• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dilema Penanganan Terorisme di Amerika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dilema Penanganan Terorisme di Amerika"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH REVISI

MATA KULIAH INSTITUSI NORMATIF KONTRA-TERORISME

Dilema Penanganan Terorisme di Amerika: Perang Baru

,

Torture

dan

Homeland Security

A.A. Bagus Surya Widya Nugraha (1106145452) Christian D. Simbolon (1106145673)

Leonardis Gultom (1106145906) Ni Putu Elvina Suryani (1106146013)

PROGRAM MAGISTER KAJIAN TERORISME DALAM KEAMANAN INTERNASIONAL

DEPARTEMEN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Perang melawan teror sebagai Perang Baru

Sebuah upaya besar yang dilakukan oleh pemerintahan George W. Bush sebagai respon Amerika Serikat (AS) pasca serangan 9/11 adalah dideklarasikannya “war on terror”, perang melawan teror. Melalui pidatonya, Bush menyatakan bahwa serangan 9/11 adalah serangan terorisme dan AS harus membalas dengan melakukan perang melawan teror.1

Pernyataan ini mengindikasikan bahwa pemerintahan Bush akan melakukan pembalasan dengan aksi militeristik (perang) dan didukung oleh para representatif dari pejabat pemerintahan dan komentator politik seperti Henry Kissinger, Lawrence Eagleburger, James Baker, Jeane Kirkpatrick, dan para penasehat industri militer kompleks yang mendeskripsikan serangan 9/11 sebagai “act of war” dan membutuhkan pembalasan dengan tindakan militer.2

Namun perang melawan teror ini tidaklah sama dengan perang dalam arti tradisional. Fritz Allhoff dalam tulisannya “The War on Terror and the Ethics of Exceptionalism” menyatakan bahwa perang melawan teror merupakan perang baru yang memiliki karakteristik fundamental yang berbeda dengan perang tradisional.3 Allhoff dengan mengutip

Neta C. Crawford juga memuat bahwa pasca 9/11, karakteristik perang telah berubah dan kita harus memperbaharui pendekatan terhadap perang tersebut untuk dapat mempertahankan diri kita.4

Perang tradisional cenderung dilakukan di medan peperangan. Dalam perang ini, pembedaan antara kombatan dan non-kombatan jelas. Perang tradisional juga dilakukan antara aktor-aktor negara dengan rangkaian komando yang transparan, tingkat sentralisasi yang tinggi, serta upaya politik dan diplomasi yang jelas.5 Perang merupakan suatu bentuk

kekerasan kemanusian, dan ketika dilakukan oleh aktor negara, melibatkan sejumlah pasukan yang signifikan, material, persenjataan dan cukup mudah untuk diidentifikasi.6

Namun perlawanan terhadap terorisme kontemporer telah bertentangan dengan semua karakteristik perang tradisional tersebut. Perang melawan teror tidak dilakukan di medan perang konvensional, melainkan di daerah tempat tinggal penduduk. Pembedaan antara kombatan dan non-kombatan juga tidak jelas, setidaknya bagaimana dalam perang melawan teror, pihak kombatan tidak bisa secara cepat diidentifikasi. Ketidakjelasan ini juga diakibatkan oleh tindakan warga sipil yang seringkali memberikan dukungan material bagi

1 Statement by the President in His Address to the Nation, 11 September 2001,

http://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2001/09/20010911-16.html, diakses pada tanggal 23 Mei 2012 pukul 05.59 WIB

2 Douglas Kellner, From 9/11 to Terror War: the Dangers of the Bush Legacy, (Oxford: Rowman and Littlefield, 2003) hal. 54

3 Fritz Allhoff, “The War on Terror and the Ethics of Exceptionalism,” Journal of Military Ethics, 8:4, (2009), 265-288, hal. 265-266

4 Neta C. Crawford, “Just War Theory and the US Counterterror War,” Perspectives on Politics, 1(1), (2003), 5-25 dalam Ibid.

5 Allhoff, Loc. Cit., hal.265

6 Michael Sheehan, “The Changing Character of War,” dalam J. Baylis, S. Smith, dan P. Owens, eds., The

(3)

teroris yang menjadi kombatan melalui penempatan strategis, komunikasi, dan lain-lain. Di sisi lain, teroris melakukan aksi terorisme dengan target acak yang korbannya merupakan warga sipil atau non-kombatan ataupun orang-orang tidak bersalah (innocent people).7 Teroris

juga cenderung diidentifikasi sebagai aktor non-negara sehingga tidak jelas bagaimana rangkaian komando mereka. Upaya tradisional seperti diplomasi dan intervensi politik lainnya juga kurang efektif sejauh ini ketika sulit untuk mengetahui siapa yang yang harus didekati untuk diajak berdiplomasi serta komitmen ideologis kelompok teroris yang juga menghalangi keberhasilan upaya-upaya tersebut.

Dengan karakteristik terorisme yang berbeda jika dilihat dari kacamata perang, maka yang selanjutnya menjadi pertimbangan adalah bagaimana taktik untuk melawan teroris tersebut. Apakah taktiknya juga harus berubah ketika karakteristik aktor yang diperangi tidak lagi dapat diatur dengan aturan perang tradisional? Jika iya, bagaimana bentuk taktik tersebut? Bagaimana kemudian menjustifikasi penggunaan taktik tersebut?

AS kemudian memiliki strategi perang melawan teror dan juga Homeland Security AS untuk menghadapi ancaman-ancaman terorisme yang datang dari luar maupun melindungi dan menjada warga negara AS dari dalam. Permasalahannya kemudian adalah strategi perang melawan teror tersebut mencakup tindakan-tindakan yang bertentangan baik dengan aturan legal dan norma internasional maupun dengan nilai liberal dan moralitas demokrasi. Beberapa tindakan yang termasuk dalam perang melawan teror tersebut meliputi status

prisoner of war (POW) yang terkait dengan perlakuan-perlakuan bagi pihak yang diduga teroris dalam penahanan, torture (penyiksaan) serta assassination atau targeted killing

(pembunuhan berencana).8 Dalam makalah ini, tindakan-tindakan inilah yang dalam

pembahasan selanjutnya menjadi sumber dilema bagi penanganan terorisme di AS. Makalah juga akan membahas Homeland Security AS sebagai upaya selain perang melawan teror untuk melindungi warga negara AS yang juga memiliki beberapa aspek yang diperdebatkan terkait dengan perlindungan terhap HAM. Melalui pembahasan topik-topik tersebut, makalah ini kemudian bertujuan untuk menguraikan bagaimana upaya AS untuk melindungi warga

7 Target dari aksi terorisme dihubungkan dengan berbagai istilah. Pengistilahan non-kombatan sebagai pihak korban aksi serang terorisme salah satunya didefinisikan oleh US Department of State yang mendefinisikan terorisme sebagai “kekerasan direncanakan, bermotif politis yang menarget non-kombatan oleh kelompok sub-nasional atau kelompok rahasia yang biasanya bermaksud untuk mempengaruhi audiens tertentu.” Definisi lain yang lebih spesifik dan juga menggunakan istilah non-kombatan dihasilkan oleh revisi konsensus akademik terhadap definisi terorisme (the revised academic consensus definition of terrorism/Rev. ACDT 2011) yang mendefinisikan terorisme dalam dua hal, yakni sebagai doktrin mengenai suatu bentuk tindakan atau taktik kekerasan politik koersif untuk meningkatkan ketakutan yang dianggap efektif, serta sebagai praktek konspirasional dari aksi kekerasan langsung, demonstratif dan terkalkulasi tanpa batasan legal ataupun moral, utamanya menarget warga sipil dan non-kombatan, yang ditampilkan untuk efek propaganda dan psikologis terhadap variasi audiens dan pihak yang berkonflik. Menurut C.A.J. Coady, pengistilahan non-kombatan juga digunakan untuk menghubungkan terorisme dengan teori just war. Sedangkan pengistilahan warga sipil atau

civilian sebagai korban digunakan salah satunya oleh Fritz Allhoff. Istilah innocent people juga digunakan oleh Coady dalam membandingkan antara pengistilahan non-kombatan dengan orang-orang tidak bersalah sebagai korban dari aksi terorisme. Selengkapnya dalam Allhoff, Loc. Cit., hal. 266; Joshua Sinai, ‘New Trends in Terrorism Studies: Strengths and Weakness’, dalam Magnus Ranstorp, Mapping Terrorism Research: State of the Art, Gaps, and Future Direction, (New York: Routledge,2007), hal.33; Alex P. Schmid, The Routledge Handbook of Terrorism Research, (London, New York:Routledge, 2011), hal. 86; C.A.J. Coady, “Terrorism, Morality, and Supreme Emergence,” Ethics, Vol. 114, No. 4, Symposium on Terrorism, War, and Justice (2004), 772-789, hal. 774-775

(4)

negaranya dengan perang melawan teror dan juga Homeland Security justru menimbulkan dilema legal, moral dan nilai-nilai demokrasi liberal yang menjadi basis fundamental bagi negara demokratis liberal seperti AS.

1. 2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini selanjutnya ingin menjawab pertanyaan sebagai berikut: “Bagaimana dilema penanganan terorisme yang dihadapi di Amerika? Tindakan-tindakan seperti apakah yang menyebabkan dilema tersebut?”

1.3 Kerangka Teori

Makalah ini akan menggunakan dua teori sebagai dasar untuk melihat pelaksanaan perang melawan teror di AS. Teori-teori tersebut adalah teori just war dan eksepsionalisme (exceptionalism). Just war adalah teori mengenai perang yang dapat diaplikasikan untuk melihat justifikasi perang melawan teror, sedangkan eksepsionalisme adalah cara yang digunakan AS sebagai basis untuk menjustifikasi tindakan-tindakannya dalam perang melawan teror.

Just war dan Eksepsionalisme

Agresi dalam bentuk peperangan kontradiktif dengan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh peradaban manusia. Perang mengancam hak-hak untuk hidup, hak atas keamanan, kedamaian dan kebebasan. Namun, menurut teori just war, perang dapat dibenarkan secara moral di bawah kondisi tertentu. St Agustne, salah satu pemikir teori just war, melihat perang sebagai kejahatan yang perlu dilakukan untuk menciptakan perdamaian. Karena pada hakekatnya perang ialah hal yang jahat, maka perlu ada upaya-upaya moral yang dilakukan untuk membatasi kemungkinan meluasnya aksi kejahatan yang cenderung muncul saat perang.9

Teori just war terbagi menjadi tiga: just ad bellum—keadilan untuk menyatakan perang, just in bello yang berarti keadilan dalam perang dan just post bellum atau keadilan pada akhir perang. Dalam just ad bellum, ada enam kriteria yang harus dipenuhi agar perang menjadi adil. Tiga kriteria pertama sifatnya ontologis sementara tiga lainnya didasarkan pada tujuan untuk mencapai hasil terbaik. Pertama, perang harus berdasar keadilan (just cause),

misalnya perang merupakan upaya mempertahankan diri dari agresi, melindungi orang-orang tidak berdosa dari rezim yang agresif, atau bentuk hukuman terhadap agresi di masa lalu. Kedua, niat untuk berperang harus berada dalam ranah just cause. Alasan lain seperti upaya memperoleh keuntungan material, tidak dapat dibenarkan. Ketiga, keputusan untuk berperang harus dibuat oleh pihak yang memiliki otoritas dan dideklarasikan secara publik. Keempat, deklarasi tersebut harus merupakan pilihan terakhir, dipilih karena alternatif resolusi konflik lainnya tidak dapat dipakai. Kelima, deklarasi perang dikatakan pilihan yang adil jika negara dapat memastikan bahwa pilihan ini memiliki kemungkinan sukses yang besar. Kekerasan tanpa probabilitas semacam ini tidak dapat dibenarkan. Terakhir, respons dalam mendeklarasikan perang harus proporsional, misalnya keuntungan yang diperoleh lewat

(5)

perang harus melebihi ‘kejahatan’ (evil) yang mungkin muncul. Hasil yang diperoleh harus dapat menjustifikasi ‘alat’ yang dipakai.10

Adapun, jus in bello umumnya meliputi bentuk-bentuk perlakuan terhadap musuh. Ada enam aturan dalam just in bello: (1) Senjata yang dilarang oleh hukum internasional tidak boleh dipakai; (2) Ada pembedaan antara combatant dan non-combatant. Hanya combatant yang boleh menjadi target dan upaya membunuh non-combatant adalah salah; (3) Pasukan bersenjata yang dikerahkan harus proporsional; (4) Tahanan perang harus diperlakukan dengan baik karena setelah tertangkap mereka tidak lagi menjadi ancaman bagi keamanan; (5) Tidak ada senjata atau alat yang ‘jahat di dalam dirinya sendiri’ (evil in themselves) diperbolehkan untuk dipakai, misalnya pembersihan etnis dan perkosaan masal; serta (6) Pasukan bersenjata tidak dibenarkan melanggar aturan-aturan tersebut kendati dimaksudkan sebagai respons terhadap musuh yang melanggar.11

Sejumlah aturan juga melandasi just post bellum. Pertama, hak-hak mereka yang pelanggarannya dapat dibenarkan harus dikembalikan. Kedua, sebagaimana perang harus dideklarasikan kepada publik oleh otoritas yang layak, begitu pula akhir perang. Ketiga, seperti halnya proporsionalitas menjadi aturan dalam jus ad bellum dan jus in bello, begitu juga pada saat menyusun ketetapan dalam persyaratan. Terakhir, diskriminasi antara

combatant dan non-combatant tetap berlaku saat menjatuhkan hukuman. Peradilan international untuk kejahatan perang harus dilaksanakan secara terbuka.12

Sebagai tambahan, tradisi just war sering berseberangan dengan dua perspektif lainnya, yakni pasifime dan realisme politik, yang menekankan pembedaan antara just war dan unjust war. Pasifisme menganggap perang tidak pernah dapat dibenarkan sementara realisme mengatakan bahwa konsep-konsep moral tidak dapat diaplikasikan terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang perang atau kebijakan luar negeri secara umum. Bagi kelompok pasifis, perang yang berarti membunuh dan menghilangkan nyawa manusia secara inheren salah. Oleh karena itu, semua perang itu tidak dapat dibenarkan. Pandangan ini terutama dipegang oleh kelompok pasifis moral. Namun, kelompok abolitionism misalnya, menekankan bahwa perang itu salah namun tidak sepenuhnya menolak prinsip-prinsip pertempuran dan kelompok pasifis ‘non-violent, di sisi lain, menekankan resistensi pasif terhadap agresi sebagai alternatif dari penggunaan pasukan bersenjata. Seperti pasifisme, realisme politik juga terdiri dari beberapa kelompok: moral skepticism, meyakini bahwa perang berada di luar alam penilaian moral. Reason of state, pandangan bahwa perang merupakan instrument dari kebijakan nasional yang mengimplikasikan keyakinan terhadap penggunaan pasukan bersenjata, jika digunakan secara benar. Keputusan untuk berperang harus didasarkan pada kebijaksanaan, bukan oleh moralitas.13

Tradisi just war sendiri berada di antara ranah pasifisme dan realisme politik. Namun, tidak seperti pasifisme, pada prinsipnya, tradisi ini tidak menolak penggunaan perangkat militer atau menyangkal keefektifannya. Berbeda dengan realisme politik, tradisi ini juga tidak melepaskan perang dari yurisdiksi moral dan hukum. Keputusan untuk menggunakan

10 Lihat Michael Lawcening. “Just War Theory,” (New York : Routledge, 2010) 11Ibid.

12Ibid.

(6)

senjata harus didasarkan pertimbangan moral dan kebijaksanaan. Kepentingan nasional semata tidak dapat dijadikan pledoi atas kapan dan bagaimana sebuah negara berperang. Ada penggunaan kekuatan bersenjata yang dapat dibenarkan atau tidak dapat dibenarkan, begitu juga ada just war dan unjust war.

Just war, lazim dipakai sebagai etika dalam perang konvensional. Namun, pada era kontemporer yang ditandai dengan perang-perang asimetrik, aturan-aturan dalam just war

sulit untuk diaplikasikan. Dalam kerangka perang melawan teror misalnya, karakteristik berbeda muncul. Dalam perang semacam ini, para ahli berpendapat, aturan berbeda, baik secara moral maupun legal, harus diaplikasikan. Pada era ini, menurut Fritz Allhoff, setidaknya ada tiga jenis praktek-praktek yang menjadi pandemi: penyiksaan, pembunuhan dan status kombatan musuh. Ketiganya merupakan eksepsi terhadap norma-norma tradisional dalam perang.14

Eksepsionalisme sendiri berarti sebagai persepsi bahwa sebuah negara, institusi, masyarakat, gerakan atau periode tertentu merupakan pengecualian sehingga tidak perlu sejalan dengan aturan-aturan normal atau prinsip-prinsip umum yang berkembang. Menurut Allhoff, sejak tragedi 11 September, sejumlah norma yang diakui secara universal dilanggar, khususnya oleh AS dalam kerangka global war on teror (GWOT). Di bawah wacana eksepsionalisme, serangkaian tindakan yang melanggar hukum-hukum internasional dilakukan, semisal penahanan tanpa peradilan atau penangkapan yang sewenang-wenang, pengesampingan hak asasi manusia, penyiksaan dan pengekangan kebebasan sipil. Para tersangka teroris yang tertangkap pun kerap tidak diberikan status tahanan perang sehingga hak mereka tidak terlindungi oleh hukum perang yang berlaku secara universal.15 Selain itu,

dalam menginterogasi para tahanan, agen-agen CIA pun kerap menggunakan teknik penyiksaan seperti water boarding, sensory deprivation, sleep deprivation dan stress positions—teknik-teknik yang sebelumnya sering disebut kejahatan perang.16

Robert G. Patman mengatakan, eksepsionalisme merupakan bentuk internasionalisme khusus AS semasa pemerintahan George W Bush. Tren ini terutama berpuncak pada tindakan AS yang mengindahkan otoritas Dewan Keamanan PBB dan memimpin invasi ke Irak pada Maret 2003. Namun demikian, menurut Patman, eksepsionalisme AS, dalam berbagai bentuk pelanggaran terhadap hukum internasional, dapat menghalangi upaya-upaya efektif mengeksekusi perang terhadap teror. Dalam GWOT, AS memerlukan dukungan internasional dan menggeser garis eksepsionalisme sehingga menjadi lebih inklusif.17

BAB II PEMBAHASAN

Pada bagian ini, pembahasan akan dimulai dengan bagian dilema penanganan terorisme AS terkait pelaksanaan perang melawan teror. Dalam bagian ini akan dijelaskan

14 Allhoff, Loc. Cit. 15Ibid., hal. 266.

16 Lihat Scott Shane dkk., Secret U.S. Endorsement of Severe Interrogations, N.Y. TIMES, Oct. 4, 2007, at A1. 17 Robert G. Patman,“Globalisation, the New US Exceptionalism and the War on Terror”, Third World

(7)

mengenai status tahanan teroris dalam konteks perang melawan teror sebagai perang baru,

torture atau penyiksaan, serta tindakan lain dalam perang melawan teror yang memiliki dilema legal dalam konteks perang baru, yaitu pembunuhan berencana. Bagian selanjutnya dari pembahasan adalah ulasan mengenai Homeland Security AS dengan rincian pembentukan Department of Homeland Security (DHS) di AS, beberapa regulasi menyangkut pencegahan dan penanganan terorisme dalam komposisi Homeland Security dan dilema HAM yang muncul dari regulasi tersebut. Pembahasan kemudian ditutup dengan penyajian contoh-contoh kasus penindakan terhadap ancaman teroris oleh AS.

2.1 Dilema Penanganan Terorisme di Amerika: Perang Baru, Torture dan

Assasination

Setelah mengulas perang melawan teror sebagai perang baru saat ini pada bagian sebelumnya, pembahasan makalah ini akan dilanjutkan dengan uraian mengenai dilema yang dihadapi AS dalam menangani terorisme. Permasalahannya kemudian, upaya yang dilakukan untuk menangani terorisme tersebut menjadi dilematis saat berbenturan dengan aturan legal, moral serta nilai-nilai demokrasi dan HAM. Berikut ini akan dijelaskan mengenai bagaimana

torture atau penyiksaan menjadi tindakan yang banyak diperdebatkan legitimasinya dalam penanganan terorisme. Bagian ini juga akan membahas tindakan lain dalam perang melawan teror yang memiliki dilema legal dalam konteks perang baru, yaitu pembunuhan berencana. Namun sebelumnya, uraian mengenai status tahanan teroris dalam konteks perang melawan teror sebagai perang baru akan diberikan di awal bagian.

2.1.1 Perang Melawan Teror dan Status Prisoner of War (POW)

Permasalahan terkait dengan status ini muncul ketika perang melawan teror dihubungkan dengan teori just war. Dalam teori ini, identifikasi mengenai kombatan dan non-kombatan menjadi salah satu poin penting dalam berlangsungnya sebuah perang. Namun dalam perang melawan teror, identifikasi tersebut menjadi kabur karena terorisme sendiri merupakan fenomena yang kompleks dengan pelaku-pelakunya yang tidak memiliki identitas jelas apakah akan diperlakukan sebagai kombatan ataukah non-kombatan. Hal ini berimplikasi pada perlakuan terhadap teroris jika mereka tertangkap, yaitu apakah mereka akan diperlakukan sebagai tahanan perang (kombatan) ataukah sebagai kriminal (non-kombatan).

AS seperti yang telah diketahui mengadopsi doktrin perang melawan teror untuk menghadapi terorisme. Adopsi kebijakan untuk menghadapi terorisme secara militeristik ini menegaskan bahwa bagi AS, hukum yang berlaku untuk menindak teroris adalah hukum perang, dan dengan demikian, memperlakukan teroris sebagai kombatan. Kemudian ketika kombatan tertangkap, mereka akan tetap memiliki hak legal berupa status sebagai tahanan perang atau Prisoner of War (POW).18 Dengan status POW, maka teroris sebagai kombatan

tidak boleh diinterogasi, harus diperlakukan manusiawi dan akan dipulangkan ke negara asal ketika konflik berakhir.19

Namun bagi AS, status ini tidak berlaku. Fasilitas tahanan seperti Abu Ghraib dan Guantánamo dianggap telah gagal untuk memenuhi aturan POW terhadap para teroris yang

18 Jeff McMahan, “War, Terrorism and War on Terror,” dalam Chris Miller, ed., ‘War on terror’: The Oxford

(8)

ditahan di sana.20 Torture (penyiksaan, yang akan dibahas pada bagian selanjutnya) yang

dilakukan misalnya di Abu Ghraib, telah bertentangan dengan hak yang seharusnya dimiliki seorang tahanan dalam status POW.

Dalam kasus ini, AS di bawah pemerintahan Bush menjustifikasi adanya tindakan tersebut dengan mengkategorikan teroris sebagai “enemy combatans.”21 Teroris dianggap

tidak patuh terhadap hukum perang (unlawful combatans) dan karenanya, tahanan teroris tidak seharusnya mendapatkan hak kemanusiaan ketika mereka mengabaikan hak kemanusian pihak lain (yang dikorbankan dalam aksi terorisme).22 Sebagai enemy combatans,

tahanan teroris tidak memiliki hak-hak, dan jika iya, hak tersebut akan sangat terbatas.23

Batasan dalam POW seperti tidak diijinkannya interogasi dapat diabaikan oleh AS dan melalui interogasi tersebut, AS dapat menggali informasi intelejen dari tahanan teroris tersebut untuk memenangkan perang melawan terorisme.24 Yang lebih kontroversial adalah

para tahanan teroris tersebut dapat ditahan selama waktu yang tidak ditentukan tanpa pengadilan dan memiliki sedikit hak untuk melawan tindakan kekerasan saat interogasi.25

Tindakan pengecualian AS dalam mengkategorikan status tahanan teroris maupun tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap tahanan teroris ini termasuk dalam

eksepsionalisme AS untuk melaksanakan perang melawan teror. Dengan menganggap bahwa teroris bukanlah aktor yang patuh terhadap hukum internasional AS membuat perkecualian untuk status tahanan teroris. Tindakan AS ini telah menantang norma-norma yang sudah ada, seperti The Third Geneva Convention (1949) yang mengatur tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap kombatan melalui status POW.26 Selain itu, perlakuan yang

kemudian diberikan terhadap tahanan teroris juga memberikan implikasi legal dan moral, khususnya terkait dengan hak-hak sipil dan HAM, salah satunya seperti penyiksaan.

2.1.2 Legitimasi Torture (penyiksaan) dalam Interogasi Tahanan Kasus Terorisme

Informasi merupakan suatu hal yang penting dalam perang melawan terorisme, namun permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimana informasi tersebut diperoleh. Dalam perang melawan terorisme mencegah aksi teror merupakan suatu hal utama yang harus dilakukan. Sehingga mendapatkan informasi yang tepat merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Dengan melihat dampak yang terjadi akibat serangan terorisme maka kita dapat memberikan kesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh kelompok teroris telah melanggar hak asasi para korban. Dari kesimpulan ini kemudian muncul pertanyaan apakah kita harus menjaga hak asasi yang dimiliki oleh anggota kelompok teroris? Perdebatan inilah yang kemudian terus-menerus muncul dalam pembahasan mengenai penggunaan kekerasan atau penyiksaan dalam proses mendapatkan informasi dari para anggota teroris yang tertangkap. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok terorislah yang kemudian memberikan mereka label teroris, namun bagaimana dengan negara yang melakukan tindakan penyiksaan

20 Allhoff, Loc. Cit., hal. 268 21 McMahan, Op. Cit.

22Larry May, “Humanity, Prisoners of War, and Torture,” dalam Steven P. Lee, Intervention, Terrorism, and Torture: Contemporary Challenges to Just War Theory, (Dordrecht: Springer, 2007), hal. 221

23 Thomas Michael McDonnell, TheUnited States, International Law, and the Struggle against Terrorism, (New York: Routledge, 2010), hal. 52

24 Pernyataan dari mantan komando di Guantanamo, Mayor Jenderal Geoffrey Miller, dalam Allhoff, Loc. Cit., hal. 269

(9)

terhadap anggota kelompok teroris dalam usahanya untuk memperoleh informasi dan mencegah aksi teror dapat juga dikategorikan sebagai aksi teror oleh negara? Contoh kasus penggunaan kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh negara dapat kita lihat dalam kasus Penjara Abu Ghraib ketika publikasi mengenai tindakan penyiksaan di fasilitas penjara tersebut tersebar di media pada April 2004.27 Akankah tindakan penyiksaan yang dilakukan

dapat dibenarkan karena alasan untuk menyelamatkan lebih banyak orang? Ketika kita melihat suatu bentuk kekerasan yang dilakukan oleh negara dalam usahanya melakukan pemberantasan terorisme justru hal ini sangat bertentangan dengan HAM. Kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan hanya akan memperburuk situasi yang ada sehingga aksi teror akan lebih banyak terjadi lagi. Namun muncul pendapat lain yang menganggap bahwa kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan terhadap anggota kelompok teroris yang ditangkap dapat men-deter anggota kelompok yang lain. Sehingga memaksa mereka untuk tidak lagi melakukan aksi-aksi teror.

Sejak peristiwa 9/11 perdebatan mengenai penyiksaan dan terorisme menjadi sebuah topik yang sering dibicarakan. Hal ini juga terjadi di Amerika Serikat yang mengalami dilema ketika sebuah negara dengan paham liberalisme harus berhadapan dengan cara-cara yang menggunakan kekerasan dan penyiksaan dalam strategi Global War on Terror (GWOT). Hal ini menjadi perdebatan karena cara-cara perang melawan teror yang meliputi kekerasan terhadap non-kombatan dan penyiksaan terhadap teroris yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dalam usaha mencegah aksi terorisme menjadi suatu hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral yang ada.28 Namun ketika resiko yang dipertaruhkan sangat tinggi maka

penggunaan penyiksaan dapat dibenarkan.29 Dengan kata lain pelanggaran HAM terhadap

seseorang dapat dibenarkan ketika bertujuan untuk menyelamatkan HAM yang lebih banyak. Namun penyiksaan dapat dilakukan ketika “itu” benar-benar memiliki manfaat demi keselamatan hidup banyak orang. Dan terdapat dua persyaratan utama yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan penyiksaan yang dimaksud. Pertama, dibutuhkan suatu kejelasan bahwa penyiksaan yang dilakukan memiliki tujuan untuk memperoleh informasi yang nantinya dapat digunakan untuk menyelamatkan nyawa banyak orang. Kedua, sebelum melakukan penyiksaan perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa individu yang menerima interogasi dengan penyiksaan memang memiliki dan mengetahui informasi yang dimaksud.30

Namun permasalahan pembenaran dari penggunaan penyiksaan dengan tujuan untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa manusia kemudian menimbulkan pertanyaan “bagaimana mengkategorikan jumlah nyawa yang dapat diselamatkan sehingga dapat membenarkan penyiksaan?”

Dalam dilema penggunaan penyiksaan dalam interogasi juga mempermasalahkan cara-cara penyiksaan apa saja yang dibenarkan untuk dilakukan? Adakah hubungan antara terorisme dengan penyiksaan yang digunakan dalam interogasi? Cara-cara penyiksaan telah digunakan jauh sebelum kasus 9/11 terjadi. Di Israel penggunaan cara-cara ini telah dilakukan terhadap teroris (Pejuang Palestina) yang tertangkap untuk memperoleh informasi

27 May, Op. Cit., hal. 227

28 Werner G. K. Stritzke and Stephan Lewandowsky, “The Terrorism-Torture Link: When Evil Begets Evil”, dalam Werner G. K. Stritzke, dkk, eds., Terrorism and Torture, (Cambridge, 2009), hal. 19

(10)

mengenai aksi dan keberadaan orang-orang penting dari kelompok teroris. Cara ini juga dibenarkan karena terdapat beberapa kasus interogasi penyiksaan yang dianggap berhasil dalam mencegah aksi-aksi besar dari kelompok teroris. Penyiksaan dianggap sebagai suatu hal yang sama seperti yang terjadi dalam peperangan. Membunuh dalam situasi perang adalah suatu hal yang dibenarkan. Jadi penyiksaan dalam konteks perang dapat dibenarkan untuk mengalahkan pihak musuh dan menyelamatkan lebih banyak nyawa, sehingga kematian di medan perang atau yang disebabkan karena penyiksaan adalah hal yang sama.31

Efektifitas dalam penggunaan penyiksaan juga dibuktikan oleh Pemerintah Filipina dalam memperoleh informasi dari teroris yang ditahan mengenai rencana mereka untuk meledakkan sebelas pesawat di kawasan pasifik.32 Jadi hal inilah yang kemudian mendorong dibentuknya

sebuah regulasi yang dapat melegalkan atau membenarkan penggunaan penyiksaan terhadap teroris yang tertangkap. Banyak juga kalangan yang kemudian menganggap bahwa penggunaan cara penyiksaan merupakan salah satu cara terbaik dalam mengatasi terorisme. Ketika kita melihat penjelasan mengenai terorisme dan penyiksaan maka kita dapat melihat terdapat hubungan diantara keduanya. Hubungan antara terorisme dan penyiksaan adalah keduanya sama-sama mencederai imunitas yang dimiliki oleh aktor non-kombatan.

Penyiksaan adalah suatu hal yang tidak dapat dibenarkan secara moral karena penggunaan cara-cara penyiksaan bertentangan dengan deklarasi hak asasi manusia. Artikel ke-5 dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia (1948) menyebutkan “no one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment of punishment”.33 PBB juga

menyuarakan hal yang sama mengenai penyiksaan dan penggunaan kekerasan melalui ”Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment” tahun 1948 yang juga ditandatangani oleh Amerika Serikat.34 Larangan

penggunaan penyiksaan juga tertuang didalam perjanjian Hak Asasi Manusia yang berskala regional seperti Afrika, Amerika dan Eropa. Penyiksaan yang dimaksudkan bukan hanya penyiksaan terhadap fisik seseorang akan tetapi juga penyiksaan terhadap psikologis.35

Penyikasaan secara psikologis merupakan suatu bentuk penyiksaan yang merendahkan harga diri seseorang dengan menyerang ras, agama dan jenis kelamin yang dimiliki korban sehingga muncul rasa dipermalukan dan direndahkan. Secara moral penyiksaan dengan alasan apapun tetap saja bertentangan dengan nilai-nilai yang ada terutama nilai liberal demokrasi. Jadi ketika perang melawan terorisme adalah sebuah bentuk untuk mempertahankan nilai-nilai liberal demokrasi yang terancam oleh tindakan terorisme maka seharusnya penggunaan cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada juga seharusnya tidak dilakukan. Karena apabila pelanggaran terhadap nilai-nilai liberal demokrasi dengan tujuan untuk memberantas terorisme maka sama saja nilai-nilai tersebut akan terancam.

Dengan melihat apa yang telah terjadi diakibatkan oleh serangan teror, maka pemerintah seharusnya dapat berusaha untuk mencegah hal tersebut terjadi kembali. Serangan teror yang terjadi merupakan ancaman keamanan bagi setiap individu yang ada di

31Ibid., hal. 24 32Ibid., hal. 25 33Ibid., hal. 30 34Ibid.

35 Tamara Meisers, ”Torturing Terrorist”, dalam The Trouble With Terror: Liberty, Security, and The Respons of

(11)

dunia. Ancaman yang terjadi diakibatkan oleh perang tradisional mungkin hanya berdampak pada aktor kombatan namun serangan teror berakibat pada aktor kombatan dan non-kombatan. Dan juga serangan ini biasanya diarahkan ke tempat-tempat umum yang bisa menyedot lebih banyak perhatian media dan publik. Ketika terjadi penangkapan terhadap salah satu anggota kelompok teroris yang dianggap memiliki informasi yang dapat digunakan untuk mencegah aksi teror maka cara apapun dapat ditempuh untuk mendapatkan informasi tersebut. Dalam sebuah proses interogasi memang terdapat kendala bahwa teroris yang tertangkap akan lebih baik mati daripada membocorkan rahasia kelompok. Inilah kemudian yang menyulitkan untuk memperoleh informasi dari seorang anggota teroris yang tertangkap. Cara yang paling mungkin adalah dengan melakukan penyiksaan atau memberikan ancaman terhadap keluarga yang dimiliki. Disinilah muncul dilema terhadap cara yang digunakan. Ketika kita memilih untuk melakukan cara penyiksaan maka sudah pasti hal tersebut akan bertentangan dengan nilai moral yang ada. Namun apabila hal tersebut tidak dilakukan maka akan lebih banyak korban dari aksi teror yang terjadi.

Penyiksaan tidak dapat dibenarkan juga karena hal ini dianggap sebagai “bom waktu”. Dari penyebab aksi teror yang ada menurut Tore Bjorgo terdapat empat penyebab munculnya terorisme :36

Faktor penyebab struktural, yaitu faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi kehidupan masyarakat di tingkat makro (abstrak), yang kemungkinan tidak disadari. Beberapa faktor struktural yang dikemukakan Bjorgo antara lain ketidakseimbangan demografik, globalisasi, modernisasi yang sangat cepat, transisi masyarakat, meningkatnya individualisme dan ketercerabutan dari akar serta keterasingan dalam masyarakat (atomisasi), struktur kelas, dsb.

Faktor penyebab fasilitator (akselerator), yaitu faktor-faktor yang menyebabkan terorisme menjadi pilihan menarik untuk dilakukan, meskipun bukan pendorong utama terjadinya terorisme. Contoh-contoh penyebab di level ini antara lain perkembangan media massa di era modern, perkembangan transportasi, teknologi persenjataan, lemahnya kontrol negara atas wilayahnya, dsb.

Faktor penyebab motivasional, yaitu ketidakpuasan aktual (grievances) yang dialami di tingkat personal, yang memotivasi seseorang untuk bertindak. Para ideolog atau pemimpin politik mampu menerjemahkan penyebab-penyebab di level struktural dan membuatnya relevan di tingkat motivasional sehingga dapat menggerakan orang-orang untuk bergerak.

Faktor pemicu, yaitu penyebab langsung terjadinya tindak teroris. Faktor pemicu dapat berupa terjadinya peristiwa yang provokatif atau persitiwa politik tertentu atau tindakan yang dilakukan oleh pihak musuh yang menimbulkan reaksi tertentu,

Dari keempat faktor yang ada penyiksaan dapat menjadi faktor pemicu untuk munculnya aksi-aksi teror. Hal ini dapat terjadi karena pada saat terjadi penyiksaan bukan saja fisik dan harga diri dari individu yang disiksa saja yang merasa diperlakukan tidak adil akan tetapi semua individu-individu yang memiliki identitas yang sama pasti akan merasakan hal yang sama. Sebagai salah satu contoh adalah bagaimana penyiksaan yang teradi di Penjara Abu Ghraib Irak memicu kemarahan kelompok-kelompok Islam yang ada sehingga aksi-aksi teror terus berlangsung di Irak. Inilah kenapa dikatakan bahwa penyiksaan

36 Artanti Wardhani, “Pengantar: Akar permaslahan terorisme di Indonesia”, dalam Modul Pengajaran Mata

(12)

merupakan salah satu cara yang hanya akan memperburuk kondisi yang ada. Permasalahan dilema penggunaan cara penyiksaan dalam interogasi yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai moral adalah suatu yang utopia. Pada dasarnya nilai-nilai moral yang kita miliki tidak akan dapat konsisten ketika dihadapkan pada situasi-situasi tertentu sehingga pemahaman terhadap moralitas yang absolut akan sangat sulit untuk dapat diwujudkan dalam penanganan fenomena terorisme.

2.1.3 Assasination: Dilema legal dan demokratis bagi AS

Selain penyiksaan yang dilematis dari sisi moral maupun aturan hukum internasional, dilema penanganan terorisme AS juga muncul dalam tindakan-tindakan yang terkait dengan perang melawan teror sebagai perang baru. Salah satu tindakan yang menonjol sebagai sumber perdebatan adalah assassination atau targeted killing (pembunuhan berencana).

Pembunuhan berencana didefinisikan sebagai penggunaan aksi kekerasan mematikan terhadap subyek hukum internasional dengan intensi, perencanaan serta tujuan untuk membunuh orang-orang yang ditarget secara individual yang tidak sedang dalam penahanan oleh pihak-pihak yang menarget mereka.37 Dalam perang melawan teror, operasi pembunuhan

berencana dilakukan dengan menarget individu-individu yang dianggap terlibat langsung dengan aksi terorisme untuk mengeleminasi ancaman nyata yang dapat dilakukan oleh individu-individu tersebut.

AS adalah salah satu negara yang dikenal melakukan tindakan pembunuhan berencana dalam upaya perang melawan teror.38 Pembunuhan berencana dilakukan AS dengan tujuan

untuk melindungi warga negaranya agar tidak menjadi korban dari aksi terorisme. Tindakan ini dilihat sebagai suatu upaya yang sah untuk melawan terorisme melalui upaya preemtif.39

Bagi pemerintah AS, tindakan pembunuhan berencana dianggap efektif untuk mempertahankan demokrasi melawan terorisme karena dapat mengeleminasi ancaman dengan segera. AS tidak lagi memiliki pilihan lain ketika aksi terorisme terhadap AS menimbulkan ancaman lebih besar yang menyebabkan jatuhnya banyak korban dan menebarkan ketakutan.40

Namun secara legal dan juga demokratis, tindakan ini menimbulkan dilema. Individu-individu yang ditarget telah dibunuh tanpa prosedur legal menurut hak asasi warga sipil modern, nilai demokratis dan jaminan liberal.41 Pembunuhan berencana dilakukan dengan

tujuan akhir berupa kematian dari individu atau kelompok individu, dan kematian sendiri merupakan hukuman permanen yang tidak dapat dibatalkan maupun digugat. Individu yang ditarget telah diabaikan hak dasarnya menurut sistem legal dan demokratis modern. Individu tersebut tidak dapat melakukan perlawanan hukum, menyanggah bukti bahwa dirinya terlibat dalam aksi terorisme maupun saksi-saksi yang memberatkannya, serta telah diabaikan dari praduga tidak bersalah hingga terbukti bersalah melalui pengadilan hukum yang adil.42

37 N. Melzer, “Targeted killing in international law,” (Oxford (N.Y.): Oxford University Press, 2009), hal. 5 dalam Janiel David Melamed Visbal, “Legal and Democratic Dilemmas in the Counter-Terrorism Struggle: The Targeted Killing Policy,” Revista De Derecho, N.º 35, (Universidad Del Norte, 2011), 290-312, hal. 293

38 Selain AS, Israel adalah negara yang dengan terang-terangan mengakui melakukan pembunuhan berencana sebagai bagian dari strategi mengeliminasi ancaman teror. Selengkapnya dalam Ibid.

(13)

AS telah menjustifikasi beberapa operasi pembunuhan berencananya melawan tokoh kunci teroris dengan menaruhnya pada kerangka legal operasi konflik bersenjata sembari menerapkan hak untuk mempertahankan diri yang terkandung dalam artikel 51 Piagam PBB.43 Menurut Undang-Undang Humaniter Internasional, agar pembunuhan berencana

dapat menjadi aksi yang legal, tindakan tersebut harus dilakukan selama konflik bersenjata internasional maupun non-internasional berlangsung dan hak untuk mempertahankan diri memberikan ijin untuk melakukan operasi militer dalam konflik bersenjata di luar wilayah negara yang menjadi korban.44

Namun justifikasi ini menimbulkan permasalahan ketika terorisme yang dihadapi oleh AS melalui perang melawan terorisme merupakan aksi oleh organisasi teroris transnasional yang bukan perang antarnegara. Kelompok teroris seperti Al Qaeda merupakan antor non-negara, dan karena perang melawan teror tidak akan sesuai dengan kriteria hukum internasional tradisional mengenai konflik bersenjata.45 Status konflik bersenjata yang

dilakukan oleh negara melawan aktor non-negara menjadi permasalahan karena tidak adanya aturan yang jelas mengenai kemungkinan pengakuan atas konflik bersenjata antara dua pihak tersebut, dan ketika konteks konflik bersenjata masih belum jelas, maka tindakan pembunuhan berencana dalam perang melawan teror secara legal menjadi dilematis. Beberapa akademisi juga berargumen bahwa tanpa adanya konflik bersenjata, tindakan pembunuhan berencana terhadap warga sipil, apakah mereka teroris atau bukan, akan menjadi tindakan pembunuhan yang merupakan kejahatan domestik.46

Selain itu, meskipun hukum internasional menerima aksi pengambilan nyawa manusia dalam kondisi-kondisi tertentu selama terjadinya konflik bersenjata, hak untuk hidup merupakan hak yang diakui sebagai kebebasan manusia dan hak sipil. International Covenant on Civil and Political Rights dengan jelas menyatakan pada artikel ke-6 bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan menentang tindakan yang dengan sewenang-wenang merampas hak tersebut. 47 Sebagai negara demokratis, AS dihadapkan pada situasi di

mana tindakan pembunuhan berencana yang dilakukan dengan justifikasi untuk melindungi warga negara dan mempertahankan negara memiliki konsekuensi legal, moral serta kebebasan dasar manusia yang menjadi nilai fundamental bagi negara yang menganut demokrasi liberal. Oleh karena itu, yang menjadi dilema dalam tindakan pembunuhan berencana adalah sejauh mana upaya penanganan terorisme harus dilakukan untuk mempertahankan keamanan serta melindungi warga negara tanpa mengabaikan nilai-nilai fundamental demokrasi yang menjadi tanggung jawab AS sebagai negara demokratis?

2.2 Homeland Security

2.2.1 Latar Belakang Pembentukan

43 Konseptualisasi mengenai pertahanan diri dapat digunakan oleh AS dalam tindakan preemtif melawan terorisme dan didukung oleh resolusi pemerintah nasional AS 1373 Bagian 2 (b) yang diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB pada pertemuan ke 4358 bulan September 2001 di mana Dewan Keamanan menyerukan pada semua negara untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah terjadinya aksi terorisme. Selengkapnya dalam Ibid., hal. 299

44Ibid., hal. 298

45 Merupakan kriteria konflik bersenjata yang dimuat dalam Empat Konvensi Jenewa. Ibid. 46Ibid., hal. 299

(14)

Peristiwa 9/11 membawa implikasi dan restrukturisasi yang besar bagi AS. Berbagai perangkat kebijakan, undang-undang, kerjasama mengalami pemutakhiran khususnya di bidang keamanan. Spesifik pada bidang keamanan domestik, Administrasi Bush mensahkan undang-undang yang dikenal dengan Homeland Security Act pada tahun 2002 sebagai bentuk antisipasi dan manajemen terhadap ancaman domestik AS dari ancaman termasuk bencana alam dan terorisme. Secara umum apa yang menjadi konten dalam undang-undang ini adalah:

 Terbentuknya Department of Homeland Security sebagai badan eksekutif pemerintah yang bertanggung jawab kepada Presiden

 Membentuk sebuah Dewan Keamanan yang terintegrasi dengan kantor kepresidenan.

 Mengatur bentuk organisasi dan struktur manajemen DHS secara rinci.

 Mendaftarkan semua badan dan program yang di transfer ke dalam DHS.

 Mengatur tugas dan tanggung jawab ke 5 direktorat DHS.

DHS memiliki definisi Homeland Security sebagai upaya terpadu nasional untuk mencegah serangan teroris di dalam Amerika Serikat, mereduksi kerentanan terhadap teror dan meminimalisasi segala kerusakan serta pemulihan dari serangan yang terjadi.48

2.2.2 Struktur Organisasi

DHS memiliki 5 direktorat utama yang membawahi berbagai sektor, direktorat-direktorat tersebut yakni:49

1. Management Directorate

Direktorat ini bertugas menjalankan semua fungsi manajemen administratif untuk mendukung operasional DHS.

2. Border and Transportation Security Directorate

Direktorat terbesar ini memiliki fungsi kordinasi terhadap beberapa badan federal seperti: U.S. Customs Service, Immigration and Naturalization Service Enforcement Division, Animal and Plant Health Inspection Service, Transportation Security Administration, Office for Domestic Preparedness, dan Federal Protective Service. Secara umum tujuan yang ingin dicapai oleh direktorat ini adalah pengamanan udara, darat, perbatasan laut dan sistem transportasi.

Pengamanan perbatasan dan transportasi meliputi mengamankan dan mencegah akses masuk teroris dan penyelundupan ke dalam AS; mengatur dan menegakan segala regulasi terkait imigrasi dan akses ke dalam AS; menegakakan peraturan Bea Cukai AS; serta mengatur fungsi Badan Inspeksi Satwa dan Tumbuhan. Sedangkan kesiapan domestik meliputi koordinasi aktivitas kesiapan federal bekerjasama dengan pusat dan sektor swasta untuk mengantisipasi keadaan darurat; meningkatkan kemampuan sistem komunikasi keamanan nasional; mengatur segala bantuan federal untuk perlindungan terhadap terorisme. Melaksanakan pelatihan untuk aparat pemerintahan dan badan internasional; bekerjasama dengan direktorat Emergency Preparedness and Response, untuk bersiap terhadap segala bentuk bencana; serta melaksanakan kegiatan manajeman dan analisa resiko.

3. Emergency Preparedness and Response Directorate

48 Phillip P. Purpura, Terrorism and Homeland Security: An Introduction with Applications, (Massachusetts: Elsevier, 2007), hal. 129

(15)

Direktorat ini dibentuk untuk menyertakan Federal Emergency Management Agency untuk menyiapkan bentuk respon terhadap bencana alam/teknologi dan terorisme.

4. Information Analysis and Infrastructure Protection Directorate

Fokus direktorat ini terletak pada upaya antisipasi dari ancaman terorisme, perlindungan terhadap infrastruktur dan dunia maya dan analisa informasi ancaman.

5. Science and Technology Directorate

Direktorat ini dibangun untuk memfasilitasi riset dan pengembangan dengan sasaran untuk pencegahan dan mitigasi senjata pemusnah massal dan ancaman lainnya.

Bagan 1. Struktur Department of Homeland Security

2.2.3 DHS vs Isu Legal dan HAM

Model keamanan nasional AS menekankan perlindungan bagi AS secara komprehensif. Walaupun kebijakan tersebut bersifat global namun kemampuannya sangat menjangkau secara global. Upaya pemerintah dalam meningkatkan keamanan nasional dinilai mampu berimplikasi pada pengurangan pada hak-hak sipil dan hak asasi. Pencegahan terhadap ancaman kemanan nasional menurut kebijakan AS dalam Homeland Security di lancarkan melalui beberapa program, yakni Intelijen dan Peringatan Dini; Keamanan Perbatasan dan Transportasi; Kontra terorisme domestik; Melindungi infrastruktur penting dan aset kunci; Mempertahankan diri dari ancaman besar; serta Persiapan dan respon pada kondisi darurat.50

Aplikasi terhadap kebijakan-kebijakan diatas pada kehidupan masyarakat sehari-hari seringkali berbenturan terhadap hak-hak konstitusional dan hak-hak sipil warga AS maupun hak-hak warga negara non AS atau yang disebut sebagai aliens. Regulasi-regulasi yang mengatur pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut juga dinilai memiliki permasalahan legal

dan HAM, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak warga negara AS dan warga negara non AS. Salah satu yang menimbulkan dilema legal bagi AS adalah penerapan

(16)

kebijakan intelijen dan peringatan dini. Dalam kebijakan ini, fungsi intelijen dinilai signifikan untuk mengantisipasi serangan teror dan diharapkan mampu menjadi sumber pertimbangan pemerintah untuk mengambil langkah preventif, preemptif dan protektif. Pada agenda nasional yang memiliki urgensi sebesar ini maka metode untuk menyerap dan mengumpulkan informasi dituntut untuk memiliki kapasitas yang memadai dan kualitas yang baik. Penerapan fungsi pengintaian dan penyadapan dalam memperoleh informasi harus ditempuh agar informasi dapat diserap secara mentah tanpa adanya noise. Namun pada penerapannya, secara konstitusi pengintaian dan penyadapan ini sangat kontradiktif dengan kebebasan dan hak sipil. Kebijakan ini juga membuat ruang gerak individu semakin sempit karena pengawasan semakin ditingkatkan.

Dua regulasi utama mengenai pengumpulan data intelejen yang terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi DHS adalah Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA) dan

Foreign Intelligence Surveillance Court (FISC).51 FISA adalah undang-undang yang memuat petunjuk dalam membedakan penyadapan dalam kasus keamanan nasional dengan kasus pidana regular/umum. Sedangkan FISC adalah ketentuan yang dibuat pada tahun 1978 tentang pengaturan pengintaian intelijen asing yang dipisahkan dari pengintaian penyidikan pidana. Penerapan dari regulasi-regulasi tersebut menimbulkan kontroversi terkait dengan kebebasan dan hak-hak sipil di AS. Salah satunya adalah penyadapan komunikasi pribadi oleh aparat penegak hukum sebagai dalih untuk mendapatkan bukti mengenai keterlibatan individu dalam jaringan terorisme52 Tindakan tersebut mencederai kebebasan dan hak-hak sipil dasar di AS yang dituangkan dalam Bill of Rights seperti perlindungan individu dari penggeledahan dan penyitaan yang tidak beralasan maupun dari peradilan yang tidak adil.53

Permasalahan isu legal dan HAM juga dapat dilihat pada kebijakan keamanan perbatasan dan transportasi serta kontra-terorisme domestik. Kejadian pembajakan pesawat maskapai penerbangan AS pada tragedi 9/11 dan beberapa kasus pemboman pada transportasi publik di Eropa menjadi sebuah pelajaran berharga bagi pemerintah AS. Serangan teror beberapa tahun yang silam menjadi bukti bahwa kelemahan imigrasi dan keamanan transportasi memiliki celah untuk dieksploitasi bagi kelompok teror untuk melancarkan aksi. Hal ini juga membuktikan lemahnya antisipasi domestik terhadap tindakan-tindakan terorisme. Untuk merespon kejadian tersebut, aplikasi yang diterapkan dari peningakatan kewaspadaan pada keamanan perbatasan dan transportasi dan keamanan internal adalah pemeriksaan imigrasi yang ketat serta kontra-terorisme domestik yang dilakukan dengan beberapa regulasi terkait pemeriksaan, penggeledahan serta penangkapan pihak-pihak yang terlibat dalam aksi terorisme baik mereka warga negara AS ataupun warga negara non-AS.

Beberapa ketentuan yang terkait dengan respon AS tersebut antara lain the exclusionary rule, ketentuan mengenai penggeledahan oleh aparat keamanan yang harus disertai dengan surat perintah penggeledahan dan pelarangan untuk menggeledah secara ilegal; kecurigaan beralasan (reasonable suspicion), sebuah justifikasi hukum berdasarkan fakta ataupun kesimpulan fakta yang mengakibatkan individu dapat ditenggarai akan melakukan atau dalam proses melakukan tindakan kriminal; serta probable cause, sebuah

51Ibid., hal. 174-175

52 Shun-jie Ji, “Civil Liberties vs. National Security: Lesson from September 11th Attacks on America,”

(17)

bukti yang diperlukan untuk melakukan penahanan atau penggeledahan sesuai dengan pengaturan undang-undang.54

Warga negara AS pada dasarnya memiliki perlindungan terhadap tindakan pemerintah dan penegak hukum dalam ketentuan-ketentuan di atas. Perlindungan tersebut tercermin dalam Bill of Rights yang memuat hak-hak sipil dasar warga negara AS serta salah satu perlindungan hukum seperti Miranda Rights.55 Sedangkan bagi warga negara non-AS atau aliens, ketentuan yang diterapkan berbeda karena pada dasarnya, warga negara asing tidak memiliki hak-hak yang sama dengan warga negara AS (dengan Bill of Rights-nya). Ketentuan bagi warga negara non-AS apabila diduga dan terbukti terlibat dalam aksi terorisme seperti penahanan tanpa proses peradilan selama masa yang ditentukan oleh penyelidik hingga deportasi.56

Salah satu pelaksanaan upaya responsif perlindungan keamanan nasional dari ancaman terorisme, yakni proses pemeriksaan dan penggeledahan hingga penangkapan yang dilakukan pada cek poin imigrasi menempatkan semua individu sipil berada pada status yang sama dengan pelaku teror harus diperiksa dan digeledah baik individu maupun barang atau kargo yang bersangkutan. Dalam pemeriksaan ini, jika ditemukan warga negara non-AS yang dicurigai sebagai teroris, maka aparat keamanan berhak untuk menahan individu tersebut untuk pemeriksaan. Demikian pula jika di wilayah AS ditemukan warga negara AS yang dicurigai terlibat dalam aksi terorisme, proses pemeriksaan, penggeledahan hingga penangkapan juga dapat dilakukan (melalui aturan exclusionary rule dan probable cause). Pelaksanaan regulasi pemeriksaan, penggeledahan serta ini menimbulkan dilema legal dan HAM terkait dengan hak-hak sipil warga negara AS maupun aliens. Tindakan-tindakan yang diperdebatkan antara lain seperti penahanan individu tanpa tuduhan yang jelas serta disriminasi pemerintah terhadap minoritas dan agama tertentu seperti tindakan pemerintah yang menarget individu keturunan Timur Tengah, Asia Selatan dan individu yang berasal dari negara Muslim lainnya dengan tuduhan melanggar hukum.57 Kebebasan dan hak-hak sipil dasar di AS yang dilanggar sebagai akibat dari tindakan ini contohnya kebebasan berbicara dan berkumpul maupun kebebasan untuk beragama yang ketentuannya tertuang dalam Bill of Rights AS.58

2.3 Contoh Kasus Penindakan Ancaman Terorisme oleh AS

Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, penanganan terorisme di AS dilakukan melalui dua strategi, yakni perang melawan teror dan peningkatan keamanan domestik melalui Homeland Security. Perang melawan teror dilakukan AS sebagai strategi untuk menghadapi ancaman terorisme yang berada di luar tanah atau wilayah AS (U.S. soil) dan pihak-piha yang diduga serta tertangkap sebagai teroris akan diberi status sebagai enemy combatant yang proses hukumnya ditangani secara militer. Sedangkan penangkapan yang dilakukan di tanah atau wilayah AS akan ditangani oleh penegak hukum di wilayah bersangkutan bersama dengan DHS dan badan federal lain yang terlibat. Proses hukum dari

54 Phillip P. Purpura, Op. Cit., hal. 166 55Ibid., hal. 165-166

(18)

kasus-kasus domestik ini dilakukan sesuai dengan prosedur penegakan hukum dan peradilan sipil.

Menurut laporan Backgrounder yang ditulis oleh Jena Baker McNeill, James Jay Carafano, dan Jessica Zuckerman, sejak 11 September 2001, setidaknya ada 30 aksi terorisme berencana yang berhasil diungkap oleh AS.59 Diantara kasus-kasus yang terungkap tersebut, 2 kasus merupakan penindakan aksi terorisme dengan status enemy combatant dan sisanya merupakan kasus yang terungkap berkat penegakan hukum di wilayah AS.60 Namun di samping penindakan terhadap aksi yang terbukti sebagai aksi terorisme, AS sebenarnya juga telah melakukan banyak penangkapan pihak-pihak yang diduga sebagai teroris, meskipun tidak sedikit yang dilakukan tanpa bukti yang jelas dan menimbulkan permasalahan isu legal dan HAM.

Dari sekian banyak kasus-kasus tersebut, berikut ini akan diberikan beberapa contoh kasus penindakan ancaman terorisme yang ditangani oleh AS baik dalam perang melawan teror maupun terkait dengan Homeland Security:61

 Penangkapan Richard Reid, Desember 2001. Reid merupakan tersangka kasus bom sepatu (shoebomber) yang menyembunyikan bom di sepatunya dan berencana meledakkannya di Miami. Reid tertangkap tangan di pesawat dan kemudian ditahan oleh FBI ketika pesawat yang ditumpanginya mendarat darurat di Boston. Kasus Reid ditangani secara hukum sipil mengenai kejahatan terorisme dan dijatuhi hukuman seumur hidup pada tahun 2003.

 Penangkapan Khalid Sheikh Mohammed (KSM), 2003-2008.

Penangkapan ini berbeda dengan kasus Reid yang terjadi di wilayah AS dan ditangani secara hukum sipil. KSM dalam kasus ini ditangkap di Pakistan tahun 2003 dengan tuduhan terlibat dalam perencanaan aksi terorisme antara lain pengeboman WTC 1993, Bom Bali 2002, dan membantu aksi terorisme 9/11. KSM ditangkap dan ditahan di Guantanamo hingga ia mengakui keterlibatannya dalam aksi-aksi terorisme di atas dan diadili oleh pengadilan militer pada tahun 2008.

 Ada pula kasus kontroversial seperti dalam kasus Hamdi v. Rumsfeld (03-6696), tahun 2004, ketika Hamdi, seorang warga negara AS dari Louisiana diklasifikasikan sebagai enemy combatant karena terlibat dengan Taliban dan tertangkap di Afganistan ketika ikut berjuang bersama Taliban di wilayah tersebut. Ia ditangkap dan ditahan di markas angkatan laut di South Carolina. Ayah dari Hamdi mengajukan petisi dengan mengatakan bahwa pemerintah AS telah melanggar amandemen ke 5 dan 14 Bill of Rights mengenai hak untuk diadili secara adil sebelum ditahan serta kebebasan dan perlindungan hak yang dimiliki sebagai warga negara AS. Dari petisi ini dihasilkan keputusan bahwa 59 Jena Baker McNeill, James Jay Carafano, dan Jessica Zuckerman, “30 Terrorist Plots Foiled: How the System Worked,” Backgrounder, No. 2405, (2010), hal. 1

60Ibid.

(19)

individu berhak menggugat penahanannya dengan status sebagai enemy combatant sebelum dibuktikan oleh pihak netral.

 Kasus serupa mengenai penggugatan penahanan sebagai enemy combatant juga muncul dari warga negara non-AS yang ditangkap di luar AS dan ditahan di Guantanamo. Kasus ini adalah Rasul et al. v. Bush et al. (03-334), tahun 2004 yang terkait dengan status bagi 2 warga Australia dan 12 warga Kuwait yang ditangkap ketika terlibat dalam perang Afganistan. Para tahanan ini menggugat legalitas penahanan mereka di Guantanamo karena menganggap mereka bukan kombatan yang melawan AS, tidak terlibat dengan terorisme, tidak didampingi penasihat hukum dan tidak diberikan kesempatan untuk diadili dalam peradilan yang sah sebelum ditahan.

Dua kasus pertama memperlihatkan bagaimana penindakan yang dilakukan terhadap tersangka teroris yang tertangkap di dalam dan di luar wilayah AS. Sedangkan dua kasus terakhir menggambarkan bagaimana penahanan tersangka teroris sebagai enemy combatant

(20)

BAB III KESIMPULAN

Perang melawan teror sebagai perang baru memiliki karakteristik yang berbeda dengan perang tradisional dan karenanya, strategi menghadapi terror menjadi pertimbangan dengan pertanyaan seperti bagaimana taktik untuk melawan teroris ketika karakteristik aktor yang diperangi tidak lagi dapat diatur dalam aturan pernag tradisional? Bagaimana bentuk taktik tersebut? Bagaimana kemudian menjustifikasi penggunaan taktik tersebut?

AS kemudian memiliki strategi perang melawan teror dan juga Homeland Security

AS untuk menghadapi ancaman-ancaman terorisme yang datang dari luar maupun melindungi dan menjada warga negara AS dari dalam. Melalui teori just war, perang dapat dilihat sebagai suatu hal yang dibenarkan untuk mencapai perdamaian. Namun pada kenyataannya, perang melawan teror sebagai strategi AS tidak sesuai dengan just war, karena perang melawan teror memiliki karakteristik yang berbeda dengan perang tradisional. Dalam hal ini, perang melawan teror mulai menghadapi permasalahan terkait dengan pembenaran kebijakan “perang” melawan terorisme. Untuk menghadapinya, AS kemudian menggunakan perspektif eksepsionalisme yang memberikan justifikasi melalui pengecualian-pengecualian terhadap terorisme agar dapat dihadapi melalui perang dan juga kebijakan-kebijakan dalam negeri untuk melindungi warga negara serta kepentingan AS seperti yang dimuat dalam

Homeland Security.

Permasalahannya kemudian adalah strategi perang melawan teror tersebut mencakup tindakan-tindakan yang bertentangan baik dengan aturan legal dan norma internasional maupun dengan nilai liberal dan moralitas demokrasi. Beberapa tindakan yang termasuk dalam perang melawan teror tersebut meliputi status prisoner of war (POW) yang terkait dengan perlakuan-perlakuan bagi pihak yang diduga teroris dalam penahanan, torture

(penyiksaan) serta assassination atau targeted killing (pembunuhan berencana). Selain itu, dalam penerapan Homeland Security sebagai bentuk perlindungan AS terhadap warga negaranya juga menimbulkan beberapa implikasi legal dan kontradiksi dengan perlindungan HAM warga negara AS maupun warga negara non-AS (aliens). Dilema legal dan HAM ini terlihat pada beberapa contoh kasus penindakan ancaman terorisme oleh AS baik penangkapan tersangka teroris di luar wilayah AS dalam status enemy combatant maupun penangkapan di wilayah AS oleh kerjasama DHS dan penegak hukum lainnya.

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Allhoff, Fritz. “The War on Terror and the Ethics of Exceptionalism,” Journal of Military Ethics, 8:4, (2009), 265-288

Coady, C.A.J. “Terrorism, Morality, and Supreme Emergence,” Ethics, Vol. 114, No. 4, Symposium on Terrorism, War, and Justice (2004), 772-789

Crawford, Neta C. “Just War Theory and the US Counterterror War,” Perspectives on Politics, 1(1), (2003), 5-25

Ji, Shun-jie. “Civil Liberties vs. National Security: Lesson from September 11th

Attacks on America,” Tamkang Journal of International Affairs, Vol.8 No. 2, (2004), 133-159 Kellner, Douglas. From 9/11 to Terror War: the Dangers of the Bush Legacy, (Oxford: Rowman and Littlefield, 2003)

Lawcening, Michael. “Just War Theory,” (New York : Routledge, 2010)

May, Larry. “Humanity, Prisoners of War, and Torture,” dalam Steven P. Lee,

Intervention, Terrorism, and Torture: Contemporary Challenges to Just War Theory, (Dordrecht: Springer, 2007)

McDonnell, Thomas Michael. The United States, International Law, and the Struggle against Terrorism, (New York: Routledge, 2010)

McMahan, Jeff. “War, Terrorism and War on Terror,” dalam Miller, Chris ed., ‘War on terror’: The Oxford Amnesty Lectures 2006, (Manchester dan New York: Manchester University Press, 2009)

McNeill, Jena Baker, Carafano, James Jay dan Zuckerman, Jessica. “30 Terrorist Plots Foiled: How the System Worked,” Backgrounder, No. 2405, (2010)

Meisers, Tamara. ”Torturing Terrorist”, dalam The Trouble with Terror: Liberty, Security, and the Respons of Terror, (Cambridge, 2008)

Melzer, Nils. “Targeted killing in international law,” (Oxford (N.Y.): Oxford University Press, 2009)

Nardin, Terry. “The Ethics of War and Peace: Religious and Secular Perspective”, (New Jersey: Princeton University Press, 1996)

Patman, Robert G, “Globalisation, the New US Exceptionalism and the War on Terror”, Third World Quarterly, Vol. 27, No. 6, (Taylor and Francis, 2006)

Purpura, Phillip P. Terrorism and Homeland Security: An Introduction with Applications, (Massachusetts: Elsevier, 2007)

Schmid, Alex P. The Routledge Handbook of Terrorism Research, (London, New York: Routledge, 2011)

Shane, Scott dkk., Secret U.S. Endorsement of Severe Interrogations, N.Y. TIMES, Oct. 4, 2007, at A1.

Sheehan, Michael. “The Changing Character of War,” dalam Baylis, John, Smith, Steve, dan Owens, Patricia. eds., The Globalization of the World Politics: An Introduction to International Relations, 4th Edition, (Oxford: Oxford University Press, 2008)

(22)

Stritzke, Werner G. K. and Lewandowsky, Stephan “The Terrorism-Torture Link: When Evil Begets Evil”, dalam Stritzke, Werner G. K. dkk, eds., Terrorism and Torture, (Cambridge, 2009)

Visbal, Janiel David Melamed. “Legal and Democratic Dilemmas in the Counter-Terrorism Struggle: The Targeted Killing Policy,” Revista De Derecho, N.º 35, (Universidad Del Norte, 2011), 290-312

Wardhani, Artanti. “Pengantar: Akar permaslahan terorisme di Indonesia”, dalam

Modul Pengajaran Mata Kuliah Terorisme di Indonesia (Universitas Indonesia, 2011)

Wight, Martin. International Theory: The Three Traditions (London: Leicester University Press, 1996)

Referensi

Dokumen terkait

Luaran yang diharapkan dari program ini adalah adanya kesadaran dari siswa bahwa penggunaan gadget untuk hal-hal yang tidak diperlukan tidak akan memberikan sesuatu yang berguna

Metode pendekatan basis pengetahuan dalam sistem pakar ini menggunakan metode pendekatan berbasis aturan ( rule base reasoning ), sebuah metode pendekatan dengan

[r]

Kendala yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam proses terkait penerapan asas retroaktif dalam Pasal 46 Peraturan Perundang- Undangan Nomor 1 Tahun 2002

Dalam iklan yang jelas-jelas `merendahkannya` (karena menilai perempuan hanya sebatas tubuh), yang jelas-jelas `memanfaatkannya` (karena pasti ada iktikad untuk

Melihat kecantikan para bidadari tersebut, Jilumoto tiba-tiba timbul niatnya untuk mengambil salah satu sayap mereka yang diletakkan di atas batu besar, sehingga si pemilik sayap

merupakan peubah yang sangat berperan dalam menduga berat hidup sapi, maka dilakukan simulasi untuk mendapatkan nilai c pada model. nomor 31 dengan x : lingkar

melihat pengaruh penguraian kotoran oleh cacing tanah terhadap mutu pupuk organik sebagai hasil ikutan.. Materi dan