• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Perjuangan Perempuan di Indonesi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah Perjuangan Perempuan di Indonesi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Sejarah Perjuangan Perempuan di Indonesia Dikaitkan Dengan Persoalan

Keadilan Gender

Sebelum adanya kongres PPI pada tanggal 22 desember 1928 pergerakan perempuan masih cenderung individual. Kegiatan perempuan hanya terbatas pada sector domestik. Pada saat itu muncul paham”ibuisme” dimana peran perempuan dalam masyarakat dan keluarga masih sering diabaikan.

Dalam sejarah tercatat bahwa pada 22-26 Desember 1928 di yogyakarta, dilaksanaakn Kongres perempuan yang pertama yaitu PPI (Perikatan Perempuan Indonesia). (3) Dimana dari hasil kongres perempuan tersebut menyebabkan 22 Desember menjadi symbol hari Ibu Inonesia. Namun sebelumnya telah diadakan Kongres lain seperti permufakatan perhimpunan politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). (4) Dari hasil kongres PPI diusulkan beberapa tuntutan kepada pemerintah yaitu (1) Peningkatan Pendidikan Sekolah Perempuan, (2) penjelasan secara resmi arti talak kepada calon suami sebelum menikah, (3) Mendirikan lembaga bantuan dan pelayanan sosial untuk para janda dan anak yatim.

Sebelum Kartini, terdapat beberapa tokoh perempuan yang berperan dalam pergerakan bangsa. Tokoh ini mayoritas berasal dari kalangan elite seperti Tjoet Nya’ Dien, Cut Meutia, Roro Gusi (Istri Untung Suropati), Christina Martha Tiahahu, Emmy Saelan dan lainnya. Para perempuan alangan atas lebih mengutamaan pendidikan seperti halnya para feminis liberal yang ada di Eropa pada abad ke 1. Sementara perempuan di kalangan bawah banyak perempuan disibukkan dengan aktivitas harian seperti ekonomi, perdagangan, pertanian, peternakan, dan perikanan. Dimana kaum perempuan menengah ke bawah tidak pernah mendapatkan pendidikan formal.

(2)

Setelah kongres pertama pada tahun 1928, diadakan kembali kongres kedua. Menjelang kongres kedua, muncul permasalahan poligami dan perceraian. Dimana dua masalah ini menyangkut agama dan tradisi/adat yang merupakan spek kehidupan yang ditakuti perempuan, Kemudian muncul kembali pertentangan antar organisasi perempuan tentang masalah poligami dan perceraian. Perbedaan pandangan ini menyebabkan pecahnya organisasi perempuan. kemudian keadaan diperparah setelah organisasi perempuan Indonesia untuk pertama kalinya mengikuti kongres perempuan Internasional di Lahore, Januari 1931 dimana pada saat itu perempuan dari Negara lain ternyata tidak mengesampingkan aspek kehidupan politik. Sehingga pada kongres perempuan ke III di Solo, 25-29 Maret 1932, PPI mulai memikirkan masalah politik, dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan laki-laki untuk melawan penjajah. Topik yang dibicarakan dalam kongres tersebut : “Perempuan Indonesia dan Politik, Nasionalisme, dan pekerjaan sosial sebagai perempuan”.

Kemudian perjuangan perempuan Indonesia diwarnai oleh perjuangan politik. Pada waktu itu muncul organisasi bernama Gerakan Wanita Sedar (Gerwis), bergerak di kalangan kaum marhaen (kelas bawah). Organisasi ini menarik banyak perempuan dari kalangan bawah, karena kegiatannya menyangkut kehidupan sehari-hari. kegiatan mereka meliputi berbagai aspek kehidupan seperti eonomi, sosial, keluarga, pendidikan, budaya, kepemimpinan, dan politik. karena mereka menyadari bahwa apa yang berada dalam lingkungan hidupnya adalah akibat dari keputusan politik. Pada tahun 1954 nama organisasi diubah menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).

Gewani yang notabennya adalah organisasi perempuan yang berorientasi pada kemiskinan dan veadilan sosial pada waktu itu mendapat perhatian khusus dari PKI, sehingga terjadi perpecahan dalam tubuh Gerwani. Pada tahun 1960-an pemerintah membuat peraturan perundang-undangan bahwa semua organisasi massa diharuskan bernaung di bawah partai politik. Pecahnya peristiwa pada tanggal 30 September 1965 mengakibatkan Gerwani dianggap sebagai salah satu bagian dari PKI dan dianggap sebagai organisasi terlarang.

(3)

Pada tahun 1978 pemerintah Indonesia sebagai anggota PBB didorong untuk membentuk kementerian Urusan Wanita. Pada pertengahan dekade 1980-an, muncul berbagai organisasi perempuan non pemerintah yang bukan ormas di berbagai daerah.

Menurut Bung karno gerakan perempuan Indonesia dapat dibedakan menjadi dua: (1) gerakan revolusioner, yaitu gerakan masyarakat melawan penjajahan, penindasan ketidakadilan. Gerakan ini berproses ke arah kemerdeaan kebebasan dan ketidakadilan. Gerakan ini berproses ke arah kemerdeaan dan kebebasan. dan (2) Gerakan reaksioner, yaitu gerakan dalam masyaraat yang mendukung penindasan atau mempertahanan status quo dari situasi ketidakadilan. Murniati dalam bukunya yang berjudul Getar Gender, dikategorikan sebagai berikut: (4)

1. Periode sebelum penjajahan, tidak/belum banyak terekam faktanya 2. Periode tahun 1602-1928, sifat gerakan ,masih individual

3. Periode 1928-1945, gerakan perempuan sebagai ibu, paham ibuisme melawan penjajahan

4. Periode 1946-1965, gerakan perempuan melawan kemisinan dan ketidaadilan 5. Periode 1966-1980, gerakan perempuan berpartisipasi dalam pembangunan

6. Periode 1980-1998 gerakan terpecah dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar, yaitu gerakan PKK yang mendukung pembangunan dan gerakan perempuan menuju kepada keadilan gender

7. Periode 1998-sekarang, gerakan berjaringan internasional menuju pada keadilan gender dan bersifat inklusif melalui peningatan wawasan perempuan di berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Dahulu ketika negara-negara lain yang tergabung dalam organisasi PBB telah memicarakan Gender and Development, negara Indonesia sendiri masih berada dalam upaya Women in Development. Banyak perempuan mulai bekerja di sektor publik, seperti kelompok buruh. Namun saat itu muncul anggapan bahwa “perempuan dianggap masalah karena tidak mampu bersaing dengan tenaga kerja laki-laki.

(4)

Hingga akhirnya PBB mendesak Indonesia untuk meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) atau konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan pada tahun 1981. Konvensi ini secara komprehensif memberikan rincian mengenai arti persamaan hak perempuan dan laki-laki dan langkah tindakan yang diperlukan untuk mencapainya. yang mendorong lahirnya Kememterian Urusan Perempuan (1978) , dan kemudian Indonesia mengesahkan dan memberlakuan UU nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi pada perempuan. (4) (5)

Tabel 1. Wacana Penggalian Potensi Perempuan Berwawasan Gender

(5)

rumah tangga dengan wawasan gender, pembelaan hak-hak reproduksi dan berbagai bentuk aktivitas lainnya.

A. Persoalan keadilan Gender

Kesetaraan gender di Indonesia telah diperjuangkan sebelum Negara RI merdeka (1945), salah satu dari pejuang kesetaraan gender wanita di Indonesia adalah wanita dari Jepara bernama RA. Kartini, nama yang legendaris, setiap tanggal 21 april diperingati sebagai hari kartini. Ia adalah pendobrak patron patriakal dalam budaya masyarakat jawa yang kental, pemikirannya yang aneh dan menyalahi adat pada jamannya, dalam menggulingkan tirani dan penindasan terhadap perempuan, walaupun akhirnya kartini memutuskan untuk menerima aturan dan tradisi bangsawan Jawa dengan kesediaan Kartini menikah dengan Bupati Rembang yang dijodohkan kepadanya, dan harus melepaskan impiannya menimba ilmu di Belanda agar menjadi perempuan intelektual yang bebas.

Bung karno sebagai Presiden Republik Indonesia pertama awalnya memberikan kesempatan kepada gerakan feminism di Indonesia. Namun selama pemerintahan orde baru, gerakan perempuan sengaja disingkirkan. Pemerintah Soeharto sangat berbeda dalam memberikan pencitraan terhadap perempuan. Pada era orde baru, perempuan sebagai kaum ibu semata yang berada disamping atau bahkan di belavang laki-laki. Pencitraan ini dapat dilihat dari pembentukan organisasi sosial yang dibangun pada era tersebut seperti PKK, Dharma Wanita, dan Dharma Pertiwi. Barulah selanjutnya di era reformasi usaha memunculkan gerakan feminism menjadi berkembang pesat. (3) (4)

(6)

Sebagian wanita menerima kenyataan posisi laki-laki dengan perempuan, dan yang menjadi titik tekan adalah pada sisi keadilan, Sri Rahayu dalam suatu artikel menyatakan: “ Sesungguhnya perbedaan gender berupa pemilahan sifat, peran dan posisi dalam masyarakat tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah menciptakan berbagai ketidakadilan, bukan saja bagi kaum perempuan tetapi juga pada kaum laki-laki. Ketidakadilan gender pada umumnya termanisvestasi kedalam empat hal yakni, marginalisasi, subordinasi, sterirotip, kekerasan dan beban ganda”.

Saat diadakannya konvensi CEDAW telah diakui bahwa “meskipun ada bermacam perangkat ketentuan, diskriminasi yang luas terhadap perempuan masih tetap ada”. konvensi perempuan menekankan pada persamaan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki (equality and equity), yaitu persamaan hak dan kesempatan serta penikmatan manfaat di segala bidang kehidupan. konvensi perempuan mengakui bahwa: (5)

1. Ada perbedaan biologis kodrati antara perempuan dan laki-laki

2. Ada perbedaan perlakuan berbasis gender yang mengakibatkan kerugian pada perempuan. kerugian ini berupa subordinasi kedudukan dalam keluarga dan masyarakat, maupun pembatasan kemampuan dan kesempatan dalam memanfaatkan peluang yang ada. Peluang tersebut dapat berupa peluang untuk berperan dalam pembangunan.

3. Ada perbedaan kondisi dan posisi antara perempuan dan laki-laki, dimana perempuan ada dalam konsidi dan posisi yang lebih lemah karena mengalami diskriminasi

Dalam pasal 1 konvensi Perempuan mengenai definisi diskriminasi terhadap perempuan menyatakan bahwa istilah diskriminasi terhadap perempuan diartikan sebagai setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapus pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereva, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. (5)

(7)

sebatas pengalaman laki-laki. Akibatnya, kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan tetap berada di luar perhatian perlindungan hak asasi manusia. Pembatasan kebebasan sipil perempuan hanya di ranah privat – di samping pembatasan bergerak, berbicara, penyadaran, dan kebebasan dalam keluarga – secara tradisional akan tetap berada di luar lingkup perhatian hak asasi manusia

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau CEDAW mengkonteksualisasikan standar netral hak asasi manusia ke dalam situasi perempuan. Perbedaan penting yang diperkenalkan CEDAW adalah bahwa ia tidak terbatas sekedar mengamankan hak asasi perempuan tetapi juga memperluas pemahaman akan hak asasi manusia itu sendiri. Berbeda dengan instrumen hak asasi manusia pada umumnya yang menyatakan bahwa 'diskriminasi berdasarkan jenis kelamin' dalam arti netral/umum, CEDAW menyatakan bahwa perempuan adalah kelompok yang dirugikan karena tindak diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. CEDAW lebih memberikan perhatian pada adanya tekanan sosial dan budaya pada perlakuan diskriminasi terhadap perempuan, dan dengan demikian memperluas aplikasi hak asasi manusia ke dalam ruang privat perempuan. (6)

(8)

oleh suami yang menyebabkan penderitaan istri. Menurut hasil penelitian, masih terjadi diskriminasi terhadap wanita di segala bidang kehidupan, terutama dalam keluarga. (3)

Di bidang perburuhan, organisasi-organisasi wanita telah memperjuangkan nasib buruh wanita sejak tahun 1930-an. Pemerintah memberi perhatian terhadap masalah ini sejak Undang-undang Kerja tahun 1948 yang secara rinci memberi perlindungan kepada tenaga kerja wanita. Akan tetapi, dalam kenyataanya juga masih banyak kejadian yang mengabaikan peraturan.

Tumbangnya pemerintahan Soeharto tahun 1998 memberi harapan baru bagi terjadinya reformasi yang menyeluruh dalam sistem politik, pemerintahan, ekonomi, dan sosial. Pada Dalam Inpres No.9 Tahun 2000 menekankan tentang keharusan bagi setiap instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah untuk melakukan pengarusutamaan kesetaraan gender. Namun Inpres ini memiliki kekuatan hukum yang lemah dibanding Kepres maupun UU. Hal ini mengindikasikan lemahnya posisi tawar pejuang perempuan dalam memperjuangkann kesetaraan gender di masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada pemilu 1999, dimana saat itu muncul wacana Presiden Perempuan. Saat itu beberapa pihak belum bisa menerima jika negara ini dipimpin oleh perempuan. (3)

Pada pemilu 2004 lalu, perjuangan politik perempuan masih menghadapi banyak tantangan. Kuota perempuan masih menghadapi banyak tantangan. Karena kuota perempuan dalam parlemen yang minimal hanya 30% masih sulit terpenuhi. Karena masih terbatasnya perempuan yang bersedia terjun ke politik. (3)

Kesimpulan

(9)

berjaringan internasional menuju pada keadilan gender dan bersifat inklusif melalui peningatan wawasan perempuan di berbagai aspek kehidupan masyarakat.

2. Hal yang menjadi masalah dalam keadilan gender antara lain masih muncul anggapan bahwa “perempuan dianggap masalah karena tidak mampu bersaing dengan tenaga kerja laki-laki”, padahal saat itu banyak perempuan mulai bekerja di sektor publik, seperti kelompok buruh. Akses tak terbatas yang dimiliki oleh laki-laki membuat terhalangnya partisipasi perempuan di ranah publik/politik sehingga menyebabkan konstruksi hak asasi manusia hanya sebatas pengalaman laki-laki. Dan masih adanya kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan hingga saat ini

Saran

Meski dalam sejarah perkembangan perempuan banyak organisasi perempuan dan banyak peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan kesetaraan gender, hingga saat ini masih ditemukan beberapa kejadian yang mengarah pada ketidakadilan gender. Perlu dilakukan telaah lebih lanjut untuk mempelajari mengapa hal tersebut masih terjadi agar kita bisa memahami bagaimana baiknya bentuk gerakan emansipasi wanita yang sesuai di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

(10)

2. (KOWANI), kongres Wanita Indonesia. Sejarah Setengah Abad kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1986.

3. Irianto, S. Perempuan dan Hukum; Menuju Hukum yang Berperspektif kesetaraan dan keadilan. Jakarta : Yayasan Obor indonesia, 2006.

4. Poesponegoro, MD. dan Notosusanto, P. Sejarah Nasional Indonesia V (Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda). Jakarta : Balai Pustaka, 2008.

5. CEDAW. CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan; Mengembalikan Hak-Hak Perempuan). New Delhi : UNIFEM and PLD, 2004.

Gambar

Tabel 1. Wacana Penggalian Potensi Perempuan Berwawasan Gender

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan usaha dan kelayakan kriteria investasi unit penangkapan jaring insang hanyut di Desa Sungai Lumpur,

Analisis cluster dengan tingkat kemiripan 80 % yang melibatkan ke empat komponen utama dari peubah kuantitatif (tinggi tanaman, jumlah gabah isi per malai, jumlah total gabah per

Selain itu masyarakat Tionghoa dikenal sebagai masyarakat yang memiliki etos kerja yang sangat tinggi, mau tidak mau harus membagi waktu untuk anak-anaknya

PURI MEDIKA JALAN SUNGAI BAMBU RAYA NO.. PORT MEDICAL

Tugas Akhir ini disusun sebagai syarat untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai derajad ahli madya keuangan perbankan yang diajukan pada Program Studi D-III

[r]

Manfaat yang diharapkan dari penelitian eksperimen tentang efektivitas penggunaan media gambar seri untukmeningkatkan keterampilan bercerita siswa pada pembelajaran Tematik

Analisis postur kerja dengan metode REBA pada Pekerja Proses Pengasahan Batu Akik sangat perlu dilakukan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, permasalahan