di luar Pulau Jawa.

Dalam pelaksanaannya Perum Perumnas sangat terikat oleh

(27)

Pemerintah dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1974 tentang Pembentukan

Perum Perumnas, yang secara jelas telah mengatur lingkup pekerjaan, cara

pembiayaan, cara pembangunan dan lain sebagainya.

Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut, kegiatan-kegiatan Perum

Perumnas sudah sangat terarah dan sangat formal. Dalam pemilihan para calon

penghuni, selain persyaratan- persyaratan untuk calon penghuni yang ketat, proses

pendaftarannya pun diatur secara rinci sehingga untuk dapat mendaftar sebagai

calon penghuni Kompleks Perumahan Perum Perumnas sudah merupakan suatu

saringan cukup berat.

Karena bagi pembeli perumahan yang dibangun oleh Perum Perumnas

diberikan fasilitas kredit oleh BTN, selain peraturan-peraturan tersebut di atas,

masih ada peraturan-peraturan tentang pembangunan perumahan dengan dukungan

KPR BTN yang harus diakui oleh Perum Perumnas seperti yang dimuat dalam

peraturan-peraturan sebagai berikut:

a. Ketentuan Proyek Perumahan Sederhana dengan Dukungan Kredit Pemilikan

Rumah Bank Tabungan Negara.

b. Ketentuan dan Syarat serta Prosedur Pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR)

dan Kredit Pemilikan Kapling Siap Bangun (KPKSB) dari Bank Tabungan

Negara.

Dari peraturan-peraturan tersebut di atas, terlihat bahwa bagi masyarakat

berpenghasilan rendah yang tidak mempunyai penghasilan tetap seperti buruh

bangunan, tukang becak, buruh kasar, dan lain pekerjaan yang sifatnya tidak tetap,

sulit untuk bisa mendapatkan perumahan yang dibangun oleh Perum Perumnas.

(28)

relatif tingginya harga rumah dan perbandingan kebutuhan dengan rumah yang

dapat dihasilkan oleh Perum Perumnas, program ini belum dapat membantu

sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah.34

Peremajaan lingkungan perumahan kumuh merupakan bagian dari progran

peremajaan kota. Program ini dilaksanakan berdasarkan, Instruksi Presiden Nomor 5

Tahun 1990 tentang peremajaan Permukiman Kumuh di atas Tanah Negara. Sesuai

dengan Instruksi Presiden tersebut, arahnya adalah sebagai berikut

2. Peremajaan Kota dan Lingkungan Perumahan Kumuh

35

a. Peremajaan Permukiman Kumuh adalah pembongkaran sebagian atau seluruh

permukiman kumuh yang sebagian besar atau seluruhnya berada di atas tanah

negara dan selanjutnya ditempat yang sama dibangun prasarana dan fasilitas

lingkungan, rumah susun serta bangunan-bangunan lainnya sesuai dengan

rencana tata ruang kota yang bersangkutan.

:

b. Peremajaan Permukiman Kumuh bertujuan untuk:

• Meningkatkan mutu kehidupan, harkat, derajat, dan martabat masyarakat

penghuni permukiman kumuh terutama golongan masyarakat

berpeng-hasilan rendah, dengan memperoleh perumahan yang layak dalam

lingkungan permukiman yang sehat dan teratur.

• Mewujudkan kawasan kota yang ditata secara sesuai dengan fungsinya

sebagai ditetapkan dalam rencana tata ruang kota yang bersangkutan.

• Mendorong penggunaan lahan yang lebih efisien dengan pembangunan

rumah susun, meningkatkan tertib bangunan, memudahkan penyediaan

34Ibid

, hal.178-179 35

(29)

sarana dan prasarana lingkungan permukiman yang diperlukan serta

mengurangi kesenjangan kesejahteraan penghuni dari berbagai kawasan

daerah perkotaan.

Prinsip pelaksanaan program tersebut adalah para penghuni wilayah yang

diremajakan dan ditampung dalam rumah-rumah susun yang akan dibangun di

wilayah-wilayah tersebut atau di lokasi lain yang dekat dengan lokasi peremajaan

tersebut. Rumah-rumah tersebut dapat disewa maupun dimiliki dengan bantuan

fasilitas kredit pemilikan rumah. Selama proses perombakan dan pembangunan

kembali tersebut masyarakat yang terlibat akan ditampung di dalam perumahan

sementara.

Konsep pemikiran dari program ini, selain untuk meningkatkan kondisi

perumahan masyarakat berpenghasilan rendah, adalah untuk mendapatkan lahan di

lokasi-lokasi yang strategis di dalam kota yang nilai lahannya cukup tinggi. Dengan

demikian, sasaran utama dari program ini adalah untuk dapat menampung para

penghuni di kawasan tersebut dalam rumah susun, sehingga terdapat kelebihan

lahan yang cukup luas, untuk dapat dipergunakan pembangunan fasilitas-fasilitas

kota yang secara komersial menguntungkan. Hal ini mengakibatkan pembangunan

kembali perumahan masyarakat yang tadinya horisontal, untuk meningkatkan daya

tampung lahan perlu dibangun secara vertikal dalam bentuk rumah susun sederhana.

Dengan demikian, biaya konstruksi setiap unit rumah menjadi lebih tinggi bila

dibandingkan, dengan pembangunan rumah murah biaya. Selain biaya

pembangunan rumah susun, masih ada biaya-biaya lain yang perlu dikeluarkan

dalam kegiatan ini, yaitu biaya pembongkaran rumah-rumah lama, pembangunan

(30)

prasarana air, listrik, pembuangan limbah dan prasarana jalan lingkungan. Dengan

demikian, program ini memerlukan biaya yang cukup besar.

Mengingat kegiatan ini memerlukan perhitungan ekonomi yang teliti,

perencanaan dan perancangan yang rinci, pengelolaan pembongkaran, penampungan

serta pembangunan dalam jumlah yang relatif besar, pelaksanaannya harus

dilaksanakan oleh sebuah organisasi atau perusahaan yang profesional mempunyai

tenaga ahli yang memadai dan mempunyai modal yang cukup besar. Menurut

pengarahan Pemerintah organisasi yang memungkinkan kegiatan tersebut antara

lain:

a. Pemerintah Pusat, melalui Departemen pekerjaan Umum, dengan sumber dana

dari APBN dan atau pinjaman atau bantuan luar negeri.

b. Badan Usaha Milik Negara, seperti Perum Perumnas, dengan modal dari

perusahaan itu sendiri maupun pinjaman dari pihak luar.

c. Badan Usaha Milik Daerah, dengan modal dari perusahaan, bantuan dari

pemerintah atau pinjaman luar negeri.

d. Perusahaan pengembang swasta, dengan modal dari perusahaan maupun kerja

sama dengan berbagai pihak dalam maupun luar negeri.

e. Yayasan-yayasan semi pemerintah, seperti yayasan dana pension atau

yayasan-yayasan lain yang mempunyai simpanan dana yang cukup besar, yang bekerja

sama dengan pihak lain.

Ditinjau dari kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah, sampai saat ini

program ini belum berkembang dan belum menguntungkan masyarakat

berpenghasilan rendah.

(31)

program ini belum berkembang dan belum menguntungkan masyarakat

berpenghasilan rendah.

3. Perbaikan Kampung36

a. Mengurangi genangan air di waktu hujan, dengan cara memperbaiki sistem

saluran drainase dan pengerasan jalan-jalan dalam kampung.

Program perbaikan kampung yang lebih dikenal dengan nama Kampung

Improvement Project yang disingkat KIP pada kenyataannya bukan suatu program

baru di Indonesia. Kegiatan tersebut telah ada pada waktu penjajahan Belanda

dengan nama Kampoeng Verbetering.

Tujuan program ini pada awalnya adalah untuk memperbaiki kondisi

lingkungan perumahan kampung di dalam kota yang kumuh dan tidak sehat, agar

masyarakat dapat tinggal dalam lingkungan perumahan yang lebih sehat dan lebih

nyaman. Dengan adanya perbaikan kondisi lingkungannya, diharapkan masyarakat

secara, sertahap akan berkembang memperbaiki kondisi rumah mereka

masing-masing.

Program perbaikan kampung dimulai kembali di Indonesia pada akhir tahun

enam puluhan di dua kota. Program ini dilaksanakan oleh Pemerintah DKI - Jakarta

diberi nama Proyek Muhammad Husni Thamrin dan oleh Pemerintah Daerah

Tingkat II Kotamadya Surabaya yang diberi nama Proyek W.R. Supratman.

Konsep pelaksanaan program perbaikan kampung pada awalnya cukup

sederhana. Untuk meningkatkan kondisi fisik lingkungan perumahan kampung,

sasarannya adalah:

b. Meningkatkan pengadaan air bersih, dengan cara pemasangan kran-kran umum

36

(32)

di beberapa tempat.

c. Mengurangi gangguan sampah, dengan cara memperbaiki sistem pembuangan

sampah melalui pengadaan gerobak-gerobak sampah, tong dan bak sampah.

d. Meningkatkan kondisi sanitasi lingkungan, dengan cara pembangunan fasilitas

mandi, cuci, kakus atau MCK.

Untuk beberapa kampung yang membutuhkan, program ini juga membangun

Puskesmas, Pos Pelayanan Kesehatan maupun penambahan atau perbaikan Sekolah

Dasar

Meskipun pada prinsipnya tujuan program ini sama, pada kenyataannya

konsepnya berkembang dari waktu ke waktu. Berdasarkan penelitian Johan Silas,

konsep tersebut selalu berkembang dan disempurnakan. Konsep tersebut dapat

dikategorikan sebagai berikut:

a. Konsep Politis

Konsep ini dilaksanakan pada waktu penjajahan Belanda. Program ini dipakai

sebagai alas politik

Pemerintah untuk memenuhi tuntutan pihak oposisi di parlemen maupun untuk

memenuhi tanggung jawab Pemerintah Daerah.

b. Konsep Proyek Pekerjaan Umum

Konsep pekerjaan ini pertama sekali mulai di Jakarta dan Surabaya pada akhir

enam puluhan dan awal tujuh puluhan, konsep yang dipakai adalah konsep

pekerjaan umum. Kegiatan-kegiatan pembangunan di kampung sangat

ditentukan oleh apa yang menurut Pemerintah penting untuk dilakukan.

c. Konsep Perumahan

(33)

bantuan pinjaman dari Bank Dunia. Program perbaikan kampung diharapkan

untuk dapat menghasilkan rumah-rumah dengan standar minimum yang masih

dapat diterima, tanpa harus membangun rumah-rumah baru. Hal ini dapat

dilakukan dengan cara meningkatkan rumah-rumah yang dibawah standar

menjadi rumah-rumah yang standarnya dapat diterima oleh Pemerintah.

d. Konsep dengan Peran Serta Masyarakat

Dengan bantuan Institut Teknologi Sepuluh November atau ITS di Surabaya,

masyarakat setempat yang akan terkena program tersebut diajak berkonsultasi

dan dimintai pendapatnya tentang program perbaikan kampung yang akan

dilaksanakan di kampungnya. Dalam diskusi tersebut dijelaskan pula apa yang

dapat dan tidak dapat dilakukan oleh proyek tersebut. Disamping itu, dijelaskan

pula apa yang diharapkan untuk dapat dilengkapi oleh masyarakat setempat.

Dapat pula ditambahkan disini bahwa konsep yang mirip telah dikembangkan

oleh Prof. Hasan Poerbo dan Jurusan Arsitektur ITB untuk program yang sama

di Kota Bandung.

e. Konsep Pengembangan Kota

Setelah banyak kampung di dalam kota menjadi baik, dana Pemerintah masih

tetap terbatas sedangkan untuk memenuhi kebutuhan kualitas selalu meningkat.

Oleh karena itu, program perbaikan kampung dijadikan salah satu bagian dari

program pengembangan kota secara terpadu. Dengan menggunakan kekuasaan

Pemerintah Daerah, program perbaikan kampung dimanfaatkan sebagai alas

untuk mengintegrasikan, merangsang dan memaksakan adanya subsidi silang

(34)

Dengan adanya penyempurnaan konsep-konsep tersebut, komponen

perbaikan awal dari program ini juga mengalami perubahan dan penambahan,

disesuaikan dengan kondisi kampung dan masyarakat setempat. Sejak dilaksanakan

di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1969 program perbaikan kampung terns

dilaksanakan d berbagai kota. Sejak Pelita II program perbaikan kampung, dengan

bantuan Bank Dunia, dikembangkan di beberapa kota besar antara lain, Jakarta,

Surabaya dan Ujung Pandang. Mulai Pelita III dan dilanjutkan pada pelita-pelita

berikutnya program perbaikan kampung dilaksanakan di kota-kota sedang dan kecil.

Sampai saat ini telah banyak kampung di beberapa kota di Indonesia yang telah

terkena program ini. Dari hasil penelitian dan pengamatan dari para peneliti antara

lain John Taylor dan Johan Silas yang dikemukakan dalam sebuah pertemuan yang

diprakarsai oleh Bank Dunia di Surabaya pada tahun 1994, ada beberapa hal yang

dapat dikemukakan tentang dampak program perbaikan kampung pada masyarakat,

yaitu antara lain sebagai berikut:

Terlihat adanya sedikit kontribusi dari program ini pada peningkatan

pendapatan masyarakat maupun pola pengeluaran masyarakat, demikian pula

adanya peningkatan yang tidak mencolok pada kesehatan masyarakat.

Secara Kualitatif dapat dilihat adanya peningkatan yang cukup besar pada

kondisi lingkungan sosial, mengakibatkan adanya peningkatan komitmen

masyarakat untuk meningkatkan perbaikan dan pemeliharaan komponen- komponen

program perbaikan kampung maupun rumah mereka masing-masing.

Komitmen masyarakat tersebut meningkat sejalan besarnya keterlibatan masyarakat

dalam perencanaan maupun pelaksanaan perbaikan, kampung tersebut.

(35)

yang belum terpecahkan dengan baik pada program ini yaitu masalah status

kepemilikan lahan milik masyarakat, yang menyulitkan pengaturan dan penertiban

kampung tersebut. Disamping itu, menurut Johan Silas di beberapa lokasi proyek

perbaikan kampung, karena meningkatnya nilai tanah dan rumah, ada

kecenderungan masyarakat yang ekonominya lemah tergusur dari kampungnya

karena rumah dan tanahnya dijual kepada masyarakat yang lebih mampu, atau tidak

mampu membayar sewa rumah yang meningkat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun secara keseluruhan

program perbaikan kampung telah dapat meningkatkan kondisi perumahan

masyarakat berpenghasilan rendah dan beberapa bagian dari kota, secara kuantitas

tidak dapat menambah jumlah rumah yang sangat diperlukan oleh masyarakat

berpenghasilan rendah.37

Dalam sebuah lingkungan perumahan harus disediakan prasarana untuk

memberikan kemudahan bagi penghuni. prasarana-prasarana yang harus disediakan

adalah sebagai berikut

5. Prasarana Lingkungan Perumahan

38

1) Jalan Penghubung Lingkungan Perumahan, yaitu jalan yang menghubungkan

lingkungan perumahan yang satu dengan lainnya, atau menghubungkan

lingkungan perumahan dengan fasilitas layanan di luar lingkungan :

a. Jalan

Klasifikasi jalan pada lingkungan perumahan dapat dibedakan menjadi beberapa

jenis, yaitu:

37Ibid

, hal.189-191 38

(36)

perumahan.

2) Jalan poros Lingkungan Perumahan, yaitu jalan utama pada suatu

lingkungan perumahan.,

3) Jalan Lingkungan, yaitu jalan pembagi suatu lingkungan perumahan, yang

hierarkinya lebih rendah daripada jalan poros lingkungan perumahan. Jalan

lingkungan ini dapat dibagi lagi menjadi jalan lingkungan tingkat I, jalan

lingkungan tingkat II, dan jalan lingkungan tingkat III, yang mempunyai

hierarki yang semakin rendah.

Proporsi jalan pada lingkungan perumahan dapat dibedakan menjadi

beberapa jenis, yaitu:

1) pada perumahan daerah kemudahan tingkat I, jalan lingkungan II dan III

sebesar 80%, jalan lingkungan I 15%, dan jalan poros lingkungan 5%.

2) pada perumahan daerah kemudahan tingkat II, jalan lingkungan II dan III

sebesar 60%, jalan lingkungan I 30%, dan jalan poros lingkungan 10%.

3) pada perumahan daerah kemudahan tingkat III, jalan lingkungan II dan III

sebesar 40%, jalan lingkungan I 40%, dan jalan poros lingkungan 20%.

b. Air minum

Suatu lingkungan perumahan harus menyediakan sumber air bersih bagi

warganya. Sumber air bersih ini dapat saja disediakan per unit ataupun secara

sentral untuk seluruh area permukiman.

c. Air limbah

Lingkungan perumahan yang baik harus mempunyai sarana pengolahan air

limbah. Karena fungsinya sebagai kawasan permukiman, sebagian besar air

(37)

menyediakan septic tank dan sumur resapan.

d. Pembuangan air hujan

Untuk pembuangan air hujan dapat disediakan sumur resapan di area-area

terbuka di dalam kawasan perumahan ataupun berupa selokan yang dikendalikan

bersama untuk seluruh area perumahan. Untuk memenuhi persyaratan kesehatan,

saluran air hujan ini sebaiknya berupa saluran tertutup.

e. Pembuangan sampah

Sarana pembuangan sampah merupakan kelengkapan yang penting terkait

dengan persyaratan kesehatan lingkungan. Tempat pembuangan sampah rumah

tangga sebaiknya disediakan pada setup unit hunian. Dari unit-unit hunian ini

sampah diangkut ke tempat pembuangan sementara (TPS), misalnya dengan

menggunakan gerobak ataupun mobil sampah. Selanjutnya sampah diangkut ke

Tempat Pembuangan Akhir dengan menggunakan dumb truck, yang

operasionalisasinya dapat dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah setempat

dan dapat pula dikelola secara mandiri.

f. Jaringan listrik

Sesuai tuntutan kebutuhan hidup saat ini, listrik merupakan sarana penerangan

yang penting. Pada lingkungan perumahan, pasokan listrik harus diperhitungkan

dengan standar minimal 450 VA per keluarga ataupun 90 VA per individu.

7. Fasilitas Lingkungan Permukiman

Lingkungan permukiman yang baik harus dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas

(38)

menjadi39

a. Fasilitas Pendidikan :

Pendidikan merupakan sarana untuk membangun individu. Pada era

globalisasi saat ini, pendidikan merupakan suatu faktor penting bagi

peningkatan derajat sosial seseorang.

Karenanya kawasan permukiman harus dilengkapi dengan fasilitas

pendidikan sesuai dengan standar di bawah ini:

1). Untuk setiap 1000 penduduk harus disediakan 1 fasilitas pendidikan

setingkat Taman Kanak-kanak (TK).

2). Untuk setiap 1600 penduduk harus disediakan 1 fasilitas pendidikan

setingkat Sekolah Dasar (SD).

3). Untuk setiap 6000 penduduk harus disediakan 1 fasilitas pendidikan

setingkat Sekolah Menengan Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah

Atas (SMA).

b. Fasilitas Kesehatan

Suatu lingkungan pennukiman yang penduduknya telah mencapai 6000

orang, selain harus dilengkapi dengan fasilitas pendidikan, juga harus

dilengkapi dengan fasilitas kesehatan dengan ketentuan sebagai berikut:

1). Untuk setiap 6000 jiwa harus disediakan. 1 fasilitas kesehatan setingkat

Puskesmas Pmbantu yang sebaiknya diletakkan di tengah-tengah

lingkungan permukiman dengan radius pencapaian maksimum 1500 m.

2). Selain itu, apabila jumlah penduduk di suatu lingkungan permukiman

telah mencapai 6000 jiwa, selain Puskesmas Pembantu juga perlu

39

(39)

dilengkapi dengan fasilitas pendukung yang lain seperti tempat praktek

dokter. Fasilitas ini sebaiknya diletakkan di tengah-tengah lingkungan

permukiman dengan radius pencapaian maksimum 1500 m.

3). Untuk setiap 30.000 jiwa harus disediakan 1 fasilitas kesehatan setingkat

Puskesmas yang lebih tinggi daripada Puskesmas Pembantu. Pada

lingkungan ini harus disediakan Puskesmas Induk yang membawahi 5

puskesmas pembantu. Sebaiknya fasilitas tersebut diletakkan di

tengah-tengah lingkungan permukiman sehingga akses setiap Puskesmas

Pembantu ke Puskesmas Induk dapat sama rata, dengan radius

pencapaian maksimum 3000 m.

4). Apabila jumlah penduduk mencapai 10.000 jiwa, suatu lingkungan

permukiman harus dilengkapi dengan rumah bersalin. Fasilitas ini

sebaiknya diletakkan di tengah-tengah dengan radius pencapaian

maksimum 2000 m.

5). Selain itu, apabila penduduk suatu permukiman sudah mencapai 10.000

jiwa, maka lingkungan ini juga harus dilengkapi dengan apotik yang

sebaiknya diletakkan ditengah-tengah dengan radius pencapaian

maksimum 1500 m.

c. Fasilitas Perbelanjaan dan Niaga

Fasilitas perbelanjaan dan niaga merupakan fasilitas komersil sebagai

layanan sebuah lingkungan permukiman. Fasilitas ini direncanakan dengan

tujuan untuk mempermudah aktivitas ekonomi masyarakat. Ketentuannya

adalah sebagai berikut:

(40)

sebaiknya disediakan fasilitas perbelanjaan terkecil yang dapat berwujud

warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Fasilitas ini sebaiknya

diletakkan di tengah-tengah dengan radius pencapaian maksimum 300 m.

2). Apabila jumlah penduduk telah mencapai 2500 jiwa, suatu lingkungan

permukiman sebaiknya dilengkapi dengan fasilitas perbelanjaan berupa

pertokoan yang diletakkan di tengah-tengah dengan radius pencapaian

maksimum 500 m.

3). Apabila jumlah penduduknya sudah mencapai 30.000 jiwa, suatu

lingkungan permukiman sebaiknya mempunyai pusat perbelanjaan

lingkungan sebagai tempat jual beli keperluan sehari-hari seperti bahan

makanan, pakaian, alat rumah tangga, alat sekolah, dll. Pusat

perbelanjaan ini terdiri dari pertokoan dan pasar, yang sebaiknya terletak

di tengahtengah agar mudah dicapai oleh setiap warga permukiman.

4). Untuk lingkungan permukiman setara kecamatan dengan jumlah

penduduk mencapai 120.000 jiwa sebaiknya mempunyai pusat

perbelanjaan dan niaga setara kecamatan. Selain pusat perbelanjaan dan

niaga biasa, perlu juga dilengkapi dengan bank dan industri unit produksi

yang tidak menimbulkan gangguan polusi serta tempat-tempat hiburan.

d. Fasilitas Pemerintahan dan Layanan Umum

Untuk memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakat,

Selain fasilitas-fasilitas standar di atas, perlu juga disediakan fasilitas umum

lain, seperti:

1). Untuk setiap 500 kk atau 2500 jiwa penduduk perlu disediakan balai

(41)

keamanan/hansip.

2). Untuk setiap 6000 kk atau 30.000 jiwa perlu disediakan kantor

kelurahan, pos polisi, kantor pos pembantu, pos pemadam kebakaran,

parkir umum dan kamar mandi umum serta gedung serbaguna.

3). Untuk setiap 24.000 kk atau 120.000 jiwa perlu disediakan kantor

kecamatan, kantor polisi, kantor pos cabang, kantor telepon cabang, pos

pemadam kebakaran, parkir umum dan kamar mandi umum, gedung

serba guna, dan gardu listrik.

e. Fasilitas Peribadatan

Untuk membangun kehidupan rohani warga, dalam suatu kawasan

permukiman juga perlu disediakan sarana peribadatan. Ketentuannya adalah

sebagai berikut (misalnya 80% penduduk beragama Islam):

1). Untuk setiap 500 kk atau 2500 jiwa perlu disediakan 1 buah langgar.

2). Untuk setiap 600 kk atau 30.000 jiwa, selain langgar juga perlu

disediakan masjid.

3). Untuk setiap 24.000 kk atau 120.000 jiwa, perlu disediakan masjid

setingkat kecamatan dan fasilitas ibadah lain di samping masjid dan

langgar tingkat kelurahan.

f. Fasilitas Rekreasi dan Kebudayaan

Untuk memberikan keseimbangan pada kondisi psikologi warga, selain

fasilitas-fasilitas di atas perlu juga disediakan fasilitas rekreasi dan

kebudayaan sebagai sarana apresiasi diri. Ketentuannya adalah sebagai

berikut:

1). Untuk setiap 6000 kk atau 30.000 jiwa (setingkat kelurahan) perlu

(42)

2). Untuk setiap 24.000 kk atau 120.000 jiwa (setingkat kecamatan) di

samping gedung serbaguna perlu juga disediakan gelanggang remaja.

g. Fasilitas Olah Raga dan Lapangan Terbuka.

Pada suatu kawasan permukiman perlu juga disediakan fasilitas olah raga

dan lapangan terbuka. Ketentuannya adalah sebagai berikut:

1). Untuk kelompok 50 kk atau 250 jiwa (setingkat RT) perlu disediakan

tempat bermain anak sebagai pengikat lingkungan.

2). Untuk kelompok 500 kk atau 3000 jiwa (setingkat RW) perlu disediakan

lapangan terbuka, sebaiknya berupa taman yang sekaligus dapat

digunakan untuk berolah raga (volley, badminton, dll).

3). Untuk kelompok 6000 kk atau 30.000 jiwa (setingkat kelurahan), di

samping tempat bermain anak, lapangan terbuka, perlu juga disediakan

lapangan olah raga.

4). Untuk kelompok 24.000 kk atau 120.000 jiwa (setingkat kecamatan),

selain fasilitas-fasilitas di atas, perlu juga lapangan olah raga yang

diperkeras seperti tennis, bola basket, dilengkapi dengan tempat ganti

pakaian dan kakus40

40

Referensi

Dokumen terkait

5.. Bagian penagihan ini bertanggung jawab untuk membuat dan mengirimkan faktur penjualan kepada pelanggan setelah memperoleh informasi lengkap berkenaan pengiriman barang

Didalam Pasal 24C ayat (1) menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

teknik etsa pada kerajinan timah pewter adalah lamanya waktu proses terlebih untuk kerajinan yang memiliki motif dengan deep etching yang tinggi.. Salah satu cara untuk

Berdasar permasalahan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan penelitian mengenai Pengawasan Penggunaan Pekerja Asing terhadap Rencana Penggunaan Tenaga Kerja

Untuk menghindari salah ketik, soal ujian supaya diserahkan kepada kami dalam keadaan sudah diketik, untuk selanjutnya digandakan oleh Panitia Ujian Akhir

TBC adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini menyerang paru-paru sehingga pada bagian dalam alveolus terdapat

Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara GCS saat awal masuk dengan nilai GOS, dan terdapat hubungan yang bermakna antara lama waktu tunggu setelah cedera kepala

Komite Pemantau Risiko bertugas untuk memberikan pendapat kepada Dewan Komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang disampaikan oleh Direksi kepada Dewan