• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMISKINAN NELAYAN DI kemiskinan PERKOTAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEMISKINAN NELAYAN DI kemiskinan PERKOTAAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KEMISKINAN NELAYAN DI PERKOTAAN Ummu Iffati A’yunin1

Universitas Negeri Malang

ABSTRAK : Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat terjadi dimana-mana tidak terkecuali di perkotaan. Kebijakan yang tidak tepat sasaran juga merupakan salah satu alasan kemiskinan yang terjadi pada nelayan di perkotaan. Nelayan yang terkena imbas dari kebijakan ini pada umumnya juga mengalami masalah lain, ketidakmampuan menghadapi nelayan lain yang menggunakan teknologi modern. Ketimpangan sistem bagi hasil dan sistem pelelangan ikan juga turut mewarnai kemiskinan nelayan di perkotaan.

Kata Kunci : Kemiskinan, Nelayan, Perkotaan

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, yang terdiri dari 5 pulau besar dan 30 kepulauan kecil, jumlah keseluruhan tercatat ada sekitar 17.504 pulau, 8.651 pu lau sudah bernama, 8.853 pulau belum bernama, dan 9.842 pulau yang telah diverifikasi (Depdagri, 2006).

Berdasarkan Pasal 46 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982), Negara Kepulauan berarti suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun l996 tentang Perairan Indonesia; Negara Republik

Indonesia adalah Negara Kepulauan. Keseluruhan luas laut Indonesia 5,8 juta km2 yang terdiri: luas perairan kepulauan atau laut Nusantara 2,3 juta km2; luas Perairan Teritorial 0,8 juta km2; Luas Perairan ZEE Indonesia 2,7 juta km2; dan Panjang garis Pantai 95.181 km. (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2009:1).

1Penulis adalah mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan IPS angkatan 2012 Fakultas Ilmu Sosial

(2)

Luas wilayah perairan Indonesia kurang lebih 5,8 juta kilometer persegi, dan jumlah nelayan di Indonesia hingga tahun 2009 tercatat 2.752.490 orang dengan total armada 596.230 unit. Dari jumlah nelayan tersebut 90 persennya merupakan nelayan kecil dengan bobot mati kapal di bawah 30 Gross Tonnage (GT) (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008).

Kondisi geografis dan wilayah Negara Republik Indonesia yang

merupakan Negara Kepulauaan dan Negara Bahari (Maritim) yang demikian ini sangat menguntungkan bagi bangsa dan negara Indonesia karena didukung adanya potensi atau kekayaan yang berupa Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di

wilayah tersebut. Dengan memperhatikan luasnya wilayah laut yang dimiliki Indonesia serta melimpahnya sumber daya ikan yang dikandungnya maka secara logika menunjukkan terbukanya peluang kerja di sektor ini dan adanya kehidupan nelayan yang mapan. Namun dalam realitanya kehidupan nelayan Indonesia masih sangat memprihatinkan. Kemiskinan masih dijumpai di daerah pesisir, baik di perdesaan maupun perkotaan.

Perbedaan yang mencolok mengenai kemiskinan nelayan di perdesaan dan perkotaan adalah Tekanan struktural yang dialami oleh nelayan tradisional di perkotaan, lebih banyak terkait dengan ketidakmampuan menghadapi nelayan yang menggunakan teknologi modern. Karena nelayan yang modern bisa

mendapatkan hasil yang lebih banyak, karena daya jangkauan pencarian ikan lebih jauh, sementara nelayan tradisional terbatas wilayahnya. Hal ini berakibat nelayan tradisional tidak memiliki posisi tawar menawar (bargaining position) dalam menentukan harga ikan. Kebijakan pemerintah kota yang kurang memperhatikan masalah kesejahteraan nelayan sehingga nelayan di perkotaan terabaikan. Dalam tulisan ini akan membahas mengenai kemiskinan masyarakat nelayan di daerah perkotaan.

PEMBAHASAN

(3)

memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar tersebut antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik. Menurut Winardi (2010), bahwa kemiskinan memiliki dua dimensi yaitu dimensi pendapatan dan dimensi non pendapatan. Kemiskinan dalam dimensi pendapatan didefinisikan sebagai kemiskinan yang diderita akibat rendahnya pendapatan yang diterima, sedangkan kemiskinan dimensi

nonpendapatan dicirikan dengan adanya ketidakmampuan, katiadaan harapan, dan katidakterwakilan serta tidak adanya kebebabasan.

Kebijakan pemerintah mengenai penanggulangan kemiskinan di dalam masyarakat nelayan nampaknya masih bersifat terpusat, sehingga program- program yang dijalankan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau daerah tertentu. Banyak program penanggulangan kemiskinan yang menempatkan masyarakat sebagai objek, akibatnya masyarakat kurang berpartisipasi secara aktif dalam menggali potensi dirinya dan lingkungannya untuk keluar dari kemiskinan. Selain itu program-program yang dilaksanakan cenderung bersifat sektoral yang seringkali mengakibatan adanya semangat egosektoral dan saling tumpang tindih.

Keadaan ini lebih dipersulit karena umumnya tiap departemen atau instansi daerah/kota mempunyai definisi dan kriteria sendiri tentang kemiskinan. Akibatnya kemiskinan cenderung dipahami secara parsial, dan

penanggulangannya cenderung bersifat sektoral. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya menjaga kontinuitas program dan cenderung membuat program baru, dimana program baru tersebut bukan merupakan kelanjutan program lama, akhirnya masyarakat kembali menelan pil pahit dari setiap kebijakan tersebut.

Kebijakan pemerintah kota yang kurang memperhatikan masalah

kesejahteraan nelayan tradisional menyebabkan nelayan tradisional di perkotaan terabaikan. Tekanan struktural yang dialami oleh nelayan tradisional di perkotaan, lebih banyak terkait dengan ketidakmampuan menghadapi nelayan yang

(4)

hasil yang lebih banyak, daya jangkauan pencarian ikan lebih jauh, sementara nelayan tradisional terbatas wilayahnya. Hal ini berakibat nelayan tradisional tidak memiliki posisi tawar menawar (bargaining position) dalam menentukan harga ikan, sehingga nelayan tradisional cenderung pasrah dengan keadaan ini yang pada akhirnya membuat nelayan tradisional hidup dalam keadaan yang serba kecukupan atau dapat dikatakan mencapai taraf miskin.

Kemiskinan nelayan tradisional di perkotaan sangat terkait pula dengan sistem kerja mereka. Pada umumnya jam kerja mereka relatif singkat biasanya cukup satu hari saja (one day fishing). Kondisi atau kebiasaan semacam ini berdampak pada hasil tangkapan yang tidak optimal sehingga mengakibatkan tingkat produksi rendah dan pendapatan mereka juga tidak optimal akibatnya tingkat kesejahteraan nelayan pun rendah.

Sistem kerja one day fishing antara lain juga disebabkan kapal dan alat tangkap ikan yang mereka gunakan, selain itu budaya kerja yang hanya satu hari rupanya sudah menjadi kebiasaan. Rendahnya etos kerja nelayan tradisional perkotaan akan menjadi bumerang tersendiri bagi mereka, karena sistem kerja para nelayan modern di perkotaan sudah sangat canggih, kapal dan alat tangkap ikan sudah menggunakan sistem pendeteksi ikan sedangkan nelayan tradisional perkotaan belum menggunakan teknologi menangkap ikan yang canggih dan masih menggunakan kapal kecil yang hanya mampu memuat hasil tangkapan ikan sedikit pula.

Sistem bagi hasil dalam penangkapan ikan sangat berperan pula dalam menentukan tingkat pendapatan nelayan tradisional di perkotaan. Tidak semua nelayan diperkotaan bekerja sebagai nelayan pemilik namun ada juga nelayan penggarap. Nelayan pemilik adalah nelayan yang memiliki kapal, biasanya pemilik kapal ini merupakan seseorang pengusaha dibidang kelautan dan sengaja menyewakan kapalnya kepada orang lain, sedangkan nelayan penggarap

(5)

dengan sistem bagi hasil ini, nelayan pemilik (juragan) mendapatkan bagian hasil lebih banyak dari nelayan penggarap.

Ketimpangan dalam sistem bagi hasil seperti ini nampaknya sudah menjadi tradisi atau budaya dan nampaknya kondisi seperti ini cenderung dilestarikan, nelayan pemilik modal atau pemilik (juragan) mendominasi para nelayan. Sementara nelayan (penggarap) tidak mempunyai pilihan. Dalam arti karena keterbatasan modal dan skill yang dimiliki oleh nelayan. Disamping itu juga karena budaya atau sikap entrepeneur yang tidak dimiliki oleh nelayan sehingga mereka lebih suka menyediakan tenaga dan resiko nyawanya daripada kehilangan modal. Sedang bagi pemilik (juragan) karena mereka sebagai pemilik modal dengan resiko kehilangan modal maka untuk menghindari atau

meminimalkan resiko ini mereka menerapkan sistem bagi hasil sebagaimana dijelaskan di atas, yang kecenderungan dengan segala upaya atau bentuk sistem bagi hasil untuk meminimalisir resiko kerugian yang akan diderita kadang dirasa kurang adil bagi nelayan.

Selain beberapa kendala nelayan di perkotaan yang tersebut diatas juga terdapat penyebab lain yaitu sistem perdagangan ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang tidak transparan, yang lebih banyak dikuasai oleh para tengkulak. Sehingga nelayan tradisional perkotaan yang tidak mempunyai modal besar tidak mempunyai pilihan lain. Kondisi ini juga merupakan penyebab kemiskinan nelayan tradisional di perkotaan.

(6)

Penyebab kemiskinan nelayan di Indonesia sangatlah komplek, penyebab individual, keluarga, sub budaya, agensi maupun struktural saling berkaitan. hal senada juga dipaparkan oleh Kusnadi. Menurut Kusnadi, (2002) sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan pada masyarakat nelayan:

a) Belum adanya kebijakan dan aplikasi pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terintegrasi atau terpadu di antara para pelaku pembangunan.

b) Mendorong pemda merumuskan blue print kebijakan pembangunaan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan secara terpadu dan

berkesinambungan.

c) Masalah isolasi geografis desa nelayan, sehingga menyulitkan keluar masuk barang, jasa, kapital, dan manusia. Berimplikasi melambatkan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat nelayan.

d) Keterbatasan modal usaha atau investasi sehingga menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya.

e) Adanya relasi sosial ekonomi ”eksploitatif” dengan pemilik perahu dan pedagang perantara (tengkulak) dalam kehidupan masyarakat nelayan.

f) Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, berdampak sulitnya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas hidup.

g) Kesejahteraan sosial nelayan yang rendah sehingga mempengaruhi mobilitas sosial mereka.

(7)

PENUTUP Kesimpulan

Kebijakan pemerintah mengenai penanggulangan kemiskinan di dalam masyarakat nelayan nampaknya masih bersifat terpusat, sehingga program- program yang dijalankan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau daerah tertentu. Banyak program penanggulangan kemiskinan yang menempatkan masyarakat sebagai objek, akibatnya masyarakat kurang berpartisipasi secara aktif dalam menggali potensi dirinya dan lingkungannya untuk keluar dari kemiskinan. Selain itu program-program yang dilaksanakan cenderung bersifat sektoral yang seringkali mengakibatan adanya semangat egosektoral dan saling tumpang tindih.

Kebijakan pemerintah kota yang kurang memperhatikan masalah

kesejahteraan nelayan tradisional menyebabkan nelayan tradisional di perkotaan terabaikan. Kemiskinan nelayan tradisional di perkotaan sangat terkait pula dengan sistem kerja mereka. Sistem kerja one day fishing antara lain juga disebabkan kapal dan alat tangkap ikan yang mereka gunakan, selain itu budaya kerja yang hanya satu hari rupanya sudah menjadi kebiasaan. Sistem bagi hasil dalam penangkapan ikan sangat berperan pula dalam menentukan tingkat pendapatan nelayan tradisional di perkotaan.

Ketimpangan dalam sistem bagi hasil seperti ini nampaknya sudah menjadi tradisi atau budaya dan nampaknya kondisi seperti ini cenderung dilestarikan, nelayan pemilik modal atau pemilik (juragan) mendominasi para nelayan. Sementara nelayan (penggarap) tidak mempunyai pilihan. Dalam arti karena keterbatasan modal dan skill yang dimiliki oleh nelayan. sistem

(8)

sederhana atau tradisional serta jam kerja yang relatif singkat yaitu satu hari (one day fishing).

DAFTAR PUSTAKA

Bappenas. 2004. Indonesia : Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals). Jakarta: Bappenas-UNDP.

Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2008, Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Pelabuhan Perikanan. Jakarta.

Kusnadi. 2002. Akar Kemiskinan Nelayan. Yogyakarta: LKIS.

Retnowati, E. Nelayan Indonesia dalam Pusaran Kemiskinan Struktural

(Perspektif Sosial, Ekonomi, dan Hukum). Jurnal Perspektif, (Online), 16 (3) 149-159, (http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201207081310382587/12.pdf.), diakses 19 April 2015.

Referensi

Dokumen terkait

pada medium agar-agar dekstrosa kentang yang ditambahkan metabolit sekunder 20% dari cendawan endofit isolat CECL 28 pada 3 medium fermentasi: a, dekstrosa kentang cair;

boleh menggunakan hak istimewa informasi untuk perdagangan untuk keuntungan jangka pendek melainkan untuk beberapa jangka panjang 6) sehubungan denganbeberapa

Pada penelitian siklus 1, observasi dilakukan masing masing dua kali kepada guru kelas I Pelaksanaan pemantauan dalam penelitian tindakan ini dilakukan oleh tim

Pada laporan kerja praktik ini membahas proses perancangan dan pembuatan Aplikasi Monitoring dan Evaluasi Kinerja Penjualan Produk Pada CV Royalty Natural Indonesia yang dapat

Dari hasil tersebut kemudian dilakukan refleksi awal untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan dalam siklus 2 dari refleksi tersebut ditemukan masalah bahwa guru

Perbincangan yang akan dihuraikan dalam bahagian ini adalah berkaitan dengan maklumat yang telah diperolehi melalui soal selidik yang telah dianalisis iaitu tentang persepsi

Dengan dibuatnya mesin penggiling biji jarak ini, maka dapat mengurangi penggunaan tenaga manusia, guna meningkatkan kefektifan kerja agar tercapai produktifitas yang tinggi

Toisaalta vain harvoissa puheis- sa ja diskursseissa puhuttiin vahvasti esimerkiksi sellaisista lähestymistavan perusperi- aatteista kuin kaikkien maailman ihmisten