• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa dan Sastra Logat Vol 5 No 1 April

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Bahasa dan Sastra Logat Vol 5 No 1 April"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

PRAKATA

Jurnal Logat volume V nomor 1 tahun 2009 ini hadir di hadapan pembaca dengan edisi bahasa. Ada tujuh artikel yang dimuat dalam edisi ini. Topik yang ditulis sangat beragam, meliputi kajian linguistik kebudayaan, linguistik fungsional sistemis, psikolinguistik, dan sosiolinguistik.

I Made Netra menulis tentang bahasa seni pertunjukan ragam humor dalam kajian bahasa dan jender. Netra mengulas perilaku seksis melalui bahasa yang digunakan para pelaku dalam seni pertunjukan di kota Denpasar baik bahasa humur melalui monolog maupun dialog. Fajri Usman menampilkan analisis linguistik kebudayaan tentang bentuk lingual tawa pengobatan tradisional Minangkabau. Bentuk lingual yang dianalisis terfokus pada kohesi leksikal yang meliputi sinonimi, antonimi, hiponimi, hamonimi, polisemi, dan kolokasi.

Rumnasari K. Siregar menampilkan kajian linguistik fungsional sistemis tentang genre fiksi. Teks yang dikaji adalah teks “Lau Kawar” dan “Putri Tikus”. Kedua teks itu diperbandingkan dengan fokus analisis pada segi kutukan. Ni Wayan Sartini menulis tentang kearifan lokal budaya Jawa melalui ungkapan. Sartini menganlisis nilai-nilai yang terkandung dalam pribahasa, bebasan, dan saloka budaya Jawa. Ungkapan-ungkapan itu dapat menggambarkan sikap dan pandangan hidup orang Jawa, hubungan manusia dengan Tuhan, dan hubungan manusia dengan sesama manusia lainnya.

I Made Netra kembali tampil bersama Ni Ketut Alit Ida Setianingsih dan I Gst. Ngurah Parthama, mereka menulis tentang kajian psikolonguistik bahasa skizofrenik, yang merupakan studi kasus para pasien di Rumah Sakit Jiwa Bangli, Bali. Mereka membagi tiga golongan pasien yakni pasien gundah gelisah, semi tenang, dan tenang. Ketiga golongan pasien ini dikaji dari segi bahasa dan perilaku skizofreniknya. Abdurahman Adisaputra membicarakan potensi kepunahan bahasa pada komunitas Melayu Langkat di Stabat, Sumatera Utara. Hal ini terjadi karena komunitas yang dwibahasawan atau multibahasawan. Berdasarkan 230 responden remaja Melayu Langkat ditemukan adanya pergeseran bahasa dari bahasa Melayu Langkat ke bahasa Indonesia. Simpulan yang dibuat oleh Abdurahman menunjukkan bahwa bahasa Melayu Langkat mengarah pada kondisi yang berpotensi terancam punah.

Edisi ini ditutup dengan tulisan Mulyadi yang berjudul, “Kategori dan Peran Semantis Verba dalam Bahasa Indonesia”. Mulyadi mengkaji tipe dan peran semantik verba bahasa Indonesia dengan menerapkan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) dan teori Peran Semantis Rampatan (PSR). Simpulan yang dibuat Mulyadi adalah tipe semantik bahasa Indonesia terdiri atas keadaan, proses, dan tindakan, sedangkan peran semantisnya digolongkan pada aktor, agen, dan pasien.

Medan, April 2009

(2)

DAFTAR ISI

Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam Humor di Kota Denpasar

(Kajian Bahasa dan Jender) --- 1-8 I Made Netra

Universitas Udayana

Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional Minangkabau (Analisis Linguistik

Kebudayaan)--- 9-18 Fajri Usman

Universitas Andalas

Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis: Perbandingan Teks “Lau Kawar”

dan “Putri Tikus” --- 19-27 Rumnasari K. Siregar

Politeknik Negeri Medan

Menggali Nilai Kearifan lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka, dan

Peribahasa) --- 28-37 Ni Wayan Sartini

Universitas Eirlangga

Kajian Psikolinguistik Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus pada Rumah Sakit Jiwa Bangli --- 38-44 Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra, dan I Gst. Ngurah

Parthama

Universitas Udayana

Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu Langkat di Stabat, Kabupaten

Langkat, Sumatera Utara --- 45-55 Abdurahman Adisaputera

Universitas Negeri Medan

Kategori dan Peran Semantis Verba dalam Bahasa Indonesia --- 56-65 Mulyadi

Universitas Sumatera Utara

logat

(3)

❏ I Made Netra Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

PERILAKU SEKSIS DALAM BAHASA SENI PERTUNJUKAN

RAGAM HUMOR DI KOTA DENPASAR KAJIAN BAHASA

DAN JENDER

I Made Netra

Universitas Udayana

Abstract

This paper is aimed at (1) identifying and analyzing the forms of language of humor which has been constructed and used by both male and female players on the art performances in Denpasar; (2) describing and analyzing the functions of language of humor for the sake of marginalizing the women; and (3) describing to what extent the sexism is role-played by both players of human art performances in Denpasar.The result of the analysis showed that (1) the language of humor, in accordance with the types of communication, was constructed by monologues and dialogues taking the forms of free, incoherence, and conflict composition; (2) the sexist language used by the players of humor in art performances was directly and/or indirectly intended to ignore and marginalize the position of women; (3) the sexism considered that men were superior than women that pragmatically and metaphorically contained negative values of the position of women. It was limited to practices that led to the domination and discrimination of men toward women. It also showed that there was unfair treatment of one sex to the other sex, men to women, and women to women themselves.

Key words: language, behavior, sexism, humor, marginal

1. PENDAHULUAN

Penggunaan bahasa yang terkait dengan unsur-unsur di luar bahasa dapat dilihat dalam berbagai peristiwa tutur dan dilakukan oleh guyub tutur tertentu dengan nilai, norma budaya, dan adat istiadatnya. Aitchison (1992:19) mengatakan bahwa penggunaan bahasa, dengan berbagai ragamnya, sebagai alat berkomunikasi untuk menyatakan perasaan dan emosi dalam kaitannya dengan kontak sosial dan sebagai alat transmisi budaya. Salah satu contoh penggunaan bahasa yang paling sering dilihat dalam masyarakat Bali umumnya, terutama di Kota Denpasar khususnya, adalah penggunaan bahasa dalam seni pertunjukan ragam humor. Bahasa humor diyakini oleh masyarakat sebagai media untuk menyampaikan informasi, menyatakan rasa senang, marah, jengkel, dan simpati. Humor bisa berfungsi mengendorkan ketegangan atau katup penyelamat antara dua orang yang berselisih dan bersitegang. Humor juga digunakan untuk tujuan-tujuan seksis yang memanfaatkan perempuan sebagai objek, seperti merendahkan, menyepelekan, dan memarjinalkan posisi perempuan (Soedjatmiko 1992:69—70).

Terlepas dari dualisme fungsi humor tersebut, adakalanya humor digunakan oleh pelibat tertentu dengan memanfaatkan perempuan sebagai objek. Humor dimaksudkan untuk memarjinalkan posisi perempuan. Dalam peristiwa komunikasi seperti ini sering digunakan bahasa, ungkapan-ungkapan, atau pengandaian dengan perilaku yang mengarah pada pengabaian, perendahan, dan pelecehan terhadap kaum perempuan yang dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena itu, secara tersurat dan tersirat terdapat satu fenomena pemakaian atau pemanfaatan kaum perempuan sebagai objek pembicaraan yang signifikan dan sering menyakitkan perasaan oleh kaum laki-laki. Hal ini disebabkan oleh sistem masyarakat patrilineal yang dianut oleh sebagian besar penutur asli bahasa Indonesia. Dalam sistem ini kedudukan kaum laki-laki dianggap lebih tinggi daripada kaum perempuan. Demikian pula halnya dengan fungsi laki-laki dalam masyarakat yang dianggap lebih dominan dan unggul dibandingkan dengan kaum perempuan. Kaum perempuan ditempatkan pada posisi subordinat.

(4)

❏ I Made Netra Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

pembahasannya dipayungi oleh konsep bahasa dan perilaku seksis dalam humor yang dikaji dari perspektif bahasa dan jender yang terkait dengan kajian wanita. Dalam hal ini dapat diasumsikan bahwa bahasa humor tergolong ke dalam bahasa seksis yang berbentuk monologis dan atau dialogis psikoanalitis, sosial, dan persepsi kognitif. Dilihat dari sasarannya, bahasa humor dapat berbentuk humor etnis, humor seksual, dan humor politik. Bentuk dan jenis bahasa humor seperti itu dipakai untuk tujuan-tujuan atau fungsi untuk mengabaikan, merendahkan perempuan, dan sejenisnya. Oleh karena itu, beberapa pertanyaan untuk menunjang asumsi tersebut dapat diformulasikan, yaitu

1) Bagaimanakah bentuk bahasa humor yang dibangun dan digunakan oleh baik pelibat laki-laki maupun pelibat perempuan dalam seni pertunjukan ragam humor di Kota Denpasar?

2) Apakah pemakaian bahasa humor dalam seni pertunjukan di Kota Denpasar tersebut dimaksudkan untuk mengabaikan, merendahkan, dan menyepelekan perempuan sehingga termasuk bahasa seksis?

3) Sejauh manakah perilaku seksis yang ditunjukkan oleh para pelaku atau pelibat dalam seni pertunjukan ragam humor di Kota Denpasar?

2. KAJIAN PUSTAKA

Pembicaraan mengenai kajian pustaka difokuskan pada uraian penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh para peneliti, para pengajar di perguruan tinggi atau para pemerhati bidang kajian wanita. Dalam mengkaji pustaka yang telah dilakukan sebelumnya ini, ada beberapa hal yang akan diuraikan, seperti aspek-aspek yang diteliti, teori yang diterapkan untuk menginvestigasi permasalahan yang diformulasikan, pemerolehan, dan hasil analisis data atau temuan. Berikut penjelasannya:

1) Nababan (2004) melakukan penelitian mengenai wujud paham seksis. Aspek yang diteliti dalam penelitian ini adalah aspek kata

generic yang seksis, dan paham atau perilaku seksis dalam berbahasa. Teori yang diterapkan adalah teori seksisme yang dipelopori oleh Cameron (1994), Vetterling-Braggin (1982), dan Persing (1978). Untuk menunjang penelitian ini, data yang diambil adalah data tulis yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti buku pelajaran bahasa Inggris SMP dan SMA, dan bahasa lisan dalam komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Adapun hasil analisis atau temuannya adalah

sebagai berikut: (1) Kata generic man merujuk pada manusia pada umumnya, dan oleh karena itu, kata gantinya seharusnya he or she. Sebaliknya kata man dalam “ A man was arrested yesterday. He was accused of stealing money from the bank”, bukan kata

generic. Oleh sebab itu, penggunaan kata ganti he yang merujuk pada kata man, bukanlah kata seksis. Demikian pula, “The women were talkative”, bukan kalimat seksis karena the women yang dimaksudkan adalah wanita tertentu. Sebaliknya “women are talkative” adalah kalimat yang seksis karena kata women dalam kalimat tersebut merujuk pada perempuan pada umumnya. Padahal tidak semua wanita mempunyai sifat seperti itu;

2) Suroso (2004) membuat tulisan tentang jender dalam bahasa pria dan wanita. Aspek yang diteliti adalah dominasi bahasa pria dan bahasa wanita masa kini. Teori yang diterapkan adalah teori bahasa dan jender, khususnya konsep perbedaan bahasa pria dan wanita yang dipelopori oleh Wardhaugh (1976). Data diperoleh dari percakapan dan karya sastra bermuatan lokal Jawa. Hasil temuannya adalah sebagai berikut: (1) Pria menunjukkan superioritasnya dalam karya sastra tersebut yang direfleksikan oleh pemakaian leksikon; (2) Wanita dengan gaya bahasa yang terkesan pemalu, tertutup, genit, dan kurang percaya diri sudah mulai ditinggalkan. Sebaliknya, wanita masa kini cenderung bergaya tutur cerdas, terbuka, dan mandiri yang tercermin saat mereka mengungkapkan pikiran dan gagasannya baik secara lisan maupun tertulis.

3. KONSEP DAN LANDASAN TEORI

Ada dua teori yang dikemukakan sebagai landasan teori untuk menjawab permasalahan yang telah diformulasikan, yaitu (1) teori humor dan linguistic humor, (2) teori bahasa dan jender. Selanjutnya, perlu diuraikan beberapa konsep untuk menunjang teori tersebut, seperti (1) konsep bahasa seksis dan (2) konsep perilaku seksis. Berikut adalah uraian lengkapnya.

3.1. Konsep

(5)

❏ I Made Netra Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

variasi bahasa oleh jenis kelamin tertentu yang dimaksudkan untuk merendahkan, menyepelekan dan mengesampingkan jenis kelamin tertentu (perempuan).

3.1.1 Bahasa Seksis

Suatu ujaran dapat dianggap seksis apabila penggunaannya mendorong atau mengisyaratkan adanya penekanan terhadap perempuan dan menunjukkan adanya eksploitasi terhadap jenis kelamin tertentu. (Veterling-Braggin dalam Nababan, 2004: 156). Dari pernyataan tersebut dapat diinterpretasikan bahwa bahasa seksis pada umumnya diujarkan atau dikomunikasikan oleh seorang laki-laki yang membicarakan perempuan sekitar keperempuananya. Bahasa seksis juga bisa diujarkan oleh perempuan terhadap perempuan lain tentang keperempuannya. Keperempuan seorang perempuan sebenarnya mengandung sifat dan cirri-ciri dan bahkan kesan yang ditimbulkan oleh seorang perempuan.

3.1.2 Perilaku Seksis

Perilaku seksis mengacu pada istilah seksisme, yaitu suatu aliran atau paham yang menempatkan laki-laki pada posisi superior dan perempuan pada posisi marginal, dilecehkan, disudutkan (inferior). Untuk menunjang pengertian seksisme berikut dipaparkan beberapa pengertiannya.

1) Seksisme merupakan suatu paham atau sistem kepercayaan yang mempercayai adanya fenomena yang masih menganggap jenis kelamin tertentu lebih unggul dari jenis kelamin yang lainnya. Dalam hal ini, jenis kelamin laki-laki dianggap lebih unggul dari jenis kelamin perempuan. Hal semacam ini tentunya terlihat dari bentuk bahasa yang dipakai oleh laki-laki didalam berkomunikasi, atau bisa juga terlihat dari monolog orang laki-laki tentang perempuan, mengandaikan perempuan dengan binatang yang jelek atau dengan benda-benda yang secara pragmatis dan metaforis mengandung nilai-nilai yang negative tentang perempuan. (Cobuild English Dictionary 1997:1512)

2) Seksisme tidak hanya terbatas pada paham tetapi juga pada praktek-praktek yang meneguhkan dominasi dan diskriminasi terhadap jenis kelamin tertentu, yaitu kaum laki-laki terhadap kaum perempuan atau bisa juga kaum perempuan sendiri yang melakukannya terhadap kaumnya sendiri atau sesamanya (Cameron dalam Nababan 2004:156)

3) Seksisme memperlihatkan adanya

ketidakadilan atas perlakuan terhadap jenis

kelamin tertentu, kaum laki-laki terhadap kaum perempuan dan antar kaum perempuan itu sendiri atau sesamanya (Graddol dan Swann dalam Nababan 2004:156). Artinya, pada umumnya, kaum perempuanlah yang menjadi pasien dan korban ketidakadilan itu. 4) Seksisme memandang bahwa ketidaksetaraan

kaum laki-laki dan kaum perempuan tidak saja terjadi dalam berbagai aktivitas kehidupan, namun pada dasarnya juga diwujudkan melalui bahasa baik secara verbal maupun nonverbal. (Persing dalam Nababan 2004:156)

3.2. Landasan Teori

Untuk menjwab semua permasalahan yang telah diformulasikan di atas, maka diterapkan dua teori, satu teori yang menyangkut teori humor dan linguistic humor, dan yang lainnya adalah teori bahasa dan jender. Berikut adalah penjelasannya.

3.2.1 Teori Humor dan Linguistik Humor

Wilson (1979:10) menjelaskan bahwa humor diartikan sebagai bentuk bahasa yang mengandung kebebasan yang dapat dijelaskan dari sudut dampak emosionalnya; disamping itu humor juga mengandung konflik, yang dapat diartikan adanya dorongan untuk saling bertentangan diantara dua pelaku, dan ketidakselarasan yang merujuk kepada penjelasan kognitif.

Wilson (1979) juga mengatakan bahwa humor merupakan penyimpangan dari pikiran wajar yang diekspresikan secara ekonomis dalam kata-kata dan waktu. Dapat diinterpretasikan bahwa betapa humor itu digunakan dengan multi guna dan fungsi. Selanjutnya, bahasa humor dibangun sacara monologis dan atau dialogis dengan tipe bebas, konflik, dan tak selaras.

3.2.2 Bahasa dan Jender

(6)

❏ I Made Netra Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

batasan ini terlihat bahwa pengkajian terhadap variasi bahasa berdasarkan jender ini merupakan kesepakatan atau konvensi penggunaan variasi bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari, baik secara verbal maupun nonverbal atau tulisan.

Penggunaan variasi bahasa berdasarkan jender lebih mengarah kepada konsep hubungan sosial yang menggambarkan perbedaan jenis tingkah laku atau perilaku. Salah satunya adalah perilaku seksis jenis kelamin tertentu terhadap jenis kelamin yang lainnya secara sosial, kultural dan psikologis. Oleh karena itu, variasi bahasa tersebut merupakan hasil bentukan masyarakat penutur melalui proses sosial dan budaya di suatu tempat, dan waktu-waktu tertentu.

4. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan memakai pendekatan semantik dan semiotik sosial. Metode dan teknik penelitian mencakup tiga tahapan, yaitu (1) metode dan teknik pemerolehan data, (2) metode dan teknik analisis data, dan (3) metode dan teknik penyajian hasil analisis data.

4.1. Metode dan Teknik Pemerolehan Data Dalam penelitian ini data yang diteliti adalah data lisan yang diambil dari beberapa pertunjukan seni di Kota Denpasar terutama di tempat-tempat atau pusat-pusat pertunjukan (Art Centre, tempat pementasan barong dance, dan lapangan puputan), seperti Calon Arang, Arja, Drama Gong, Paguyuban Lawak dan Wayang Kulit. Pemilihan seni pertunjukan di Kota Denpasar sebagai sumber data didasarkan atas pertimbangan bahwa bahasa yang digunakan dalam seni pertunjukan terutama dalam ranah humor sangat menyentuh masyarakat penonton yang kebanyakan berasal dari kalangan menengah ke bawah. Dengan demikian, substansi humor yang disampaikan oleh pelaku cenderung mengacu pada hal-hal yang bersifat seksis. Di samping itu, bahasa seni pertunjukan dalam ranah humor cenderung dibuat yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat tabu dan ditabukan, namun dalam setiap kesempatan hal yang tabu ini cenderung untuk dilanggar dengan berlindung di balik kreativitas manusia.

Untuk pengambilan data lisan ini digunakan instrumen, seperti tape recorder, pulpen dan buku tulis atau buku catatan. Data diperoleh dengan metode simak (Sudaryanto 1993) dengan teknik catat dengan daya pilah sebagai pembeda reaksi dan kadar keterdengarannya (Sudaryanto 1993:25). Selanjutnya, diuraikan beberapa langkah

yang diambil untuk memperoleh data yang sahih, yaitu

1) Melakukan inventarisasi terhadap seni pertunjukan yang dipertontonkan secara rutin di wilayah Kota Denpasar,

2) Melakukan perekaman secara langsung terhadap seni pertunjukan tersebut,

3) Hasil rekaman data tersebut didengarkan dan ditonton,

4) Mencatat bahasa humornya yang sarat dengan kandungan bahasa seksis dan perilaku seksisnya,

5) Melakukan klasifikasi data berdasarkan bentuk bahasa dan jenis humornya.

4.2. Metode dan Teknik Analisis Data

Setelah data diperoleh dan diklasifikasikan, langkah selanjutnya adalah melakukan kodifikasi yang disesuaikan dengan ranah humor monologis atau dialogis. Kemudian baru dianalisis secara sistematis berdasarkan urutan permasalahan yang diformulasikan. Dalam hal ini, bentuk bahasa yang bisa membangun bahasa seni pertunjukan dalam ranah humorlah yang pertama-tama dianalisis, kemudian dilanjutkan dengan pengidentifikasian dan penganalisian bahasa seksis dan tujuan pemakaian bahasa seksis tersebut. Terakhir akan dianalisis sejauh mana perilaku seksis yang ditunjukkan oleh para pelaku dalam seni pertunjukan ranah humor tersebut.

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode padan dengan alat bantu berupa tulisan atau teori-teori yang relevan di samping metode agih, yaitu metode yang alat bantunya justru bagian dari bahasa itu sendiri dengan menerapakan teknik dasar, yaitu teknik pilah unsur-unsur penentu (Sudaryanto 1986). Langkah-langkah analisis data dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Menganalisis bentuk bahasa humor yang dibangun dan digunakan dalam seni pertunjukan ranah humor dengan menerapkan teori humor dan linguistic humor.

b. Menganalisis bahasa seksis dalam seni pertunjukan ranah humor, dengan menerapkan teori bahasa seksis.

c. Menganalisis perilaku seksis pelibat dalam seni pertunjukan ranah humor, dengan menerapkan teori seksisme atau perilaku seksis.

(7)

❏ I Made Netra Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

berupa tabel dan angka, sedangkan metode informal, yaitu metode penyajian hasil analisis data yang menggunakan uraian kata-kata yang lengkap yang rinci dan terurai. Untuk memperoleh laporan atau hasil analisis data yang lengkap dalam penelitian ini, metode dan teknik yang dipakai untuk menyajikan hasil analisis data adalah metode formal dan informal dengan teknik penambahan, substansi, dan parafrase (Sudaryanto 1993:36).

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Bahasa Humor Monologis

Konstruksi bahasa humor yang pertama disebut dengan bahasa humor monologis. Dikatakan monologis karena hanya ada satu pelibat dalam teks, yaitu pembicara saja. Terdapat berbagai variasi konstruksi bahasa humor yang monologis, yaitu bebas tidak selaras dan bebas berkonflik. Perhatikan contohnya:

CB-M/1 Malen:

ƒ …negakang sepeda, merebonding, jitne nyurarit kedet padet, bahenol. Mara tolih muane, cara jelmane bencong

ƒ ‘…bersepeda, rambutnya direbonding, pantatnya bahenol dan padat berisi. Baru dilihat mukanya, ternyata bencong.’

CB-M/2 Merdah:

ƒ Ada anak nganten. Ane muani cara rejuna. Ane luh kulitne putih, pupurne ngempul, cara krisdayanti. Makane anak luh ento lebih indah dari asline

ƒ ‘Ada orang menikah. Yang laki seperti Arjuna. Yang perempuan kulitnya putih, memakai bedak yang tebal, seperti Krisdayanti. Maka dari itu, orang perempuan itu lebih indah dari aslinya.’

Data CB-M/1 dan CB-M/2 di atas menunjukan bahwa jenis atau bentuk bahasa yang digunakan untuk membangun teks humor adalah bentuk bahasa yang monologis dengan tipe bebas tidak selaras. Bebas tidak selaras maksudnya adalah bahwa pada CB-M/1 digambarkan bahwa perempuan yang menaiki sepeda yang terkesan tidak kaya pergi merebonding rambutnya. Kegiatan ini termasuk kegiatan yang memerlukan biaya besar atau mahal; pada CB-M/2 terdapat kesan yang tidak selaras antara pengantin laki-laki dan perempuan. Pemakaian bentuk linguistik dalam teks tersebut menunjukkan bahwa betapa laki-laki dalam cerita monologisnya memandang perempuan itu sangat hina, tertekan, terpojok dan dipakai sebagai objek penderita dalam tuturannya. Laki-laki tersebut menunjukkan dan menonjolkan perilaku seksisnya melalui unsur-unsur linguistik

secara morfologis, sintaksis, dan secara tekstual semantik. Dalam hal ini, dia menggunakan unsur-unsur bahasa itu untuk tujuan-tujuan atau maksud-maksud tertentu. Dalam CB-M/1 terdapat ketidakselarasan bentuk dan makna yang ditonjolkan oleh unsur leksikal, seperti kata

rebonding dan menaiki sepeda.

Secara sosial semestinya perempuan yang hanya pergi dengan bersepeda hanya memikirkan bagaimana dia bisa bertahan hidup. Mereka tidak semestinya merebonding rambutnya karena dianggap miskin. Sebagai bukti bahwa mereka digolongkan miskin adalah bahwa mereka selalu bepergian hanya menggunakan sepeda gayung. Secara psikologis, mereka yang melakukan kebiasaan seperti yang digambarkan tersebut adalah kaum perempuan, tetapi si pembicara menyebutkannya dengan bencong.

Dalam CB-M/2 pertentangan juga terjadi antara keadaan fisik pengantin laki-laki dan perempuan. Perempuan yang diperumpamakan seperti Krisdayanti merupakan perempuan pemalas, tidak mau bekerja untuk hidupnya, tetapi didapatkan bahwa pekerjaannya hanya berhias setiap hari. Walaupun tidak begitu adanya, karena bentuk perempuan itu jauh lebih baik dari aslinya. Dengan demikian, dari adanya perilaku seksis seorang laki-laki terhadap perempuan, bahasa yang digunakan untuk mencerminkan perilakunya yang seksis disebut dengan bahasa seksis. Dengan kata lain, bahasa seksis menunjukkan bahwa secara tersurat dan tersirat perempuan telah sangat direndahkan dan disepelekan serta ditempatkan pada posisi yang sangat marginal. Lebih jauh lagi, perempuan selalu dijadikan bahan pembicaraan, objek sosial dan psikologis dan sejenisnya.

CB-M/3 I Luh Koncreng:

ƒ Santukan tiang cewek orderan, kereng ajak beli Tomblos, sering di Semabaung pindah ke Belanjong lan sane tiosan. Sekat ulung Bome di Kuta, siu limang atus kanggoang tiang. ƒ ‘Karena saya cewek order, sering dengan kak

Tomblos, sering di Semawang terus pindah ke Belanjong, dan temapt lainnya. Semenjak terjadi Bom di Kuta, seribu lima ratus saya mau.’

(8)

❏ I Made Netra Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

sebagai pemuas suami, tetapi juga menjadi ibu rumah tangga. Akan tetapi, di sini I Luh Koncreng justru menyebut dirinya sendiri sebagai cewek orderan. Pemakaian jenis bahasa seperti ini dimaksudkan untuk merendahkan, melecehkan, dan mengabaikan perannya sendiri. Apalagi pada saat dia sepi orderan dia mau menerima bayaran seribu lima ratus sekalipun. Secara pragmatis, ujaran ini menegaskan betapa harga diri perempuan itu sangat hina, terpojok, terjepit, dan marjinal. Jadi, perilaku seksis seperti ini secara sosial terbatas pada praktik-praktik yang meneguhkan dominasi dan diskriminasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan atau bisa juga kaum perempuan terhadap kaumnya sendiri. Perilaku seksis juga memperlihatkan adanya ketidakadilan atas perlakuan terhadap jenis kelamin tertentu, kaum laki-laki terhadap kaum perempuan, dan antar kaum perempuan itu sendiri atau sesamanya.

5.2. Bahasa Humor Dialogis

Konstruksi bahasa humor yang kedua ialah bahasa humor dialogis. Dikatakan monologis karena hanya ada satu pelibat dalam teks di atas, yaitu pembicara saja. Terdapat berbagai variasi konstruksi bahasa humor yang monologis, yaitu bebas takselaras dan bebas berkonflik. Perhatikan contohnya:

CB-D/1 Malen:

Ngelah tunangan di suargan

‘Punya kekasih di surga’

Merdah:

Awak tua adi ngitungan cewek/tunangan?

Orang sudah tua, kok masih memikirkan cewek/ kekasih?’

Malen:

Walau nanang tua, nu megigi satu/kenyang/. Nanang nu ngelah pangal pangijeng. (dialog)

‘Walaupun ayah sudah tua, ayah masih punya gigi 1/kuat. Ayah masih punya gigi graham.

Data CB-D/1 di atas menunjukan bahwa jenis atau bentuk bahasa yang digunakan untuk membangun teks humor berbentuk dialogis dengan tipe bebas pragmatis dan penuh dengan metafora. Dikatakan dialogis karena ada dua pelibat dalam teks di atas, yaitu pelibat satu yang memberikan stimulus atau pertanyaan dan pelibat dua yang memberikan respon terhadap stimulus tersebut. Pemakaian atau penggunaan bentuk linguistik dalam teks tersebut menunjukkan bahwa betapa laki-laki, yang berbicara dengan laki-laki lain yang membicarakan atau menjadikan perempuan

sebagai objek pembicaraannya, memandang perempuan tersebut sangat hina, tertekan, terpojok, dan dipakai sebagai objek penderita dalam tuturannya. Dengan demikian, mereka (lelaki yang berbicara) menunjukkan suatu perilaku yang seksis.

Perilaku seksis ini merupakan suatu paham atau sistem kepercayaan yang mempercayai adanya fenomena yang masih menganggap jenis kelamin tertentu lebih unggul dari jenis kelamin lain. Dalam hal ini, laki-laki dianggap lebih unggul dari perempuan. Hal semacam ini terlihat dari ujaran si Malen yang mengabaikan, melecehkan perempuan yang dijadikan pacarnya. Ujaran yang pragmatis yaitu magigi satu yang melambangkan kekuatan seksnya walaupun sudah berumur, dan ngelah pangkal pangijeng ‘punya gigi pangkal’ yang dimaksudkan bahwa dia masih mempunyai kekuatan yang bisa diandalkan dan memuaskan pacarnya secara biologis.

Secara konotasi hal ini dimaksudkan dengan perempuan atau wanita itu dianggap hina seperti sepeda dan hanya dijadikan alat atau objek semata dan bisa ditiduri atau disetubuhi. Dengan kata lain, wanita itu dipakai sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan biologis lelaki. Dengan demikian, data di atas menunjukkan adanya perilaku seksi lelaki terhadap perempuan dimana lelaki tersebut bermaksud mengabaikan perannya yang asali, melecehkan dan menyepelekan perempuan. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan oleh lelaki tersebut tergolong bahasa seksis. Kenyataannya bahwa laki-laki masih dominan sekali dalam kehidupannya sehingga memandang perempuan sangat hina melalui ungkapan yang dinyatakan dengan bahasa.

CA-D/2 Punta:

Apa hubungan kurenan cange ajak Batara?

Apa hubungan antara istri saya dengan Tuhan?’

Wijil:

Kurenan beline maturan state teken Ida Batara

Istrimu selalu berdoa dan menyembah Tuhan’

Punta :

Ya sing maturan

‘Bagaiman kalau tidak saat sembahyang?’

Wijil: Adi sing

‘Kenapa tidak?’

Punta:

pas sing dadi dugas ento

Pas tidak boleh saat itu’

Wijil:

kan bisa buin tiban ngaturan bakti

(9)

❏ I Made Netra Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Punta:

pas kayang ento iya sing dadi. Kenken?

Pas nanti dia juga akan tidak boleh. Gimana?’

Wijil:

men buin tibane?

Terus setahunnya lagi, kan bisa?’

Punta :

pas masi ya sing dadi?...

Pas juga dia tidak boleh…

Data di atas menunjukkan bahwa bahasa seksis digunakan oleh laki-laki kepada laki-laki yang membicarakan perempuan. Makna sosial dan kultural pada data tersebut adalah adanya pelecehan dan pengabaian perempuan. Walaupun demikian, bentuk linguistik, seperti pas masi ya sing dadi?... ‘pas juga dia tidak boleh’ menunjukan perilaku seksis, yaitu bahwa istrinya tidak diberikan kesempatan untuk berdoa dan bersembahyang ke pura karena diyakininya bahwa setiap ada upacara di pura itu istrinya pasti tidak bisa secara sosial dan fisik karena secara kodrati perempuan mengalami menstruasi. Mereka yang mengalami menstruasi secara kultural dan pragmatis tidak diperbolehkan melakukan persembahyangan.

6. SIMPULAN

Dari analisis data di atas dapat disimpulkan dua hal yang sesuai dengan permasalahan penelitian, yaitu:

1. Berdasarkan jenis komunikasinya, bahasa seksis yang ditemukan dan digunakan dalam buku humor (komedi) adalah komunikasi monologis dan dialogis.

2. Bahasa seksis yang digunakan dalam humor antara jenis kelamin dengan jenis kelamin tertentu dimaksudkan untuk menjadikan perempuan sebagai objek atau merendahkan, menyepelekan, dan mengesampingkan perempuan yang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara tidak langsung dengan pengandaian, dan secara langsung antara jenis kelamin tertentu, seperti antara perempuan dengan perempuan, antara laki-laki dengan laki-laki adalah dan antara laki-laki dengan perempuan. Sebaliknya, secara implisit perempuan pun bisa berperilaku seksis di depan kaumnya sendiri dan terhadap laki-laki sehingga laki-laki tersebut diabaikan, dilecehkan, dan disepelekannya.

DAFTAR PUSTAKA

Anggara, Dwi A. 2001. “Bahasa Perempuan”. Makalah yang Disajikan dalam Kongres Linguistik Nasional X. Kerja sama antara Masyarakat Linguistik Indonesia, Pusat Bahasa dan Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Ayim, M. N. 1997. The Moral Parameters of Good Talk: A Feminist Analysis. Waterloo, Ontorio, Canada: Wilfrid Laurier University Press

Chamber, J. K. dan P. Trudgill. 1980.

Dialectology. Cambridge: Cambridge University Press

Collins, H. 1997. Cobuild English Dictionary. Birmingham: Harper Collins.

Dhanawaty, Ni Made. 2002. “Teori Akomodasi dalam Penelitian Dialektologi”. Makalah yang Disajikan dalam Kongres Linguistik Nasional X. Kerja sama antara Masyarakat Linguistik Indonesia, Pusat bahasa, dan Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Graddol, D. dan Swam, J. 1989. Gender Voice. Oxford: Basil Blackwell.

Jendra, I Wayan. 1991. Dasar-Dasar Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana

Lakoff, Robin. 1975. Language and Woman’s Palace. New York: Harper & Row.

Nababan, M. 2004. “Paham dan Perilaku Seksis dalam Berbahasa”. Makalah yang Disajikan dalam Kongres Linguistik Tahunan Atma jaya: Tingkat Internasional. Diselenggarakan oleh Pusat kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya.

Purwo, Kaswanti B. (Penyunting) 1992. Budaya dan Bahasa. Jakarta: Kanisius.

(10)

❏ I Made Netra Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Soedjatmiko, Wuri. 1992. “Aspek Linguistik dan Sosiokultural di dalam Humor”. Makalah yang Disajikan dalam Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya ke-5. Diselenggarakan oleh Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.

Suroso. 2004. “Jender dalam bahasa Pria dan Wanita”. Makalah yang Disajikan dalam

Kongres Linguistik Tahunan Atma Jaya: Tingkat Internasional, Diselenggarakan oleh Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya.

Wilson, Christopher P. 1979. Jokes: Form, Content, Use and Functions. New York: Academic Press.

(11)

❏ Fajri Usman Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan) Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

BENTUK LINGUAL

TAWA

PENGOBATAN TRADISIONAL

MINANGKABAU (ANALISIS LINGUISTIK KEBUDAYAAN)

Fajri Usman

Universitas Andalas

Abstract

”Tawa in Minangkabaunese traditional medicines is a cultural heritage. It is in the form of free poems, rithmic prose, and potentially has tribal magic or pray which uses Minangkabaunese language or the combination of Minangkabaunese language and Arabic which is based on believe and mistical behavior. The analysis is focused on its lingual forms in the semantic level. The spoken data are gathered by non-face to face interview and are analysis by equal and distributional method. The results of the analysis show that the lingual forms of Minangkabauneses “tawa” included semantic features, i.e. synonymy, antonymy, homonymy, polysemy, and collocations.

Key words: “tawa”, traditional medicine, Minangkabauneses and cultural linguistics

1. LATAR BELAKANG

Tawa merupakan wacana budaya Minangkabau yang berbentuk puisi bebas dan prosa liris yang berpotensi memiliki kekuatan gaib, atau doa kesukuan, yang memanfaatkan bahasa lokal dengan didasari oleh keyakinan yang telah diwariskan oleh para leluhur. Agar kekuatan gaibnya bermanfaat, tawa tidak cukup dihafal, tetapi harus disertai dengan laku mistik. Tawa

dapat mengandung tantangan atau kutukan terhadap suatu kekuatan gaib dan dapat pula berisi bujukan agar kekuatan gaib tersebut tidak berbuat yang merugikan.

Kekhasan dan keunikan tawa pengobatan tradisional Minangkabau (TPTM) untuk diteliti adalah karena produk tradisi ini memiliki unsur tabu untuk dibicarakan sehingga cenderung terlupakan. TPTM juga merupakan doa sakral yang mengandung magis dan berkekuatan gaib. Sebagai wacana tabu pada TPTM, tawa terbukti dalam pemerolehan data tidak hanya membutuhkan waktu yang cukup, tetapi juga membutuhkan kesiapan psikologis. Tabu dalam penelitian ini mengikuti konsep Winick (1958:522 dalam Laksana 2003), yaitu “larangan” (yang jika dilanggar mendatangkan hukuman akibat pengaruh magis atau hal-hal yang berhubungan dengan religi).

Bentuk yang ditabukan pada TPTM adalah TPTM dilarang untuk diturunkan pada anak-anak dan remaja yang berumur di bawah 17 tahun. TPTM juga didapatkan (berguru) dari seorang dukun pada malam hari (pukul 24.00). Praktik perdukunan oleh seorang murid boleh dilakukan apabila mendapat izin dari sang guru

atau apabila sang guru sudah meninggal. Tawa

yang dibaca secara terang-terangan di tengah khalayak akan hilang kemanjuran dan kemagisannya. Bentuk atau struktur lingual TPTM secara semantis berbeda dengan bentuk atau struktur lingual bahasa Minangkabau formal ataupun bahasa Minangkabau sehari-hari. TPPM memadukan bahasa Arab dan bahasa Minangkabau dalam membentuk kesatuan makna.

Penelitian tawa sebagai kekuatan tradisi masa lampau di Minangkabau terdahulu lebih terfokus pada teksnya tanpa banyak melibatkan konteksnya. Penelitian itu dilakukan oleh Medan (1964), Bakar (1981), Junus (1983). Penelitian

tawa dalam kajian linguistik kebudayaan sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan. Kenyataan ini menjadikan objek penelitian tersebut sebagai hal yang baru dan perlu dikaji. Kajian ini memang cukup rumit, terutama dalam pemerolehan datanya. Namun, jika hal itu tidak dilakukan, TPTM sebagai kekayaan budaya lokal akan tenggelam dimakan zaman. Oleh karena itu, kajian ini perlu dilakukan dan diharapkan dapat mengungkapkan aspek-aspek bahasa dalam teks TPTM, terutama yang berkaitan dengan bentuk lingual pada tataran semantis.

2. PEMBAHASAN

2.1. Ciri Semantis TPTM

(12)

❏ Fajri Usman Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan) Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

yang tersedia dalam data. Kata ‘meninggal’, misalnya, mempunyai kata lain: mati, tewas,

gugur, terbunuh, wafat, mangkat,

berpulang/kembali ke rahmatullah,

almarhum/almarhumah. Di antara beberapa kata yang tersedia dapat dipilih penggunaannya sesuai dengan pemaknaan seseorang terhadap faktor sosial budaya suatu daerah (sesuai dengan realitas). Keraf (1981:19) mengatakan bahwa pemilihan kata merupakan kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa.

Bentuk lingual TPTM difokuskan pada kohesi leksikal, yakni (1) sinonimi, (2) antonimi, (3) hiponimi, (4) homonimi, (5) polisemi, dan (6) kolokasi.

2.1.1. Sinonimi

Analisis makna sinonimi dalam TPTM dilakukan selain untuk melihat kesamaan dan perbedaan suatu kata juga untuk melihat kata asli dan kata serapan, dan potensi sinonimi dalam pembentukan bentukan baru. Sinonim yang muncul antara kata asli dan serapan, antara kata berdasarkan kolokasi, dan antara dialek dan bahasa umum tidak perlu dibedakan atau dibatasi karena kemunculannya sebagian terjadi secara alami dan sebagian disengaja. Akan tetapi, sinonimi antara kata-kata intrabahasa dan sinonimi antara kata-kata bentukan baru (neologisme) perlu dibedakan berdasarkan pemakaiannya dan sikap serta pendirian pemakainya. Ada beberapa perbedaan makna yang dapat diidentifikasi antara kata-kata yang bersinonimi (Parera 2002:68-69). Berikut ini contoh analisis sinonimi yang terdapat pada TPTM.

2.1.1.1 Sinonimi kata asli dan kata serapan Kontak bahasa dapat terjadi antarbahasa serumpun dan antarbahasa tidak serumpun. Kontak itu menimbulkan serapan kata yang bermakna. Salah satu ciri serapan ialah serapan kata yang bermakna sama dengan kata bahasa penyerap. Bahasa Indonesia mengalami proses serapan dengan ciri sinonimi, seperti kata serapan

temperatur bersinonimi dengan suhu. Dalam TPTM kata insan diserap dari bahasa Arab yang bersinonim dengan manusia, roh seperti contoh berikut.

Data (5): Moambiak Insen (Mengambil Insan) Bismillahirrahmanirrohim

(1) Insan sa’ir

insan sya’ir

‘Insan sya’ir’

(2) Insan takbir

insan takbir

‘Insan takbir’ (3) Insan alam sari’at

insan alam syari’at ‘Insan alam syari’at’

(4) Masuaklah engkau ko dalam insan Olloh ‘Masuklah engkau ke dalam insan Allah’ (Data

PSM)

2.1.2. Antonimi

Ada beberapa macam pertentangan makna antonimi yang dapat diidentifikasi antara kata-kata yang berantonimi (Parera 2002:74-75), seperti uraian berikut.

2.1.2.1. Pertentangan kenasabahan

Antonim tipe kenasabahan adalah pertentangan yang menunjukkan hubungan kekeluargaan, ketugasan, atau keorganisasian: suami-istri; orang tua-anak; kakak-adik; pria-wanita; majikan-buruh; pimpinan-pengikut; ketua-anggota; guru-murid; dan komandan-prajurit. Berikut ini contoh antonimi kenasabahan yang terdapat pada TPTM.

Data (1): Tawa Penurut ( Sijundai) (1—11) Malu aku malu angkau

‘malu PRO1TG malu PRO2TG

‘Malu aku malu engkau’ (1—12) Malu angkau malu aku

‘malu PRO2TG malu PRO1TG

‘Malu engkau malu aku’

PRO1TG (aku) dan PRO2TG (engkau) pada data (1:11—12) merupakan antonimi yang bersifat hubungan ketugasan yang terjadi antara dukun dan makhluk gaib. Antara dukun dan makhluk gaib dalam konteks ini berlaku aturan seperti majikan dan buruh, pimpinan dan bawahan, ketua dan anggota, guru dan murid, dan komandan dan prajurit. Pertentangan makna antonimi kenasabahan berfungsi untuk terjalinnya suatu kerja sama antara yang memerintah dan yang diperintah dalam proses penyampaian suatu maksud. Antonimi yang terjadi pada data (1:11— 12) merupakan antonimi yang sifatnya berbeda dalam rentang yang menunjukkan bahwa satu unsur leksikal memiliki sejumlah kata sebagai lawannya. Sebagai contoh, pada TPTM, lawan dari

aku tidak selamanya engkau, beberapa kemungkinan dapat menjadi lawan kata itu seperti

kamu, anda (si anu), diaku, kau, -mu (Saragih 2002:150). Sebagai contoh bahwa aku tidak selamanya mempunyai lawan engkau, perhatikan data berikut ini.

(13)

❏ Fajri Usman Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan) Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Bismillahirrahmanirrahim

(14—4) Aku monorawi Si anu

PRO1TG AKTtawarSuf ART orang itu

‘Aku mengobati orang itu’

(Data, 15): Tawa Patah Tulang/Tokiliar (tawa patah/ salah urat)

Bismillahirrahmanirrahim (15—1) Kususun siriah kususun

kususun sirih kususun

Data (14 dan 15) menunjukkan bahwa dalam tawa Minangkabau antonimi yang bersifat rentang, yakni kata aku (ku) juga berantonim dengan kata si anu (kamu). Bentuk lain antonim yang bersifat rentang itu juga terdapat pada kata

tawar yang berantonim dengan kata bisa, racun,

atau penyakit.

2.1.2.2. Pertentangan berbalasan

Antonim tipe berbalasan juga disebut antonimi tipe komplementer. Pertentangan makna ini menurut balasan atau balikan sebagai pelengkap makna jika dikehendaki sesuai dengan konteks: tanya-jawab; stimulus-respons; menyerang-menahan; memberi-menerima; membeli-menjual; tambah-kurang, lebih-kurang; dan positif-negatif. Antonimi ini sangat dominan terjadi dalam tawa Minangkabau karena penyakit sesuatu yang berlawanan dengan pengobatan.

Data (10): Tawa Sakit Perut

(10—14) Lah masuak sakalian tawa ART masuk sekalian tawar

‘Sudah masuk sekalian tawa’

(10—15) Lah kalua sakalian biso ART keluar sekalian bisa ‘Sudah keluar sekalian bisa’

Data (37): Tawa Sakik Paruik (37—13) Masuak sakalian tawa

‘Masuk semua obat’

(37—14) Kalua sakalian panyakik keluar semua Pref sakit

‘keluar semua penyakit’ (Data SLK)

Bentuk antonimi yang bersifat berbalasan terdapat pada kata tawar yang berantonimi dengan kata bisa/racun, atau penyakit. Kata tawa ‘tawar’ pada TPTM selalu didahului oleh verba masuk dan PRO2 NT. Sebaliknya, bisa (racun) didahului oleh verba keluar dan juga diikuti PRO2NT. Pertentangan kata itu menggambarkan proses

pengobatan dari seorang dukun terhadap penyakit yang diderita oleh pasien.

2.1.2.3. Pertentangan tempat

Antonimi tipe pertentangan tempat ini menunjukkan arah yang bertentangan atau letaknya berhadapan: utara-selatan; atas-bawah; muka-belakang; luar-dalam; kiri-kanan. Tipe antonim tempat ini dapat dimasukkan ke dalam partikel tempat: ke- dari; ke mana-dari mana. Berikut ini contoh analisis antonimi berdasarkan pertentangan tempat yang terdapat pada TPTM.

Data (9): Didiang Baden ( Pertahanan Diri) Bismillahirrahmanirrohim

(9—1) Kiromen di kiri ku Kiraman Prep kiri PRO1TG ‘Kiraman di kiriku’

(9—2) Kotibin di kanen ku Katibin Prep kanan PRO1TG ‘Katibin di kananku’

Data (29): Tawa Hantu Jaek Bismillahirrahmanirrohim

(29—13) Ka ateh indak ba pucuak Prep atas NEG Pref pucuk ‘Ke atas tidak berpucuk’ (29—14) Ka bawah indak ba urek

Prep bawah NEG Pref urat ‘Ke bawah tidak berurat’

Data (9:1—2 dan 29:13—14) merupakan bentuk antonimi yang menunjukkan arah yang bertentangan atau letaknya berhadapan. Pertentangan dalam tawa Minangkabu ini berfungsi untuk membuat sesuatu seimbang baik yang menunjukkan hal positif maupun hal negatif. Pada data (9) pertentangan antara kiri dan kanan menunjukkan penjagaan dari makhluk gaib (Malaikat) yang berfungsi sebagai pembenteng manusia dari hal yang baik dan yang tidak baik. Pertentangan pada data (29) merupakan pertentangan tempat antara atas dan bawah berupa sumpah (ancaman) terhadap makhluk gaib (jin) yang menjadikan manusia sakit. Jadi, pertentangan pada data (9 dan 29) memiliki dua fungsi, yakni untuk keseimbangan dan untuk keamanan pada manusia.

2.1.2.4. Pertentangan jenjang

(14)

Minggu-Senin-Selasa-Rabu-❏ Fajri Usman Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan) Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Kamis-Jumat, dan Sabtu. Berikut ini analisis antonimi berjenjang yang terdapat pada TPTM.

Data (29): Tawa Hantu Jaek

(29—12) Sa banyak titiak, sa banyak barih nyo Pref banyak titik Pref banyak baris POSS3TG

‘Sebanyak titik sebanyak barisnya’

(Data, 63): Tawa Penangkal Supaya Anak Tidak Terkejut

Bismillahirrahmanirrohim

َنﻮُﻌِﺟْﺮَﻳ َﻻ ْﻢُﻬَﻓ ُُﻰْﻤُﻋ ٌﻢْﻜُﺑ ﱡﻢُﺻ }

18 {

Shummum bukmum ‘umyumfahum laayarji’uun

Mereka tuli, bisu, dan buta, maka

tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar), (QS. 2:18)

Antonimi berjenjang pada TPTM berbentuk klimaks (urutan yang bawah ke yang tinggi). Pada data (29) kata titak ‘titik’ dan barih

‘baris’ bertentangan secara berjenjang. Pertentangan jenjang tersebut berhubungan dengan sistem penulisan/bacaan yang berlaku dalam bahasa Arab (Al-qur’an). Dasar untuk membaca huruf atau menentukan huruf dalam bahasa Arab ditentukan oleh titiknya, sedangkan untuk menentukan makna kosakatanya ditentukan oleh barisnya. Data (63), yakni kata tuli, bisu, dan buta

juga merupakan antonimi jenjangan yang terjadi pada tingkatan penyakit yang diderita oleh seseorang. Tuli merupakan penyakit yang diderita oleh seseorang karena rusak pendengarannya (pekak). Bisu tidak dapat mendengar dan sekaligus tidak dapat menghasilkan pembicaraan yang dapat dimengerti; bisu tuli tidak mampu memahami makna kata yang didengar. Orang yang tuli dari kecil akan berakibat bisu karena dia tidak pernah mendengar.

2.1.2.5. Pertentangan khas

Antonimi khas adalah antonimi yang muncul secara morfologis dan mempunyai makna yang berbeda walaupun bentuk dasarnya sama. Dalam bahasa Indonesia beberapa kata yang bertentangan secara khas berada dalam satu paradigma morfologis tertentu. Bandingkan pertentangan khas di bawah ini.

• menyewa – menyewakan

• meminjam – meminjamkan; menguliti kambing –

menguliti buku

• menyusu – menyusukan; membului ayam –

membului anak panah

• mewarisi – mewariskan; menyisiki ikan –

menyisiki layang-layang

Antonim dalam contoh di atas disebut khas kerena antonim itu muncul secara morfologis walaupun bentuk dasarnya sama. Kata menyewa

berarti mendapat sewa, sedangkan menyewakan

berarti memberi sewa. Dalam hal ini, kata

mendapat dan memberi berantonim. Demikian juga, kata menyusui, mewarisi berarti mendapat, sedangkan bentuk menyusukan, mewariskan

berarti memberi.

Antonim bentuk menguliti, membului

muncul berdasarkan konteks dan kata yang menjadi objeknya. Frasa menguliti kambing berarti

membuang kulit kambing, sedangkan frasa

menguliti buku berarti memberi kulit pada buku. Frasa membului ayam, menyisikan ikan berarti

membuang berantonim dengan frasa membului anak panah, menyisiki layang-layang dengan makna memberi.

Data (17): Tawa Monggiloke Lukah (Menggilakan Lukah) (17—32) Yo kok murah dipomurah

ya KONJ mudah dipermudah

‘Kalau bisa mudah dipermudah’

Kata murah ‘mudah’ pada data (17—32) berarti mendapat kemudahan (tidak sulit), sedangkan kata dipomurah ‘dipermudah’ berarti menjadikan mudah (memberikan kemudahan). Jadi, kata mendapat kemudahan berantonim dengan memberi kemudahan. Kata murah dalam bahasa Minangkabau diucapkan sama, ejaan sama tetapi artinya berbeda, yakni bisa berarti harga dan bisa berarti mudah. Sementara itu, tipe kalimat pada data (17—32) merupakan kalimat imperatif dalam bentuk permintaan. Dalam konteks ini, permintaan tersebut dilakukan oleh seseorang (dukun) pada makhluk gaib untuk memberikan kemudahan terhadap pasien.

2.1.3. Hiponimi

Hiponimi adalah relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna generik, seperti makna anggrek dalam makna bunga (anggrek, melati, kamboja, dan

mawar berhiponim dengan bunga), dan makna

kucing dalam makna binatang (kucing, anjing,

kambing, dan kuda berhiponimi dengan binatang

(15)

❏ Fajri Usman Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan) Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Data (1): Tawa Penurut ( Sijundai) Bismillahirrahmanirrahim

Data ( 2 ): Tawa Gangguan Makhluk Gaib Bismillahirrahmanirrahim

(2—1) Si Ugam namo bapak mu ART Ugam nama bapak POSS2TG ‘Si Ugam nama bapakmu’

(2—2) Puti Nurgaini namo ibu mu Putri Nurgaini nama ibu POSS2TG ‘Putri Nurgaini nama ibumu’

Data (3): Tawa Tuju Ruyung Bismillahirrahmanirrahim

(3-1) Hong… Si Bobun Tungga hong … ART Babun Tunggal ‘Hong… Si Babun Tunggal’

Data (1:1, 4, 5), (2:1, 2), dan (3:1) merupakan hiponimi, relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna generik. Ketiga data di atas merupakan hiponimi yang menunjukkan hubungan anggota-kelompok. Dengan kata lain, hiponimi tersebut merupakan rincian atau anggota dari suatu kelompok. Jin Tungga, Layak Angin, Mambang Dubalang, Ugam, Puti Nurgaini, dan Babun Tungga

merupakan makna yang menunjukkan nama-nama makhluk gaib pada TPTM yang menunjukkan hubungan anggota kelompaok.

Data ( 5 ): Moambiak Insen (Mengambil Insan)

‘Insan alam syari’at’

Data (5:1—3) juga merupakan hiponimi yang menunjukkan relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna generik. Data (5:1—3) di atas merupakan hiponimi yang menunjukkan hubungan anggota-kelompok (insan). Dengan kata lain, hiponimi tersebut merupakan rincian atau anggota dari suatu kelompok. Sya’ir, takbir, dan syari’at merupakan makna yang menunjukkan nama-nama insan pada

TPTM yang menunjukkan hubungan anggota kelompok.

2.1.4. Homonimi

Homonimi ialah dua ujaran dalam bentuk kata yang sama lafalnya dan atau sama ejaannya/tulisannya. Bentuk homonimi dapat dibedakan berdasarkan lafal dan tulisannya. Dua ujaran dalam bentuk kata yang sama lafalnya, tetapi berlainan tulisannya disebut homofon. Misalnya, bank dan bang, sanksi dan sangsi. Selain itu, dua ujaran dalam bentuk kata yang sama ejaannya, tetapi berlainan lafalnya disebut homograf. Misalnya, teras dan teras, bela dan bela

dalam bahasa Indonesia (Parera 2002:81). Darmojuwono, sebagaimana dikutip Kushartanti,dkk (2005:116), mengatakan bahwa homonimi adalah relasi makna antarkata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda. Kata-kata yang ditulis sama, tetapi maknanya berbeda disebut homograf, misalnya

tahu (makanan) dan tahu (paham), sedangkan yang dilafalkan sama tetapi berbeda maknanya disebut homofon, misalnya masa (waktu) dan massa

(jumlah besar yang menjadi satu kesatuan).

Verhaar berpendapat bahwa analisis homonimi adalah analisis linguistik sehingga kriteria linguistik yang dipergunakan untuk menganalisis homonimi. Pertama, secara linguistis homonimi ialah ujaran, baik kata, frasa, klausa, maupun kalimat yang sama bentuknya dengan ujaran yang lain, tetapi mempunyai perbedaan makna. Kedua, ciri untuk menguji perbedaan makna itu ialah ciri suprasegmental, morfofonemik, ciri unsur bawahan langsung, dan ciri hubungan struktur dalam dan struktur luar. Ketiga, homonimi ini dapat terjadi pada satuan kata, frasa, klausa, dan kalimat. Berikut ini analisis homonimi dalam TPTM antara kata, antarfrasa.

2.1.4.1. Homonimi antara kata

Homonimi dalam bahasa Indonesia memiliki dua bentuk, yakni homonimi antarkata bermorfem tunggal dan homonimi bermorfem jamak. Misalnya, kata mengukur1 dan ‘mengukur2’. Kata mengukur1 diturunkan dari bentuk dasar

kukur dan mengukur2 diturunkan dari bentuk dasar

ukur. Contoh lain kata mengurus (dari kurus) dan mengurus (dari urus), kata mengurung (dari

kurung) dan mengurung (dari urung).

Data (3): Tawa Tuju Ruyung

Bismillahirrahmanirrahim

(3—8) Engkau monangguang akibaik nyo PRO2TG Pref tanggung akibat PRO3TG ‘Engkau menanggung bahayanya’ (3—9) So banyak buiah di laut en

(16)

❏ Fajri Usman Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan) Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

(3—10) So banyak kesiak di lauik Pref banyak pasir Prep laut ‘Sebanyak pasir di laut’

(3—11) So banyak bintang di langik Perf banyak bintang Prep langit ‘Sebanyak bintang di langit’

(3—12) Kalau engkau sampai ke

kalau PRO2TG sampai Suf ‘Jika engkau sampaikan’

(3—13) Si anu monangguang akibaik bahayo nyo orang itu Pref tanggung akibat bahaya PRO3TG

‘Orang itu menanggung bahayanya’ (Data PSM)

Kata monangguang ‘menanggung’ dalam bahasa Minangkabau berasal dari bentuk dasar

tangguang ‘tanggung’ yang berarti ‘resiko sendiri’ dan ‘serba tanggung’; ‘belum sempurna’; ‘belum selesai’. Dalam pemakaian sehari-hari kata

tanggung bahasa Minangkabau memiliki makna lebih dari satu. Pada data di atas kata tangguang

merupakan kata yang ditulis sama dan dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda. Pada konteks tawa

di atas kata monangguang berarti ‘resiko sendiri’ yang akan dialami oleh seseorang yang menjadi sasaran.

2.1.4.2 Homonimi antarfrasa

Homonimi antarfrasa secara struktural dapat dijelaskan dengan teknik unsur bawahan langsung (surlang). Homonimi antarfrasa dalam bahasa Indonesia seperti frasa guru bahasa Inggris

(diprafrasakan dengan guru mengenai atau tentang bahasa Inggris) dan guru bahasa Inggris

(diparafrasakan guru bahasa orang Inggris);

lukisan Toni (diparafrasakan lukisan milik Toni; lukisan karya Toni; lukisan tentang/mengenai Toni; dan lukisan untuk Toni). Berikut contoh analisis homonimi antarfrasa dalam TPTM.

Data (1): Tawa Penurut (Sijundai) Bismillahirrahmanirrahim ‘Malu engkau malu aku’ (1—13) Japuik an juo malu aku

‘Jemput Suf juga malu PRO1TG

‘Jemputkan juga malu aku’

Data (1:11—13) di atas merupakan homonimi antarfrasa dalam TPTM. Frasa malu aku malu angkau atau sebaliknya’ dapat diparafrasakan menjadi: malu seseorang yang dihina juga malu yang ditanggung makhluk halus (setan/setan) yang menjadi pesuruh oleh seorang dukun, dan malu dukun juga malu makhluk gaib,

atau malu makhluk gaib juga malu seseorang atau malu dukun. Sementara itu, frasa Japuikan juo malu aku dapat diparafrasekan menjadi: Japuikan juo hai makhluk halus malu aku, dan japuikan

(kabulkan) juo hai dukun malu aku atau aku malu japuikan juo malu aku.

Data (7): Potunduak (petunduk) Bismillahirrahmanirrohim

(7—1) Hawa musti Hawa

hawa mesti hawa ‘Hawa mesti Hawa’ (7—2) Ujud mo ujuik

ujud Pref wujud ‘Ujud mewujud’

Frasa hawa musti hawa dan frasa ujud mo ujuik pada data (7:1-2) dapat diprafrasekan menjadi: Hawa tetap sebagai hawa, hawa adalah hawa. Frasa ujud mowujud dapat diprafrasekan menjadi: Engkau ujud mewujud, ujud mewujudlah engkau. Prafrase yang terjadi dalam TPTM seperti pada data (7: 2) merupakan prafrase yang subjeknya dielipsiskan. Apabila dicermati dari beberapa data TPTM, kebanyakan subjeknya dielipsiskan.

Data (41): Tawa Perkasih menyatukan orang Berpisah

Bismillahirrahmanirrohim (41—1) Syahidan-syahidantun (41—2) Kato tamaik ka duo tamaik insan orang itu

‘Ketiga aku menamatkan jiwa orang itu’

(41—4) Cando ba satu nyo Adam jo Hawa

seperti Pref satu POS3TG Adam KONJ Hawa

‘Seperti bersatunya Adam dan Hawa’

Frasa kato tamaik kaduo tamaik dapat diprafrasekan menjadi kato pertamo tamaik, kato kaduo tamaik, dan kato tamaik, kato kaduo juo tamaik atau kato pertamo tamaik, kato kaduo juo tamaik. Adapun maksud kato pada teks tawa

(17)

❏ Fajri Usman Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan) Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

basatunyo adam jo Hawa dapat diprafrasekan menjadi Cando basatunyo insan Adam jo Hawa.

2.1.5 Polisemi

Polisemi ialah gejala keanekaan makna yang dimiliki oleh bentuk (istilah) yang disebabkan oleh pergeseran makna atau tafsiran

yang berbeda. Misalnya, kepala

jawatan/orang/sarung/regu. Polisemi berkaitan dengan kata atau frasa yang memiliki beberapa makna yang berhubungan. Di dalam penyusunan kamus, antara homonimi dan polisemi terdapat perbedaan. Kata-kata yang berhomonimi muncul sebagai entri yang terpisah, sedangkan kata yang berpolisemi muncul sebagai satu entri namun dengan beberapa penjelasan (Darmojuwono sebagaimana dikutip oleh Kushartanti dkk (2005:117). Berikut ini analisis polisemi yang terdapat dalam TPTM.

Data (12): Tawa biso Binatang Bismillahirrahmanirrahim

(12—3) Manggigik Si Buyuang Itam AKTgigit ART Buyung hitam ‘Menggigit hewan yang berbisa’ (12—4) Biso nyo alah den turun i

Bisa POS3TG sudah PRO1TG turun Suf ‘Racunnya sudah saya turunkan’

Frasa buyuang itam pada data (12:3) merupakan kata yang berpolisemi dengan semua binatang yang berbisa, seperti tawon, lebah, ular,

kala jengking, kelabang, dan binatang berbisa lain. Frasa buyung itam dalam TPTM juga merupakan pengganti nama binatang berbisa dalam proses pengobatan, namun pada konteks pengobatan seorang dukun akan mengubah kata tersebut sesuai dengan nama binatang yang menggigit pasien yang sedang diobati. Jadi, frasa buyung itam bisa berarti

tawon, lebah, ular, kala jengking, kelabang, dan binatang berbisa lainnya.

Data (21): Tawa Sakalian Biso Bismillahirrahmanirrahim

(21—5) Malin Karimun nan punyo tawa Malin Karimun KONJ punya tawar ‘Malin Karimun yang punya tawar’ (21—6) Siti Sidang Baurai nan punyo biso

Siti Sidang Berurai KONJ punya bisa ‘Siti Sidang Berurai yang punya bisa’ (21—7) Aku lah Malin Karimun

PRO1TG- PAR Malin Karimun ‘Sayalah Malin Karimun’ (21—8) Hu… Allah.

‘Dia Allah’

Malin Karimun pada (21:5 dan 7) secara historis dalam peristiwa bisa (racun) berpolisemi dengan pemilik tawa, tawar, penangkal, asal usul

tawar, dan dukun itu sendiri. Hal yang sama juga terdapat pada data (21:6), yakni nama Siti Sidang Berurai berpolisemi dengan asal usul bisa (racun), bisa itu sendiri, penyakit, dan virus (kuman).

2.1.6 Kolokasi

Kolokasi merupakan hubungan probabilitas dalam pemunculan antara dua kata atau lebih. Berbeda dengan hubungan arti dalam sinonimi, antonimi, hiponimi, dan meronimi, kolokasi menunjukkan pemunculan satu kata dengan kata lain. Dengan pengertian ini, jika satu kata muncul dalam satu klausa lain sangat besar kemungkinannya untuk muncul pada klausa kedua atau berikutnya.

Kridalaksana, sebagaimana dikutip oleh Kushartanti dkk (2005:141, mengatakan bahwa kolokasi adalah asosiasi dan pendampingan secara tetap suatu leksem. Adakalanya kolokasi itu dilanggar dengan sengaja untuk memberikan efek tertentu, misalnya dalam karya sastra atau humor. Kadang-kadang diciptakan idiom baru dengan kolokasi baru, juga untuk memberi efek tertentu. Berikut contoh kolokasi dalam TPTM.

Data (1): Tawa Penurut ( Sijundai) Bismillahirrahmanirrahim

(1—6) Nan ba jalan sanjo rayo KONJ Pref jalan senja raya’ ‘Yang berjalan menjelang malam’ (1—7) Nan mar antak tangah malam

KONJ Pref hentak tengah malam’

‘Yang berjalan dengan hentakan kaki di tengah malam’

(1—17) Turuik an jalan ka tapi an ‘turut Suf jalan Prep tepi Suf ‘Turutkan jalan ke tempat mandinya’ (1—18) Turuik an jalan ma runuik

turut Suf jalan Pref runut

‘Turutkan jalan yang ditelusuri’

(1—20) Turuikan jalan ka rumah nyo turut Suf jalan Prep rumah Suf ‘Turutkan jalan ke rumahnya’ (1—21) Tingkek molah janjang nyo

naik marilah jenjang Suf (1—23) Mar antak ka ruang tangah

Pref hentak Prep ruang tengah ‘Merentak ke ruang tengah’ (1—24) Man daga ka biliak dalam

Pref dengar Prep bilik dalam’ ‘Berbunyi ke kamar dalam’

Data (1:6, 7, 17, 18, 20, 21, 22) merupakan bentuk kolokasi. Kata bajalan

‘berjalan’, marantak ‘merentak’, mandaga

‘mendegar’ merupakan asosiasi tetap antara kata

(18)

❏ Fajri Usman Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan) Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

marantak ‘berjalan dengan hentakan kaki’, bajalan mandaga ‘berjalan dengan hentakan kaki yang keras, dan marantak mandaga ‘hentakan kaki yang keras bunyinya’. Pada data (1:17—18) kata jalan

‘tempat lalu’ berkolokasi dengan kata marunuik

‘menelusuri/menuruti jejak’. Kedua kata ini berkolokasi secara tetap antara kata jalan dan

marunut sehingga dapat membentuk kata baru, yakni marunuik jalan ‘merunut jalan’, ‘menelusuri tempat lalu’. Pada data (1:20—22) kolokasi dalam pola hubungan yang sangat erat, satu kata langsung berpadanan dengan yang lain dengan membentuk satu kesatuan, seperti antara janjang dan rumah

menjadi ‘jenjang rumah’, bandua dan rumah

menjadi bandua rumah ‘bendul rumah’.

Data (3): Tawa Tuju Ruyung

(3—2) Bo dontuang samo jo potuih Pref dentum sama KONJ petir ‘Berdentum sama dengan petir’ (3—3) Bo sikanjar samo jo kilek

Pref lantun sama KONJ kilat ‘Menyambar sama dengan kilat’

Kolokasi dalam pola hubungan yang sangat erat juga terdapat pada data (3:2—3). Kata

bodontuang ‘berdentum’ merupakan satu kata langsung berpadanan dengan kata potuih ‘petir’ dengan membentuk satu kesatuan, yakni antara

bodontuang dan potuih menjadi bodontuang potuih ‘petir berdentum’. Kata bosikanjar ‘ menyambar’ berpadanan dengan kata kilek ‘kilat’ yang membentuk satu kesatuan antara bosikanjar

dan kilek menjadi ‘bosikanjar kilek ‘ menyambar kilat’.

3. SIMPULAN

Tawa dalam pengobatan tradisional Minangkabau dapat dilihat dari tataran bentuk yang mencakup bentuk puisi dan prosa berirama. TPTM dimulai dengan pendahuluan yang ditandai dengan kalimat

bismillahirrahmanirrahim. Setelah kalimat pendahuluan tersebut tawa dilanjutkan dengan kalimat-kalimat isi yang merupakan informasi yang memuat proses atau peristiwa jalannya pengobatan. Penutup pada TPTM adalah kalimat yang menjadi penutup sebuah tawa. Kalimat penutup yang terdapat pada TPTM ada dua versi, yakni ditutup dengan kalimat Hu… Allah dan ditutup dengan berkat kalimah Lailahaillallah. Selanjutnya, aspek leksikal pada tataran semantis dalam TPTM ialah sinonimi, antonimi, homonimi, hiponimi, polisemi, dan kolokasi.

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, S.T. 1981. “Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”. Dalam

Prisma, 11:19—26.

Alisjahbana, S. T. 1982. Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Nilai-nilai. Jakarta: Dian Rakyat.

Alisjahbana, S. T. 1983. “Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Manusia dan Kebudayaan Modern.” Dalam A. Halim dan Y.B. Lumintaintang (ed). Kongres Bahasa Indonesia III. Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Alisjahbana, S. T. 1985. “Pembahasan Persepsi tentang Kebudayaan Nasional”. Dalam Bambang Kaswari Purwo (penyunting), PELBA 5: Bahasa-Bahasa. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.

Alwi, H., dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Aminuddin. 1985. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru.

Anwar, K. 1992. Semantik Bahasa Minangkabau. Padang: Yayasan Pengkajian Kebudayaan Minangkabau.

Assiddiqi, T.M.H. 2000. Al-Qur’an dan Terjemahannya Juz 1-30. (Edisi Baru) Surabaya: Mekar.

Bakar, J. 1981. Sastra Lisan Minangkabau I dan II. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Barker, C. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Terjemahan Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta.

Black, A.J dan D. J. Champion. 1999. Masalah Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama.

Casson, R.W. 1981. Language, Culture, and Cognition: Anthropological Perspectives. New York: Macmillan.

(19)

❏ Fajri Usman Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan) Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Djamaris, E. 2002. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Djajasudarma, T. F. 1993. Metode Linguistik:

Ancangan Metode dan Kajian. Bandung: Erasco.

Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.

Duranti, A. 2001. Linguistic Anthropology. Oxford: Blackwell.

Foley, W. A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell.

Foster, G. M dan B. G. Anderson. 1986.

Antropologi Kesehatan. Penerjemah Priyanti, P.S dan Meutia, F.H.S. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Frake, C.o. 1964. “The Diognosis of Disease among the Subanun of Mindanao”. Dalam Dell Hymes. Language in Cultural and Society: A Reader in Linguistics and Anthropology. New York: Harper & Row.

Frawley, W. 1992. Linguistics Semantics. New Jersey: Lauwrence Erlbaun.

Geertz, C. 2001. “Agama sebagai Sistem Kebudayaan”. Daniel, L. P (ed).

Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama. Yogyakarta: IRCISoD.

Halliday, M.A.K dan R. Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Penerjemah Asruddin Borori Tou. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Hasan, A. dkk. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.

Hoed, B.H. 1994. Linguistik, Semiotik dan Kebudayaan Kita. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap. Jakarta: Universitas Indonesia.

Hymes, D. 1964. Language in Cultural and Society. A Reader in Linguistics and Anthropology. New York: Harper International Edition.

Istiyani, C.P. 2004. Tubuh & Bahasa: Aspek-Aspek Linguistik Pengungkapan Pandangan Masyarakat Lewalema terhadap Kesehatan. Yogyakarta: Galang Press.

Junus, U. 1983. Dari Peristiwa ke Imajinasi.

Jakarta: Gramedia.

Keraf, G. 1981. Tata Bahasa Indonesia. Ende: Nusa Indah.

Keesing, R.M. 1981. Theories of Culture. Dalam Roland W. Casson (ed). Language, Culture, and Cognition: Anthtropolical Perspective. New York. Macmilan.

Koentjaraningrat, Budhisantoso, J. Danandjaya, P. Suparlan, E.K.M. Masinambow, A. Sofion. 2003. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Bahasa.

Laksana, D. I. Ketut. 2003. “Tabu dalam Bahasa Bali”. (disertasi). Jakarta: Universitas Indonesia.

Leech, G. 2003. Semantik. Penerjemah Paina Partana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Liliweri, A. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LkiS.

Masinambow, E.K.M. 1997. “Linguistik dan Antropologi Sebuah Prespektif Integratif”. Naskah untuk Kuliah Umum Peserta Pascasarjana Program linguistik dan antropologi, UGM, Yogyakarta. 15-17 September 1997.

Mulyono, A dan Soenjono Darjowidjoyo. 1992.

Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka.

Mbete, A.M. 1996. “Linguistik Kebudayaan: Rintisan Konsep dan Beberapa Aspek Kajiannya”. Denpasar: Universitas Udayana.

Mbete, A.M. 1997. “Pengembangan Linguistik Kebudayaan sebagai Realisasi Pola Ilmiah Pokok Kebudayaan Universitas Udayana”. Disampaikan dalam Ceramah Pramagister Program Studi magister (S2) Linguistik dan Kajian Budaya Universitas Udayana. Denpasar: Universitas Udayana.

Gambar

Tabel 1.  Tipe Proses dan Peran Partisipan dalam LFS
Tabel 2. Relasi variabel kontekstual dengan metafungsi
Tabel 4. Tipe Partisipan pada Teks “Lau
Tabel 6.  Tipe Sirkumstan pada Teks “Lau Kawar” dan “Putri Tikus”
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sumber data pada penelitian ini diperoleh dari catatan hasil observasi, hasil wawancara, dan dokumentasi.Teknik pengumpulan data (1) peneliti melihat pedoman telaah

analisis kuantitatif menggunakan metode HPLC untuk menganalisis sampel yang mengandung senyawa kafein seperti kopi, teh, formulasi farmasi dan minuman berenergi

Sebuah cerita mungkin mengandung lebih dari satu konflik kekuatan, tetapi hanya konflik utamalah yang dapat merangkum seluruh peristiwa yang terjadi dalam plot.. Konflik utama

Verba turunan dari bentuk dasar nomina sebagai verba utama adalah verba turunan yang berasal dari proses gabungan prefiks dan bentuk dasar nomina yang berperan

Hasil observasi aktivitas guru pada siklus 1 dan siklus II ketercapaian terlaksananya RPP kategori sangat baik dari 94% menjadi 96,25 % tetapi pada siklus I

Data tersebut dibagi menjadi tiga kelompo,k yaitu: (a) data yang mempunyai ketepatan penerjemahan tinggi, (b) data yang mempunyai ketepatan penerjemahan sedang, dan (c)

Selain itu, pada baris “tentang negara yang lucu” menunjukkan bahwa fakta yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia cenderung memiliki sisi negatif perihal pencapaian terhadap

Perbandingan konsep linguistik Saussure dan Al-Jurjāni Konsep Lingustik Saussure Al-Jurjāni Bahasa sebagai fenomena kolektif dan sebuah sistem, fakta sosial, aturan- aturan,