• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN EKSEKUSI OBYEK HAK TANGGUNGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PELAKSANAAN EKSEKUSI OBYEK HAK TANGGUNGA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN EKSEKUSI OBYEK HAK TANGGUNGAN BERDASAR PASAL 6 UUHT TIDAK SAH MENURUT HUKUM

Eksekusi obyek HT oleh UUHT diatur secara sistematis dan terpadu. Dilihat dari segi prosedur ada tiga jenis eksekusi obyek HT, yaitu

1. E ksekusi parat [Pasal 20 (11.a) jis. Pasal 6 dan Pasal 11 (2) e UUHT],

2. Eksekusi pertolongan hakim [Pasal 20 (1) b UUHT jo. Pasal 14 (2) dan (3) UUHT],

3. Eksekusi di bawah tanggan [Pasal 20 (2) dan (3) UUHT].

Ketentuan tentang eksekusi tersebut menurut Pasal 26 dan Penjelasan Umum Nomo 9 UUHT dinyatakan belum berlaku selama belum ada peraturan pelaksanaannya, untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum maka diberlakukan ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.

Menurut Pasal 10 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bentuk peraturan pelaksanaan yang dimaksud Pasal 26 UUHT adalah peraturan pemerintah.

UUHT adalah ketentuan Hukum Materiil Perdata, sedangkan HIR/ RBg adalah ketentuan Hukum Acara Perdata, ini berarti ketentuan tentang eksekusi dalam Hukum Acara Perdata dipinjam oleh Hukum Materiil Perdata. Akibat hukum dari hal ini adalah pelaksanaan eksekusi obyek HT hanya sah apabila didasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg, sedangkan seluruh ketentuan UUHT tentang eksekusi (termasuk Pasal 6 UUHT) belum berlaku. Dengan demikian pelaksanaan eksekusi obyek hak tanggungan berdasar Pasal 6 UUHT adalah tanpa dasar hukum, akibatnya pelaksanaan eksekusi tersebut tidak sah.

(2)

A. LATAR BELAKANG LAHIRNYA UUHT

Ketentuan tentang hak tanggungan dalam UUHT merupakan pengganti ketentuan tentang hipotik dan crediet verband sejauh tentang tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Penggantian ini selain diamanatkan oleh ketentuan dalam UUPA (Pasal 51)

juga untuk mengatasi persoalan tentang pelaksanaan eksekusi hipotik. Di dalam Penjelasan Umum Nomor 2 UUHT antara lain dikatakan, bahwa ketentuan tentang crediet verband dan hipotik berasal dari zaman kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanya Hukum Tanah Nasional, sebagaimana pokok-pokok ketentuannya tercantum dalam UUPA, dimaksudkan berlaku untuk sementara waktu sambil menunggu undang-undang yang dimaksud Pasal 51 UUPA. Ketentuan-ketentuan tersebut jelas tidak sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam Hukum Tanah Nasional, akibatnya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi. Akibatnya timbul berbagai perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai berbagai masalah dalam pelaksanaan Hukum Jaminanatas Tanah, misalnya tentang pencantuman titel eksekutorial, pelaksanaan eksekusi dan lain sebagainya, sehingga peraturan tersebut dirasa kurang memberikanjaminan kepastian hukum dalam kegiatan perkreditan.

Menurut J Satrio, penyebab kekacauan dan ketidakpuasan dalam hak jaminan atas tanah sebagian besar bukan pada ketentuan Hukum Materiil hipotik/ crediet verband, melainkan pada penafsiran pihak tertentu atas pelaksanaan ketentuan hak jaminan hipotik dan crediet verband dan pada pelaksanaannya di pengadilan. Bukan pada ketentuan hipotik/ crediet verbandnya yang tidak jelas, tetapi ketika kreditor-pemegang hipotik akan melaksanakan pengambilan pelunasan berdasarkan grosse akta hipotik, menghadapi persoalan apakah yang mempunyai kekuatan eksekutorial itu grosse akta hipotiknya (sesuai dengan Pasal 224 HIR) atau sertifikat hipotiknya sesuai PMA 215/1961. Dalam ketentuan tentang hipotik/ crediet verband dan dalam Hukum Acara- baik HIR, RBg maupunRV- tidak dikenal lembaga “sertifikat hipotik”, apalagi sebagai grosse. Ini memicu masalah.

(3)

bergerak nama perjanjian jaminannya adalah gadai, sedang untuk benda tetap nama perjanjiannya adalah hipotik. Perjanjian gadai diatur dalam Pasal 1150 – Pasal 1161 KUH Perdata, sedang hipotik dalam Pasal 1162 – Pasal 1232 KUH Perdata. Eksekusi obyek gadai diatur dalam Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUH Perdata.

Pasal 1155 KUH Perdata berbunyi:

”Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, jika debitor wanprestasi, setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika tidak telah ditentukan suatu tenggang waktu, setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, maka kreditor berhak menyuruh menjual di muka umum obyek gadai menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan itu.”

Menurut ketentuan tersebut, apabila tidak ditentukan prosedur eksekusi obyekgadai, maka apabila debitor wanprestasi pihak kreditor oleh undang-undang diberi hak untuk langsung menjual obyek gadai dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Dari sini terlihat, bahwa begitu debitor wanprestasi, maka seketika itu pula pihak kreditor memiliki hak untuk langsung menjalankan eksekusi tanpa harus menumpuh prosedur litigasi.

Oleh karena itulah maka menurut ilmu hukum, eksekusi ini dinamakan eksekusi parat (eksekusi langsung), yaitu langsung mengubah obyek gadai yang semula secara phisik berupa benda bergerak diubah menjadi sejumlah uang melalui eksekusi. Menurut para sarjana, istilah penjualan di muka umum dalam pasal tersebut adalah penjualan melalui lelang, yaitu suatu tata cara penjualan dengan penawaran harga semakin tinggi atau semakin rendah. Tujuan penjualan obyek gadai melalui lelang adalah agar dalam penjualan tersebut dicapai harga tinggi, sehingga tidak merugikan pihak debitor pemberi gadai.

Selain dilakukan dengan cara eksekusi parat, eksekusi obyek gadai juga dapat dilakukan menurut perjanjian. Biasanya perjanjian yang dipilih untuk tata cara penjualan gadai adalah penjualan di bawah tangan. Pelaksanaan eksekusi penjualan di bawah tangan lebih sederhana daripada eksekusi parat.

(4)

tidak akan mendapatkan hasil optimal, misalnya benda antik atau benda seni dengan penetapan hakim dapat dilakukan penjualan dengan cara penawaran melalui internet dan sebagainya.

Sedangkan eksekusi obyek hipotik dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg dan berdasarkan Pasal 1178 (2) jo. Pasal 1211 KUH Perdata

1. Menurut Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg pada saat debitor wanprestasi, kreditor pemegang grosse akta hipotik menghadap KPN, untuk mengajukan permohonan agargrosse akta hipotik tersebut dieksekusi, dengan mengatakan: “Pak Hakim sehubungan dengan wanprestasinya debitor, saya minta tolong grosse akta hipotik ini dieksekusi.” Selanjutnya KPN akan melaksanakan eksekusi seperti halnya mengeksekusi putusan hakim biasa yang dijatuhkan tanpa adanya sita jaminan, yaitu eksekusi berdasarkan Pasal 195-Pasal 200 HIR). Prosedur eksekusinya adalah KPN memanggil debitor/ pemberi hipotik untuk ditegur (aanmaning). Pada kesempatan ini KPN melakujkan beberapa hal. Pertama, KPN menergur pihak debitor/ pemberi hipotik selain ditegur dengan mengatakan “mengapa dirinya tidak memenuhi kewajiban membayar utang kepada kreditor sesuai dengan perjanjian”. Kedua, KPN memberi penjelasan akibat hukum yang muncul sehubungan dengan wanprestasi tersebut, yaitu akibat hukum terhadap obyek hiptek berupa penjatuhan sita eksekutorial, dilanjutkan dengan pengumuman dan pelaksanaan lelang. Pada kesempatan ini perlu juga dijelaskan tentangakibat finansial yang harus ditanggung oleh debitor/ pemberi hipotek apabila penyelesaian piiutang dilakukan melalui lelang eksekusi. Ketiga, KPN masih memberi kesempatan kepada debitor untuk memenuhi kewajibannya secara sukarela dalam jangka waktu tertentu. Bilamana jangka saktu tersebut habis dan pihak debitor/ pemberi hiportik tidak memenuhi secara suka rela kewajibannya, maka KPN membuat penetapan untuk menyita eksekusi obyek hipotik yang bersangkutan, dilanjutkan dengan penjualan lelang melalui kantor lelang negara. Sehubungan dengan hal ini, maka eksekusi obyek hipotik berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg disebut eksekusi dengan pertolongan hakim.

(5)

pelunasan piutangnya. Di dalam praktek, istilah “secara mutlak dikuasakan untuk menjual” dalam pasal tersebutterkenal dengan istilah janji menjual atas kekuasaan sendiri (beding van eigenmachtig verkoop). Prosedur eksekusi di sini adalah, apabila debitor wanprestasi, maka kreditordapat langsung menghadap pimpinan kantor lelang untuk mohon lelang atas obyek hipotik, dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari pendapatan lelang tersebut. Jadi dalam hal ini kreditor tidak perlu menghadap KPN untuk minta fiat eksekusi, atau mohon agar KPN mengeksekusi obyek hipotik, apalagi menempuh jalur litigasi. Sama dengan eksekusi obyek gadai, eksekusi obyek hipotik di sini dinamakan eksekusi parat (eksekusi langsung)

Pada mulanya pelaksanaan eksekusi obyek hipotik melalui eksekusi parat berjalan lancar. Namun dalam perkembangannya pelaksanaan eksekusi ini terhambat, sehubungan dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Agung Nomor 3210K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986 yang mensyaratkan adanya fiat eksekusi dari ketua pengadilan negeri. Dalam

perkembangannya, kewajiban fiat eksekusi dari ketua pengadilan negeri tersebut berubah menjadi pelaksanaan eksekusi oleh ketua pengadilan negeri. Hal ini berarti terjadi pergeseran dari eksekusi parat menjadi eksekusi dengan pertolongan hakim, atau dengan kata lain tidak berlakunya lagi ketentuantentang eksekusi parat.

Kekacauan tentang prosedur eksekusi tersebut menjadi lebih parahdengandikeluarkannya “pendapat Mahkamah Agung” sebagaimana tertuang dalam tiga suratnya, masing-masing tertanggal 16 April 1985 Nomor: 213/229/85/II/Um-Tu/Pdt ditujukan kepada Soetarno Soedja dari Kantor Pengacara Gani Djemat & Partner, tanggal 18 Maret 1986 Nomor 133/154/86/II/Um-Tu/Pdt kepada Direksi Bank Negara 1946, dan tanggal 1 April 1986 Nomor: 147/168/86/Um-Tu/Pdt kepada Pimpinan BKPH Perbanas. Menurut Pendapat MA tersebut, grosse akta (grosse surat utang notariil, de grossen van notariëele schuldbriëven) yang mempunya kekuatan eksekutorial sebagaimana dimaksud Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg adalah:

1. Grosse akta pengakuan utang;

(6)

3. Isinya pengakuan utang membayar/ melunaskan suatu jumlah uang tertentu (pasti), bukan jumlah utang yang dapat dipastikan;

4. Bersifat murni, artinya dalam pengakuan utang itu tidak ditambahkan persyaratan-persyaratan lain, terlebih lagi persyaratan-persyaratan-persyaratan-persyaratan yang berbentuk perjanjian (terutama perjanjian kuasa memasang hipotik dan kuasa untuk menjual); dan

5. Mengandung sifat eksepsional terhadap asas bahwa seseorang hanya dapat menyelesaikan sengketa melalui gugatan.

Pendapat MA tersebut lebih memperkeruh suasana pelaksanaan eksekusi obyek hipotik. Penyebab utama hal ini adalah adanya ketidaksamaan pandangan ketua pengadilan negeri tentang syarat yang harus dipenuhi dalam permohonan eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg. Ketidaksamaan pandangan tersebut terjadi di antara ketua pengadilan negeri yang satu dengan yang lain, baik dari pengailan- pengadilan negeri yang berbeda maupun dari satu pengadilan negeri.

Ketua pengadilan negeri adalah figur sentral dalam pelaksanaan eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg, sehingga pandangannya tentang persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat dilaksanakannya eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg adalah menentukan. Hal ini berarti bahwa ketidaksamaan pandangan di antara mereka mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum tentang eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.

Mengingat pada umumnya pengguna eksekusi Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg adalah dunia perbankan, maka kekacauan eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg menimbulkan akibat terhadap roda perekonomian, yang oleh pembentuk UUHT disebut sebagai: “tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi.”

(7)

B. PENGERTIAN EKSEKUSI

Para sarjana pada umumnya mengartikan eksekusi sebagai pelaksanaan putusan pengadilan (hakim). Rumusan demikian ini tidak tepat. Dipandang dari segi obyeknya, eksekusi tidak hanya berobyekkan putusan hakim, misalnya eksekusi obyek hak tanggungan sebagaimana yang kita bicarakan kali ini. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan definisi baru tentang eksekusi.

Istilah eksekusi menurut Hukum Eksekusi diartikan sebagai upaya paksa untuk merealisasihak kreditor karena pihak debitor/terhukum tidak mau secara suka rela memenuhi kewajibannya atau upaya paksa untuk merealisasi sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Secara singkat,menurutHukum Eksekusi, istilah eksekusi mengandung makna sebagai suatu upaya paksa untuk merealisasi hak dan/atau sanksi.

Berdasar pengertian tersebut dapat ditarik beberapa unsur dari eksekusi, yaitu upaya paksa, untuk merealisasi,hak, atau sanksi.

1. Upaya paksa; unsur ini mengandung makna bahwa dalam eksekusi selalu terkandung unsur paksaan, dengan kata lain dalam eksekusi selalu terdapat paksaan atau kekerasan, yaitu paksaan atau kekerasan menurut hukum. Apabila dalam merealisasi hak atau sanksitidak ada unsur paksaan atau kekerasan,maka hal tersebut bukan eksekusi, melainkan pelaksanaan secara sukarela.

2. Untuk merealisasi; hal ini berarti tujuan eksekusi adalah untuk merealisasi hak atau sanksi, Jadi berbeda dengan ketentuan hukum materiilyang diadakan dengan tujuan untuk memberikan pedomantentang siapa yang berhak dan sanksi yang mengikutinya apabila terjadi pelanggaran hak. Tujuan eksekusi tersebut juga berbeda dengan tujuan berperkara di muka hakim yang prosedurnya diatur dalam hukum acara. Putusan hakim berguna untuk memberikan kepastian hak serta jenis dan beratnya sanksi.

(8)

pelanggar hak.Namun hak yang ditetapkan oleh hukum materiil dan kemudian dikuatkan oleh hukum acara (melalui putusan hakim) tersebut tidak ada artinya apabila hak tersebut tidak dapat direalisasi. Ketentuan mengenai realisasi paksa hak atau sanksi ini ditemukan pengaturannya dalam hukum eksekusi.

3. Hak; Hak di sini diartikan sebagai kewenangan yang dimiliki seseorang yang mewajibkan orang lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap dirinya. Pengertian hak di sini dibatasi pada hak menurut hukum atau hak yang mendapat perlindungan hukum, baik menurut hukum materiil maupun hukum acara (berdasar putusan hakim).

4. Sanksi; Istilah sanksi diartikan sebagai (ancaman) penderitaanyang dikenakan terhadap seseorang yang tidak memenuhi kewajiban hukumnya.Sanksi yang direalisasi dalam eksekusi bersumber pada ketentuan hukum materiil (perdata, pidana, tata negara maupun adminitrasi negara), putusan hakim dan/ atau perjanjian.

C. PENGATURAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DI DALAM UUHT

UUHT mengatur tentang eksekusi obyek hak tanggungan secara sistematis dan terpadu. Ketentuan tentang jenis eksekusi obyek hak tanggungan secara menyeluruh diatur dalam Pasal 20 UUHT yang berbunyi:

(1)Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:

a. hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 14 (2).

Obyek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutangpemegang hak tanggungan dengan mendahulu daripadakreditor-kreditor lainnya.

(9)

Ketentuan tersebut mengatur eksekusi menurut prosedur. Di dalam ketentuan tersebut, diatur tiga jenis eksekusi obyek hak tanggungan, yaitu: eksekusi parat (eksekusi langsung), eksekusi dengan pertolongan hakim, dan eksekusi penjualan di bawah tangan.

1. Eksekusi parat (eksekusi langsung) obyek hak tanggungan

Eksekusi parat obyek hak tanggungan diatur Pasal 20 (1) a UUHT jis. Pasal 6 dan Pasal 11 (2) e UUHT. Menurut Pasal 20 (1) a jo. Pasal 6 UUHT, apabila debitor wanprestasi maka kreditor pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu.

Prosedur eksekusi parat yang dimaksud oleh Pasal 20 (1) a UUHT jo. Pasal 6 UUHT tersebut mensyaratkan adanya janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan apabila debitor wanprestasi (beding van eigenmachtig verkoop) sebagaimana diatur dalam Pasal 11 (2) e UUHT.

Pelaksanaan penjualan obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri dilakukan melalui prosedur eksekusi parat. Tindakan atau pelaksanaan eksekusi parat dilakukan apabila debitor wanprestasi. Begitu debitor wanprestasi, maka kreditor pemegang hak tanggungan diberi hak oleh UUHT untuk langsung mohon lelang kepada kantor lelang negara (sekarang permohonan diajukan kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Jadi walaupun di dalam akta pemberian hak tanggungan tercantum klausula: ”dalam hal debitor wanprestasi, kreditor pemegang hak tanggungan berwenang menjual atas kekuasaan sendiri”, namun pelaksanaan lelang eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditor pemegang hak tanggungan, melainkan harus dilakukan oleh pejabat lelang pada KPKNL, karena pejabat lelang inilah yang oleh peraturan diberi wewenang melakukan lelang eksekusi. Berdasarkan permohonan eksekusi tersebut, selanjutnya pejabat lelang memroses pelaksanaan lelang, diawali dengan pengumuman lelang sebanyak dua kali diikuti dengan penjualan lelang dan pembagian hasil lelang. Apabila hasil lelang setelah dikurangi selulruh biaya dan pelunasan utang kepada para kreditor masih ada sisa, maka sisa tersebut harus diserahkan kepada pemberi hak tanggungan.

(10)

Eksekusi dengan pertolongan hakim obyek hak tanggungan diatur Pasal 20 (1) b UUHT jo. Pasal 14 (2) dan (3) UUHT.

Prosedur eksekusi dengan pertolongan hakimyang dimaksud Pasal 20 (1) b UUHTberupa permohonan eksekusi oleh kreditor kepada Ketua Pengadilan Negeri, selanjutnya Pengadilan Negeri melaksanakan eksekusi sebagaimana melaksanakan eksekusi putusan hakim biasa yang sudah mencapai kekuatan hukum pasti (in kracht van gewijsde). Eksekusi dilakukan terhadap sertifikat hak tanggungan yang di dalamnya memuat irah-irah dengan kata-kata: DEMI KEADILAN BERDSARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Sertifikat hak tanggungan yang demikian mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan pengadilan, demikian diatur dalam Pasal 14 UUHT dan penjelasannya.

Prosedur eksekusi dengan pertolongan hakim tersebut adalah prosedur eksekusi yang ada dalam Hukum Acara Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg. Penggunaan prosedur ini dengan tegas dapat dibaca dalam Penjelasan Umum Nomor 9 UUHT, seperti berikut ini:

Salah satu ciri hak tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan dalam undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.

Sehubungan dengan itu, pada sertifikat hak tanggungan yang berfungsi sebagai surat-tanda-bukti adanya hak tanggungan, (yang pada bagian atasnya) dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata: “DEMI KEADILAN BERDSARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA,”untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.Selain itu, sertifikat hak tanggungan tersebut dinyatakan sebagai pengganti grosse acte hypotheek, yang untuk eksekusi hipotik atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam melaksanakan ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.

(11)

tentang eksekusi yang ada di dalam Hukum Acara Perdata sebagai ketentuan pelaksanaan eksekusi. Ketentuan UUHT merupakan ketentuan Hukum Materiil Perdata, yang mengatur perihal hukum jaminan. Di dalam setiap Hukum Jaminan, selalu ditemukan ketentuan tentang eksekusi obyek jaminan apabila debitor wanprestasi. Prosedur eksekusi obyek jaminan yang diatur di dalam Hukum Jaminan selalu sederhana, singkat dan mudah, yaitu begitu debitor wanprestasi kreditor langsung bertindak dalam tahap eksekusi tanpa harus menempuh jalur litigasi. Di lain pihak, ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg tentang eksekusi dengan pertolongan hakim, berada dalam ranah Hukum Acara Perdata.

Ketentuan Hukum Acara Perdata diberlakukan dalam hal penyelesaian perkara dilakukan melalui litigasi. Berdasarkan hal tersebut diketahui, istilah “memasukkan secara khusus”ke dalam UUHT, ketentuan tentang eksekusi yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata (Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg) sebagaimana dituangkan dalam Penjelasan Umum Nomor 9 UUHT, harus dibaca sebagai “meminjam”. Peminjaman ketentuan Hukum Acara Perdata tentang eksekusi berdasar Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBgoleh UUHTdiperlukan sehubungan dengan belum adanya peraturan pelaksanaan eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UUHT. Belum adanya peraturan pelaksanaan tersebut mengakibatkan ketentuantentang eksekusi parat, eksekusi dengan pertolongan hakim dan eksekusi penjualan di bawah tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UUHT belum dapat dilaksanakan.

Istilah meminjam tersebut mengandung makna bahwa eksekusi obyek HT hanya berdasarkan ketentuanPasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg. Dengan kata lain tidak ada sat pasal pun ketentuan UUHT tentang eksekusi yang berlaku. Selanjutnya istilah “meminjam” mengandung makna sementara, tidak permanen. Makna ini juga terkandung di dalam pemberlakuan ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg bagi pelaksanaan eksekusi obyek hak tanggungan, yaitu ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg diberlakukan sampai dengan adanya peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud Pasal 26 UUHT.

3.Eksekusi penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan

(12)

Prosedur eksekusi penjualan di bawah tangan dapat dilakukan bilamana dipenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 20 (2) dan (3). Persyaratan ini adalah adanya kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan bahwa penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan akan memperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Dengan kata lain penjualan di bawah tangan dilakukan bilamana diperkirakan bahwa penjualan melalui pelelangan atau penjualan di muka umum melalui eksekusi parat atau eksekusi dengan pertolongan hakim yang dimaksudPasal 20 (1) a dan b UUHT tidak akan mencapai harga tertinggi.Penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulisoleh pemberi dan/ atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar pada daerah

yang bersangkutan dan/ atau media masa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

D. KETENTUAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN YANG BERLAKU

(13)

Menurut pembentuk UUHT, keberlakuan ketentuan tentang eksekusi yang diatur dalam Pasal 20 UUHT memerlukan peraturan pelaksanaan, suatu peraturan yang mengatur lebih lanjut tentang prosedur eksekusi dari masing-masing jenis eksekusi yang ada. Hal ini dengan tegas diatur dalam Pasal 26 UUHT yang berbunyi:

Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memerhatikan ketentuan Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hipotik yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan.

Ketentuan Pasal 26 tersebut dipertegas oleh bunyi Penjelasannya dan Penjelasan Umum Nomor 9.Di dalam penjelasan Pasal 26 UUHT dikatakan:

Yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi hipotik yang ada dalam pasal ini, adalah ketentuan yang ada dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.

Ketentuan Pasal 14 yang harus diperhatikan adalah bahwa grosse akta hipotik yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya hipotik, dalam hal hak tanggungan adalah sertifikat hak tanggungan.

Adapun yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang belum ada, adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus eksekusi hak tanggungan, sebagai pengganti ketentuan khusus mengenai eksekusi hipotik hak atas tanah yang disebut di atas.

Sebagaimana dijelaskan di dalam Penjelasan Umum angka 9, ketentuan peralihan dalam pasal ini memberikan ketegasan, bahwa selama masa peralihan tersebut,ketentuan Hukum Acara tersebut di atas berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan, dengan penyerahan sertifikat hak hak tanggungan sebagai dasar pelaksanaanya.

Penjelasan Umum angka 9 antara lain menyatakan:

Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan dalam undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.

(14)

bahwa selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, peraturan mengenai eksekusi hipotik yang diatur di dalam kedua reglement tersebut, berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan.

Dari bunyi ketentuan-ketentuan tersebut diketahui, bahwa ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan yang diatur dalam UUHT memerlukan peraturan pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan di sini adalah yang mengatur tentang prosedur atau tata cara eksekusi obyek hak tanggungan.

Beberapa pasal dalam UUHT yang mengatur tentang tiap-tiap jenis eksekusi [Pasal 20 (1) a UUHT jis. Pasal 6 dan Pasal 11 (2) e UUHT untuk eksekusi parat; Pasal 20 (1) b UUHT jo. Pasal 14 (2) dan (3) UUHT untuk eksekusi dengan pertolongan hakim; dan Pasal 20 (2) dan (3) UUHT untuk eksekusi penjualan di bawah tangan] dirasa belum memadai.

Berdasarkan hal tersebut diketahui, bahwa menurut pembentuk UUHT ketiga jenis eksekusi tersebut belum dapat dilaksanakan karena belum ada peraturan pelaksanaannya. Sambil menunggu terbentuknya peraturan pelaksanaan, maka pembentuk UUHTmemberlakukan atau “meminjam” ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg, sehingga dapat mewujudkan ciri hak tanggungan yang kuat yaitu berupa mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya.

Sehubungan dengan belum adanya peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud Pasal 26 UUHT, maka prosedur eksekusi parat dan eksekusi penjualan di bawah tangan yang diatur adalam Pasal 20 (1) a jis. Pasal 11 (2) dan Pasal 6 UUHT, serta eksekusi penjualan di bawah tangan yang diatur dalam Pasal 20 (2) dan (3) UUHT sampai saat ini belum berlaku.

Persoalan berikutnya adalah, apa bentuk hukum peraturan pelaksanaan ketentuan tentang eksekusi yang dimaksud Pasal26 UUHT?

Menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan undang-undang diatur dalam

Pasal 8.b, Pasal 9-13adalah undang-undang/ peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah dan peraturan desa/ yang setingkat.

(15)

No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Hal demikian berlaku pula bagi peraturan presiden (Pasal 11 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Dalam Pasal 12 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ditentukan peraturan daerah digunakan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengaturan demikian juga dilakukan untuk peraturan desa/ yang setingkat (Pasal 13 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Penggunaan anak kalimat: “penjabaran lebih lanjut peraturan undangan yang lebih tinggi” menjadikan peraturan tersebut tidak jelas. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi daripada peraturan desa dapat berupa peraturan daerah kabupaten/ kota, peraturan daerah prvinsi sampai dengan UUD1945. Apakah hal ini berarti suatu peraturan desa dapat langsung digunakan untuk menjabarkan lebih lanjut ketentuan dalam UUD1945?

Peraturan yang dengan tegas ditentukan untuk mengatur lebih lanjut undang-undang tanpa harus secara tegas ditentukan dalam undang-undang yang bersangkutan, adalah peraturan pemerintah (Pasal 10 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan).

Dalam Pasal 26 UUHT tidak ditentukan dengan tegas bentuk peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksaan UUHT tentang eksekusi. Istilah yang dipergunakan Pasal 26 UUHT digunakan istilah “peraturan perundang-undangan yang mengaturnya”.

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah penghuni yang mempengaruhi kepadatan hunian secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi keberadaan larva Aedes aegypti pada rumah karena semakin banyak

[r]

No.2 Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Makassar atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri

PT Wilton Makmur Indonesia Tbk Komplek Harco Mangga Dua (Agung Sedayu), Block C No.5A Jl. (+62 21) 612 5583 Upon transfer of “Exploration and Evaluation Assets” into “Mines

Bila eros didefinisikan sebagai cinta yang mencari kesejahteraan diri, Nygren mengemukakan bahwa fakta mengenai adanya motif agape dalam Perjanjian Baru menunjukkan

[r]

Beberapa komponen yang terpasang pada mikrokontroler yaitu sensor fingerprint yang berfungsi sebagai pembaca sidik jari untuk membuka pintu ketika berada diluar rumah,

Berdasarkan Tabel 4.2 hipotesis yang menyatakan DPK, Profit, NPF, Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil Mudharabah serta Musyarakah secara bersama-sama berpengaruh secara