1
Independensi dan Profesionalisme OJK1 Oleh Maqdir Ismail2
Independence and Professionalism of the Financial Services Authority (Otoritas Jasa Keuangan / OJK)
Abstract
The independence of OJK is acknowledged by legislation. In terms of its accountability however this seems to have been translated only in terms of accountability for its budget, balance sheet, financial accounts, income and distribution of expenses. OJK should be accountable to the public and the President, in the sense that OJK as a supervisory institution and the decision-making individuals should be made accountable for their decisions or the consequences of their decisions through a judiciary. If the transparency is connected to one decision, such transparency would mean responsibility to explain or to justify certain actions or decisions as a form of accountability in decision making.
There are two important items not included in the Act of OJK. First is the absence of the prohibition on the Commissioner from having a relationship as a shareholder in a bank or in other non-bank financial institutions, despite the need to close the door between OJK as supervisory institution with the financial industry. Second, there is no minimum level of education or experience before someone can be appointed or re-appointed as a member of OJK’s Commissionery Board. This is not to say that professionalism does not depend on one’s responsibility in carrying out his task and obligations, instead of education level or length of experience, because we all know that there are people who remain ignorant despite their high level of education and lengthy experience.
Independensi dan Profesionalisme OJK
Abstract
Independensi Otoritas Jasa Keuangan diakui oleh undang-undang. Hanya saja berkenaan dengan akuntabilitas seolah-olah hanya diterjemahkan sebagai
1
Dimuat dalam Jurnal Hukum Bisnis Vol. 31 – No.4 Tahun 2012, hal 405 -416
2
pertanggungjawaban anggaran, neraca, rekening keuangan, pendapatan dan distribusi pengeluarannya.Pada hal akuntabilitas itu harus dapat diartikan bahwa OJK itu sebagai pemangku kepentingan bertanggung jawab kepada kepada masyarakat dan Presiden, dalam arti sebagai satu lembaga pengawas dan individu yang membuat keputusan dapat dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya atau untuk meninjau konsekuensi dari keputusannya melalui badan peradilan. Kalau transparansi itu dihubungkan dengan satu keputusan, maka transparansi itu berarti kewajiban untuk menjelaskan dan memberikan alasan atas tindakan atau keputusan, sebagai bentuk tanggungjawab dalam membuat keputusan.
Ada dua hal penting yang luput dari UU OJK, pertama tidak adanya larangan bagi Komisioner mempunyai hubungan sebagai pemegang saham bank atau lembaga keuangan bukan bank, padahal pintu penghubung OJK sebagai lembaga pengawas di dalam sektor jasa keuangan harus ditutup; kedua tidak adanya ukuran tingkat pendidikan dan lamanya masa kerja untuk menjadi Komisioner atau syarat seseorang dapat dipilih kembali menjadi anggota Dewan Komisioner. Meskipun profesionalisme itu tergantung kesadaran akan tanggungjawab dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, bukan tergantung pada tingkat pendidikan dan lamanya masa kerja, karena banyak orang tetap bebal meskipun berpendidikan tinggi dan mempunyai pengalaman yang lama dalam bidang satu pekerjaan.
Pengantar
Artikel ini mencoba melakukan satu kajian sederhana secara hukum terhadap independensi dan profesionalme Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang akan melakukan fungsi pengawasan terhadap lembaga keuangan bank dan bukan bank. Sebagai lembaga yang baru, tentu banyak pihak harap-harap cemas terhadap lembaga ini akan sukses atau gagal dalam melakukan fungsi utamanya melakukan pengawasan. Sebab fungsi pengawasan ini selalu dianggap sangat lemah di negeri ini. Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997, sebagai biangkeladinya karena pemerintah dianggap gagal dalam melakukan pengawasan terhadap perbankan.
3
Indonesia, tetapi dalam undang-undang tersebut dinyatakan pula bahwa OJK akan dibentuk paling lambat tanggal 31 Desembar 2002. Artinya umur pengawasan bank oleh Bank Indonesai terhadap perbankan hanya berumur tiga tahun. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah yang diwakili oleh Departemen Keuangan tidak pernah rela menyerahkan fungsi pengawasan kepada Bank Indonesia, meskipun berlindung dengan ide Helmut Schlesinger. Hal ini akan semakin terang benderang, kalau dilihat notulen perdebatan dalam amandemen UU No. 23 Tahun 1999. Dalam perdebatan ini pemerintah yang diwakili Dr. Darmin Nasution,3 berkehendak agar pengalihan fungsi pengawasan bank segera dilakukan dengan membentuk Otoritas Jasa Keuangan, sesuai dengan bunyi Pasal 34 UU UU No. 23 Tahun 1999.
Mengenai pembentukan OJK ini, Zulkarnain Sitompul menyatakan, Secara historis, ide pembentukan OJK sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. RUU ini disamping memberikan independensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (bank sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan RUU (kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999) bertindak sebagai konsultan. Mengambil pola bank sentral Jerman yang tidak mengawasi bank.4
Banyak pihak yang berpendapat tidak selayaknya fungsi pengawasan bank itu dipisahkan dari bank sentral. Salah satu contoh, lembaga pengawas seperti OJK, fungsinya dikembalikan ke banks sentral sebagaimana yang terjadi di Inggris.5 Pada tahun 1997, dibentuk Financial Services Authority (FSA), kemudian pada tahun 2010-2011 dibentuk
3 Risalah Rapat Panitia Kerja Pansus RUU tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jumat 2 Maret 2002, dalam Proses Pembahasan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Buku III, hal. 773- 779;
4 Zulkarnain Sitompul: 2004, Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pilars
No.02/Th.VII/12-18 Januari 2004, hal 3
5 A new approach to financial regulation: the blueprint for reform, Presented to Parliament by the
4
Financial Policy Committee agar dapat melakukan pengawasan terhadap bank yang dilakukan oleh Bank of England sebagai bank sentral.6
Dalam artikel ini tentu tidak dibicarakan lagi bahwa fungsi pengawasan bank dikembalikan kepada Bank Indonesia, yang akan dibicarakan berkisar pada independensi OJK, Akuntabilitas, transparansi OJK, pengawasan OJK, profesionalisme Komisioner OJK, Koordinasi dengan lembaga lain dan penutup.
Independensi OJK
Dalam mem bicarakan independensi, maka independen disini diartikan memiliki dan menjalankan otoritas publik khusus, terpisah dari lembaga lain, tidak dipilih langsung oleh rakyat.7
Adalah Pasal 34 UU No. 23 tahun 1999, tentang Bank Indonesia, yang secara tegas menanggalkan taring pengawasan bank yang baru diterima pelimpahannya oleh Bank Indonesia dari Departemen Keuangan sesuai undang-undang harus dilakukan pada tanggal 31 Desembar 2002. Meskipun faktanya ada perpanjangan waktu pembentukan lembaga pengawasan bank dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010 sebagaimana disebut dalam Pasal 34 ayat 1 UU No. 3 tahun 2004. Pengunduran batas waktu pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ini, menurut penjelasan umum, “...ditetapkan dengan memperhatikan kesiapan sumber daya manusia dan infra struktur lembaga tersebut dalam menerima pengalihan pengawasan bank dari Bank Indonesia”.
Akhirnya setelah dilakukan perdebatan yang panjang dan penuh kontraversi, maka lahirlah Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan UU No. 21 Tahun 2011.
Menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dikatakan,
“Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain,
6 Barry Eichengreen, Nergiz Dincer: 2011, WHO SHOULD SUPERVISE? THE STRUCTURE OF BANK
SUPERVISION AND THE PERFORMANCE OF THE FINANCIAL SYSTEM, NBER Working Paper No. 1740, hal.1;
7
5
yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.
Kemudian dalam penjelasan umum dinyatakan,
“Independensi Otoritas Jasa Keuangan tercermin dalam kepemimpinan Otoritas Jasa Keuangan. Secara orang perseorangan, pimpinan Otoritas Jasa Keuangan memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. Di samping itu, untuk mendapatkan pimpinan Otoritas Jasa Keuangan yang tepat, Undang-Undang ini mengatur mekanisme seleksi yang transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi publik melalui suatu panitia seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan”.
Dalam kepustakaan yang selalu digunakan untuk mengukur independensi satu lembaga, termasuk lembaga keuangan seperti Otoritas Jasa Keuangan, variabelnya berkisar pada empat komponen pokok, personil, tujuan, instrument, dan kemandirian anggaran, yaitu (i) prosedur pengangkatan, masa jabatan dan pemberhentian pimpinan, (ii) mempunyai kebijakan dan tujuan, (iii) memiliki instrumen kebijakan untuk mencapai tujuan, dan (iv) memiliki sumber dan kontrol atas pendanaan.8
Kalau keempat ukuran ini digunakan sebagai alat untuk mengukur independensi Otoritas Jasa Keuangan, tidak diragukan bahwa Otoritas Jasa Keuangan ini adalah lembaga yang independen. Prosedur pemilihan dan pengangkatan pimpinanya dilakukan melalui proses yang demokratis, 9 berdasarkan pencalonan oleh masyarakat dengan tenggang waktu jabatan yang tegas10 dan syarat penghentian yang ditentukan.11 Kebijakan dan tujuannya jelas melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan sektor Perbankan, pasar modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.12 Untuk mencapai
8 Steve Donzé: 2006, Bank Supervisor Independence and the Health of Banking Systems Evidence from
OECD Countries, Paper prepared for the International Political Economy Society Inaugural Conference, Princeton University, November 17-18, hal 5;
9 Pasal 11 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2011 10 Pasal 14 ayat (3) UU No. 21 Tahun 2011 11 Pasal 17 UU No. 21 Tahun 2011
6
tujuan tersebut Otoritas Jasa Keuangan antara lain menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan, melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan.13 Adapun mengenai sumber dana dan kontolnya, lemabaga ini memiliki dana sendiri, terlepas dari kontrol pemerintah atau lembaga lain.14
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa lembaga independen itu selalu dianggap mempunyai kelebihan jika dibandingkan dengan lembaga non independen. Kelebihan pertama dari lembaga independen itu, dalam melakukan pendekatan terhadap missi objektivnya tidak memihak, dalam pengambilan keputusan selalu di dasarkan pada pendekatan bukti atau pengetahuan bukan dengan sikap partisan. Kelebihan kedua, lembaga independen selalu sukses dalam memilih prioritas kegiatan berjangka panjang, meskipun acapkali biaya yang direncanakan tidak proporsional, sehingga cukup sering mendorong ketidak stabilan kebijakan.15
Dalam pada itu yang perlu mendapat perhatian, tentang lembaga independen seperti Otoritas Jasa Keuangan ini, harus independen dari politisi dan juga harus independen dari pengambil keputusan dibidang industri.16 Pentingnya independen dari politisi, karena umumnya politisi lebih memandang pada kepentingan jangka pendek, sementara ekonomi itu harus selalu disandarkan pada kepentingan jangka panjang. Sedangkan pentingnya independen dari para pengambil keputusan dibidang industri, terutama karena mereka umumnya lebih memandang pentingnya kepentingan mereka sendiri dan terkadang abai dengan kepentingan publik. Sándor Ligeti, menyatakan,
“The independence has two interpretations – independence form politicians and from the regulated industry. Politicians incline to
13 Pasal 9 UU No. 21 Tahun 2011
14 Pasal 34, junctis Pasal 35, Pasal 36 Pasal 37 UU No. 21 Tahun 2011
15
Stavros Gadinis: 2012, From Independence to Politics in Banking Regulation,
https://bspace.berkeley.edu/access/content/group/e675b947-6067-425e-adbf-10e8922547b9/02.%20Jan%2023/From%20Independence%20to%20Politics%202012%20Jan%2016. pdf, hal, 6;
16 Lihat George Stigler (1971) The Theory of Economic Regulation, The Bell Journal of Economics and
7
influence the regulatory and supervisory authorities to avoid stronger steps against weak banks fearing of the negative consequences in their constituencies. Industrial (financial) firms are trying to influence the regulatory, supervisory authorities protecting their own interest rather to the public interest. The most important argument for independence of financial regulatory and supervisory institutions is the need of financial stability. Politicians usually follow short-run purposes which contradict the long-run purposes of an economy. E.g. politicians are against liquidation of failing banks because these are unpopular for depositors among their voters who demand from politicians to protect their banks. But the recent financial crisis proved that even governments and central banks can help illiquid or insolvent financial institutions. Political and regulatory forbearance is dangerous because it means moral hazard, negligence of bank managers and customers”.17 Hal ini dapat dimaklumi, jika mengikuti jalan pikiran dari Willem Buiter, bahwa pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan termasuk bank dan pasar itu pada hakekatnya adalah kegiatan politik. Sebab tidak jarang bank terpaksa melakukan hal yang tidak mereka inginkan, sebab tidak sesuai dengan citra bank yang mandiri dan a-politik.
“The regulation and supervision of financial institutions and markets is a deeply political activity. Property rights are being assigned, restricted, qualified or taken away. Banks are stopped from doing things they want to do and forced to do things they do not want to do. Barriers to entry and exit are created, lowered or removed. Such activities don’t fit the image of an independent, a-political central bank very well”.18
8
politisi dapat memperbesar kekuasaannya untuk mengawasi lembaga keuangan.
Pengaruh politisi ini semakin besar di Indonsia setelah masa reformasi, sebab yang terjadi, pemegang kekuasaan dan politisi di Indonesia bukan mengkonsolidasikan lembaga independen, tetapi malah menambah jumlah pemain dalam melakukan pengaturan dibidang keuangan. Bahkan dalam praktik kenegaraan kita, kita dapat menyaksikan lembaga independen dan regulasi bertambah banyak dan kadang-kadang bersaing satu sama lain sebagai akibat dari mandat tumpang tindih. Tentu sulit untuk menutup mata, bahwa antara Otoritas Jasa Keuangan dibentuk karena adanya asumsi bahwa Bank Indonesia dan lembaga pengawas keuangan yang ada dinilai gagal dalam melakukan pengawasan. Dalam hubungan ini Stavros Gadinis, 20 menyatakan,
“Many commentators attributed the regulatory failures that led to the financial crisis not to agency independence, but to the cacophony of multiple regulators with sometimes competing and sometimes overlapping mandates. Thus, agency reorganization was expected to take priority in post crisis reforms. In fact, few jurisdictions moved to eliminate agencies or reorganize their powers after the crisis. Instead, most changes in the agency population were additions: some jurisdictions created new entities to administer funds necessary to address a major bank failure within their borders”.
Kalau tadi dikemukakan bahwa harus ada kehati-hatian terhadap politisi dalam hubungannya dengan lembaga independen seperti OJK, maka kehati-hatian itu didasarkan pada sumsi bahwa para politisi dalam persfektif kelembagaan ini memiliki sarana dan kekuatan atau kekuasaan untuk berhubungan secara langsung dengan pejabat terpilih. Memang pada masa lalu mereka tidak mempunyai sarana untuk berhubungan langsung dengan lembaga pembuat kebijakan keuangan, sehingga politisi tidak dapat leluasa berhubungan dengan pejabat terpilih. Setelah masa krisis, dengan alasan melaksanakan fungsi kontrol, politisi dapat berhubungan langsung dengan lembaga keuangan, sehingga tidak jarang mereka menggunakan kekuasaan mereka dalam melakukan pendekatan terhadap pembuat
9
kebijakan melalui pengaruh politik yang mereka miliki untuk kepentingan sendiri atau kepentingan kelompok.
Faktanya dalam banyak kebijakan keuangan atau berhubungan dengan lembaga keuangan para politisi dapat melakukan veto atau menolak usulan dari lembaga keuangan. Agar para poltisi tidak menggunakan hak khusus yang diberikan oleh undang-undang termasuk hak veto, maka harus dicegah politisi menggunakan kekuasaan mereka untuk melakukan tekanan terhadap lembaga independen seperti OJK. Dengan kata lain, karena pengaruh politisi terhadap lembaga keuangan dan perbankan semakin kuat bila dibandingkan dengan masa sebelum reformasi, maka segala bentuk tekanan atau ancaman dari politisi terhadap lembaga seperti OJK ini harus dieleminir. Hal yang sama juga harus dihindari dari pengambil keputusan dibidang industri.
Dalam rangka menjaga independensi Otoritas Jasa Keuangan ini, maka yang harus dijaga secara baik agar politisi tidak menggunakan hak veto mereka dalam mempengaruhi OJK dalam mengambil keputusan demi kepentingan politik jangka pendek. Dan harus dicegah campur tangan dari pengambil keputusan dibidang industri untuk mempengaruhi OJK melakukan tindakan atau mengambil keputusan yang hanya akan menguntungkan mereka sendiri.
Akuntabilitas OJK
Ketentuan mengenai akuntabilitas Otoritas Jasa Keuangan diatur dalam Pasal 38 UU No. 21 Tahun 2011. Ketentuan ini mewajibkan Otoritas Jasa Keuangan untuk membuat laporan terhadap keuangannya. Laporan yang terdiri dari laporan kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan. Ditentukan bahwa laporan kegiatan triwulanan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat. Sedangkan laporan kegiatan tahunan disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
10
parlemen, kepada Presiden. Meskipun demikian tentu tidak berarti bahwa, legislatif atau Presiden langsung dapat melakukan intervensi dalam operasi dari otoritas pengawas keuangan yang dilakuka oleh OJK.
Selain itu dalam membicarakan akuntabilas dari Otoritas Jasa Keuangan ini, penjelasan umum dari undang-undang menyatakan,
“asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik”.
Hanya saja memang yang tidak dibicarakan secara tegas mengenai akuntabilitas dari OJK selain dalam bentuk laporan keuangan ini. Hal yang juga tidak diatur secara tegas adalah tentang bentuk trasparansinya. Meskipun dalam penjelasan Pasal 38 ayat (2) dikatakan,
Laporan kegiatan yang disusun OJK antara lain memuat:
a. pelaksanaan tugas dan wewenangnya pada periode sebelumnya. b. rencana kebijakan, penetapan sasaran dan langkah-langkah
pelaksanaan tugas dan wewenang OJK untuk periode yang akan datang.
Sebab disini sama sekali tidak disinggung menganai pengumuman tentang argumen dalam pengambilan keputusan, tidak juga ditegaskan terhitung sejak kapan pengumuman argumen pengambilan keputusan itu dilakukan. Akuntabilitas disini seolah-olah hanya diterjemahkan sebagai pertanggungjawaban anggaran, yang hanya menyajikan neraca, rekening keuangan, pendapatan dan distribusi pengeluarannya.21 Pada hal akuntabilitas itu harus juga dapat diartikan bahwa OJK itu sebagai pemangku kepentingan bertanggung jawab kepada kepada masyarakat dan Presiden, dalam arti bahwa OJK sebagai satu lembaga pengawas dan individu yang membuat keputusan dapat dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya atau untuk meninjau konsekuensi dari keputusannya melalui badan peradilan.
Dengan kata lain akuntabilitas itu harus menyiratkan pertanggungjawaban dan kewajiban bertanggung jawab atas tindakan Komisioner OJK terutama untuk membela tindakan atau keputusannya
11
meskipun dengan kewajiban memberikan informasi yang sulit, termasuk kalau diminta oleh pengadilan. Sehingga akuntabilitas itu harus juga mengandung adanya penghargaan dan hukuman kepada Komisioner OJK dalam memberikan informasi dan penilaian atas tindakan pengambilan keputusan yang mereka lakukan. Selain itu akuntabilitas itu juga harus dapat digunakan untuk tidak menghukum atau menghukum dengan hukuman yang ringan sebagai insentif bagi komisioner yang berbuat kebajikan.22
Memang agak sulit membantah untuk melindungi lembaga independen seperti OJK yang proses penunjukan pimpinannya melalui pemilihan dari pengaruh politik atau kekuasan. Sebab tidak jarang komisioner yang berkeinginan untuk diangkat kembali melakukan tindakan-tindakan yang dapat diketegorikan sebagai tindakan mengurangi independensi lembaga, melalui politik balas jasa. Sehingga yang harus mendapat perhatian cukup adalah perlindungan yang kuat terhadap OJK terutama para komisioner dari campur tangan politik, terlebih lagi politik balas jasa atau balas dendam yang dapat dilakukan pihak tertentu. Sebab seperti difahami bahwa dalam mekanisme akuntabilitas, sesederhana apapun pertanggungjawaban dilakukan, hal ini dapat mempengaruhi lembaga, bahkan tidak tertutup kemungkinan dapat mempengaruhi independensi atau kemerdekaan lembaga.23 Lembaga dapat ditekan atau dipengaruhi oleh pihak yang mempunyai hak untuk melakukan evalusasi.
Salah satu ciri dari adanya akuntabilitas dalam satu jabatan seperti OJK ini, bahwa pemimpinnya dipilih melalui mekanisme pemilihan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan. Prinsip dasarnya bawa yang terpilih secara mayoritas sebagai pimpinan harus dihormati oleh semua pihak. Dengan adanya pemilihan seperti ini, memastikan bahwa warga negara biasa bila terpilih untuk menduduki satu jabatan yang dipilih oleh politisi, karena dukungan mayoritas dapat menjadi pemimpin. Sehingga semua
22 Jorge Ponce: 2009, A Normative Analysis of Banking Supervision: Independence, Legal Protection
12
pihak harus menghormati pilihan para politisi ini, terlepas dari pandangan dan latar belakang masing-masing.24 Yang harus dijaga bahwa penggunaan kekuasaan oleh yang terpilih ini adalah untuk meningkatkan pengawasan yang baik terhadap pengawasan yang dilakukan kepada bank atau lembaga keuangan bukan bank dan berujung pada kebaikan dan manfaat bagi banyak orang, bukan hanya menguntungkan orang atau pihak yang mempunyai kedekatan dengan orang terpilih.
Sudah barang tentu komisioner yang terpilih dapat saja dipengaruhi oleh pemilihnya, dengan cara hanya memperhatikan kepentingan kelompok kecil yang mempunyai hubungan dekat atau hubungan khusus dengan pemilih meraka. Sebab para pemilih itu mempunyai kekuasaan dalam meninjau ulang kebijakan yang diambil oleh komisioner OJK, termasuk menghasut publik untuk tidak menyetujui atau menolak kebijakan yang ditetapkan. Kalau hal seperti ini yang terjadi, maka menjadi jelas dan nyata, bahwa komisioner OJK akan mengalami pilihan sulit dalam membujuk para politisi untuk memilih mereka atau meninggalkan mereka.
Transparansi OJK
Mengenai transparansi OJK ini, disebutkan dalam pasal 38 ayat (9) yang berbunyi,
“OJK wajib mengumumkan laporan tahunan OJK kepada publik melalui media cetak dan media elektronik”.
Pengumuman laporan tahuan ini tentu dapat dikategorikan sebagai bentuk dari transparansi OJK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Selain itu ditetapkan pula pasal 38 ayat (5)
“OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat”.
13
Meskipun ada pengumuman laporan kegiatan triwulan yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan pengumuman laporan tahunan melalui media cetak dan elektronik, tetapi ini masih belum memadai. Hal ini masih belum mencerminkan transparansi yang maksimal. Layak dipertimbangkan untuk dilaksanakan mengenai bentuk praktik transparansi ini sebagaimana dipraktikkan oleh the Bank of England, dimana mereka mempublikasikan semua keputusan termasuk hasil pemungutan suara, ringkasan substansi diskusi yang diadakan, meskipun tidak menyebut pendapat pribadi, seperti dikatakan oleh Willem H. Buiter,
“The Minutes of the MPC, including the voting record of all members, are published. We have recently decided to shorten the publication lag to 2 weeks. The Minutes are a substantive and fair summary of the discussions held by the MPC, but does not contain individually attributed opinions”.25
Dalam literatur ekonomi, ada beberapa bentuk transparansi yang dijadikan ukuran dalam pengawasan, yaitu: transparansi politik (tujuan didirikan), ekonomi transparansi (data dan model), transparansi prosedural (keputusan dan suara), transparansi operasional dan transparansi terkait dengan hasil kebijakan diterapkan.26
Dalam hubungannya dengan OJK, maka transparansi itu yang sangat diperlukan untuk diketahui masyarakat adalah transparansi dan sikap independen dalam melakukan pengawasan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara terus menerus memberikan informasi kepada masyarakat dan atau pemerintah tertutama berkaitan dengan kebijakan pengawasan, termasuk adanya penghargaan atau hukuman terhadap lembaga keuangan atau bank.
Transparansi pengawasan kegiatan lembaga keuangan atau bank perlu dikalukan secara maksimal, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi pengawasan kegiatan lembaga keuangan atau bank dalam mencapai tujuan mereka. Peningkatan transparansi dapat dikaitkan
25 Willem H. Buiter: 1998, Central Banks and The Joy of Accountability, hal.2;
http://www.willembuiter.com/lawson.pdf
26 Claudiu Tiberiu Albulescu: 2008,Central Bank or Single Financial Supervision Authority:
14
dengan upaya yang untuk meningkatkan akuntabilitas. Sehingga diperlukan juga strategi transparansi, tentu ini dimaksudkan agar agen-agen ekonomi memahami situasi kebijakan moneter sekarang dalam kerangka pengawasan, mengingat transparansi itu merupakan prasyarat untuk akuntabilitas.27
Kalau transparansi itu dihubungkan dengan satu keputusan, maka transparansi itu berarti kewajiban untuk menjelaskan dan memberikan alasan atas tindakan atau keputusan, sebagai bentuk tanggungjawab dalam membuat keputusan. Kalau dikaitkan dengan tugas OJK, tentu pertanggungjawaban ini dihubungkan dengan satu keputusan dalam pengawasan. Misalnya kalau ada keputusan menghukum atau tidak menghukum bank atau lembaga keuangan bukan bank, yang oleh pendapat umum dituding melakukan kesalahan. Sebab transparansi itu selain sebagai bentuk pertanggungjawaban, tetapi adalah juga upaya penjelasan. Dengan kedua tindakan ini, diharapkan memberikan kontribusi dalam mencegah potensi konflik pengawas, bank, pemerintah, Bank Indonesia dan tentu saja masyarakat.
Hal yang tidak kalah penting sehubungan dengan transparansi dari OJK adalah kredibilitas. Sebab dengan adanya transparansi, maka OJK akan dianggap kribibel. Kredibilitas ini sangat penting untuk dimiliki oleh badan pengawasan, khususnya untuk otoritas moneter, seperti OJK. Sebab jika badan pengawas dianggap tidak kridibel, maka secara pasti dapat dikatakan bahwa badan pengawas itu tidak akan dipercaya. Sebuah otoritas pengawasan akan dianggap kredibel kalau tidak memiliki ketahanan baik terhadap tekanan atau dari sektor swasta.
Dengan meminjam Blinder, maka yang disebut “dapat dipercaya”
(credibility) adalah “apa yang diucapkan akan diterima”, meskipun yang
membuat pernyataan tidak mengikuti peraturan, bahkan mungkin sekaligus melakukan penyimpangan. Kredibilitas seperti ini biasanya tidak diperoleh secara normal, karena adanya skema konpensasi yang sesuai dengan motivasi dan tidak pula dengan pre-komitmen yang kaku. Akan
15
tetapi semua ini dibangun dengan melihat sejarah di mana samanya kata dengan perbuatan. Dalam kalimatnya Alan S. Blinder, dikatakan,
“… credibility means that your pronouncements are believed-even
though you are bound by no rule and may even have a short-run
incentive to renege…, such credibility is not normally created by
incentive-compatible compensation schemes nor by rigid precommitment. Rather it is painstakingly built up by a history of matching deeds to words. A central bank that consistently does what it says will acquire credibility by this definition almost regardless of the institutional structure.”28
Dengan demikian, maka terlihat dengan jelas bahwa independensi, akuntabilitas, transparansi dan kredibilitas sangat berkait dan diperlukan oleh OJK melakukan pengawasan kegiatan lembaga keuangan atau bank dalam mencapai tujuan mereka. Tentu kemampuan lembaga ini untuk cepat beradaptasi dengan perubahan lingkungan dalam menjalankan tugas dengan efisiensi sangat diperlukan.29 Tetapi menjaga independensi, akuntabilitas dan transparan agar dianggap kridibel harus menjadi prioritas utama. Sebab jika tidak dianggap kridibel, sama artinya dengan tidak dapat dipercaya. Kalau satu lembaga pengawas dianggap tidak dapat dipercaya, maka lembaga pengawas itu tidak ada artinya. Lembaga pengawas itu malah akan dicurigai hanya sebegai stempel untuk mengesahkan satu kesalahan.
Pengawasan OJK
Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang melakukan kegiatan pokok pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor Perbankan, jasa keuangan di sektor Pasar Modal, jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, harus dicegah dari upaya atau segala bentuk gugatan
16
atau tuntutan atas semua kegiatan yang mereka lakukan dari lembaga yang mereka awasi.30
Pasal 4 UU Otoritas Jasa Keuangan misalnya menyatakan,
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil; dan
c. mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.
Kemudian selanjutnya dalam Pasal 6 dinyatakan,
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Pada galibnya lembaga pengawas itu melaksanakan tugas dengan kekuasaan untuk mendisiplinkan lembaga yang mereka awasi, umumnya lembaga ini terikat dengan mekanisme pertanggungjawaban kepada publik. Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga semacam OJK lebih banyak dilakukan oleh sebuah lembaga independen, meskipun diisi oleh orang-orang berasal dari birokrasi atau berasal dari lembaga tertentu yang sudah ditentukan oleh undang-undang.
Lembaga seperti OJK ini diharapkan melakukan kegiatan dengan kualitas tinggi dan dapat bertindak sebagai regulator yang efisien. Bukan itu saja yang menjadi alasan bahwa lembaga independen seperti OJK diberi tugas melakukan pengawasan, karena diharapkan lembaga independen di mana akuntabilitas publiknya tinggi dan kridibel.
Dipercaya oleh banyak pihak bahwa pengalaman dengan krisis keuangan global, terjadi karena semua sektor pengawas keuangan tidak melihat stabilitas keuangan yang lebih luas sebagai bagian dari mandat mereka. Selain itu struktur tatakelola yang dipilih dalam pelaksanaannya terlepas dari struktur tata kelola, sehingga kebutuhan untuk kerjasama
30 E Philip Davis and Ugochi Obasi: tt, THE EFFECTIVENESS OF BANKING SUPERVISION,
17
yang lebih besar dan pembagian informasi bagi seluruh lembaga terabaikan. Kelemahan tatakelola inilah yang selama ini cukup berpengaruh terhadap independensi pengawasan dalam proses pelaksanaan pengawasan. 31
Dalam hubungannya dengan pengawasan oleh OJK sebagaimana ditentukan oleh undang-undang, maka tatakelola yang independen, akuntabel dan transparan sangat diperlukan. Sebab seperti ditentukan oleh undang-undang bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.
Selain itu, OJK sebagai lembaga pengawas pada keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, personilnya harus dicegah untuk berhubungan dengan yang diawasi dengan menggunakan pintu atau jendela khusus. Pintu penghubungnya harus ditutup. Komisioner harus dilarang berhubungan atau mempunyai kedekatan dengan lembaga yang diawasi, secara langsung atau tidak langsung. Mereka tidak boleh dalam derajad tertentu mempunyai hubungan sebagai pemegang saham bank atau lembaga keuangan bukan bank.32
Pada sisi yang lain, Komisioner harus dilindungi secara formal maupun informal dari kelompok penekan yang dapat mempengaruhi hasil-hasil kebijakan dalam pengawasan. Segala bentuk perlindungan operasional yang mungkin timbul, berupa gangguan yang tidak semestinya dari industri atau dari politis harus dicegah. Dengan kata lain, perlindungan hukum bagi OJK dan Komisioner serta pengawas individu yang melakukan pengawasan dengan iktikad baik harus diberikan secara terus menerus. Tentu bagian penting dari pengawasan itu adalah tegaknya supremasi hukum dan terjaganya stabilitas politik keuangan negara.
31 Steven Seelig and Alicia Novoa: 2009, Governance Practices at Financial Regulatory and Supervisory
Agencies, IMF Working Paper, WP/09/135, hal. 26;
32
18
Profesionalisme Komisioner OJK
Proses pemilihan anggota Dewan Komisioner, menurut ketentuan undang-undang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat atas usul Presiden dan lamanya masa jabatan komisioner adalah selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Sebagaimana ditentukan oleh Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011, tentang Otoritas Jasa keuangan.
Syarat profesional utuk menjadi anggota Dewan Komisioner, memang tidak begitu tegas ukurannya, kecuali sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15 huruf g, yang menyatakan, “ mempunyai pengalaman atau keahlian di sektor jasa keuangan..”. Tidak ada syarat tingkat pendidikan, tidak juga ada syarat lamanya masa pengalaman, kecuali anggota komisioner Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia sesuai Pasal 10 ayat (4) huruf h dan anggota
Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon
I Kementerian Keuangan sesuai Pasal 10 ayat (4) huruf i.
Tidak adanya syarat pendidikan dan lamanya pengalaman ini potensial menjadi “lelucon” atau olok-olok, sebab tidak ada larangan seorang lulusan Sekolah Dasar yang mempunyai pengalaman disektor jasa keuangan dapat saja untuk mendaftar menjadi komisioner Otoritas Jasa Keuangan, karena Pasal 15 huruf g ini hanya memberikan alternatif, mempunyai pengalaman atau mempunyai keahlian. Artinya setiap orang yang merasa mempunyai pengalaman atau keahlian dibidang sektor jasa keuangan dapat saja mendaftar untuk menjadi komisioner, tanpa harus memenuhi syarat pendidikan atau pengalaman waktu tertentu.
19
mencalonkan seseorang untuk dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka orang tersebut akan tetap diangkat menjadi anggota Dewan Komisioner jika terpilih di Dewan Perwakilan Rakyat. Sepatutnya untuk masa jabatan kedua sebagai komisioner seharusnya diatur dengan syarat yang lebih banyak atau dengan syarat lebih tinggi.
Tidak jelas yang menjadi sebab kealfaan dalam memberikan syarat yang cukup, pendidikan dan lamanya masa kerja untuk menjadi Komisioner. Tidak juga ada alasan yang akurat, sehingga seseorang dapat dipilih kembali menjadi anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.
Meskipun tentu saja tidak jelasnya ukuran tingkat pendidikan dan lamanya masa kerja untuk menjadi Komisioner atau syarat seseorang dapat dipilih kembali menjadi anggota Dewan Komisioner, tidak berpengaruh terhadap profesionalisme Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. Sebab profesionalisme itu tergantung kesadaran akan tanggungjawab dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, bukan tergantung pada tingkat pendidikan dan lamanya masa kerja, karena bukan menjadi rahasia juga banyak orang tetap bebal meskipun berpendidikan tinggi dan mempunyai pengalaman yang lama dalam bidang satu pekerjaan.
20
berhimpit dengan penegakan hukum. Pengendalian penyidikan ini bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan oleh orang yang tidak berpengalaman dibidang penegakan hukum.
Koordinasi dengan lembaga lain
Secara tegas harus diakui, dalam urusan koordinasi dan tatakelola yang baik, undang-undang yang mengatur hubungan antara Bank Indonesia, Departemen Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan ini hanya bersandar pada beberapa pasal yang disebutkan dalam UU OJK. Dalam undang-undang khususnya Pasal 44 ayat (1) a, UU No.21 Tahun 2011, menyebutkan bahwa “Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator” Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan. Kedudukan Menteri Keuangan ini, tentu bukan sebagai Ketua Dewan Moneter sebagaimana posisi yang diberikan oleh Pasal 11 ayat (1) UU NO. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral.
Ada hal yang agak kurang pas diatur dalam UU OJK ini, terutama yang behubungan dengan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan ini. Hal ini dikemukan demikian, karena kewenangan Bank Indonesia yang diambil alih dan atau diserahkan ke OJK hanya terbatas pada “mengatur dan mengawasi Bank”, sebagaimana dinyatakan dalam Pasa 8 huuf c, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 UU NO. 23 Tahun 1999, tidak termasuk sistem keuangan. Sebab dalam sistem keuangan itu termasuk juga penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter serta pengaturan dan kelancaran sistem pembayaran.
21
Hampir dapat dipastikan adanya kesulitan untuk menentukan ukuran adanya campur tangan atau tidak ada campur tangan pemerintah atau pihak lain terhadap kesepakatan yang diambil oleh OJK, Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia mengenai Stabilitas Sistem Keuangan. Mengingat dalam Pasal 44 ayat (4) UU OJK, jika, “Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak tercapai maka pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak”. Sementara Pasal 4 ayat (2) UU Bank Indonesia melarang campur tangan kecuali yang ditentukan oleh undang-undang. Kalau keputusan yang diambil dengan suara terbanyak ini terkait Stabilitas Sistem Keuangan, tentu ini dapat dianggap sebagai bentuk campur tangan terhadap kewenangan BI, karena ini adalah sepenuhnya kewenangan dari Bank Indonesia.
Inilah bentuk tidak singkronnya pemikiran dalam menyusun undang-undang ini, meskipun dalam undang-undang-undang-undang semua hal yang berhubungan dengan pengawasan menjadi kewenangan OJK.
Penutup
Sebagaimana telah dikemukakan diatas banyak hal yang harus dicermati dari keberadaan OJK yang lahir karena kehendak undang-undang Bank Indonesia ini.
Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga pengawas lembaga keuangan bank dan bukan bank sudah akan memulai kiprahnya. Yang harus diatur secara cermat dan baik adalah hubungan Bank Indonesia dengan OJK ketika BI melaksanakan kebijakan moneter tanpa pengawasan kepada Bank. Dan tentu harus ada aturan main bersama antara OJK dan BI, mengingat OJK yang fokus pada pengawasan, agar dapat memperkuat serta mengamankan sektor jasa keuangan dan perbankan, mengingat penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter serta pengaturan dan kelancaran sistem pembayaran itu tidak bisa dilepaskan dari keseharian perbankan yang tidak berada dibawah kontrol Bank Indonesia.
22
sarana komunikasi dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan sebagai jembatan antara OJK dan Bank Indonesia, yang akan dilakukan oleh Menteri Keuangan belum tentu merupakan jembatan yang kokoh dan didengar oleh kedua lembaga tersebut, meskipun ada Deputi Gubenrnur BI dan Eselon I Departemen Keuangan sebagai anggota Komisioner OJK secara
Ex-officio, karena Menteri Keuangan tidak dapat bertindak sebagai Ketua
Dewan Moneter dibawah UU No. 13 tahun 1968.
23
Maqdir Ismail, Lahir di Baturaja, 18 Agustus 1954. Mendapat gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (1979). LL.M dari School of Law the University of Western Australia (1999). Memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2005). Memulai karir sebagai praktisi hukum ketika bergabung sebagai Pembela Umum Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (1980). Menjadi staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia di Jakarta sejak tahun 2001. Menulis Buku, Bank Indonesia dalam Perdebatan Politik dan Hukum (2009); Bank Indonesia : Independensi, Akuntabilitas dan Transparansi (2007); Pengantar Praktik Arbitrase (2007), Bank Bali, Perkara Hukum atau Politik? (1999) dan menulis artikel di Surat Kabar, Majalah dan Jurnal.