commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan jaman membawa Indonesia kepada era globalisasi yang
berdampak munculnya banyak perusahaan-perusahaan baru. Peningkatan jumlah
perusahaan yang ada secara otomatis meningkatkan pula persaingan di dalam
dunia bisnis. Setiap perusahaan harus dapat meningkatkan daya saingnya dengan
berbagai cara sehingga dapat bertahan hidup. Salah satu faktor yang berperan
penting bagi perusahaan adalah karyawan. Hal ini disebabkan karena manusia
berada pada posisi terdepan yang menentukan tercapainya rencana-rencana
perusahaan (Terry dan Rue, 2005). Pentingnya karyawan bagi perusahaan
menimbulkan konsekuensi harus dilakukannya pengembangan dan pemeliharaan
kualitas karyawan. Pengembangan karyawan akan meningkatkan kinerja
karyawan yang pada akhirnya akan meningkatkan efektivitas perusahaan
(Hameed dan Waheed, 2011).
Selain meningkatkan efektivitasnya, perusahaan juga melakukan usaha
dengan menekan tingkat turn over. Turn over pada karyawan terjadi ketika
karyawan meninggalkan perusahaannya dan perlu digantikan dengan karyawan
baru (Departement for Work and Pensions, 2010). Turn over menjadi pilihan
karyawan apabila karyawan merasa tidak cocok dengan perusahaan tempatnya
bekerja. Karyawan yang keluar dari tempat kerjanya berharap untuk memperbaiki
commit to user
perusahaan turn over yang tinggi adalah suatu hal yang akan menimbulkan
dampak negatif yaitu tidak efisiennya kinerja perusahaan (Tariq, Ramzan dan
Riaz, 2013).
Berdasarkan hal tersebut, untuk dapat meningkatkan efektivitas
perusahaan dan menekan tingkat turn over, perlu adanya keterikatan para
karyawan baik secara kognitif maupun emosional yang biasa disebut keterikatan
karyawan. Keterikatan karyawan adalah salah satu alat yang dapat digunakan
perusahaan untuk meningkatkan daya saingnya. Sebagaimana diungkapkan
Vance (2006) bahwa karyawan dengan tipe terikat di dalam pekerjaannya dan
berkomitmen terhadap organisasinya akan memberikan keuntungan kompetitif
yang sangat penting bagi perusahaan, termasuk di dalamnya adalah produktivitas
yang lebih tinggi dan tingkat turnover karyawan yang lebih rendah. Berdasarkan
pernyataan Vance, dapat dikatakan bahwa ketika suatu perusahaan memiliki
karyawan dengan tipe terikat, maka perusahaan tersebut dapat meningkatkan
produktivitas dan menurunkan tingkat turnover yang pada akhirnya dapat
meningkatkan daya saing perusahaan. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak
semua karyawan perusahaan merupakan karyawan dengan tipe terikat.
Hasil penelitian Gallup (2006) menunjukkan bahwa terdapat tiga tipe
karyawan dalam perusahaan, yaitu terikat, tidak terikat dan secara aktif tidak
terikat. Karyawan dengan tipe terikat adalah karyawan yang bekerja dengan
keinginan besar (hasrat) dan merasakan hubungan (koneksi) yang sangat besar
dengan perusahaannya. Mereka terdorong untuk melakukan inovasi dan
commit to user
terikat adalah karyawan yang bekerja tetapi tidak dengan energi dan keinginan
yang besar terhadap pekerjaannya. Tidak adanya energi dan keinginan yang besar
di dalam bekerja sering membuat karyawan tipe tidak terikat tidak mencapai hasil
yang maksimal di dalam pekerjaannya. Sedangkan karyawan dengan tipe secara
aktif tidak terikat adalah karyawan yang bukan hanya tidak bahagia dalam
pekerjaannya, tetapi juga sibuk untuk mengekspresikan ketidakbahagiaannya
(Gallup, 2006).
Banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui keterikatan
karyawan. Dale Carnegie dan MSW (2012) melakukan penelitian mengenai
elemen fungsional dan emosional yang mempengaruhi keterikatan karyawan.
Sampel representatif sebanyak 1500 karyawan US disurvei. Berdasarkan
penelitian tersebut ditemukan bahwa terdapat 29% karyawan yang terikat secara
penuh, 45% karyawan yang secara parsial terikat dan 26% karyawan tidak terikat.
Pada penelitian lain yang dilakukan Gallup (2006) di suatu perusahaan US,
diketahui bahwa terdapat 29% responden yang merupakan karyawan tipe terikat,
56% tidak terikat dan 15% secara aktif tidak terikat. Selain di US, penelitian
mengenai keterikatan karyawan juga dilakukan di UK. Pada tahun 2001, Gallup
(dalam Rayton, Dodge, Analeze, Marks dan Spencer, 2012) melakukan survei di
UK dan ditemukan bahwa hanya 19% karyawan terikat, 61% karyawan tidak
terikat dan 20% karyawan secara aktif tidak terikat. Melalui hasil penelitian
tersebut dapat disimpulkan bahwa karyawan dengan tipe tidak terikat yang paling
banyak terdapat dalam perusahaan. Hal ini menjadi permasalahan bagi
commit to user
karyawan dengan tipe terikat sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk
berkompetisi dengan pesaingnya.
Pada tahun 2006, Gibbons menjelaskan keterikatan karyawan sebagai
hubungan emosional dan intelektual yang tinggi sehingga menimbulkan perasaan
kepemilikan terhadap pekerjaan, organisasi, manajer, atau rekan kerja dan
mempengaruhi karyawan untuk menerapkan upaya tambahan pada pekerjaannya.
Karyawan yang terikat akan memberikan banyak manfaat, antara lain: tetap
bertahan pada perusahaannya, memberikan kinerja yang semakin baik dan
semakin termotivasi, meningkatkan keuntungan perusahaan, memiliki hubungan
emosional dengan perusahaan, adanya keinginan yang besar, komitmen dan
berpihak pada strategi serta tujuan organisasi, memiliki kepercayaan yang tinggi
terhadap perusahaan, menciptakan loyalitas di dalam lingkungan yang kompetitif,
memiliki energi yang tinggi dan mendorong pertumbuhan perusahaan (Das,
Narendra dan Mishra, 2013).
Banyak sekali keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan apabila
memiliki karyawan dengan tipe terikat. Akan tetapi, menciptakan keterikatan
karyawan bukan suatu perkara yang mudah. Keterikatan karyawan dipengaruhi
oleh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal. Menurut Vance pada tahun
2006, keterikatan karyawan dapat ditingkatkan dengan meningkatkan efikasi diri
karyawan melalui pengembangan keterampilan.
Efikasi diri adalah teori dengan tema mengenai kekuatan berpikir positif
yang dicetuskan oleh Albert Bandura. Menurut Bandura (1977), efikasi diri
commit to user
yang dibutuhkan untuk memproduksi suatu hasil dengan sukses. Selain itu,
penelitian Saks dan Gruman (2011) menyatakan bahwa efikasi diri adalah hal
yang penting untuk membuat karyawan terikat. Mereka menemukan bahwa
terdapat hubungan positif antara job fit percepctions, positive emotions dan
self-efficacy dengan keterikatan karyawan pada karyawan baru. Karyawan baru
dengan efikasi diri yang lebih besar akan cenderung lebih merasa aman dan
secara psikologis bersedia untuk mengikat diri mereka di dalam peran barunya
(Saks dan Gruman, 2011).
Bolman dan Deal (dalam Das, dkk, 2013) juga menyatakan hal berkaitan
dengan efikasi diri yang menjadi pendorong terbentuknya keterikatan karyawan.
Mereka menjelaskan bahwa penghargaan intrinsik seperti kepuasan individu dan
efikasi diri yang kuat merupakan komponen meaningful work yang menjadi aspek
penting di dalam meningkatkan kinerja dan keterikatan karyawan. Berdasarkan
pernyataan tersebut berarti bahwa kepuasan individu dan efikasi diri yang kuat,
yang membuat pekerjaan menjadi bermakna bagi karyawan akan meningkatkan
kinerja dan keterikatan karyawan.
Penelitian tentang efikasi diri pada keterikatan karyawan yang dilakukan
oleh Chaudhary, Rangnekar dan Barua (2012) juga menemukan adanya hubungan
positif antara efikasi diri dalam setting pekerjaan dengan keterikatan karyawan.
Kemampuan adaptasi, kepribadian dan keyakinan yang menjadi dimensi dari
efikasi diri dalam setting pekerjaan ditemukan menjadi prediktor paling
signifikan dari keterikatan karyawan. Selain itu, penelitian yang dilakukan
commit to user
(2007) mengenai enam karakteristik individu yang diprediksikan akan menjadi
karyawan tipe terikat, salah satunya adalah individu yang memiliki efikasi diri.
Karyawan yang memiliki efikasi diri berarti memiliki keyakinan terhadap
kemampuannya di dalam menjalankan peran. Keyakinan inilah yang membuat
karyawan lebih mengikat diri mereka dalam peran kerjanya. Berdasarkan
penelitian-penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa efikasi diri merupakan
salah satu faktor penting yang mempengaruhi keterikatan karyawan.
Penelitian tentang hubungan efikasi diri dengan keterikatan karyawan
sudah banyak dilakukan dan ditemukan bahwa efikasi diri memiliki hubungan
positif dengan keterikatan karyawan. Karyawan yang memiliki efikasi diri yang
tinggi akan lebih terikat dibanding karyawan yang memiliki efikasi diri yang
rendah. Selain efikasi diri, terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi
keterikatan karyawan. Salah satu faktor tersebut adalah optimisme. Optimisme
merupakan konstruk di dalam psikologi positif yang sudah lama dibicarakan baik
oleh para psikolog maupun orang awam. Optimisme adalah ekspektasi terhadap
hasil yang baik (Carver dan Scheier, 2002). Seseorang yang optimis akan
memiliki harapan yang baik terhadap hasil dari pekerjaannya.
Berdasarkan penelitian Saks dan Gruman (2010) dalam Saks dan Gruman
(2010) ditemukan bahwa optimisme termasuk salah satu konstruk yang memiliki
hubungan positif dengan keterikatan karyawan pada sampel pendatang baru suatu
organisasi. Mereka tidak hanya menemukan bahwa optimisme memiliki
hubungan positif dengan keterikatan karyawan. Akan tetapi mereka juga
commit to user
diri, optimisme, resiliensi dan harapan (hope) memiliki hubungan positif dengan
keterikatan karyawan.
Bakker dan Leiter (2010) menjelaskan penelitian yang dilakukan oleh
Xanthopoulou, Bakker, Demerouti dan Schaufeli (2007) yang memeriksa peran
tiga personal resources yaitu self-efficacy, organizational-based self-esteem dan
optimism di dalam memprediksikan keterikatan karyawan. Hasilnya menunjukkan
bahwa karyawan yang terikat memiliki efikasi diri yang tinggi. Mereka yakin
bahwa mereka akan dapat memenuhi tuntutan-tuntutan dihadapan mereka yang
berkenaan dengan konteks peran kerjanya. Selain itu, karyawan yang terikat
percaya bahwa secara umum mereka akan memperoleh pengalaman dengan hasil
yang baik di dalam hidupnya (optimis), dan mereka yakin bahwa dapat
memuaskan kebutuhannya dengan berpartisipasi dalam peran di organisasinya
(organizational-based self-esteem).
Optimisme di dalam diri karyawan akan membuat karyawan bersemangat
di dalam menjalankan perannya dan akan cenderung untuk lebih mengikat diri
dalam peran organisasinya. Schohat dan Gadot (2010) menyatakan bahwa tipe
kepribadian karyawan yang memiliki keterikatan yang tinggi adalah karyawan
yang optimis yang memiliki active coping yang tinggi. Sweetman dan Luthans
(2010) mendiskusikan hubungan psychological capital dengan keterikatan
karyawan dalam pekerjaannya. Psychological capital didefinisikan sebagai
keadaan psikologis yang positif pada diri individu yang ditandai dengan
karakteristik efikasi diri, optimisme, resiliensi dan harapan (Luthans, Youssef,
commit to user
keterikatan karyawan dalam pekerjaannya. Berdasarkan pernyataan Sweetman
dan Luthans (2010), optimisme memainkan peranan dalam mempengaruhi proses
pendekatan dengan tugas-tugas pekerjaan karyawan. Optimisme yang tinggi akan
membuat seorang karyawan mengharapkan kesuksesan ketika dihadapkan pada
sebuah tantangan.
Berdasarkan pemaparan mengenai fakta manfaat keterikatan karyawan
terhadap kemajuan perusahaan dan daya kompetisinya terhadap kompetitor, maka
penting bagi perusahaan untuk menciptakan keterikatan karyawan pada
karyawan. Pentingnya menciptakan keterikatan karyawan berarti bahwa penting
juga bagi perusahaan untuk meningkatkan efikasi diri dan optimisme dalam diri
karyawan. Karyawan dengan efikasi diri yang tinggi akan memiliki keyakinan
yang besar terhadap kemampuannya di dalam menghadapi tuntutan pekerjaan.
Keyakinan inilah yang mendorong karyawan tersebut untuk lebih mengikat diri di
dalam peran pekerjaannya. Keyakinan terhadap kemampuan menjalankan tugas
memang sangat penting ditumbuhkan di dalam diri karyawan. Akan tetapi,
keyakinan terhadap hasil yang positif dari pekerjaannya atau optimisme juga
perlu dikembangkan agar karyawan memiliki motivasi yang lebih besar di dalam
menjalankan tugasnya. Keyakinan akan hasil yang positif terhadap apa yang
sudah ia kerjakan, membuat karyawan tersebut cenderung lebih mengikat diri
terhadap peran pekerjaannya.
Berdasarkan survei prapenelitian yang dilakukan oleh peneliti, PT. Bank
Tabungan Negara (Persero) cabang Solo telah mengalami peningkatan turnover
commit to user
PT. Bank Tabungan Negara (Persero) cabang Solo. Akan tetapi pada tahun 2013,
terdapat sembilan karyawan yang keluar dari pekerjaannya. Hal tersebut menjadi
permasalahan tersendiri bagi PT. Bank Tabungan Negara (Persero) cabang Solo.
Oleh karena itu, peneliti menyebarkan 30 kuisioner yang diadaptasi dari Gallup
Q12 yang terdiri dari 13 pernyataan untuk mengetahui tingkat keterikatan
karyawan. Berdasarkan hasil kuisioner yang dibagikan, peneliti
mengkategorisasikan 30 karyawan tersebut dengan berdasar pada model distribusi
normal, hingga didapatkan hasil bahwa 63,33% yaitu sebanyak 19 karyawan
termasuk dalam kategori keterikatan sedang dan 36,67% yaitu sebanyak 11
karyawan memiliki tingkat keterikatan tinggi terhadap perusahaan. Selanjutnya,
guna mengetahui keterkaitan antara keterikatan karyawan dengan efikasi diri dan
optimisme, peneliti melakukan wawancara terhadap beberapa subjek hingga
diketahui bahwa efikasi diri dan optimisme termasuk sebagai penyebab dari
keterikatan karyawan yang kurang tinggi.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti keterikatan
karyawan pada karyawan PT. Bank Tabungan Negara (Persero) cabang Solo
sebagai variabel kriterium, dalam kaitannya dengan efikasi diri dan optimisme
sebagai variabel-variabel prediktornya. Pemilihan variabel tersebut berdasar pada
penjelasan-penjelasan di atas bahwa efikasi diri yang merupakan kepercayaan
terhadap kemampuan seseorang untuk menjalankan tugas (Kreitner dan Kinicki,
2005), dan optimisme yang merupakan ekspektasi terhadap hasil yang baik
(Carver dan Scheier, 2002) sangat penting untuk ditanamkan di dalam diri
commit to user
karyawan akan mendorong karyawan untuk lebih mengikat dirinya dalam peran
kerja, sehingga disinilah akan tercipta keterikatan karyawan pada karyawan di
dalam perusahaan.
Penelitian dengan judul “Hubungan Efikasi Diri dan Optimisme dengan
Keterikatan pada Karyawan PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Cabang Solo”
diharapkan menjadi informasi bermanfaat yang dapat digunakan sebagai
masukan, rekomendasi dan evaluasi bagi perusahaan bahwa keterikatan karyawan
merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk meningkatkan daya
kompetisi perusahaan di era globalisasi seperti ini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan masalah penelitian
ini adalah:
1. Apakah ada hubungan antara efikasi diri dan optimisme dengan keterikatan
pada karyawan PT. Bank Tabungan Negara (Persero) cabang Solo?
2. Apakah ada hubungan antara efikasi diri dengan keterikatan pada karyawan
PT. Bank Tabungan Negara (Persero) cabang Solo?
3. Apakah ada hubungan antara optimisme dengan keterikatan pada karyawan
commit to user
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui adanya hubungan antara efikasi diri dan optimisme dengan
keterikatan pada karyawan PT. Bank Tabungan Negara (Persero) cabang
Solo.
b. Mengetahui adanya hubungan antara efikasi diri dengan keterikatan pada
karyawan PT. Bank Tabungan Negara (Persero) cabang Solo.
c. Mengetahui adanya hubungan antara optimisme dengan keterikatan pada
karyawan PT. Bank Tabungan Negara (Persero) cabang Solo.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
1) Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai
keterikatan karyawan baik bagi peneliti maupun peneliti lain.
2) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi bidang
ilmu psikologi, khususnya psikologi industri dan organisasi.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi Perusahaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
menunjukkan adanya hubungan antara efikasi diri dan optimisme
dengan keterikatan karyawan, yang dapat memberikan masukan
kepada bagian manajemen sumber daya manusia PT. Bank Tabungan
Negara cabang Solo pada khususnya dan perusahaan-perusahaan lain
commit to user
efikasi diri dan optimisme karyawan melalui pelatihan. Dengan
demikian, keterikatan karyawan dapat ditingkatkan.
2) Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan
bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya, khususnya penelitian
mengenai keterikatan karyawan dengan pengembangan
variabel-variabel lain yang lebih kompleks dan penelitian dalam bidang