BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendahuluan Pilar Jembatan
Pilar jembatan merupakan struktur yang memberikan dukungan vertikal untuk
rentang di antara dua poin.Pilar jembatan memiliki dua fungsi utama yaitu; mentransfer
beban bangunan atas vertikal ke pondasi dan menahan kekuatan horisontal yang bekerja
pada jembatan. Meskipun pilar secara umum dirancang untuk menahan beban vertikal,
lebih dari pada itu pilar juga didesain untuk menahan beban lateral tinggi disebabkan
oleh peristiwa seismik. Bahkan untuk beberapa daerah seismik yang rendah, biasanya
perencanajuga memperhitungkan aspek daktilitas desain terhadap gempa.Pilar
merupakan bagian dari jembatan yang dibangun menggunakan beton bertulang. Untuk
kondisi tertentu biasanya material bajajuga digunakanuntuk sebagai pilar. Material baja
yang didesain berbentuk silinder yang kemudian diisi campuran beton disebut dengan
struktur komposit digunakan juga sebagai pilar jembatan atau pun kolom dari suatu
struktur bangunan (Chen, 2000).
Pilar atau pier biasanya digunakan sebagai istilah umum untuk semua jenis
substruktur terletak antara rentang horizontal dan pondasi. Namun, dari waktu ke waktu,
juga digunakan terutama untuk dinding yang solid dalam rangka untuk membedakannya
dari kolom atau bents. Dari sudut pandang struktural, kolom adalah anggota yang menolak gaya lateral terutama oleh aksi lentur sedangkan pilar adalah anggota yang
menolak gaya lateral terutamadengan mekanisme geser. Sebuah pilar yang terdiri dari
beberapa kolom sering disebut bentsAda beberapa cara untuk mendefinisikan jenis pilar. Salah satunya adalah dengan konektivitas struktural ke bangunan atas Gambar 2.1
monolitik atau kantilever. Lain adalah dengan penampangnya Gambar 2.2 padat atau
berongga, bulat, segi delapan, heksagonal, atau persegi panjang. Hal ini juga dapat
dibedakan dengan konfigurasi framingnya; bengkok pilar tunggal atau ganda, martil
Gambar 2.1 Bentuk typical cross-sectionpilar untuk overcrossings atau viaducts di darat (Chen, 2000)
Gambar 2.2 Bentuk typical cross-sectionpilar untuk sungai dan penyeberangan jalur air (Chen, 2000)
2.2 Pemilihan Kriteria Pilar Jembatan
Pemilihan jenis pilar untuk jembatan harus didasarkan pada fungsional,
struktural, danpersyaratangeometris. Estetika juga merupakan faktor yang sangat
penting didalam pemilihan kriteria sejakjembatan jalan raya di era modernmerupakan
bagian dari lanskap kota. Gambar 2.1 menunjukkan koleksi khas bentuk cross section
untukovercrossings dan viaducts di darat dan Gambar 2.2 menunjukkan beberapa
bentuk bagian khas jembatan untukpilar sungai dan penyeberangan jalur air. Seringkali,
jenis atau bentuk pilarbiasanya ditentukan oleh instansi pemerintah atau pihak swasta
seperti PTPN dalam hal ini pemilik struktur jembatan. Di beberapa negara biasanya
Bentuk pilar berdinding padat, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3 dan
2.4, yang sering digunakan di perlintasan air dapat didesain untuk proporsi yang baik,
ramping dan efisien. Bentuk-bentuk seperti ini memberikan resistensi minimal terhadap
aliran banjir.Hammerhead pilar, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3.b, sering
ditemukan di daerah perkotaan di mana keterbatasan pada ruang sering terjadi.
Pilar-pilar tersebut digunakan untuk mendukung gelagar baja atau beton pratekan
pracetaksuperstruktur. Mempunyai nilai estetika yang menarik. Umumnya pilar tersebut
memerlukan ruang yang sedikit, sehingga memberikan ruang lainnya untuk lalu lintas di
bawahnya (Chen,2000).
Gambar 2.4 Jenis pilar dan konfigurasi untuk penyeberangan sungai dan jalur air (Chen, 200)
Sebuahkolom pilar bents terdiri dari balok dan kolom topi pendukung membentuk bingkai. Kolompilar bents, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3.c dan Gambar 2.5, dapat digunakan untuk mendukung gelagar bajabangunan atas atau
digunakan sebagai pilaruntuk konstruksi yang cor ditempat.Kolom pilar dapat berupa
bentuk lingkaran atau empat persegi panjang. Bentuk pilar tersebut adalah bentuk yang
paling populerdi sistem jalan raya modern.Sebuah pilar dengan perpanjangan tumpuan
terdiri dari poros yang dibor sebagai dasar dan kolom melingkar diperpanjangdari poros
untuk membentuk substruktur. Keuntungan yang jelas dari jenis pilar ini adalah bahwa
hal itu menempatijumlah minimal ruang. Pelebaran jembatan yang ada dalam beberapa
kasus mungkin memerlukan tumpuan ekstensi karena ruang terbatas menghalangi
penggunaan jenis lain dari pondasi.
Dalam menyeleksi jenis pilar yang tepat tergantung pada banyak faktor.
Pertama-tama, itu tergantung pada jenissuprastruktur. Misalnya, baja girder
superstruktur biasanya didukungoleh kantileverpilar, sedangkan cor dtempat
pierdisukai pada jembatan penyeberangan sungai,hal ini disebabkan kekhawatiran jika
sampah menyangkut dipilar jembatan. Bents ekstensi biasanya digunakan pada jembatan slab. Terakhir, ketinggian pilar juga menentukan jenispemilihan pilar. Bentuk pilar
tinggi sering membutuhkan penampang berongga untuk mengurangi berat badandari
substruktur. Hal ini kemudian mengurangi tuntutan beban pada pondasi mahal.
Gambar 2.5 Jenis pilaruntuk Jembatan Beton
2.3 Konsep Perencanaan Struktur Tahan Gempa
Indonesia yang diantara 4 lempeng benua merupakan salah satu negara
dikawasan rawan gempa. Akibat gempa yang sering terjadi mengakibatkan struktur
bangunan yang ada mengalami pergerakan secara vertikal maupun secara lateral.
Sehingga dalam perencanaan perhitungan struktur bangunannya harus menggunakan
faktor keamanan yang cukup aman untuk menahan gaya vertikal daripada gaya gempa
lateral. Gaya gempa lateral langsung bekerja pada bagian-bagian struktur yang tidak
kuat sehingga menyebabkan keruntuhan elemen struktur.
Dalam merencanakan struktur jembatan beton yang harus diperhitungkan adalah
struktur tersebut, seperti beban gravitasional dan beban lateral. Beban gravitasi adalah
beban mati struktur sendiri dan beban hidup, sedangkan yang termasuk beban lateral
adalah beban angin dan beban gempa.
Mengacu kepada kode perencanaan bangunan tahan gempa amerika UBC 1997
perencanaan desain struktur bangunan tahan gempa adalah untuk mencegah terjadinya
kegagalan pada setiap elemen struktur dan timbulnya korban jiwa. Tiga kriteria yang
harus dipenuhi adalah:
1. Ketika terjadi gempa kecil, tidak terjadi kerusakan sama sekali,
2. Ketika terjadi gempa sedang, diperbolehkan terjadi kerusakan arsitektural
tetapi bukan merupakan kerusakan struktural,
3. Ketika terjadi gempa kuat, diperbolehkan terjadinya kerusakan struktural
dan nonstruktural, namun kerusakan yang terjadi tidak sampai menyebabkan
bangunan runtuh.
Jadi, dalam perencanaan struktur bangunan tahan gempa harus diperhitungkan
efek dari gaya lateral yang bersifat siklis (bolak-balik) yang dialami oleh elemen
struktur selama terjadinya gempa bumi. Agar struktur dapat memikul gaya lateral yang
terjadi, maka diperlukan beberapa kriteria seperti daktilitas yang memadai di daerah
joint dan penggunaan elemen struktur yang tahan gempa. Oleh karenanya didalam
merencanakan suatu struktur dapat dilakukan dengan mengetahui skenario keruntuhan
dari struktur tersebut dalam memikul beban-beban ekstrim yang bekerja.
Pelaksanaan konsep desain kapasitas struktur adalah memperkirakan urutan
kejadian dari kegagalan suatu struktur berdasarkan beban maksimum yang dialami
struktur. Sehingga kita merencanakan bangunan dengan elemen-elemen struktur tidak
dibuat sama kuat terhadap gaya yang direncanakan, tetapi ada elemen-elemen struktur
atau titik pada struktur yang dibuat lebih lemah dibandingkan dengan yang lain dengan
harapan di elemen atau titik itulah kegagalan struktur terjadi pada saat beban gempa
maksimum bekerja (Wibisono, 2008).
Berdasarkan hal tersebut, perencanaan struktur dapat direncanakan dengan
maksimum yang bekerja. Pelaksanaan konsep desain kapasitas struktur adalah
memperkirakan urutan kejadian dari kegagalan suatu struktur berdasarkan beban
maksimum yang dialami struktur. Sehingga kita merencanakan bangunan dengan
elemen-elemen struktur tidak dibuat sama kuat terhadap gaya yang direncanakan, tetapi
ada elemen-elemen struktur atau titik pada struktur yang dibuat lebih lemah
dibandingkan dengan yang lain dengan harapan di elemen atau titik itulah kegagalan
struktur terjadi pada saat beban gempa maksimum bekerja.
Berdasarkan konsep mekanisme keruntuhan ini, pertama kali terbentuk sendi
plastis pada struktur balok, baru pada tahap-tahap akhir plastis terjadi pada ujung-ujung
bawah kolom (strong column weak beam). Hal ini dimaksudkan agar sejumlah besar sendi plastis yang terjadi pada struktur secara daktail. Struktur yang daktail dapat
memencarkan energi melalui proses pelelehan struktur dan diharapkan dapat menyerap
beban gempa. Secara matematis konsep “strong column weak beam” dapat dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut;
kolom
balok Mn
Mn
6 5
∑
∑
< (2.1)Bangunan tahan gempa didesain berdasarkan zona gempa, karakter lokasi, jenis
tanah, okupansi bangunan, faktor kegunaan bangunan, periode natural struktur, dan lain-
lain. UBC 1997 mensyaratkan seluruh elemen struktur didesain dengan tahanan yang
sesuai untuk menahan perpindahan lateral yang terjadi akibat ground motion dengan memperhatikan respon inelastis struktur, faktor redundan, kuat lebih dan daktilitas
struktur.
Dalam melakukan analisa perencanaan suatu struktur bangunan tahan gempa
terdapat berbagai metode dalam memodelkan gaya lateral akibat gempa. Respons suatu
bangunan akibat beban gempa yang terjadi adalah sangat kompleks, sehingga
metode-metode baru terus berkembang untuk mengetahui perilaku struktur akibat gempa yang
terjadi. Analisis dinamik merupakan cara yang paling tepat saat ini untuk mengetahui
(time history analysis), dapat diketahui respons struktur akibat gempa seperti simpangan, kecepatan dan percepatan untuk setiap segmen waktu yang ditentukan.
Perencanaan struktur dapat pula dilakukan dengan menggunakan deformasi
maksimum struktur akibat beban gempa rencana. Metode ini dikenal dengan cara
spektrum respons. Gempa kuat yang pernah terjadi dibuat spektrum responsnya untuk
struktur dengan satu derajat kebebasan. Sedangkan untuk struktur dengan banyak
derajat kebebasan, respon maksimumnya diperoleh dengan menggunakan metode SRSS
(Square Root of the Sum of Squares), yaitu menguadratkan respon maksimum dari masing-masing ragam, kemudian dijumlahkan semuanya, lalu diakarkan.
Menurut UBC 1997, gedung-gedung yang diklasifikasikan sebagai gedung yang
beraturan dapat dianalisis dengan menggunakan analisis statik ekivalen, cara yang jauh
lebih mudah dibandingkan dengan analisis dinamik. Analisis ini mentransfer pergerakan
tanah pada level fondasi menjadi beban-beban statik lateral yang bekerja pada setiap
pusat massa lantai. Hasil perencanaan struktur yang diperoleh harus diverifikasi melalui
analisis dinamik, yaitu dengan menggunakan time history analysis dan respon spektrum, untuk mendapatkan respon nyata struktur ketika terkena beban gempa. Tetapi, analisis
dinamik bukanlah persoalan yang mudah sehingga para ahli mengembangkan metode
yang lebih sederhana melalui analisis statik, yaitu dengan konsep desain kinerja struktur
(Performance Based Design).
2.4 Hubungan Momen-Kurvatur
Analisis momen kurvatur diperlukan untuk mengetahui daktilitas dari suatu
elemen struktur yang erat kaitannya dengan redistribusi momen. Redistribusi momen
ini berpengaruh dalam sebuah desain, yaitu dapat mengurangi besarnya tulangan baja
yang diperlukan pada sebuah perletakan menerus. Hal ini dikarenakan dengan
melakukan redistribusi momen, akan dapat mengurangi besarnya momen maksimum
Hal yang penting dalam suatu desain dengan beban gempa adalah daktilitas
dari struktur, karena filosofi desain yang ada saat ini berdasarkan pada konsep
penyerapan energi dan disipasi oleh deformasi plastis untuk bertahan terhadap sebuah
gempa. Sehingga sebuah struktur yang tidak memiliki kemampuan daktilitas yang
mencukupi harus didesain dengan beban gempa yang lebih besar untuk menghindari
keruntuhan dari struktur tersebut.
Gambar 2.6 berikut ini memperlihatkan potongan sebuah elemen dari sebuah
struktur beton bertulang dengan momen ujung dan gaya aksial yang sama besarnya.
Jari-jari dari kurvatur R diukur sampai dengan garis netral dari penampang. Jari-jari
dari kurvatur R, kedalaman garis netral kd, regangan beton pada serat tekan terluar εc dan regangan tarik dari baja εs akan bervariasi sepanjang elemen struktur tersebut
karena diantara retak yang terjadi, beton akan mengalami tegangan akibat dari retak
tersebut (Wigan, 2001).
Dengan meninjau sebuah potongan kecil sepanjang dx dari sebuah elemen struktur, serta menggunakan notasi dari Gambar 2.6, maka putaran diantara kedua ujung
dari potongan tersebut adalah seperti berikut ini;
(
k)
Maka 1/R adalah kurvatur pada potongan (putaran per satuan panjang dari
elemen struktur) dan diberikan notai ϕ. Sehingga terlihat bahwa kurvatur ϕ adalah
Gambar 2.6 Deformasi dari sebuah elemen lentur struktur
Kurvatur tersebut sebenarnya akan bervariasi sepanjang elemen karena
fluktuasi dari kedalaman garis netral dan regangan diantara retak-retak yang terjadi.
Bila panjang dari elemen adalah kecil pada sebuah retakan, maka kurvaturnya adalah
seperti yang terlihat pada Persamaan 2.2, dengan εc dan εs adalah regangan pada
penampang yang retak (Wigan, 2001).
Bila regangan pada penampang yang kritis dari sebuah balok beton bertulang
diukur secara teliti dengan momen lentur terus dinaikkan hingga runtuh, maka kurvatur
dapat dihitung dari Persamaan 2.2, sehingga pada akhimya dapat diperoleh hubungan
momen kurvatur dari penampang tersebut. Hubungan momen kurvatur pada sebuah
balok beton bertulang tunggal yang mengalami keruntuhan pada tarik dan tekan dapat
dilihat seperti pada Gambar 2.7. Pada tahap awal, kurva adalah linier dan hubungan
antara momen M dan kurvatur ϕ diberikan oleb Persamaan 2.5 berikut ini; neutral axis
steel
steel crack
element of member R
P
P M
d
kd
ϕ
ε
cϕ
M R M
EI = × = (2.5)
dengan El adalah kekakuan lentur dari penampang tersebut.
Gambar 2.7 Hubungan momen kurvatur untuk beton dengan tulangan tunggal (a) Penampang runtuh akibat tarik ρ<ρbalance
(b) Penampang runtuh akibat tekan ρ>ρbalance
Seiring dengan meningkatnya momen, maka retak yang terjadi pada beton akan
mengurangi kekakuan lentur dari penampang tersebut. Pengurangan kekakuan tersebut
akan semakin besar pengaruhnya pada penampang beton dengan tulangan yang sedikit
bila dibandingkan dengan penampang beton dengan tulangan yang lebih banyak. Sifat
dari penampang setelah mengalami retak akan lebih banyak bergantung dari baja
tulangannya.
section
unit length
M
M
ϕ ϕ
M
first yield of steel
first crack first crack
ϕ
unconfined concrete crushing of concrete commemce
b f l ld
curvature curvature
moment
Seperti pada Gambar 2.7.a mcnunjukkan hubungan momcn kurvatur untuk
penampang dengan tulangan yang lebih sedikit. Kurva tersebut dapat dikatakan
hampir bersifat linier sampai dengan titik di mana baja mulai leleh. Setelah baja mulai
leleh, maka kurvatur akan bertambah secara besar untuk suatu nilai momen lentur yang
hampir sama, kemudian momen akan terus bertambah hingga maksimum akibat dari
pertambahan pada jarak lengan momen, dan pada akhimya menurun kcmbali (Wigan,
2001).
Sebaliknya, pada Gambar 2.7.b, hubungan momen kurvatur menjadi tidak
linier (nonlinier) setelah titik di mana baja mulai memasuki keadaan plastis dari
hubungan tegangan-regangannya. Akibat dari hal ini, maka keruntuhan dapat terjadi
secara tiba-tiba, kecuali apabila beton tersebut diberikan perkuatan dengan sengkang
pada bagian tengah atau intinya. Bila beton tersebut tidak diberikan sengkang, maka
beton akan mengalami kehancuran pada kurvatur yang relatif kecil sebelum baja mulai
leleh, yang tentunya akan menurunkan kapasitas momennya secara singkat.
Untuk memastikan sifat daktilitas dari sebuah penampang dalam prakteknya,
rasio dari baja tulangan dibuat agar kurang dari nilai rasio seimbang (ρbalance) pada
sebuah balok beton. Hubungan momen kurvatur sccara praktisnya dapat diidealisasikan
menjadi tiga macam kurva seperti yang terlihat pada Gambar 2.8. Kurva yang pertama
menunjukkan adanya tiga fase; yaitu fase pertama pada saat beton mulai retak, fase
kedua pada saat baja mulai leleh dan fase ketiga adalah pada saat baja sudah mencapai
batas dari nilai regangan gunanya (Wigan, 2001).
Pada Gambar 2.8.b dan Gambar 2.8.c menunjukkan kurva yang bilinier, yang
pada umumnya cukup akurat untuk dapat dipergunakan. Setelah beton mengalami
retak, maka hubungan antara momen kurvatur hampir linier dari titik awal nol sampai
dengan titik di mana baja mulai leleh. Sehingga kedua kurva ini merupakan idealisasi
Gambar 2.8 Idealisasi hubungan momen kurvatur untuk penampang beton dengan tulangan tunggal akibat kegagalan tarik.
2.5 Daktilitas Struktur Global (μ)
Daktilitas adalah kemampuan suatu struktur untuk mengalami simpangan dalam
kondisi pasca elastik hingga terjadinya keruntuhan (UBC 1997). Perlu digarisbawahi
bahwa perilaku ini sangatlah penting, sebab selama proses pelelehan, elemen struktur M
Mu
ϕu
ϕy
ϕ
(c) (b)
M
Mu
ϕu
ϕy
ϕ
My
M
(a) Mu
ϕu
ϕy
ϕ
My
first yielding
tersebut mengalami proses dissipasi energi gempa. Selama terjadi gempa, daktilitas
akan mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup, sehingga struktur gedung
tersebut dapat tetap berdiri meskipun telah berada pada kondisi di ambang keruntuhan.
Terkait dengan desain rancangan untuk suatu struktur bangunan, akan menjadi
tidak ekonomis apabila desain struktur bangunan tersebut direncanakan memiliki respon
elastis terhadap gempa kuat. Hal ini dikarenakan gempa kuat tersebut jarang sekali
terjadi. Oleh sebab itu, agar ekonomis, struktur bangunan yang direncanakan diharapkan
berespon inelastis dengan tingkat daktilitas tertentu (Wibisono, 2008).
Struktur dengan tingkat daktilitas tertentu akan memungkinkan terjadinya sendi
plastis secara bertahap pada elemen-elemen struktur yang telah ditentukan. Dengan
terbentuknya sendi plastis pada elemen struktur, maka struktur akan mampu menahan
beban gempa maksimum tanpa memberikan kekuatan yang berlebihan pada elemen
struktur sebab energi kinetik akibat gerakan tanah dasar yang diterima akan dipencarkan
pada sendi plastis tersebut. Semakin banyak terbentuk sendi plastis pada elemen
struktur, semakin besar pula energi gempa yang dipencarkan. Setelah terjadi sendi
plastis pada suatu elemen, defleksi struktur serta rotasi plastis masih terus bertambah.
Pada stuktur rencana, daktilitas struktur tersebut digambarkan dengan faktor
modifikasi respon yang turut mewakili faktor kuat lebih (overstrenght factor) serta kapasitas komponen struktur secara keseluruhan dalam kondisi daktail. Faktor
modifikasi respon ini dilambangkan dengan simbol μ. Batasan-batasan terkait dengan
kriteria perencanaan desain daktilitas bangunan dengan menggunakan faktor modifikasi
respon dipaparkan sebagaimana berikut (Wibisono, 2008):
a. Kekakuan dan kekuatan struktur ketika direncanakan untuk memenuhi
kondisi di atas pun perlu direncanakan agar dapat memberikan kemampuan
yang cukup kepada struktur bangunan untuk melakukan deformasi
(simpangan) yang bersifat elastoplastik tanpa runtuh, bila mengalami gempa
rencana maksimum.
b. Untuk memperoleh daktilitas yang tinggi pada struktur gedung tinggi yang
akibat beban gempa maksimum hanya terjadi di dalam balok-balok dan
tidak terjadi dalam kolom-kolom, kecuali pada kaki kolom yang paling
bawah dan pada bagian atas kolom penyangga atap. Hal ini dapat terpenuhi
apabila kapasitas (momen leleh) kolom lebih tinggi dibandingkan dengan
kapasitas (momen leleh) balok yang bertemu pada kolom tersebut.
c. Perlu dilakukan pembatasan terkait besarnya perpindahan (displacement) yang terjadi. Hal ini tidak lain untuk menjaga integritas bangunan serta
untuk menghindari jatuhnya korban jiwa pada saat gempa rencana
maksimum terjadi.
Faktor daktilitas ( μ ) adalah merupakan rasio antara simpangan maksimum struktur
(Xmax) terhadap simpangan struktur pada saat terjadinya sendi plastis yang pertama (Xy).
Faktor daktilitas maksimum yang digunakan untuk bangunan beton bertulang adalah 5,3
dan untuk bangunan baja adalah 8.0.
2.6 Konsep Dasar Metoda Analisa Pushover
2.6.1 Umum
Metoda analisa statik tidak linear (pushover analysis) adalah metoda tidak linear yang sangat popular digunakan dalam perencanaan atau penilaiaan bangunan yang
terletak di daerah rawan gempa. Seperti yang dijelaskan oleh (Kunnath, 2005), ide yang
mendasari metoda ini adalah untuk menjelaskan keadaan beban gempa yang bekerja
pada rangka struktur. Respon rangka struktur terhadap berbagai beban dinamis adalah
sebuah kombinasi ragam getar dinamis dari system yang bergetar. Sehingga metode ini
juga didasarkan kepada konsep dasar analisa ragam getar pada struktur. Penjelasan teori
2.6.2 Dasar Teori
Seperti pada umumnya sebuah vector berorde n dapat dinyatakan melalui suatu kumpulan vector n yang berdiri sendiri. Dalam hal ini nilai vector-Eigen dihasilkan melalui masalah nilai Eigen yang berperan sebagai vector-vektor yang menjelaskan
simpangan-simpangan yang terjadi pada setiap lantai pada sebuah bangunan bertingkat.
Variabel n ini mengacu kepada derajat kebebasan (DOF) yang pada metode ini adalah jumlah lantai pada bangunan bertingkat (Gambar 2.9) atau jumlah titik kumpul
(idealisasi) pada system berderajat kebebasan tunggal (SDOF) seperti kolom kantilever.
Simpangan ini dapat didefinisikan dengan persamaan berikut;
{ }
u qm[ ]
{ }
qN
m m m
i =
∑
Φ = Φ=1
(2.6)
dimana {ui} adalah vector simpangan, {q} adalah koordinat ragam, [Φ] adalah matrik
ector Eigen, m adalah nomor ragam getar dan i adalah nomor tingkat.
Gambar 2.9 Model struktur rangka bertingkat dengan DOF yang disederhanakan. u4(t)
u3(t)
u2(t)
Berikut ini adalah hubungan keseimbangan untuk system berderajat kebebasan
banyak (MDOF);
[ ]
m{ }
u +[ ]
c{ }
u +[ ]
k{ }
u =−[ ]
m{}
ι ug(t) (2.7)dimana [m] adalah matriks massa, [c] adalah matriks redaman, dan [k] adalah matriks kekakuan, sedangkan {u} adalah vector simpangan, { }u adalah vector kecepatan dan ( )u
adalah vector percepatan. Parameter {}ι adalah vector nilai unit dan ug(t)adalah
percepatan getaran tanah yang diberikan.
Persamaan kesetimbangan dapat disederhanakan seperti berikut setelah
menerapkan dekomposisi ragam getar yang diberikan pada Pers. (2.6) dan menerapkan
hubungan-hubungannya secara ortogonal;
) (
2 q 2 u t
qn nn n ng
 + ζω +ω =−Γ (2.8)
Dimana;
[ ] [ ]
{}
(
T)
/ n,n = Φ m ι M
Γ dan
[ ] [ ][ ]
Φ Φ= m
Mn T
Untuk lebih memudahkan pemahaman maka bagian sebelah kanan dari Pers.
(2.7) dapat dianggap sebagai kontribusi ragam getar yang berdiri sendiri seperti
dijelaskan Chopra (2001) sebagai berikut;
[ ]
{ }
[ ]
{ }
[ ]
{ }
gN
n nu R u
k u c u
m  
∑
=
− = +
+
1
(2.9)
Dengan membagi Pers. (2.9) dengan Pers. (2.7) dan menyelesaikannya melalui
transformasi nilai ragam getar seperti yg dihasilkan pada Pers. (2.8), maka dapat
ditentukan bahwa;
Setiap bagian dari persamaan di atas mengandung kontribusi nilai ragam getar
untuk setiap ragam getarnya. Cara lain untuk menjelaskan Pers. (2.10) adalah dengan
menganggap vector beban pada bagian kanan Pers. (2.7) seperti berikut ini;
{ }{}
m ι ug ={ } ( )
R f t (2.11)dimana {R} adalah vector distribusi beban. Untuk fungsi pembebanan yang umum {p(t)}={r}f(t), vektor {r} adalah vector transformasi simpangan yang dihasilkan akibat adanya satu unit simpangan pada bagian perletakan. Pada pembebanan akbat gempa hal
ini dapat disederhanakan menjadi sebuah vector dengan nilai-nilai per unit.
Pemmbebanan dari luar tentunya dapat divariasikan sebagai sebuah fungsi waktu dalam
hal amplitude dan distribusi ruang (spatial distribution). Tujuan menguraikan persamaan dalam bentuk seperti Pers. (2.11) adalah untuk memisahkan distribusi ruang
dari fungsi amplitude yang bervariasi terhadap waktu. Konsep ini dijelaskan secara
lebih mendalam pada banyak buku-buku dinamika seperti (Chopra, 2001).
Langkah berikutnya adalah memasukkan kondisi pembebanan gempa. Karena
prosedur ini merupakan prosedur analisa static maka bentuk pembebanan gempa yang
dapat dianggap paling layak adalah bentuk spectrum respon. Distribusi gaya-gaya
lateral yang akan digunakan di dalam analisa static tidak linear dapat didekati dalam
bentuk kontribusi ragam getar puncak (peak modal contributions) seperti berikut ini;
{ }
fn =Γn[ ]
m{ } (
Φn Sa ζn,Tn)
(2.12)di mana Sa adalah spectrum percepatan untuk pembebanan gempa pada sebuah perioda
T dan rasio redaman ζ pada ragam getar ke-n.
Gaya-gaya modal yang didapat dengan menggunakan Pers. (2.12) hanya akan
menjelaskan kontribusi-kontribusi sampai ke ragam getar ke-n. Pers. (2.12) mewakili bentuk vector gaya lateral yang sangat umum yang akan dipakai dalam analisa static
tidak linear. Jika n=1, maka hanya kontribusi ragam getar pertama yang ditinjau.
Untuk memahami konsep spectrum kapasitas adalah perlu untuk meninjau
getaran gempadapat diperoleh melalui sebuah spectrum respon getaran gempa. Pers.
(2.8) menjelaskan satu set ragam getar n pada sistem SDOF yang mana setiap ekspresi persamaan memberikan jawaban terhadap sebuah ragam getar tertentu. Respon total
diperoleh melalui transformasi yang terdapat pada Pers. (2.6).
Dengan menganggap Sd(ζn,ωn) sebagai simpangan maksimum dari sebuah
sistem SDOF dengan frekuensi ωn dan rasio redaman ζn, yang dibebani getaran gempa
) (t
ug , respon simpangan puncak dari system pada Pers. (2.8) diberikan oleh;
{ }
qn max =ΓnSd( )
ζn,ωn (2.13)Simpangan puncak pada setiap tingkat (lantai) dapat diperoleh dengan Pers. (2.6) seperti
berikut ini;
(
)
(
)
(
)
Persamaan di atas mengandung kontribusi-kontribusi yang terdapat pada semua
ragam getar. Dengan menganggap hanya simpangan puncak pada sebuah DOF tertentu
yang diperlukan, contohnya jika DOF ke-n adalah level atap (level tertinggi sebuah struktur), dan hanya kontribusi ragam getar pertama yang ditinjau, maka persamaan
berikut akan diperoleh;
(
1, 1)
1Persamaan ini dipakai untuk mengubah simpangan atap, hasil dari sebuah
analisa static tidak linear, menjadi spectrum simpangan ragam getar pertama di dalam
prosedur spectrum kapasitas.Untuk membentuk spectrum percepatan ragam getar
pertama ekivalen maka simpangan puncak dapat diperoleh melalui
persamaan-persamaan berikut;
{ }
2[ ]
{ }
maxmax n n
n m u
{ }
fn max =ωn2[ ]
mΓnSd(
ζn,ωn)
[ ]
Φ (2.17)Jika hanya kontribusi ragam getar pertama yang ditinjau maka
{ }
(
)
Gaya geser dasar Vbdiperoleh dengan menjumlahkan gaya-gaya geser tingkat,
maka kontribusi ragam getar pertama terhadap gaya geser dasar diberikan melalui
persamaan berikut ini;
(
)
12.6.3 Prosedur Perhitungan Analisa Pushover
Dalam menjalankan analisa static tidak linear berdasarkan teori yang dijelaskan
pada bagian sebelumnya, diperlukan sejumlah langkah yang berulang. Langkah ini telah
diformalisasi ke dalam peraturan ATC-40 yang kemudian dipakai juga ke dalam
peraturan-peraturan lain di USA. Penjelasan berikut ini adalah didasarkan kepada
analisa static tidak linear (pushover analysis) yang direkomendasikan oleh ATC-40: 1. Buat model struktur dan pembebanan tetap.
2. Analisa struktur menggunakan metode analisa static linear biasa untuk
mendapatkan gaya-gaya aksial yang bekerja pada kolom.
momen batas (Mu) dan kurvaturnya (φy dan φu) beserta interaksi gaya aksial
dan momen. Masukkan kondisi batas ini ke dalam model struktur.
Penjelasan kondisi batas untuk struktur beton dibuat setelah bagian ini.
4. Distribusikan gaya geser dasar menjadi gaya-gaya geser lateral pada setiap
tingkat dengan mengacu secara proporsional kepada massa dan bentuk
ragam getar alami. Dalam hal ini pendistribusian gaya geser dapat dibuat ke
dalam beberapa bentuk seperti:
a. Gaya geser tingkat tunggal pada puncak bangunan struktur (umumnya
dibuat pada struktur bertingkat satu).
b. Gaya geser dasar didistribusikan ke setiap tingkat secara proporsional
mengacu kepada prosedur peraturan gempa seperti Fx= [wxhx/Σwxhx]Vb.
c. Gaya geser dasar didistribusikan ke setiap tingkat secara proporsional
mengacu kepada hasil perkalian dari massa pada setiap tingkat dan
bentuk ragam getar pertama kondisi elastic seperti Fx=
[wxφx>/Σwxφx]Vb.
d. Gaya geser dasar didistribusikan sama dengan kondisi 3 di atas tetapi
dibuat sampai mendapati kondisi leleh awal.
e. Pendistribusian gaya geser dasar sama dengan 3 dan 4, tetapi
melibatkan pengaruh ragam getar yang lebih tinggi (bukan hanya ragam
getar pertama).
5. Lakukan analisa static akibat pembebanan tetap dan lateral dan catat
gaya-gaya pada elemen struktur seperti momen dan rotasi beserta gaya-gaya aksial.
6. Catat gaya geser dasar dan simpangan pada puncak struktur yang terjadi.
7. Naikkan beban lateral secara bertahap dan lakukan kembali analisa statis.
Catat hasil seperti langkah 5 dan 6 di atas. Pada tahap ini gaya-gaya dan
perpindahan yang telah dihasilkan (momen dan rotasi) pada analisa
sebelumnya harus ditambahkan.
8. Perbaiki model struktur menggunakan kekakuan nol (mendekati nol) pada
9. Naikkan secara bertahap beban lateral lagi seperti pada langkah 7 dan
perbaiki model struktur seperti langkah 8. Peningkatan beban lateral secara
bertahap umumnya sangat memadai bila dilakukan sebanyak 10 kali.
10. Tambahkan setiap peningkatan yang terjadi pada gaya geser dasar dan
simpangan pada puncak struktur (akumulasi).
11. Lakukan langkah 7 sampai dengan langkah 10 sampai model struktur secara
global mengalami kondisi batas (ultimate) yang umumnya ditandai dengan telah terjadinya kondisi leleh pada semua elemen struktur dan kondisi batas
pada sebagian elemen utama struktur (seperti kolom-kolom dasar). Pada
kondisi ini umumnya elemen balok telah mengalami kondisi batas. Kondisi
batas ini juga dapat ditandai dengan terjadinya penurunan (degradasi)
kekuatan global struktur mencapai 20%. Kondisi batas juga dapat diukur
dengan simpangan antar tingkat (interstory drift ratio) yang ditentukan oleh peraturan-peraturan yang ada seperti ATC-40 atau FEMA356.
2.7 Kondisi Batas Pada Struktur Beton
Penentuan kondisi batas pada setiap elemen struktur sangat memegang peranan
penting dalam analisa tidak linear, baik itu untuk analisa static tidak linear maupun
analisa dinamik tidak linear. Dalam sebuah proses analisa berbasis kinerja
(performance-based design), penentuan kondisi batas ini dibuat setelah analisa static linear akibat beban gravitasi (beban tetap) dilakukan. Dengan kata lain, keadaan tidak
linear dan tidak elastis sebuah elemen struktur, mulai dari segi bahannya, penampang
dan elemen itu sendiri, adalah merupakan alasan utama kenapa sebuah analisa dikatakan
linear elastis atau tidak linear dan tidak elastis.
Hal ini dikarenakan kondisi batas akan mensuplai informasi tentang keadaan
kekakuan dan fleksibilitas secara local dan global.Penentuan kondisi batas ini dapat
(displacement)seperti momen-kurvatur, gaya aksial-simpangan aksial, gaya geser-simpangan geser, dan interaksi antara gaya-gaya tersebut. Sedangkan secara mikro
maksudnya kondisi batas ditentukan dengan memakai parameter yg lebih detail seperti
tegangan (stress) dan regangan (strain) untuk lentur, geser, dan aksial. Kondisi batas secara mikro ini umumnya disebut dengan model serat (fiber model). Penentuan kondisi batas secara makro dapat dilakukan dengan bantuan program BIAX, CUMBIA, dan
KSU_RC, sedangkan secara mikro dapat dilakukan dengan program XTRACT atau
secara langsung melalui program SAP2000. Pada bagian berikut ini akan dijelaskan
penentuan kondisi batas elemen struktur beton (kolom) berdasarkan keadaan makro
(gaya-perpindahan) dan juga model fiber (tegangan-regangan).
2.7.1 Kondisi Batas Makro untuk Elemen Kolom Beton
Model elemen kolom yang ditinjau adalah memperkirakan pengaruh lentur,
geser, deformasi aksial dan zona panjang kaku (rigid length zone). Kondisi batas yang ditinjau adalah keadaan leleh (yield) dan runtuh (ultimate). Panjang zona kaku (Lp) pada
sebuah elemen adalah panjang dimana kondisi sendi plastis terjadi. Panjang ini dapat
ditentukan menggunakan persamaan usulan (Priestley, 1996) untuk kondisi elemen
struktur kantilever seperti pilar jembatan (Gambar 2.10.).
Lp = kLc+ Lsp≥ 2Lsp (2.21)
dimana
Lsp= 0,0022 fsdbluntukfs ≤fy (2.22)
k = [0.02 (fsu / fy)] – 1 (2.23)
Lc = panjang dari penampang kritis ke titik dimana terjadi lenturan balik.
fs = tegangan tarik besi tulangan memanjang (lentur).
fsu = tegangan tarik runtuh (fracture) besi tulangan memanjang (lentur).
fy = tegangan leleh besi tulangan memanjang (lentur).
dbl = diameter tulangan lentur.
2.7.1.1 Penampang Persegi
Nilai-nilai momen-kurvatur untuk kondisi batas kolom beton bertulang, seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.11 dapat diperkirakan secara perhitungan manual.
Untuk kurvatur pada keadaan leleh φy dapat diperkirakan dengan menggunakan
persamaan usulan (Park, 1976) yang dimodifikasi oleh (Kunnath, 1992);
)
k = faktor ketinggian sumbu netral, yang dihitung melalui persamaan berikut;
dimana Acadalah luasan baja tulangan tekan; dcadalah tebal selimut beton pada tulangan
tekan, εy dan ε0 adalah regangan pada tegangan maksimum untuk baja tulangan dan
selimut beton.
Momen lentur pada keadaan leleh (My) dapat diperkirakan dengan persamaan
berikut (Park, 1987);
Sedangkan momen lentur pada keadaan runtuh atau batas (Mu) dapat
diperkirakan dengan persamaan berikut (Park dkk., 1987);
y
Kurvatur elemen kolom beton bertulang dapat diperkirakan dengan menganggap
kolom berperilaku sama dengan elemen balok sebagaimana persamaan yang diusulkan
oleh(Park, 1976);
y berterusan sebesar 0.05 untuk setiap 1000 psi bila melebihi 4000 psi; sedangkan εc
adalah regangan beton pada penampang kolom bagian serat tekan.
2.7.1.2 Penampang Lingkaran
Dalam menentukan hubungan momen dan kurvatur yang terjadi pada
penampang kolom lingkaranmenggunakan metode sendi plastis yang ditemukan oleh
Gambar 2.12 Ilustrasi analisa momen-kurvatur penampang kolom bulat berdasarkan metode sendi plastis (Priestley, 1996)
Momen-kurvatur diperoleh melalui regangan tekan serat𝜀𝜀𝑐𝑐yaitu melalui keseimbangan gaya aksial dan momen lentur yang terjadi pada sistem. Keseimbangan gaya aksial
ditentukan melalui persamaan (2.31) berikut;
𝑃𝑃 =∫𝐷𝐷 �𝑏𝑏𝑐𝑐(𝑥𝑥)𝑓𝑓𝑐𝑐(𝜀𝜀𝑥𝑥)+�𝑏𝑏(𝑥𝑥)− 𝑏𝑏𝑐𝑐(𝑥𝑥)�𝑓𝑓𝑐𝑐𝑐𝑐(𝜀𝜀𝑥𝑥)� /2
𝑥𝑥=(𝐷𝐷/2)−𝑐𝑐 𝑑𝑑𝑥𝑥+∑ 𝐴𝐴𝑛𝑛𝑠𝑠=𝑙𝑙 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑓𝑓𝑠𝑠(𝜀𝜀𝑥𝑥𝑠𝑠) (2.31) Dimana;
𝑓𝑓𝑠𝑠 =𝑓𝑓𝑦𝑦𝑦𝑦 �1.5−0.5�0.12 0.112−𝜀𝜀𝑠𝑠�
2
� ; tegangan saatstrain hardening pd hubungan tegangan-regangan baja (Gambar 2.13)
diasumsikan ; 𝜀𝜀𝑠𝑠ℎ = 0.008 dan 𝜀𝜀𝑠𝑠𝑐𝑐 = 0.12
Besaran 𝑓𝑓𝑐𝑐(𝜀𝜀), 𝑓𝑓𝑐𝑐𝑐𝑐(𝜀𝜀)dan 𝑓𝑓𝑠𝑠(𝜀𝜀) secara berurutan adalah hubungan tegangan-regangan pada bagian selimut beton (beton tanpa ikatan) dan bagian inti kolom (beton dengan
ikatan) yang ditunjukkan pada Gambar 2.14 dan hubungan tegangan-regangan tulangan
D
c
c
Cover
x dx
θ
Asi
bc(x) b(x)
ε
sibaja (Gambar 2.15). 𝐴𝐴𝑠𝑠𝑠𝑠adalah luasan sebuah tulangan longitudinal dengan jarak 𝑥𝑥𝑠𝑠ke garis sumbu netral penampang.𝜀𝜀𝑥𝑥𝑠𝑠adalah regangan tarik tulangan yag terletak sejauh𝑥𝑥𝑠𝑠dari sumbu garis normal penampang.
Gambar 2.13 Hubungan tegangan-regangan tulangan baja
dimana regangan tekan ekstrimpada serat;
𝜀𝜀𝑥𝑥 = 𝜀𝜀𝑐𝑐𝑐𝑐(𝑥𝑥 −0.5𝐷𝐷+𝑐𝑐) (2.32)
Melalui keseimbangan momen lentur makahubungan momen-kurvatur dapat dihitung
dengan;
𝑀𝑀 = ∫𝐷𝐷 �𝑏𝑏𝑐𝑐(𝑥𝑥)𝑓𝑓𝑐𝑐(𝜀𝜀𝑥𝑥)+�𝑏𝑏(𝑥𝑥)− 𝑏𝑏𝑐𝑐(𝑥𝑥)�𝑓𝑓𝑐𝑐𝑐𝑐(𝜀𝜀𝑥𝑥)� /2
𝑥𝑥=(𝐷𝐷/2)−𝑐𝑐 𝑑𝑑𝑥𝑥+∑ 𝐴𝐴𝑛𝑛𝑠𝑠=𝑙𝑙 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑓𝑓𝑠𝑠(𝜀𝜀𝑥𝑥𝑠𝑠)𝑥𝑥𝑠𝑠 (2.33) dimana kurvaturnya dapat diperoleh melalui persamaan;
𝜙𝜙 =𝜀𝜀𝑐𝑐
𝑐𝑐 (2.34)
nilai regangan tekan beton𝜀𝜀𝑥𝑥sampai dengan regangan tekan ultimit, yang dibuat naik secara bertahap, menggunakanPersamaan (2.32) sampai denganpersamaan (2.34).
Nilaitegangan 𝑓𝑓𝑐𝑐saat mengalami regangan tekan beton 𝜀𝜀𝑐𝑐sampai dengan regangan tekan ultimit diperoleh melalui hubungan tegangan-regangan selimut beton
danhubungan tegangan-regangan inti beton. Hubungan ini dapat ditentukan melalui
model Mander yang dimodifikasi (Montejo dan Kowalsky, 2007).Sedangkan nilai
tegangan tarik tulangan baja𝑓𝑓𝑠𝑠saat mengalami regangan tarik𝜀𝜀𝑠𝑠sampai dengan regangan tarik ultimit𝜀𝜀𝑠𝑠𝑠𝑠diperoleh melalui Gambar 2.15. Hubungan tegangan-regangan tulangan baja model King (Montejo dan Kowalsky, 2007).
Gambar 2.14 Hubungan tegangan-regangan model Mander untuk beton yang dimodifikasi (Montejo dan Kowalsky, 2007).
Tegangan normal tekan pada beton𝑓𝑓𝑐𝑐dihitung berdasarkan regangan normal tekan𝜀𝜀𝑐𝑐,mulaidari nilai regangan normal tekan terkecilsampai dengan regangan normal tekan ultimit 𝜀𝜀𝑐𝑐𝑐𝑐, melalui persamaan berikut ini;
𝑓𝑓𝑐𝑐 = 𝑥𝑥 −𝑓𝑓′ 1 +𝑐𝑐𝑐𝑐𝑥𝑥𝑥𝑥𝑥𝑥𝑥𝑥
𝑥𝑥= 𝜀𝜀𝑐𝑐
𝜖𝜖𝑐𝑐𝑐𝑐 : rasio regangan tekan longitudinal beton tanpa
ikatan dan beton dengan ikatan.
𝜀𝜀𝑐𝑐 : regangan normal tekan longitudinal.
𝜀𝜀𝑐𝑐𝑐𝑐 =𝜀𝜀𝑐𝑐𝑐𝑐�1 + 5�𝑓𝑓′𝑓𝑓′𝑐𝑐𝑐𝑐
𝑐𝑐𝑐𝑐 −1�� : regangan normal tekan longitudinal maksimum.
𝜀𝜀𝑐𝑐𝑐𝑐 : regangan normal tekan beton tanpa ikatan.
𝑓𝑓′𝑐𝑐𝑐𝑐 : tegangan normal tekan beton tanpa ikatan.
𝑥𝑥= 𝐸𝐸𝑐𝑐
𝐸𝐸𝑐𝑐−𝐸𝐸sec : rasiomodulus elastisitas beton tanpa ikatanEcdan
beton dengan ikatan.
𝐸𝐸sec = 𝑓𝑓′𝜀𝜀𝑐𝑐𝑐𝑐
𝑐𝑐𝑐𝑐 : modulus elastisitas beton dengan ikatan.
𝜀𝜀𝑐𝑐𝑐𝑐 = 1.4�0.004 +1.4𝜌𝜌𝑠𝑠𝑓𝑓′𝑓𝑓𝑐𝑐𝑐𝑐𝑦𝑦ℎ𝜀𝜀𝑠𝑠𝑐𝑐� : regangan batas (ultimit) beton dengan ikatan,
dimana 𝜀𝜀𝑠𝑠𝑐𝑐adalah regangan tulangan longitudinal
𝑓𝑓′𝑐𝑐𝑐𝑐 = 𝑓𝑓′𝑐𝑐𝑐𝑐�−1.254 + 2.254�1 +7.94𝑓𝑓′𝑐𝑐𝑐𝑐𝑓𝑓′𝑙𝑙−2𝑓𝑓′𝑓𝑓′𝑐𝑐𝑐𝑐𝑙𝑙 � : tegangan maksimum beton
dengan ikatan.
𝑓𝑓′𝑙𝑙 =
1
2𝑘𝑘𝑦𝑦𝜌𝜌𝑠𝑠𝑓𝑓𝑦𝑦ℎ
𝑓𝑓𝑦𝑦ℎ : teganganleleh tulangan geser.
𝜌𝜌𝑠𝑠 = 4𝑑𝑑𝐴𝐴𝑠𝑠𝑠𝑠
𝑠𝑠𝑠𝑠 : rasio tulangan geser dan penampang geser.
𝐴𝐴𝑠𝑠𝑠𝑠 : luaspenampang tulangan geser spiral atau cincin.
𝑑𝑑𝑠𝑠 : panjangdiameter inti di dalamtulangan geser spiral.
𝑘𝑘𝑦𝑦 = �1−𝑠𝑠′
2𝑑𝑑𝑠𝑠� 2
1−𝜌𝜌𝑐𝑐𝑐𝑐 : koefisien tulangan untuk tulangan geser cincin .
𝑘𝑘𝑦𝑦 =
1−𝑠𝑠′
2𝑑𝑑𝑠𝑠
𝑠𝑠′ : jarak bersih antara tulangan geser spiral atau cincin.
𝜌𝜌𝑐𝑐𝑐𝑐 : rasio luasan tulangan longitudinaldan luasan penampang bagian inti
Nilai-nilai berikut adalah diketahuiuntuk menyelesaikan persamaan di atas;
𝑓𝑓𝑐𝑐𝑐𝑐 =𝑓𝑓′𝑐𝑐 : (tegangan tekan beton (tanpa ikatan) karakteristik umur 28 hari
dalamMPa)
𝐸𝐸𝑐𝑐 = 4700�𝑓𝑓′𝑐𝑐 : (modulus elastisitas beton dalam MPa)
𝑓𝑓𝑦𝑦 : tegangan leleh tulangan longitudinal (MPa)
𝑓𝑓𝑦𝑦ℎ : tegangan leleh tulangan sengkang (MPa)
𝜀𝜀𝑐𝑐𝑐𝑐= 0,002 : regangan tekan beton(tanpa ikatan) saat mengalami𝑓𝑓𝑐𝑐𝑐𝑐
𝜀𝜀𝑠𝑠𝑐𝑐= 0,12 : regangan ultimit tulangan longitudinal
Tegangan tarik fsberdasarkan regangan tarik tulangan baja𝜀𝜀𝑠𝑠,mulai dari yg terkecil
sampai dengan regangan tarik ultimit𝜀𝜀𝑠𝑠𝑠𝑠,dihitung dengan persamaan berikut ini;
𝑓𝑓𝑠𝑠 =𝐸𝐸𝑠𝑠𝜀𝜀𝑠𝑠 untuk 𝜀𝜀𝑠𝑠 ≤ 𝜀𝜀𝑦𝑦
𝑓𝑓𝑠𝑠 =𝑓𝑓𝑦𝑦 untuk 𝜀𝜀𝑦𝑦 < 𝜀𝜀𝑠𝑠 <𝜀𝜀𝑠𝑠ℎ
𝑓𝑓𝑠𝑠 =𝑓𝑓𝑦𝑦�60(𝑠𝑠(𝜀𝜀𝜀𝜀𝑠𝑠𝑠𝑠−𝜀𝜀−𝜀𝜀𝑠𝑠ℎ𝑠𝑠ℎ)+2)+2+(𝜀𝜀𝑠𝑠−𝜀𝜀2(30𝑠𝑠ℎ𝑥𝑥)(60+1)−𝑠𝑠2 )� untuk 𝜀𝜀𝑠𝑠ℎ < 𝜀𝜀𝑠𝑠 ≤ 𝜀𝜀𝑠𝑠𝑐𝑐
dimana
𝑠𝑠=
�𝑓𝑓𝑠𝑠𝑐𝑐
𝑓𝑓𝑦𝑦�(30𝑥𝑥+ 1)
2−60𝑥𝑥 −1
15𝑥𝑥2
𝑥𝑥= 𝜀𝜀𝑠𝑠𝑐𝑐 − 𝜀𝜀𝑠𝑠ℎ
Nilai-nilai berikut adalah diketahuiuntuk menyelesaikan persamaan di atas;
𝐸𝐸𝑠𝑠 : 200000 MPa
𝑓𝑓𝑦𝑦 : tegangan leleh tulangan longitudinal (MPa)
𝑓𝑓𝑦𝑦ℎ : tegangan leleh tulangan sengkang (MPa)
𝜀𝜀𝑠𝑠ℎ= 0,008 : regangan tulanganlongitudinal saat mengalami strain hardening
𝜀𝜀𝑠𝑠𝑐𝑐= 0,12 : regangan maksimumtulangan longitudinal
2.7.2 Kondisi Batas Elemen Struktur Umum Memakai Model Fiber
Elemen balok multifiber sudah dikembangkan lebih dari 20 tahun yang lalu. Elemen ini didasarkan kepada diskretisasi penampang melintang dalam bentuk
lapisan-lapisan yang tersusun (untuk balok 2-D) atau serat-serat tersusun (untuk balok 3-D)
Gambar 2.16Model fiber pada penampang elemen struktur (Ceresa, 2007)
Dengan menganalisa penampang menggunakan model konstitusi uniaksial
sederhana (simple uniaxial constitutive models), perilaku struktur 3 dimensi akibat gaya aksial dan gaya lentur dapat diperoleh melalui integrasi tegangan-tegangan yang terjadi
pada serat di seluruh penampang melintang Gambar 2.17.
Pendekatan model serat atau model fiber sangat sesuai menggunakan teori balok Euler-Bernoulli dengan meninjau penampang sebuah balok secara umum (generic). Menurut Ceresa dkk. (2007), berdasarkan deformasi aksial εo(x) pada sumbu balok dan kurvatur penampang χy(x) dan χz(x), maka aksial deformasi setiap serat pada sebuah penampang εixx
( )
x dapat diperoleh melalui persamaan berikut ini;( )
x(
( )
x zi y( )
x yi z( )
x)
xxi ε χ χ
ε = 0 + − (2.35)
Gambar 2.17Ilustrasi model fiber pada elemen struktur beton bertulang
Berdasarkan hukum material uniaksial maka tegangan arah memanjang
(longitudinal) serat dapat diperoleh secara langsung melalui persamaan berikut;
( )
x EiT ixx( )
xxx ε
σ' = (2.36)
dimana EiT adalah modulus tangent serat ke-i.
Sehingga gaya-gaya total untuk aksial dan momen pada penampang balok dapat
secara mudah dihitung melalui penjumlahan kontribusi-kontribusi setiap serat ke-i seperti berikut ini;
∑
tetapi merupakan momen lentur yang terjadi akibat rotasi pada sumbu y.
ditunjukkan pada Gambar 2.18. Material beton bertulang harus dibedakan kepada 2
jenis aturan konstitusi yaitu beton tanpa ikatan (unconfined) tulangan dan beton dengan ikatan (confined) tulangan. Aturan konstitusi beton tanpa ikatan mewakili daerah penampang selimut beton, sedangkan aturan konstitusi beton dengan ikatan adalah
mewakili daerah inti pada penampang beton (daerah di dalam tulangan geser).
Aturan konstitusi yang paling umum dipakai adalah model Mander (1988)
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.17. Dimana tegangan tekan akibat adanya
tulangan lentur dan ikatan tulangan geser (f’cc) beserta regangannya (εcc) akan lebih
besar dari tegangan tekan normal beton tanpa ikatan (f’c) dan regangannya (εc).
Gambar 2.18Model Mander (1988) untuk beton tanpa ikatan dan dengan ikatan
Regangan tekan beton dengan ikatan saat runtuh (εcu) juga jauh lebih besar dari
regangan runtuh beton tanpa ikatan (εsp). Nilai-nilai tegangan-regangan model Mander
untuk beton tanpa ikatan (unconfined) adalah dihitung melalui persamaan-persamaan berikut;
fc = 0 untuk ε< 2 εt (2.38)
r
ε = regangan tekan beton yang dihitung
fc = tegangan tekan beton yang dihitung
f’c = tegangan tekan karakteristik beton umur 28 hari
fcp = tegangan tekan beton pasca keruntuhan
εc = regangan tekan beton tanpa ikatan pada saat tegangan tekan maksimum = 0.002
εsp = regangan tekan maksimum beton tanpa ikatan = 0.0064
εt = kapasitas regangan tarik beton tanpa ikatan = ft / Ec
ft = tegangan tarik beton tanpa ikatan =0,5 f'c
Nilai-nilai tegangan-regangan model Mander untuk beton dengan ikatan
(confined) adalah dihitung melalui persamaan-persamaan berikut;
dimana
Sedangkan parameter-parameter lainnya dapat dihitung secara sama dengan beton tanpa
ikatan.Nilai-nilai tegangan-regangan model Mander untuk tulangan baja lentur beton
bertulang adalah seperti yang ditunjukkan Gambar 2.19 berikut ini.
Gambar 2.19Hubungan tegangan-regangan sebagai aturan konstitusi untuk tulangan baja lentur
Hubungan tegangan-regangan untuk tulangan baja lentur dapat dihitung melalui
persamaan-persamaan berikut;
dimana
fs = tegangan tulangan lentur yang dihitung ε = regangan yang ditinjau
fy = tegangan leleh tulangan lentur
fsu = tegangan tulangan lentur saat mengalami kegagalan εy = regangan leleh tulangan lentur = fy / Es
εsh = regangan tulangan lentur saat mengalami pengerasan (hardening) = 0,008
εsu = regangan tulangan lentur saat mengalami kegagalan = 0,10 s/d 0,15
Es = modulus elastisitas tulangan lentur = 200x103 MPa
Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa hubungan
tegangan-regangan sebagai aturan konstitusi beton bertulang ini dapat dimasukkan secara
langsung ke dalam program SAP2000 sebagai kondisi batas dalam menganalisa
struktur. Kondisi batas ini diberikan kepada luasan-luasan kecil penampang beton
bertulang yang dibagi seperti lapisan-lapisan serat atau fiber (Gambar 2.16 dan 2.17)di dalam program SAP2000. Beberapa program lain dapat melakukan proses ini secara
otomatis seperti program SeismoStruct dan ZeusNL.
Kelemahan metode fiber yang ada pada kebanyakan program analisa struktur seperti SAP2000, SeismoStruct dan ZeusNL adalah terletak pada kemampuannya dalam
menganalisa gaya-gaya yang bekerja pada struktur. Dalam hal ini hanya gaya momen
lentur (M2-M3) dan interaksi momen lentur dan gaya aksial (P-M2-M3) yang dapat
dianalisa. Namun demikian, keadaan ini sudah sangat memadai untuk mensimulasikan