• Tidak ada hasil yang ditemukan

Folklor dan Hantu hantu Pemaknaan Orang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Folklor dan Hantu hantu Pemaknaan Orang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Pemaknaan Orang Minang terhadap Palasik, Bunian, dan Inyiak Harimau Oleh Febi Rizki Ramadhan, 1206204720

Pendahuluan

Kepercayaan rakyat ialah salah satu bentuk folklore sebagian lisan yang terdapat di tiap masyarakat. Kepercayaan rakyat sering juga disebut sebagai takhayul, meski akademisi cenderung memilih terminologi kepercayaan rakyat. Kepercayaan rakyat dapat dikategorikan sebagai folklore karena memenuhi kesembilan ciri folklore. Terdapat ragam macam kepercayaan rakyat, mulai dari kepercayaan rakyat mengenai lingkaran hidup manusia, kepercayaan rakyat terhadap alam gaib, kepercayaan rakyat mengenai terciptanya alam semesta dan dunia, serta kepercayaan rakyat yang tidak dapat dikategorikan ke dalam kategori-kategori yang telah saya jabarkan. Dalam makalah ini, saya akan berfokus pada kepercayaan rakyat pada alam gaib. Menurut Wyland D. Hand, kepercayaan rakyat pada alam gaib memuat kepercayaan rakyat terhadap para dewa, roh-roh, makhluk-makhluk gaib, kekuatan sakti, dan alam gaib. Menurut saya, kepercayaan rakyat menarik untuk diperbincangkan karena kepercayaan rakyat merupakan folklore yang dapat dengan amat jujur memproyeksikan keinginan dan gagasan terpendam masyarakat. Dalam makalah ini, saya akan membahas mengenai kepercayaan rakyat Minangkabau terhadap makhluk halus.

Minangkabau, yang selanjutnya akan saya sebut sebagai Minang, merupakan sebuah kelompok etnik yang mendiami wilayah Sumatra. Secara geografis dan administratif, orang Minang bertempat di wilayah Sumatra Barat dan sekitarnya. Minang sebagai suatu kesatuan etnik memiliki sejumlah nilai budaya yang khas yang menjadi identitasnya, antara lain nilai budaya terkait merantau dan religi. Mengenai religi, Minang memiliki keterkaitan yang amat erat dengan Islam. Islam sebagai suatu agama telah masuk ke dalam kebudayaan Minang, bahkan termanifestasi dalam filosofi dasar orang Minang, yakni adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah yang berarti adat bersendikan hukum dan hukum bersendikan kitabullah. Filosofi ini merupakan bukti nyata bahwa orang Minang memiliki hubungan yang erat dengan Islam, bahkan Islam telah menjadi dasar kebudayaan mereka. Setidaknya begitu pada tataran idealnya.

(2)

Dalam makalah ini, saya akan membahas tiga makhluk halus Minang, yakni bunian, palasik, dan inyiak harimau. Data mengenai ketiga makhluk halus tersebut saya dapatkan dari naskah-naskah folklore yang saya tulis berdasarkan hasil turun lapangan pada sejumlah orang Minang. Fokus penulisan saya dalam makalah ini ialah melihat bagaimana orang Minang memaknai kepercayaan mereka terhadap makhluk halus, yakni bunian, palasik, dan inyiak harimau dan bagaimana pengetahuan orang Minang termanifestasi dalam kepercayaan mereka terhadap ketiga makhluk tersebut.

Bunian, Sang Penculik Selepas Senja

Mengacu pada beberapa informan, bunian adalah makhluk halus yang berasal dari kepercayaan Minang. Bunian berbentuk layaknya manusia biasa yang berjeniskelamin perempuan. Ia memiliki organ tubuh lengkap seperti manusia. Bunian juga berpakaian lengkap seperti manusia biasa. Jadi, cukup sulit untuk mengidentifikasi bunian apabila ia berada di dunia manusia.

Bunian biasanya tinggal di daerah yang sepi dari manusia seperti perkampungan sepi, rumah yang tidak lagi ditinggali, atau pinggir hutan. Bunian biasanya datang ke pemukiman manusia pada saat senja turun. Bunian akan menculik orang yang masih berkeliaran di luar rumah saat senja turun, misalnya anak-anak yang masih bermain atau pemuda-pemudi yang masih bercumbu. Orang yang diculik oleh bunian akan dibawa ke alam bunian yang terletak di dimensi yang berbeda.

Meski dibawa ke alam bunian, bukan berarti orang yang diculik dibawa ke tempat tinggal bunian (perkampungan sepi, rumah kosong, atau pinggir hutan). Alam bunian merupakan alam yang berada di dimensi yang berbeda, berbentuk seperti hutan yang berisi pohon-pohon lebat dan rimbun. Di alam tersebut, terdapat rumah bunian. Orang yang diculik akan dibawa ke rumah tersebut dan mendapat jamuan dari bunian. Jamuan dari bunian umumnya berupa mie dan bubur yang ternyata ialah cacing dan makanan busuk. Terdapat beberapa varian folklore pada bagian ini, ada informan yang menyatakan bahwa orang yang diculik tidak tahu bahwa yang ia makan merupakan cacing dan makanan busuk. Di sisi lain, terdapat pula informan yang menyatakan bahwa orang yang diculik tahu bahwa yang ia makan ialah cacing dan makanan busuk namun ia tidak memiliki kuasa untuk menolak memakan makanan tersebut.

Ketika berada di alam bunian, orang yang diculik dapat melihat apabila ada orang yang mencarinya. Pada sejumlah kasus, dinyatakan bahwa orang yang diculik dapat melihat para pencarinya memanggil-manggilnya. Akan tetapi, orang yang diculik tidak dapat mengeluarkan suara atau suara yang ia keluarkan tidak terdengar oleh para pencarinya. Para pencarinya, nantinya, juga akan mengatakan bahwa mereka tidak mendengar suara panggilan.

(3)

Palasik, Sang Penghisap Darah Bayi

Palasik adalah makhluk halus yang dapat dikategorikan sebagai bilih atau setan dalam kepercayaan rakyat Minangkabau. Palasik ialah perempuan yang mempelajari ilmu hitam dan harus menghisap darah bayi agar kemampuan ilmu hitamnya dapat mencapai tingkat tinggi. Terdapat ragam varian folklore mengenai bentuk palasik. Ada informan yang menyatakan bahwa palasik hanya berupa kepala yang melayang-layang. Di sisi lain, terdapat pula informan yang menyatakan bahwa palasik berbentuk seperti manusia biasa. Ia dapat merupa wujud ibu-ibu pada umumnya. Akan tetapi, di balik pakaiannya hanya ada usus yang menjuntai.

Yang diincar oleh palasik biasanya bayi atau balita. Palasik biasanya mendatangi rumah korbannya dan dapat dilihat oleh orang lain. Palasik dapat menghisap darah dengan beberapa cara, yaitu: (1)Menghisap darah bayi atau balita dari ubun-ubunnya. Dengan cara ini, darah bayi atau balita tersebut akan mengalir dari kepala dan dapat langsung ditelan oleh palasik; (2)Mencucuk bayi di bagian leher atau lengannya. Dengan cara ini, darah bayi atau balita akan mengalir melalui lubang gigitan; atau (3)Menghisap janin bayi dari vagina perempuan yang sedang hamil tua.

Ada cara yang dapat dilakukan orang Minang untuk menangkal palasik. Cara ini biasanya digunakan oleh ibu-ibu untuk melindungi anak-anak mereka dari palasik. Penangkalan ini dilakukan dengan memasang kalung beruntai kantung dari kain hitam. Kantung dari kain hitam ini berisi beberapa benda yang diyakini dapat menolak palasik. Contoh dari benda yang biasa digunakan ialah ayat Quran yang ditulis di sehelai kertas dan bawang putih.

Selanjutnya, apabila palasik telah datang dan ditemukan sedang mencoba menghampiri bayi atau balita, atau sedang menghisap darah bayi, ada cara yang dapat digunakan untuk melawan palasik tersebut. Cara yang dapat digunakan ialah menusuk palasik menggunakan benda tajam, biasanya pisau atau gunting. Dengan cara itu, palasik akan mati dan musnah sendirinya.

Inyiak Harimau, Sang Pelindung

Berbeda dengan dua makhluk halus sebelumnya yang bersifat destruktif, inyiak harimau memiliki fungsi manifes yang memang positif bagi orang Minang. Inyiak harimau dapat diartikan menjadi dua definisi. Pertama ialah inyiak harimau sebagai penjaga hutan yang memiliki beberapa fungsi sosial, kultural, dan ekologi. Kedua ialah inyiak harimau sebagai pelindung orang Minang yang sedang merantau.

Sebagai penjaga hutan, inyiak harimau adalah makhluk setengah manusia setengah harimau. Ada beberapa varian folklore mengenai identitas inyiak harimau ini. Ada informan yang menyatakan bahwa inyiak harimau merupakan manusia yang mempelajari magi putih sehingga dapat bertransformasi menjadi harimau. Di sisi lain, ada informan lain yang menyatakan bahwa sejak awal inyiak harimau memang siluman harimau yang dapat berubah menjadi manusia, harimau, atau manusia harimau.

(4)

untuk tidak saling menyerang satu sama lain. Inyiak harimau merupakan sosok yang tepat untuk menjembatani kontrak tersebut karena ia dapat berdialog baik dengan manusia ataupun dengan harimau. Identitas diri yang cair ini menyebabkan inyiak harimau dapat diterima di dua kelompok yang berbeda tersebut.

Inyiak harimau juga kerapkali digambarkan sebagai harimau jadi-jadian yang menjaga hutan. Inyiak tinggal di hutan dan menjaga keseimbangan hutan tersebut agar tidak diganggu oleh manusia. Banyak orang Minang yang percaya bahwa inyiak harimau gemar memakan durian. Oleh karena itu, apabila terdapat durian yang jatuh di hutan, durian tersebut tidak boleh disentuh karena durian tersebut ialah jatah inyiak harimau.

Menurut beberapa informan, inyiak harimau dapat mengontrol perubahan dirinya kecuali pada saat tertentu, yaitu ketika ia sedang berada di dekat sungai atau perairan terbuka. Saat berada di dekat sungai atau perairan terbuka, inyiak harimau akan menjelma kembali menjadi harimau. Akan tetapi, selain itu inyiak harimau dapat mengontrol perubahan dirinya. Saat menjadi manusia, ada tanda-tanda inyiak harimau yang dapat dilihat, yakni panjang tangannya melebihi panjang tangan manusia biasa dan di antara hidung dan mulutnya tidak ada cekungan yang terdapat pada manusia biasa. Jadi, apabila seseorang memiliki panjang tangan yang tidak normal dan tidak memiliki cekungan di antara hidung dan mulutnya, maka ia dapat dikira sebagai inyiak harimau.

Definisi inyiak harimau yang kedua ialah penjaga orang Minang yang sedang merantau. Apabila seorang Minang sedang merantau dan sedang berada di daerah rantau, akan dilindungi oleh inyiaknya. Tiap orang Minang sebenarnya memiliki inyiak yang menjaganya, namun tidak setiap orang Minang memiliki kemampuan untuk melihat dan mengenali inyiaknya. Hanya sejumlah orang Minang yang dapat melihat dan mengenali inyiaknya karena telah diajarkan oleh keluarganya.

Inyiak dapat melindungi seseorang dengan beberapa cara, di antaranya ialah memberi dorongan spiritual agar orang tersebut dapat menjalani tugas-tugas kesehariannya dengan baik. Selain itu, orang Minang yang telah dapat melihat dan mengenali inyiaknya biasanya dapat masuk ke kondisi trance sehingga sang inyiak masuk ke dalam tubuhnya. Saat sang inyiak masuk ke dalam tubuh seseorang, tubuh orang tersebut akan dapat digerakkan oleh inyiaknya. Jadi, ketika menghadapi bahaya dan ancaman fisik, inyiak dapat mengambilalih tubuh dan melindungi sang pemilik tubuh tersebut.

Makhlus Halus Minang dan Ciri Folklor

Menurut James Danandjaja, kepercayaan rakyat dapat dikategorikan sebagai folklore, tepatnya folklore sebagian lisan. Pada bagian ini, saya akan mencoba menganalisis ketiga kepercayaan rakyat yaitu bunian, palasik, dan inyiak harimau menggunakan ciri-ciri folklore sebelum nantinya membahas mengenai pemaknaan. Dengan menganalisis ciri-ciri folklore pada ketiga kepercayaan rakyat Minang ini, kita dapat mengetahui bagaimana kepercayaan rakyat Minang dapat dikategorikan sebagai suatu folklore.

(5)

ke mulut atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat dan alat pembantu pengingat dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Pada kepercayaan rakyat Minang terhadap makhluk halus, dapat dilihat bahwa penyebaran dan pewarisan kepercayaan tersebut dilakukan secara turun temurun secara lisan. Baik dari orangtua ke anaknya atau dari lingkar pertemanan ke anggota-anggota kelompoknya. Penyebaran folklore mengenai bunian, misalnya, seringkali disampaikan oleh orangtua pada anak agar sang anak tidak bermain selepas senja. Penyampaian ini dilakukan secara lisan.

Ciri kedua ialah bersifat tradisional atau disebarkan dalam bentuk relative tetap dan minimal dua generasi. Hal ini tentu terlihat jelas pada kepercayaan rakyat Minang terhadap makhluk halus, terdapat informan yang telah melakukan pewarisan folklore mengenai kepercayaan ini terhadap anak dan cucunya. Jadi, pewarisan berjalan relative tetap dan lebih dari dua generasi.

Ciri ketiga ialah folklore ada dalam varian yang berbeda. Adanya varian ini disebabkan karena adanya penambahan atau pengurangan yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar oleh penutur. Pada kepercayaan rakyat Minang mengenai inyiak harimau, misalnya, terdapat pula varian ini. Varian ini terlihat nyata pada pandangan mengenai asal mula inyiak harimau. Ada yang menyatakan bahwa inyiak harimau memang setengah harimau dan setengah manusia sejak ia ada, namun ada pula yang menyatakan bahwa inyiak harimau merupakan manusia yang mempelajari magi dan dapat berubah menjadi harimau. Perbedaan-perbedaan semacam inilah yang disebut varian dalam folklore dan terdapat dalam kepercayaan rakyat Minang terhadap makhluk halus. Interpolasi juga cenderung terjadi pada proses penyebaran folklorenya.

Ciri keempat ialah anonim. Pembuat folklore cenderung tidak diketahui siapa dan bagaimana awalnya. Sama halnya dengan kepercayaan rakyat Minang terhadap makhluk halus, orang Minang umumnya tidak mengetahui siapa orang yang pada mulanya menggagas konsep palasik, bunian, maupun inyiak harimau. Yang orang Minang tahu hanyalah bahwa ada makhluk-makhluk tersebut dalam kepercayaan Minang dan tiap makhluk memiliki fungsi masing-masing. Biasanya, pengetahuan orang Minang hanya sedalam itu.

Ciri kelima ialah memiliki bentuk berpola. Dalam hal kepercayaan rakyat Minang terhadap makhluk halus, pola-pola seperti ulangan-ulangan terlihat dalam kepercayaan orang Minang terhadap bunian. Bunian tidak hanya sekali dua kali datang ke dunia manusia dan menculik orang yang masih berada di luar rumah selepas senja. Bunian seringkali dianggap datang berkali-kali tiap ada orang berada di luar rumah selepas senja. Saya pikir inilah pola bentuk yang dapat dilihat dalam kepercayaan rakyat Minang terhadap makhluk halus.

(6)

orang Minang, yang meski melihat keturunan dan kekerabatan dari garis ibu, tetap menghormati leluhur dan keluarganya yang laki-laki.

Ciri ketujuh ialah dimiliki oleh kolektif tertentu. kepercayaan rakyat Minang terhadap makhluk halus ini tentunya dimiliki oleh satu kolektif yang sama, yaitu kolektif Minang. Minang sebagai sebuah kesatuan etnik memiliki sejumlah sistem kebudayaan, salah satu di antaranya ialah religi yang termasuk di dalamnya kepercayaan rakyat. Kecuali inyiak harimau yang folknya ialah orang Minang di luar Padang, seluruh orang Minang mengetahui dan memiliki lor bunian dan palasik.

Ciri kedelapan ialah bersifat pralogis. Pralogis artinya tidak sesuai dengan logika umum. Hal ini tentunya dapat dilihat dari rasionalitas kepercayaan rakyat Minang terhadap makhluk halus yang ada. Bunian tentunya telah melanggar logika umum karena dapat membawa manusia ke alam yang berada di dimensi yang berbeda. Palasik melanggar logika umum karena kepala dapat melayang tanpa tubuh. Kemudian inyiak harimau melanggar logika umum karena ia dapat berubah sosok antara manusia dan harimau serta dapat berkomunikasi dengan keduanya.

Ciri terakhir ialah bersifat polos dan lugu. Menurut saya, kepercayaan terhadap inyiak harimau merupakan bentuk folklore yang polos dan lugu karena merupakan proyeksi kejujuran orang Minang mengenai sistem kekerabatan dan keturunan.

Dikarenakan melengkapi kesembilan ciri di atas, kepercayaan rakyat Minang terhadap makhluk halus yakni palasik, bunian, dan inyiak harimau dapat dikategorikan sebagai folklore. Pembahasan yang menarik selanjutnya ialah bagaimana orang Minang memaknai folklore mereka sendiri, yang akan saya bahas pada bagian selanjutnya.

Pemaknaan Orang Minang terhadap Makhluk Halus

Wallace menyatakan bahwa mitologi dan folklore adalah cerita-cerita yang memiliki plot atau karakter yang antropomorfis. Pernyataan Wallace ini dapat digunakan sebagai dasar untuk melihat bagaimana pemaknaan orang Minang terhadap kepercayaan mereka mengenai makhluk halus. Pada dasarnya, pemaknaan dapat dilihat dari bagaimana tindakan sosial yang dilakukan oleh folk, dalam hal ini orang Minang, setelah mengetahui dan memahami fenomena atau lor mereka, dalam hal ini kepercayaan mereka terhadap palasik, bunian, dan inyiak harimau. Selain itu, proses memaknai kepercayaan rakyat juga dapat dilihat sebagai bagaimana orang Minang memanifestasikan pengetahuan mereka.

Pada bagian ini, saya akan membahas dua hal. Pertama, bagaimana tindakan sosial yang dilakukan oleh orang Minang setelah mereka memahami kepercayaan mereka sendiri mengenai palasik, bunian, dan inyiak harimau. Kedua, bagaimana orang Minang memanifestasikan pengetahuan mereka dalam proses pemaknaan tersebut. Dalam dua pembahasan ini, tentunya tema mengenai Islam akan menyentuh proses pemaknaan karena, seperti yang telah saya tuliskan di bagian pendahuluan, Islam memiliki posisi yang kuat dalam kebudayaan Minang dan sedikit banyak tentunya berpengaruh pada proses pemaknaan mereka terhadap kepercayaan pada makhluk halus yang cenderung bertentangan dengan ajaran Islam.

(7)

mencegah datangnya makhluk halus, bagaimana mereka melawan makhluk halus yang telah ada, dan bagaimana mereka mempertahankan hubungan baik dengan makhluk halus. Ketiga bentuk tindakan sosial ini bukanlah merupakan reaksi pada satu makhluk halus, melainkan pada makhluk halus yang berbeda-beda. Tindakan pencegahan dapat dilakukan untuk mencegah datangnya bunian dan palasik, tindakan perlawanan dapat dilakukan untuk melawan palasik, dan tindakan mempertahankan hubungan baik dapat dilakukan pada inyiak harimau.

Mengenai tindakan pencegahan, setelah memahami bagaimana karakteristik bunian dan palasik, orang Minang dapat melakukan sejumlah tindakan yang dapat menghalau datangnya kedua makhluk halus tersebut. Pada dasarnya, kedua makhluk halus tersebut dianggap memiliki sifat yang sama, yakni sifat destruktif yang dapat merugikan. Pada kasus bunian, tindakan destruktif yang ditimbulkan ialah penculikan, sedangkan pada palasik, tindakan destruktif yang ditimbulkan ialah penghisapan darah bayi. Untuk menghindari hal-hal tersebut, orang Minang membentuk kepercayaan lain untuk tindak pencegahan. Untuk bunian, tindak pencegahannya ialah pulang ke rumah ketika senja turun dan untuk palasik, tindak pencegahannya ialah memakai jimat yang terdiri dari ayat Quran dan bawang putih. Keduanya pada dasarnya memiliki warna yang sama, yakni keislaman. Palasik dapat dicegah kedatangannya dengan menggunakan ayat Quran. Hal ini menunjukkan adanya kultifikasi ayat Quran. Bunian dapat dicegah kedatangannya dengan pulang ke rumah saat azan magrib berkumandang. Satuan waktu yang digunakan dalam kepercayaan terhadap bunian sebenarnya ialah waktu magrib.

Selanjutnya ialah mengenai tindak perlawanan. Tindak perlawanan dapat dilakukan untuk melawan palasik. Palasik, seperti telah saya tuliskan di atas, dapat dilawan dengan menggunakan benda tajam seperti gunting atau pisau.

Terakhir ialah tindak menjaga hubungan baik. Tindak menjaga hubungan baik ini dilakukan ketika orang Minang telah paham bagaimana hubungan sosial seharusnya terjalin antara manusia dan inyiak harimau. Dengan pemaknaan bahwa inyiak harimau merupakan sosok representasi alam yang harus dihormati, orang Minang cenderung menghormati inyiak harimau. Selain itu, apabila menggunakan definisi kedua inyiak harimau, orang Minang akan cenderung menghargai silsilah keluarganya, baik dari garis ibu seperti yang memang merupakan sistem kekerabatannya dan laki-laki dalam keluarga karena inyiak merupakan laki-laki.

Pembahasan kedua ialah mengenai bagaimana orang Minang memanifestasikan pengetahuan mereka dalam proses pemaknaan kepercayaan mereka terhadap makhluk halus. Danandjaja menyatakan bahwa disadari atau tidak, folklore dapat menjelaskan bagaimana folknya berpikir. Selain itu, folklore juga mengabadikan apa-apa yang dirasakan penting oleh folk pendukungnya. Oleh karena itu, kita dapat melihat bagaimana keterkaitan simbol-simbol dalam kepercayaan orang Minang terhadap makhluk halus dengan sistem pengetahuan mereka.

(8)

Pertama ialah bagaimana orang Minang memanifestasikan pengetahuan mereka dalam proses pemaknaan bunian. Bunian pada dasarnya merupakan suatu alat kontrol sosial berupa kepercayaan yang digunakan agar orang Minang patuh pada aturan waktu. Mereka yang melanggar aturan waktu dan ruang akan mendapatkan hukuman magis dari bunian. Saya dapat mengatakan bahwa kepercayaan terhadap bunian pada dasarnya berasal dari, atau setidaknya pada proses kepercayaannya berpengaruh pada, aturan-aturan budaya orang Minang yang melarang seseorang berada di luar rumah setelah magrib. Tentunya terdapat beberapa alasan logis yang mendasari larangan ini, di antaranya anak-anak harus berhenti bermain dan kembali ke rumah agar dapat melakukan shalat magrib dan mengaji dan/atau daerah di luar rumah akan berbahaya saat malam hari. Aturan-aturan ini kemudian dilegitimasi dengan kepercayaan karena disadari atau tidak kepercayaan mengenai suatu hal yang mistik dapat menjadi kontrol sosial yang dibangun dari ketakutan.

Kedua ialah bagaimana orang Minang memanifestasikan pengetahuan mereka dalam proses pemaknaan palasik. Pada dasarnya, kepercayaan terhadap palasik memunculkan signifikansi sosial yang mengharuskan anak, baik bayi maupun balita, selalu dalam pengawasan orangtua. Pengawasan ini terkait dengan pola-pola pengasuhan anak di Minang yang mengharuskan orangtua (termasuk di dalamnya juga orangtua kultural, yaitu ninik mamak) selalu menjaga dan mengawasi anak-anaknya. Aturan ini dilegitimasi dengan kepercayaan bahwa apabila anak tidak dijaga, maka ia dapat diserang oleh palasik. Pada dasarnya legitimasi aturan ini cukup mirip dengan legitimasi dan kontrol sosial menggunakan kepercayaan terhadap bunian, kontrol sosial dibangun dari ketakutan.

Terakhir ialah bagaimana orang Minang memanifestasikan pengetahuan mereka dalam proses pemaknaan inyiak harimau. Berbeda dengan dua makhluk halus lainnya, inyiak harimau memiliki fungsi-fungsi ekologis dan aturan mengenai ruang. Apabila aturan mengenai waktu yang dilegitimasi dengan kepercayaan pada bunian dan aturan mengenai pengawasan anak yang dilegitimasi dengan kepercayaan pada palasik dibangun dari ketakutan, aturan mengenai ruang dan lingkungan dibangun atas dasar menjaga hubungan baik, dalam tanda kutip tentunya karena hubungan baik ini sebenarnya dilakukan dengan tokoh fiktif. Pada dasarnya, inyiak harimau juga memiliki fungsi kontrol sosial, namun dasar pembangunnya berbeda dengan palasik atau bunian. Pengetahuan orang Minang mengenai keseimbangan alam dan penghargaan terhadap lingkungan termanifestasi dalam kepercayaan terhadap inyiak harimau. Dengan menjaga hubungan baik dengan inyiak harimau dan mempertahankan kontrak sosial yang telah dibangun, orang Minang berarti telah menjaga hubungan baik dengan alam dan melestarikan alam. Pemaknaan terhadap inyiak harimau dapat dilihat sebagai bagaimana orang Minang memanifestasikan pengetahuannya terhadap ruang dan lingkungan.

Kesimpulan

(9)

macam makhluk halus ini dapat dilihat proses pemaknaannya sebagai tindakan sosial yang dilakukan oleh orang Minang setelah memahami kepercayaan tersebut dan bagaimana pengetahuan orang Minang termanifestasi dalam kepercayaan tersebut.

Dalam kepercayaan terhadap palasik, bunian, dan inyiak harimau, pada dasarnya orang Minang melegitimasi aturan-aturan sosial dan kultural mereka mengenai ruang, waktu, pengasuhan anak, dan lingkungan menggunakan kepercayaan terhadap makhluk halus. Kepercayaan ini dapat menguatkan aturan-aturan sosial karena menggunakan ketakutan, pada bunian dan palasik, serta keinginan menjaga hubungan baik yang dilakukan pada inyiak harimau. Orang Minang cenderung memaknai kepercayaan-kepercayaan ini sebagai legitimasi dari aturan sosial dan kultural yang mereka miliki.

Daftar Pustaka

Danandjaja, James

2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Pandian, Jacob

1991. Culture, Religion, and The Sacred Self: A Critical Introduction. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Syariffudin, Amir.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil uji beda rataan penerapan beberapa jarak tanam dan sistem tanam berpengaruh nyata terhadap jumlah biji hampa per plot tanaman padi, dimana jumlah biji

Upaya kepemimpinan kepala madrasah dalam mengembangkan budaya Islami di MTs Sunan Kalijogo Kota Malang Upaya kepala madrasah dalam mengembangkan budaya islami di MTs Sunan

Perhitungan yang akan dilakukan dalam tugas akhir ini adalah untuk. menentukan jarak yang tepat antar stabilizer agar tidak teijadi buckling

Hasil pada penelitian ini adalah (1) terdapat perbedaan prestasi kognitif, afektif, dan psikomotor pada siswa yang belajar dengan pendekatan starter eksperimen melalui

game pengenalan warna ini. Dapat dilihat FSM yang digunakan pada penelitian ini dalam gambar 2. FSM ini menampilkan alur program yang dibuat. FSM dimulai

Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran bahan tersebut yang

Cara memperoleh serbuk tersebut cukup sederhana, yaitu dengan menumbuk biji buah kelor yang sudah tua hingga halus, kemudian ditaburkan ke dalam air limbah, dengan perbandingan

Hasil dari penelitian tersebut diperkuat oleh penelitian Ryanda Bella (2012) yang menunjukkan bahwa faktor psikologis meliputi overconfidence, mental accounting, dan emotion