KERTAS KERJA PENANGANAN KAWASAN KUMUH
KELOMPOK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH KOTA (MBR KOTA)
MELALUI PENDEKATAN KEWILAYAHAN
A. TANTANGAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR PU-PERA*:
1. Dalam kurun 4 dekade terakhir (1970 –2010) telah terjadi kenaikan populasi perkotaan di Indonesia sebanyak 6 kali lipat yang membawa implikasi pada belum terpenuhinya berbagai tuntutan kebutuhan infrastruktur PU-PERA, padahal perkotaan merupakan mesin pertumbuhan dan ujung tombak daya saing.
2. Arus urbanisasi yang tinggi diikuti dengan berbagai persoalan klasik perkotaan, seperti kemacetan, kekumuhan, banjir, degradasi kualitas lingkungan (udara dan air), minimnya ruang terbuka hijau, kurangnya air bersih, kesenjangan pendapatan, meningkatnya sektor informal, dan terjadinya perkembangan perkotaan horizontal (urban sprawl).
3. Perubahan iklim yang terjadi saat ini juga mengancam kehidupan perkotaan khususnya kota-kota di kawasan pesisir yang terancam rob akibat fenomena kenaikan muka air laut maupun terjadinya penurunan muka tanah seperti di Jakarta dan Semarang yang terutama disebabkan oleh pengambilan air tanah secara berlebihan. 4. Pengendalian pembangunan belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan rencana
tata ruang, serta sinergi pembangunan infrastruktur belum optimal terkait dengan batasan kewenangan pusat dan daerah.
B. MEMPOSISIKAN PENANGANAN KAWASAN KUMUH KELOMPOK MBR KOTA DALAM KERANGKA KETERPADUAN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH
1. Ruang, wilayah, kawasan, dan ekosistem kota adalah sumberdaya strategis kota dengan fungsi ekonomi yang bernilai tinggi.
2. Bila Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Maka, Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Sedangkan kawasan merupakan wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya. (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, Pasal 1:1, Pasal 1:17, dan Pasal 1:20)
*)Dikutip dan diringkas dari Materi Paparan Acara Kick Off Pra Konsultasi Regional Ditjen Cipta Karya Tanggal 10 April 2015 berjudul “PENINGKATAN KETERPADUAN RENCANA DAN PROGRAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PUPR MELALUI PENDEKATAN WILAYAH.”
3. Dalam lingkup batasan administrasinya, karakteristik kota dan kabupaten di Indonesia sangat variatif, baik dilihat dari aspek unsur darat, laut, serta posisi geografisnya. Salah satu faktor penting penentu keberagaman tersebut adalah variabel ekosistem. Ekosistem merupakan tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1:5)
4. Berdasarkan aspek ekosistemnya, maka -ruang, wilayah dan kawasan kota- ada yang berekosistem pesisir dan laut, hutan, Daerah Aliran Sungai (DAS), Danau dan sebagainya; baik sebagian maupun keseluruhan.
5. Pada umumnya, beberapa kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) Kota mempunyai ketergantungan tinggi terhadap ekosistem tersebut, khususnya pesisir dan laut serta DAS. Oleh karenanya, kota beserta ruang, wilayah, kawasan dan ekosistemnya harus ditempatkan sebagai unsur-unsur sumberdaya strategis yang secara ekonomi dibutuhkan kelompok MBR Kota untuk melangsungkan kehidupannya secara layak di kota.
6. Adanya peluang dan kesempatan akses kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) terhadap kawasan dan ekosistem kota secara ekonomi membuka peluang dan kesempatan lebih besar bagi kelompok MBR kota untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidupnya.
7. Kawasan kumuh yang dihuni kelompok MBR mengindikasikan keterbatasan akses kelompok MBR terhadap kawasan dan ekosistem kota secara ekonomi, sehingga membatasi peluang dan kesempatan kelompok MBR kota bermukim di kawasan permukiman yang sehat dan layak.
8. Suatu contoh, keterbatasan akses untuk mengoptimalkan potensi ekosistem pesisir dan laut di sekitar kawasan permukiman masyarakat pesisir/nelayan membatasi kesempatan dan peluang kelompok MBR kawasan pesisir/nelayan memperoleh peningkatan penghasilannya; yang memaksa tetap hidup bertahan dilingkungan permukiman yang kumuh.
9. Pada kelompok MBR kota non pesisir/nelayan yang secara umum bekerja tidak tetap (serabutan, seperti menjadi kuli, tukang beca dan sejenisnya), keterbatasan aksesnya, adalah keterbatasan terhadap kesempatan dan peluang kerja/usaha disektor industri olahan/kerajinan rumah tangga, perdagangan dan jasa yang secara ekonomi dapat memberi tingkat penghasilan lebih baik dibandingkan pekerjaan yang digeluti selama ini (kerja serabutan).
10. Dengan kata lain, penangangan kumuh di di kawasan kumuh kelompok MBR kota adalah selain membantu peluang dan kesempatan akses kelompok MBR kota bermukim di kawasan permukiman yang sehat dan layak, sekaligus memperbesar peluang dan kesempatan memperoleh akses ekonomi kawasan dan ekosistem kota. 11. Kepemilikan akses ekonomi kawasan dan ekosistem kota yang diasumsikan akan
berkorelasi dengan peningkatan pendapatan dan taraf hidup kelompok MBR kota,
pada gilirannya akan memperkuat kemampuan kelompok MBR dalam memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan permukimannya secara mandiri dan kolektif. 12. Peningkatan kemandirian dan kolektifitas kelompok MBR kota dalam memelihara dan
meningkatkan kualitas lingkungan permukimannya akan mengurangi atau mempersempit kesenjangan (disparitas) perkembangan antar kawasan kota di suatu kota; terjadi pemerataan perkembangan kota
13. Oleh karenanya, penanganan kumuh di kawasan kumuh kelompok MBR kota diarahkan pada 3 aspek secara simultan dan saling terkait, yaitu:
a. terjadinya peningkatan kualitas fisik lingkungan permukiman kelompok MBR yag sehat dan layak huni (pendekatan fisik-infratrukstur lingkungan);
b. melalui peningkatan soliditas aksi kolektif kelompok MBR (pendekatan sosial); c. yang dapat meningkatkan peluang dan kesempatan akses ekonomi kelompok
MBR kota terhadap ruang, kawasan, dan ekosistem kota (pendekatan ekonomi). 14. Investasi kolaborasi kota menjadi instrumen penanganan kawasan kumuh kota yang
dapat digunakan pemerintah kota untuk memperkuat soliditas aksi kolektif kelompok MBR meningkatkan kualitas fisik lingkungan permukimanya secara sehat dan layak, seraya memperbesar peluang dan kesempatan memperoleh akses ekonomi kawasan dan ekosistem kota untuk peningkatan pendapatan dan perbaikan taraf hidup kelompok MBR kota yang bermukim di kawasan kumuh.
15. Pemerintah kota mengharmonikan dan mensinergikan aksi-aksi kolektif kelompok MBR tersebut dengan mengkoneksikan dan mengintegrasikan infrastruktur lingkungan permukiman yang dibangun kelompok MBR tersebut kedalam sistem dan jaringan infrastruktur kota, misalnya sistem drainase kota.
16. Perubahan kawasan kumuh yang dibangun kelompok MBR kota dapat dijadikan modal penting Pemerintah kota -bersama pemangku kepentingan kota lainnya-untuk mengupayakan kelompok MBR kota mendapatkan peluang dan kesempatan akses yang lebih besar dalam mengembangkan fungsi-fungsi ekonomi baik di lingkungan permukiman kelompok MBR tersebut, maupun di luar kawasan permukiman kelompok MBR kota, seperti akses keluarga nelayan mengembangkan kegiatan ekonomi di wilayah pantai wisata; akses mengembangkan pemasaran hasil usaha rumah tangga keluarga MBR kota; akses jaminan perlindungan usaha dan sebagainya.