• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agensi vis a vis Client Siapa yang Sehar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Agensi vis a vis Client Siapa yang Sehar"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DAFTAR ISI

SAMPUL

KERANGKA REFERENSI

DAFTAR ISI

SAMBUTAN KETUA PANITIA KONFERENSI NASIONAL KOMUNIKASI

KAMPANYE DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS KEARIFAN LOKAL

STRATEGI EFEKTIF MENCEGAH MALARIA DENGAN KAMPANYE PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERINDUKAN VEKTOR

Kholis Ernawati, Umar Fahmi Achmad, Tresna P. Soemardi, Hasroel Thayyib

(kholisernawati@yahoo.com) 1

PERUBAHAN IKLIM DAN DAMPAKNYA (Sebuah Kajian Komunikasi Lingkungan)

Billy K. Sarwono

billysarwono@gmail.com

11

TATA KELOLA KOMUNIKASI LINGKUNGAN PADA

KEPEMIMPINAN PARABELA BERBASIS KEARIFAN LOKAL PADA MASYARAKAT BUTON

M. Najib Husain

(najib_75husain@yahoo.co.id) 20

PERGESERAN WACANA DALAM BISNIS PERUBAHAN IKLIM Jalu Pradhono Priambodo (jalu@saklik.com)

32 PENGELOLAAN KOMUNIKASI LINGKUNGAN BERBASIS

NILAI-NILAI MULTIKULTURAL DI KEPULAUAN MASALEMBU DAN KANGEAN KAB.SUMENEP MADURA

Ekna Satriyati

(ekna_satriyati@yahoo.com)

50

KOMUNIKASI TRANSAKSIONAL SEBAGAI MODEL

KOMUNIKASI LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Rosa Emmaria Tarigan

rose.emmaria@gmail.com

65

KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PENGGUNAAN

DEMONSTRASI PLOT PERTANIAN ORGANIK KELOMPOK TANI MEKAR GALIH

Irwansyah

ironesyah@gmail.com

79

KOMUNIKASI SOSIAL, MEDIA BARU DAN MASYARAKAT INDONESIA

KONSTRUKSI IDENTITAS DIRI MELALUI BAHASA ALAY DI DUNIA VIRTUAL

Rulli Nasrullah dan Adi Nugroho Onggoboyo

kangarul@gmail.com

89

NEW MARKETING COMMUNICATION MEDIA HABIT (Studi Komparatif Dua Kelompok Konsumen Terhadap Twitter)

Zurhalina (piiesha@yahoo.com) 100

PEMBENTUKAN CYBER CULTURE MELALUI INTERAKSI SIMBOLIK DALAM FORUM KOMUNITAS ONLINE

Fiona Suwana dan Sherly Haristya

(fsuwana@yahoo.com)

(3)

EMPATI DALAM KOMUNITAS KESEHATAN ONLINE Prida Ariani A., S.Sos, M.si

prida.astuti@staff.uph.edu 122

PERAN MEUNASAH SEBAGAI SIMBOL BUDAYA DALAM PROSES KOMUNIKASI SOSIAL MASYARAKAT ACEH Management of Meaning Theory pada Petugas Lapangan Keluarga Berencana Meaning Theory pada Petugas Lapangan Keluarga Berencana di Desa Sukahati, Bogor)

Rino Febri dan Puspita Niken Aditya Jugaswari

(rinofb@yahoo.com)

161

KOMUNIKASI INDONESIA,DEMOKRATISASI SOSIAL DAN PERSPEKTIF BERBANGSA DAN BERNEGARA

BUDAYA DIALOG DALAM MASYARAKAT MAJEMUK (Perspektif Komunikasi Antarbudaya)

Turnomo Rahardjo (turnomor@yahoo.co.id)

185

BHINNEKA TUNGGAL IKA ATAU BHINNEKA TUNGGAL IKA (Sebuah Tinjauan Paradigma Klasik Ilmu Sosial dalam Keberagaman dan Persatuan di Indonesia)

Sari Monik Agustin monik@uai.ac.id

194

“RASA” BHINNEKA TUNGGAL IKA DALAM MODERNISASI

INDONESIA

Desideria Lumongga D. Laksmono

(derry_leksmono@yahoo.com) 203

PUBLIK YANG TERBAYANGKAN KRITIK ATAS PELIBATAN PUBLIK DALAM KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI INDONESIA

MT Hidayat

(mthodayat@hotmail.com) dan Dewi S. Tanti

(dstanti@gmail.com)

211

IKLAN, PEMASARAN DAN KOMUNIKASI BERBASIS LOKAL

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERSEPSI

KONSUMEN TENTANG BRAND MIZONE (Studi pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila)

Farina Rahmadia

(farina.rahmadia@yahoo.com)

231

PERAN MEDIA RELATIONS DALAM MENINGKATKAN CITRA PERUSAHAAN (Analisis pada Peran Media Relations PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk)

R. A Nina Septiani Hadiputri Kardjono dan Pontjo Muljono

ninaseptiani@gmail.com

246

KOMUNIKASI IDENTITAS PARAWISATA BANGSA DALAM FILM EAT PRAY LOVE

A. Toni, M.I.Kom

(tonianthonovbsi@yahoo.co.id) 257

MITOS KELAS MENENGAH-ATAS DALAM DESAIN IKLAN POLITIK RISMA-BAMBANG

Muh. Bahruddin

(muh.bahruddin@yahoo.com)

272

CITRA PUTRI PARAWISATA INDONESIA SEBAGAI DUTA PARIWISATA CITRA PUTRI PARWISATA INDONESIA SEBAGAI DUTA PARIWISATA

(Analisis Deskriptif Public Relations Pada Tanggapan Abang None DKI Jakarta 2009/2010)

HYBRIDITAS IDENTITAS INDONESIA DALAM IKLAN MEDIA CETAK LOKAL

Wajar Bimantoro S.Sn, M.Des (wajar_bimo@yahoo.co.id)

(4)

APAKAH INTEGRATED MARKETING COMMUNICATIONS (IMC) DIBUTUHKAN DI INDONESIA?

Helpris Estaswara

(the.estaswara@yahoo.com)

305

KONSTRUKSI SOSIAL,GAYA HIDUP DAN MEDIA MASSA

PROBLEM TRANSMISI NILAI_NILAI KESETARAAN GENDER

MELALUI MEDIA MASSA DI INDONESIA Sunarto (sunartoo@yahoo.com) 320

KOMODITAS BUDAYA BARAT DALAM INDUSTRI KREATIF TELEVISI DI INDONESIA

Tri Wahyuti

tri.wahyuti@paramadina.ac.id

348

SISTEM NILAI DAN PRODUKSI DALAM MUSIK INDIE (Studi Strukturasi Terhadap Musik Independen Di Jakarta)

Irawan Prayoga, M.Si

irawanprayoga@yahoo.com

332

GLOKALISASI INDUSTRI KREATIF TELEVISI DALAM PROGRAM REALITY SHOW "INDONESIA IDOL"

KAMPANYE DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS KEARIFAN LOKAL

EKSPLORASI HUKUM LINGKUNGAN DENGAN PENGELOLAAN KOMUNIKASI MULTIETNIS DI KEPULAUAN TIMUR MADURA

Gatoet Poernomo

(gatoet_poernomo@yahoo.co.id )

359

POSISI MASYARAKAT ADAT DAN KEARIFAN LOKAL DALAM KOMUNIKASI YANG ADIL

KESENJANGAN DAN KEARIFAN LOKAL PADA KOMUNIKASI LINGKUNGAN

PERANAN TEKNOLOGI TELEPON SELULER DALAM PERLUASAN JARINGAN KOMUNIKASI SOSIAL PADA PEDESAAN MISKIN DI INDRAMAYU

Tuti Widiastuti

(tuti.widiastuti@bakrie.ac.id)

425

KOMUNIKASI SOSIAL, MEDIA BARU DAN MASYARAKAT INDONESIA

TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN GERAKAN SOSIAL DI AREA BENCANA: STUDI ETNOGAFI DI KOMUNITAS ONLINE DAN OFFLINE DI SEKITAR MERAPI

Rudy Handoko

(rudyhandoko8@gmail.com)

447

PEMAKNAAN REMAJA MENGENAI PRIVACY DALAM HUBUNGAN PERCINTAAN DI FACEBOOK: Studi Kualitatif pada Remaja di Depok

D. Chandra Kirana (chandra.kirana@ui.ac.id)

465

REKBER KASKUS DAN TRUST DALAM KOMUNIKASI RUANG VIRTUAL

Adi Nugroho Onggoboyo

(5)

SEMIOTIKA PRIVACY DALAM JEJARING SOSIAL

Dra. Jenniwal MH

(jenniwalmh@yahoo.com) 483 DI BALIK FENOMENA MAGNUM:

SUKSESI MEDIA BARU SEBAGAI MEDIA PEMASARAN MASA KINI

Melati Tobing, M.Si

(ohmelati@yahoo.com) 500

PUBLIC SPHERE & NEW NEW MEDIA Yearry Panji, M.Si

(yearry.panji@gmail.com) 517

KOMUNIKASI INDONESIA,DEMOKRATISASI SOSIAL DAN PERSPEKTIF BERBANGSA DAN BERNEGARA

PLURALISME DAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Romanus Ndau

(natartoba@yahoo.co.id)

525

SEMIOTIKA BHINEKA DALAM MEMPERKUAT PERSATUAN DAN KESATUAN RAKYAT INDONESIA

APPREHENSION) DALAM RELASI ANTAR ETNIK (Studi Pada Etnik Papua)

Agung Prabowo

(agoeng_prab@yahoo.com)

539

PENERAPAN PRINSIP KEADILAN PANCASILA DALAM KEBIJAKAN KOMUNIKASI INDONESIA (Analisis Perda Nomor 8 Tahun 2009 tentang Pendirian Lembaga Penyiaran Publik Lokal Agropolitan Televisi Kota Batu)

Ellen Melianzi Yasak (ellenyasak@gmail.com)

552

AGENDA MEDIA SURAT KABAR LOKAL

SELAMA MASA KAMPANYE PEMILUKADA DEPOK 2010 Rosy Tri Pagiwati (rosy_tri@yahoo.com)

561

IKLAN, PEMASARAN DAN KOMUNIKASI BERBASIS LOKAL

MUATAN LOCAL INSIGHT DALAM STRATEGI KREATIF IKLAN INDONESIA (Studi Perbandingan Isi Iklan Teh Pucuk Harum Vs Tehbotol Vs Coca Cola)

Leonita K. Syarief, M. Si (leonitakusumawardhani@para madina.ac.id)

572

AGENSI VIS-À-VIS CLIENT: SIAPA YANG SEHARUSNYA PEGANG KENDALI ATAS PROGRAM INTEGRATED MARKETING BRAND EQUITY (Studi Terhadap Strategi IMC PT. Holcim Indonesia, Tbk)

Noor Aprilla Puspitasari (nooraprilia_puspitasari@ yahoo.co.id)

597

REPRODUKSI GAYA HIDUP SEHAT DALAM IKLAN Endah Muwarni

(endahmurwani@yahoo.com) 609 REBRANDING LABORATORIUM KOMUNIKASI Irwansyah

(ironesyah@gmail.com) 621

PENDIDIKAN DAN KOMUNIKASI INDONESIA

DESAIN KURIKULUM JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN SEBAGAI PROGRAM EDUKASI KEBIJAKAN PUBLIK DI BIDANG PENDIDIKAN

Priadi Surya

(priadisurya@yahoo.com)

(6)

IMK, KOLABORASI ILMU KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Arfive Gandhi

(kasou2005@gmail.com)

649

LITERASI MEDIA DI INDONESIA: KEMIRIPAN DALAM KEBERAGAMAN

Hendriyani

(hendriyani.sos@ui.ac.id) B. Guntarto

(guntarto@gmail.com)

660

MEMBUMIKAN ILMU KOMUNIKASI INDONESIA Ari Harsono

(ariharsono@yahoo.com)

669

MONAS : WAJAH DEWASA KOTA JAKARTA (Analisis Manajemen

Reputasi dalam Pengelolaan Monas sebagai Ikon Negara) Bhernadeta P.W

(bhernadetta@gmail.com)

(7)

524

Konferensi Nasional Komunikasi

“Membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia”

Depok, 9-10 November 2011

AGENSI VIS-À-VIS CLIENT: SIAPA YANG SEHARUSNYA PEGANG KENDALI ATAS PROGRAM INTEGRATED MARKETING COMMUNICATIONS (IMC)?

Helpris Estaswara

Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan Ph. (+62)813-10488088 | E-mail: the.estaswara@yahoo.com

ABSTRAK

Tinjuan atas berbagai literatur mengungkapkan bahwa agensi iklan merupakan pihak yang sangat berkepentingan dalam pengembangan IMC (Integrated Marketing Communications), yang di awali dari menurunnya budget iklan dari klien sekitar dekade tahun 1990-an di Amerika Serikat. Hal ini diakibatkan karena maraknya pengelolaan database penjualan yang berbasis komputer sejak era 70-80-an, yang melahirkan apa yang disebut dengan strategi

“hard selling” dalam komunikasi pemasaran di mana sales promotion, personal selling dan direct marketing menjadi elemen utamanya. Lahir kemudian kebutuhan atas komunikasi yang terintegrasi, yang awalnya hanya dirumuskan sebatas promotion mixed. Berangkat dari pemahaman ini, muncul kemudian jargon-jargon IMC yang lahir dari agensi iklan, seperti whole egg (Young & Rubicam) dan orchestration (Ogilvy and Mather). Namun, perkembangan pemikiran IMC telah mengarahkan pemahaman integrasi yang tidak hanya sebatas “integrasi eksternal”, namun meliputi juga “integrasi internal” dalam kerangka IMC sebagai proses bisnis (Next generation of IMC). Berangkat dari pemahaman bahwa integrasi internal lebih penting, di sisi lain, IMC lahir dan berkembang dari kebutuhan agensi iklan untuk mempertahankan eksistensinya, maka tulisan ini memiliki dua tujuan utama, yaitu; pertama, untuk membahas siapa yang seharusnya memegang kendali atas program IMC, agensi iklan ataukah client (perusahaan). Kedua, mengingat juga bahwa pemikiran IMC yang berkembang di Indonesia saat ini bermuara dari realitas di Amerika Serikat, tulisan ini juga bertujuan menjawab siapa yang seharusnya memegang kendali atas program IMC di Indonesia, dan apakah “Komite Bersama” bisa direalisasikan.

Kata kunci: IMC, Biro iklan, Klien, Kepemimpinan IMC

PENDAHULUAN

Perkembangan pemikiran IMC (Integrated Marketing Communications) modern telah mengarahkan pemahaman pada IMC sebagai proses bisnis yang strategis, lebih dari sekedar proses komunikasi konvensional dalam konteks komunikasi pemasaran. Secara umum, keselarasan ide tentang IMC sebagai proses bisnis yang strategis dapat dilihat dari konseptualisasi atas konstruk IMC yang telah dibangun, baik oleh Schultz dan Schultz (1998), Burnet dan Moriarty (1998), Smith et. al. (1999), Duncan (2002) dan Kliatchko (2005) (Estaswara 2008a, 2008b). Pemahaman IMC seperti ini, bagaimanapun juga akan menimbulkan dampak di sisi lain. Logika sederhananya, jika IMC telah diletakkan sebagai proses bisnis yang strategis (Schultz & Schultz, 2004:20-21), konsekuensinya, mau tidak mau akan mengarah pada penyelarasan menejemen perusahaan (Estaswara, 2010:64-65). Dengan demikian, jelaslah bahwa pemikiran ini akan melibatkan peran serta aktif seluruh bagian perusahaan dalam pengimplementasian IMC.

(8)

525

Konferensi Nasional Komunikasi

“Membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia”

Depok, 9-10 November 2011

lingkungan pemasaran akibat digital revolution yang melahirkan database management di dekade era 80-an. Di satu sisi, biro iklan ingin mempertahankan status quo atas traditional advertising—atau yang sering dikenal dengan sebutan above-the-line— namun di sisi yang lainnya, dengan adanya database management, perusahaan mulai banyak melakukan kegiatan below-the-line yang lebih bersifat hard-selling, karena efektivitasnya lebih dapat diukur melalui bantuan komputer (Schultz, 2010:14). Merespon kondisi ini, biro iklan akhirnya

membangun konsep “one-stop shopping agency” guna menyelaraskan program above-the-line dengan below-the-line dalam kerangka IMC (Schultz & Schultz, 2004:8).

Berangkat dari uraian di atas, isu utama yang muncul kemudian adalah siapa yang seharusnya menjalankan fungsi kepemimpinan dalam proses pengimplementasian IMC. Berdasarkan hasil penelitian di Korea Selatan yang dilakukan oleh Kim et. al., (2004), teridentifikasi bahwa “pertarungan” antara agensi iklan vis-á-vis perusahaan masih mengemuka. Menurutnya, agensi iklan dan kliennya berada dalam pertempuran guna merebutkan kontrol dan kekuasaan atas pengimplementasian program IMC. Jika program IMC dijalankan di bawah kontrol agensi iklan, perusahaan akan kehilangan kontrol atas elemen komunikasi pemasaran. Situasi ini menjadi hambatan yang serius dalam pengimplementasian IMC di Korea Selatan.

Jika diperluas dengan mencermati kembali berbagai hasil studi lainnya terkait dengan isu kepemimpinan IMC, ada yang menemukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan di antara kedua kelompok tersebut mengenai isu kontrol atas program IMC. Sebagai contoh, dalam sebuah studi di Selandia Baru, pihak perusahaan (klien) merasa harus memiliki peran sentral dalam mengkoordinasikan berbagai aktivitas komunikasi dalam IMC di mana terdapat 87% responden yang mendukung pandangan ini. Walaupun memang, dukungan terhadap klien sebagai central IMC masih kurang di antara responden agensi iklan, di mana ada dua pertiga yang setuju bahwa klien seharusnya melakukan fungsi kontrol. Namun demikian, secara umum hasil ini mengarah pada perusahaan sebagai central dari pengimplementasian IMC, yang berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan di Korea Selatan. Menariknya lagi, hasil penelitian lainnya di negara-negara yang berbahasa Inggris, ditemukan adanya arogansi agensi iklan. Biro iklan cenderung melihat dirinya sebagai “general contractor”, yang bertanggungjawab penuh atas keseluruhan aktivitas integrasi komunikasi pemasaran (Eagle, et. al., 1999:107-108).

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Hasil studi saya pada tahun 2007 menunjukkan adanya kesepakatan untuk bekerjasama di antara keempat kelompok profesi yang digunakan sebagai sampel yang merepresentasikan profesional dari perusahaan dan biro iklan. Tidak teridentifikasi adanya arogansi agensi iklan maupun perusahaan atas kontrol program IMC. Dengan demikian, fakta “pertarungan” antara agensi (iklan) vis-a-vis perusahaan tidak ditemukan dalam studi saya. Mayoritas responden umumnya berpandangan untuk membentuk

sebuah “Komite Bersama” guna mengontrol keseluruhan program IMC yang dijalankan

perusahaan (Estaswara, 2008a:131-132).

Bicara masalah siapa yang harus pegang kendali atas program IMC, apakah perusahaan (klien) ataukah biro iklan, sampai saat ini masih menjadi isu penting dalam IMC. Hal ini terbukti dari berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan di banyak negara di atas. Di satu sisi, hasil penelitian menunjukkan bahwa agensi iklanlah yang harus menjadi leader dalam implentasai IMC, namun di sisi lain, hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang seharusnya memepegang kendali atas program IMC, dan menariknya lagi, di Indonesia, hasil penelitian mengungkapkan bahwa semua pihak harus memegang kontrol atas program

(9)

526

Konferensi Nasional Komunikasi

“Membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia”

Depok, 9-10 November 2011

iklan. Di samping itu, belajar dari pengalaman yang terjadi di Amerika Serikat, bagaimana seharusnya yang memiliki kontrol atas program IMC di Indonesia.

KAJIAN LITERATUR Dilema Biro Iklan dan Lahirnya IMC

Di era yang dikenal dengan nama promotional mix pada awal dekade 80-an, di mana muncul kebutuhan terhadap sales promotion, advertising, dan public relations, generasi baru strategi komunikasi mulai lahir. Elemen-elemen komunikasi yang bersifat hard-selling mulai diintegrasikan sebagai cara untuk memengaruhi perilaku pelanggan dan prospect dalam situasi pasar yang semakin unpredictable. Hal ini diawali dari digital revolution yang telah membuat database konsumen menjadi mungkin untuk dilakukan—databesed management ini pada mulanya dikembangkan di Harvard University. Akibatnya, kegiatan komunikasi pemasaran yang bersifat below-the-line dengan prinsip hard-selling menjadi trend saat itu. Di sisi lain, biro iklan yang ingin tetap mempertahankan status quo-nya, mengalami situasi dilematis. Budget klien telah bergeser dari above-the-line (traditional advertising) ke below-the-line dengan memanfaatkan elemen-elemen promotion mix, seperti sales promotion, event public relations, direct marketing dan personal selling. Teknik-teknik baru dalam promosi kemudian juga mulai lahir, seperti discounts, contests, dan pemberian insentif lainnya, dengan tujuan untuk meningkatkan penjualan dalam jangka pendek (Schultz & Schultz, 2004:6-7).

Menyikapi kondisi ini, pada awalnya para praktisi biro iklan—khususnya para manager dan direkturnya—mengganggap bahwa upaya-upaya below-the-line yang berfokus pada penjualan secara cepat (short-term), hanya akan mengurangi nilai atas citra merek.

Istilah “below-the-line” pun muncul pada saat itu sebagai bentuk “ejekan” dari para pekerja iklan terhadap kegiatan komunikasi yang bersifat hard-selling. Kemudian, muncul pula istilah

“above-the-line” yang digunakan untuk (traditional) advertising yang memberikan nilai tambah (value added) terhadap kegiatan bisnis dan pemasaran dengan cara membangun citra merek dalam jangka panjang. Namun demikian, faktanya bentuk-bentuk baru promosi penjualan tersebut ternyata terbukti memberikan sumbangan yang signifikan terhadap pemasaran, mengingat program below-the-line lebih terukur dan secara cepat dapat memberikan solusi atas persoalan bisnis, yaitu sales and profit. Tak mengherankan jika kemudian banyak perusahaan yang mengalihkan budget advertising-nya ke program hard-selling (Schultz &Schultz, 2004:7; Schultz, 2010:14).

Lingkungan bisnis terus berubah dan menantang metode-metode pemasaran dan promosi lama. Walaupun perubahan pada dasarnya diperlukan, tetapi karena kesuksesan yang diperolehnya di era mass marketing atau era traditional advertising sebelumnya, banyak perusahaan menjadi resisten terhadap perubahan. Inilah kondisi pasar yang berkembang pesat saat itu, di mana paradigma pemasaran telah berubah dan munculnya media alternatif baru yang kesemuanya ini melatarbelakangi lahirnya IMC pada dekade pertengahan sampai akhir 1980-an.

Pada awalnya, IMC bukan suatu model bisnis yang menjadi kebutuhan perusahaan. Sebagian besar saat itu mereka masih puas dengan cara-cara lama. Sebaliknya, minat terhadap IMC pada awalnya datang dari biro iklan. Sebelumnya, mayoritas perusahaan, khususnya perusahaan consumer-product, memang berinvestasi di media iklan tradisional, seperti koran, majalah, outdoor, radio, dan televisi, di mana biro iklan mendapatkan banyak uang komisi dari pembelian berbagai media tersebut. Inilah kondisi keemasan biro iklan.

(10)

527

Konferensi Nasional Komunikasi

“Membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia”

Depok, 9-10 November 2011

Dengan maraknya upaya-upaya kuantifikasi pemasaran dan komunikasi (database marketing) tersebut, para retailer kemudian menggunakannya untuk mengumpulkan data konsumen dan perilaku pembeliannya serta berbagi data tersebut dengan para produsen yang menjual produknya di supermarket. Kuantifikasi ini akhirnya membuat program-program sales promotion dan direct marketing menjadi lebih efektif secara bisnis karena terukur dengan jelas (Schultz, 2010:14).

Ini adalah situasi dilematis yang dirasakan oleh banyak biro iklan di Amerika Serikat setelah masa-masa keemasannya. Dengan munculnya teknik kuantifikasi pemasaran dan komunikasi yang berbasis komputer, anggaran klien kemudian bergeser dari traditional advertising ke arah sales promotion. Fakta ini disadari akan berakibat pada penurunan pendapatan, jika biro iklan tidak bisa menangkap peluang di era digital. Menanggapi masalah ini, biro iklan dihadapkan pada dua pilihan, membangun unit bisnis atau mengakuisisi agensi

“below-the-line”. Dari sinilah pertama kali biro iklan di Amerika Serikat mulai menawarkan berbagai macam kebutuhan komunikasi pemasaran bagi para kliennya, yang dikenal dengan

“one-stop shopping agency (Schultz & Schultz, 2004:8; Eppes, 1999:28-38), atau full service agency.

Konsep “one-stop shopping agency” ini merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh biro iklan ketika menawarkan semua kebutuhan promosi kepada kliennya. Biro iklan dengan cepat berusaha untuk mengembangkan keahlian baru, baik di bidang sales promotion, direct marketing, dan public relations, atau dengan cara singkat, yaitu mengakuisisi perusahaan iklan below-the-line yang memang sudah memiliki kemampuan ini. Motivasi utama biro iklan menggabungkan jasa above-the-line dengan below-the-line ini adalah untuk menjaga aliran budget klien agar tetap masuk dalam pundi-pundi penghasilannya sehingga tidak berpindah ke agensi yang memang menawarkan jasa below-the-line. Muncul kemudian konsep-konsep baru yang lahir dari biro iklan, seperti Young & Rubicam dengan pendekatan

“whole egg” atau Ogilvy & Mather yang menawarkan “orchestration” kepada para kliennya. Dua biro iklan besar tersebut mencoba untuk memberikan model baru dengan mengusung

konsep “integrasi” (Schultz & Schultz, 2004:8).

Berangkat dari uraian di atas, bagaimanapun juga IMC mengawali karirnya dengan dilematis. Di satu sisi, ingin tetap mempertahankan status quo, namun di sisi lain, biro iklan harus mengembangkan kemampuan barunya terkait dengan kegiatan below-the-line untuk melindungi billing-nya. Lahirlah kemudian konsep “koordinasi” semua elemen komunikasi pemasaran, baik yang bersifat below-the-line maupun si status quo—above-the-line. Awalnya muncul banyak keraguan terhadap konsep ini dan banyak juga yang beranggapan bahwa

“program komunikasi yang terkoordinasi” untuk klien yang dirancang oleh biro iklan tersebut telah ditakdirkan untuk gagal. Perusahaan klien kemudian ditawarkan untuk menjadi “tikus

percobaan” bagi konsep baru ini. Di sisi lain, perusahaan klien ternyata tidak melihat alasan rasional mengapa mereka harus mengkonsolidasikan berbagai program komunikasi pemasaran pada satu agensi iklan dan meninggalkan hubungannya dengan para spesialis below-the-line yang sudah terbukti kemampuannya. Sedangkan ide “one sight, one sound” saat itu hanya menjadi trend di kalangan biro iklan yang bertipe “one-stop shopping”, dan tidak banyak diminati perusahaan karena mereka percaya bahwa terlalu banyak yang dipertaruhkan untuk mendukung perubahan atas status quo yang selama membuatnya sukses. Sebuah studi awal atas potensi IMC menemukan bahwa “one sight, one sound” bisa menjadi model komunikasi pemasaran baru yang efektif, jika inisiatifnya muncul dari perusahaan, bukan dari biro iklan (Schultz & Schultz, 2004:9).

Siapa Pemegang Kendali Program IMC?

(11)

528

Konferensi Nasional Komunikasi

“Membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia”

Depok, 9-10 November 2011

fungsi kontrol IMC yang harus atau seharusnya berada pada tataran top management perusahaan. Pandangan ini diperkuat dengan laporan sebuah survei terhadap para praktisi iklan di Amerika Serikat yang pernah dilakukan oleh McArthur dan Griffin (1997:25). Hasil survei ini menemukan bahwa arah aktivitas komunikasi pemasaran pada dasarnya bersifat internal dan merupakan isu pada level top management.

Lebih lanjut, terkait dengan hubungan antara perusahaan dan agensi iklannya dalam proses implementasi IMC, laporan studi dari American Productivity and Quality Center (Estaswara, 2008a:104), juga mengemukakan sebuah temuan penting. Menurutnya, perusahaan itu sendirilah yang seharusnya bertanggungjawab atas proses integrasi dari pada agensi iklannya. Selaras dengan pemahaman ini, temuan lain juga menyatakan bahwa integrasi tidak dapat didasarkan pada kebijakan formal dan prosedural, karena memerlukan komunikasi interpersonal yang lintas-fungsi pada top level management perusahaan, yang mampu melintasi berbagai unit bisnis dan juga dengan beragam supplier eksternal.

Sebuah survei terhadap eksekutif agensi yang dilakukan oleh Kitchen dan Schultz pada tahun 1999 juga menemukan jawaban mengenai dukungan agensi iklan kepada perusahaan terkait dengan persoalan kepemimpinan program IMC. Agensi iklan—terlepas sebagus apapun skill dan kemampuannya—pada dasarnya tidak akan pernah mampu mengintegrasikan program komunikasi pemasaran dari kliennya, kecuali dipimpin oleh sang klien sendiri. Survei lainnya yang telah dilakukan oleh Low (2000:36) terhadap manajer pemasaran senior di perusahaan juga menghasilkan satu temuan yang sama. Menurutnya, pihak klienlah yang seharusnya memegang tanggungjawab penuh terhadap arah dan perencanaan strategis yang merupakan pondasi dasar dari program integrasi komunikasi.

IMC, seharusnya di mulai dari perusahaan yang mampu melihat ‘big picture’ dan memahami peran komunikasi dalam semua strategi pemasarannya. Bukannya diserahkan pada biro iklan!

Berangkat dari hasil berbagai studi di atas, jelas terdapat persamaan pandangan bahwa perusahaan lebih baik jika menjadi pemimpin dalam program IMC dari pada biro iklannya. Namun, berdasarkan tinjuan atas berbagai literatur, tidak ditemukan adanya kesepakatan umum mengenai bagian atau departemen apa yang seharusnya memimpin implementasi IMC dalam perusahaan. Di sisi lain, menurut Pettegrew (2000), faktor yang menghambat implementasi IMC dalam perusahaan adalah kurangnya dukungan CEO, di samping persoalan struktur dan budaya perusahaan yang tidak sesuai dengan karakter IMC. Pattegrew kemudian menyatakan bahwa kurangnya dukungan CEO membuat IMC hanya akan diimplementasikan secara operasional yang akhirnya hanya membuat IMC tidak dapat dijalankan secara efektif. Pemikiran Pattegrew di atas diperkuat oleh Sheehan dan Doherty (2001:49) yang menyatakan bahwa isu tentang sentralisasi dalam pengelolaan manajemen, bersamaan dengan terdapatnya

‘perang teritorial’ antar bagian di perusahaan telah menjadi penghalang utama dalam pengimplementasian IMC (Moriarty, 1994). Sehingga, sasaran utama yang mutlak perlu dipengaruhi dalam proses pengadopsian IMC adalah CEO, yang kemudian baru diteruskan kepada pejabat-pejabat di top-management lainnya.

Berdasarkan hasil dari berbagai survei tentang kepemimpinan IMC yang telah dilakukan di atas, ide bahwa keterlibatan top management sangat dibutuhkan dalam proses pengimplementasian IMC, sudah banyak buktikan. Dukungan tidak hanya datang dari akademisi, tetapi juga datang dari praktisi. Namun demikian, pada kenyataannya teridentifikasi kuat bahwa keterlibatan top management masih rendah. Sementara itu, pemahaman bahwa biro iklan adalah pihak yang harus mengendalikan program IMC juga masih mengemuka (Estaswara, 2008a:106). Di sisi lain, tidak ada satupun literatur hasil penelitian yang menunjukan bahwa kepemimpinan program IMC harus dilakukan dengan

(12)

529

Konferensi Nasional Komunikasi

“Membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia”

Depok, 9-10 November 2011

State of the Art Konsep IMC

Seperti yang telah kita ketahui bersama, IMC pada awalnya memang hanya berbicara tentang koordinasi dari semua elemen komunikasi pemasaran. Fakta atas konvergensi teknologi informasi dan munculnya pemikiran tentang IMC tersebut, akhirnya menciptakan perubahan besar di dunia periklanan Amerika Serikat pada akhir dekade 1980-an. Agensi iklan mulai menyatukan jasa layanannya melalui layanan one-stop-shopping dengan cara akuisisi atau konsolidasi. Seperti yang kita ketahui, kini mereka dapat memberikan pelayanan kepada kliennya mulai dari direct marketing, public relations sampai promosi, tidak hanya sekedar iklan (Eppes, 1999:28-38).

Setelah era “IMC adalah koordinasi”, Schultz dan Schultz kemudian membangun konsepsinya tentang IMC yang mampu keluar dari sekedar “koordinasi taktis atas berbagai elemen promosi” dengan mengajukan perubahan fokus pemikiran menuju “IMC sebagai sebuah proses bisnis”. Gagasannya tersebut dipercayai mampu menjawab tantangan lingkungan bisnis dewasa ini dan lingkup IMC di masa-masa mendatang. Pemikiran ini disebut sebagai the next generation of IMC (Scultz & Schultz, 2004:19-22).

IMC generasi baru adalah sebuah konsep yang terkait dengan kebutuhan-kebutuhan baru dalam organisasi yang berfokus pada pelanggan di pasar modern. Berangkat dari gagasan tersebut, Schultz dan Schultz kemudian mengajukan sebuah definisi IMC yang dibanguan berdasarkan dari berbagai riset yang pernah dilakukannya ataupun dari berbagai pengalaman perusahaan yang sudah mengimplementasikan IMC. Schultz dan Schultz mendefinisikan IMC generasi barunya ini sebagai berikut (1998:18): “Suatu proses strategis dalam bisnis yang digunakan untuk merencanakan, membangun, mengeksekusi, dan mengevaluasi pengkoordinasian, pengukuran, persuasi program komunikasi merek sepanjang waktu dengan konsumen, pelanggan, prospek, dan sasaran lain, khalayak internal dan eksternal yang relevan.” (Estaswara, 2008a:63).

Perbedaan signifikan pemikiran Schultz dan Schultz yang tertuang dalam definisinya ini di banding dengan para pemikir lainnya adalah fokusnya pada proses bisnis. Definisi ini lebih melingkupi seluruh spektrum konsep yang terkait dengan IMC. Definisi IMC ini merupakan definisi pertama yang berfokus pada strategi. Sebuah strategi komunikasi pemasaran yang secara jelas terkait dengan misi, visi, dan kebutuhan perusahaan, namun berhubungan sejajar dengan misi, nilai, dan kebutuhan merek. Pada kedua tingkatan ini, para eksekutif perusahaan membutuhkan penciptaan resonansi dan konsonansi dalam konteks brand identity. Lebih lanjut, definisi tersebut juga memiliki pemahaman yang lebih jauh tentang program komunikasi merek di banding dengan pandangan tradisional, menuju pada semua contact point antara perusahaan, merek dan pelanggannya. Terkait dengan gagasannya tentang khalayak internal dan eksternal yang relevan, menunjukkan bahwa program IMC pada dasarnya merangkul semua publik yang relevan bagi perusahaan dan tidak lagi membatasi IMC hanya sebagai program komunikasi pemasaran yang berfokus pada konsumen. Pemikiran IMC percaya pada pembangunan hubungan yang positif terhadap kebutuhan semua stakeholders di mana usaha ini harus diawali dari komitmen perusahaan. Berangkat dari definisi di atas, Schultz dan Schultz (1998:19-25) kemudian mengidentifikasikan empat tahap pembangunan IMC, sebagai berikut:

Tahap pertama pembangunan IMC pada dasarnya masih berfokus internal atau dapat

(13)

530

Konferensi Nasional Komunikasi

“Membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia”

Depok, 9-10 November 2011

dominasi dan pengawasan perusahaan vis-a-vis prinsip customer-focused.

Tahap kedua, pada tataran minimal, merupakan usaha bisnis untuk secara aktif memperhatikan apa yang ingin dilihat dan didengar oleh pelanggan, kapan, di mana, dan

melalui media apa. Pemikiran ini merepresentasikan prinsip “outside-in communication” yang merupakan langkah utama menuju IMC yang digerakkan oleh pelanggan dan kebutuhannya. Pada tahap ini, perusahaan memiliki kebutuhan yang sangat besar terhadap riset pasar guna mendukung aktivitas pemasaran dan komunikasi pemasarannya. Tahap ini disebut sebagai tahap pembangunan. Hanya pada tahap ketiga dan keempat, integrasi dapat dikatakan telah bergerak melampaui kombinasi dari berbagai elemen promosional secara efektif dan efisien dengan aplikasi strategis atas riset pasar. Perusahaan pada tahap ini telah menginvestasikan sumber-sumber daya informasi yang signifikan guna membangun database pelanggan yang segmented. Jika sumber daya komunikasi telah diinvestasikan dan diukur sesuai dengan perilaku aktual pelanggan, financial returns dapat peroleh. Sehingga, dapat dikatakan bahwa tahap ketiga dan keempat merupakan langkah dari pengukuran sikap menuju pada pengukuran tindakan (Schultz & Schultz, 2004:28-33).

Ketika perusahaan telah melangkah pada tahap keempat, apakah perusahaan dapat dikatakan sudah berada pada posisi bahwa integrated marketing telah dicapai? Permasalahan utamanya adalah integrated marketing harus didasarkan pondasi di tahap pertama, bukan tahap keempat. Namun, jika perusahaan memutuskan untuk melompati tahapan, yang akan terjadi hanyalah integrasi organisasi, tetapi bukan dari perspektif pelanggan.

METODOLOGI

Dalam tulisan ini, metode kajian literatur digunakan sebagai dasar memahami perkembangan kepemimpinan dalam pengimplentasiaan IMC mengingat awalnya konsep IMC lahir dari biro

iklan dan masih ditemukan hasil studi yang menunjukkan “arogansi” advertising agency terkait dengan fungsi kendali atas program IMC. Di samping itu kajian literatur juga digunakan untuk memahami perkembangan terkini studi-studi tentang IMC dan bagaimana IMC harus dijalankan.

Sumber data utama yang digunakan dalam kajian ini adalah dokumen-dokumen tertulis, seperti jurnal ilmiah dan buku yang memiliki relevansi dengan topik yang diangkat (Cooper, 1988). Sedang jenis penelitiannya bersifat teoritis-analitis yang memiliki tujuan untuk meringkas, mengevaluasi, menggambarkan, mengklarifikasi dan mengintegrasikan (Cooper, 1988; Randolph, 2009) persoalan kepemimpinan dalam program IMC terkait dengan

“perebutan” kontrol antara perusahaan dan biro iklan dan bagaimana seharusnya

penerapannya di Indonesia dengan cara mempelajari realitas yang terjadi di Amerika Serikat, di mana program IMC untuk pertama kalinya lahir, berkembang dan mapan.

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Peran Biro Iklan dalam “Integrasi” Perusahaan

Faktanya IMC lahir dan dikembangkan di Amerika Serikat oleh biro iklan di era 80-an. Namun demikian, banyak literatur yang menunjukkan bahwa biro iklan pada dasarnya tidak akan pernah mampu mengontrol program IMC dari perusahaan klien (Eagle, et. al., 1999; Low, 2000; Swain, 2004; McArthur & Griffin, 1997; Schultz, et. al., 1998; Estaswara, 2008a, 2008b). Memang, jika hanya untuk mengimplementasikan IMC sekedar “koordinasi” atau

(14)

531

Konferensi Nasional Komunikasi

“Membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia”

Depok, 9-10 November 2011

communication), di mana peran teknologi komunikasi hanya sebatas database management atas perilaku pembelian konsumen. Konsepsi IMC seperti ini saya sebut dengan IMC 1.0.

Pemahaman IMC seperti di atas pada dasarnya tidak berbeda dengan pemikiran tradisional atas promotion mix. Bagaimana mengoordinasikan semua elemen-elemen komunikasi, seperti advertising dan public relations (above-the-line), serta sales promotion, personal selling, direct marketing, dan public relations events (below-the-line) sehingga menghasilkan keselarasan brand image, atau yang dikenal dengan “one sight, one sound”. Pada hal, IMC “yang sebenarnya” lebih dari itu. IMC harus bersifat two-way communications mengingat bahwa hari ini teknologi komunikasi telah berkembang pesat, yang menyebabkan

maraknya “new media” yang bersifat interaktif dan asynchronous, serta telah merubah perilaku konsumen menjadi semakin kritis dan demanding. Kondisi ini membuat traditional advertising bukan lagi menjadi pilihan utama bagi konsumen. Konsumen hari ini dan di masa-masa mendatang cenderung akan menggunakan media komunikasi yang disukainya, dan lambat namun pasti mereka sedang meninggalkan media tradisional. Joseph Jaffe dari iMediaConnection menggambarkan fenomena konsumen dalam menggunakan media hari ini

dengan “prime time becoming my time” (Miloski, 2005:18). Kondisi inilah yang kemudian melahirkan kebutuhan atas IMC “yang sebenarnya”, tidak sekedar koordinasi taktis dari semua elemen komunikasi pemasaran eksternal.

Memang, pengertian atas integrasi bukan hanya sekedar pengkoordinasian seluruh elemen promosional akibat dari perkembangan teknologi digital yang semakin menyatu. Pengertian integrasi harus dipahami dengan pola pikir horisontal! Bukan lagi vertikal, struktural dan birokratis seperti yang selama ini terjadi. Masalah integrasi pada dasarnya adalah persoalan penyelarasan perusahaan, inilah isu utamanya (Estaswara, 2008a: 225-226). Kita harus beranjak dari cara pikir lama tentang komunikasi pemasaran. Dunia sudah berubah. Era komunikasi interaktif telah datang. Schultz (Mazur & Miles, 2007:189-192) pernah mengatakan bahwa sebelum dekade 90-an, tidak ada yang membicarakan integrasi. Sekarang, secara praktis tidak ada satu pun perusahaan di dunia ini yang mengatakan bahwa komunikasinya harus disintegrasi. Artinya, kita semua sepakat bahwa integrasi telah terjadi di bidang komunikasi. Pemahaman IMC ini saya sebut dengan IMC 2.0.

IMC 2.0 pada dasarnya bersifat two-way communications, adanya keselarasan komunikasi internal dan eksternal, melibatkan semua stakeholders perusahaan, dan bersifat lintas fungsional (holistic) (Schultz & Kitchen, 1999; Duncan, 2002; Schultz & Schultz, 2004; Kliatchko, 2005, 2008; Estaswara, 2008a, 2008b, 2010). Di samping itu, IMC 2.0 juga harus dipandang sebagai sebuah proses, di mana melibatkan serangkaian dinamika langkah yang progresif dan saling-tergantung, seperti apa yang telah jelaskan oleh Schultz dan Schultz (1998:18-25) melalui empat tahap pembangunan IMC dalam model IMC-nya.

(15)

532

Konferensi Nasional Komunikasi

“Membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia”

Depok, 9-10 November 2011

kepentingan bisnisnya. Terakhir, perusahaan juga harus berinverstasi pada teknologi informasi untuk mulai membangun databese pelanggan dan perilaku pembeliannya (di mana hal ini bisa dilakukan dengan berbasis pada konsep CRM atau Customer Relationship Management), serta membuat basis online communications-nya melalui website. Pembuatan website bisa diserahkan pada biro iklan, namun apakah persoalan database konsumen dapat diserahkan kepada biro iklan? Terlepas dari semua itu, pada tahap pertama proses pembangunan IMC ini, bagaimanapun juga perusahaan tetap harus memegang kendali program IMC, karena tahap pertama merupakan basis untuk melangkah pada tahap yang kedua.

Tahap kedua, mendefinisikan kembali wilayah komunikasi pemasaran. Pergeseran fungsi dan kedudukan komunikasi dalam pemasaran dan bisnis, menyebabkan perlunya untuk diatur kembali wilayah kerja masing-masing. Hal ini juga melingkupi semua fungsi bisnis terkait dengan peran strategis komunikasi dalam pemasaran, yang umumnya disertai dengan adanya restrukturi (rasionalisasi) organisasi yang berbasis pelanggan (customer-based organization) dengan prinsip quick-response organization (flat organization). Pertanyaan mendasar adalah apakah pekerjaan ini mungkin dilakukan oleh biro iklan? Di samping itu, pada tahap yang disebut sebagai outside-in communication ini, perusahaan juga sudah harus mendasarkan program komunikasinya pada kebutuhan pelanggan. Artinya, riset pelanggan menjadi fokus utama guna memperkuat database perusahaan, baik perilaku pembeliannya, psikografisnya, sampai perilaku atas media use dan habit-nya. Biro iklan bukanlah konsultan penelitian pemasaran yang menerima tawaran untuk melakukan riset pelanggan secara kompleks, detil dan komprehensif. Di sisi lain, klasifikasi database perilaku pelanggan

merupakan salah satu “top secret” bagi perusahaan. Berdasarkan database tersebut, perusahaan kemudian mulai memetakan dan merancang brand contact point yang paling efektif, sinergis dan strategis dari semua pilihan channel “new media” komunikasi yang ada. Investasi teknologi informasi telah diarahkan untuk membangun brand contact point. Dengan demikian, pada tahap kedua ini pun, peran “integrasi” yang bisa dilakukan oleh biro iklan semakin terbatas, bahkan fungsinya hanyalah membantu perusahaan, di mana semua kontrol strategi atas program IMC berada sepenuhnya di tangan perusahaan. Inti dari tahap kedua adalah internal support to external activities (Schultz & Schultz, 1998:20-21).

Tahap ketiga, perusahaan harus mengaplikasikan teknologi informasi yang mendukung upaya penciptan loyalitas pelanggan. Pada tahap ini, telah terbangun database pelanggan dan prospek serta efektivitas brand contact point yang mampu memberikan pengukuran atas perilaku pelanggan secara jelas, tepat, dan cepat, yaitu pembelian. Dengan demikian, berbagai program brand communication dalam rangka penguatan loyalitas menuju ekuitas merek dapat didasarkan dari evaluasi yang berbasis teknologi informasi ini (Schultz & Schultz, 1998:21-24). Sedangkan di tahap terakhir adalah integrasi strategis dan finansial. Pada titik ini perusahaan sudah dapat mengevaluasi semua investasi IMC yang dilakukan, di samping mengevaluasi juga efektivitas dan efisiensi keseluruhan program IMC guna merencanakan strategi IMC berikutnya (Schultz & Schultz, 2004:24-25). Pada tahap ketiga dan keempat, yang sangat terkait dengan database pelanggan dan persoalan penjualan serta penghitungan laba perusahaan, peran biro iklan menjadi sangat kecil, bahkan dapat dikatakan tidak ada.

Mungkinkah Merealisasikan “Komite Bersama”?

(16)

533

Konferensi Nasional Komunikasi

“Membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia”

Depok, 9-10 November 2011

2008a:131-132). Bertolak dari uraian pada sub-bab sebelumnya, pertanyaannya kemudian adalah mungkinkah “Komite Bersama” antara biro iklan dan perusahaan direalisasikan dalam pengimplementasian IMC? Tentunya, jawabannya adalah tidak. Mengapa demikian?

Mengutip kembali dari hasil penelitian Swain (2004) yang mengungkapkan hasil bahwa apa yang menjadi keterbatasan konsensus mengenai kepemimpinan IMC muncul dalam kelompok profesi yang terkait dengan bidang komunikasi pemasaran, seperti public relations atau advertising, baik mereka yang bekerja di biro iklan, perusahaan maupun akademik. Lebih lanjut, tidak adanya konsensus umum dalam studi Swain tentang satu pilihan mengenai siapa yang seharusnya memimpin pengimplementasian IMC, demikian juga tidak adanya kelompok profesional yang memberikan dukungan penuh terhadap satu pilihan kepemimpinan, menunjukkan bahwa semua responden hanya berkonsentrasi pada fungsi komunikasi yang harus dijalankannya, sebagai wujud otoritas dari bidang kerjanya atau bidang keprofesiannya.

Kembali juga pada studinya Kim, et al., di Korea Selatan (2004), yang menyatakan bahwa ego dan perang teritori antara perusahaan dan agensi iklan pada dasarnya akan menghambat IMC di Korea Selatan di banding apa yang terjadi di negara-negara lainnya. Mereka menyimpulkan bahwa persoalan koordinasi dan kontrol yang inherent dalam IMC mungkin berbeda karena memang adanya perbedaan karakterisitik sistem institusional yang terdapat di negara diteliti. Mereka percaya bahwa hal ini adalah temuan penting dalam studinya. Di studi lainnya, terutama yang dilakukan di negara yang berbahasa Inggris, menunjukkan bahwa sistem institusionalnya secara umum hampir sama. Lain halnya dengan Korea Selatan dan kemungkinan besar di negara lain yang berbahasa non-Inggris. Temuan Kim, et al., menunjukkan bahwa sistem institusional yang melingkupi sebuah negara menjadi faktor penting dalam penyebaran konsep IMC dan seharusnya dipertimbangkan dalam studi-studi serupa di negara lain.

Mencermati kesimpulan yang diberikan oleh Kim, et al., dari hasil studinya di Korea Selatan, terkait dengan hasil studi saya yang menunjukkan adanya fakta yang berbeda, baik dengan bukti studi di negara yang berbahasa Inggris yang umumnya adalah negara-negara industrial maju maupun di Korea Selatan, pemikiran Kim, et al., mengenai pentingnya untuk memahami perbedaan sistem institusional dan konteks, dapat digunakan untuk

menjawab pertanyaan mengenai fakta “Komite Bersama” yang terjadi di Indonesia.

Perkembangan bisnis di Indonesia dan prakteknya sejak era 1970-an, sebenarnya dibangun di atas kontrol politik Orde Baru (Lihat Kunio, 1990). Memang, pada saat itu, Indonesia membutuhkan percepatan pembangunan ekonomi pasca kepemimpinan Orde Lama. Namun, budaya bisnis akhirnya tidak dapat dilepaskan dari budaya politik, yang sangat berorientasi pada nilai-nilai Jawa. Bagaimana pun juga, hal ini akan mempengaruhi praktek bisnis di Indonesia. Tepo sliro atau “pandangan untuk tidak saling menggangu urusan masing-masing”, telah dipraktekkan menjadi aturan umum yang tidak tertulis, terutama untuk sebuah

“ruang” baru, IMC yang selama ini belum ada rujukan konkrit di Indonesia. Pemikiran ini,

paling tidak dapat menjawab bahwa “pertarungan” antara agensi dengan perusahaan yang menyangkut persoalan “kekuasaan” tertinggi dalam pengimplementasian IMC cenderung

dihindari dengan membentuk suatu “Komite Bersama”.

Namun, konsepsi tentang “Komite Bersama” pada dasarnya menghianati konsepsi

IMC. Seperti yang telah diungkapkan oleh McArthur dan Griffin (1997:25), bahwa arah aktivitas IMC pada dasarnya bersifat internal dan merupakan isu pada level top management. Di sisi lain, mengutip pemikiran IMC dari Schultz dan Schultz (2004) tentang next generation of IMC (IMC 2.0), juga tidak memberikan ruang terbentuknya “Komite Bersama” antara perusahaan dengan biro iklan dalam proses pelaksanaan program IMC. Secara umum,

(17)

534

Konferensi Nasional Komunikasi

“Membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia”

Depok, 9-10 November 2011

(yaitu penghindaran konflik), di sisi lain juga banyak diakibatkan karena ketidakpahaman

tentang konsep IMC “yang sebenarnya”, yang lebih dari sekedar koordinasi atas semua

elemen-elemen komunikasi pemasaran (outbound communications). Terakhir, dengan

dibentukknya “Komite Bersama” akan lebih menguntungkan biro iklan dalam mengontrol alokasi budget (dan ruang itu diberikan melalui solusi ini) dalam proses implementasi IMC di perusahaan.

PENUTUP

Walaupun konsep IMC awalnya dibangun dan ditawarkan oleh biro iklan pada era pertengahan dan akhir 80-an, namun bukan berarti bahwa fungsi kepemimpinan atas proses implementasinya tetap di bawah kendali biro iklan. Perusahaan harus memegang inisiatif dan kontrol atas program IMC di mana keterlibatan top management sangat penting, karena IMC akan selalu melibatkan keselarasan fungsi komunikasi eksternal dan internal dan terkait dengan proses bisnis perusahaan. Terkait dengan kasus Indonesia, dengan munculnya gagasan

untuk membentuk “Komite Bersama” pada dasarnya menunjukkan adanya keterlibatan yang

tinggi biro iklan dalam proses implementasi IMC, baik inisiatif maupun pelaksanaannya. Secara konseptual hal ini jelas bertentangan dengan pemahaman IMC yang modern.

DAFTAR PUSTAKA

Burnett, J. & Moriarty, S. E. (1998). Introduction to Marketing Communications: An Integrated Approach. New York: Prentice-Hall.

Cooper, H. M. (1988). Organizing knowledge synthesis: A taxonomy of literature reviews. Knowledge in Society, Vol. 1:104-126.

Duncan, T. (2002). IMC: Using Advertising and Promotion to Build Brands. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Eagle, L., Kitchen, P. J., Hyde, K., Fourie, W. & Padisetti, M. (1999). Perceptions of integrated marketing communications among marketers & ad agency executives in New Zealand. International Journal of Advertising, Vol. 18(1):89-119.

Estaswara, H. (2008a). Think IMC!: Efektivitas Komunikasi untuk Meningkatkan Loyalitas Merek dan Laba Perusahaan. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Estaswara, H. (2008b). The Implementation Process of IMC (Integrated Marketing Communications) and Its Future Prospect in Business Practice in Indonesia: An Exploratory Comparative Study toward Four Profession Groups. Indonesian Journal of Communication Studies, Vol. 1(1):73-83.

Estaswara, H. (2010). Stakeholder Relationships in Integrated Marketing Communications (IMC): A Theoretical Perspective. CoverAge: Journal of Strategic Communication, Vol. 1(1):61-75.

Eppes, T. E. (1998). Rebirth of an agency: challenges and implications of operating in an IMC environment. Journal of Integrated Marketing Communications (JIMC), Hal. 28–38.

Kitchen, P. J. & Li, T. (2005). Perceptions of integrated marketing communications: a Chinese ad and PR agency perspective. International Journal of Advertising, Vol. 24(1):51-78.

Kitchen, P. J. & Schultz, D. E. (1999). A multi-country comparison of the drive for IMC. Journal of Advertising Research, Vol. 39(1):21-38.

Kitchen, P. J. & Schultz, D. E. (2009). IMC: New horizon/fals down for a marketplace in turmoil? Journal of Marketing Communications, Vol. 15(2-3):197-204.

Kim, I., Han D., & Schultz, D. E. (2004). “Understanding the Diffusion of Integrated

(18)

535

Konferensi Nasional Komunikasi

“Membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia”

Depok, 9-10 November 2011

Kliatchko, J. (2005). Towards a new definition of integrated marketing communications (IMC). International Journal of Advertising, 24(1):7-34.

Kliatchko, J. (2008). Revisiting the IMC construct: A revised definition and four pillars. International Journal of Advertising, 27(1):133-160.

Kunio, Y. (1990). Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.

Low, G. S. (2000). Correlates of integrated marketing communications. Journal of Advertising Research, Vol. 40(1/2):27-39.

Mazur, L. & Milles, L. (2007). Percakapan dengan Para Master Pemasaran. Kinanti S. (Pentj.). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

McArthur, D. N. & Griffin, T. (1997). A marketing management view of integrated marketing communications. Journal of Advertising Research, Vol. 37(5):19–26.

Misloski, W. (2005). “Marketing Neo-Renaissance: An Opportunity for Tommorow’s Multi

-Channel Integrated Marketer.” Journal of Integrated Marketing Communications (JIMC), Hal. 17-25.

Moriarty, S. E. (1994). PR and IMC: the benefits of integration. Public Relations Quarterly, Vol. 39(3):38-44.

Pettegrew, L. S. (2000). “If IMC is So Good, Why Isn't It Being Implemented?: Barriers to IMC Adoption in Corporate America.” Journal of Integrated Marketing

Communications, Hal. 29-37.

Randolph, J. J. (2009). A Guide to writing the dissertation literature review. Practical Assessment, Research & Evaluation (A peer-reviewed electronic journal), Vol. 14(13):1-13.

Schultz, D. E. (2010). New, Newer, Newest: Evolving Stages of IMC. Journal of Integrated Marketing Communications (JIMC), Hal. 14-21.

Schultz, D. E. & Kitchen, P. J. (1997). Integrated marketing communications in US advertising agencies: an exploratory study. Journal of Advertising Research, Vol. 37(5):7–17.

Schultz, D. E. & Schultz, H. F. (1998) Transitioning marketing communication into the twenty-first century. Journal of Marketing Communications, Vol. 4(1):9-26. Schultz, D. E. & Schultz, H. F. (2004). IMC Next Generation. New York: McGraw-Hill. Sheehan, K. B., & Doherty, C. (2001). “Re-Weaving the Web: Integrating Print and Online

Communications.” Journal of Interactive Marketing, Vol. 15(2):47-59.

Smith, T.M., Gopalakrishna, S. & Chaterjee, R. (2006). A three-stage model of integrated marketing communications at the marketing–sales interface. Journal of Marketing Research, Vol. 43(4):564-579.

Swain, W.N. (2004). Perceptions of IMC after a decade of development: who’s at the wheel,

Referensi

Dokumen terkait

Maka dalam langkah define hal pertama yang harus dilakukan dalam penelitian ini agar dapat menemukan masalah-masalah yang terjadi pada konveksi Cindy Garment yaitu

Penting sebuah organisasi untuk memiliki budaya yang kuat adalah akan memberikan kesetiaan yang lebih besar dari pada karyawan dalam organisasi yang memiliki budaya

Berdasarkan penelitian tindakan kelas yang telah dilakukan bahwa terdapat peningkatan kemampuan guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran serta adanya

• Mrpkn suatu skala penilaian yg dilakukan pd pasien stroke utk melihat kemajuan hsl perawat fase akut (akibat impairment).. • Penilaian dilakukan2 kali yaitu saat masuk

1) Yoga selama hamil dapat meringankan edema dan kram yang sering terjadi pada bulan terakhir kehamilan, membantu posisi bayi dan pergerakan,meningkatkan sistem

Hasil penelitian Gerungan (2016) melaporkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Intra Uterine Fetal Death (IUFD) Di RS UP Prof Dr.R.D.Kandou Manado didapatkan

Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian selaras dengan hipotesa (Ha), yaitu ada pengaruh yang signifikan motivasi belajar intrinsik

Unsur kerumitan ( complexity ), dalam karya ini berupa dua bagian yaitu dudukan dan badan lampu yang dikombinasikan menjadi satu kesatuan yang utuh dan