• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Perempuan dan Pergerakan Fe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Representasi Perempuan dan Pergerakan Fe"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI PEREMPUAN DAN PERGERAKAN FEMINISME DALAM MEDIA

Farraz Theda

Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, 16425, Indonesia. email: farraz.theda@yahoo.co.id

Abstract

Media is the main source of information in nowadays society. In line with it, media also becomes the main source of gender representation. Since the beginning of media development, most of time, woman gets minor position, thus depict as the weakest and most vulnerable part of society, which then unconsciously gives man higher position of the hierarchy. However, woman representation in media has significantly changed, alongside with media’s development. Alongside with paradigm shift of ‘feminine’ concept in the society, and the rise of online feminism movement. The birth of Internet gives free access and great amount of interactivity for user, thus makes user easily upload and share personal thoughts. In the other side, power in new media is not disappeared, therefore distributed and in some way placed woman as a vulnerable victim for hate crime. Feminism movement and gender representation could not be separated from media’s development. This article will take closer look and analyze the relation between it.

(2)

Abstrak

Media massa merupakan sumber informasi utama yang berkembang dalam masyarakat saat ini. Di saat yang bersamaan, media juga menjadi sumber representasi dan pendidikan gender utama yang seringkali menempatkan perempuan sebagai kaum marginal, yang digambarkan lemah dan teraniaya dalam masyarakat, dan tanpa sadar menempatkan laki-laki di posisi yang lebih tinggi. Namun, seiring dengan perkembangan media, pergeseran pardigma menganai konsep feminisme, dan lahirnya pergerakan feminisme online, representasti perempuan dalam media semakin berubah kearah positif. Kelahiran internet, menciptakan kesempatan bagi para pengggunanya untuk semakin interatif dalam proses reproduksi konten, dan berargumen, namun kekuasaan yang tidak hilang dalam media baru juga melahirkan ancaman baru bagi perempuan. Pergerakan dan representasi perempuan dalam media, tidak dapat dipisahkan oleh perkembangan media itu sendiri. Artikel ini bertujuan untuk melihat dan menganalisis hubungan yang terjadi di antaranya.

Keyword: new media, gender, feminism, hate crime, rape jokes

Biodata Penulis

Farraz Theda, mahasiswi ilmu komunikasi Universitas Indonesia tahun 2011 dengan program studi Kajian Media, peraih beasiswa penuh dari Global Korean Scholarship dalam program pertukaran pelajar dengan Chonbuk National University 2014. Salah satu panelis dalam Konferensi Nasional Komunikasi, Universitas Indonesia 2013, dengan topik gaya berbusana dan imperliasme budaya.

(3)

1. Introduction: Mass Media and Gender

Salah satu fungsi klasik media massa, sebagaimana diungkapkan oleh Laswell (1948) dan Wright (1960) adalah transmisi nilai sosial dan budaya (transmission of the social heritage) yang mengacu pada fungsi media massa sebagai sarana sosialisasi nilai, norma dan budaya dalam masyarakat (Davis, 2012 p. 248). Sosialisasi gender, tentu saja masuk dalam fungsi tersebut. Albert Bandura, menyebutkan bahwa media massa mempengaruhi proses kognitif individu lebih dari agen sosial lainnya. Melalui simbol yang ditampilkan dalam media massa, individu memberi, membentuk makna yang terus menerus mempengaruhi cara mereka menjalani kehidupan. Media massa merupakan salah satu agen sosial di luar keluarga, sekolah, dan teman permainan yang menjalankan fugsi sosialisasi pada individu. Bandura menambahkan, dalam kehidupan modern, peran media justru lebih signifikan ketimbang agen sosial lainnya, karena tingkat penggunaan yang semakin intens (Oliver, 2009 pp.122-126).

Consequently, their conceptions of social reality are greatly influenced by vicarious experiences-by what they see, hear and read-without direct experiental correctives. To a large extent, people act on their images of reality. The more people’s images of reality depend on the media’s symbolic environment, the greater is its social impact. (Ball-Rokeach & DeFleur, 1976).

Media massa jelas memiliki peran penting dalam mempengaruhi persepsi dan pembentukkan kognisi dalam diri individu. Seringkali kita tidak menyadari bahwa kita mempelajari sebuah ‘subjek’ melalui apa yang kita lihat dalam media massa. Terutama ketika ‘subjek’ yang dibicarakan tersebut sangat berbeda dari diri kita ditambah langkanya kesempatan untuk melakukan kontak face to face. Padahal, di sisi lain apa yang disampaikan media massa bukanlah sebuah pengalaman murni individu, melainkan hasil produksi media massa yang dikemas sesuai agenda tertentu (Dill, 2009 pp 88-89). Sehingga munculnya stereotype dan persepsi tertentu mengenai sebuah hal tidak dapat dihindarkan.

(4)

dalam posisi minor. Hal ini disebabkan rendahnya partisipasi perempuan dalam produksi media. Pada saat itu, hanya terdapat 5% perempuan sebagai pekerja televisi, eksekutif dan produser (Lichter, Lichter dan Rothman, 1986). Beberapa analis media (Mills, 1988) menyebutkan, jika saja pada masa itu lebih banyak perempuan yang memiliki kekuasaan dalam level eksekutif, media akan menawarkan penggambaran perempuan yang lebih positif. Sejatinya, media terus menerus menggambarkan perempuan dan laki-laki dalam kacamata stereotype yang membatasi persepsi individu.

Women are portrayed as significantly younger and thinner than women in the population as a whole, and most are depicted as passive, dependent on men, and enmeshed in relationships or housework. (David, 1990)

Kriteria ini memiliki pengaruh dalam industri berita, dimana news anchor diharapkan berusia muda, berpenampilan menarik dan tidak vokal (Craft, 1988; Sanders & Rock, 1988). Pada umumnya, media menekankan citra perempuan yang dependen, ornamen dalam media yang bertujuan untuk terlihat bagus, dan menyenangkan laki-laki. Citra perempuan dalam media terbagi dalam dua hal, perempuan baik (good women) dan perempuan buruk (bad women). Perempuan baik digambarkan melalui peran protagonis dalam cerita dongeng, drama televisi, majalah sebagai perempuan yang cantik, fokus pada urusan rumah tangga dan keluarga, peduli terhadap sesama, dan subordinat pada laki-laki. Sebaliknya perempuan buruk memiliki karakter yang sangat berlawanan. Karakter ini ditunjukkan melalui peran nenek sihir, ibu tiri, dan perempuan tuna susila. Dalam hubungannya dengan lawan jenis, media juga menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah, bergantung pada pasangannya. Karakter perempuan dalam film animasi The Little Mermaid (Walt Disney, 1989) menyerahkan identitasnya sebagai putri duyung agar cintanya diterima oleh karakter laki-laki dalam cerita (Wood, 1994).

Representations of gender today are more complex, and less stereotyped than in the past. (Gauntlett, 2002 p. 90)

(5)

sengaja dibuat bodoh, proses penggambaran gender dalam media massa modern jauh lebih dinamis. Dinamika inilah yang kemudian melahirkan fenomena-fenomena baru dalam penggambaran gender dalam media.

Feminism and Today’s Femininity

Penggambaran perempuan yang kerap tidak berimbang melahirkan gerakan feminisme dalam media. Term ‘feminisme’ sering diasosiasikan sebagai rasa benci perempuan terhadap laki-laki, pergerakan yang dilakukan untuk melanggar fakta bahwa kedudukan laki-laki berada di atas perempuan.

Feminism is a movement to end sexism, sexist exploitation, and oppression. (Hooks, 2000)

Pengertian feminisme di atas tidak hanya diasosiasikan sebagai upaya untuk melenyapkan kekuasaan laki-laki, namun lebih jauh, seksisme. Definisi tersebut secara jelas menggarisbawahi permasalahan masyarakat yang sudah disosialisasi untuk bertindak dan berpikir seksis, menempatkan patriarki sebagai institusi seksisme. Sekalipun laki diuntungkan dalam posisi masyarakat patriarkis, tanpa sadar laki-laki juga menjadi korban ideologi dominan untuk terus ‘memaksa’ mereka untuk membatasi peran perempuan melaui dominasi, kekerasan, dan eksploitasi. Feminisme lahir untuk menolak patriarkisme dan mengupayakan kesetaraan gender dalam masyarakat, bukan semata-mata menghapus peran laki-laki.

Pada awal masa pergerakannya, para feminis memusatkan perhatian dan analisis mereka pada penggambaran perempuan dalam film, dimana perempuan seringkali mendapat peran tertindas. Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu 1930-1970, dan menegaskan penerapan male-gaze1 yang konsisten menempatkan perempuan sebagai objek ‘pelengkap’, passive dan marginal. Dalam film bergenre perang perempuan memberikan kontribusinya sebagai perawat, istri yang ditinggalkan suami, yang kembali menegaskan peran feminin perempuan.

      

1

(6)

Feminitas berkembang dalam masyarakat sebagai sebuah stereotipe yang melekat pada perempuan. Bagaimana seharusnya perempuan berperilaku dan bertindak. Pada perkembangannya, bagi para perempuan modern, menjadi ‘feminin’ hanyalah salah satu performa dalam kehidupan yang dapat mereka pilih - untuk kesenangan, atau untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini tidak serta merta mengatakan cara pikir tradisional mengenai ‘perempuan’ hilang, persepsi ini tetap ada dalam masyarakat, karenya ketika seorang perempuan berpakaian atau bertindak melawan persepsi tradisional, ia akan dikritik sebagai perempuan yang tidak feminin (lack of femininity) (Gauntlett, 2002 p. 10). Hal yang sama terjadi pada konsep maskulinitas, yang diduga mengalami masa ‘krisis’ karena semakin banyak perempuan yang mengerjakan peran laki-laki dalam masyarakat. Anthony Clare, dalam bukunya On Men: Masculinity in Crisis, mengatakan bahwa laki-laki mengalami masa yang sulit karena persepsi tradisional yang terus melekat dalam masyarakat, dan di saat yang bersamaan, persepsi mengenai feminitas berkembang dinamis. Lebih lanjut, Clare mengatakan bahwa krisis ini bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan, laki-laki hanya perlu mencari peran baru, modern, dimana mereka dapat menempatkan diri dalam masyarakat, sama halnya dengan perempuan.

Rape Jokes: A Battlefield

(7)

Kejadian Daniel Tosh pada pertengahan 2012 di sisi lain seolah menjadi awal pemicu pergerakan kaum perempuan yang menuntut kesetaraan gender dalam media. Hal ini terus menjadi perdebatan, hingga pada Mei 2013, salah satu tokoh perempuan yang dengan tegas menentang rape jokes adalah Lindy West, dipertemukan dengan komedian Jim Norton dalam sebuah acara Totally Biased2 untuk membicarakan isu rape jokes. Jim Norton berargumen bahwa menentang rape jokes sama halnya dengan membatasi kebebasan berpendapat (freedom of speech), dan komedi tidak seharusnya dibatasi. Ia juga menyinggung hal-hal ofensif lain, seperti ras dan agama dalam skit komedi yang memang dibuat dengan tujuan mengibur, “the purpose of comedy is to release tension.” dimana kemudian Lindy West menentang argumen tersebut dengan dasar bahwa rape jokes sama halnya dengan menertawakan trauma korban perkosaan, dan secara bersamaan merekonstruksi tindak perkosaan menjadi sebuah hal yang layak ditertawakan (West, 2013).

Satu minggu setelah muncul di acara Totally Biased, Lindy West mengunggah sebuah video dalam situs Jezebel, sebuah media berbasis blog dengan segmentasi pengguna perempuan. Dalam videonya, Lindy West kembali menegaskan argumen mengenai bagaimana menurutnya rape jokes menciptakan masyarakat yang resisten terhadap tindak perkosaan.

I don't believe that previously non-raping audience members are going to

take to the streets in a rape mob after hearing one rape joke. That's an absurd

and insulting mischaracterization. But I do believe that comedy's current permissiveness around cavalier, cruel, victim-targeting rape jokes contributes to (that's contributes—not causes) a culture of young men who don't

understand what it means to take this stuff seriously. (West L. , 2013)

Kaum laki-laki yang merasa argumen Lindy West tidak masuk akal, dan mulai melontarkan komentar negatif, bahkan ancaman melalui jejaring sosial. Jim Norton, di sisi lain mengakui bahwa fansnya jauh lebih keras menanggapi Lindy West, dan ia menyesalkan hal tersebut, karena menurutnya perdebatan dengan Lindy bukanlah

      

2 Serial stand up comedy stasiun televisi Amerika (FX), dengan sesi wawancara dengan bintang tamu

(8)

sesuatu yang harus ditanggapi ofensif, karena ia menghargai argumen Lindy, sekalipun tetap menganggap bahwa rape jokes adalah hal yang wajar dalam komedi (Norton, 2013). Isu rape jokes semakin hangat diperbincangkan setelah puisi karya seorang penyair Amerika, Patricia Lockwood yang berjudul ‘rape joke’ menjadi begitu viral, dan diakses lebih dari sepuluh ribu pengguna Facebook satu jam setelah diunggah dalam situs The Awl (Groskop, 2013).

2. Kerangka Teori 2.1 Media Baru

Term media baru muncul pada akhir tahun 1980-an, dimana media pada saat itu mulai mengalami ‘perubahan’ seiring dengan kelahiran internet. Secara teknologi, perubahan transmisi sinyal analog menjadi digital dan dukungan infrastruktur wireless yang semakin berkembang dalam masyarakat, memudahkan akses internet dan pada saat yang bersamaan meningkatkan demand terhadap media baru. Berbicara mengenai media baru, tidak hanya berkisar pada perubahan teknologi, namun juga penggunaannya, produksi, distribusi dan konsumsi pengguna.

(9)

dalam media baru. Kode digital ini kemudian dapat disimpan dalam digital disk, memory, dan digunakan, disebarkan ulang melalui media lain. Kontras dengan analog, dimana konten media berbentuk fisik, dan hanya dapat disebarkan dan dipergunakan, serta dimodifikasi dalam bentuk fisik yang sama.

Generally, the term stands for a more powerful sense of user engagement with media texts, a more independent relation to sources of knowledge, individualised media use, and greater user choice.(Lister et al, 2009).

Interaktivitas (interactivity) menegaskan perbedaan media tradisional dengan media baru, dimana pengguna berperan lebih aktif dalam penggunaan media kontras dengan media tradisional yang tidak memungkinkan terjadinya interaksi dalam konsumsi media. Interaktivitas menunjang pengguna untuk mempengaruhi dan mengubah konten media yang mereka akses, sehingga audience dalam media baru menjadi ‘pengguna’ (user) bukan saja berperan sebagai ‘penonton’ (viewer). Adanya interaktivitas dalam media baru, membantu pengguna untuk memproduksi makna, dan berperan aktif dalam produksi konten dalam media. Hal ini kemudian berimplikasi pada mengaburnya batas antara produser dan konsumer dalam media baru. Dalam penggunaannya, media baru menjadi semakin tersegmentasi, membagi pengguna dalam kelompok-kelompok tertentu, dimana sekalipun dalam jumlah bersifat jamak, resepsi individu sesuai segmentasi tertentu terhadap media baru, hampir seragam. Namun, disaat yang bersamaan, individu juga semakin aktif dalam menyeleksi informasi, karena banyaknya pesan yang terdapat dalam media baru.

2.2 Konvergensi Media: Produsage & Participatory Culture

Media convergence is more than simply a technological shift. Convergence alters the relationship between existing technologies, industries, markets, genres and audiences. Convergence refers to a process, but not an endpoint. (Jenkins, 2004, pp. 33-43)

(10)

Transisi penggunaan media yang terjadi saat ini melahirkan revolusi modern dalam pergerakan informasi (Zittrain, 2008, p. 8). Aksesibilitas tinggi yang terdapat dalam media baru memungkinkan pengguna untuk mengakses informasi secara cepat, dimana saja dan kapan saja, mengacu pada definisi media baru yang telah dijabarkan. Lahirnya media baru membuat pengguna tidak lagi berperan sebagai konsumen atas apa yang diproduksi media. Pengguna media saat ini lebih aktif terlibat dalam proses pembentukan konten media. Adanya dukungan teknologi dan arus informasi memungkinkan hal ini terjadi. Term produsage sendiri tidak mengacu pada aktivitas produksi konten secara tradisional, namun kegiatan produksi-konsumsi pada saat yang bersamaan oleh pengguna, dimana konten secara terus menerus mengalami perkembangan karena merupakan hasil dari pemikiran kolektif (Bruns, 2008 p.15).

Convergence does not occur through media appliances, however sophisticated they may become. Convergence occurs within the brains of individual consumers and through their social interactions with others. (Jenkins, 2006 p.4)

Asumsi bahwa tidak ada individu yang mengetahu segalanya, dan setiap orang mengetauhi sesuatu melahirkan sebuah pengetahuan kolektif (collective intelligence). Pierre Levy menawarkan sebuah pemahaman mengenai ‘ruang pengetahuan’ yang mampu menyadarkan pengguna untuk memanfaatkan potensi media baru seluas-luasnya dengan bertukar informasi (Jenkins, 2006 p.136-137). Hal ini tentu saja dimungkinkan dengan adanya perkembangan teknologi, dimana komunitas virtual dapat saling berinteraksi untuk menyatukan potongan pengetahuan mereka, agar menjadi utuh.

(11)

2.3 Public Sphere

Jurgen Habermas merupakan tokoh pertama yang mencetuskan konsep public sphere,

ia menjabarkan public sphere sebagai ruang terbuka bersama yang direproduksi melalui proses komunikasi dalam masyarakat yang rasional. Rasionalitas yang kemudian ia jelaskan sebagai masyarakat yang saling berargumen mengenai wacana kritis, dengan tujuan untuk saling memahami, bukan untuk memenangkan argumen atas satu dengan yang lainnya. Ia kemudian menambahkan struktur hierarki dalam pembentukkan public sphere yang dikuasai oleh kaum bourgeois, para pemegang kekuasaan dan kekuatan ekonomi dalam masyarakat. Namun, pada perkembangannya, public sphere tidak saja terjadi dalam ruang rigid antara pemegang kekuasaan dan kekuatan ekonomi, melawan kelas bawah dalam masyarakat. Public sphere terjadi dimana, dan kapan saja ketika sebuah hal berbeda diperdebatkan. Public sphere menurut Habermas, tidak tersusun dari masyarakat yang memiliki pemikiran homogen, dan spesifik, melainkan serangkaian pemikiran yang kompleks, jamak, dan saling melengkapi satu sama lain melalui proses komunikasi kritis antar individu, kelompok, asosiasi, pergerakan sosial, jurnalistik, perusahaan dan institusi masyarakat lainnya (Dahlberg, 2005). Public sphere mendukung adanya demokrasi dalam masyarakat.

Konsepsi mengenai public sphere sebagai ruang publik yang bebas dan bertujuan untuk saling memahami perbedaan argumen, dibantah adanya fakta bahwa pada akhirnya wacana dan argumen yang dipaksakan secara lebih intens, akan menjadi “pemenang”. Kritik mengenai konsep public sphere oleh Habermas juga muncul dari kaum rasionalis, dimana mereka beranggapan bahwa dalam public sphere, wanita dilihat sebagai kaum marginal, kontras dengan kulit putih (western people) yang lebih diuntungkan dalam pertarungan wacana. Hal ini jelas berpengaruh pada terhambatnya proses komunikasi dalam ruang tak berbatas (public spehere) yang dijabarkan Habermas.

2.4 Hate Crime

(12)

keserakahan politik, dan sebagainya. Tidak seperti tindakan pencurian, perampokkan, atau penyerangan, hate crime menekankan pada karakter, perilaku dan nilai pelaku. Prasangka dalam hate crime dapat mencakup agama, suku, ras, kenampakan fisik, orientasi seksual dan gender. Oleh karenanya, kelompok minoritas dalam masyarakat lebih rentan menjadi korban. ‘Intimidasi’ sebagai wujud hate-crime dikategorikan sebagai tindak kriminal rendah, bukan tindak kekerasan terorganisir yang melibatkan kelompok tertentu.

Hate crimes merupakan kejahatan serius dan lebih berbahaya daripada kejahatan lainnya karena dimotivasi oleh rasa benci yang menimbulkan ketakutan dan ancaman yang lebih besar. Hate crimes tidak secara spesifik mengacu pada kejahatan yang dilakukan penyerang terhadap kelompok tertertu. Mengacu pada The Civil Rights Act of 1968, pelaku hate crime memiliki prasangka tertentu terhadap seorang korban sebagai anggota dari kelompok tertentu, namun bukan berarti pelaku bersikap negatif terhadap kelompok tersebut. Definisi ini disederhanakan sebagai tidak kejahatan dimana penyerang dan korban berasal dari kelompok berbeda dalam masyarakat. Sebagai contoh, pelaku D, hanya merampok perempuan lanjut usia yang berasal dari Asia, karena ia beranggapan jika lebih mudah mencuri dari perempuan Asia, sekalipun ia tidak memiliki kontotasi negatif terhadap perempuan Asia pada umumnya. Pelaku dapat dihukum atas dasar kejahatan yang dimotivasi prasangka, menurut UU Hak Sipil tahun 1968. Jika hate crimes didefinisikan sebagai kejahatan yang sebagian kecil dimotivasi adanya prasangka, akan terdapat tindak pidana yang masuk dalam kategori hate crime, lebih dari jika hate crime hanya dijabarkan sebagai tidak kejahatan yang hanya dimotivasi oleh adanya prasangka (Rouse, 2012).

2.5 Digital Divide

(13)

menandai pengguna yang melakukan dan tidak melakukan upaya untuk berpartisipasi, berkumpul dan menyuarakan pendapat mereka melalui media baru dalam kehidupan sosial (Norris, 2001). Digital divide tidak saja terbatas pada akses pengguna terhadap infrastuktur yang menunjang penggunaan media baru, namun juga aspek lain yang berpengaruh dalam menggunakan media baru tersebut secara bijak, seperti pendidikan dan literasi media (Warschauer, 2003).

3. Analisis: The Age of New Media and Feminism

Fenomena rape jokes nyatanya tidak hanya memicu pergerakan perempuan di Amerika saja, setelah isu ini menjadi viral di ranah online, pergerakan serupa muncul di negara-negara lain di benua Eropa, Amerika dan Asia. #RapeisNOjoke menjadi worldwide trending topic pada 27 Februari 2014, sehari setelah menjadi trending topic di Amerika. Online campaign dan movement menuntut para komedian untuk berhenti menjadikan tindak perkosaan sebagai bahan komedi bermunculan di berbagai platform jejaring sosial. Seketika, hal ini memunculkan ruang pertarungan ‘ideologi’ dalam media baru, yang disebut Habermas sebagai ‘public sphere’, dan juga melahirkan gaya pergerakan baru yang jauh lebih dinamis daripada pergerakan feminisme konvensional.

…being interactive signifies the users (the individual members of the new media ‘audience’) ability to directly intervene in and change the images and texts that they access - the audience for new media becomes a ‘user’ rather than the ‘viewer’ (Lister, Dovey, Giddings, Grant, & Kelly, 2009).

(14)

sebagai objek seks yang pasif (Lynskey, 2013). Blurred Lines memiliki video musik dalam dua versi, versi awal yang diluncurkan dipenuhi oleh para perempuan bertelanjang dada yang mengitari kedua penyanyi tersebut, video ini mendapat reaksi keras dari masyarakat, memaksa pihak label mengeluarkan versi ‘lebih halus’ dengan konsep serupa, dengan model perempuan yang mengenakan pakaian. Penolakkan atas lagu Blurred Lines melahirkan berbagai video parodi yang menempatkan dua gender dalam posisi sebaliknya. Penggunaan video parodi sebagai media partisipasi dalam masyarakat merupakan salah satu bentuk culture jamming, term yang pertama kali digunakan pada tahun 1984 untuk menjabarkan sebuah upaya konfrontasi terhadap kekuatan dan konsepsi dominan, serta superioritas kelas dalam masyarakat melalui reproduksi konten kreatif media mainstream (Darts, 2004). Produk kreatif ini merupakan hasil pemikiran individu yang diperoleh melalui interaksi sosial dengan pengguna lainnya.

Consumption has become a collective process - none of us can know everything; each of us knows something; and we can put the pieces together if we pool our resources and combine our skills. (Jenkins, 2006 p. 4)

Media baru telah menciptakan sebuah budaya partisipatif bagi para penggunanya. Jenkins menjelaskan karakteristik budaya partisipatif (participatory culture) ditandai dengan rendahnya hambatan untuk mengekspresikan seni sebagai wujud keterlibatan warga, dan adanya dukungan yang kuat untuk membuat dan menyebarkan kreasi orang lain. Dalam budaya ini, pengguna percaya bahwa setiap kontribusi mereka berarti (Delwiche and Henderson, 2013 p.1-5), karenanya kecerdasan kolektif (collective intelligence) dapat dilihat sebagai alternatif baru kekuatan media.

(15)

mengenai feminisme abad 21. Berbagai kajian #femfuture juga ditampilkan dalam media massa lain seperti Forbes, Ebony, upworthy dan policymic. Organisasi online dianggap lebih efektif dan efisien, struktur horizontal di dalamnya memungkinkan setiap orang berkontribusi dengan setara, tanpa adanya tekanan dari struktur yang lebih tinggi. Internet bukan sekadar infrastuktur pendukung pergerakan sosial saja, namun juga motor perubahan struktur organisasi feminisme dalam media baru. Desentralisasi tanggung jawab, dengan koordinasi yang fleksibel dan longgar antar kelompok dalam organisasi lebih diminati, dibandingkan top-down command. Dimana organisasi pergerakan formal seringkali mengandalkan jumlah keanggotaan, daripada kontribusi anggota (Juris, 2005). Peningkatan jumlah pergerakan feminisme online juga tidak dapat dipisahkan oleh peran clicktivism, pengguna internet yang dengan aktif menyebarkan pergerakan feminisme. Term clicktivism, sering diasosiasikan dengan perilaku ‘malas’ pengguna yang hanya menyebarkan, tanpa benar-benar turun langsung dalam pergerakan sosial. Dalam perkembangannya, tidak dapat dipungkiri jika peran clicktivist menjadi sangat penting dalam pergerakan sosial (social movement) (Kapin & Ward, 2013).

If It Doesn’t Spread, It’s Dead. (Jenkins, 2009)

Jika video pertunjukkan rape jokes Daniel Tosh tidak menjadi viral dalam media, jika wawancara Lindy West dan Jim Norton tidak mendapat tanggapan dari para pengguna, jika puisi karya Patricia Lockwood tidak mendapat 10.000 likes selama kurang dari satu jam setelah diunggah, jika video parodi Blurred Lines tidak ditonton lima juta pengguna internet, dan banyak jika lainnya yang memungkinkan pergerakan feminisme tidak akan sehangat saat ini. Peran clicktivist memang tidak sebesar para aktivis feminisme, namun tidak ada kontribusi yang tidak berarti jika mengacu pada definisi participatory culture.

New media technologies enabled the same content to flow through many different channels and assume many different forms at the point of reception. (Jenkins, 2009 p.11)

(16)

dengan pergerakan perempuan, mengaburkan definisi feminisme yang berkembang dalam masyarakat. Video parodi Blurred Lines yang diunggah oleh kelompok komedi mahasiswi universitas Auckland menuai banyak komentar negatif dari para penonton laki-laki yang merasa perubahan lirik dalam parodi tersebut terlalu ofensif. Tidak jarang konten media yang ditujukan untuk mendukung feminisme sangat radikal, mengesankan jika pergerakan feminisme bukan bertujuan untuk menyetarakan gender, melainkan menjadikan perempuan sebagai peran superior dan menyebarkan kebencian terhadap kaum laki-laki.

Imbas terhadap banyaknya konten media yang diterima dan dimaknai berbeda oleh individu mengaburkan definisi mengenai feminisme dan perdebatan yang ada di dalamnya. Dimana perdebatan mengenai feminisme tidak lagi didefinisikan sebagai usaha menuju kesetaraan gender. Namun, diasosiasikan sebagai pertarungan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki diposisikan sebagai pihak kontra-feminisme, dan tidak jarang mendapatkan label ‘misogynist’. Kenyataannya, perempuan juga dapat menjadi pihak kontra-feminisme (anti feminism) dan secara terang-terangan menentang feminisme dengan alasan bahwa pergerakan feminisme telah berubah kearah seksis, yang justru merusak kesetaraan gender, dengan mengutamakan posisi perempuan dalam masyarakat. Sebuah Facebook page, Women Against Feminism mendapatkan likes sebanyak lebih dari dua puluh ribu pengguna. Halaman Facebook ini berisi testimonial perempuan yang menolak pergerakan feminisme, dengan mengunggah foto berisikan alasan mereka (The Huffington Post UK, 2014).

Public sphere is an ‘intersubjectively shared space’ reproduced through communicative rationality -- as rational-critical discourse or argumentation, is where participation is coordinated through acts of reaching understanding, rather than through egocentric calculations of success. (Dahlberg, 2005)

(17)

(Durham & Kellner, 2006). Dalam perkembangannya, konsep public sphere tidak hanya digunakan dalam konteks politik saja, melainkan isu apapun yang diperdebatkan. Kenyataannya, public sphere dalam media baru tak jarang melahirkan perdebatan, yang berakhir dengan pertarungan kekuasaan. Hal ini bertolak belakang dengan asumsi Habermas, bahwa seharusnya public sphere menjadi tempat untuk saling memahami argumen masing-masing dan jembatan antar wacana. Namun, public sphere dalam media baru justru berimbas pada munculnya hate crime.

The gradual inclusion of women into the public sphere, though a remarkable development in the modern history of many countries in the region, is still incomplete and contested. This is because the public sphere has remained as the self-acclaimed space of male absolute power and dominance until relatively recently. (Skalli, 2006)

(18)

Therefore, any single hate-motivated incidents threatening implications for all members of that group and reminds them that they "could be next."

Members Of these targeted groups often experience extreme fear; thus, the effects of hate-motivated incidents are not confined geographically or psychologically to those particular incidents. (Craig & Waldo, 1996)

Komentar ofensif terhadap pengguna perempuan yang mendukung pergerakan feminisme dalam media baru, tak jarang mengarah pada pelecehan verbal, seperti apa yang dialami oleh Lindy West setelah mengutarakan argumen penolakan rape jokes. Hal ini mengindikasikan bahwa kekuasaan dalam media baru yang cenderung melebur dan dinamis, di saat yang bersamaan memunculkan konsep digital divide, dimana akses terhadap media baru, baik secara fisik terhadap infrastruktur teknologi, dan akses lain yang mendukung pengguna dalam mengakses media, seperti pendidikan, dan budaya (Warschauer, 2003). Akses perempuan terhadap media baru, tidak dapat dipungkiri meningkat selama dekade terakhir, namun di beberapa daerah dan negara tertentu, akses perempuan masih sangat minim dan terdominasi oleh laki-laki. Sekalipun akses perempuan terhadap internet di Amerika Serikat terhitung sama dengan laki-laki, faktanya perempuan lebih sering mengalami techno-sexism saat mengakses internet. Sama halnya dengan kesenjangan ras, kesenjangan gender dalam media baru, meliputi 1) kesenjangan akses dalam mendukung dan terlibat dalam bidang teknologi, 2) kesenjangan akses terhadap situs dan konten internet yang mengancam, dan 3) kesenjangan terhadap internet yang ramah dan aman (Gorski, 2003). Ketimpangan dalam penggunaan media baru ini menimbulkan bahaya laten, yang menjadikan perempuan kaum minoritas, rentan terhadap hate crimes.

Future Women’s Movement

(19)

karena feminisme bukan saja untuk perempuan, dan laki-laki juga menjadi korban di dalamnya. Hingga saat ini, halaman Facebook #HEforSHE mendapat dukungan dari lebih seratus ribu pengguna, seiring dengan pengguna laki-laki yang mengunggah foto pribadi mereka untuk mendukung kampanye ini yang semakin meningkat setiap harinya (UN Women, 2014). Pendekatan berbeda dilakukan oleh pergerakan feminisme modern, dimana laki-laki justru menjadi sasaran utama kampanye kesetaraan gender, bukanlah perempuan. Sekalipun terlalu cepat untuk menilai keberhasilan kampanye ini, namun sejauh ini #HEforSHE mendapat tanggapan positif baik dari perempuan dan laki-laki.

Indonesia: Pemerkosaan di Angkot dan Komedi

Kasus pemerkosaan di angkutan umum menjadi salah satu tindak kriminal yang ramai dibicarakan dalam media selama kurun waktu 2011-2013. Pemerkosaan dalam angkutan umum pada awalnya terjadi tahun 2011, menimpa mahasiswi sebuah universitas di Jakarta yang hendak pulang ke daerah Jakarta Barat dengan angkutan umum (angkot) lewat tengah malam. Seolah menyebar seperti virus, kasus pemerkosaan dalam angkutan umum ini semakin marak terjadi di daerah Jabodetabek, dan seringkali menimpa mahasiswi atau pelajar yang menumpangi angkutan umum pada malam hari. Modus pemerkosaan yang terjadi pada umumnya dilakukan saat korban sendirian menumpangi angkutan umum, lewat tengah malam, diberhentikan tidak pada tujuan akhir angkutan umum, diperkosa, dan tidak jarang mengalami perampokan disaat yang bersamaan. Supir seringkali menjadi tersangka utama dalam kasus pemerkosaan di dalam angkutan umum, seperti yang terjadi dalam kasus pemerkosaan dalam angkot D-02 September 2011 (Santosa, 2011). Isu pemerkosaan di dalam angkutan umum merupakan isu besar yang ramai diperbincangkan pada masa itu, sehingga tidak heran jika pada akhirnya, salah satu komedian menggunakan kasus ini sebagai bahan lawakan. Olga Syahputra, salah seorang komedian yang sangat populer pada masa itu, menggunakan kasus pemerkosaan sebagai bahan lawakan dalam sebuah perayaan ulang tahun televisi yang disiarkan secara live.

Olga, kenapa lu jadi suster ngesot," kata Sule kepada Olga sebagaimana

dikutip oleh Helga. "Sepele, diperkosa supir angkot," kata Olga (Berita Satu,

2011).

Reaksi spontan Olga yang dilontarkan sebagai bahan ‘lelucon’ tersebut langsung

(20)

melaporkan tindakan Olga kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Salah satu

aktivis perempuan dari Lentera Indonesia, Helga mengatakan, ini bukan pertama

kalinya Olga melontarkan lelucon yang melecehkan korban pemerkosaan di dalam

angkutan umum, sehingga ia memutuskan untuk melaporkan tidakan Olga kepada

KPI (Parabueq, 2011). Pakaian yang dikenakan perempuan juga sempat ditengarai

sebagian pihak sebagai hal yang memicu terjadinya kasus pemerkosaan dalam

angkutan umum (Saputro, 2011). Fauzi Bowo, pada saat itu masih menjabat sebagai

gubernur DKI Jakarta, menyampaikan komentarnya terhadap tindak pemerkosaan

yang dialami seorang mahasiswi universitas ternama di Jakarta, "Bayangkan saja

kalau orang naik mikrolet duduknya pakai rok mini, kan agak gerah juga," kata Foke

sembari bercanda (Munawwaroh, 2011). Seketika tanggapan Fauzi Bowo, yang akrab

disapa Foke ini menjadi sangat viral dalam jejaring sosial, twitter yang menganggap

Foke sebagai gubernur yang seharusnya dapat menjamin keamanan warganya, justru

menyudutkan korban dengan tanggapan yang dilontarkan. Hal ini kemudian memicu

para aktivis perempuan untuk turun ke jalan, dan menggelar aksi protes di Bundaran

HI dengan mengenakan rok mini, sebagai penegasan bahwa mengenakan rok mini

adalah hak perempuan, dan tidak patut disalahkan, apalagi oleh pejabat negara.

Terlepas dari tanggapan atas sebuah kasus spesifik yang melecehkan perempuan,

pergerakan feminisme di Indonesia acap kali tidak terdengar, dan seringkali masih

berputar pada pergerakan konvesional, dengan aksi turun ke jalan untuk menyuarakan

pendapat. Feminisme masih dilihat sebagai pergerakan radikal, dan di saat yang

bersamaan bukan menjadi tujuan utama untuk diperjuangkan, dibandingkan dengan

isu sosial dan ekonomi lain di Indonesia.

Kesimpulan

Women and men may ‘feel’ equal, but at the same time are aware that this is not entirely accurate - both sexes have now become victims of culture of consumerism, appearances and glamour. (Gauntlett, 2002)

(21)

perempuan untuk melakukan pergerakan feminisme secara online, yang justru lebih efektif daripada pergerakan aktivis tradisional. Hal ini didukung perubahan ekosistem kerja dan budaya organisasi yang lebih terbuka dan aktif dalam pergerakan sosial, menciptakan ruang diskusi yang lebih luas antar produsen dan konsumen, serta memudahkan proses distribusi yang cepat dan global karena dukungan infrastuktur, internet dan sinyal digital.

Di sisi lain, pergerakan feminisme online juga melahirkan berbagai implikasi. Tingkat interaktivitas yang tinggi, memungkinkan pengguna secara aktif memproduksi dan menyebarkan konten media, dan menimbulkan overflow information yang berujung pada multi-persepsi mengenai konsep ‘feminisme’ itu sendiri. Munculnya persepsi beragam mengenai feminisme memunculkan tanggapan berbeda yang sangat kontras antara satu dengan yang lainnya. Hal ini kemudian diperdebatkan dalam public sphere, yang menurut Habermas, ditujukan untuk saling memahami perbedaan argumen, namun kenyataannya, perbedaan yang terdapat mengenai persepsi terhadap kesetaraan gender dan feminisme, tidak jarang justru berujung pada terjadinya hate crime dalam media baru.

Pergerakan feminisme dalam media baru juga mengalami tekanan dari kekuatan dominan yang tidak lenyap, dan terdistribusi, menciptakan batas-batas kekuasaan yang tidak terlihat dan membatasi pergerakan perempuan. Adanya digital divide, dan kekuataan dominan dalam media baru memungkinkan terjadinya hate crime pada kaum minoritas, dalam hal ini, perempuan. Pergerakan feminisme merupakan sebuah proses kompleks, yang akan terus berlanjut. Sekalipun fakta di atas kertas menunjukkan kesetaraan gender masih jauh dari realitas, transformasi persepsi dan penggambaran gender dalam media, dan masyarakat adalah sesuatu yang patut ditanggapi optimis.

References

Berita Satu. (2011, December 16). Suara Pembaruan. Retrieved November 1, 2014, from Berita Satu: http://sp.beritasatu.com/hiburan/bercanda-kelewat-batas-olga-syahputra-dilaporkan-ke-kpi/14943

Citron, D. K. (2014). Hate Crimes in Cyberspace. USA: Harvard College Publishing. Craig, K. M., & Waldo, C. R. (1996). "So, What's a Hate Crime Anyway?" Young

(22)

Darts, D. (2004). Visual Culture Jam: Art, Pedagogy and Creative Resistance. Studies in Art Education , 45 (4), 313-327.

Dahlberg, L. (2005). The Habermasian Public Sphere: Taking Difference Seriously? Theory and Society , 34 (2), 111-136.

Davis, S. J. (2012). Mass Communication Theory: Foundations, Ferment and Future (6th Edition ed.). Boston, USA: Wadsworth.

Durham, M. G., & Kellner, D. M. (2006). Media and Cultures Studies (Revised Edition ed.). Oxford, UK: Blackwell Publishing.

Gauntlett, D. (2008). Media, Gender and Identity: An Introduction (2nd Edition ed.). New York, USA: Routledge.

Gorski, P. C. (2003). Privilege and Repression in the Digital Era: Rethinking the Sociopolitics of the Digital Divide. Race, Gender & Class , 10 (4), 145-176. Groskop, V. (2013, July 26). News: Society, Rape. Retrieved September 24, 2014,

from the guardian:

http://www.theguardian.com/society/shortcuts/2013/jul/26/patricia-lockwood-poem-rape-joke

Hooks, B. (2000). Feminsm is for Everybody: Passionate Politics. London, UK: South End Press.

Jacobs, J. B., & Potter, K. A. (1997). Hate Crimes: A Critical Perspective. Crime and Justice , 22, 1-50.

Lister, M., Dovey, J., Giddings, S., Grant, I., & Kelly, K. (2009). New Media: A Critical Introduction (2nd Edition ed.). New York, USA: Routledge.

Munawwaroh, A. K. (2011, September 18). Metro: Layanan Publik. Retrieved November 1, 2014, from TEMPO.CO:

http://www.tempo.co/read/news/2011/09/18/083356835/Gara-gara-Rok-Mini-Fauzi-Bowo-Minta-Maaf

Norton, J. (2013, November 15). Totally Biased: Interview with Jim Norton. Totally Biased. (W. K. Bell, Interviewer) CR Enterprise. FX.

Norris, P. (2001). Digital Divide, Civic Engagement, Information Poverty and the Internet Worldwide. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press.

Oliver, J. B. (2009). Media Effects: Advanced in Theory and Research (Third Edition ed.). (T. Edition, Ed.) New York, USA: Routledge.

Parabueq, R. (2011, December 16). Tempo.co: Selebriti. Retrieved November 1, 2014, from Tempo.co:

http://www.tempo.co/read/news/2011/12/16/219372085/Olga-Syahputra-Dituding-Lecehkan-Korban-Pemerkosaan

(23)

Santosa, B. (2011, September 14). Inilah Kronologis Pemerkosaan di Dalam Mobil Angkot. Retrieved November 1, 2014, from Okezone:

http://news.okezone.com/read/2011/09/14/338/502738/inilah-kronologis-pemerkosaan-di-dalam-mobil-angkot

Saputro, T. (2011, September 16). Vivanews: Metro. Retrieved November 1, 2014, from Vivanews:

http://metro.news.viva.co.id/news/read/247447-ada-pemerkosaan--jangan-salahkan-wanita

Skalli, L. H. (2006). Communication Gender in the Public Sphere: Women and Information Technologies in the Mena. Journal of Middle East Women's Studies , 2 (2), 35-59.

The Huffington Post UK. (2014, July 14). Women Against Feminism' Is A Thing. And We're Confused. Retrieved October 3, 2014, from The Huffington Post UK: http://www.huffingtonpost.co.uk/2014/07/14/women-against-feminism-tumblr-facebook-_n_5585163.html

UN Women. (2014). HeForShe. Retrieved from HeForShe: http://www.heforshe.org Warschauer, M. (2003). Technology and Social Inclusion: Rethinking the Digital

Divide. USA: Massachusetts Institute of Technology.

West, J. N. (2013, May 31). Extended Talk with Jim Norton and Lindy West. Totally Biased. (W. K. Bell, Interviewer) CR Enterprise. FX.

West, L. (2013, April 6). COMEDY: If Comedy Has No Lady Problem, Why Am I Getting So Many Rape Threats? Retrieved September 24, 2014, from JEZEBEL: http://jezebel.com/if-comedy-has-no-lady-problem-why-am-i-getting-so-many-511214385

Referensi

Dokumen terkait

Lingkungan kelas merupakan suatu tempat tertentu yang secara spasial menjadi lokasi proses pembelajaran. Kelas tidak hanya memiliki batasan ruang dalam sebuah gedung

Sebanyak 60 buah stoples (volume 3 L) digunakan sebagai wadah penelitian. Setiap wadah diisi air laut dengan salinitas 28 ppt sebanyak 1 L. Hewan uji yang digunakan adalah benur

Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran online melalui zoom adalah kegiatan belajar mengajar jarak jauh yang dilakukan oleh guru dan para

1 Saat Pelaporan Paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya 2 Tempat Pelaporan Kantor Pelayanan Pajak.. 3

Pada iklan produk segmentasi dewasa yang tayang di televisi edisi Desember 2012, anak-anak beradegan sebagai peran tambahan atau figuran dengan prosentase

Pengambilan sampel tiap stasiun dengan GPS dilakukan untuk mengetahui posisi koordinat lintang bujur lokasi penelitian dan dapat dilihat pada tabel 2.. Persebaran titik

Ia bisa melayani masyarakat dengan semaksimal mungkin, karena ikhlas maka ia akan menikmati dan bahagia dalam tupoksinya sebagai pelindung dan pelayan masyarakat,” jelas

a) Wawancara adalah metode pengumpulan data yang sudah mapan, dan beberapa sifat yang unik masih banyak dipakai. Hubungan baik dengan orang yang diwawancarai dapat